• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan dan diorganisasikan dalam 1 (satu) pola, kategori dan satuan uraian dasar. Metode analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Analisis yuridis kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisisnya terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.57 Analisis yuridis kualitatif dilakukan dengan mempelajari, menganalisis dan memperhatikan kualitas dan kedalaman data sehingga diperoleh data yang dapat dijawab dalam penelitian ini.

56Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2001), Hal. 86.

57Ibid., Hal. 128-129.

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA PEKERJA/BURUH MENOLAK MUTASI

A. Ruang Lingkup Mutasi

Manajemen sumber daya manusia atau manajemen secara umum kerapkali dihadapkan pada keputusan yang akan diberikan kepada para pekerja/buruh. Dalam mengelola sumber daya manusia, adakalanya seorang manager sumber daya manusia harus melakukan pemindahan pekerja/buruh, baik berupa promosi, mutasi maupun demosi yang didasarkan pada proses penilaian kinerja atau penyesuaian pada badan organisasi untuk mendapatkan susunan yang terbaik pada setiap sumber daya manusia yang tersedia agar perusahaan dapat berjalan dan memberikan kinerja yang baik.58

Ruang lingkup mutasi mencakup semua perubahan posisi/pekerjaan/tempat pekerja/buruh, baik secara horizontal maupun vertikal yang dilakukan karena alasan personal transfer ataupun production transfer di dalam suatu perusahaan. Mutasi atau pemindahan oleh sebahagian masyarakat sudah dikenal, baik dalam lingkungan maupun di luar lingkungan perusahaan (pemerintahan). Mutasi adalah kegiatan

58Monica & Stanislaus Atalim, Analisis Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Adanya Demosi Pekerja pada PT. Johnson Home Hygiene Products, (Bandung: Jurnal Hukum Adigama, Tanpa Tahun), Tanpa Halaman.

memindahkan pekerja/buruh, pengoperan tanggung jawab, pemindahan status ketenagakerjaan, dan sejenisnya. Adapun pemindahan hanya terbatas pada mengalihkan pekerja/buruh dari 1 (satu) tempat ke tempat lain.59

Mutasi adalah perpindahan pekerjaan seseorang dalam suatu perusahaan yang mempunyai tingkat level yang sama dari posisi pekerjaan sebelum mengalami pindah kerja.

Kompensasi gaji, tugas dan tanggung jawab yang baru umumnya adalah sama seperti sediakala. Mutasi dilakukan untuk menghindari kejenuhan pekerja/buruh pada rutinitas pekerjaan yang terkadang membosankan serta mempunyai fungsi tujuan lain. Kegiatan memindahkan pekerja/buruh dari suatu bagian (tempat kerja) ke bagian yang lain bukanlah merupakan kegiatan yang dianggap tabuh karena kegiatan mutasi dilakukan untuk mengembangkan pekerja/buruh. Hal ini disebabkan karena mutasi diperlukan agar pekerja/buruh memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru yang lebih luas dan tujuannya adalah sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan poduktivitas pekerja/buruh;

2. Untuk menciptakan keseimbangan antara pekerja/buruh dan komposisi pekerjaan atau jabatan;

3. Untuk memperluas atau menambah pengetahuan pekerja/buruh;

4. Untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh tehadap pekerjaannya;

5. Untukmemberikan perangsang agar pekerja/buruh mau berupaya meningkatkan karir yang lebih tinggi; dan

6. Untuk alat pendorong agar spirit kerja meningkat melalui persaingan terbuka.

Alasan pelaksanaan mutasi digolongkan sebagai berikut:60

59Malayu, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Hal. 24.

1. Permintaan sendiri.

Mutasi atas permintaan sendiri adalah mutasi yang dilakukan atas keinginan sendiri dari pekerja/buruh yang bersangkutan dan dengan mendapatkan persetujuan pengusaha.

Mutasi atas pemintaan sendiri pada umumnya hanya pemindahan jabatan yang peringkatnya sama, baik antar bagian maupun pindah ke tempat lain.

2. Alih Tugas Produktif (ATP).

Alih tugas produktif adalah mutasi karena kehendak pengusaha untuk meningkatkan produksi dengan menempatkan pekerja/buruh yang bersangkutan ke jabatan atau pekerjaannya yang sesuai dengan kecakapannya.

Ada 3 (tiga) dasar pelaksanaan mutasi menurut Malayu, yaitu:

a. Merit System (career system).

Merit system adalah mutasi pekerja/buruh yang didasarkan atas landasan yang bersifat ilmiah, objektif dan prestasi kerja. Sistem ini merupakan sistem yang baik karena:

1. Output dan produktivitas kerja meningkat;

2. Semangat kerja meningkat;

3. Jumlah kesalahan yang dibuat menurun;

4. Absensi dan disiplin pekerja/buruh semakin baik; dan 5. Jumlah kecelakaan akan menurun.

b. Seniority System.

Seniority system adalah mutasi yang didasarkan atas landasan masa kerja, usia, dan pengalaman kerja dari pekerja/buruh yang bersangkutan. Sistem ini tidak objektif karena pekerja/buruh dimutasikan kecakapannya dalam memangku jabatan baru itu belum terjamin.

c. Spoil System.

Spoil system adalah mutasi yang didasarkan atas landasan kekeluargaan. Sistem ini kurang baik karena didasarkan atas pertimbangan suka/tidak suka (like or dislike).

60blogger.com, “Manajemen dan Bisnis”, http://sdm-dasar.blogspot.com/2015/11/mutasi-karyawan, 2015, diakses pada hari Sabtu, 29 Agustus 2020.

Mutasi merupakan suatu kegiatan rutin dari unit kerja pekerja/buruh untuk melaksanakan prinsip ”the right man in the right place” atau “orang tepat pada tempat yang tepat” agar pekerjaan dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Dalam kaitan dengan menempatkan pekerja/buruh tersebut, sebenarnya pada saat seleksi telah melaksanakan prinsip “orang tepat pada tempat yang tepat”, namun dalam praktiknya hal ini dapat berbeda dan tentunya dapat merugikan pengusaha maupun pekerja/buruh itu sendiri. Dengan demikian, mutasi yang dijalankan oleh pengusaha agar pekerjaan dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.61

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa mutasi pekerja/buruh tersebut termasuk dalam fungsi pengembangan pekerja/buruh karena fungsinya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dalam perusahaan, sedangkan dalam mutasi tersebut perlu dipertimbangkan pentingnya prinsip mutasi, yaitu memutasikan pekerja/buruh pada posisi yang tepat serta pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan (kompetensi) pekerja/buruh yang bersangkutan sehingga terjadi peningkatan motivasi, semangat dan produktivitas kerja.

61Bungaran Saing, Pengaruh Mutasi dan Pelatihan Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Perhubungan Kota Bekasi Vol. 17 No. 3, (Jakarta: Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 2017), Hal. 152.

B. Dasar Pengusaha Melaksanakan Mutasi 1. Prestasi Kerja

Setiap perusahaan mempunyai daya kompeten yang tinggi sehingga keberadaan perusahaan lainnya tidak dapat mempengaruhi atau menggoyahkan lingkungan eksternal dan internal perusahaan tersebut dimana peran kinerja pengusaha dan pekerja/buruh sangat diandalkan. Hal ini tentunya didukung dengan situasi kerja yang kondusif dan dinamis.

Apabila perusahaan ingin berkembang dengan pesat, maka harus mempunyai sumber daya manusia yang mampu memberikan prestasi kerja yang baik.

Prestasi kerja adalah penampilan hasil kerja sumber daya manusia dalam suatu perusahaan. Prestasi kerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja sumber daya manusia. Pada dasarnya prestasi kerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan hasil kerja. Apabila pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan atau melebihi uraian pekerjaan, maka pekerjaan tersebut berhasil dikerjakan dengan baik. Apabila prestasi kerja menunjukkan hasil di bawah uraian pekerjaan, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut kurang baik. Dengan demikian, prestasi kerja dapat didefenisikan sebagai proses formal yang dilakukan untuk mengevaluasi tingkat pelaksanaan pekerjaan atau unjuk kerja seorang pekerja/buruh dan memberikan umpan balik untuk kesesuaian tingkat prestasi kerja.62

62H. Sadili Samsudin, Op.cit, Hal. 162.

Subjek dari penilaian prestasi kerja adalah pekerja/buruh dan penilaian yang dilakukan oleh pengusaha bersifat individual, sedangkan objek dari penilaian prestasi kerja adalah hasil pekerjaan dan sifat pribadi pekerja/buruh yang dinilai oleh pengusaha.

Pada tingkat perusahaan, penilaian prestasi kerja bertujuan untuk:

1. Menentukan kontribusi suatu unit atau divisi dalam perusahaan terhadap organisasi perusahaan secara keseluruhan;

2. Memberikan dasar bagi penilaian mutu prestasi pimpinan unit/divisi dalam perusahaan;

dan

3. Memberikan motivasi bagi pimpinan unit/divisi dalam mengelola divisi seirama dengan tujuan umum perusahaan.

Pada tingkat pekerja/buruh, prestasi kerja bertujuan untuk:

1. Membedakan tingkat prestasi kerja setiap pekerja/buruh;

2. Mengambil keputusan administrasi, seperti promosi, mutasi, dan demosi; dan

3. Memberikan finalti seperti bimbingan untuk meningkatkan motivasi dan diklat untuk mengembangkan keahlian.

Penilaian prestasi kerja menjadi proses organisasi perusahaan dalam menilai kinerja pekerja/buruh yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan feedback kepada pekerja/buruh dalam upaya memperbaiki kinerja guna pencapaian peningkatan produktivitas organisasi perusahaan dengan cara melaksanakan berbagai program kebijaksanaan terhadap pekerja/buruh seperti pendidikan dan pelatihan, pemberian promosi dan penjatuhan sanksi mutasi dan demosi.63

63Marihot Tua Effendi Hariandja, Manajemen Sumber Daya Manusia, Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian dan Pengikatan Produktivitas Karyawan, (Jakarta: Gramedia, 2002), Hal. 26.

Sumber daya manusia dalam suatu perusahaan perlu dikelola secara professional agar terwujud keseimbangan antara kebutuhan pekerja/buruh dan tuntutan perusahaan terhadap pekerja/buruh berupa prestasi kerja dan kemampuan organisasi perusahaan.

Keseimbangan tersebut merupakan kunci utama perusahaan agar dapat berkembang secara produktif dan wajar.64

Sumber daya manusia secara langsung maupun secara tidak langsung mempengaruhi kinerja organisasi atau perusahaan dari segi efektivitas dan efisiensi. Hal tersebut membuat perusahaan atau organisasi menyadari peran penting sumber daya manusia yang dikenal sebagai pekerja/buruh dalam perusahaan atau organisasi karena dalam hal mencari, menemukan, mempekerjakan, memotivasi, melatih dan mengembangkan serta mempertahankan pekerja/buruh yang berkualitas membutuhkan investasi, baik dari segi waktu, tenaga dan biaya yang besar.65

2. Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

64A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002). Hal. 33.

65Mawey Z. Alfa, dkk, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan Pada PT. PLN (Persero) Rayon Manado Utara, (Manado: Jurnal EMBA, 2016), Hal.

262.

menyatakan:66 “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.

Pengertian hubungan kerja menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut didasarkan oleh suatu perjanjian kerja yang merupakan salah satu bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1601 KUHPerdata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa: “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian antara pengusaha dan pekerja/buruh”.67 Berdasarkan bunyi pasal tersebut, hubungan kerja hanya dapat terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hubungan kerja yang mengatur antara pengusaha dan pekerja/buruh pada dasarnya memuat hak dan kewajiban dari para pihak. Pengertian hak dan kewajiban selalu bersifat timbal balik antara satu dengan yang lain. Hak pekerja/buruh merupakan kewajiban pengusaha, dan sebaliknya. Hubungan kerja tidak terlepas dari perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak. Dalam hukum Indonesia, ada yang menterjemahkan dengan perjanjian dan ada pula yang menterjemahkan dengan perikatan. Hak dan kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Jangan sampai salah satu pihak melakukan pelanggaran.68

66Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

67Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

68Suhartoyo, Perlindungan Hukum Bagi Buruh Dalam Sistem Hukum Ketenagakerjaan Nasional, (Universitas Diponegoro: Jurnal Hukum Administrasi & Pemerintahan, 2019), Hal. 328.

Secara yuridis pekerja/buruh memang manusia yang bebas sebagaimana dijamin oleh konstitusi bahwa: “setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dan setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak”. Namun secara sosiologis bahwa pekerja/buruh tidak menempati posisi dimana dia harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat. Posisi dilematis pekerja/buruh dipersulit dengan banyaknya pengangguran sehingga membuat pengusaha menekan para pekerja/buruh karena dapat mengganti dengan pekerja/buruh yang lain.

Pengusaha berkewajiban secara moral untuk:69 1. Memberikan jaminan sosial pekerja/buruh;

2. Keselamatan dan kesehatan; dan 3. Perlindungan upah.

Pekerja/buruh harus dapat memahami bahwa pekerja/buruh ada karena perusahaan ada. Selaku manusia, ada 2 (dua) konsep untuk memenuhi kehidupannya, yaitu tidak menjadi pengusaha, maka menjadi pekerja/buruh dan pekerja/buruh yang ulet dengan sendirinya akan berjuang menjadi pengusaha.70

69Unggul Priyadi, dkk, Pendampingan Hukum Hak Pekerja (Usia Produktif) Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan, (Tanpa Kota: Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan, 2013), Hal. 102.

70Wawancara dengan Bapak Minggu Saragih, Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan, pada hari Kamis, 19 Maret 2020.

Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh diatur dalam perjanjian kerja dan hubungan kerja antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh dalam 1 (satu) perusahaan diatur dalam perjanjian kerja bersama.

a. Perjanjian Kerja

Dalam hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh akan selalu diikat oleh suatu perjanjian kerja. Perjanjian kerja adalah suatu peraturan yang dibuat seseorang atau beberapa orang majikan atau beberapa perkumpulan majikan berbadan hukum dan 1 (satu) atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang berbadan hukum mengenai syarat-syarat kerja yang dipatuhi pada waktu membuat perjanjian kerja.71 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan pengertian perjanjian kerja adalah perjanjian antara pengusaha dan pekerja/buruh yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.72 Seperti perjanjian pada umumnya, dengan membuat perjanjian perburuhan, maka saat itu akan timbul hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Pekerja/buruh mempunyai hak untuk mendapatkan upah dari hasil kerjanya, sedangkan pengusaha berkewajiban membayar upah dalam bentuk lain.

71Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung: Mandar Maju, 1999), Hal. 40.

72Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Perjanjian merupakan Undang-Undang bagi mereka yang mengikatkan dirinya kepada perjanjian tersebut sehingga perjanjian itu akan menjadi dasar bagi para pihak yang mengikatkan dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata mengatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang bagi mereka yang membuatnya sehingga perjanjian kerja merupakan Undang-Undang bagi pengusaha dan pekerja/buruh dan setiap pihak wajib untuk melaksanakan isi dari perjanjian tersebut, di dalam perjanjian kerja juga dicantumkan hal seperti identitas, hak dan kewajiban termasuk mutasi. Perjanjian kerja inilah nantinya akan menjadi kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun pekerja/buruh untuk menjalankan hak dan kewajibannya.

Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang memaksa (dwang contract) karena para pihak tidak dapat menentukan sendiri keinginannya dalam perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak atau lebih nantinya akan menjadi dasar atau Undang-Undang bagi mereka yang mengikatkan dirinya dan akan menjadi asas kepastian hukum bagi mereka, namun bagaimanapun perlu diperhatikan isi atau bunyi dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang suatu syarat sahnya perjanjian, diantaranya adalah suatu klausa yang halal, artinya bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan lain yang masih berlaku.

b. Perjanjian Kerja Bersama

Perjanjian kerja bersama tidak hanya mengikat para pihak yang membuatnya, yaitu pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh saja tetapi juga mengikat pihak ketiga yang tidak ikut dalam perundingan, yaitu pekerja/buruh, terlepas dari apakah pekerja/buruh menerima atau menolak isi perjanjian kerja bersama dan apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berunding atau tidak.73

Perjanjian kerja bersama memuat hak-hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh. Terkait dengan hak-hak pekerja/buruh, perjanjian kerja bersama yang disusun oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh harus memenuhi hak-hak normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Pembuatan perjanjian kerja bersama harus berdasarkan musyawarah untuk mufakat, selaras dengan pelaksanaan hubungan industrial yang serasi guna mewujudkan adanya kepastian hak dan kewajiban, semangat kerja, dan mendorong peningkatan produktivitas kerja. Upaya-upaya tersebut merupakan bagian dari pemenuhan hak-hak pekerja/buruh sebagai bagian dari perlindungan hukum pekerja/buruh yang terdapat atau diatur juga di dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa: “penyusunan perjanjian kerja bersama

73Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Pradnya Pramita, 2007), Hal. 128.

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah”.74 Hal ini mengindikasikan bahwa ketentuan dari perjanjian kerja bersama dibuat oleh para pihak harus melalui musyawarah/perundingan dan isi dari ketentuannya dapat lebih dari apa yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sehingga ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang bersifat privat.

C. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.75 Di Indonesia, perlindungan hukum yang dimaksud senantiasa didasari oleh Pancasila sebagai landasan idiil, meskipun konsep perumusannya menggunakan pemikiran-pemikiran dunia barat yang penekanan konsepnya bertumpu pada perlindungan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, secara sederhana konsep perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh di Indonesia tetap bertumpu pada perlindungan harkat dan martabat kaum pekerja/buruh, berikut hak-hak kemanusiaannya, baik secara individual maupun sebagai “pekerja/buruh”.

74Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

75Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), Hal. 38.

1. Prinsip Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh di Indonesia

Perlindungan pekerja/buruh secara tegas diatur berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, maka lingkup perlindungan terhadap pekerja/buruh mencakup:76

a. Hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha;

b. Keselamatan dan kesehatan kerja;

c. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat; dan d. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial pekerja/buruh.

Perlindungan pekerja/buruh juga sangat mendapatkan perhatian dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian menjadi prinsip dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu diantaranya:77

a. Salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh dalam mewujudkan kesejahteraan;

b. Setiap pekerja/buruh mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan;

c. Setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha;

d. Setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja;

e. Setiap pekerja/buruh mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya;

f. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri;

76Eko Wahyudi, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2016), Hal. 32.

77Abdul Khakim, Op.cit, Hal. 106-107.

g. Setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama;

h. Setiap pekerja/buruh berhak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;

i. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja; dan

j. Setiap pekerja/buruh berhak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Perumusan prinsip-prinsip perlindungan hukum ketenagakerjaan di Indonesia seluruhnya bersumber dari Pancasila sebagai landasan yang merupakan ideologi dan falsafah negara, sedangkan konsepsi perlindungan hukum ketenagakerjaan bagi masyarakat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan Rule of The Law. Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berpikir dengan berlandaskan pada Pancasila, maka prinsip perlindungan hukum ketenagakerjaan di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila.78

2. Jenis Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh di Indonesia

Menurut Bakers, secara keseluruhan perlindungan pekerja/buruh merupakan norma-norma hukum publik yang bertujuan untuk mengatur keadaan ketenagakerjaan di perusahaan dan termasuk seluruh norma hukum publik yang mempengaruhi dan

78Muhammad Wildan, Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Kontrak Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (Semarang: Jurnal Hukum Khaira Ummah, 2017), Hal. 836.

mengancam keamanan kesehatan kerja dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam menjalankan pekerjaan. Lingkup pengaturan tersebut meliputi 2 (dua) aspek, yaitu:79

1. Aspek Materil

Aspek ini secara umum meliputi keamanan kerja dan perawatan fisik pekerja/buruh.

2. Aspek Immateril

Aspek immaterial meliputi waktu kerja dan peningkatan perkembangan jasmani dan psikis pekerja/buruh.

Adapun pemberian perlindungan hukum bagi pekerja/buruh menurut Imam Soepomo meliputi 5 (lima) bidang, yaitu:80

1. Pengerahan/penempatan pekerja/buruh;

2. Hubungan kerja;

3. Kesehatan kerja;

4. Keamanan kerja; dan

5. Jaminan sosial pekerja/buruh.

Sementara dalam kesempatan lain, Imam Soepomo mengelompokkan perlindungan kerja ke dalam 3 (tiga) jenis perlindungan, yaitu perlindungan ekonomis, perlindungan sosial dan perlindungan teknis.81

a. Perlindungan Ekonomis

Perlindungan ekonomis terkadang disebut sebagai Jaminan Sosial82 yang merupakan perlindungan terhadap pekerja/buruh terkait penghasilannya. Perlindungan ini

79Melania Kiswandari, Kesehatan dan Keselamatan Kerja, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2014), Hal. 78.

80Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2014), Hal. 11.

81Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), Hal. 164.

meliputi usaha-usaha yang dilakukan untuk memberikan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan hidup pekerja/buruh beserta keluarganya, termasuk perlindungan pekerja/buruh apabila bekerja di luar kehendaknya.

meliputi usaha-usaha yang dilakukan untuk memberikan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan hidup pekerja/buruh beserta keluarganya, termasuk perlindungan pekerja/buruh apabila bekerja di luar kehendaknya.