• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Sains. Program Studi Matematika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Sains. Program Studi Matematika"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Matematika

Disusun oleh: Sisiria Mardiawati

NIM : 053114006

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

FUZZY NEURAL NETWORK SYSTEM

Final Assignment

Presented to Fulfill One of the Requirements To Obtain the Sarjana Sains Degree

Mathematics Study Program

By :

Sisiria Mardiawati Student Number : 053114006

MATHEMATICS STUDY PROGRAM MATHEMATICS DEPARTMENT FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bersukacitalah senantiasa Tetaplah berdoa

Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu (2 Tesalonika 16-18)

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4:6)

Skripsi ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu memberkati dan menyertaiku Mamak dan Bapak yang selalu mendukung dengan cinta kasih yang tiada habisnya Adikku terkasih, Vincentius Mardianto yang selalu mendukung Diriku sendiri, Sisiria Mardiawati yang sudah mau menyelesaikan skripsi ini

(7)

vii ABSTRAK

Jaringan syaraf kabur adalah suatu model yang dilatih dengan menggunakan jaringan syaraf, namun struktur jaringannya diinterpretasikan dengan aturan-aturan kabur. Sistem jaringan syaraf kabur adalah suatu sistem yang mengombinasikan logika kabur dan jaringan syaraf. Sistem jaringan syaraf kabur dirancang untuk merealisasikan proses penalaran kabur, di mana bobot-bobot yang terhubung pada jaringan tersebut berhubungan dengan parameter-parameter penalaran kabur.

(8)

viii

ABSTRACT

Fuzzy neural networks is a model trained using neural networks, but the network structures are interpreted by fuzzy rules. Fuzzy neural network system is a system that combines fuzzy logic and neural networks. Fuzzy neural network system is designed to realize the fuzzy reasoning process, where the weights connected to the network are associated with the fuzzy reasoning parameters.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang memberikan dorongan, bimbingan, petunjuk, nasihat serta dukungan dari permulaan sampai selesainya penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Yosef Agung Cahyanta S.T., M.T., selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus selaku Dosen Penguji tugas akhir yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

3. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, SJ, selaku Dosen Pembimbing skripsi dan Dosen Pembimbing akademik yang telah memberikan masukan, bimbingan, nasihat, dorongan serta saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Y. G. Hartono, S.Si, M.Sc, selaku Dosen Penguji tugas akhir yang telah memberikan masukan dan saran.

5. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis.

6. Bapak Zaerilus Tukija dan Ibu Erma Linda Santyas Rahayu yang telah memberikan pelayanan administrasi kepada penulis selama masa perkuliahan.

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 6 C. Pembatasan Masalah ... 7 D. Tujuan Penulisan ... 7 E. Manfaat Penulisan ... 7 F. Metode Penulisan ... 8

(13)

xiii

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II LOGIKA KABUR, DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN... 11

A. Logika Kabur ... 11

1. Himpunan Kabur ... 11

2. Fungsi Keanggotaan ... 18

3. Operasi Baku pada Himpunan Kabur ... 23

4. Perambatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur ... 25

5. Relasi Kabur... 28

6. Variabel Linguistik... 29

7. Proposisi Kabur... 29

8. Implikasi Kabur... 30

9. Model Kabur Takagi Sugeno Kang (TSK)... 34

10. Modus Ponens Rampat... 35

11. Sistem Kendali Kabur... 44

B. Dekomposisi Nilai Singular... 45

C. Jaringan Syaraf Tiruan... 52

1. Konsep Dasar Jaringan Syaraf Tiruan... 52

2. Arsitektur Jaringan Syaraf... 55

3. Proses Pembelajaran... 57

4. Fungsi Aktivasi... 58

(14)

xiv

BAB III SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR ... 75

A. Jaringan Syaraf dan Logika Kabur... 75

B. Model Kabur dengan Pembelajaran Jaringan Syaraf Terbimbing... 77

1. Arsitektur Jaringan Syaraf Kabur... 77

2. Pembelajaran Rambatan Balik Pada Model Kabur... 80

C. Contoh Model Jaringan Syaraf Kabur... 91

BAB IV PENUTUP... 99

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak hal yang bersifat kompleks dan rumit untuk dijelaskan secara tepat dan eksak. Sebuah model yang cocok untuk menggambarkan hal tersebut bisa diperoleh dengan menggunakan himpunan kabur. Pencapaian dengan menggunakan model tersebut berdasarkan pengamatan bahwa manusia berpikir menggunakan bahasa yang digunakan seperti “kecil” atau “sangat besar” dan ungkapan yang lainnya. Oleh karena itu, untuk mendeskripsikan konsep tersebut ke dalam bahasa yang umum, Zadeh memperkenalkan himpunan kabur (fuzzy sets) pada tahun 1965. Dalam hal ini Zadeh memperluas konsep “himpunan klasik” (himpunan tegas, crisp set) menjadi himpunan kabur, dalam arti bahwa him-punan klasik merupakan kejadian khusus dari himhim-punan kabur itu. Berdasarkan kon-sep himpunan kabur itu, Zadeh mengembangkan konkon-sep algoritma kabur (1968), yang merupakan landasan dari logika kabur (fuzzy logic) dan penalaran hampiran (ap-proximate reasoning), yaitu penalaran yang melibatkan pernyataan-pernyataan dengan predikat kabur. Inti dari sistem kabur ini sendiri adalah aturan implikasi jika – maka (if – then rules), yang menggunakan himpunan kabur sebagai syarat dalam pre-mis dan kesimpulannya.

(16)

Sejak manusia bisa melakukan banyak hal yang cukup sulit dibandingkan alat teknologi yang sangat canggih, otak manusia menjadi hal yang sangat menarik bagi para ahli. Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki ke-mampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut sinapsis. Neuron bekerja berdasarkan impuls/sinyal yang diberikan pada neu-ron. Setiap sel syaraf (neuron) memiliki 3 komponen penting yaitu soma yang merupakan inti sel dari neuron yang bertugas untuk melakukan pemrosesan informasi. Informasi yang datang akan diterima oleh dendrit, selain menerima informasi dendrit juga menyertai axon sebagai keluaran dari suatu pemrosesan informasi. Informasi hasil olahan ini akan menjadi masukan bagi neuron lain yang dihubungkan oleh dua dendrit sel yang dipertemukan oleh sinapsis. Informasi yang dikirimkan antar neuron ini berupa rangsangan yang dilewatkan melalui beberapa dendrit. Informasi yang datang dan diterima oleh dendrit akan dijumlahkan dan dikirim melalui axon ke dendrit akhir yang bersentuhan dengan dendrit dari neuron yang lain. Informasi ini akan diterima oleh neuron lain jika memenuhi batasan tertentu, yang sering dikenal dengan nama nilai ambang (treshold).

(17)

Gambar 1.1 Jaringan Syaraf Biologi

Terinspirasi akan sistem jaringan syaraf biologi tersebut, banyak ahli telah menyelidiki jaringan syaraf tiruan. Jaringan syaraf tiruan adalah suatu sistem komputasi yang disusun dengan meniru proses alamiah yang terjadi dalam jaringan syaraf biologis pada otak manusia. Seperti halnya otak manusia, jaringan syaraf tiruan juga terdiri dari beberapa neuron dan ada hubungan antara neuron-neuron tersebut. Neuron-neuron tersebut akan mentransformasikan input yang diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke neuron-neuron lainnya. Pada jaringan syaraf tiruan, hubungan ini dikenal dengan nama bobot (weight). Input tersebut disimpan pada suatu nilai tertentu pada bobot tersebut. Gambar dibawah ini menunjukkan jaringan syaraf sederhana.

(18)

Gambar 1.2 Jaringan syaraf sederhana

Sebenarnya cara kerja neuron buatan ini sama saja dengan neuron biologis. Suatu neuron pada umumnya memiliki n buah input yang dinyatakan dengan bilangan-bilangan real x1,x2,⋅ ⋅⋅,xn, dan sebuah output y . Masing-masing input 1

memiliki bobot yang dinyatakan dengan bilangan real w11,w21,⋅ ⋅⋅,wn1. Input-input tersebut akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot yang masuk. Hasil penjumlahan tersebut akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron sehingga mencapai sebuah output y. Pada jaringan syaraf neuron-neuron akan dikumpulkan dalam lapisan-lapisan (layer) yang sering disebut dengan lapisan neuron (neuron layers). Biasanya neuron-neuron pada satu lapisan akan dihubungkan dengan lapisan-lapisan sebelum dan sesudahnya (kecuali lapisan-lapisan input dan lapisan-lapisan output). Input yang dimasukkan pada jaringan syaraf akan dirambatkan mulai dari lapisan input sampai ke lapisan output melalui lapisan yang lainnya, yang sering dikenal dengan nama lapisan tersembunyi (hidden layer).

(19)

Gambar 1.3 Jaringan syaraf tiruan dengan lapisan tersembunyi

Jaringan syaraf dan logika kabur merupakan dua teknologi yang komplementer. Jaringan syaraf dapat mengenali pola masukan yang diterimanya dan dengan proses pembelajaran dapat menyesuaikan diri dengan masukan itu. Proses pembelajaran pada suatu jaringan syaraf adalah proses penyesuaian diri jaringan itu secara bertahap terhadap masukan yang diterimanya sampai akhirnya menghasilkan keluaran yang diinginkan. Akan tetapi, memahami proses pembelajaran jaringan syaraf cukup sulit karena sulit untuk menjelaskan makna setiap neuron dan setiap bobot yang terkait. Sebaliknya, model berbasis aturan kabur mudah untuk dipahami karena menggunakan istilah-istilah linguistik dan struktur aturan jika-maka. Akan tetapi, tidak seperti jaringan syaraf, logika kabur tidak mengenal algoritma pembelajaran. Penggabungan kedua teknologi tersebut menghasilkan istilah baru, yaitu jaringan syaraf kabur. Sistem jaringan syaraf kabur adalah suatu sistem yang

(20)

menggunakan kombinasi logika kabur dan jaringan syaraf. Sistem jaringan syaraf kabur dirancang untuk merealisasikan proses logika kabur, dimana bobot-bobot yang terhubung pada jaringan tersebut berhubungan dengan parameter-parameter logika kabur. Dengan menggunakan algoritma pembelajaran rambatan balik, sistem jaringan syaraf kabur dapat mengidentifikasi aturan-aturan kabur dan melatih fungsi keanggotaan dari logika kabur tersebut. Sistem jaringan syaraf kabur dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu:

1. Model berbasis aturan kabur yang dibangun dengan menggunakan teknik pembelajaran jaringan syaraf terbimbing.

2. Model berbasis aturan kabur yang menggunakan jaringan syaraf untuk membangun partisi kabur dari ruang masukannya.

Yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sistem jaringan syaraf kabur kategori pertama.

B. Rumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana bentuk model sistem jaringan syaraf kabur?

2. Bagaimana mengimplementasikan pembelajaran rambatan balik pada model kabur?

(21)

C. Pembatasan Masalah

Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang sistem jaringan syaraf kabur yang merupakan interpretasi pembelajaran jaringan syaraf buatan dengan (pada) model kabur. Pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran rambatan balik, dan model kabur yang digunakan adalah model kabur Takagi Sugeno Kang (TSK).

D. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana bentuk model sistem jaringan syaraf kabur

2. Mengetahui implementasi pembelajaran rambatan balik pada model kabur

E. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah dapat mengetahui dan memahami bagaimana bentuk model sistem jaringan syaraf kabur serta mengetahui implementasi pembelajaran rambatan balik pada model kabur.

(22)

F. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan membaca dan mempelajari materi dari buku-buku acuan yang berkaitan dengan topik skripsi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

B. Perumusan masalah C. Pembatasan masalah D. Tujuan penulisan E. Manfaat penulisan F. Metode penulisan G. Sistematika penulisan

BAB II : LOGIKA KABUR DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN A. Logika Kabur

(23)

1. Himpunan Kabur

2. Fungsi Keanggotaan

3. Operasi Baku Pada Himpunan Kabur

4. Perampatan Operasi Baku Pada Himpunan Kabur 5. Relasi Kabur 6. Variabel Linguistik 7. Proposisi Kabur 8. Implikasi Kabur 9. Prinsip Perluasan

10. Model Kabur Takagi Sugeno Kang

11. Generalisasi Modus Ponens

12. Sistem Kendali Kabur

B. Dekomposisi Nilai Singular (DNS) C. Jaringan Syaraf Tiruan

(24)

2. Arsitektur Jaringan Syaraf

3. Proses Pembelajaran

4. Fungsi Aktivasi

5. Model Rambatan Balik (Backpropagation)

BAB III : SISTEM JARINGAN SYARAF KABUR A. Jaringan Syaraf dan Logika Kabur

B. Model Kabur dengan Pembelajaran Jaringan Syaraf Terbimbing

1. Arsitektur Jaringan Syaraf Kabur

2. Pembelajaran Rambatan Balik Pada Model Kabur

C. Contoh Model Jaringan Syaraf Kabur

(25)

BAB II

LOGIKA KABUR, DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN

A. Logika Kabur 1. Himpunan Kabur

Andaikan A adalah suatu himpunan tegas dalam semesta pembicaraan U, maka A dapat didefinisikan dengan mendaftarkan semua anggotanya atau dengan mendefinisikan kaidah yang harus dipenuhi oleh anggota dari himpunan tersebut. Jika suatu objek x adalah anggota himpunan A, maka ditulis x∈ , dan jika x bukan A anggota A ditulis x∉ . Ada tiga metode untuk mendefinisikan suatu himpunan A dalam suatu semesta pembicaraan U, yaitu:

a. Metode pendaftaran, yaitu metode yang mendefinisikan suatu himpunan dengan menyebut semua anggotanya. Metode ini digunakan hanya untuk himpunan-himpunan berhingga. Himpunan A yang anggotanya a1,a2,...,an, ditulis:

A = (a1,a2,...,an)

b. Metode kaidah, yaitu metode yang mendefinisikan suatu himpunan dengan menyebutkan syarat keanggotaannya. Dalam metode kaidah, himpunan A dinyatakan dengan:

(26)

=

A {xU |p(x)}

di mana p(x)menyatakan bahwa “x mempunyai sifat p”

c. Metode fungsi keanggotaan (fungsi karakteristik), yaitu metode yang mendefinisikan suatu himpunan dengan sebuah fungsi yang disebut fungsi karakteristik, untuk menyatakan bahwa anggota-anggota himpunan semesta U adalah anggota himpunan itu atau bukan. Himpunan A didefinisikan dengan fungsi karakteristik χA:U →{0,1}, sedemikian hingga:

   = 0 1 ) (x A χ untuk untuk A x A x ∉ ∈

Contoh 2.1 Andaikan U = {1, 2, , 11}. Didefinisikan himpunan A yang anggota-anggotanya adalah bilangan-bilangan genap dalam himpunan semesta U. Maka berdasarkan tiga metode di atas, himpunan A dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. A= {2, 4, 6, 8, 10} 2. A={xU|x bilangan genap} 3.    = 0 1 ) (x A χ jika jika x x ganjil bilangan genap bilangan

(27)

Fungsi karakteristik dari himpunan tegas menentukan dengan pasti nilai 0 atau 1 untuk setiap anggota U. Fungsi ini dapat diperumum sedemikian sehingga nilai-nilai yang ditentukan untuk tiap anggota dari himpunan semesta berada dalam interval tertutup [0,1] dan menunjukkan derajat keanggotaan dari anggota tersebut. Nilai-nilai yang lebih besar menunjukkan derajat keanggotaan yang lebih tinggi. Fungsi yang demikian disebut fungsi keanggotaan dan himpunan yang didefinisikan berdasarkan fungsi tersebut disebut himpunan kabur.

Definisi 2.1 Suatu himpunan kabur A~ dalam semesta U adalah himpunan yang dilengkapi dengan fungsi keanggotaan µ yang nilainya berada dalam interval [0,1], A~

yaitu: ] 1 , 0 [ : ~ UA µ Nilai ~(x) A

µ disebut derajat keanggotaan dari x dalam himpunan kabur A~.

Secara matematis suatu himpunan kabur A~dalam himpunan semesta U dapat dinyatakan sebagai himpunan pasangan terurut:

} | )) ( , {( ~ ~ x x U x A= µA

Apabila semesta U adalah himpunan yang kontinu, maka himpunan kabur A~ seringkali dinyatakan dengan

(28)

x A U x A / ~ ~

∈ = µ

di mana lambang

di sini bukan lambang integral seperti yang dikenal dalam kalkulus, tetapi melambangkan keseluruhan unsur-unsur x∈ dengan derajat U keanggotaan ~(x)

A

µ .

Apabila semesta U adalah himpunan yang diskret, maka himpunan kabur A~ seringkali dinyatakan dengan

x x A U x A( )/ ~ ~

∈ = µ

di mana lambang

di sini bukan lambang penjumlahan, tetapi melambangkan keseluruhan unsur-unsur x∈ dengan derajat keanggotaan U ~(x)

A

µ .

Angggota-anggota dari suatu himpunan kabur A~ yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 0, yaitu ~(x)=0

A

µ , seringkali tidak ditulis.

Contoh 2.2 Misalkan dalam himpunan semesta semua bilangan real ℝ, A~ adalah himpunan “bilangan real yang dekat dengan nol”, maka himpunan kabur A~ dapat dinyatakan sebagai berikut:

(29)

x e A x x / ~ R 2

∈ − =

Contoh 2.3 Dalam himpunan semesta U ={-5, -4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5}, himpunan kabur A~ dalam Contoh 2.2 di atas dapat dinyatakan sebagai

4 / 1 . 0 3 / 3 . 0 2 / 5 . 0 1 / 7 . 0 0 / 1 1 / 7 . 0 2 / 5 . 0 3 / 3 . 0 4 / 1 . 0 / ) ( ~ ~ = − + − + − + − + + + + + =

x x A U x A µ

Bilangan 5 dan -5 mempunyai derajat keanggotaan 0, sehingga tidak ditulis dalam penyajian himpunan kabur diskret tersebut.

Berikut akan dibahas beberapa konsep dasar dan istilah-istilah yang berhubungan dengan himpunan kabur. Misalkan A~ adalah himpunan kabur dalam himpunan semesta U.

Definisi 2.2 Pendukung (support) dari himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas )

~ ( A

P yang memuat semua anggota semesta dengan derajat keanggotaan taknol dalam A~, yaitu } 0 ) ( | { ) ~ (A = xU ~ x > P µA .

Dari Contoh 2.3 di atas, P( A~)={-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4}

Definisi 2.3 Himpunan kabur A~ disebut himpunan kabur kosong jika pendukungnya adalah himpunan kosong.

(30)

Definisi 2.4 Himpunan kabur elemen tunggal adalah himpunan kabur yang pendukungnya adalah himpunan tegas dengan elemen tunggal (singleton).

Definisi 2.5 Tinggi (height) dari himpunan kabur A~ adalah derajat keanggotaan terbesar yang dicapai oleh anggota-anggota U, yaitu

)} ( { sup ) ~ (A ~ x Tinggi A U x µ ∈ = .

Dari Contoh 2.3 di atas, Tinggi( A~)=1.

Definisi 2.6 Himpunan kabur A~ yang memiliki tinggi sama dengan 1 disebut himpunan kabur normal.

Definisi 2.7 Himpunan kabur A~ yang memiliki tinggi kurang dari 1 disebut himpunan kabur subnormal.

Definisi 2.8 Titik silang (crossover point) dari himpunan kabur A~ adalah anggota U yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 0.5 dalam himpunan kabur A~.

Dalam Contoh 2.3 di atas, titik 2 dan -2 adalah titik silang dari himpunan kabur A~.

Definisi 2.9 Teras (core) dari himpunan kabur A~ adalah himpunan semua anggota U yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 1, yaitu:

(31)

} 1 ) ( | { ) ~ (A = xU ~ x = Teras µA .

Definisi 2.10 Pusat (center) dari himpunan kabur A~ didefinisikan sebagai berikut: jika nilai rata-rata dari semua titik di mana fungsi keanggotaan himpunan kabur itu mencapai nilai maksimum adalah berhingga, maka pusat himpunan kabur itu adalah nilai rata-rata tersebut; jika nilai rata-rata itu takhingga positif (negatif), maka pusat himpunan kabur itu adalah yang terkecil (terbesar) di antara semua titik yang mencapai nilai fungsi keanggotaan maksimum.

Definisi 2.11 Potongan-α (α -cut) dari himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas

α

A yang terdiri dari semua anggota U yang mempunyai derajat keanggotaan dalam A~ lebih besar dari atau sama dengan α , yaitu:

} ) ( | { µ~ α α = xU xA A .

Definisi 2.12 Potongan-α kuat dari himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas A′ α

yang terdiri dari semua anggota U yang mempunyai derajat keanggotaan dalam A~ lebih besar dari α , yaitu:

} ) ( | { µ~ α α′ = xU x > A A .

Dari Contoh 2.3 di atas, potongan-

α

dari A~ dengan α = 0.5 adalah A0.5 ={-2, -1, 0, 1, 2}, sedangkan potongan-

α

kuatnya adalah A0.5 ={-1, 0, 1}.

(32)

Definisi 2.13 Dua buah himpunan kabur A~ dan B~ dalam himpunan semesta U dikatakan sama, dilambangkan dengan A~ = , bila dan hanya bila B~

) ( ) ( ~ ~ x x B A µ µ = , ∀xU.

Definisi 2.14 Himpunan kabur A~ dikatakan himpunan bagian dari himpunan kabur B~, dilambangkan dengan A~ ⊆ , bila dan hanya bila B~

) ( ) ( ~ ~ x x B A µ µ ≤ , ∀xU .

Contoh 2.4 Jika A~ = 0.2/-3 + 0.3/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.7/1 + 0.3/2 + 0.2/3 dan B~ = 0.3/-3 + 0.4/-2 + 0.8/-1 + 1/0 + 0.8/1 + 0.4/2 + 0.3/3, maka A~ ⊆ . B~

Definisi 2.15 Himpunan kosong φ dapat dipandang sebagai himpunan kabur dengan fungsi keanggotaan sama dengan 0, yaitu µφ(x)=0 untuk setiap x∈ . Himpunan U semesta U dapat dipandang sebagai himpunan kabur dengan fungsi keanggotaan sama dengan 1, yaitu µu(x)=1 untuk setiap x∈ . U

2. Fungsi Keanggotaan

Setiap himpunan kabur dapat dinyatakan dengan fungsi keanggotaan. Beberapa fungsi keanggotaan himpunan kabur yang dinyatakan dalam bentuk suatu formula matematis adalah sebagai berikut:

(33)

a. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan segitiga jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu a ,,b c∈ℝ dengan a<b<c, dan dinyatakan dengan Segitiga(x;a,b,c) dengan kaidah:

       − − − − = 0 ) , , ; ( b c x c a b a x c b a x Segitiga

Fungsi keanggotaan ini dapat juga dinyatakan dengan formula sebagai berikut:

            − − − − =max min , ,0 ) , , ; ( b c x c a b a x c b a x Segitiga

Gambar 2.1 Grafik fungsi keanggotaan segitiga

b. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan trapesium jika mempunyai empat buah parameter, yaitu a,b,c,d∈ℝ dengan a<b<c<d, dan dinyatakan dengan Trapesium(x;a,b,c,d) dengan kaidah:

untuk axb untuk bxc untuk x lainnya

(34)

          − − −− = 0 1 ) , , , ; ( c d x d a b a x d c b a x Trapesium

Fungsi keanggotaan ini dapat juga dinyatakan dengan formula sebagai berikut:

            − − − − =max min ,1, ,0 ) , , , ; ( c d x d a b a x d c b a x Trapesium

Gambar 2.2 Grafik fungsi keanggotaan trapesium

c. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan Gauss jika mempunyai dua buah parameter, yaitu a,b∈ℝ, dinyatakan dengan

) , ; (x a b

Gauss dan memenuhi:

2 ) , ; (      − − = b a x e b a x Gauss untuk axb untuk bxc untuk cxd untuk x lainnya

(35)

Gambar 2.3 Grafik fungsi keanggotaan Gauss

di mana x= adalah pusat dan b menentukan lebar dari fungsi keanggotaan a Gauss.

d. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan Cauchy jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu a ,,b c∈ℝ, dinyatakan dengan

) , , ; (x a b c

Cauchy dan memenuhi:

b a c x c b a x Cauchy 2 1 1 ) , , ; ( − + =

di mana x=c adalah pusat, a menentukan lebar, dan b menentukan kemiringan (slope) di titik silang dari fungsi keanggotaan Cauchy.

(36)

Gambar 2.4 Grafik fungsi keanggotaan Cauchy

e. Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan Sigmoid jika mempunyai dua buah parameter, yaitu a,c∈ℝ, dinyatakan dengan

) , ; (x a c

Sigmoid dan memenuhi:

) ( 1 1 ) , ; ( a x c e c a x Sigmoid + =

di mana a menentukan kemiringan fungsi keanggotaan sigmoid di titik silang

c

x= . Untuk a>0 fungsi keanggotaan Sigmoid terbuka ke kanan, dan sebaliknya untuk a<0 fungsi keanggotaan Sigmoid terbuka ke kiri.

(37)

Gambar 2.5 Grafik fungsi keanggotaan Sigmoid yang terbuka ke kanan (gambar kiri) dan yang terbuka ke kiri (gambar kanan)

3. Operasi Baku pada Himpunan Kabur

Operasi baku pada himpunan kabur yang akan didefinisikan adalah operasi uner “komplemen” dan operasi-operasi biner “gabungan” dan “irisan”. Komplemen dari suatu himpunan kabur A~ adalah himpunan kabur A′~ dengan fungsi keanggotaan

) ( 1 ) ( ~ ~ x x A A µ µ = −

untuk setiap x X. Gabungan dua buah himpunan kabur A~ dan B~ adalah himpunan kabur A~ ∪B~ dengan fungsi keanggotaan

= ∪~( ) ~ x B A µ max { ~(x), ~(x)} B A µ µ

untuk setiap x∈ . Sedangkan irisan dua buah himpunan kabur X A~ dan B~ adalah himpunan kabur A~ ∩B~ dengan fungsi keanggotaan

(38)

= ∩~( ) ~ x B A µ min { ~(x), ~(x)} B A µ µ untuk setiap x∈ . X

Teorema 2.1 (Teorema Dekomposisi)

Jika A adalah potongan-α dari himpunan kabur A~ dalam himpunan semesta U dan α

α

A~ adalah himpunan kabur dalam U dengan fungsi keanggotaan ~ A (x)

Aα αχ α

µ =

untuk setiap x∈ , di mana U χAα adalah fungsi karakteristik dari himpunan A , α

maka

] 1 , 0 [ ~ ~ ∈ = a A A α .

Bukti: Ambil sebarang x∈ dan misalkan U µA~(x)=r. Untuk setiap α∈[ r0, ], α µA~(x)= r≥ , berarti xAα, sehingga µ α α( )= ~ x A . Untuk setiap α∈(r,1], α µA~(x)= r< , berarti xAα, sehingga ~ (x)=0 Aα µ . Maka ] 1 , 0 [ ~ ∈ α α µ A = sup ~ ( ) ] 1 , 0 [ x Aα µ α∈ ) ( sup )} ( sup ), ( sup max{ ~ ] , 0 [ ~ ] 1 , ( ~ ] , 0 [ x r x x A k A r A r µ α µ µ α α α α α = = = = ∈ ∈ ∈

(39)

untuk setiap x∈ . Jadi U

] 1 , 0 [ ~ ~ ∈ = a A A α . ■

4. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur

Di atas telah dibahas definisi operasi-operasi baku komplemen, gabungan dan irisan untuk himpunan-himpunan kabur. Definisi-definisi tersebut dapat dirampatkan sedemikian sehingga definisi operasi-operasi baku tersebut merupakan kejadian khususnya. Perampatan tersebut akan didefinisikan secara aksiomatis, kemudian akan diperlihatkan macam-macam operasi yang memenuhi aksioma-aksioma tersebut.

a. Operasi Komplemen

Definisi 2.17 Suatu pemetaan k:[0,1]→[0,1] disebut komplemen kabur jika memenuhi aksioma-aksioma berikut:

K1. k(0)=1dan k(1)=0 (syarat batas) K2. Jika x< , maka y k(x)≥k(y) untuk semua x,y∈[0,1] (syarat taknaik)

Suatu kelas pemetaan yang merupakan komplemen kabur adalah kelas Sugeno yang didefinisikan sebagai berikut:

x x x k λ λ + − = 1 1 ) (

(40)

dengan parameter λ∈(−1,∞). Untuk λ=0, diperoleh operasi komplemen baku, yaitu k0(x)=1−x, di mana x adalah derajat keanggotaan suatu elemen dalam suatu himpunan kabur A~ dan k0(x) adalah derajat keanggotaan elemen tersebut dalam

himpunan kabur A′~ . Kelas pemetaan lain yang merupakan komplemen kabur adalah kelas Yager yang didefinisikan sebagai berikut:

w w

w x x

k ( )=(1− )1/

dengan parameter w∈(0,∞). Untuk w=1 diperoleh operasi komplemen baku, yaitu x

x

k1( )=1− .

b. Operasi Gabungan

Definisi 2.18 Suatu pemetaan s:[0,1]×[0,1]→[0,1] disebut gabungan kabur (norma-s) jika memenuhi aksioma-aksioma berikut:

S1. s(0,x)=s(x,0)=x dan s(1,1)=1 (syarat batas)

S2. s(x,y)=s(y,x) (syarat komutatif)

S3. Jika x≤ dan xy≤ , maka ys(x,y)≤s(x′,y′), ∀ yx, ∈[0,1] (syarat takturun)

(41)

Contoh-contoh norma-s: a) Jumlah aljabar: sja(x,y)=x+yxy b) Jumlah Einstein: xy y x y x sje + + = 1 ) , ( c) Jumlah drastis:      = 1 ) , ( y x y x sjd lainnya 0 0 jika jika jika = = x y c. Operasi Irisan

Definisi 2.19 Suatu pemetaan t:[0,1]×[0,1]→[0,1] disebut irisan kabur (norma-t) jika memenuhi aksioma-aksioma berikut:

T1. t(x,1)=t(1,x)=x dan t(0,0)=0 (syarat batas)

T2. t(x,y)=t(y,x) (syarat komutatif)

T3. Jika x≤ dan xy≤ , maka yt(x,y)≤t(x′,y′), ∀ yx, ∈[0,1] (syarat takturun)

T4. t(t(x,y),z)=t(x,t(y,z)) (syarat asosiatif)

Contoh-contoh norma-t:

(42)

b) Darab Einstein: ) ( 2 ) , ( xy y x xy y x tde − + − = c) Darab drastis:      = 0 ) , ( y x y x tdd lainnya 1 1 jika jika jika = = x y 5. Relasi Kabur

Definisi 2.15 Relasi kabur (biner) R~ antara elemen-elemen dalam himpunan U dengan elemen-elemen dalam himpunan V didefinisikan sebagai himpunan kabur dengan semesta U× , yaitu himpunan kabur V

} ) , ( | )) , ( ), , {(( ~ ~ u v u v U V v u R= µR ∈ ×

Relasi kabur R~ itu juga disebut relasi kabur pada himpunan semesta U× . Jika V V

U = , maka R~ disebut relasi kabur pada himpunan U.

Contoh 2.5 Misalnya U = {20, 45, 106}, V = {35, 58, 210} dan R~ adalah relasi kabur “jauh lebih kecil” antara elemen-elemen dalam U dengan elemen-elemen dalam V. Maka relasi R~ dapat disajikan sebagai R~ = 0.1/(20,35) + 0.3/(20,58) + 0.9/(20,210) + 0.1/(45,58) + 0.6/(45,210) + 0.4/(106,210).

(43)

6. Variabel Linguistik

Definisi 2.16 Suatu variabel linguistik adalah suatu rangkap-5 (x, T, U, G, M) di mana x adalah lambang variabelnya, T adalah himpunan nilai-nilai linguistik yang dapat menggantikan x, U adalah semesta wacana (numeris) dari nilai-nilai linguistik dalam T (jadi juga dari variabel x), G adalah himpunan kaidah-kaidah sintaksis yang mengatur pembentukan istilah-istilah anggota T, dan M adalah himpunan kaidah-kaidah semantik yang mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan kabur dalam semesta U.

Contoh 2.6 Bila variabel linguistiknya adalah “kecepatan”, maka himpunan nilai-nilai linguistik dapat diambil himpunan istilah-istilah T = {cepat, sangat cepat, agak cepat, tidak cepat, lambat, sangat lambat, agak lambat, tidak lambat} dengan semesta U = [0,100], kaidah sintaksis mengatur pembentukan istilah-istilah dalam T dan kaidah semantik mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan kabur dalam semesta U.

7. Proposisi Kabur

Definisi 2.17 Proposisi kabur adalah kalimat yang memuat predikat kabur, yaitu predikat yang dapat direpresentasikan dengan suatu himpunan kabur.

Proposisi kabur yang mempunyai nilai kebenaran tertentu disebut pernyataan kabur. Nilai kebenaran dari suatu pernyataan kabur disajikan dengan suatu bilangan

(44)

real dalam selang [0,1]. Nilai kebenaran itu disebut juga derajat kebenaran dari pernyataan kabur itu.

Bentuk umum dari suatu proposisi kabur adalah

x adalah A

di mana x adalah suatu variabel linguistik dan predikat A adalah suatu nilai linguistik dari x.

Bila A~ adalah himpunan kabur yang dikaitkan dengan nilai linguistik A dan

0

x adalah suatu elemen tertentu dalam semesta U dari himpunan kabur A~, maka x 0

mempunyai derajat keanggotaan ~(x0)

A

µ dalam himpunan kabur A~.

Derajat kebenaran dari pernyataan kabur

0

x adalah A~

didefinisikan sama dengan derajat keanggotaan x dalam himpunan kabur A0

~ , yaitu ) ( 0 ~ x A µ . 8. Implikasi Kabur

(45)

Jika u adalah A, maka v adalah B

di mana A dan B adalah predikat-predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan-himpunan kabur A~ dan B~ dalam semesta U dan V berturut-turut. Implikasi kabur dilambangkan dengan →.

Implikasi tegas p→ ekuivalen dengan q ¬pq. Berdasarkan ekuivalensi tersebut, implikasi kabur dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam

V

U× dengan fungsi keanggotaan

)) ( ( )), ( ( ( ) , (u v s k ~ u ~ v B A µ µ µ =

di mana s adalah suatu norma-s dan k adalah suatu komplemen kabur.

Implikasi Dienes-Rescher diperoleh apabila diambil operasi-operasi gabungan sebagai norma-s dan operasi komplemen baku sebagai komplemen kabur dengan fungsi keanggotaan

)) ( ), ( 1 max( ) , (u v ~ u ~ v B A dr µ µ µ = − .

Karena implikasi tegas p→ juga ekuivalen dengan q (p∧ )q ∨¬p, maka implikasi kabur juga dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam U× V dengan fungsi keanggotaan

))) ( ( )), ( ), ( ( ( ) , (u v s t ~ u ~ v k ~ u A B A µ µ µ µ =

(46)

di mana s adalah suatu norma-s, t adalah suatu norma-t, dan k adalah suatu komplemen kabur.

Implikasi Zadeh diperoleh apabila diambil operasi-operasi gabungan, irisan, dan komplemen baku sebagai norma-s, norma-t, dan komplemen kabur dengan fungsi keanggotaan )) ( 1 )), ( ), ( max(min( ) , (u v ~ u ~ v ~ u A B A z µ µ µ µ = − .

Implikasi Mamdani merupakan salah satu bentuk implikasi kabur yang digunakan dalam aplikasi sistem kabur. Implikasi ini didasarkan pada asumsi bahwa implikasi kabur pada dasarnya bersifat lokal, dalam arti bahwa implikasi

Jika u adalah A, maka v adalah B

hanya berbicara mengenai keadaan dimana u adalah A dan v adalah B saja, dan tidak mengenai keadaan lainnya diluar itu. Berdasarkan asumsi tersebut, implikasi kabur dapat dipandang sebagai suatu konjungsi kabur, sehingga diperoleh

)) ( ), ( ( ) , (u v t ~ u ~ v B A µ µ µ =

yang disebut implikasi Mamdani. Apabila diambil operasi baku “min” sebagai norma-t, maka diperoleh

)) ( ), ( min( ) , (u v ~ u ~ v B A mm µ µ µ = ,

(47)

dan bila operasi “darab aljabar” diambil sebagai norma-t, maka diperoleh ) ( ) ( ) , (u v ~ u ~ v B A md µ µ µ = . Contoh 2.7

Misalkan diketahui semesta U = {1, 2, 3, 4} dan V = {60, 70, 80}, dan implikasi kabur

Jika u banyak, maka v lambat

di mana predikat “banyak” dan “lambat” berturut-turut dikaitkan dengan himpunan kabur . 80 / 1 70 / 7 . 0 60 / 4 . 0 ~ 4 / 8 . 0 3 / 6 . 0 2 / 4 . 0 1 / 2 . 0 ~ + + = + + + = B A dan

Maka jika digunakan implikasi Dienes-Rescher, diperoleh

) 60 , 3 /( 4 . 0 ) 80 , 2 /( 1 ) 70 , 2 /( 7 . 0 ) 60 , 2 /( 6 . 0 ) 80 , 1 /( 1 ) 70 , 1 /( 8 . 0 ) 60 , 1 /( 8 . 0 + + + + + + = →dr +0.7/(3,70)+1/(3,80)+0.4/(4,60)+0.7/(4,70)+1/(4,80)

Jika digunakan implikasi Zadeh, maka diperoleh

) 60 , 3 /( 4 . 0 ) 80 , 2 / 6 . 0 ) 70 , 2 /( 6 . 0 ) 60 , 2 /( 6 . 0 ) 80 , 1 /( 8 . 0 ) 70 , 1 /( 8 . 0 ) 60 , 1 /( 8 . 0 + + + + + + = →z +0.6/(3,70)+0.6/(3,80)+0.4/(4,60)+0.7/(4,70)+0.8/(4,80).

(48)

Jika digunakan implikasi Mamdani, maka diperoleh ) 80 , 2 /( 4 . 0 ) 70 , 2 /( 4 . 0 ) 60 , 2 /( 4 . 0 ) 80 , 1 /( 2 . 0 ) 70 , 1 /( 2 . 0 ) 60 , 1 /( 2 . 0 + + + + + = →mm ) 80 , 4 /( 8 . 0 ) 70 , 4 /( 7 . 0 ) 60 , 4 /( 4 . 0 ) 80 , 3 /( 6 . 0 ) 70 , 3 /( 6 . 0 ) 60 , 3 /( 4 . 0 + + + + + + atau ) 80 , 2 /( 4 . 0 ) 70 , 2 /( 28 . 0 ) 60 , 2 /( 16 . 0 ) 80 , 1 /( 2 . 0 ) 70 , 1 /( 14 . 0 ) 60 , 1 /( 08 . 0 + + + + + = →md ). 80 , 4 /( 8 . 0 ) 70 , 4 /( 56 . 0 ) 60 , 4 /( 32 . 0 ) 80 , 3 /( 6 . 0 ) 70 , 3 /( 42 . 0 ) 60 , 3 /( 24 . 0 + + + + + +

9. Model Kabur Takagi, Sugeno, dan Kang

Model kabur Takagi, Sugeno dan Kang (TSK) dikenal sebagai model kabur pertama yang dikembangkan untuk menghasilkan kaidah kabur dari himpunan data masukan-keluaran yang diberikan. Sebuah kaidah kabur yang khas dalam model tersebut memiliki bentuk sebagai berikut:

Jika x adalah A dan y adalah B , maka z=ax+by+c

di mana a, b, c merupakan konstanta numerik. Secara umum, kaidah dalam model TSK memiliki bentuk:

(49)

di mana A dan B merupakan himpunan kabur dalam anteseden, dan z= f(x,y) merupakan fungsi tegas dalam konsekuen serta z = f(x,y) merupakan fungsi polinomial dalam variabel masukan x dan y. Jika f(x,y) adalah fungsi polinomial ordo satu, hasil sistem inferensi kabur disebut model kabur Takagi Sugeno Kang ordo satu. Jika f merupakan konstanta, maka disebut model kabur Takagi Sugeno Kang ordo nol, yang mana merupakan kasus khusus dalam implikasi Mamdani.

10. Modus Ponens Rampat

Untuk melakukan pengambilan keputusan atau penalaran kabur diperlukan seperangkat implikasi kabur atau suatu fakta yang diketahui (premis). Dalam logika klasik, pengambilan keputusan didasarkan pada tautologi-tautologi, yaitu proposisi yang selalu benar, tanpa tergantung pada nilai kebenaran proposisi-proposisi penyusunnya. Salah satu kaidah pengambilan keputusan yang paling sering digunakan adalah modus ponens, yang didasarkan pada tautologi:

q p q

p→ )∧ )→

(( .

Bentuk umum penalaran modus ponens adalah sebagai berikut:

1. Bila u adalah A, maka v adalah B (Premis 1 / Kaidah)

2. u adalah A (Premis 2 / Fakta)

(50)

Kaidah penalaran tegas dapat dirampatkan menjadi kaidah kabur dengan premis dan kesimpulannya adalah proposisi-proposisi kabur. Secara umum dapat dirumuskan dengan skema sebagai berikut:

Premis 1 (kaidah) : Bila u adalah A, maka v adalah B Premis 2 (fakta) : u adalah A′

Kesimpulan : v adalah B′

Penalaran kabur dengan skema seperti di atas disebut modus ponens rampat. Berikut ini akan dibahas suatu aturan penarikan kesimpulan yang disebut “kaidah inferensi komposisional” (compositional rule of inference). Sebelumnya akan dibahas latar belakang kaidah tersebut dalam kasus pemetaan bernilai selang.

Misalkan diketahui suatu pemetaan kontinu f :UV dengan U = V =ℝ. Jika diberikan suatu elemen a∈ , maka akan diperoleh nilai pemetaan f di a, yaitu U

V a f

b= ( )∈ . Jika f adalah suatu pemetaan yang bernilai selang, dan diberikan suatu selang [ ba, ] di U, maka akan diperoleh nilai pemetaan f di [a,b] yaitu selang

] , [ ]) , ([a b c d

f = di V. Untuk menggambarkan bagaimana memperoleh selang [c,d] tersebut, pertama-tama yang dilakukan adalah membuat perluasan silindris dari selang [a,b] ke bidang U× , kemudian ditentukan irisan I dari perluasan silindris itu V dengan kurva dari pemetaan f, dan akhirnya irisan I diproyeksikan ke V untuk memperoleh selang [c,d]. Gambar 2.6 memperlihatkan proses tersebut.

(51)

Gambar 2.6 Nilai pemetaan f di [a,b], yaitu f([a,b])=[c,d]

Proses di atas dapat dirampatkan lebih lanjut lagi. Misalkan terdapat sebuah relasi kabur R~ dalam semesta U× dan himpunan kabur AV ~ dalam U. Bila ditentukan perluasan silindris dari A~ ke U× , namakan V A~PS, dan irisan perluasan

silindris tersebut dengan R~, yaitu APS R ~ ~

∩ , kemudian irisan tersebut diproyeksikan

ke V, maka akan diperoleh himpunan kabur B~ di V. Karena A~PS adalah perluasan

silindris dari A~ ke U× , maka V

) ( ) , ( ~ ~ u v u A APS µ µ = sehingga )) , ( ), , ( ( ) , ( ~ ~ ~ ~ u v t u v u v R A R APS µ PS µ µ = t( ~(u), ~(u,v)) R A µ µ =

(52)

di mana t adalah suatu norma-t. Kemudian, himpunan kabur B~ di V diperoleh sebagai proyeksi irisan A~PS ∩ ke V, maka R~

) , ( sup ) ( ~ ~ ~ v u v R PS A U u B ∈ = µ µ supt( ~(u), ~(u,v)) R A U u µ µ ∈ =

Jika himpunan kabur A~ dipandang sebagai relasi dengan satu argumen, maka komposisi relasi A~ di U dengan relasi R~ di U× menghasilkan relasi majemuk V

R

A~ ~ di V dengan fungsi keanggotaan

)) , ( ), ( ( sup ) ( ~ ~ ~ ~ v t u u v R A U u R A µ µ µ ∈ = 

di mana t adalah suatu norma-t. Maka B~= A~R~, yaitu himpunan kabur B~ itu tidak lain daripada relasi komposit A~R~. Karenanya prosedur untuk memperoleh himpunan kabur B~ di V dari relasi R~ di U× dan himpunan kabur AV ~ di U dengan cara seperti di atas itu disebut kaidah inferensi komposisional. Kaidah inilah yang dipakai untuk menarik kesimpulan dalam penalaran kabur.

Dalam modus ponens rampat kaidah tersebut diterapkan sebagai berikut: Premis 1 : Bila u adalah A, maka v adalah B

(yang merupakan relasi/implikasi kabur → di U× ) V Premis 2 : u adalah A′

(53)

(yang dapat direpresentasikan dengan himpunan kabur A~′ dalam U) Kesimpulan : v adalah B′

diperoleh dengan menentukan himpunan kabur B~′ ~= A′ dalam V dengan fungsi keanggotaan ~(v) supt( ~(u), (u,v))

A U u B ′ → ∈ ′ = µ µ µ ,

dimana t adalah suatu norma-t.

Bila A′ adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur A~′ , untuk norma-t misalnya diambil operasi baku “min”, dan untuk implikasi kabur dipakai implikasi Mamdani → , maka kesimpulan “v adalah B′ ” di atas dapat mm

diperoleh dengan menentukan himpunan kabur B′~ dengan fungsi keanggotaan

))} ( ), ( min( ), ( min{ sup ) ( ~ ~ ~ ~ v u u v B A A U u B µ µ µ µ ∈ ′ = )} ( , min{ )} ( )), ( ), ( min( sup min{ )} ( ), ( ), ( min{ sup ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ v w v u u v u u B B A A U u B A A U u µ µ µ µ µ µ µ = = = ′ ∈ ′ ∈

di mana w supmin{ ~(u), ~(u)} sup(A~ A~)

U u A A U u ∩ ′ = = ∈ ′ ∈ µ µ

yang menyatakan derajat

keserasian (degree of compatibility) antara predikat A′ dengan A. Jadi untuk memperoleh himpunan kabur B′~ tersebut, pertama-tama ditentukan derajat keserasian w, yaitu supremum dari irisan himpunan kabur A′~ dan A~, dan kemudian diperoleh B′~ sebagai irisan w dengan himpunan kabur B~, seperti terlihat dalam Gambar 2.7.

(54)

Gambar 2.7 Penarikan kesimpulan dalam modus ponens rampat

Modus ponens rampat dapat digeneralisasikan menjadi modus ponens rampat multikondisional, yang terdiri dari m buah premis kabur berupa kaidah, sebuah premis kabur berupa fakta, dan sebuah kesimpulan. Skema umumnya adalah sebagai berikut:

di mana A dan ij A′ adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur j

ij

A~ dan A~′ dalam semesta j U , dan j B adalah predikat kabur yang dikaitkan dengan i himpunan kabur B~i dalam semesta V (i = 1, ⋅⋅⋅,m; j = 1, ⋅⋅⋅,n). Masing-masing

premis tersebut dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur Ri

~

(i = 1, ⋅⋅⋅,m) dalam Premis 1 : Bila

u

1 adalah

A

11dan

dan

u

n adalah

A

1n, maka v adalah

B

1 Premis 2 : Bila

u

1 adalah

A

21dan

dan

u

n adalah

A

2n, maka v adalah

B

2

… …

Premis m : Bila

u

1 adalah

A

m1dan

dan

u

n adalah

A

mn, maka v adalah

B

m

Fakta :

u

1 adalah

A′

1dan

dan

u

n adalah

A′

n Kesimpulan : v adalah

B′

(55)

V U

U1×⋅ ⋅⋅× n × dan faktanya sebagai himpunan kabur A′= A′×⋅ ⋅⋅×An

~ ~ ~ 1 dalam n U

U1×⋅ ⋅⋅× . Premis-premis R~i tersebut biasanya diperlakukan secara disjungtif,

sehingga semua premis itu dapat digabung menjadi satu premis R~, yaitu ~ ~.

1

m i i R R = =

Maka kesimpulan “v adalah B′ ” dapat diperoleh dengan kaidah inferensi komposisional untuk menentukan himpunan kabur B~′= A~′R~ dalam semesta V dengan fungsi keanggotaan (dengan mengambil operasi baku “min” untuk norma-t dan “max” untuk gabungan kabur)

) ( ~ v B′ µ ~ ~(v) R A ′ =µ ) ( } ~ ~ { max )} , , , ( ), , , ( min{ sup max )} , , , ( ), , , ( min{ max sup ))} , , , ( ( max ), , , ( min{ sup )} , , , ( ), , , ( min{ sup 1 1 1 ) ~ ~ ( } , , 1 { 1 ~ 1 ~ } , , 1 { 1 ~ 1 ~ } , , 1 { 1 ~ } , , 1 { 1 ~ 1 ~ 1 ~ ) , , ( v R A v u u u u v u u u u v u u u u v u u u u m i i i j j i j j i j j n n R A i m i n R n A U u m i n R n A m i U u n R m i n A U u n R n A U U u u    = ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ∈ ′ × ⋅⋅ ⋅ × ∈ ⋅⋅ ⋅ = ′ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = µ µ µ µ µ µ µ µ µ

untuk setiap v∈ . Jadi V ~ ~ ~ (~ ~) ~,

1 1 1

  m i i m i m i i A R B R A B = = = ′ = ′ ′ = ′ = ′ di mana B A Ri ~ ~ ~  ′ = ′ .

Jika untuk implikasi kabur R~i tersebut diambil implikasi Mamdani → , mm sehingga fungsi keanggotaannya adalah

(56)

)}, ( ), , , ( min{ ) , , , ( 1 ~ ~ 1 ~ ~ 1 u u v v u u i in i i n A A n B R µ µ µ ⋅ ⋅⋅ = ×⋅⋅× ⋅ ⋅⋅

maka fungsi keanggotaan B′~ adalah

) ( ~ v B′ µ ( ) 1 ~ ~ v m i i R A   = ′ =µ )} ( , min{ max )} ( )), ( ), ( ( min sup min min{ max ))} ( )), ( ( min )), ( ( min min{ sup max ))} ( ), , , ( min( ), , , ( min{ sup max ~ } , , 1 { ~ ~ ~ } , , 1 { } , , 1 { } , , 1 { ~ ~ } , , 1 { ~ } , , 1 { } , , 1 { ~ 1 ~ ~ 1 ~ ~ } , , 1 { 1 1 v w v u u v u u v u u u u i i ij j j j i ij j j j i in i n j j B i m i B j A j A n j U u n j m i B j A n j j A n j U u m i B n A A n A A U u m i µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ ′ × ⋅⋅ ⋅ × ′ ′ × ⋅⋅ ⋅ × ′ ∈ ⋅⋅ ⋅ ∈ = = = ⋅⋅ ⋅ ⋅⋅ ⋅ = di mana ij n j i w w } , , 1 { min ⋅⋅ ⋅ ∈

= , dan sup min ( ~ ( ), ~ ( ))

} , , 1 { n A j A j j U u ij u u w ij j j j µ µ ⋅⋅ ⋅ ∈ ∈ = , i = 1, ,⋅ m. ⋅⋅ ) ~ ~ ( sup j ij U u ij A A w j j ∩ ′ = ∈

merupakan derajat keserasian (degree of compatibility)

antara fakta A′j

~

dari premis/kaidah Ri

~

, sedangkan w yang merupakan minimum dari i

semua w untuk j = 1, ij ⋅⋅⋅, n seringkali disebut daya sulut (firing strength) yang

menyatakan sejauh mana anteseden dari kaidah R~i dipenuhi oleh fakta A′~ yang diberikan dan menyulut konsekuen dari kaidah tersebut. Dengan demikian kesimpulan B′~ ditentukan dengan empat langkah sebagai berikut:

Langkah 1 : Tentukan derajat keserasian w , yaitu supremum dari ij Aj Aij

~

~ ∩′ untuk setiap i = 1, ⋅⋅⋅, m dan j = 1, ⋅⋅⋅, n.

(57)

Langkah 2 : Untuk setiap i, tentukan daya sulut w sebagai minimum dari semua i derajat keserasian w untuk j = 1, ,ij ⋅ n. ⋅⋅

Langkah 3 : Untuk setiap i, tentukan irisan w dengan i Bi

~ .

Langkah 4 : Gabungkanlah semua irisan tersebut untuk memperoleh B′~ .

Gambar 2.7Melukiskan langkah-langkah tersebut untuk m = n = 2.

(58)

11. Sistem Kendali Kabur

Sistem kendali kabur berfungsi untuk mengendalikan proses tertentu dengan mempergunakan kaidah inferensi kabur berdasarkan logika kabur. Pada dasarnya sistem kendali semacam itu terdiri dari empat unit, yaitu:

a. Unit pengaburan (fuzzification unit)

b. Unit penalaran logika (fuzzy logic reasoning unit)

c. Unit basis pengetahuan (knowledge base unit), yang terdiri dari dua bagian:

1. Basis data (data base), yang memuat fungsi-fungsi keanggotaan dari himpunan-himpunan kabur yang terkait dengan nilai dari variabel-variabel linguistik yang dipakai.

2. Basis kaidah (rule base), yang memuat kaidah-kaidah berupa implikasi kabur.

d. Unit penegasan (defuzzification unit).

Suatu sistem kendali semacam itu mula-mula mengukur nilai-nilai tegas dari semua variabel masukan yang terkait dalam proses yang akan dikendalikan. Nilai-nilai tersebut kemudian dikonversikan oleh unit pengaburan ke Nilai-nilai kabur yang

(59)

sesuai. Hasil pengukuran yang telah dikaburkan kemudian diproses oleh unit penalaran, yang dengan menggunakan unit basis pengetahuan, menghasilkan himpunan kabur sebagai keluarannya. Langkah terakhir dikerjakan oleh unit penegasan, yaitu menerjemahkan himpunan kabur keluaran itu ke dalam nilai yang tegas. Nilai tegas inilah yang kemudian direalisasikan dalan bentuk suatu tindakan yang dilaksanakan dalam proses pengendalian itu. Gambar 2.6 menunjukkan skema langkah-langkah tersebut.

Gambar 2.9 Struktur dasar sistem kendali kabur

B. Dekomposisi Nilai Singular (DNS)

Dekomposisi nilai singular (DNS) dari suatu matriks Am×n adalah faktorisasi

dari A menjadi hasil kali dari 3 buah matriks, yaitu A=U

VT , di mana URm×m dan VRn×n adalah matriks-matriks orthogonal, dan

masukan (tegas)

unit basis pengetahuan

keluaran (tegas) in y _ basis data basis Kaidah unit penalaran unit pengaburan

(kabur) (kabur) unit

(60)

(

1, 2, ,

)

R (p min{m,n}) diag ⋅ ⋅⋅ pm n =

= ×

σ σ σ adalah matriks diagonal dengan

0

2

1 ≥σ ≥⋅ ⋅⋅≥σp

σ . σ disebut nilai singular dari A dan merupakan akar-akar i

positif dari nilai-nilai eigen dari ATA. Kolom-kolom dari U disebut vektor singular kiri dari A (vektor eigen orthonormal dari AA ), sedangkan kolom-kolom dari V T disebut vektor singular kanan dari A (vektor eigen orthonormal dari ATA).

Untuk mengilustrasikan prinsip dasar penggunaan DNS untuk seleksi kaidah kabur akan digunakan model kabur dengan konsekuen konstanta sebagai contoh. Model kabur tersebut adalah model Takagi Sugeno Kang (TSK) yang memiliki bentuk sebagai berikut:

Jika x adalah 1 A dan i1 x adalah 2 A dan i2 ⋅ ⋅⋅ dan x adalah m A im maka y adalah c , i = 1, 2, i ⋅ ⋅⋅, M (2.1) di mana c adalah konstanta. Keluaran akhir dari model tersebut dihitung dengan i

persamaan berikut:

= = = M i i M i i i w c w y 1 1 (2.2)

di mana w adalah derajat kesesuaian (daya sulut) kaidah ke-i yang didefinisikan i

dengan persamaan 2.3 atau 2.4

(

( ), ( ), , ( )

)

min A1 1 A2 2 A m i a a a w im i i µ µ µ ⋅ ⋅⋅ = (2.3)

(61)

atau ) ( ) ( ) ( 1 2 2 1 A A m A i a a a w im i i µ µ µ × ×⋅ ⋅⋅× = (2.4)

Daya sulut kaidah ke-i yang dinormalisasikan adalah :

= = M i i i i w w N 1 (2.5)

Persamaan 2.2 dapat ditulis kembali menjadi

= = M i i ic N y 1 (2.6)

Persamaan tersebut dapat dipandang sebagai kasus khusus dari model regresi linear:

= + = M i i i e p y 1 θ (2.7)

dengan p dan i θ adalah i

i i i

i N c

p ≡ ,θ ≡ (2.8)

di mana p adalah regresor, i θ adalah parameter, dan e adalah sinyal galat yang i diasumsikan tidak berkorelasi dengan regresor p . Jika diberikan N pasang masukan-i keluaran {x(k),y(k)},k =1,2,⋅ ⋅⋅,N, di mana x(k)=[x1(k),x2(k),⋅ ⋅⋅,xm(k)]T, maka persamaan 2.7 dapat dinyatakan ke dalam bentuk matriks

e P y= θ+ (2.9) di mana y =[y(1),⋅ ⋅⋅,y(N)]TRN, M N m R p p P=[1,⋅ ⋅⋅, ]∈ × dengan pi =[pi(1),⋅ ⋅⋅,pi(N)]TRN,

(62)

, ] , , [ 1⋅ ⋅⋅ M TRM = θ θ θ dan . )] ( , ), 1 ( [e e N T RN e= ⋅ ⋅⋅ ∈

Masing-masing kolom P berkorespondensi dengan satu kaidah kabur dalam basis kaidah. Matriks P disebut matriks daya sulut dan P disebut prediktor dari yθ . Dalam membangun sebuah model kabur, jumlah data pelatihan biasanya lebih besar daripada jumlah kaidah kabur dalam basis kaidah. Maka dimensi baris matriks P lebih besar daripada dimensi kolomnya, yaitu N >M .

Matriks daya sulut P bisa singular (atau mendekati singular) karena adanya kaidah kabur yang kurang penting atau yang berlebihan dalam basis kaidah. Kaidah kabur yang kurang penting berarti kontribusi kaidah-kaidah tersebut pada keluaran akhir adalah kecil, dan kaidah kabur yang berlebihan berarti kontribusi kaidah-kaidah tersebut dapat digantikan dengan kaidah-kaidah yang lain. Sebuah kaidah yang kurang penting dapat muncul dalam basis kaidah jika daya sulut yang dinormalisasikan dari kaidah tersebut adalah nol atau mendekati nol dalam keseluruhan ruang masukan, sedangkan kaidah yang berlebihan dapat muncul dalam basis kaidah jika daya sulut yang dinormalisasikan dari kaidah tersebut sama dengan atau bergantung linear pada satu atau lebih kaidah-kaidah yang lain.

Secara matematis, singularitas dari sebuah matriks ditunjukkan oleh adanya nilai singular nol atau mendekati nol dalam matriks. Jadi, kaidah kurang penting atau kaidah berlebihan dalam basis kaidah dapat ditentukan dengan memeriksa nilai-nilai singular dari matriks daya sulut P. Lebih spesifik, DNS dari P dapat dihitung dengan

(63)

= P T P P V U

P di mana banyak nilai singular nol atau mendekati nol dalam

P

mengindikasikan banyaknya kaidah kabur kurang penting atau kaidah kabur berlebihan dalam basis kaidah. Menghilangkan kaidah kabur kurang penting atau kaidah kabur berlebihan dari basis kaidah untuk menghasilkan prediktor P , di θ mana θ memiliki paling banyak r komponen taknol, dengan r adalah banyaknya kaidah kabur yang tinggal dalam basis kaidah setelah kaidah kabur kurang penting atau kaidah kabur berlebihan dihilangkan. Letak dari entri-entri taknol menentukan kolom-kolom P, yaitu kaidah-kaidah dalam basis kaidah, yang digunakan dalam membangun model dan mendekati vektor observasi y.

Berikut ini akan diperkenalkan sebuah metode yang digunakan untuk menyeleksi r kaidah penting (atau M-r kaidah kurang penting atau kaidah berlebihan) dalam basis kaidah. Metode tersebut diawali dengan menghitung DNS dari P, yaitu:

= P T P P V U P . (2.10) Partisikan V menjadi P r M r V V V V VP −       = 22 21 12 11 (2.11) r M-r

Gunakan algortima QR dengan faktorisasi pivot kolom pada [ 11T 21T] V

V untuk

(64)

] [ ] [V11 V21 R11 R12 QT T T ∏= (2.12) r M-r

di mana QRr×r adalah matriks orthogonal, R11Rr×r adalah matriks segitiga atas, dan ∏∈RM×M adalah matriks permutasi. Didefinisikan:

∏ ≡ − P P Pr M r] [ (2.13)

di mana PrRN×r terdiri atas kolom-kolom yang diinginkan dari P yang letak aslinya dalam P mengindikasikan letak kaidah yang bersesuaian dalam basis kaidah.

Kunci dari metode ini adalah menemukan matriks permutasi ∏ dan kemudian mendapatkan subset P yang diinginkan. Matriks permutasi adalah matriks r identitas yang baris-barisnya disusun kembali dan salah satu fungsinya adalah menukar tempat kolom-kolom dari suatu matriks. Misalnya:

          = 33 32 31 23 22 21 13 12 11 p p p p p p p p p P (2.14)

dan kolom yang kedua dan ketiga dari P akan ditukar tempat. Jika bisa ditemukan matriks permutasi           = ∏ 0 1 0 1 0 0 0 0 1 (2.15)

(65)

          = ∏ 32 33 31 22 23 21 12 13 11 p p p p p p p p p P (2.16)

Prinsip dasar di balik metode ini dapat dimengerti melalui observasi berikut ini. Jika kolom ke-j dari P terdiri atas entri-entri nol atau mendekati nol, maka nilai singular nol atau mendekati nol akan muncul pada diagonal utama di kolom ke-j dari matriks segitiga. Jika kolom ke-j dari P terdiri atas entri-entri yang sama dengan atau bergantung linear terhadap salah satu atau lebih kolom yang lain, katakan kolom ke-l, maka nilai singular nol akan muncul pada diagonal utama di kolom ke-j atau kolom ke-l dari matriks segitiga. Hal tersebut akan diilustrasikan dengan menggunakan matriks P yang diberikan dalam 2.14. Misalnya entri-entri pada kolom kedua dari P semuanya adalah nol, maka nilai-nilai singular pada diagonal utama dari matriks segitiga terlihat seperti berikut ini:

          * 0 *

di mana * adalah sebarang konstanta real taknegatif. Jika misalnya entri-entri pada kolom kedua sama dengan kolom ketiga, maka nilai-nilai singular pada diagonal utama matriks segitiga akan terlihat seperti berikut ini:

          * 0 * atau

Gambar

Gambar 1.1 Jaringan Syaraf Biologi
Gambar 1.2  Jaringan syaraf sederhana
Gambar 1.3 Jaringan syaraf tiruan dengan lapisan tersembunyi
Gambar 2.1 Grafik fungsi keanggotaan segitiga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Belanja Negara tahun 2019 difokuskan untuk mendukung. berbagai program prioritas nasional, serta meningkatkan daya saing, ekspor

Bagi Guru Dengan adanya prototipe buku penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran tematik kelas IV SD Guru bisa lancar dalam mengajar dengan menggunakan langkah-langkah yang

Piutang merupakan salah satu unsur dari aktiva lancar dalam neraca perusahaan yang timbul akibat adanya penjualan barang dan jasa atau pemberian kredit terhadap

Seluruh materi pada mata kuliah Sistem Kontrol Tata Udara memiliki kesesuaian secara isi materi dengan tiga materi SKKNI pada tiga kompetensi yang berbeda, materi

Modal kerja adalah salah satu unsur aktiva yang sangat penting dalam perusahaan, karena tanpa modal kerja maka perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan dana untuk

Meskipun perubahan mukosa terjadi pada semua pasien dalam penelitian ini, namun hubungan antara jenis batu dan perubahan mukosa yang terjadi masih belum bisa ditegakkan karena

--- Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi setelah memeriksa dan meneliti secara cermat berkas perkara beserta terunan resmi putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 17 Juli

Gangguan yang secara intensif mengancam keberadaan kawasan TNBB adalah kebakaran hutan. PJ dan SIG dapat dipergunakan untuk memetakan kawasan rawan kebakaran hutan. Kawasan