• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI

NAMA:

GITTY NOVITRI (2013200009) VICKY QINTHARA (2013200108)

PRINCESSA YASSENIA ANI KAROLINA (2013200108)

KELAS:

B DOSEN:

TETI MARSAULINA, S.H., LL.M.

2016

(2)

I. KASUS POSISI

Putusan No. 560 K/Pdt.Sus/2012 atas Perlawanan (Keberatan) Putusan BPSK Provinsi DKI Jakarta Nomor 092/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012 tanggal 28 Februari 2012

Kasus : Klaim Asuransi Jiwa Pemohon : Hermi Sinurat

Termohon : PT Avrist Assurance

Adapun duduk perkaranya sebagai berikut:

Alm. Sdr. Mardi Simarmata, mengajukan permohonan menjadi tertanggung asuransi pada Pelawan sesuai dengan Surat Permohonan Penutupan Asuransi (“SPPA”) yang ditandatangani oleh Alm. Mardi Simarmata pada tanggal 31 Maret 2007 dan diterima oleh Pelawan padatanggal 16 April 2007.

Dalam SPPA tersebut, Alm. Sdr. Mardi menyatakan kehendaknya untuk membeli produk asuransi dengan memilih dan mencentang korak keterangan “Tanpa Pemeriksaan Medis” dalam formulir permohonan yang berarti yang bersangkutan tidak memberikan tanda centang pada kolom

“Dengan Pemeriksaan Medis”.

Dalam SPPA bagian “D” angka II Alm. Sdr. Mardi Simarmata menyatakan kehendaknya untuk mendapatkan uang pertanggungan asuransi sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

Selanjutnya dalam bagian “H” SPPA, Alm Sdr. Mardi Simarmata

memberikan informasi bahwa yang bersangkutan tidak pernah

menderita penyakit apapun, tidak memiliki riwayat penyakit

keturunan, dan tidak pernah menjalani tindakan medis

apapun sebelum SPPA ditandatangani.

(3)

SPPA mencantumkan secara jelas mengenai peringatan bahwa calon tertanggung, dalam hal ini Alm. Sdr. Mardi Simarmata, harus menyampaikan informasi dan fakta yang sebenar- benarnya mengenai kondisi dirinya dimana hal ini akan menentukan, diantaranya, apakah polis asuransi akan diterbitkan atau tidak oleh PT. AVRIST ASSURANCE sebagai bentuk dari utmost good faith.

Atas dasar SPPA yang diberikan oleh Alm. Sdr. Mardi Simarmata, Pelawan menerbitkan polis asuransi nomor U020761662 pada tanggal 17 April 2007 atas nama Alm. Sdr, Mardi Simarmata.

Pada tanggal 27 September 2007 Alm. Sdr. Mardi Simarmata melakukan pemulihan pertanggungan Polis dengan mengisi formulir pemulihan Polis dan, seperti dalam SPPA, kembali menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah menderita penyakit apapun, tidak memiliki riwayat penyakit keturunan, dan tidak pernah menjalani tindakan medis apapun sebelum formulir pemulihan Polis ditandatangani

Alm. Sdr. Mardi Simarmata meninggal pada tanggal 2 Februari 2008 dikarenakan penyakit karsinoma nasofaring atau kanker yang menyerang alat pernapasan. Atas meninggalnya tertanggung, ahli waris Alm. Sdr. Mardi Simarmata mengajukan klaim kepada PT. Avrist Assurance yang menyebutkan alasan kematian seperti yang telah dinyatakan sebelumnya.

Atas klaim tersebut maka Pelawan melakukan pemeriksaan ulang kebenaran informasi atas dokumen yang menyatakan bahwa Alm. Sdr. Mardi Simarmata meninggal disebabkan oleh Karsinoma Nasofaring atau Kanker Alat Pernapasan dimana penyakit ini setidaknya telah diderita sejak 6 Oktober 2006 atau sebelumnya.

Di dapatkan sebuah informasi yang menyatakan bahwa pada

tanggal 29 September 2007 Alm. Sdr. Mardi Simarmata telah

(4)

menjalani tindakan medis berupa pemasangan gastrostomy yaitu pemasangan alat bantu pencernaan sebagaimana semuanya dinyatakan dalam Surat Keterangan Dokter yang Memeriksa Alm. Sdr. Mardi Simarmata yang dikeluarkan pada tanggal 14 April 2008

Dalam Surat Keterangan Dokter Yang Memeriksa Alm. Sdr.

Mardi Simarmata (vide Bukti P-6) juga ditemukan fakta bahwa Alm. Sdr. Mardi Simarmata pernah menjalani CT Scan Nasopharing di Rumah Sakit Kanker Dharmais dan CT paru- paru dimana hasilnya disimpan oleh Alm.Sdri. Mardi Simarmata.

Perlu ditingat bahwa hal-hal diatas menunjukkan bahwa tertanggung telah mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit Karsinoma Nasofaring atau Kanker Alat Pernapasan sebelum tertanggung menyatakan dirinya tidak pernah menderita penyakit apapun dalam SPPA yang ditandatangani tanggal 31 Maret 2007 dan Pemulihan Polis yang ditandatangani pada tanggal 27 September 2007.

Atas hal tersebut maka Pelawan telah membayarkan 100%

nilai polis pada Tanggal Perhitungan Harga Unit kepada istri/

ahli waris tertanggung, Sdri. Hermi Sinurat

Sdri. Hermi Sinurat, melalui kuasa hukumnya,menyampaikan keberatan atas ketentuan Polis tersebut dan menuntut agar PT. Avrist Assurance membayar klaim sebesar Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah).

Untuk kepentingan Sdri. Hermi Sinurat dan sebagai bentuk itikad baik dari PT. Avrist Assurance, maka PT. Avrist Assurance berupaya untuk mendapatkan kepastian mengenai prinsip- prinsip asuransi, peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan ketentuan Polis yang telah dilakukan oleh Pelawan dalam kasus Sdri. Hermi Sinurat ini.

Putusan yang menghukum Pelawan untuk membayar klaim

asuransi sebesar Rp. 50.801.598,40 (lima puluh juta delapan

(5)

ratus satu ribu limaratus sembilan puluh delapan Rupiah dan empat puluh sen) kepada Sdri.Hermi Sinurat adalah tidak memiliki dasar hukum dikarenakan semuapembayaran klaim harus didasarkan atas polis yang masih berlaku,sedangkan dalam hal ini polis asuransi nomor U020761662 atas nama Alm.Sdr. Mardi Simarmataadalah batal atau tidak berlaku ataupertanggungannya dihentikan akibat ditemukannya pemberitahuan yang keliru atau tidak benar atau semua penyembunyian keadaan/misrepresentasi.

Hermi dan PT Avrist telah bersedia menghadiri persidangan BPSK dan telah menandatangani Berita Acara Sidang No.

092/PCP/BPKS- DKI/XI/2011 tanggal 8 Nopember 2001. Ada kesepakatan penyelesaikan sengketa dilakukan dengan cara Arbitrase yang dilaksanakan oleh BPSK.

Proses arbitrase berjalan di BPSK dengan benar sesuai peraturan yang berlaku. Pada 28 Februari 2012, BPSK DKI Jakarta mengeluarkan amar putusan Arbitrase yang mengabulkan gugatan klaim asuransi Hermi dengan menghukum PT Avrist Assurance untuk membayar sesuai

Total Sum Insured sebesar Rp. 50.801.598,40.

PT Avrist menolak Putusan Arbitrase pada tanggal 7 Maret 2012 dan memberitahukannya ke sekretariat BPSK pada 8 Maret 2012.

Perlawanan keberatan diajukan pada Pengadilan Negeri. PT Avrist mengajukan dalil keberatan bahwa putusan Arbitrase BPSK bisa dilakukan perlawanan bila memenuhi persyaratan pembatalan Putusan arbitrase karena ada unsur tipu muslihat dari Hermi.

Menurut PT Avrist, Hermi menyembunyikan dokumen yang

bersifat menentukan dan putusan Badan Penyelasaian

Sengketa Konsumen (BPSK) ada unsur tipu muslihatnya. Pada

halaman 59 alinea ke 1 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang

telah menggabungkan BPSK dengan ARBITRASE yang terlihat

dalam pertimbangan hukum yang menyebutkan, bahwa para

(6)

pihak yang bersengketa telah sepakat penyelesaian sengketa

diselesaikan dengan cara arbitrase seterusnya arbiter

menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua majelis dimana

arbitrase dan arbiter diatur dalam UU 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengekata.

(7)

II. PERMASALAHAN HUKUM

Berdasarkan kasus posisi diatas, dapat dirumuskan sebuah pertanyaan hukum yang bersangkutan dengan hukum asuransi yaitu:

Mengapa PT.Avrist Assurance berhak menolak untuk membayarkan premi asuransi sejumlah yang dimintakan oleh pihak Alm. Mardi Simarmata?

Adapun permasalahan lainnya adalah:

Menurut Hakim Mahkamah Agung, fungsi BPSK dan tata cara

penyelesaian sengeketa konsumen pada kasus ini bukan

diatur dalam UU Arbitrase melainkan Undang Undang RI

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

sehingga judex facti atau Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu

perkara keliru, tidak cermat dan tidak didasarkan fakta hukum

yang benar.

(8)

III. LEGAL STANDING

Pasal 1 nomor 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 :

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Pasal 1 nomor 6 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 :

“Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Pasal 251 KUHD :

“Semua pemberitahuan yang keum atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syaratsyarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”

Pasal 1320 KUHPERDATA :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

(9)

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu pokok persoalan tertentu;

4. suatu sebab yang tidak terlarang.”

Pasal 1338 KUHPERDATA :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang- undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

“Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”

Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999

“Kewajiban konsumen adalah :

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;”

Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 :

“Hak pelaku usaha adalah :

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;”

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 :

(10)

“Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.”

Pasal 56 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

“Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.”

Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

“Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.”

Pasal 41 ayat (2) Permendagri

No.350/MPP/KEP/12/2001

“Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK.”

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,

setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan

palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang

bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ;

(11)

atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh

salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

(12)

IV. OPINI HUKUM

Menurut pasal 1(1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Dalam kasus ini, alm. Mardi Simarmata dengan PT.Avrist Assurance telah melakukan perjanjian asuransi jiwa dimana perjanjian tersebut sah menurut pasal 1320 KUHPerdata. Menurut pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan, sehingga PT.Avrist Assurance seharusnya membayarkan asuransi jiwa yang telah disepakati. Namun dalam legal audit diatas, telah dijelaskan bahwa kewajiban dari konsumen adalah beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa, tetapi dalam melaksanakan perjanjian asuransi ini, alm. Mardi Simarmata memberikan fakta yang tidak sesuai dengan kenyataannya, padahal dalam polis asuransi telah disebutkan bahwa mengisi polis tersebut harus berdasarkan dengan fakta yang ada, sehingga alm. Mardi Simarmata melakukan itikad buruk sebagai konsumen. Sehingga alm.Mardi Simarmata melanggar salah satu prinsip asuransi, yaitu prinsip itikad baik (utmost good faith).

Prinsip itikad baik berarti kemauan baik dari setiap pihak untuk

melakukan perbuatan hukum agar akibat dari kehendak/perbuatan

hukum itu dapat dicapai dengan baik.

(13)

Menurut pasal 251 KUHD, dikatakan bahwa tertanggung harus memberitahukan semua keadaan yang diketahui mengenai pertanggungan, dimaksudkan agar penanggung dapat mengetahui berat ringannya resiko yang akan/telah dibebankan kepada tertanggung. Alm. Mardi Simarmata sudah jelas melanggar pasal 251 KUHD. Sehingga perjanjian tersebut batal menurut pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian jo. Pasal 251 KUHD.

Akibat dari batalnya asuransi jiwa tersebut, tertanggung maupun ahli waris tidak mempunya alas hak untuk melakukan tuntutan ganti kerugian atas peristiwa yang terjadi sebagaimana diperjanjikan dalam polis terhadap penanggung.

Demikian pula dengan penanggung, tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan prestasi kepada tertanggung berupa pemberian ganti kerugian berupa uang asuransi sebagaimana tertera dalam polis asuransi jiwa, dan sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 6 huruf c undang-undang perlindungan konsumen, bahwa hak pelaku usaha itu adalah hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

Sehingga dalam kasus ini, PT. Avrist Assurance berhak untuk membela perusahaannya serta tidak ada kewajiban untuk membayarkan polis asuransi seperti yang telah dimintakan oleh pihak dari alm. Mardi Simarmata.

Menurut kami, ada kekurangan dari mekanisme dari ADR BPSK berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”

ADR adalah Alernative Dispute Resolution yaitu lembaga

penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan

cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

(14)

Cara penyelesaian sengketa yang diserahkan pada kesepakatan konsumen dapat menimbulkan celah hukum baru bagi pelaku usaha yang tentu lebih memahami UUPK. Para pelaku usaha mungkin sekali tidak menyelesaikan sengketanya melalui BPSK, melainkan lewat gugatan di pengadilan saja. Dalam kasus ini, bila konsumen (Hermi) yang pengetahuan hukumnya itu tidak seimbang dengan pihak perseroan itu tidak dapat membuat kesepakatan dengan PT Avrist untuk menyelesaikan lewat BPSK maka Hermi sebagai konsumen asuransi itu akan sangat dirugikan oleh karena aturan UUPK ini. Seharusnya untuk memaksimalkan fungsi BPSK, pengaturan mengenai kesepakatan untuk ADR dihilangkan saja atau disempurnakan agar lebih berpihak untuk konsumen, mengingat cita-cita UUPK adalah untuk melindungi kepentingan konsumen.

Bisa juga diubah agar BPSK memiliki kewenangan untuk menyelidiki masalah dari konsumen dan membawanya ke hadapan hukum.

Hakim PN Tangerang ternyata belum bisa membedakan antara Arbitrase yang mekanisme khususnya dijalankan oleh BPSK dengan arbitrase diluar BPSK. Arbitrase menurut UUPK merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen lewat BPSK, bukan penggabungan antara BPSK dan ARBITRASE. Sehingga dengan demikian maka pemahaman keliru hakim tentu merugikan Hermi.

Jika kasus ini terjadi di Jepang, pendapat hakim PN Tangerang itu benar karena di Jepang keseluruhan mekanisme sidang penyelesaian Arbitrase merujuk pada UU Arbitrase Jepang meskipun NCAC di Jepang sebagai Badan Arbitrase Pemerintah itu terpisah dari forum arbitrase swasta. Majelis Hakim MA menerima permohonan kasasi para pihak karena judex facti dalam perkara ini telah bertentangan dengan UUPK.

Secara prosedural, prosedur pengajuan upaya hukum kasasi dari pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase BPSK keseluruhannya sudah sesuai aturan. PT Avrist dapat mengajukan

keberatan pada Pengadilan Negeri (pasal 56 ayat (3) UUPK.

Penolakan pihak terhadap Putusan BPSK masih dalam jangka waktu

(15)

sesuai Pasal 41 ayat (2) Permendagri No. 350/MPP/KEP/12/2001 karena tidak lewat 14 hari. Perlawanan sudah sesuai prosedur yakni dalam waktu maks. 14 hari ke Pengadilan Negri di tempat domisili konsumen (Pasal 56 ayat (2) UUPK jo. Pasal 41 ayat (3) Peraturan Menteri Dagang RI 350/MPP/KEP/12/2001). Selain itu, pengajuan keberatan atas putusan BPSK berdasar syarat pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase) berupa tipu muslihat dan penyembunyian dokumen penting yang relevan telah terpenuhi karena dokumen yang menurut PT Avrist disembunyikan oleh pihak Hermi.

Di Indonesia, suatu putusan dari BPSK tidak dapat dieksekusi

karena belum memiliki kekuatan hukum inkracht van gewijsde (tidak

ada titel eksekutorial). Dalam uji formil putusan, diketahui bahwa

pengaturan acara penyelesaian sengketa perlindungan konsumen di

Indonesia belum dimengerti oleh semua golongan baik konsumen,

pelaku usaha, maupun hakim sendiri. Selain itu, bisa diketahui pula

bahwa di Indonesia BPSK itu masih memiliki hubungan dengan

ranah pengadilan negeri terkait upaya hukum keberatan dan

masalah eksekusi putusan arbitrase yang perlu minta lagi ke

pengadilan. Pemerintah seharusnya meningkatkan koordinasi antara

lembaga BPSK dengan Pengadilan serta pelayanan BPSK khususnya

informasi konsumen. Sebaiknya difasilitasi oleh BPSK dengan cara

BPSK melalukan sinkronisasi teknis dengan consumer center agar

data kasus aduan konsumen yang diperoleh BPSK ditindak. Pihak

pengadilan sebelum menerima berkas gugatan perdata atas perkara

konsumen sebaiknya menghimbau calon penggugat untuk terlebih

dulu menggunakan ADR di BPSK sehingga fungsi BPSK dapat

dioptimalkan dan pengadilan pun tidak perlu bersusah payah

menangani kasus ini secara litigasi.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 2.5 Gerakan smash yang beresiko menyebabkan cedera .Cedera berawal dari penyerang yang melompat dengan cepat dan lebih rendah untuk mendekati arah net sehingga

Saat mendatangi dokter 2, barulah BB mengetahui bahwa jerawat yang dideritanya bukanlah merupakan jerawat biasa dan bahan yang terdapat dalam krim tersebut dapat memperparah

Suarat Keputusan Pembayaran Fasilitas Pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai (SKPFP BM-C) adalah surat keputusan pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai yang telah dibayar atas

Pada 30 menit awal setelah aplikasi CHIT 52 pada kontrol maupun slide yang diaplikasikan enzim tidak menunjukkan adanya perubahan morfologi pertumbuhan

merupakan negara pulau yang hanya memiliki luas wilayah 697 km² dengan jumlah penduduk 5.781.728 jiwa, yang kini menjadi negara percontohan dalam hal

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain, karena Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial tersebut membawa sebuah

Hasil simulasi A menunjukkan bahwa peningkatan impor produk sensitif Indonesia terutama beras dan gula lebih banyak berasal dari sesama negara ASEAN, antara

Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 sebagai peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah 04 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah