vii ABSTRAK
viii
ABSTRACT
SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Disusun oleh: Sisiria Mardiawati
NIM : 053114006
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
FUZZY NEURAL NETWORK SYSTEM
Final Assignment
Presented to Fulfill One of the Requirements To Obtain the Sarjana Sains Degree
Mathematics Study Program
By :
Sisiria Mardiawati Student Number : 053114006
MATHEMATICS STUDY PROGRAM MATHEMATICS DEPARTMENT FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Bersukacitalah senantiasa Tetaplah berdoa
Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu (2 Tesalonika 16-18)
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4:6)
vii ABSTRAK
viii
ABSTRACT
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang memberikan dorongan, bimbingan, petunjuk, nasihat serta dukungan dari permulaan sampai selesainya penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Yosef Agung Cahyanta S.T., M.T., selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus selaku Dosen Penguji tugas akhir yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
3. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, SJ, selaku Dosen Pembimbing skripsi dan Dosen Pembimbing akademik yang telah memberikan masukan, bimbingan, nasihat, dorongan serta saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Y. G. Hartono, S.Si, M.Sc, selaku Dosen Penguji tugas akhir yang telah memberikan masukan dan saran.
5. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis.
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Tujuan Penulisan ... 7
E. Manfaat Penulisan ... 7
xiii
G. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II LOGIKA KABUR, DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN... 11
A. Logika Kabur ... 11
1. Himpunan Kabur ... 11
2. Fungsi Keanggotaan ... 18
3. Operasi Baku pada Himpunan Kabur ... 23
4. Perambatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur ... 25
5. Relasi Kabur... 28
6. Variabel Linguistik... 29
7. Proposisi Kabur... 29
8. Implikasi Kabur... 30
9. Model Kabur Takagi Sugeno Kang (TSK)... 34
10. Modus Ponens Rampat... 35
11. Sistem Kendali Kabur... 44
B. Dekomposisi Nilai Singular... 45
C. Jaringan Syaraf Tiruan... 52
1. Konsep Dasar Jaringan Syaraf Tiruan... 52
2. Arsitektur Jaringan Syaraf... 55
3. Proses Pembelajaran... 57
4. Fungsi Aktivasi... 58
xiv
BAB III SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR ... 75
A. Jaringan Syaraf dan Logika Kabur... 75
B. Model Kabur dengan Pembelajaran Jaringan Syaraf Terbimbing... 77
1. Arsitektur Jaringan Syaraf Kabur... 77
2. Pembelajaran Rambatan Balik Pada Model Kabur... 80
C. Contoh Model Jaringan Syaraf Kabur... 91
BAB IV PENUTUP... 99
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak hal yang bersifat kompleks dan
rumit untuk dijelaskan secara tepat dan eksak. Sebuah model yang cocok untuk
menggambarkan hal tersebut bisa diperoleh dengan menggunakan himpunan kabur.
Pencapaian dengan menggunakan model tersebut berdasarkan pengamatan bahwa
manusia berpikir menggunakan bahasa yang digunakan seperti “kecil” atau “sangat
besar” dan ungkapan yang lainnya. Oleh karena itu, untuk mendeskripsikan konsep
tersebut ke dalam bahasa yang umum, Zadeh memperkenalkan himpunan kabur
(fuzzy sets) pada tahun 1965. Dalam hal ini Zadeh memperluas konsep “himpunan
klasik” (himpunan tegas, crisp set) menjadi himpunan kabur, dalam arti bahwa
him-punan klasik merupakan kejadian khusus dari himhim-punan kabur itu. Berdasarkan
kon-sep himpunan kabur itu, Zadeh mengembangkan konkon-sep algoritma kabur (1968),
yang merupakan landasan dari logika kabur (fuzzy logic) dan penalaran hampiran (
ap-proximate reasoning), yaitu penalaran yang melibatkan pernyataan-pernyataan
dengan predikat kabur. Inti dari sistem kabur ini sendiri adalah aturan implikasi jika –
maka (if – then rules), yang menggunakan himpunan kabur sebagai syarat dalam
Sejak manusia bisa melakukan banyak hal yang cukup sulit dibandingkan alat
teknologi yang sangat canggih, otak manusia menjadi hal yang sangat menarik bagi
para ahli. Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki
ke-mampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang
disebut sinapsis. Neuron bekerja berdasarkan impuls/sinyal yang diberikan pada
neu-ron. Setiap sel syaraf (neuron) memiliki 3 komponen penting yaitu soma yang
merupakan inti sel dari neuron yang bertugas untuk melakukan pemrosesan
informasi. Informasi yang datang akan diterima oleh dendrit, selain menerima
informasi dendrit juga menyertai axon sebagai keluaran dari suatu pemrosesan
informasi. Informasi hasil olahan ini akan menjadi masukan bagi neuron lain yang
dihubungkan oleh dua dendrit sel yang dipertemukan oleh sinapsis. Informasi yang
dikirimkan antar neuron ini berupa rangsangan yang dilewatkan melalui beberapa
dendrit. Informasi yang datang dan diterima oleh dendrit akan dijumlahkan dan
dikirim melalui axon ke dendrit akhir yang bersentuhan dengan dendrit dari neuron
yang lain. Informasi ini akan diterima oleh neuron lain jika memenuhi batasan
Gambar 1.1 Jaringan Syaraf Biologi
Terinspirasi akan sistem jaringan syaraf biologi tersebut, banyak ahli telah
menyelidiki jaringan syaraf tiruan. Jaringan syaraf tiruan adalah suatu sistem
komputasi yang disusun dengan meniru proses alamiah yang terjadi dalam jaringan
syaraf biologis pada otak manusia. Seperti halnya otak manusia, jaringan syaraf tiruan
juga terdiri dari beberapa neuron dan ada hubungan antara neuron-neuron tersebut.
Neuron-neuron tersebut akan mentransformasikan input yang diterima melalui
sambungan keluarnya menuju ke neuron-neuron lainnya. Pada jaringan syaraf tiruan,
hubungan ini dikenal dengan nama bobot (weight). Input tersebut disimpan pada
suatu nilai tertentu pada bobot tersebut. Gambar dibawah ini menunjukkan jaringan
Gambar 1.2 Jaringan syaraf sederhana
Sebenarnya cara kerja neuron buatan ini sama saja dengan neuron biologis.
Suatu neuron pada umumnya memiliki n buah input yang dinyatakan dengan
bilangan-bilangan real x1,x2,⋅ ⋅⋅,xn, dan sebuah output y1. Masing-masing input
memiliki bobot yang dinyatakan dengan bilangan real w11,w21,⋅ ⋅⋅,wn1. Input-input
tersebut akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan
nilai-nilai semua bobot yang masuk. Hasil penjumlahan tersebut akan dibandingkan
dengan suatu nilai ambang tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron sehingga
mencapai sebuah output y. Pada jaringan syaraf neuron-neuron akan dikumpulkan
dalam lapisan-lapisan (layer) yang sering disebut dengan lapisan neuron (neuron
layers). Biasanya neuron-neuron pada satu lapisan akan dihubungkan dengan
lapisan-lapisan sebelum dan sesudahnya (kecuali lapisan-lapisan input dan lapisan-lapisan output). Input
yang dimasukkan pada jaringan syaraf akan dirambatkan mulai dari lapisan input
sampai ke lapisan output melalui lapisan yang lainnya, yang sering dikenal dengan
Gambar 1.3 Jaringan syaraf tiruan dengan lapisan tersembunyi
Jaringan syaraf dan logika kabur merupakan dua teknologi yang
komplementer. Jaringan syaraf dapat mengenali pola masukan yang diterimanya dan
dengan proses pembelajaran dapat menyesuaikan diri dengan masukan itu. Proses
pembelajaran pada suatu jaringan syaraf adalah proses penyesuaian diri jaringan itu
secara bertahap terhadap masukan yang diterimanya sampai akhirnya menghasilkan
keluaran yang diinginkan. Akan tetapi, memahami proses pembelajaran jaringan
syaraf cukup sulit karena sulit untuk menjelaskan makna setiap neuron dan setiap
bobot yang terkait. Sebaliknya, model berbasis aturan kabur mudah untuk dipahami
karena menggunakan istilah-istilah linguistik dan struktur aturan jika-maka. Akan
tetapi, tidak seperti jaringan syaraf, logika kabur tidak mengenal algoritma
pembelajaran. Penggabungan kedua teknologi tersebut menghasilkan istilah baru,
menggunakan kombinasi logika kabur dan jaringan syaraf. Sistem jaringan syaraf
kabur dirancang untuk merealisasikan proses logika kabur, dimana bobot-bobot yang
terhubung pada jaringan tersebut berhubungan dengan parameter-parameter logika
kabur. Dengan menggunakan algoritma pembelajaran rambatan balik, sistem jaringan
syaraf kabur dapat mengidentifikasi aturan-aturan kabur dan melatih fungsi
keanggotaan dari logika kabur tersebut. Sistem jaringan syaraf kabur dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu:
1. Model berbasis aturan kabur yang dibangun dengan menggunakan teknik
pembelajaran jaringan syaraf terbimbing.
2. Model berbasis aturan kabur yang menggunakan jaringan syaraf untuk
membangun partisi kabur dari ruang masukannya.
Yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sistem jaringan syaraf kabur kategori
pertama.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana bentuk model sistem jaringan syaraf kabur?
2. Bagaimana mengimplementasikan pembelajaran rambatan balik pada
C. Pembatasan Masalah
Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang sistem jaringan syaraf kabur
yang merupakan interpretasi pembelajaran jaringan syaraf buatan dengan (pada)
model kabur. Pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran rambatan balik, dan
model kabur yang digunakan adalah model kabur Takagi Sugeno Kang (TSK).
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana bentuk model sistem jaringan syaraf kabur
2. Mengetahui implementasi pembelajaran rambatan balik pada model kabur
E. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah dapat mengetahui dan memahami
bagaimana bentuk model sistem jaringan syaraf kabur serta mengetahui implementasi
F. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
studi pustaka, yaitu dengan membaca dan mempelajari materi dari buku-buku acuan
yang berkaitan dengan topik skripsi.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
B. Perumusan masalah
C. Pembatasan masalah
D. Tujuan penulisan
E. Manfaat penulisan
F. Metode penulisan
G. Sistematika penulisan
BAB II : LOGIKA KABUR DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
1. Himpunan Kabur
2. Fungsi Keanggotaan
3. Operasi Baku Pada Himpunan Kabur
4. Perampatan Operasi Baku Pada Himpunan
Kabur
5. Relasi Kabur
6. Variabel Linguistik
7. Proposisi Kabur
8. Implikasi Kabur
9. Prinsip Perluasan
10. Model Kabur Takagi Sugeno Kang
11. Generalisasi Modus Ponens
12. Sistem Kendali Kabur
B. Dekomposisi Nilai Singular (DNS)
C. Jaringan Syaraf Tiruan
2. Arsitektur Jaringan Syaraf
3. Proses Pembelajaran
4. Fungsi Aktivasi
5. Model Rambatan Balik (Backpropagation)
BAB III : SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR
A. Jaringan Syaraf dan Logika Kabur
B. Model Kabur dengan Pembelajaran Jaringan Syaraf
Terbimbing
1. Arsitektur Jaringan Syaraf Kabur
2. Pembelajaran Rambatan Balik Pada Model
Kabur
C. Contoh Model Jaringan Syaraf Kabur
BAB II
LOGIKA KABUR, DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
A. Logika Kabur 1. Himpunan Kabur
Andaikan A adalah suatu himpunan tegas dalam semesta pembicaraan U,
maka A dapat didefinisikan dengan mendaftarkan semua anggotanya atau dengan
mendefinisikan kaidah yang harus dipenuhi oleh anggota dari himpunan tersebut. Jika
suatu objek x adalah anggota himpunan A, maka ditulis x∈A, dan jika x bukan
anggota A ditulis x∉A. Ada tiga metode untuk mendefinisikan suatu himpunan
dalam suatu semesta pembicaraan U, yaitu:
a. Metode pendaftaran, yaitu metode yang mendefinisikan suatu himpunan dengan
menyebut semua anggotanya. Metode ini digunakan hanya untuk
himpunan-himpunan berhingga. Himpunan A yang anggotanya a1,a2,...,an, ditulis:
A = (a1,a2,...,an)
b. Metode kaidah, yaitu metode yang mendefinisikan suatu himpunan dengan
menyebutkan syarat keanggotaannya. Dalam metode kaidah, himpunan A
=
A {x∈U |p(x)}
di mana p(x)menyatakan bahwa “x mempunyai sifat p”
c. Metode fungsi keanggotaan (fungsi karakteristik), yaitu metode yang
mendefinisikan suatu himpunan dengan sebuah fungsi yang disebut fungsi
karakteristik, untuk menyatakan bahwa anggota-anggota himpunan semesta U
adalah anggota himpunan itu atau bukan. Himpunan A didefinisikan dengan
fungsi karakteristik χA:U →{0,1}, sedemikian hingga:
=
0 1 ) (x A
χ
untuk untuk
A x
A x
∉ ∈
Contoh 2.1 Andaikan U = {1, 2, , 11}. Didefinisikan himpunan A yang
anggota-anggotanya adalah bilangan-bilangan genap dalam himpunan semesta U. Maka
berdasarkan tiga metode di atas, himpunan A dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. A= {2, 4, 6, 8, 10}
2. A={x∈U|x bilangan genap}
3.
=
0 1 ) (x A
χ
jika jika
x x
ganjil bilangan
Fungsi karakteristik dari himpunan tegas menentukan dengan pasti nilai 0 atau
1 untuk setiap anggota U. Fungsi ini dapat diperumum sedemikian sehingga
nilai-nilai yang ditentukan untuk tiap anggota dari himpunan semesta berada dalam
interval tertutup [0,1] dan menunjukkan derajat keanggotaan dari anggota tersebut.
Nilai-nilai yang lebih besar menunjukkan derajat keanggotaan yang lebih tinggi.
Fungsi yang demikian disebut fungsi keanggotaan dan himpunan yang didefinisikan
berdasarkan fungsi tersebut disebut himpunan kabur.
Definisi 2.1 Suatu himpunan kabur A~ dalam semesta U adalah himpunan yang
dilengkapi dengan fungsi keanggotaan µA~ yang nilainya berada dalam interval [0,1],
yaitu:
] 1 , 0 [ :
~ U → A
µ
Nilai ~(x)
A
µ disebut derajat keanggotaan dari x dalam himpunan kabur A~.
Secara matematis suatu himpunan kaburA~dalam himpunan semesta U dapat
dinyatakan sebagai himpunan pasangan terurut:
} |
)) ( , {( ~
~ x x U
x
A= µA ∈
Apabila semesta U adalah himpunan yang kontinu, maka himpunan kabur A~
x A
U x
A /
~
~
∫
∈= µ
di mana lambang
∫
di sini bukan lambang integral seperti yang dikenal dalamkalkulus, tetapi melambangkan keseluruhan unsur-unsur x∈Udengan derajat
keanggotaan ~(x)
A
µ .
Apabila semesta U adalah himpunan yang diskret, maka himpunan kabur A~
seringkali dinyatakan dengan
x x A
U x
A( )/
~
~
∑
∈
= µ
di mana lambang
∑
di sini bukan lambang penjumlahan, tetapi melambangkankeseluruhan unsur-unsur x∈Udengan derajat keanggotaan ~(x)
A
µ .
Angggota-anggota dari suatu himpunan kaburA~ yang mempunyai derajat
keanggotaan sama dengan 0, yaitu ~(x)=0
A
µ , seringkali tidak ditulis.
Contoh 2.2 Misalkan dalam himpunan semesta semua bilangan real ℝ, A~ adalah
himpunan “bilangan real yang dekat dengan nol”, maka himpunan kabur A~ dapat
x e A x x / ~ R 2
∫
∈ − =Contoh 2.3 Dalam himpunan semesta U ={-5, -4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5},
himpunan kabur A~ dalam Contoh 2.2 di atas dapat dinyatakan sebagai
4 / 1 . 0 3 / 3 . 0 2 / 5 . 0 1 / 7 . 0 0 / 1 1 / 7 . 0 2 / 5 . 0 3 / 3 . 0 4 / 1 . 0 / ) ( ~ ~ = − + − + − + − + + + + + =
∑
∈ x x A U x A µBilangan 5 dan -5 mempunyai derajat keanggotaan 0, sehingga tidak ditulis dalam
penyajian himpunan kabur diskret tersebut.
Berikut akan dibahas beberapa konsep dasar dan istilah-istilah yang
berhubungan dengan himpunan kabur. MisalkanA~ adalah himpunan kabur dalam
himpunan semesta U.
Definisi 2.2 Pendukung (support) dari himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas
) ~ (A
P yang memuat semua anggota semesta dengan derajat keanggotaan taknol
dalam A~, yaitu
} 0 ) ( | { ) ~
(A = x∈U ~ x >
P µA .
Dari Contoh 2.3 di atas, P(A~)={-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4}
Definisi 2.4 Himpunan kabur elemen tunggal adalah himpunan kabur yang
pendukungnya adalah himpunan tegas dengan elemen tunggal (singleton).
Definisi 2.5 Tinggi (height) dari himpunan kaburA~ adalah derajat keanggotaan
terbesar yang dicapai oleh anggota-anggota U, yaitu
)} ( { sup ) ~
(A ~ x
Tinggi A
U x
µ
∈
= .
Dari Contoh 2.3 di atas, Tinggi(A~)=1.
Definisi 2.6 Himpunan kabur A~ yang memiliki tinggi sama dengan 1 disebut
himpunan kabur normal.
Definisi 2.7 Himpunan kabur A~ yang memiliki tinggi kurang dari 1 disebut
himpunan kabur subnormal.
Definisi 2.8 Titik silang (crossover point) dari himpunan kabur A~ adalah anggota U
yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 0.5 dalam himpunan kabur A~.
Dalam Contoh 2.3 di atas, titik 2 dan -2 adalah titik silang dari himpunan kabur A~.
Definisi 2.9 Teras (core) dari himpunan kabur A~ adalah himpunan semua anggota U
} 1 ) ( | { ) ~
(A = x∈U ~ x =
Teras µA .
Definisi 2.10 Pusat (center) dari himpunan kabur A~ didefinisikan sebagai berikut: jika nilai rata-rata dari semua titik di mana fungsi keanggotaan himpunan kabur itu
mencapai nilai maksimum adalah berhingga, maka pusat himpunan kabur itu adalah
nilai rata-rata tersebut; jika nilai rata-rata itu takhingga positif (negatif), maka pusat
himpunan kabur itu adalah yang terkecil (terbesar) di antara semua titik yang
mencapai nilai fungsi keanggotaan maksimum.
Definisi 2.11 Potongan-α (α-cut) dari himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas
α
A yang terdiri dari semua anggota U yang mempunyai derajat keanggotaan dalam
A~ lebih besar dari atau sama dengan α, yaitu:
} ) ( |
{ µ~ α
α = x∈U x ≥
A A .
Definisi 2.12 Potongan-αkuat dari himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas Aα′
yang terdiri dari semua anggota U yang mempunyai derajat keanggotaan dalam A~
lebih besar dari α , yaitu:
} ) ( |
{ µ~ α
α′ = x∈U x >
A A .
Dari Contoh 2.3 di atas, potongan-
α
dari A~ dengan α = 0.5 adalah A0.5 ={-2, -1, 0,Definisi 2.13 Dua buah himpunan kabur A~ dan B~ dalam himpunan semesta U
dikatakan sama, dilambangkan dengan A~=B~, bila dan hanya bila
) ( )
( ~
~ x x
B
A µ
µ = , ∀x∈U.
Definisi 2.14 Himpunan kabur A~ dikatakan himpunan bagian darihimpunan kabur
B~, dilambangkan dengan A~⊆B~, bila dan hanya bila
) ( )
( ~
~ x x
B
A µ
µ ≤ , ∀x∈U .
Contoh 2.4 Jika A~ = 0.2/-3 + 0.3/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.7/1 + 0.3/2 + 0.2/3 dan B~ =
0.3/-3 + 0.4/-2 + 0.8/-1 + 1/0 + 0.8/1 + 0.4/2 + 0.3/3, maka A~⊆B~.
Definisi 2.15 Himpunan kosong φ dapat dipandang sebagai himpunan kabur dengan
fungsi keanggotaan sama dengan 0, yaitu µφ(x)=0 untuk setiap x∈U. Himpunan
semesta U dapat dipandang sebagai himpunan kabur dengan fungsi keanggotaan
sama dengan 1, yaitu µu(x)=1 untuk setiap x∈U.
2. Fungsi Keanggotaan
Setiap himpunan kabur dapat dinyatakan dengan fungsi keanggotaan.
Beberapa fungsi keanggotaan himpunan kabur yang dinyatakan dalam bentuk suatu
a. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan segitiga
jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu a,b,c∈ℝ dengan a<b<c, dan
dinyatakan dengan Segitiga(x;a,b,c) dengan kaidah:
− − − − = 0 ) , , ; ( b c x c a b a x c b a x Segitiga
Fungsi keanggotaan ini dapat juga dinyatakan dengan formula sebagai berikut:
− − − −
=max min , ,0
[image:35.612.97.518.177.597.2]) , , ; ( b c x c a b a x c b a x Segitiga
Gambar 2.1 Grafik fungsi keanggotaan segitiga
b. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan trapesium
jika mempunyai empat buah parameter, yaitu a,b,c,d∈ℝ dengan a<b<c<d,
dan dinyatakan dengan Trapesium(x;a,b,c,d) dengan kaidah:
untuk a≤x≤b
untuk b≤x≤c
− − −− = 0 1 ) , , , ; ( c d x d a b a x d c b a x Trapesium
Fungsi keanggotaan ini dapat juga dinyatakan dengan formula sebagai berikut:
− − − −
=max min ,1, ,0
[image:36.612.96.524.101.612.2]) , , , ; ( c d x d a b a x d c b a x Trapesium
Gambar 2.2 Grafik fungsi keanggotaan trapesium
c. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan Gauss
jika mempunyai dua buah parameter, yaitu a,b∈ℝ, dinyatakan dengan
) , ; (x a b
Gauss dan memenuhi:
2 ) , ; ( − − = b a x e b a x Gauss
untuk a≤ x≤b
untuk b≤x≤c
untuk c≤x≤d
Gambar 2.3 Grafik fungsi keanggotaan Gauss
di mana x=a adalah pusat dan b menentukan lebar dari fungsi keanggotaan
Gauss.
d. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan Cauchy
jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu a,b,c∈ℝ, dinyatakan dengan
) , , ;
(x a b c
Cauchy dan memenuhi:
b
a c x c
b a x
Cauchy 2
1 1 )
, , ; (
− +
=
di mana x=c adalah pusat, a menentukan lebar, dan b menentukan kemiringan
Gambar 2.4 Grafik fungsi keanggotaan Cauchy
e. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan Sigmoid
jika mempunyai dua buah parameter, yaitu a,c∈ℝ, dinyatakan dengan
) , ; (x a c
Sigmoid dan memenuhi:
) (
1 1 )
, ;
( a x c
e c
a x
Sigmoid − −
+ =
di mana a menentukan kemiringan fungsi keanggotaan sigmoid di titik silang
c
x= . Untuk a>0 fungsi keanggotaan Sigmoid terbuka ke kanan, dan
Gambar 2.5 Grafik fungsi keanggotaan Sigmoid yang terbuka ke kanan (gambar kiri) dan yang terbuka ke kiri (gambar kanan)
3. Operasi Baku pada Himpunan Kabur
Operasi baku pada himpunan kabur yang akan didefinisikan adalah operasi uner
“komplemen” dan operasi-operasi biner “gabungan” dan “irisan”. Komplemen dari
suatu himpunan kabur A~ adalah himpunan kabur A~′ dengan fungsi keanggotaan
) ( 1 )
( ~
~ x x
A
A µ
µ ′ = −
untuk setiap x∈ X. Gabungan dua buah himpunan kabur A~ dan B~ adalah himpunan
kabur A~∪B~ dengan fungsi keanggotaan
=
∪~( )
~ x
B A
µ max { ~(x), ~(x)}
B
A µ
µ
untuk setiap x∈X. Sedangkan irisan dua buah himpunan kabur A~ dan B~ adalah
=
∩~( )
~ x
B A
µ min { ~(x), ~(x)}
B
A µ
µ
untuk setiap x∈X.
Teorema 2.1 (Teorema Dekomposisi)
Jika Aα adalah potongan-α dari himpunan kabur A~ dalam himpunan semesta U dan
α
A~ adalah himpunan kabur dalam U dengan fungsi keanggotaan ~ A (x)
Aα αχ α
µ =
untuk setiap x∈U, di mana χAα adalah fungsi karakteristik dari himpunan Aα,
maka
] 1 , 0 [ ~ ~ ∈ = a A
A α .
Bukti: Ambil sebarang x∈U dan misalkan µA~(x)=r. Untuk setiap α∈[0,r],
α
µA~(x)=r≥ , berarti x∈Aα, sehingga µ α
α( )=
~ x
A . Untuk setiap α∈(r,1],
α
µA~(x)=r< , berarti x∉Aα, sehingga ~ (x)=0 Aα
µ . Maka
] 1 , 0 [ ~ ∈ α α
µ A = sup ~ ( )
untuk setiap x∈U. Jadi
] 1 , 0 [
~ ~
∈
=
a A
A α . ■
4. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur
Di atas telah dibahas definisi operasi-operasi baku komplemen, gabungan dan
irisan untuk himpunan-himpunan kabur. Definisi-definisi tersebut dapat dirampatkan
sedemikian sehingga definisi operasi-operasi baku tersebut merupakan kejadian
khususnya. Perampatan tersebut akan didefinisikan secara aksiomatis, kemudian akan
diperlihatkan macam-macam operasi yang memenuhi aksioma-aksioma tersebut.
a. Operasi Komplemen
Definisi 2.17 Suatu pemetaan k:[0,1]→[0,1] disebut komplemen kabur jika
memenuhi aksioma-aksioma berikut:
K1. k(0)=1dan k(1)=0 (syarat batas)
K2. Jika x< y, maka k(x)≥k(y) untuk semua x,y∈[0,1] (syarat taknaik)
Suatu kelas pemetaan yang merupakan komplemen kabur adalah kelas Sugeno yang
didefinisikan sebagai berikut:
x x x
k
λ
λ +
− =
dengan parameter λ∈(−1,∞). Untuk λ=0, diperoleh operasi komplemen baku,
yaitu k0(x)=1−x, di mana x adalah derajat keanggotaan suatu elemen dalam suatu
himpunan kabur A~ dan k0(x) adalah derajat keanggotaan elemen tersebut dalam
himpunan kabur A~′. Kelas pemetaan lain yang merupakan komplemen kabur adalah
kelas Yager yang didefinisikan sebagai berikut:
w w
w x x
k ( )=(1− )1/
dengan parameter w∈(0,∞). Untuk w=1 diperoleh operasi komplemen baku, yaitu
x x
k1( )=1− .
b. Operasi Gabungan
Definisi 2.18 Suatu pemetaan s:[0,1]×[0,1]→[0,1] disebut gabungan kabur (
norma-s) jika memenuhi aksioma-aksioma berikut:
S1. s(0,x)=s(x,0)=x dan s(1,1)=1 (syarat batas)
S2. s(x,y)=s(y,x) (syarat komutatif)
S3. Jika x≤x′ dan y≤y′, maka s(x,y)≤s(x′,y′), ∀x,y∈[0,1] (syarat takturun)
Contoh-contoh norma-s:
a) Jumlah aljabar: sja(x,y)=x+y−xy
b) Jumlah Einstein:
xy y x y x sje
+ + =
1 ) , (
c) Jumlah drastis:
=
1 ) ,
( y
x
y x sjd
lainnya 0 0
jika jika jika
= =
x y
c. Operasi Irisan
Definisi 2.19 Suatu pemetaan t:[0,1]×[0,1]→[0,1] disebut irisan kabur (norma-t)
jika memenuhi aksioma-aksioma berikut:
T1. t(x,1)=t(1,x)=x dan t(0,0)=0 (syarat batas)
T2. t(x,y)=t(y,x) (syarat komutatif)
T3. Jika x≤x′ dan y≤y′, maka t(x,y)≤t(x′,y′), ∀x,y∈[0,1] (syarat takturun)
T4. t(t(x,y),z)=t(x,t(y,z)) (syarat asosiatif)
Contoh-contoh norma-t:
b) Darab Einstein:
) (
2 ) , (
xy y x
xy y
x tde
− + − =
c) Darab drastis:
=
0 ) ,
( y
x
y x tdd
lainnya 1 1
jika jika jika
= =
x y
5. Relasi Kabur
Definisi 2.15 Relasi kabur (biner) R~ antara elemen-elemen dalam himpunan U
dengan elemen-elemen dalam himpunan V didefinisikan sebagai himpunan kabur
dengan semesta U×V, yaitu himpunan kabur
} )
, ( | )) , ( ), , {(( ~
~ u v u v U V v
u
R= µR ∈ ×
Relasi kabur R~ itu juga disebut relasi kabur pada himpunan semesta U×V. Jika
V
U = , maka R~ disebut relasi kabur pada himpunan U.
Contoh 2.5 Misalnya U = {20, 45, 106}, V = {35, 58, 210} dan R~ adalah relasi
kabur “jauh lebih kecil” antara elemen-elemen dalam U dengan elemen-elemen
dalam V. Maka relasi R~ dapat disajikan sebagai R~ = 0.1/(20,35) + 0.3/(20,58) +
6. Variabel Linguistik
Definisi 2.16 Suatu variabel linguistik adalah suatu rangkap-5 (x, T, U, G, M) di
mana x adalah lambang variabelnya, T adalah himpunan nilai-nilai linguistik yang
dapat menggantikan x, U adalah semesta wacana (numeris) dari nilai-nilai linguistik
dalam T (jadi juga dari variabel x), G adalah himpunan kaidah-kaidah sintaksis yang
mengatur pembentukan istilah-istilah anggota T, dan M adalah himpunan
kaidah-kaidah semantik yang mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan
kabur dalam semesta U.
Contoh 2.6 Bila variabel linguistiknya adalah “kecepatan”, maka himpunan
nilai-nilai linguistik dapat diambil himpunan istilah-istilah T = {cepat, sangat cepat, agak
cepat, tidak cepat, lambat, sangat lambat, agak lambat, tidak lambat} dengan semesta
U = [0,100], kaidah sintaksis mengatur pembentukan istilah-istilah dalam T dan
kaidah semantik mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan kabur
dalam semesta U.
7. Proposisi Kabur
Definisi 2.17 Proposisi kabur adalah kalimat yang memuat predikat kabur, yaitu predikat yang dapat direpresentasikan dengan suatu himpunan kabur.
Proposisi kabur yang mempunyai nilai kebenaran tertentu disebut pernyataan
real dalam selang [0,1]. Nilai kebenaran itu disebut juga derajat kebenaran dari
pernyataan kabur itu.
Bentuk umum dari suatu proposisi kabur adalah
x adalah A
di mana x adalah suatu variabel linguistik dan predikat A adalah suatu nilai linguistik
dari x.
Bila A~ adalah himpunan kabur yang dikaitkan dengan nilai linguistik A dan
0
x adalah suatu elemen tertentu dalam semesta U dari himpunan kabur A~, maka x0
mempunyai derajat keanggotaan µA~(x0) dalam himpunan kabur A
~ .
Derajat kebenaran dari pernyataan kabur
0
x adalah A~
didefinisikan sama dengan derajat keanggotaan x0 dalam himpunan kabur A~, yaitu
) ( 0 ~ x A
µ .
8. Implikasi Kabur
Jika u adalah A, maka v adalah B
di mana A dan B adalah predikat-predikat kabur yang dikaitkan dengan
himpunan-himpunan kabur A~ dan B~ dalam semesta U dan V berturut-turut. Implikasi kabur
dilambangkan dengan →.
Implikasi tegas p→q ekuivalen dengan ¬p∨q. Berdasarkan ekuivalensi
tersebut, implikasi kabur dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam
V
U× dengan fungsi keanggotaan
)) ( ( )), ( ( ( ) ,
(u v s k ~ u ~ v
B
A µ
µ
µ→ =
di mana s adalah suatu norma-s dan k adalah suatu komplemen kabur.
Implikasi Dienes-Rescher diperoleh apabila diambil operasi-operasi
gabungan sebagai norma-s dan operasi komplemen baku sebagai komplemen kabur
dengan fungsi keanggotaan
)) ( ), ( 1 max( )
,
(u v ~ u ~ v
B A
dr µ µ
µ→ = − .
Karena implikasi tegas p→q juga ekuivalen dengan (p∧q)∨¬p, maka
implikasi kabur juga dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam U×V
dengan fungsi keanggotaan
))) ( ( )), ( ), ( ( ( ) ,
(u v s t ~ u ~ v k ~ u
A B
A µ µ
µ
di mana s adalah suatu norma-s, t adalah suatu norma-t, dan k adalah suatu
komplemen kabur.
Implikasi Zadeh diperoleh apabila diambil operasi-operasi gabungan, irisan,
dan komplemen baku sebagai norma-s, norma-t, dan komplemen kabur dengan fungsi
keanggotaan
)) ( 1 )), ( ), ( max(min( )
,
(u v ~ u ~ v ~ u
A B
A
z µ µ µ
µ→ = − .
Implikasi Mamdani merupakan salah satu bentuk implikasi kabur yang
digunakan dalam aplikasi sistem kabur. Implikasi ini didasarkan pada asumsi bahwa
implikasi kabur pada dasarnya bersifat lokal, dalam arti bahwa implikasi
Jika u adalah A, maka v adalah B
hanya berbicara mengenai keadaan dimana u adalah A dan v adalah B saja, dan tidak
mengenai keadaan lainnya diluar itu. Berdasarkan asumsi tersebut, implikasi kabur
dapat dipandang sebagai suatu konjungsi kabur, sehingga diperoleh
)) ( ), ( ( ) ,
(u v t ~ u ~ v
B
A µ
µ
µ→ =
yang disebut implikasi Mamdani. Apabila diambil operasi baku “min” sebagai
norma-t, maka diperoleh
)) ( ), ( min( )
,
(u v ~ u ~ v
B A
mm µ µ
dan bila operasi “darab aljabar” diambil sebagai norma-t, maka diperoleh ) ( ) ( ) ,
(u v ~ u ~ v
B A
md µ µ
µ→ = .
Contoh 2.7
Misalkan diketahui semesta U = {1, 2, 3, 4} dan V = {60, 70, 80}, dan implikasi
kabur
Jika u banyak, maka v lambat
di mana predikat “banyak” dan “lambat” berturut-turut dikaitkan dengan himpunan
kabur . 80 / 1 70 / 7 . 0 60 / 4 . 0 ~ 4 / 8 . 0 3 / 6 . 0 2 / 4 . 0 1 / 2 . 0 ~ + + = + + + = B A dan
Maka jika digunakan implikasi Dienes-Rescher, diperoleh
) 60 , 3 /( 4 . 0 ) 80 , 2 /( 1 ) 70 , 2 /( 7 . 0 ) 60 , 2 /( 6 . 0 ) 80 , 1 /( 1 ) 70 , 1 /( 8 . 0 ) 60 , 1 /( 8 .
0 + + + + + +
=
→dr
+0.7/(3,70)+1/(3,80)+0.4/(4,60)+0.7/(4,70)+1/(4,80)
Jika digunakan implikasi Zadeh, maka diperoleh
) 60 , 3 /( 4 . 0 ) 80 , 2 / 6 . 0 ) 70 , 2 /( 6 . 0 ) 60 , 2 /( 6 . 0 ) 80 , 1 /( 8 . 0 ) 70 , 1 /( 8 . 0 ) 60 , 1 /( 8 .
0 + + + + + +
=
→z
Jika digunakan implikasi Mamdani, maka diperoleh ) 80 , 2 /( 4 . 0 ) 70 , 2 /( 4 . 0 ) 60 , 2 /( 4 . 0 ) 80 , 1 /( 2 . 0 ) 70 , 1 /( 2 . 0 ) 60 , 1 /( 2 .
0 + + + + +
= →mm ) 80 , 4 /( 8 . 0 ) 70 , 4 /( 7 . 0 ) 60 , 4 /( 4 . 0 ) 80 , 3 /( 6 . 0 ) 70 , 3 /( 6 . 0 ) 60 , 3 /( 4 .
0 + + + + +
+ atau ) 80 , 2 /( 4 . 0 ) 70 , 2 /( 28 . 0 ) 60 , 2 /( 16 . 0 ) 80 , 1 /( 2 . 0 ) 70 , 1 /( 14 . 0 ) 60 , 1 /( 08 .
0 + + + + +
= →md ). 80 , 4 /( 8 . 0 ) 70 , 4 /( 56 . 0 ) 60 , 4 /( 32 . 0 ) 80 , 3 /( 6 . 0 ) 70 , 3 /( 42 . 0 ) 60 , 3 /( 24 .
0 + + + + +
+
9. Model Kabur Takagi, Sugeno, dan Kang
Model kabur Takagi, Sugeno dan Kang (TSK) dikenal sebagai model kabur
pertama yang dikembangkan untuk menghasilkan kaidah kabur dari himpunan data
masukan-keluaran yang diberikan. Sebuah kaidah kabur yang khas dalam model
tersebut memiliki bentuk sebagai berikut:
Jika x adalah A dan y adalah B, maka z=ax+by+c
di mana a, b, c merupakan konstanta numerik. Secara umum, kaidah dalam model
TSK memiliki bentuk:
di mana A dan B merupakan himpunan kabur dalam anteseden, dan z= f(x,y)
merupakan fungsi tegas dalam konsekuen serta z = f(x,y) merupakan fungsi
polinomial dalam variabel masukan x dan y. Jika f(x,y) adalah fungsi polinomial
ordo satu, hasil sistem inferensi kabur disebut model kabur Takagi Sugeno Kang ordo
satu. Jika f merupakan konstanta, maka disebut model kabur Takagi Sugeno Kang
ordo nol, yang mana merupakan kasus khusus dalam implikasi Mamdani.
10. Modus Ponens Rampat
Untuk melakukan pengambilan keputusan atau penalaran kabur diperlukan
seperangkat implikasi kabur atau suatu fakta yang diketahui (premis). Dalam logika
klasik, pengambilan keputusan didasarkan pada tautologi-tautologi, yaitu
proposisi yang selalu benar, tanpa tergantung pada nilai kebenaran
proposisi-proposisi penyusunnya. Salah satu kaidah pengambilan keputusan yang paling sering
digunakan adalah modus ponens, yang didasarkan pada tautologi:
q p q
p→ )∧ )→
(( .
Bentuk umum penalaran modus ponens adalah sebagai berikut:
1. Bila u adalah A, maka v adalah B (Premis 1 / Kaidah)
2. u adalah A (Premis 2 / Fakta)
Kaidah penalaran tegas dapat dirampatkan menjadi kaidah kabur dengan
premis dan kesimpulannya adalah proposisi-proposisi kabur. Secara umum dapat
dirumuskan dengan skema sebagai berikut:
Premis 1 (kaidah) : Bila u adalah A, maka v adalah B
Premis 2 (fakta) : u adalah A′
Kesimpulan : v adalah B′
Penalaran kabur dengan skema seperti di atas disebut modus ponens rampat.
Berikut ini akan dibahas suatu aturan penarikan kesimpulan yang disebut “kaidah
inferensi komposisional” (compositional rule of inference). Sebelumnya akan dibahas
latar belakang kaidah tersebut dalam kasus pemetaan bernilai selang.
Misalkan diketahui suatu pemetaan kontinu f :U →V dengan U =V =ℝ.
Jika diberikan suatu elemen a∈U, maka akan diperoleh nilai pemetaan f di a, yaitu
V a f
b= ( )∈ . Jika f adalah suatu pemetaan yang bernilai selang, dan diberikan suatu
selang [a,b] di U, maka akan diperoleh nilai pemetaan f di [a,b] yaitu selang
] , [ ]) ,
([a b c d
f = di V. Untuk menggambarkan bagaimana memperoleh selang [c,d]
tersebut, pertama-tama yang dilakukan adalah membuat perluasan silindris dari
selang [a,b] ke bidang U×V , kemudian ditentukan irisan I dari perluasan silindris itu
dengan kurva dari pemetaan f, dan akhirnya irisan I diproyeksikan ke V untuk
Gambar 2.6 Nilai pemetaan f di [a,b], yaitu f([a,b])=[c,d]
Proses di atas dapat dirampatkan lebih lanjut lagi. Misalkan terdapat sebuah
relasi kabur R~ dalam semesta U×V dan himpunan kabur A~ dalam U. Bila
ditentukan perluasan silindris dari A~ ke U×V, namakan APS
~
, dan irisan perluasan
silindris tersebut dengan R~, yaitu APS R
~
~ ∩
, kemudian irisan tersebut diproyeksikan
ke V, maka akan diperoleh himpunan kabur B~ di V. Karena APS
~
adalah perluasan
silindris dari A~ ke U×V , maka
) ( ) ,
( ~
~ u v u
A
APS µ
µ =
sehingga
)) , ( ), , ( ( ) ,
( ~ ~
~
~ u v t u v u v
R A
R
APS µ PS µ
µ ∩ =
t( ~(u), ~(u,v))
R
A µ
di mana t adalah suatu norma-t. Kemudian, himpunan kabur B~ di V diperoleh sebagai
proyeksi irisan A~PS ∩R~ ke V, maka
) , ( sup
)
( ~ ~
~ v u v
R PS
A U u
B ∩
∈
= µ
µ
supt( ~(u), ~(u,v))
R A U u
µ µ
∈
=
Jika himpunan kabur A~ dipandang sebagai relasi dengan satu argumen, maka
komposisi relasi A~ di U dengan relasi R~ di U×V menghasilkan relasi majemuk
R
A~ ~ di V dengan fungsi keanggotaan
)) , ( ), ( ( sup )
( ~ ~
~
~ v t u u v
R A U u R
A µ µ
µ
∈
=
di mana t adalah suatu norma-t. Maka B~= A~R~, yaitu himpunan kabur B~ itu tidak
lain daripada relasi komposit A~R~. Karenanya prosedur untuk memperoleh
himpunan kabur B~ di V dari relasi R~ di U×V dan himpunan kabur A~ di U dengan
cara seperti di atas itu disebut kaidah inferensi komposisional. Kaidah inilah yang
dipakai untuk menarik kesimpulan dalam penalaran kabur.
Dalam modus ponens rampat kaidah tersebut diterapkan sebagai berikut:
Premis 1 : Bila u adalah A, maka v adalah B
(yang merupakan relasi/implikasi kabur → di U×V)
(yang dapat direpresentasikan dengan himpunan kabur A~′ dalam U)
Kesimpulan : v adalah B′
diperoleh dengan menentukan himpunan kabur B~′= A~′ dalam V
dengan fungsi keanggotaan ~(v) supt( ~(u), (u,v))
A U u
B ′ →
∈
′ = µ µ
µ ,
dimana t adalah suatu norma-t.
Bila A′ adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur A~′,
untuk norma-t misalnya diambil operasi baku “min”, dan untuk implikasi kabur
dipakai implikasi Mamdani →mm, maka kesimpulan “v adalah B′” di atas dapat
diperoleh dengan menentukan himpunan kabur B~′ dengan fungsi keanggotaan
))} ( ), ( min( ), ( min{ sup ) ( ~ ~ ~
~ v u u v
B A A
U u
B µ µ µ
µ ′ ∈ ′ = )} ( , min{ )} ( )), ( ), ( min( sup min{ )} ( ), ( ), ( min{ sup ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ v w v u u v u u B B A A U u B A A U u µ µ µ µ µ µ µ = = = ′ ∈ ′ ∈
di mana w supmin{ ~(u), ~(u)} sup(A~ A~)
U u A A U u ∩ ′ = = ∈ ′
∈ µ µ yang menyatakan
derajat
keserasian (degree of compatibility) antara predikat A′ dengan A. Jadi untuk
memperoleh himpunan kabur B~′ tersebut, pertama-tama ditentukan derajat
keserasian w, yaitu supremum dari irisan himpunan kabur A~′ dan A~, dan kemudian
[image:55.612.98.532.182.599.2]diperoleh B~′ sebagai irisan w dengan himpunan kabur B~, seperti terlihat dalam
Gambar 2.7 Penarikan kesimpulan dalam modus ponens rampat
Modus ponens rampat dapat digeneralisasikan menjadi modus ponens rampat
multikondisional, yang terdiri dari m buah premis kabur berupa kaidah, sebuah
premis kabur berupa fakta, dan sebuah kesimpulan. Skema umumnya adalah sebagai
berikut:
di mana Aij dan A′j adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur
ij
A~ dan Aj
~′
dalam semesta Uj, dan Bi adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan
himpunan kabur Bi
~
dalam semesta V (i = 1, ⋅⋅⋅,m; j = 1, ⋅⋅⋅,n). Masing-masing
premis tersebut dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur Ri
~
(i = 1, ⋅⋅⋅,m) dalam Premis 1 : Bila
u
1 adalahA
11dan⋅
⋅
⋅
danu
n adalahA
1n, maka v adalahB
1Premis 2 : Bila
u
1 adalahA
21dan⋅
⋅
⋅
danu
n adalahA
2n, maka v adalahB
2… …
Premis m : Bila
u
1 adalahA
m1dan⋅
⋅
⋅
danu
n adalahA
mn, maka v adalahB
m…
Fakta :
u
1 adalahA′
1dan⋅
⋅
⋅
danu
n adalahA
n′
V U
U1×⋅ ⋅⋅× n× dan faktanya sebagai himpunan kabur A′= A′×⋅ ⋅⋅×An′
~ ~
~
1 dalam
n U
U1×⋅ ⋅⋅× . Premis-premis Ri
~
tersebut biasanya diperlakukan secara disjungtif,
sehingga semua premis itu dapat digabung menjadi satu premis R~, yaitu ~ ~.
1
m i i R R = =Maka kesimpulan “v adalah B′” dapat diperoleh dengan kaidah inferensi
komposisional untuk menentukan himpunan kabur B~′= A~′R~ dalam semesta V
dengan fungsi keanggotaan (dengan mengambil operasi baku “min” untuk norma-t
dan “max” untuk gabungan kabur)
) (
~ v B′
µ ~ ~(v)
R A′
=µ ) ( } ~ ~ { max )} , , , ( ), , , ( min{ sup max )} , , , ( ), , , ( min{ max sup ))} , , , ( ( max ), , , ( min{ sup )} , , , ( ), , , ( min{ sup 1 1 1 ) ~ ~ ( } , , 1 { 1 ~ 1 ~ } , , 1 { 1 ~ 1 ~ } , , 1 { 1 ~ } , , 1 { 1 ~ 1 ~ 1 ~ ) , , ( v R A v u u u u v u u u u v u u u u v u u u u m i i i j j i j j i j j n n R A i m i n R n A U u m i n R n A m i U u n R m i n A U u n R n A U U u u = ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ∈ ′ × ⋅⋅ ⋅ × ∈ ⋅⋅ ⋅ = ′ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = µ µ µ µ µ µ µ µ µ
untuk setiap v∈V. Jadi ~ ~ ~ (~ ~) ~,
1
1 1
m i i m i m ii A R B
R A B = = = ′ = ′ ′ = ′ =
′ di mana B A Ri
~ ~ ~ ′ = ′ .
Jika untuk implikasi kabur Ri
~
tersebut diambil implikasi Mamdani →mm,
)}, ( ), , , ( min{ ) , , ,
( 1 ~ ~ 1 ~
~
1 u u v
v u u i in i
i n A A n B
R µ µ
µ ⋅ ⋅⋅ = ×⋅⋅⋅× ⋅ ⋅⋅
maka fungsi keanggotaan B~′ adalah
) ( ~ v B′ µ ( ) 1 ~ ~ v m i i R A = ′ =µ )} ( , min{ max )} ( )), ( ), ( ( min sup min min{ max ))} ( )), ( ( min )), ( ( min min{ sup max ))} ( ), , , ( min( ), , , ( min{ sup max ~ } , , 1 { ~ ~ ~ } , , 1 { } , , 1 { } , , 1 { ~ ~ } , , 1 { ~ } , , 1 { } , , 1 { ~ 1 ~ ~ 1 ~ ~ } , , 1
{ 1 1
v w v u u v u u v u u u u i i ij j j j i ij j j j i in i n j j B i m i B j A j A n j U u n j m i B j A n j j A n j U u m i B n A A n A A U u m i µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ × ⋅⋅ ⋅ × ′ ′ × ⋅⋅ ⋅ × ′ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ = = = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ =
di mana ij
n j i w w } , , 1 { min ⋅⋅ ⋅ ∈
= , dan sup min ( ~ ( ), ~ ( ))
} , , 1
{ n A j A j
j U u
ij u u
w ij j j j µ µ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈
= , i = 1, ,⋅⋅⋅ m.
) ~ ~ (
sup j ij
U u
ij A A
w j j ∩ ′ =
∈ merupakan
derajat keserasian (degree of compatibility)
antara fakta A′j
~
dari premis/kaidah Ri
~
, sedangkan wi yang merupakan minimum dari
semua wij untuk j = 1, ⋅⋅⋅, n seringkali disebut daya sulut (firing strength) yang
menyatakan sejauh mana anteseden dari kaidah Ri
~
dipenuhi oleh fakta A~′ yang
diberikan dan menyulut konsekuen dari kaidah tersebut. Dengan demikian
kesimpulan B~′ ditentukan dengan empat langkah sebagai berikut:
Langkah 1 : Tentukan derajat keserasian wij, yaitu supremum dari Aj Aij
~ ~′∩
untuk
Langkah 2 : Untuk setiap i, tentukan daya sulut wi sebagai minimum dari semua
derajat keserasian wij untuk j = 1, ,⋅⋅⋅ n.
Langkah 3 : Untuk setiap i, tentukan irisan wi dengan Bi
~ .
[image:59.612.101.519.162.612.2]Langkah 4 : Gabungkanlah semua irisan tersebut untuk memperoleh B~′.
Gambar 2.7 Melukiskan langkah-langkah tersebut untuk m = n = 2.
11. Sistem Kendali Kabur
Sistem kendali kabur berfungsi untuk mengendalikan proses tertentu dengan
mempergunakan kaidah inferensi kabur berdasarkan logika kabur. Pada dasarnya
sistem kendali semacam itu terdiri dari empat unit, yaitu:
a. Unit pengaburan (fuzzification unit)
b. Unit penalaran logika (fuzzy logic reasoning unit)
c. Unit basis pengetahuan (knowledge base unit), yang terdiri dari dua
bagian:
1. Basis data (data base), yang memuat fungsi-fungsi keanggotaan dari
himpunan-himpunan kabur yang terkait dengan nilai dari
variabel-variabel linguistik yang dipakai.
2. Basis kaidah (rule base), yang memuat kaidah-kaidah berupa
implikasi kabur.
d. Unit penegasan (defuzzification unit).
Suatu sistem kendali semacam itu mula-mula mengukur nilai-nilai tegas dari
semua variabel masukan yang terkait dalam proses yang akan dikendalikan.
sesuai. Hasil pengukuran yang telah dikaburkan kemudian diproses oleh unit
penalaran, yang dengan menggunakan unit basis pengetahuan, menghasilkan
himpunan kabur sebagai keluarannya. Langkah terakhir dikerjakan oleh unit
penegasan, yaitu menerjemahkan himpunan kabur keluaran itu ke dalam nilai yang
tegas. Nilai tegas inilah yang kemudian direalisasikan dalan bentuk suatu tindakan
yang dilaksanakan dalam proses pengendalian itu. Gambar 2.6 menunjukkan skema
[image:61.612.100.579.222.608.2]langkah-langkah tersebut.
Gambar 2.9 Struktur dasar sistem kendali kabur
B. Dekomposisi Nilai Singular (DNS)
Dekomposisi nilai singular (DNS) dari suatu matriks Am×n adalah faktorisasi
dari A menjadi hasil kali dari 3 buah matriks, yaitu =
∑
TV U
A , di mana mm
R
U∈ ×
dan n n
R
V∈ × adalah matriks-matriks orthogonal, dan
masukan (tegas)
unit basis pengetahuan
keluaran (tegas)
in
y
_
basis data
basis Kaidah
unit penalaran unit
pengaburan
(kabur) (kabur) unit
(
1, 2, ,)
R (p min{m,n})diag ⋅ ⋅⋅ p ∈ m n =
= ×
∑
σ σ σ adalah matriks diagonal dengan0
2
1 ≥σ ≥⋅ ⋅⋅≥σp ≥
σ . σi disebut nilai singular dari A dan merupakan akar-akar
positif dari nilai-nilai eigen dari ATA. Kolom-kolom dari U disebut vektor singular
kiri dari A (vektor eigen orthonormal dari T
AA ), sedangkan kolom-kolom dari V
disebut vektorsingular kanan dari A (vektor eigen orthonormal dari ATA).
Untuk mengilustrasikan prinsip dasar penggunaan DNS untuk seleksi kaidah
kabur akan digunakan model kabur dengan konsekuen konstanta sebagai contoh.
Model kabur tersebut adalah model Takagi Sugeno Kang (TSK) yang memiliki
bentuk sebagai berikut:
Jika x1 adalah Ai1 dan x2 adalah A dan i2 ⋅ ⋅⋅dan xm adalah Aim
maka y adalah ci , i = 1, 2, ⋅ ⋅⋅, M (2.1)
di mana ci adalah konstanta. Keluaran akhir dari model tersebut dihitung dengan
persamaan berikut:
∑
∑
= =
= M
i i M
i i i
w c w y
1 1
(2.2)
di mana wi adalah derajat kesesuaian (daya sulut) kaidah ke-i yang didefinisikan
dengan persamaan 2.3 atau 2.4
(
( ), ( ), , ( ))
min A1 1 A2 2 A m
i a a a
w
im i
i µ µ
µ ⋅ ⋅⋅
atau ) ( ) ( )
( 1 2 2
1 A A m
A
i a a a
w
im i
i µ µ
µ × ×⋅ ⋅⋅×
= (2.4)
Daya sulut kaidah ke-i yang dinormalisasikan adalah :
∑
= = M i i i i w w N 1 (2.5)Persamaan 2.2 dapat ditulis kembali menjadi
∑
= = M i i ic N y 1 (2.6)Persamaan tersebut dapat dipandang sebagai kasus khusus dari model regresi linear:
∑
= + = M i i i e p y 1θ (2.7)
dengan pi dan θi adalah
i i i
i N c
p ≡ ,θ ≡ (2.8)
di mana pi adalah regresor, θi adalah parameter, dan e adalah sinyal galat yang
diasumsikan tidak berkorelasi dengan regresor pi. Jika diberikan N pasang
masukan-keluaran {x(k),y(k)},k =1,2,⋅ ⋅⋅,N, di mana T
m k x k x k x k
x( )=[ 1( ), 2( ),⋅ ⋅⋅, ( )]
, maka
persamaan 2.7 dapat dinyatakan ke dalam bentuk matriks
e P
y= θ+ (2.9)
di mana [ (1), , ( )]T N,
R N
y y
y= ⋅ ⋅⋅ ∈
M N m R p p
P=[ 1,⋅ ⋅⋅, ]∈ ×
dengan [ (1), , ( )]T N,
i i
i p p N R
, ]
, , [ 1
M T
M ∈R
⋅⋅ ⋅
= θ θ
θ dan
. )]
( , ), 1 (
[ T N
R N
e e
e= ⋅ ⋅⋅ ∈
Masing-masing kolom P berkorespondensi dengan satu kaidah kabur dalam basis
kaidah. Matriks P disebut matriks daya sulut dan Pθ disebut prediktor dari y.
Dalam membangun sebuah model kabur, jumlah data pelatihan biasanya lebih besar
daripada jumlah kaidah kabur dalam basis kaidah. Maka dimensi baris matriks P
lebih besar daripada dimensi kolomnya, yaitu N >M .
Matriks daya sulut P bisa singular (atau mendekati singular) karena adanya
kaidah kabur yang kurang penting atau yang berlebihan dalam basis kaidah. Kaidah
kabur yang kurang penting berarti kontribusi kaidah-kaidah tersebut pada keluaran
akhir adalah kecil, dan kaidah kabur yang berlebihan berarti kontribusi kaidah-kaidah
tersebut dapat digantikan dengan kaidah-kaidah yang lain. Sebuah kaidah yang
kurang penting dapat muncul dalam basis kaidah jika daya sulut yang
dinormalisasikan dari kaidah tersebut adalah nol atau mendekati nol dalam
keseluruhan ruang masukan, sedangkan kaidah yang berlebihan dapat muncul dalam
basis kaidah jika daya sulut yang dinormalisasikan dari kaidah tersebut sama dengan
atau bergantung linear pada satu atau lebih kaidah-kaidah yang lain.
Secara matematis, singularitas dari sebuah matriks ditunjukkan oleh adanya
nilai singular nol atau mendekati nol dalam matriks. Jadi, kaidah kurang penting atau
kaidah berlebihan dalam basis kaidah dapat ditentukan dengan memeriksa nilai-nilai
∑
=
P T P
P V
U
P di mana banyak nilai singular nol atau mendekati nol dalam
∑
Pmengindikasikan banyaknya kaidah kabur kurang penting atau kaidah kabur
berlebihan dalam basis kaidah. Menghilangkan kaidah kabur kurang penting atau
kaidah kabur berlebihan dari basis kaidah untuk menghasilkan prediktor Pθ, di
mana θ memiliki paling banyak r komponen taknol, dengan r adalah banyaknya
kaidah kabur yang tinggal dalam basis kaidah setelah kaidah kabur kurang penting
atau kaidah kabur berlebihan dihilangkan. Letak dari entri-entri taknol menentukan
kolom-kolom P, yaitu kaidah-kaidah dalam basis kaidah, yang digunakan dalam
membangun model dan mendekati vektor observasi y.
Berikut ini akan diperkenalkan sebuah metode yang digunakan untuk
menyeleksi r kaidah penting (atau M-r kaidah kurang penting atau kaidah berlebihan)
dalam basis kaidah. Metode tersebut diawali dengan menghitung DNS dari P, yaitu:
∑
=
P T P
P V
U
P . (2.10)
Partisikan VP menjadi
r M
r V V
V V VP
−
=
22 21
12 11
(2.11)
r M-r
Gunakan algortima QR dengan faktorisasi pivot kolom pada [ 11 21]
T T
V
V untuk
] [
]
[V11 V21 R11 R12
QT T T ∏= (2.12)
r M-r
di mana r r
R
Q∈ × adalah matriks orthogonal, r r
R
R11∈ × adalah matriks segitiga atas,
dan M M
R ×
∈
∏ adalah matriks permutasi. Didefinisikan:
∏ ≡
− P
P
Pr M r]
[ (2.13)
di mana N r
r R
P ∈ × terdiri atas kolom-kolom yang diinginkan dari P yang letak
aslinya dalam P mengindikasikan letak kaidah yang bersesuaian dalam basis kaidah.
Kunci dari metode ini adalah menemukan matriks permutasi ∏ dan
kemudian mendapatkan subset Pr yang diinginkan. Matriks permutasi adalah matriks
identita