• Tidak ada hasil yang ditemukan

Plagiarism Checker X - Report

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Plagiarism Checker X - Report"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Plagiarism Checker X - Report

Originality Assessment

Overall Similarity: 29%

Date: Jan 16, 2021

Statistics: 1930 words Plagiarized / 6651 Total words

Remarks: Moderate similarity detected, you better improve the document (if required).

(2)

ANALISIS COAL HEATING BOX UNTUK MENDAPATKAN REAKSI SWABAKAR PADA SUHU DAN POLA PENIMBUNAN BATUBARA Raudhatul Jannah1, Dr. Murad, Ms, MT2 , Ahmad Fadhly, ST, MT3 Teknik Pertambangan, Sekolah Tinggi Teknik Industri Padang ABSTRAK Swabakar merupakan permasalahan dalam industri pertambangan, penyebab swabakar dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik dari batubara.Faktor intrinsik yaitu

karakteristik batubara terdiri dari kandungan volatil matter, moisture content, ash content, mineral matter dan kalori batubara, sedangkan faktor ektrinsik salah satunya adalah kondisi kecepatan angin.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pola penimbunan batubara yang dapat meminimalkan terjadinya potensi swabakar (spontaneous combustion). Setelah dilakukannya pengamatan, maka didapatkan hasil bahwa nilai temperatur tumpukan batubara yang diuji dengan suhu pemanasan dimulai dari suhu 30°C, 50°C, 70°C, dan 85°C dengan menggunakan coal heating box.Dari pola tumpukan yang diamati didapatkan bahwa pola tumpukan pada pola tumpukan Cone Shell pada suhu 53ºC menimbulkan reaksi swabakar dan pada pola Chevron pada suhu 50ºC menimbulkan reaksi swabakar dan pada pola Chevcon pada suhu 53ºC menimbulkan reaksi swabakar dan pada pola Windrow pada suhu 85ºC baru menimbulkan reaksi swabakar pada kalori 4617 kkal/kg. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk tumpukan windrow lebih baik diterapkan untuk mengurangi potensi swabakar. Kata Kunci: Swabakar,Batubara, pola tumpukan, stockpile.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Rr. Harminuke, dkk Tahun 2017.

Batubara diartikan sebagai batuan sedimen yang berasal dari material organik (organo clastisedimentary rock), dapat dibakar dan memiliki kandungan utama berupa C, H, O, S, N.

8Batubara yang telah ditambang biasanya ditempatkan pada suatu daerah penyimpanan (stockpile) atau penyimpanan sementara (temporary stockpile) sebelum dilakukan

pengangkutan menuju konsumen.4Batubara merupakan bahan galian fosil padat yang terdiri dari komponen kandungan air total, kandungan abu, zat terbang dan karbon padat, dimana kandungandidalamkomponen batubara tersebut akan menentukan besarnya nilai panas yang dihasilkan.Batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang mengalami proses pelapukan hingga terjadi pada tahap penggambutan serta efek suhu dan tekanan selama

(3)

dalam proses, pemanfaatan batubara di Indonesia saat ini digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan kebutuhan pabrik untuk menggerakan mesin berkapasitas besar. Penyebab swabakar batubara dapat dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik, faktor intrinsik antara lain karakteristik batubara dan mineral pengotor sedangkan faktor ektrinsik dipengaruhi oleh kecepatan arah angin. Temperatur, kadar oksigen,geometri dan management stokpile. Swabakar ini terjadi karena adanya reaksi kandungan karbon pada batubara dengan gas oksigen di udara.volatilematter yang cukup tinggi sehingga mudah terbakar dengan sendirinya.8Selain itu, swabakar dapat terjadi akibat tinggi penimbunan batubara yang kurang tepat.Pada umumnyaswabakar ini banyak terjadi pada batubara kualitas rendah dengan kandungan volatile.Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terkait sebelumnya swabakar

mengindentifikasikan batubara yang telah terbakar tidak dapat digunakan lagi maupun dijual kekonsumen dan saat terjadinya swabakar tersebut bisa berdampak pada penurunan kualitas batubara. Berdasarkan observasi lapangan didapatkan informasi bahwa stockpile di PT.Caritas Energi indonesia Kencana tidak pernah melakukan pengecekan suhu pada

timbunan yang tertumpuk di stockpile sehingga tidak dapat diketahui kapan dan antisipasi apa yang dilakukan sebelum terjadinya swabakar pada timbunan pola penimbunan yang digunakan di stockpile Batubara yaitu cone ply. Pola cone ply ini dipilih karena untuk mengikuti bentuk stockpile yang sudah ada, namun di stockpile Batubara ini sistem penimbunannya tidak beraturan disebabkan karena batubara yang dari front lansung ditumpahkan dari dump truck dan tidak dilakukan penumpukan ulang oleh alat berat seperti excavator, pada sisi luar timbunan tersebut tidak dilakukan pemadatan sehingga angin lebih mudah masuk kedalam timbunan untuk mempercepat kenaikan suhu pada timbunan, degradasi butir batubara yang tidak sama menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya swabakar. Penimbunan batubara pada temporary stockpile dapat berlangsung berbulan- bulan,8penimbunan ini dapat mengakibatkan terjadinya pembakaran sendiri pada batubara atau yang biasa disebut swabakar (spontaneous combustion).Terjadinya swabakar pada stockpile akan menimbulkan beberapa masalah, seperti kerugian bagi

(4)

perusahaan, menghasilkan asap yang dapat mengganggu kesehatan manusia terutama para pekerja tambang. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik mengangkat judul

“Analisis Coal Heating Box Untuk Mendapatkan Reaksi Swabakar pada Suhu dan Pola Penimbunan Batubara” 1.2 Identifikasi Masalah Identifikasi masalah pada penelitian berdasarkan latar belakang masalah di atas adalah sebagai berikut: 1. Pengujian batubara dengan kalori batubara yang rendah untuk menentukan suhu berapa swabakar terbakar. 2.

Sudah dilakukan adanya simulasi terhadap pengujian swabakar dengan kalori batubara yang tinggi dengan skala laboratorium. 3. Batubara berkualitas rendah belum diminati sehinnga sulit dalam pemasaran. 4. Saat ini di PT.Caritas Energi indonesia memiliki batubara berkalori 4617 kcal/kg batubara tersebut hanya ditumpuk di stockpile. 1.3

Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini untuk menentukan reaksi swabakar batubara pada 4617 kcal/kg dengan melakukan tiga metode yang mempengaruhi

swabakar batubara yaitu pola timbunan, tingkatan suhu dan waktu yan ditentukan. 1.4

14Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalahadalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh suhu akibat perlakuan pada pola timbunan batubara? batubara yang aman untuk diterapkan agar bisa meminimalisir terjadinya swabakar di stockpile? 2. Berapakah waktu yang diperlukan untuk mendapatkan reaksi swabakar batubara? 1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan pengaruh suhu pada pola timbunan. 2. Mendapatkan waktu yang diperlukan pada reaksi swabakar batubara. 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada penulis yang melakukan penelitian langsung di lapangan serta kepada perusahaan tempat penulis melakukan penelitian dan kepada kampus tempat penulis menimba ilmu, manfaat tersebut antara lain: 1. Bagi penulis Sebagai penerapan ilmu pertambangan secara teori kedalam bentuk nyata dilapangan. 2. Bagi perusahaan Dapat menjadi pertimbangan bagi

perusahaan dalam penanganan swabakar dalam sistem pola penimbunan atau manajement stockpile, agar dapat mengurangi terjadinya swabakar. 3. Bagi STTIND Dapat menjadi pengetahuan dan panduan bagi mahasiswa pertambangan di sekolah tinggi teknologi

(5)

industri padang sebagai acuan dalam penyusun proposal penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Swabakar 2.1.1.1 Pengertian Swabakar Swabakar (Spontaneous combustion) salah satu fenomena yang terjadi pada batubara pada waktu batubara tersebut disimpan atau di storage / stockpile dalam jangkawaktu tertentu.

Swabakar pada stockpile merupakan hal yang sering terjadi dan perlu mendapatkan perhatian khususnya pada timbunan batubara dalam jumlah besar. Batubara akan teroksidasi saat tersingkap dipermukaan sewaktu penambangan, demikian pada saat batubara ditimbun proses oksidasi ini terus berlanjut. Akibat dari reaksi oksidasi antara oksigen dengan gas-gas yang mudah terbakar dari komponen zat terbang akan menghasilkan panas. Sebelum mengalami swabakar batubara akan mengalami proses oksidasi yang merupakan proses inisiasi dari swabakar apabila proses oksidasi ini diikuti dengan meningkatnya temperatur terus menerus yang akhirnya mengakibatkan terjadinya pembakaran spontan. Batubara akan bereaksi dengan oksigen di udara segera setelah batubara tersebut tersingkap selama penambangan. Kecepatan reaksi ini lebih besar terutama pada batubara golongan rendah seperti lignite dan sub-bituminus, sedangkan pada golongan batubara bituminus keatas atau, oksidasi ini baru akan tampak apabila batubara tersebut sudah tersingkap dalam jangka waktu yang cukup lama. Apabila temperatur batubara terus meningkat yang disebabkan oleh self heating, maka ini perlu ditangani dengan serius karena ini akan berpengaruh terhadap nilai komersial batubara tersebut, selain itu akan mengakibatkan pembakaran spontan batubara yang sangat tidak diinginkan karena akan merugikan. Pada temperatur normal kecepatan oksidasi ini kecil sekali, bahkan cenderung menurun selang dengan waktu, dengan demikian resiko penurunan kualitas karena oksidasi ini masih bisa diterima dalam periode waktu

pengiriman (8 jam – 8 minggu). Oksidasi yang dimaksud diatas adalah oksidasi yang tidak diikiuti dengan pembakaran spontan atau oksidasi pada temperatur rendah, akan tetapi apabila disimpan dalam jangka waktu lama di stockpile penurunan kualitas akibat ini biasanya tidak dapat diterima. Karena selain penurunan kualitas secara kimia juga terjadi penurunan kualitas secara fisik terutama terjadi pada batubara golongan rendah atau low

(6)

rank coal. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa penyebab awal terjadinya pembakaran spontan adalah reaksi oksidasi yang terjadi dengan sendirinya dalam batubara, yang mengakibatkan pemanasan dengan sendirinya yang selanjutnya akan mengakibatkan pembakaran spontan apabila tidak terkontrol. Pembakaran spontan adalah merupakan fenomena alami dan juga disebut pembakaran sendiri (self combustion). Hal ini disebabkan terjadinya reaksi zat organik dengan oksigen dari udara. Kecepatan reaksi oksidasi sangat bervariasi antara suatu zat dengan yang lainnya. Batubara akan mengalami pemanasan dengan sendirinya kapan pun dan dimana pun apabila batubara tersebut disimpan dalam bentuk bulk (tumpukan dalam jumlah besar) di stockpile. Self heating disebabkan oleh oksidasi pada permukaan batubara yang kontak dengan oksigen di udara. Sebenarnya panas yang dihasilkan dapat terhilangkan dengan distribusi panas keseluruh batubara atau ke udara dengan penguapan moisture batubara tersebut.Pembakaran akan terjadi apabila : 1. Adanya bahan bakar (fuel) 2. Adanya oksidan (udara / oksigen) 3. Adanya panas (heat) 1. 2. 2.1 2.1.4 2.1.1.2 Teori yang mengungkap terjdinya fenomena spontaneous combustion 1. Teori pyrite besi disulfide Berada didalam batubara dalam dua benuk yaitu cubic yellow pyrite dan rhombic marcasite. Marcasite diketahui lebih reaktif terhadap oksigen dibanding dengan pyrite, pyrite memberikan kontribusi pada terjadinya oksidasi batubara lebih besar dalam bentuk partikel kecil, sedangkan pada partikel yang relative lebih besar rate

oksidasinya akan lebih rendah a. Panas yang dihasikan dari oksidasi pyrite ikut membantu pada terjadinya oksidasi batubara b. Oksidasi pyrite menjadi ferrous sulphate

menyebabkan disintegrasi dari batubara sehimgga memperluas daerah permukaan batubara untuk terjadinya oksidasi 2.Teori coal oxygen atau teori kompleks Adalah pembentukan sebuahcoal oxygen komplek selama oksidasi batubara pada temperature rendah dinyatakan oleh sejumlah peneliti terdahulu wheeler (1918) menyatakan bahwa adsorpsi oksigen terjadi pada temperature rendah, tahapan dari teori inia. Adsorpsi oksigen secara fisik. b. Tahap chemisorptionmembentukansebuah komplek yang mengandung oksigen aktif yang disebut per-oksigen. c. Reaksi kimia cepat dimana CO, CO2 dan H2O dihasilkan oleh dekomposisi dari per oksigen tersebut. 3. Teori humidity

(7)

Adalah batubara akan bereaksi dengan oksigen di udara segera setelah batubara tersebut terekspose selama penambangan,kecepatan reaksi ini lebih besar terutama pada batubara golongan rendah seperti lignit dan sub-bituminus sedangkanpada golongan batubara bituminouskeatas atau high rank coal, oksidasi ini baru akan tampak apabila batubara tersebut sudah diekspose dalam jangka waktu yang sangat lama, apabilatemperature batubara terus meningkat yang di sebabkan oleh self heating.4. Teori bakteri Adalah karena aktifitas bakteri dianggap dapat menyebabkan terjadinya spontaneous combustion, pengalaman atau fakta dilapangan menunjukan bahwa pembakaran spontan batubara terjadi apabila mengikuti kriteria berikut;a.Batubara telah lama disimpan atau di stockpile terbuka terlalu lama baikcsushedcoal maupun raw coal tanpa pemadatan b. Dimensi ukuran,sudut kemiringan maupun bentuk stockpile yang tidak memenuhi standar c.

Kecepatan angin yang menerpa stockpile Banyaknya mineral pengotor d.

Ketidakseragaman ukuran butir batubara e. System saluran air yang tidak sesuai kriteria 2.1.1.3 Penyebab Terjadinya Swabakar pada Stockpile Batubara Menurut Nurul.dkk,(2016), Penyebab terjadinya swabakar pada area timbunan batubara adalah sebagai berikut: 1.

Lama Penimbunan Semakin lama batubara terekspose dengan udara, maka semakin besar kemungkinan batubara tersebut mengalami oksidasi yang berarti semakin besar

kemungkinan terjadinya swabakar Muchjidin, (2006), Batubara yang terakumulasi

jumlahnya5setiap bulan akan menyimpan panas yang terakumulasi akibat sirkulasi udara yang tidak lancar didalam area timbunan. Semakin lama batubara tertimbun akan semakin banyak panas yang tersimpan didalam timbunan, karena volume udara yang terkandung di dalam timbunan semakin besar sehingga kecepatan oksidasi semakin tinggi hal ini lah yang menyebabkan terjadinya swabakarbatubara diarea timbunan sehingga rekomendasi lama penumpukan batubara adalah 4 minggu (30 hari) Hana, (2005). 2.5Metode Penimbunan Batubara dari front penambangan yang ditimbun diarea timbunan haruslah segera dipadatkan, dengan adanya pemadatan ini akan dapat menghambat proses terjadinya swabakar batubara, karena ruang antar butir diantara material batubaraberkurang Widodo, (2009), Pada sisi area timbunan yang lebih padat dan rongga antar butirnya kecil suhu nya

(8)

lebih rendah.5Pemadatan pada area timbunan batubara sangat penting untuk dilakukan agar kenaikan suhu batubara yang signifikan dapatdiminimalisir.Terjadiswabakar batubara selalu pada sisi samping bukan pada sisi atas area timbunan dikarenakan mudahnya udara untuk masuk melalui rongga rongga udara yang ada, karena sisi samping tersebut tidak dipadatkan. Pada saat menyimpan batubara yang relatif lama, baik batubara golongan rendah maupun batubara golongan tinggi, sebaiknya setiap slope tumpukan dipadatkan.

Muchjidin,( 2006) Pada saat menyimpan batubara yang relatif lama, baik batubara golongan rendah maupun batubara golongan tinggi, sebaiknya setiap slope tumpukan dipadatkan.Pemadatan permukaan berarti mengurangi penetrasi oksigen kedalam tumpukan batubara yang juga akan mengurangi tingkat oksidasi batubara dalam tumpukan tersebut.3. Dimensi Timbunan Dimensi timbunan batubara seperti tinggi timbunan dimana batubara yang ditimbun telah disortir ukurannya dengan baik sebaiknya memiliki ketinggian maksimal 11–12 meter namun apabila batubara tersebut telah

tertimbun lebih dari 1 bulan maka sebaiknya tinggi timbunan hanya mencapai 6 meter Widodo,( 2009). Tumpukan10yang terlalu tinggi akan menyebabkan semakin banyak panas yang terserap.Sudut tumpukan yang terbentuk dari suatu tumpukansebaiknya lebih kecil dari angle of reposetumpukan batubara Widodo, (2009), sudut timbunan sebaiknya dibentuk tidak melebihi batas angle of repose dari material yang ditimbun, dalam hal ini batubara memiliki angle of repose sebesar ,ْ 38 namun sudut yang dibentuk masih dapat ditoleransi sampai membentuk ْ 40 Hana, (2005) Tinggi timbunan batubara dan besarnya sudut kemiringan sangat berkaitan dengan arah angin dan keselamatan kerja, karena semakin tinggi dan terjal timbunan akan mempengaruhi aliran angin yang masuk ke rongga timbunan batubara dan berpotensi menimbulkan swabakar, sedangkan berkaitan dengan keselamatan kerja, timbunan yang terlalu tinggi dan terjal akan mengganggu stabilitas timbunan dan berpotensi menyebabkan longsor Muchjidin, (2006). 4. Arah Angin

4Aliran angin dan kecepatan angin menentukan kecepatan batubara mengalami swabakar dimana udara berfungsi sebagai transfer perpindahan panas pada stockpile sehingga mempengaruhi cepatnya batubara di timbunan untuk terbakarEjlali, (2009). Semaki

(9)

dominan angin yang menerpa sisi area timbunan maka akan semakin cepat proses oksidasi terjadi pada area timbunan itu. 5. Ukuran Butir Ukuran butir batubara juga mempengaruhi kecepatan dari proses oksidasi. Ukuran batubara yang kecil akan menyebabkan semakin besarnya luas permukaan batubara tersebut yang terkena kontak dengan oksigen yang dibawa oleh angin,sehingga membuat potensi terjadinya proses swabakar semakin besar.

10Sebaliknya semakin besar ukuran bongkah batubara, semakin lambat proses swabakar terjadi. 2.1.1.4 Proses Pembakaran Spontan Proses pembakaran16spontan adalah

merupakan proses terbakar akibat pemanasan sendiri, oleh peningkatan suhu karena reaksi sendiri atau internal, kemudian diikuti dengan pelepasan panas sehingga mampu

menyalakan dan menimbulkan pengapian . Pembakaran spontan mengalami proses

bertahap11. Mula-mula batubara akan menyerap oksigen dari udara secaraperlahan-lahan dan kemudian temperature udara akan naik 2.15Akibat temperature naik kecepatan

batubara menyerap oksigendanudara bertambah dan temperature kemudian akan mencapai1000C-1400C Terdapat beberapa tindakan pencegahan dan penanggulangan 1.

1Tindakan preventive adalah tindakan pencegahan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya selfcombustion Batubara tersebut di bentuk seperti kerucut, hal inidilakukan untuk meminimalkan terjadinya longsor, karena apabila kami bentuk setengah kerucut yang berarti ada bagian yang rata di atastumpukan batubara maka apabila terjadi hujan dapat membuat genangan air dan akhirnya batubara akan terkikis dan menjadi longsor karena aliran air hujan.2. Bagian tepi dipadatkan menggunakan bucket excavator, pemadatan tersebut bertujuan untuk mengurangi ruang kosong yang timbul dalam

tumpukan batubara karena celah antar batubara, denganpemadatanberarti batubara akan memiliki lebih sedikit ruangkosong yang berisi oksigen dimana terjadinya kebakaran salah satunya oksigen 3. Menggunakan cairan kimia, cairan yang dimaksud adalah produk untuk coal treatment yang memiliki fungsiberbeda-beda a. Outdustadalah produk ini dapat mencegah self combustion selamakurang lebih 21 hari. b.Focustcoat adalah produk ini dapat mencegah self combustion selama 60 hari.c.Hydrosol adalah produk ini dapat mencegah self combustion selamakurang lebih 75 hari. d. Suppressol adalah produk ini

(10)

untuk dust control atau mencegah debu yang muncul dari batubara. 4. Pemeriksaan temperature rutin, pemeriksaan tersebut dilakukan1untuk mengukur suhu panas permukaan batubara, apabiladi temukan titik permukaan yang terasa panas makaakan buatkan lobang dengan menggunakan pipa besikurang lebih sedalam 1meteruntuk mengeluarkan hawa panas batubara, lobang tersebutdi biarkan selama kurang lebih 1 jam dan akan di tutup dan dipadatkan kembali, proses pembuatan lubang dilakukan pada sore hari di saatmatahari sudah tidak menyengat atau pada malam hari5. Volcano trap atau istilah ini dipakaiuntuk membuang asap yang muncul dari dalam tumpukan batubara, tidak semua asap yang keluar dari tumpukan batubara adalah karena terjadi self combustion tetapi lebih karena suhu di dalam tumpukan batubara yang panas tetapi lapisan luar tumpukan batubara dingin karena terjadinya hujan atauembun, asap yang keluar dapat di cium dari baunnya untuk mengindikasi apakah terjadi karena terbakar ataukahkarena hawa panas, apabila asap yang keluar berbau belerangdan menyengat serta berwarna putihpekat maka berertitelah terjadi batubara yang terbakar, tetapi apabila asap yang muncul tidak berbau menyengat dan berwarna putihtranparan maka hanya terjadi karena hawa panas. 6. Tindakan burnout adalah tindakanyang diambil untuk memadamkan batubara yang sudah terbakar karena self combustion, batubara yang terbakar memiliki beberapaciri-ciri yaitu: a.Asap berwarna putih pekat, berbau belerang dan menyengat. Hal ini terjadi apabila batubara yang terbakar belummencapaipermukaan dan masih terjadi di dalam tumpukan batubarab.Permukaan berwarna kuning emas, berasap dan panas tentunya,halini terjadi apabila kebakaran sudah mencapai permukaan yang berarti kebakaran sudah luas dan dalam.2.1.1.5 Tindakan pemadaman swabakar Tindakan pemadaman swabakardapat dilakukan dalam beberapa tahap agar tidak meluas yaitu:1.Pembuatan lobang Hal ini dilakukan apabila kebakaran masih berupa asap

sehingga membuat lobang untuk mencari sumber api, perlu diingat bahwa dalam

pembuatan lobang apabila ditemukan batubara yang berwarna kuning atau sudah menjadi debu berwarna emas atau kuning tua maka itu harus dibuang jauh dari tumpukan batubara karena dapat mengkontaminasi batubara lainnya menjadi ikut terbakar2.Pembuangan

(11)

debu Hal ini dilakukan apabila kebakaran sudah terjadi sampai ke permukaan,

pembuangan debu dari sisa batubara yang terbakar harus dilakukan pelan-pelan agar tidak terbangdi bawaangin dan akan mengkontaminasi batubara lainnya sehingga akan

memunculkan potensi terbakar, pembuang debu sampai dengan ditemukannya batubara yang sudah menjadiapi 3. Pengambilan bara api Setiap terjadinya kebakaran pasti ada sumbernya yang berupa bara api, langkah awal adalah memadamkan dengan mengambil dan membuang sumber kebakaran yaitu baubara yang sudah berubah menjadi bara api tersebut dibuang dengan menggunakan skop. 4. Penggunakan detergent Penggunaan detergent ini boleh yang penting dia berupa serbuk atauberbusa, detergent tersebut disebarkan dalam lubang yang sudahdibuat kemudian di semprotkandengan air agar berbusa, busa inilah yang akan mendinginkanhawa panas. Tindakan pemadaman api swabakar dapat dilakukan dengan cara: 1. Pemadaman langsung a. System melokalisir api b. Penyemprotan air ke titik kobaran api c. Menggunakan racun api d. Menutup

api/batubara terpanaskan dengan bahan-bahan tahan api e. Penetrasi pipa saluran

air/debu batu 2. Pemadaman tak langsung a.Pemadaman tak langsung untuk daerah yang tidak memungkinkan dimasuki oleh petugaspemadaman kebakaran b.Teknik utama adalah melakukan isolasi udara dan pengaliran air melalui penetrasi pipa ke ruangan tersebutc. Setelah pemadaman swabakar, aliran udara harus dimatikan total dengan sealing, jika perlu rekahan diisi.2.1.2 Manajemen Stockpile Batubara Manajemen stockpile

9batubara merupakan suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Dimana efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan rencana, dan efesien berarti bahwa tugas yang telah ada dilaksanakan secara benar, terorganisir dan sesuai dengan perencanaan.Dalamkaitanya dengan fungsi dari stockpile batubara sebagai17tempat penimbunan sementara maka diperlukan sistem manajemen stockpile yang tepat

Aliyusra,(2017). Manajemen stockpile adalah proses pengaturan atau prosedur yang terdiri dari pengaturan kualitas dan prosedur penimbunan batubara di stockpile.3Manajemen stockpile merupakan suatu upaya agar batubara yang diproduksi dapat dikendalikan, dari

(12)

kualitasnya maupun kuantitasnya. Selain itu manajemen stockpile juga dimaksudkan untuk mengurangi kerugian yang mungkin timbul dari proses handling atau penanganan

batubara yang kurang tepat. Seperti misalnya terjadi penyusutan kuantitas batubara baik yang diakibatkan oleh erosi pada musim hujan, debu pada musim kering, atau terbuang yang disebabkan oleh terbakarnya batubara di stockpileRedha dkk, (2016).Pembongkaran timbunan memiliki beberapa sistem antara lain yaitu: 1. Sistem LIFO (Last In First Out) yaitu di mana batubara yang terakhir kali ditimbun paling awal diambil. Pada sistem ini kegiatan penimbunan dilakukan sesuai dengan jadwal akan tetapi kegiatan pembongkaran

timbunan dilakukan pada batubara yang terakhir ditimbun, sehingga pola ini

memungkinkan batubara tertimbun lebih lama.2.Sistem FIFO (First In First Out) yaitu di mana batubara yang pertama kali ditimbun pertama kali diambil. Manajemen FIFO di setiap stockpile baik diperusahaan tambang batubara maupun di end userharus diusahakan terlaksana karena akan mencegah risiko terjadinya pembakaran spontan di stockpile.Hal ini dikarenakansemakin lama batubara terekspose di udara semakin besar

kemungkinannya batubara tersebut mengalami oksidasi yang berarti pula semakin besar kemungkinan terjadinya self heating sampai terjadinya pembakaran spontan. Biasanya manajemen FIFO ini terkendala dengan masalah kualitas. Ada kalanya batubara yang sudah ditimbun pertama kali di stockpile tidak dapat dimuat atau diambil karena alasan kualitas yang tidak memenuhi. Namun demikian setiap kesempatan manajemen FIFO ini tetap harus diprioritaskan dilakukan pada saat tidak ada alasan kualitas karena di antara langkah pencegahan yang lain, manajemen FIFO adalah yang paling murah.3. Sistem FEFO (First Expired First Out) adalah sistem pembongkaran dimana barang yang cepat kadaluarsa harus pertama kali keluar. Pada system penumpukan batubara, sistem ini tidak pernah digunakan karena batubara tidak memiliki masa expired atau masa kadaluarsanya. Selain itu juga sistem ini biasanya diterapkan pada obat-obatan, makanan, minuman. 4. Average (rata-rata) yang termasuk pada bagian sistem pembongkaran. Metode ini menyatakan bahwa nilai persediaan akhir akan menghailak antara nilai persediaan dengan metode FIFO.

Dengan menggunakan metode ini maka akan berdampak pada laba kotor dan harga

(13)

pokok penjualan. Metode ini biasa digunakan pada ilmu akuntansi pada bidang ekonomi.

Menurut Roflin, E., desain atau bentuk stockpile dirancang sesuai dengan kebutuhan perusahaan karena dipengaruhi oleh jumlah batubara yang diproduksi, permintaan

konsumen, dan sebagainya. Umumnya, batubara didesain dengan bentuk kerucut ataupun limas terpancung. 2.1.2.1 Pola Penimbunan12Pola penimbunan batubara bertujuan untuk menyesuaikan jumlah batubara yang akan ditimbun di dalam stockpile.Pola penimbunan batubara bertujuan untuk menyesuaikan jumlah batubara yang akan ditimbun di dalam stockpile. 1. Cone shell Cone shell merupakan pola penimbunan yang dilakukan dengan menempatkan satu baris material sepanjang stockpile secara bolak-balik sampai mencapai ketinggian yang ditentukan3dan dilanjutkan menurut panjang stockpile, pola ini

menggunakanalat curah hujan seperti stacker reclaimer Gambar 2.1. Cone Shell 2. Chevron Chevron merupakan pola penimbunan dengan menempatkan12stacker untuk memulai penumpukan kerucut pertama yang kemudian dilanjutkan menumpahkan tumpukan kedua sampai ketinggian tertentu danbegitu seterusnya sampai ketinggian timbunan benar- benar seperti yang telah direncanakan Gambar 2.2 Chevron 3. Chevcon Gambar 2.3 Chevcon Chevcon merupakan pola kombinasi antara pola penimbunan chevron dan cone shell, pola penimbunan ini biasanya digunakan untuk penyimpanan dengan kapasitas yang besar dengan bentuk limas/prisma terpancung. 4. Windrow Windrow merupakan pola penimbunan dengan3baris sejajar sepanjang lebar stockpile dan diteruskan sampai ketinggian yangdikehendak, kemudian ke depan dengan mengubah sudut stacker dari dasar stockpile Gambar 2.4 Windrow Hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen Menurut stockpile yaitu sebagai berikut: a. Kontrol temperatur dan swabakar Sirkulasi udara yang tidak lancar akan membuat adanya peningkatan suhu dari batubara itu sendiri.

Peningkatan suhu2disebabkan oleh sirkulasi udara dan panas dalam timbunan tidak lancar, sehingga suhu dalam timbunan akan terakumulasi dan naik sampai mencapai suhu titik pembakaran(selfheating), yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya proses swabakar pada timbunan tersebut. (Sukandarrumidi, 2006).7Monitoring suhu dilakukan untuk mengamati perubahan suhu yang terjadi pada tumpukan batubara agar dapat dipantau

(14)

kenaikan suhu perharinya.. Selain itu hal ini juga dilakukan agar dapat diketahui titik suhu mulai terjadinya gejala swabakar sehingga pada saat sebelum mencapai titik tersebut dapat dilakukan kegiatan preventif sebelum timbulnya gejala-gejala tersebut sehingga dapat meminimalisir terjadinya swabakar. Secara umum suhu kritis batubara untuk bituminous di tempat penimbunan berkisar± ْ 50. (C Hana, 2005). b. Kontrol terhadap kontaminasi dan housekeeping Kontaminasi merupakan sesuatu yang hal sangat tidak diinginkan dalam suatu proses produksi batubara selain dapat mempenagaruhi kualitas batubara maupun performance daripada miner/penambangtersebut. Kontaminasi dapat terjadi mulai dari tambang, proses rehandling, di stockpile maupun di vessel. Hal ini dapat mengakibatkan claim atau complain dari suatukonsumen.Kontaminasi yang umum terbawa pada saat expose batubara antara lain overburden yang berupa clay, tanah atau batuan lainnya. Hal ini berakibat akan meningkatnya kandungan abu(ash content).Kontaminasi proses

rehandling, terjadi saat proses pengangkutan batubara. Kontaminasi inibiasanya berupa: 1) Terdapatnya sparepart kendaraat berat/potongan logam 2)Kawat, besi, kayu, plastik, kaleng minuman, karet ban, dll.c. Kontrol terhadap aspek kualitas batubara Kualitas dan kuantitas batubara merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh produsen batubara untuk dapat memenuhi permintaan konsumen.13Salah satu cara untuk menjaga kualitas dan kuantitas dari batubara setelah ditambang adalah sistem penimbunan.Guna memastikan dan menjaga kondisi batubara agar tetap bersih serta kualitas batubara tetap tinggi ketika batubara pertama masuk stockpile hingga keluar dari tempat tersebut. Maka dilakukan perawatan dan pemeliharaan kualitas batubara yang dikontrol oleh pengawas disekitaran lokasi stockpile, (Aliyusra, 2017). d. Kontrol terhadap aspek lingkungan Selama batubara ditimbun di stockpile, limbah cair batubara berupa air asam tambang dan

batubara halus yang tersuspensi dalam air limpasan selama musim hujan dapat terbentuk.

Air asam (acid water)18dapat ditimbulkan oleh tumpukan (stockpile) batubara, terutama apabila kandungan belerangnyatinggi (Maha dkk, 2017). Selain itu, pada kegiatan dan teknis penumpukan dapat menimbulkan ash terbang di sekitaran areal stockpile, dari segi manajemen perlu dilakukan pembuatan penangkal debu batubara tersebut (Aliyusra, 2017).

(15)

Untuk itulah diperlukan adanya kontrol terhadap aspek lingkungan sebagai bagian dari efek adanya stockpile batubara. 2.2 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan rancangan penelitian terhadap hubungan masalah yang diteliti, pada pendahuluan penulis menggunakan judul “Analisis Pengaruh Waktu dan Suhu pada Pola Tumpukan terhadap Potensi Terjadinya Swabakar”. 2.2.1 Input, yaitu data-data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini yaitu terdiri: 1. Data Primer a. Sampel batubara b. Pengukuran suhu c. Waktu pemanasan d. Pola tumpukan 2. Data Sekunder a. Peta WIUP PT.Caritas Energi Indonesia b.

Peta Geologi 2.2.2 Proses, yaitu teknik pemecahan masalah yang digunakan dalam

penelitian ini yang terdiri atas: 1. Menganalisis pengaruh tingkatan suhu batubara terhadap terjadinya swabakar dengan skala laboratorium 2. Menganalisis pengaruh pola timbunan terhadap terjadinya swabakar. 2.2.3 Output, yaitu hasil yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: 1. Pengaruh tingkatan suhu batubara dan pola timbunan terhadap terjadinya

swabakar 2. Pola timbunan dan suhu batubara yang aman untuk diterapkan agar bisa meminimalisir terjadinya swabakar di stockpile Gambar 2.5 Gambar Konseptual BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian dengan metode eksperimental. Metode eksperimen adalah observasi dibawah kondisi buatan (artificial condition) dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh seorang peneliti. Dengan demikian penelitian eksperimental adalah penelitian dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol. (Zulnaidi, 2007). 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian Pengambilan sampel akan dilakukan di PT. Caritas Energi Indonesia di Desa Sungai Belati, Kab. Sarolangun sebagai kontraktor dan PT. Karya Bumi Baratama adalah pemilik perusahaan. Dengan Lokasi wilayah seluas ± 16.730 Ha dan sisanya seluas ± 1.710 Ha terletak di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan.

3.2.2 Waktu Penelitian Waktu dalam melakukan penelitian ini yaitu pada bulan 16

desember 2020 sampai selesai. 3.3 Variabel Penelitian 3.3.1 Variabel Bebas Variabel bebas atau variabel penyebab adalah variabel yang menyebabkan atau mempengaruhi, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi swabakar yaitu pola penimbunan,lama penimbunan dan suhu penimbunan. Variabel bebas disebut juga variabel x. Dalam penelitian ini variabel

(16)

bebas adalah pola timbunan. 3.3.2 Variabel Terikat Variabel terikat adalah faktor-faktor yang diobservasi dan diukur untuk menentukan adanya pengaruh variabel bebas, yaitu faktor yang muncul atau tidak muncul atau berubah sesuai dengan yang diperkenalkan oleh peneliti. Variabel terikat disebut juga variabel y. Dalam penelitian ini variabel terikat adalah hasil pengukuran suhu dan pengaruh waktu. 3.4 Data, Jenis Data dan Sumber Data 3.4.1 Data dan Jenis Data Data yang dikumpulkan berupa: 1. Data primer, yaitu data yang dikumpulkan dengan melakukan pengamatan atau pengukuran secara langsung

dilapangan. Data primer dalam penelitian ini adalah: a. Sampel batubara b. Deskripsi sampel c. Pengukuran suhu dan waktu timbunan 2. Data sekunder, yaitu merupakan data yang diperoleh dari data-data yang sudah baku atau studi kepustakaan dan beberapa literature yang mendukung penelitian ini. a. Peta wiup PT.Caritas Energi Indonesia. b. Peta geologi 3.4.2 Sumber Data Sumber data yang didapatkan berasal dari pengamatan langsung di lapangan ataupun studi kepustakaan serta dari arsip-arsip Pt caritas energi indonesia. 3.5 Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data ini ,peneliti mengambil sampel batubara dengan kalori 4618kcal/kg kemudian diperkecil ukuran batubara dan dimasukkan kedalam coal heating box. Suhu dan pola penimbunan diatur untuk mendapatkan reaksi swabakar. 3.5.1 Studi Lapangan Yaitu cara mendapatkan data yang dibutuhkan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan atau tempat penelitian. Data ini berupa data primer pada penelitian yang dilakukan diantaranya:

suhu/temperatur tumpukan batubara yang diukur menggunakan alat rancangan pengukur suhu, penanganan batubara yang masuk pada stockpile, kondisi area stockpile dan waktu timbunan batubara pada stockpile dengan wawancara dan mengamati langsung di lapangan. 3.5.2 Studi Pustaka Yaitu mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan membaca buku-buku literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dan data-data serta arsip perusahaan sehingga dapat digunakan sebagai landasan dalam pemecahan masalah. 3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 3.6.1 Teknik pengolahan data Teknik pengolahan data bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara dan proses untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sesuai dengan tujuan yang sudah

(17)

ditetapkan. Pada pengolahan data ini ada beberapa hal yang akan dilakukan yaitu:

Mengikuti, mengamati dan menganalisa secara langsung kegiatan di lapangan. Dalam penelitian ini data diolah dengan: 1. Dimensi model penimbunan 2. Pola timbunan 3. Lama tumpukan 4. Pemberian tingkatan suhu 3.7 Analisa Data Setelah melalui tahapan dalam pengumpulan dan pengolahan data maka dilakukan analisa data dari pengolahan yang didapat. Data yang didapat beruba pengukuran suhu yang diuji pada alat rancangan pengukur suhu dan bagaimana pengaruh terhadap suhu dan tumpukan batubara. 3.8 Kerangka Metodologi Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam melakukan

penelitian ini adalah: . BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data Pengambilan Sampel batubara di ambil dari PT. Caritas Energi Indonesia Sarolangun, Jambi. dengan nilai kalori 4617 Kcal/kg Pengambilan sampel ini masih memiliki cadangan batubara berkalori rendah yang banyak, sehingga terjadinya penumpukan batubara di stockpile. Gambar 4.1 Sampel Batubara Sumber: Dokumentasi Penulis 4.1.1 Data Primer Jenis data ini merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian, data ini diambil dari pengujian alat, pengujian dilakukan sebanyak 4 pola tumpukan dengan 1 jenis sampel, yang bertujuan untuk mengetahui pada suhu berapa dan pola tumpukan mana batubara menunjukkan rekasi swabakar. Berikut hasil pengukuran yang dilakukan:

Tabel 4.1 Data Hasil Pengujian No Pola Tumpukan Suhu (ºC) Reaksi Swabakar Ya Tidak 1 Cone Shell 30 √ 53 √ √ 70 √ 80 √ 2 Chevron 32 √ 50 √ √ 70 √ 80 √ 3 Chevcon 34 √ 53 √ √ 70 √ 80 √ 4 Windrow 35 √ 53 √ 70 √ 85 √ Sumber: Pengukuran Actual Gambar 4.2 Grafik Temperatur Pola Tumpukan Batubara Gambar 4.3 Perubahan Temperature Sampel Batubara Cone Cell,Chevrone,Chevcon dan Windrow Pengaruh temperatur suhu sebesar terlihat pada gambar 4.2 pola tumpukan chevron pada suhu 50°C sehingga menyebakan batubara terbakar pada menit ke 54. Begitu pula dengan pola tumpukan chevcone pengaruh kecepatan suhu memberikan dampak yang lebih nyata dimana batubara mengalami peningkatan konsentrasi dari rentang suhu 40°C-53°C hingga batubara

mengalami oksidasi akibat konsentrasi oksigen selama menit ke 64. Dan batubara dengan tumpukan cone cell pengaruh suhu yang diberikan 50°C-70°C dengan rentang waktu

(18)

selama menit ke 66 memperlihatkan proses terjadinya swabakar.Dan batubara dengan pola tumpukan windrow temperature yang terus naik menandakan proses4oksidasi melepas panas dan panas tidak dapat dilepaskan oleh tumpukan sehinggatemperaturetumpukan mengalami kenaikan dan batubara mengeluarkan asap tanda terjadinya swabakar pada suhu70°C -80°C selama di menit ke 65 4.1.1.1 Pengambilan Sampel Batubara Sampel dan pengambilan sampel dilakukan di stocpile PT. Caritas Energi Indonesia. Metode

pengambilan sampel Probabability sampling adalah salah satu teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang sama bagi setiap unsur atau pengambilan secara acak atau random dari populasi yang ada Gambar 4.4 Proses Pengambilan Sampel Batubara Sumber:

Dokumentasi Penulis 4.2 Pengolahan Data Setelah melakukan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian, maka selanjutnya adalah pengolahan data. Dalam

pengolahan data ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh tingkatan suhu dan pola timbunan yang aman untuk diterapkan agar bisa meminimalisir terjadinya swabakar 4.2.1 Proses Pembuatan Alat Dalam pembuatan alat ini peneliti memerlukan beberapa alat dan bahan yaitu: a. Alat 1. Bor listrik 2. Gunting seng 3. Gergaji basi 4. Tang b. Bahan 1. Seng plat 2. Rangka aluminium 3. Les siku aluminium 4. Paku tembak 5. Kompor listrik 6. kaca c.

Cara pembuatan Pertama potong rangka aluminium sesuai ukuran dengan lebar 30cm, panjang 60cm, tinggi 30 cm dan tinggi kaki 5cm. kemudian satukan rangka dengan menggunakan paku tembak dan pasang chasing dengan sengplat, Setelah rangkaian selesai lalu masukkan kompor listrik kedalam box yang sudah dibentuk. Setelah box dan kompor sudah terpasang kemudian tanamkan sensor suhu kedalam box. 4.2.2 Proses Pengujian Alat Dalam pengujian ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah 1.

Siapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan Bahan: sampel batubara dengan kalori 4617 Kcal/kg Peralatan: terminal kabel, sendok, batok charger 2. Kalibrasi alat 3. pengukuran suhu batubara sebelum dan selama pembakaran setiap rentang waktu 5 menit 4. Proses pengujian Gambar 4.5 Proses Pengujian Didalam proses pengujian batubara ini Pertama yang haruskan dilakukan ukur suhu ruangan untuk mengetahui suhu normal dan bentuk pola timbunan pada stockpile mini setelah itu panaskan kompor dengan suhu sedang

(19)

diamkan selama 5 menit untuk melihat reaksi yang ditimbulkan dan naikan temperature setiap 5-6 menit hingga nantinya tumpukan batubara didalam model penelitian sudah mengalami reaksi dan batubara melewati range pembacaan pada sensor suhu,4proses ini berulang dilakukan untuk mendapatkan data perubahan kenaikantemperature pada variabel kenaikan suhu,masing-masing jenis sampel batubara diuji terhadap variabel tingkatan suhuyang telah ditentukan untuk mendapatkan data dan melihat perbandingan masing-masing data yang di dapat, selanjutnya data diolah dibantu grafik perubahan temperature sampel batubara dan dimanfaatkan untuk pembahasan. Hasil pengukuran kecepatan suhu terhadap proses swabakar tersaji pada gambar 4.4 adalah alat pengukuran bukan hasil pengukuran, hasil pengukran disajikan pada tabel 4.1. Dengan besar pengaruh kecepatan suhu4memperlihatkan perubahan proses waktu swabakar yang semakin cepat pada sampelbatubara.dimanaterlihat bahwa pada sampel batubara dengan pengaruh kecepatansuhuwaktu paling lama untuk terjadinya proses swabakarselama 30-42 menit, Gambar 4.6 Komponen Alat 4.2.3 Hasil Pengujian No Pola Timbunan Suhu (ºC) Pegamatan Waktu (Menit) Hasil Pengamatan 1 Cone shell 30 I 5 Tidak ada reaksi II 6 Tidak ada reaksi III 5– 6 Tidak ada reaksi 53 I 5 Tidak ada reaksi II 5 Mulai beraksi (berbau belerang) III 5– 6 Mulai beraksi (berbau belerang) 70 I 6 Mulai beraksi (berbau belerang) II 6 Mulai beraksi (berbau belerang) III 5 – 6 Bereaksi (berasap) 80 I 6 Bereaksi (berasap) II 6 Bereaksi

(berasap) III 5 – 6 Bereaksi (berasap) 2 Chevcone 30 I 5 tidak ada reaksi II 5 tidak ada reaksi III 5 – 6 tidak ada reaksi 50 I 6 tidak ada reaksi II 6 Mulai beraksi(berbau belerang) III 5– 6 Mulai beraksi (berbau belerang) 70 I 6 Mulai beraksi (berbau belerang) II 6 Mulai beraksi (berbau belerang) III 5– 6 Bereaksi (berasap) 80 I 6 Bereaksi (berasap) II 6 Bereaksi (berasap) III 5 – 6 Bereaksi (berasap) 3 Chevrone 34 I 5 tidak ada reaksi II 5 tidak ada reaksi III 5 – 6 tidak ada reaksi 50 I 6 Mulai beraksi (berbau belerang) II 6 Mulai beraksi (berbau belerang) III 5 – 6 Mulai beraksi (berbau belerang) 70 I 6 Mulai beraksi (berbau belerang) II 6 Mulai beraksi (berbau belerang) III 5 – 6 Mulai beraksi(berbau belerang) 80 I 5 Bereaksi (berasap) II 5 Bereaksi (berasap) III 5 – 6 Bereaksi (berasap) 4 Windrow 35 I 5 tidak ada reaksi II 5 tidak ada reaksi III 5 – 6 tidak ada reaksi 53 I 5 tidak ada reaksi II 5 tidak ada reaksi III 5 – 6

(20)

tidak ada reaksi 70 I 5 ada reaksi II 5 ada reaksi III 5 – 7 Mulai beraksi (berbau belerang) 85 I 6 Mulai beraksi (berbau belerang) II 6 Bereaksi(berasap) III 5 – 7 Bereaksi(berasap) 1.

Batubara yang belum terbakar 2. Batubara yang terbakar didalam box pengujian BAB V ANALISA DATA 5.1 Analisis Grafik Temperature Transisi dan Perbandingan Pola Grafik dari Masing-masing Sampel Batubara Temperatur transisi berpengaruh dalam proses swabakar dalam mengamati kecendrungan batubara mengalami swabakar.temperatur transisi merupakan temperatur dimanakondisi suatu batubara telah mengalami swabakar dan terjadi perubahangrafik temperatur yang signifikan naik dratis.padahasil penelitian didapat bahwa nilai temperatur transisibatubara dengan kondisi pengaruh kecepatan waktu. Pada pola tumpukan batubara, peneliti melakukan menaikan suhu selama 5 menit pertama dalam 3 kali pengujian setiap suhu pada batubara pada coal heating boxdalam masing-masing tumpukan batubara. Dalam penelitian ini batubara diuji dalam 4 tingkatan suhu, yaitu pada suhu 30°C, 50°C, 70°C, dan 85°C. Juga dalam 4 pola timbunan batubara yaitu dengan pola tumpukan cone shell, chevcone, chevron, dan windrow. Pola tumpukan juga sangat berpengaruh terhadap potensi terjadinya swabakar, karena semakin lama batubara ditumpuk dan semakin tinggi tumpukan maka akan menghasilkan banyak panas yang tersimpan didalam timbunan batubara tersebut, sehingga temperature batubara meningkat dan berpotensi akan terjadinya swabakar. 1. Pola Timbunan Cone Shell Gambar 5.1 Pola Timbunan Cone Shell dan Grafik Perubahan Temperatur Pada pola tumpukan Cone Shell peneliti melakukan pengujian di dalam box pengujian I dengan suhu 32°C suhu normal dalam renggang waktu 16 menit, batubara tidak mengalami reaksi apapun.Dan melakuakan pengujian ke II dalam waktu 18 menit dengan suhu 53°C masih belum menimbulkan reaksi tetapi mulai mengeluarkan bau belerang.Dan dengan suhu menjadi 70°C-80°C dalam renggang waktu 32 menit batubara mengalami reaksi swabakar. 2. Pola Timbunan Chevron Gambar 5.2 Pola Timbunan Chevron dan Gambar Grafik Perubahan Temperature Pada pola tumpukan Chevron peneliti melakukan pengujian pada box pengujian dengan suhu 40°C dalam suhu yang di dalam box pengujian normal dalam renggang waktu 5 menit batubara tidak mengalami reaksi apapun.selang dari pengujian ke

(21)

II beberapa menit batubara melihatkan reaksi seperti batubara berbau belerang suhu naik menjadi 60°C. dalam waktu 10 menit batubara mulai melihatkan reaksi seperti batubara berbau belerang. Batubara mengalami reaksi swabakar seperti mengeluarkan asap dan batubara menjadi mengkilat dari sebelumnya. 3. Pola Timbunan Chevcon Gambar 5.3 Pola Timbunan Chevcon dan Grafik Temperature Transisi Pada pola tumpukan Chevcon, peneliti melakukan pengujian suhu pada batubara pada coal heating box. pengujian batubara pada box pengujian dengan suhu normal dalam 30°C. dalam renggang waktu selama 22 menit batubara tidak mengalami reaksi apapun terhadap batubara. Dalam suhu 50°C dalam waktu 27 menit batubara belum melihatkan reaksi swabakar tapi batubara sudah mengeluarkan bau seperti bau belerang. Dalam suhu 70°C-80°C batubara mulai mengeluarkan asap pada menit ke 37. 4. Pola Timbunan Windrow Gambar 5.4 Pola

Timbunan Windrow dan Grafik Grafik Temperature Transisi Pada pola tumpukan windrow, peneliti melakukan pengujian I batubara pada box pengujian dengan suhu normal dalam 30°C dalam renggang waktu selama 11 menit batubara tidak mengalami reaksi apapun . Dalam pengujian II suhu menjadi 53°C dalam waktu 16 menit lebih lama dari pola timpukan yang lain batubara belum melihatkan reaksi swabakar tapi batubara sudah mengeluarkan bau seperti bau belerang. Dalam pengujian ke III suhu naik menjadi 70°C-85°C selama 27menit batubara mulai mengeluarkan asap. 5.2 Pola Timbunan dan Suhu Batubara yang Aman Untuk Diterapkan Agar Bisa Meminimalisir Terjadinya Swabakar di Stockpile Setelah dilakukan pengujian pengukuran suhu dan pola timbunan didapatkan pengukuran

dilakukan didalam box dengan suhu terendah atau suhu normal 30°C sampai suhu

tertinggi 70°C -85°C. pola timbunan Windrow ± aman diterapkan di lapangan karena pada suhu 70°C pola timbunan belum mengalami reaksi yang begitu memperlihatkan terjadinya swabakar. 5.3 Kelebihan dan Kekurangan Alat Setelah melakukan pengukuran suhu

batubara menggunakan alat rancangan untuk mengetahui pengaruh tingkatan suhu dan pola timbunan terhadap potensi swabakar pada skala laboratorium, dimana selama pengukuran dilakukan maka dapat di amati tentang kelebihan dan kekurangan dari alat rancangan penulis tersebut, berikut kelebihan dan kekurangan dari alat pengukur suhu: 1.

(22)

Kelebihan a. Tidak perlu menggunakan alat pengukur suhu manual karna sudah ada arduino uno atau sensor suhu otomatis digital b. Tidak perlu pengukuran langsung dilapangan c. Bisa melakukan pengujian dimana saja asalkan ada sumber listrik d. Bisa mendapatkan hasil lebih cepat dibandingkan dengan pengukuran langsung dilapangan e.

Bisa mengamati langsung proses swabakar yang terjadi 2. Kekurangan a. Kompor gampang rusak karna suhu didalam box terlampau panas dan sering mati hidup saat pengujian b.

Pemakaian daya listrik besar c. Desain alat belum bisa digunakan untuk pengujian penelitian karna belum SNI masih banyak kekurangan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data yang sudah dilakukan, maka diambil

kesimpulan sebagai berikut 1. Pengaruh tingkatan suhu batubara pala pola tumpukan Cone Shell pada suhu 53ºc menimbulkan reaksi swabakar dan pada pola Chevron pada suhu 70ºc menimbulkan reaksi swabakar dan pada pola Chevcon pada suhu 80ºc menimbulkan reaksi swabakar dan pada pola Windrow pada suhu 85ºc baru menimbulkan reaksi

swabakar. 2. Berdasarkan hasil pengamatan suhu yang mengalami swabakar pada suhu 85ºC pada pola tumpukan windrow adalah pola yang aman untuk diterapakan 6.2 Saran Setelah melakukan penelitian dan pengolahan data, penulis dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pola timbunan windrow termasuk pola timbunan ideal dan paling disarankan 2. Box pengujian belum efektif karena belum memenuhi standar SNI. 5 i 5 i 24 6 29 25 29 25 38 30 43 44 43 44

(23)

Sources

1

https://www.scribd.com/document/359179237/SWABAKAR INTERNET

8%

2

https://blogmahmudin.blogspot.com/2014/12/swabakar-batubara.html INTERNET

6%

3

https://www.scribd.com/document/347944580/Bab-III-Landasan-Teori INTERNET

4%

4

https://www.slideshare.net/JanryEfriyantoSianturi/pengaruh-kecepatan-angin-terhadap-kenaikan-temperatur-dan- lamanya-waktu

INTERNET

3%

5

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mining/article/download/3817/1935 INTERNET

2%

6

https://belajar-alatberat.blogspot.com/2013/09/stockpile-managemen.html INTERNET

1%

7

https://www.scribd.com/document/334978774/Efektifitas-Penggunaan-Pemadatan-Untuk-Mencegah-Swabakar-Di- Stockpile-Pit-1B-Bukit-Asam-Tanjung-Enim

INTERNET

1%

8

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mining/article/download/5374/2894 INTERNET

1%

9

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1624930&val=11936&title=MANAJEMEN%20STOCKPILE%2 0UNTUK%20MENCEGAH%20TERJADINYA%20SWABAKAR%20BATUBARA%20DI%20PTPLN%20PERSERO%20TIDORE INTERNET

1%

10

https://www.scribd.com/document/336844374/Makalah-Swabakar INTERNET

1%

11

https://prezzatura.blogspot.com/2017/07/resiko-dan-penanganan-swabakar-pada.html INTERNET

1%

12

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mining/article/download/4310/2215 INTERNET

<1%

13

http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/pertambangan/article/download/5774/pdf INTERNET

<1%

14

http://repository.unj.ac.id/1774/5/3.BAB%20I.pdf INTERNET

<1%

(24)

15

https://www.scribd.com/document/374275761/Selasa INTERNET

<1%

16

https://www.kompasiana.com/embete/560a1d0dd592736605f5b009/pembakaran-spontan-self-combustion-pemicu- kebakaran

INTERNET

<1%

17

https://ipcoal.co.id/?p=8 INTERNET

<1%

18

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mining/article/download/4322/2228 INTERNET

<1%

Referensi

Dokumen terkait

mempersulit siswa dalam proses belajar bahasa Indonesia. Faktor ini memberikan dampak negatif terhadap pengalaman belajar siswa secara daring pada mata pelajaran bahasa

fenomenologi yang mendeskripsikan mengenai pemanfaatan WhatsAap sebagai media pembelajaran dalam jaringan dimasa pandemi. Data dari penelitian ini diperoleh melalui wawancara

Gambar 2.11 Grafik Penentuan Volume Sump Sumber : 23 kaltim prima coal Hydraulic Design Guidelines Tahap selanjutnya adalah menentukan ukuran sump adalah untuk menentukan lokasi sump

Sugiyono (2018:14) menyatakan bahwa 14 metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti

SIMPULAN DAN 1 SARAN Berdasarkan hasil analisis data yang didukung oleh kajian teori dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Pengelolaan 4 sistem informasi perpustakaan di SMKN 1 Pacitan sudah berjalan dengan baik dan dikelola oleh orang yang ahli dalam bidangnya.

SARAN Berdasarkan hasil 1 analisis data yang didukung oleh kajian teori dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan

Dengan siswa memberikan respon penggunaan gadget sabagai sarana pembelajaran mereka selama kegiatan belajar mengajar menggunakan media ini siswa merasa tidak senang, dan siswa