BAB II PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN
C. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang
TOR GANDA PERKEBUNAN SIBISA MANGATUR (Studi Kasus Putusan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn)
Dalam Putusan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn, Penggugat adalah pekerja/buruh harian yang bekerja kepada para Tergugat dengan jabatan sebagai pekerja/buruh harian selama 28 (dua puluh delapan) tahun 3 (tiga) bulan terhitung sejak 18 April 1987 sampai dengan 22 Juli 2016. Selama bekerja, Penggugat selalu bekerja dengan baik dan mengikuti segala instruksi dan perintah kerja yang berlaku di lingkungan kerja Tergugat. Tergugat tidak pernah membekali dan memfasilitasi peralatan kerja kepada Penggugat sehingga Penggugat dengan kerelaan hatinya terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk membeli peralatan kerja di kebun. Selama bekerja, para Tergugat tidak pernah memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) dan tidak pernah membayarkan hak cuti tahunan Penggugat. Selain itu, pada bulan Juli 2016, para Tergugat melalui perantaraan pegawainya yang berstatus sebagai Mandor Kebun menyatakan dan menyampaikan secara lisan bahwa Penggugat bersama dengan beberapa pekerja/buruh harian lainnya akan dimutasi kerja ke wilayah Kota Ambon, Provinsi Maluku dengan status yang sama sebagai pekerja/buruh harian. Berkaitan dengan adanya mutasi kerja, Penggugat dan beberapa pekerja/buruh harian lainnya tidak diperkenankan lagi untuk bekerja di perusahaan para Tergugat. Para Tergugat juga menyampaikan kepada Penggugat bahwa mutasi kerja akan segera diproses.
Ketidakjelasan tersebut membuat Penggugat dan beberapa pekerja/buruh harian lainnya mencoba untuk menemui para Tergugat tetapi Penggugat dan beberapa pekerja/buruh harian lainnya selalu saja mendapatkan penolakan. Penggugat dan beberapa pekerja/buruh harian lainnya menganggap bahwa alasan mutasi kerja dan larangan untuk bekerja kembali hanyalah akal-akalan dari para Tergugat untuk melakukan pemutusan hubungan kerja mengingat usia Penggugat dan beberapa pekerja/buruh harian lainnya sudah memasuki usia pensiun. Mutasi kerja dijadikan alasan agar Penggugat menolak mutasi kerja tersebut dan dengan penolakan tersebut, Penggugat mengundurkan diri secara sepihak sehingga para Tergugat tidak memberikan pesangon kepada Penggugat. Tindakan para Tergugat yang tetap melaksanakan mutasi kerja dan larangan untuk bekerja kembali di perusahaan para Tergugat tanpa disertai dengan surat pemberhentian merupakan tindakan semena-mena yang tidak berdasar untuk menghilangkan pemberian hak-hak Penggugat yang telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Maka, Penggugat membuat surat pengaduan kepada Kantor Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan untuk dilakukan mediasi terhadap Penggugat dan para Tergugat. Namun, mediasi tersebut dinyatakan tidak berhasil sehingga Penggugat melalui kuasa hukumnya membuat gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan.
Pada 10 Agustus 2017, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan memberikan putusan terhadap gugatan Penggugat dengan amar putusannya adalah sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
- Menyatakan putus hubungan kerja antara para Tergugat dan Penggugat terhitung tanggal 22 Juli 2016;
- Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan para Tergugat kepada Penggugat bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menghukum para Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat sebesar Rp.
93.144.452, dengan rincian 2 (dua) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja, 15% (lima belas per seratus) uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah proses selama 6 (enam) bulan ditambah dengan kekurangan Tunjangan Hari Raya (THR) dan hak cuti tahunan;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; dan
- Membebankan ongkos perkara kepada Negara sebesar Rp. 1.011.000.
Dalam putusan terhadap perkara ini, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan memberikan pertimbangan hukum secara garis besar adalah sebagai berikut:90
1. Bahwa hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat adalah didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT) bukan didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja/buruh harian sehingga menurut hukum status Penggugat adalah pekerja/buruh tetap.
2. Bahwa adanya wacana para Tergugat akan melakukan mutasi karena kelebihan pekerja/buruh harian lepas di perusahaan para Tergugat, sementara di perkebunan yang baru di Kota Ambon, Provinsi Maluku dibutuhkan tenaga terampil yang sudah berpengalaman dan perwakilan para Tergugat mendatangi orang yang tidak bersedia mutasi akan dipulangkan ke kampung halaman termasuk Penggugat tidak bersedia dimutasi dan tidak dipekerjakan lagi terhitung tanggal 22 Juli 2016, maka menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan para Tergugat putus.
3. Bahwa terhitung tanggal 22 Juli 2016, Penggugat tidak dipekerjakan lagi oleh para Tergugat dan tidak jelas status hubungan kerjanya, maka para Tergugat telah
90Pengadilan Hubungan Industrial Medan, “Putusan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn”.
melakukan pemutusan hubungan kerja yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Bahwa para Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja pada Penggugat terhitung tanggal 22 Juli 2016 dengan alasan efisiensi sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka para Tergugat dihukum untuk membayar hak-hak Penggugat, yaitu perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja dan 15% (lima belas per seratus) uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. Bahwa para Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Penggugat karena alasan efisiensi dan Penggugat sebelumnya tidak melakukan kesalahan, maka Penggugat berhak menerima upah proses selama 6 (enam) bulan x Rp. 2.085.000 = Rp.
12.510.000.
6. Bahwa Penggugat adalah pekerja/buruh tetap sehingga para Tergugat wajib membayarkan kekurangan hak Penggugat, dimana para Tergugat belum membayarkan secara penuh Tunjangan Hari Raya (THR) Penggugat (para Tergugat masih membayarkan 50% dan belum membayarkan sisanya sebesar 50%, yaitu Rp. 987.500 sampai dengan tidak bekerjanya Penggugat).
7. Bahwa oleh karena hak cuti Penggugat belum dibayarkan oleh para Tergugat dan Penggugat ditetapkan sebagai pekerja/buruh tetap, maka hak cuti Penggugat selama 13 tahun x 12 hari x Rp. 80.192 = Rp. 12.509.952 harus dibayarkan oleh para Tergugat.
8. Bahwa oleh karena nilai gugatan Penggugat di bawah Rp. 150.000.000 sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka biaya perkara ini dibebankan kepada Negara yang besarnya sebagaimana tercantum dalam amar putusan.
Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam putusan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn adalah bahwa Majelis Hakim memutus terjadinya pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh dan pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, upah proses selama 6 (enam) bulan ditambah dengan kekurangan Tunjangan Hari Raya (THR) dan hak cuti tahunan karena pekerja/buruh menolak mutasi karena mutasi dijadikan alasan terselubung
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh. Mutasi kerapkali dijadikan alasan untuk menutupi maksud pengusaha yang berniat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh. Pekerja/buruh yang mengalami mutasi yang tidak sesuai dengan keahliannya pada akhirnya akan merasa terganggu kenyamanannya dalam bekerja karena pekerjaan yang dikerjakannya merupakan pekerjaan yang tidak dikuasai ataupun pekerjaan yang tidak disukai.91
3. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Diputus Hubungan Kerjanya Karena Pekerja/Buruh Menolak Mutasi Pada PT. Nada Indo Perkasa/Home Family Karaoke (Studi Kasus Putusan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn)
Dalam Putusan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn, Penggugat adalah pekerja/buruh pada perusahaan milik Tergugat sebagai Kasir sejak 02 Februari 2014 sampai dengan 07 Mei 2018 dengan menerima upah setiap bulannya sebesar Rp. 2.290.000.
Penggugat telah bekerja dengan baik dan tidak pernah menimbulkan kerugian bagi Tergugat. Pada saat bekerja, tanpa sengaja Penggugat menyenggol patung naga yang dipajang di lokasi kerja Penggugat sehingga patung tersebut rusak. Pada 03 April 2018, Tergugat memanggil Penggugat dan mengatakan bahwa Penggugat tidak dapat bekerja lagi karena telah mematakan patung naga dan Penggugat diberikan 2 (dua) pilihan, yaitu
91Agusmidah, Analisis Tentang Hak Atas Mutasi Kerja, (Medan: Makalah Ilmiah USU, Tanpa Tahun), Hal. 5.
mengundurkan diri atau menunggu keputusan sampai tanggal 15 Mei 2018. Mendengar pernyataan dari Tergugat tersebut, Penggugat meminta agar dilakukan pemutusan hubungan kerja dan memohon kepada Tergugat agar hak-hak normatifnya dibayarkan. Pada saat itu juga, Tergugat memberikan Surat Peringatan Pertama (SP-I) kepada Penggugat dengan alasan lalai dalam bekerja. Kemudian, Penggugat dengan iktikad baik bersedia untuk mengganti patung naga yang telah rusak dengan membelikan patung naga yang baru sehingga pada awal bulan April 2018, Penggugat dipanggil oleh Tergugat untuk menandatangani surat pernyataan ganti rugi patung naga dengan harga Rp. 30.000.000.
Penggugat menolak untuk membayar ganti rugi patung naga tetapi Tergugat terus mengancam akan diberikan Surat Peringatan Kedua (SP-II) apabila Penggugat tidak bersedia menandatangani surat pernyataan ganti rugi patung naga. Penggugat terpaksa menandatangani surat pernyataan tersebut karena takut diberikan Surat Peringatan Kedua (SP-II). Pada pertengahan bulan April 2018, Tergugat memanggil Penggugat untuk memberikan surat mutasi kerja menjadi waiters. Penggugat menolak untuk dimutasikan menjadi waiters karena tidak sesuai dengan keahliannya sehingga Tergugat memberikan Surat Peringatan Kedua (SP-II) kepada Penggugat karena menolak mutasi kerja menjadi waiters. Tergugat telah melakukan mutasi kerja secara sepihak sehingga wajar bagi Penggugat untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada Tergugat dengan membuat surat pengaduan kepada Kantor Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan untuk dilakukan mediasi terhadap Penggugat dan Tergugat. Namun, mediasi tersebut
dinyatakan tidak berhasil karena Tergugat tidak pernah menghadiri pertemuan mediasi tersebut. Dengan demikian, Penggugat melalui kuasa hukumnya membuat gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan.
Berdasarkan gugatan Penggugat tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan memberikan putusan pada 15 November 2018, yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat.
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
- Menyatakan pemutusan hubungan kerja antara Tergugat dan Penggugat bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dan Penggugat putus sejak tanggal putusan ini dibacakan;
- Menghukum Tergugat untuk membayarkan hak-hak Penggugat berupa total keseluruhan dari 1 (satu) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja, 15% (lima belas per seratus) uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan upah proses selama 6 (enam) bulan sebesar Rp. 19.655.879sesuai dengan ketentuan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Negara sebesar Rp.
611.000; dan
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Dalam putusan terhadap perkara ini, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan memberikan pertimbangan hukum secara garis besar adalah sebagai berikut:92
1. Bahwa oleh karena Penggugat dan Tergugat terjadi perbedaan pendapat mengenai besaran upah yang diterima Penggugat dari Tergugat, maka ditetapkan upah Penggugat berdasarkan ketentuan Upah Minimum Kota (UMK) Medan Tahun 2019, yaitu sebesar Rp. 2.749.074.
2. Bahwa Tergugat telah mempekerjakan Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena pekerjaan Kasir bukanlah pekerjaan penunjang di perusahaan Tergugat dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
3. Bahwa pada masa Penggugat bekerja, Penggugat telah menerima Surat Teguran dan 2 (dua) kali Surat Peringatan atas kesalahan melanggar Peraturan Perusahaan dan membantah Tergugat pada saat jam operasional, maka Penggugat dinilai kurang disiplin dalam melaksanakan tugas dan berpotensi untuk merugikan perusahaan Tergugat.
4. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama karena kelalaian atau kesengajaan dikenakan denda apabila diatur secara tegas dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
5. Bahwa atas kesalahan Penggugat yang telah merusak patung naga yang mempunyai makna religi dan telah merugikan Tergugat, maka tidak dapat dibebankan serta merta kepada Penggugat karena tidak diatur secara tegas dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga pembebanan biaya kerugian karena rusaknya patung naga yang mempunyai makna religi tidak dapat dibenarkan secara hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Bahwa berdasarkan ketidakhadiran Penggugat untuk bekerja kembali di perusahaan Tergugat dan Tergugat telah melakukan pemanggilan sebanyak 3 (tiga) kali secara patut, maka panggilan bekerja terhadap Penggugat dinyatakan tidak sah karena
92Pengadilan Hubungan Industrial Medan, “Putusan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn”.
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi seperti semula sehingga hubungan kerja diputus karena Penggugat melakukan kesalahan dan Tergugat berkewajiban membayarkan hak-hak Penggugat, yaitu 1 (satu) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja, dan 15% (lima belas per seratus) uang penggantian haksesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebesar Rp. 3.161.435.
7. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa selama putusan lembaga penyelesaian hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2015.
8. Bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka perhitungan upah proses selama putusan lembaga penyelesaian hubungan industrial ditetapkan, yaitu 6 (enam) bulan x Rp. 2.749.074 = Rp. 16.494.444.
9. Bahwa oleh karena nilai gugatan Penggugat di bawah Rp. 150.000.000 sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka biaya perkara ini dibebankan kepada Negara yang besarnya sebagaimana tercantum dalam amar putusan.
Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam putusan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn adalah bahwa Majelis Hakim memutus terjadinya pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh dan pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah proses selama 6 (enam) bulan karena pekerja/buruh menolak mutasi karena mutasi dijadikan sebagai senjata ampuh pengusaha untuk menghukum pekerja/buruh yang melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki pengusaha.93
Dalam penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi, aparat penegak hukum harus melihat case by case dan tidak berbicara hukum dari sudut
93Ibid., Hal. 4.
pengusaha atau pekerja/buruh saja, tetapi harus berbicara dari sudut pengusaha dan pekerja/buruh secara bersamaan karena belum adanya aturan yang menjadi landasan yuridis apabila terjadi pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi.94
Perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi mengacu pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya dalam pemberian hak-hak normatif pekerja/buruh apabila terjadi pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi. Perhitungan uang pesangon yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:95
a. Masa kerja kurang dari 1 tahun = 1 bulan upah;
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah;
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah;
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah;
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah;
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah;
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah;
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun = 8 bulan upah; dan
i. Masa kerja 8 tahun atau lebih = 9 bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:96
a. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 2 bulan upah;
b. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun = 3 bulan upah;
94Wawancara dengan Bapak Mirza Budiansyah, Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan, pada hari Kamis, 19 Maret 2020.
95Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
96Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
c. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun = 4 bulan upah;
d. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun = 5 bulan upah;
e. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun = 6 bulan upah;
f. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun = 7 bulan upah;
g. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun = 8 bulan upah; dan
h. Masa kerja 24 tahun atau lebih = 10 bulan upah.
Perhitungan uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:97
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Secara khusus, perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi dapat diatur secara otonom dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja dan/atau dalam perjanjian kerja bersama dengan tetap memperhatikan prinsip kesepakatan atau musyawarah untuk mufakat sebagaimana yang terkandung dalam hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merupakan jawaban atas political will pemerintah dalam lapangan hukum ketenagakerjaan, maka Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
97Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
akan mempunyai tujuan luhur bagi perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam hal memberdayakan dan mendayagunakan pekerja/buruh secara optimal dan manusiawi;
mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan pekerja/buruh yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh dalam mewujudkan kesejahteraan; dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.98
98Ujang Charda S, Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja, (Universitas Subang: Jurnal Wawasan Hukum, 2015), Hal. 2.
BAB III
AKIBAT HUKUM BAGI PEKERJA/BURUH DALAM PELAKSANAAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENAMENOLAK MUTASI
A. Tindakan Hukum yang Dapat Dilakukan Pekerja/Buruh yang Menolak Mutasi Pengusaha Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh tentunya akan berakibat hukum terhadap pekerja/buruh karena bagi pekerja/buruh, pemutusan hubungan kerja merupakan awal hilangnya mata pencaharian yang menyebabkan pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Pemutusan hubungan kerja menjadi derita bagi pekerja/buruh karena pekerja/buruh akan terancam kelangsungan hidupnya. Sehubungan dengan dampak pemutusan hubungan kerja yang sangat kompleks dan kerapkali menimbulkan perselisihan, maka mekanisme dan prosedur pemutusan hubungan kerja diatur sedemikian rupa dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku agar pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-haknya sebagai akibat hukum yang diterima pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha.
Pemerintah harus memberikan keadilan hukum, baik kepada pengusaha maupun pekerja/buruh dalam hal terjadi perselisihan antara keduanya sebagai akibat dari adanya
hubungan kerja. Terdapatnya perselisihan dalam rangka hubungan industrial merupakan konsekuensi dari interaksi antar pelaku hubungan industrial tersebut. Pemerintah sebagai salah satu pelaku hubungan industrial berusaha menjadi penengah apabila terjadi konflik antara pengusaha dan pekerja/buruh. Apabila pilihan kebijaksanaan yang diambil pemerintah tidak sejalan dengan pandangan pekerja/buruh, maka kerapkali digambarkan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha. Sebaliknya, apabila pemerintah mengambil sikap memperbaiki kondisi kerja para pekerja/buruh, maka pengusaha beranggapan bahwa pemerintah dinilai berpihak kepada pekerja/buruh. Pemerintah tidak hanya bertindak untuk para pekerja/buruh yang sedang bekerja atau baru berhenti bekerja, akan tetapi harus mempertimbangkan kepentingan ekonomi Negara dalam arti luas termasuk mengambil kebijaksanaan untuk menghadapi masalah pencari kerja baru (new labour force).99
Dalam ketentuan Pasal 152 ayat (1) sampai ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan:100
1. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya;
2. Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
99Cosmas Batubara, Hubungan Industrial, (Jakarta: Sekolah Tinggi Manajemen, 2003), Hal.
69.
100Pasal 152 ayat (1) sampai ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan
3. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, apabila terjadi pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, maka lembaga yang berwenang mengadili perkara tersebut adalah Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan kepada Pengadilan Negeri karena sudah diatur secara khusus dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, apabila terjadi pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, maka lembaga yang berwenang mengadili perkara tersebut adalah Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan kepada Pengadilan Negeri karena sudah diatur secara khusus dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang