BAB 3 STUDI KASUS
Seperti telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, salah satu tahap dalam investment casting adalah pembuatan wax pattern. Wax ini akan diijeksikan ke sebuah cetakan, dimana pembuatan cetakan ini merupakan topik dari tugas akhir ini. Bab 3 ini akan membahas proses dalam pembuatan cetakan untuk wax pattern tersebut. Gambar 3.1 akan menggambarkan diagram alir kegiatan yang dilakukan pada pembuatan cetakan untuk wax pattern ini.
Pemodelan runner turbin Francis dengan
Pro/Engineer Wildfire 3.0
Pemodelan cetakan untuk wax pattern dari sudu turbin dengan Space-E/Modeler Version 4.2
Simulasi proses dengan Space-E/CAM Version 4.2
Pembuatan G-Code dengan Space-E/CAM Version 4.2
Transfer G-Code ke mesin CNC
Produksi cetakan
A
A
Apakah bagus?
START
FINISH
Ya Tidak
Mendapatkan model sudu turbin yang
akan dibuat (dalam bentuk file iges)
Perencanaan proses pemesinan untuk cetakan tersebut dengan
Space-E/CAM Version 4.2
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Cetakan untuk wax pattern
3.1 Pemodelan Runner Turbin dengan Pro/Engineer Wildfire 3.0
Runner turbin ini akan digunakan pada PLTA Sawi Dago Unit 2 yang terletak di Poso, Sulawesi Tengah. Runner turbin dibuat dengan menggunakan gabungan prinsip reverse dan forward engineering. Sebagaimana telah dibahas dalam tinjauan pustaka, di dalam reverse engineering, sumber dari pemodelan (dalam kasus ini pemodelan runner turbin Francis) adalah model runner turbin Francis yang serupa (yang sama kecepatan spesifiknya) yang pernah ada. Dari model tersebut dapat dicontoh bentuk runner dan bentuk airfoil sudunya (reverse engineering). Selanjutnya dibuat perubahan terhadap model runner tersebut agar sesuai dengan rancangan runner yang baru (forward engineering).
Langkah pertama dalam pemodelan ini adalah memanggil model runner turbin Francis serupa (yang sama kecepatan spesifiknya). Gambar 3.2 berikut memperlihatkan runner turbin Francis tersebut. Runner ini selanjutnya akan diubah berdasar rancangan runner yang baru, meliputi diameter cone, diameter ring, tinggi cone, tinggi runner dan sebagainya.
Gambar 3.2 Model runner turbin Francis yang serupa
Untuk kasus kali ini, runner yang akan dibuat di PLTA Sawi Dago memiliki ukuran sekitar 80% dari runner turbin serupa tersebut. Maka dari itu, runner ini diskalakan sebesar 0,8. Selanjutnya, cone pada runner tersebut diubah
sesuai dengan rancangan runner ini. Tabel 3.1 berikut memperlihatkan urutan pembuatan model cone.
Tabel 3.1 Cuplikan peristiwa pembuatan model cone
Sebelum Sesudah 1.
Cone diberi bentuk awal berdasarkan
sketsa di samping (garis-garis kuning), lalu direvolve (menambah material).
2.
Cone diberi bentuk berdasarkan sketsa di samping (garis-garis kuning), lalu direvolve-cut (membuang material).
Tabel 3.1 Cuplikan peristiwa perubahan bentuk cone (Lanjutan)
Sebelum Sesudah 3.
Cone diberi lubang berdasarkan
sketsa di samping (garis-garis kuning), lalu direvolve-cut (membuang material).
Selanjutnya, dibuat model ring pada runner sesuai dengan rancangan.
Tabel 3.2 berikut memperlihatkan urutan pembuatan model ring.
Tabel 3.2 Cuplikan peristiwa pembuatan model ring
Sebelum Sesudah 1.
Bagian atas ring ditinggikan berdasarkan sketsa di samping (garis-garis kuning), lalu direvolve (menambah material).
Tabel 3.2 Cuplikan peristiwa perubahan bentuk ring (Lanjutan)
Sebelum Sesudah 2.
Bagian pinggir ring dibentuk (dirampingkan) berdasarkan sketsa di samping (garis-garis kuning), lalu direvolve-cut (membuang material).
Tahap terakhir adalah menangani bentuk sudunya. Sudu-sudu tersebut harus dibuat agar tepat menyentuh permukaan cone dan ring sesuai dengan rancangan. Proses ini dilakukan dengan perintah restyle, selanjutnya dalam mode restyle ini dapat dibentuk kurva yang menyatakan:
• Perpotongan antara sudu dengan ring.
• Perpotongan antara sudu dengan cone.
• Kelengkungan sudu.
Selanjutnya kurva-kurva ini dibuat ulang sehingga mencapai posisi yang diinginkan. Selanjutnya sudu yang lama dibuang dengan perintah revolve-cut, lalu berdasarkan kurva-kurva yang telah dibuat dengan restyle, dibuat model sudu baru dengan perintah variable section sweep . Setelah tercipta sebuah sudu, sudu tersebut di-copy secara memutar. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Cuplikan peristiwa pembentukan sudu
Tindakan Hasil
1. Menghapus sudu yang lama dengan perintah revolve-cut (membuang material) berdasar sketsa di bawah ini.
2. Dengan menggunakan perintah restyle, terbentuk kurva-kurva. Lalu dengan perintah variable section sweep
tercipta sebuah sudu lalu sudu tersebut di-copy secara memutar.
Selanjutnya dari model runner yang sudah jadi tersebut, diambil sebuah sudu untuk selanjutnya disimpan dalam bentuk iges file sehingga dapat digunakan dalam pemodelan cetakan dengan menggunakan software Space-E/Modeler.
Gambar 3.3 memperlihatkan gambar sudu yang akan diproduksi dengan investment casting. Langkah selanjutnya adalah pemodelan cetakannya
.
Gambar 3.3 Sudu turbin Francis yang akan diproduksi dengan investment casting
3.2 Pemodelan Cetakan dengan Space-E/Modeler Version 4.2
Setelah didapat model sudu yang akan diproduksi dengan investment casting (dari langkah pada bab 3.1), langkah selanjutnya adalah pemodelan cetakan sudu tersebut untuk pembuatan wax pattern. Pemodelan cetakan menggunakan software Space-E Modeler Version 4.2.
Di dalam cetakan terdapat rongga cetak yaitu rongga tempat pembentukan cairan yang dituang dalam cetakan (dalam kasus ini adalah wax) menjadi produk (dalam kasus ini menjadi wax pattern). Rongga cetak dibentuk oleh:
• Bagian berongga (cekungan) yang disebut juga cavity.
• Bagian yang menonjol (inti) yang disebut core.
3.2.1 Pemosisian Sudu dalam Cetakan
Model sudu yang sudah ada (dalam bentuk iges file) dipanggil ke dalam Space-E/Modeler. Gambar 3.4 menunjukkan model sudu yang sudah dipanggil.
a b
Gambar 3.4 Model sudu yang dipanggil ke dalam Space-E/Modeler a. Model sudu tampak atas (top view)
b. Model sudu tampak bawah (bottom view)
Dalam Space-E/Modeler dikenal istilah class. Class menyatakan lokasi dari sebuah item dalam Space-E. Item-item yang terdapat dalam sebuah class akan dinyatakan dengan warna tertentu. Sebagai contoh, ketika model sudu dipanggil ke dalam Space-E, maka Space-E akan menyatakan sudu tersebut sebagai item dan item tersebut ditempatkan di class 1. Item di class 1 ini akan digambarkan dengan warna merah, maka sudu ini akan berwarna merah.
Selanjutnya sudu harus diatur posisinya sedemikian rupa sehingga posisinya nanti di dalam cetakan harus:
• Tidak menimbulkan undercut.
• Memungkinkan penggunaan material benda kerja yang paling minimal.
Untuk memposisikan sudu ini, langkah pertama adalah membuat garis- garis sumbu koordinat dengan perintah Center Lines , seperti dapat dilihat pada Gambar 3.5. Lakukan hal ini di class yang baru, yakni class 2 (item di class ini akan berwarna hijau). Terbentuk 3 sumbu yaitu X,Y dan Z. Arah bukaan dari cetakan ini nantinya adalah sumbu Z.
Untuk memposisikan sudu agar tidak terjadi undercut dan untuk mencari posisi yang membutuhkan material benda kerja yang paling minimum, putar- putarlah sudu tersebut terhadap sumbu-sumbunya dengan perintah rotate
hingga dirasa cukup. Gambar 3.6 memperlihatkan sudu yang sudah diputar-putar dengan harapan tidak terjadi undercut..
Gambar 3.5 Gambar 3.6
Pemberian center lines pada model sudu Sudu yang sudah diputar
Untuk mengecek terjadi tidaknya undercut dapat digunakan perintah Info/Measure-Check Taper Angle of Face. Lihat Gambar 3.7. Perintah ini akan mengukur sudut dari sebuah permukaan terhadap arah bukaan cetakan, yaitu arah sumbu Z (diberi lingkaran kuning). Pilih permukaan sudu yang akan dihitung taper anglenya. Klik di beberapa tempat pada permukaan tersebut dan akan keluar nilai sudutnya. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada subbab 4.2.2.1.1. Nilai positif berarti permukaan tersebut tidak undercut terhadap arah bukaan cetakan.
Gambar 3.7 Check Taper Angle of Face
3.2.2 Pengaplikasian Shrinkage pada Sudu
Sudu ini akan diberi shrinkage sebesar 2,9%. Cara mengaplikasikan shrinkage adalah dengan menekan perintah Scale . Untuk kasus shrinkage, dipilih scale jenis uniform dengan rasio 1.029. Masih tetap bekerja di class 2, pilih item-item yang akan diskala yakni seluruh permukaan sudu tersebut. Hasilnya adalah yang berwarna hijau seperti Gambar 3.8. Selanjutnya kita akan memakai sudu yang sudah diskala ini, maka non-aktifkan class 1 agar sudu awal tak tampak lagi.
a b
Gambar 3.8 Shrinkage pada sudu
a. Sudu yang sudah diskala di class 2 berwarna hijau b. Perbandingan dengan sudu awal (warna merah)
3.2.3 Pembuatan Model Benda Kerja
Mula-mula buatlah garis-garis konstruksi dengan mengoffset garis-garis sumbu dengan perintah parallel , seperti Gambar 3.9a. Lalu garis-garis tersebut
ditrim dengan perintah Trim Corner , seperti Gambar 3.9b. Selanjutnya kotak konstruksi tersebut disatukan dengan perintah Set-Chain. Untuk kali ini, penulis membuat kotak dengan ukuran 360 mm x 250 mm.
a b
Gambar 3.9 Pembuatan konstruksi benda kerja a. Garis-garis konstruksi pembuat benda kerja b. Kotak konstruksi pembuat benda kerja
Buat blok benda kerja dengan perintah sweep , kali ini tingginya dibuat 150 mm, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.10a. Selanjutnya blok benda kerja ini bisa digeser secara vertikal dengan perintah move untuk lebih menepatkan posisi blok benda kerja pada arah sumbu Z, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.10b.
a b
Gambar 3.10 Pembuatan blok benda kerja a. Blok benda kerja
b. Blok benda kerja yang sudah digeser
Selanjutnya benda kerja tersebut dipecah menjadi permukaan (surface) dengan perintah Resolve Faces . Lalu buang permukaan atas dan permukaan bawah blok benda kerja dengan perintah delete , sehingga didapat 4 permukaan samping saja seperti Gambar 3.11.
Gambar 3.11 Blok benda kerja siap pakai
3.2.4 Pembuatan Model Core
Selanjutnya adalah pemodelan core (inti) cetakan. Mula-mula bagi 2 model sudu berdasarkan taper anglenya (lihat pembahasan subbab 4.2.2.1.1).
Permukaan bagian atas sudu yang akan menjadi permukaan cavity dikirimkan ke class 3 (item akan berwarna hijau tosca) sedangkan permukaan bagian bawah sudu yang akan menjadi permukaan core dikirimkan ke class 4 (item berwarna biru). Hal ini dapat dilakukan dengan perintah change class .
Masing-masing dapat dilihat pada Gambar 3.12a dan Gambar 3.12b.
a b
Gambar 3.12 Pemecahan model sudu a. Permukaan cavity (di class 3) b. Permukaan core (di class 4)
Selanjutnya dibuat terlebih dahulu model core. Aktifkan class 2 (kotak benda kerja) dan class 4 (permukaan core). Untuk sementara non-aktifkan class 3.
Selanjutnya ujung-ujung permukaan core diproyeksikan ke kotak benda kerja sehingga terbentuk permukaan pemisah (parting surface). Hal ini dapat dilakukan dengan perintah taper faces . Mulailah dengan satu permukaan, lihat Gambar
3.13a. Lalu lanjutkan dengan 3 permukaan lainnya, sehingga terbentuk parting surface seperti Gambar 3.13b.
a b
Gambar 3.13 Pembuatan parting surface a. Taper face pada sebuah sisi sudu b. Parting surface untuk sudu
Selanjutnya parting surface ini dikirimkan ke class 5 (item akan berwarna ungu). Lalu kotak benda kerja kita pisah menjadi 2 berdasarkan kurva parting surface (lihat Gambar 3.14) dengan menggunakan perintah trim .
Gambar 3.14 Kurva pada parting surface untuk mentrim kotak benda kerja
Kotak tersebut akan terbelah menjadi 2 item berdasarkan kurva tersebut. Selanjutnya kirim bagian bawah kotak benda kerja ke class 6 (item akan berwarna abu-abu) sehingga akan didapat kotak benda kerja untuk core, lihat Gambar 3.15a. Akibatnya di class 2 hanya akan tersisa kotak benda kerja untuk cavity, lihat Gambar 3.15b.
a b
Gambar 3.15 Pemecahan kotak benda kerja a. Kotak benda kerja untuk core di class 6 b. Kotak benda kerja bagian cavity di class 2
Aktifkan class 6 yang berisi kotak benda kerja untuk core, class 5 yang berisi parting surface dan class 4 yang berisi permukaan core. Akan tampil model core yang seutuhnya seperti dapat dilihat pada Gambar 3.16. Simpan kondisi ini sebagai file core.
Gambar 3.16 Core
3.2.5 Pembuatan Model Cavity
Aktifkan class 2 yang berisi kotak benda kerja untuk cavity, class 5 yang berisi parting surface dan class 3 yang berisi permukaan cavity. Akan tampil model cavity yang seutuhnya seperti dapat dilihat pada Gambar 3.17a. Putar model cavity tersebut sebesar 1800 terhadap sumbu X sehingga didapat model seperti Gambar 3.17b. Simpan kondisi ini sebagai file cavity.
a b
Gambar 3.17 Cavity a. Posisi awal
b. Sudah diputar dan siap menjadi cavity
3.3 Perencanaan Proses Pemesinan dengan Space-E/CAM Version 4.2 Setelah didapat model cetakan yang terdiri dari model core dan cavity, langkah selanjutnya adalah merencanakan proses pemesinan untuk core dan cavity tersebut. Perencanaan proses pemesinan menggunakan Space-E/CAM Version 4.2. Langkah-langkah dalam merencanakan proses pemesinan core dan cavity ini akan dibahas dalam subbab-subbab berikut.
3.3.1 Perencanaan Proses Pemesinan untuk Core
3.3.1.1 Pendefinisian Awal pada Space-E/CAM untuk Core
Pendefinisian awal pada Space-E/CAM meliputi pendefinisian model, material, mesin dan koordinat sistem basis pemotongan. Berikut akan dijelaskan satu persatu (dapat dilihat juga pada Lampiran A-1).
3.3.1.1.1 Pendefinisian Model
Akan muncul dialog box seperti Gambar 3.18. Masukkan model utama dan sub-model (bisa sampai sebanyak 32 buah). Sub-model berfungsi untuk memodelkan bagian tertentu dari model utama untuk proses tertentu. Untuk kasus ini, cukup mendefinisikan model utama saja, karena proses pemesinan dilakukan pada seluruh bagian model utama. Tolerance berisi nilai toleransi pendekatan model terhadap polygon.
Gambar 3.18 Dialog box Model
3.3.1.1.2 Pendefinisian Material
Akan muncul dialog box seperti Gambar 3.19. Pilih tipe benda kerja dari pilihan berikut, apakah berupa balok (block), hasil coran (cast work) atau bentuk bebas (free shape). Untuk kasus ini, material benda kerja berbentuk balok.
Gambar 3.19 Dialog box Material
Base point menyatakan koordinat sistem benda kerja. Size menyatakan ukuran benda kerja. Untuk kasus ini, pemilihan base point dan size menggunakan opsi Reference Model sehingga sumbu koordinat dan ukuran benda kerja diatur secara otomatis berdasarkan ukuran maksimum dan minimum dari model yang ter-preview. Terakhir tentukan jenis material benda kerja dalam kolom material.
Untuk kasus ini benda kerja akan dibuat dari aluminium, maka masukkan dural.
3.3.1.1.3 Pendefinisian Mesin
Akan muncul dialog box seperti Gambar 3.20.
Gambar 3.20 Dialog box Machine
Home position menyatakan posisi awal pemesinan. Untuk kasus ini dipilih yang umum dipakai yaitu X=0, Y=0 dan Z = 100 mm. Rate of rapid feed menyatakan kecepatan makan pada gerak cepat, besarnya disesuaikan dengan spesifikasi kemampuan mesin, untuk kasus ini mesin dibatasi agar kecepatan makannya tidak melebihi 30000 mm/min. Maximum feed rate menyatakan kecepatan makan maksimum yang diperbolehkan pada arah X, Y dan Z, besarnya disesuaikan dengan spesifikasi kemampuan mesin, untuk kasus ini mesin dibatasi agar kecepatan makannya tidak melebihi 30000 mm/min. Acceleration of rapid feed menyatakan percepatan gerak cepat, besarnya disesuaikan dengan spesifikasi mesin, untuk kasus ini sebesar 0,3. Acceleration of cut feed menyatakan percepatan gerak makan, besarnya disesuaikan dengan spesifikasi mesin, untuk kasus ini sebesar 0,5.
3.3.1.1.4 Pendefinisian Koordinat Sistem Basis Pemotongan
Pendefinisian koordinat sistem basis pemotongan sudah dilakukan secara otomatis oleh Space-E/CAM sehingga tidak perlu didefinisikan lagi.
3.3.1.2 Pendefinisian Proses-Proses Pemesinan Core
Dalam proses pemesinan untuk core ini terdapat 8 proses pemesinan yang digolongkan dalam 3 operasi yaitu operasi roughing, operasi semi finishing dan operasi finishing. Alasan penentuan jumlah proses ini dapat dilihat lebih jelas pada subbab 4.3.2.2. Berikut adalah langkah-langkah dari masing-masing proses tersebut.
3.3.1.2.1 Operasi Roughing pada Core
Roughing adalah proses pemesinan dengan kondisi pemesinan yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki laju penghasilan geram yang besar [13].
Operasi roughing kali ini hanya terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour roughing, yaitu proses pemakanan cepat untuk membentuk kontur. Pendefinisian yang harus dilakukan pada sebuah proses adalah parameter proses, pahat yang digunakan, area pemesinan dan post processor yang digunakan. Berikut dijelaskan satu persatu (dapat dilihat juga pada Lampiran A-2).
3.3.1.2.1.1 Parameter Proses Contour Roughing pada Core
Terdapat 5 dialog box yang harus diisi, yaitu dialog box untuk function, cutting pattern, approach, clearance dan option. Berikut akan dijelaskan satu persatu.
3.3.1.2.1.1.1 Dialog box Function
Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.21.
Pada kolom cutting direction, pilih salah satu dari opsi berikut:
• Climb: pada mode ini gerak pemakanan searah dengan gerak pemotongan.
• Conventional: pada mode ini gerak pemakanan berlawanan arah dengan gerak pemotongan.
Untuk kasus ini dipilih climb milling.
Kolom Z pitch yang menyatakan kedalaman potong per langkah, pilih salah satu dari opsi berikut:
• Pitch: pada mode ini kedalaman potong besarnya sesuai dengan nilai stepover yang dimasukkan. Stepover disini adalah jarak pemesinan dalam arah sumbu Z dari satu langkah ke langkah berikutnya.
Gambar 3.21 Dialog box Function Contour Roughing pada Core
• Cusp: pada mode ini kedalaman potong besarnya ditentukan oleh nilai cusp height yang dimasukkan. Cusp height adalah tinggi dari sisa material yang tidak dapat dimakan oleh pahat pada suatu kedalaman potong tertentu selama proses pemotongan. Jadi pitch (kedalaman potong per langkah/kontur) akan disesuaikan besarnya sesuai dengan cusp heigt yang dipilih.
Untuk kasus ini Z pitch dipilih dengan opsi pitch dengan stepover sebesar = 1mm.
Untuk lebih jelasnya, ilustrasi mengenai Z pitch (kedalaman potong) ini dapat dilihat pada Gambar 3.22.
Selanjutnya pada kolom XY pitch yaitu jarak pemesinan (lebar pemesinan) dalam arah X-Y, terdapat 2 opsi yang bisa dipilih yaitu:
• Pitch: pada mode ini besar XY pitch sesuai dengan nilai stepover yang dimasukkan. Dalam kasus ini stepover adalah jarak pemesinan dalam arah sumbu X dan/atau sumbu Y dari satu langkah ke langkahberikutnya.
• Cusp: pada mode ini besar XY pitch ditentukan oleh nilai cusp height yang dimasukkan. Cusp height adalah ketinggian sisa material yang tidak termakan oleh pahat (biasanya pahat ball end mill) dalam suatu proses pemesinan dalam sebuah kontur.
Untuk kasus ini XY pitch dipilih dengan opsi pitch dengan stepover = 15 mm.
Ilustrasi mengenai XY pitch ini dapat dilihat pada Gambar 3.23.
Gambar 3.22 Ilustrasi Z-pitch [12] Gambar 3.23 Ilustrasi XY pitch [12]
Selanjutnya pilih XY cutting pattern yang menggambarkan pola pemotongan di bidang XY. Opsinya adalah sebagai berikut:
• Rotary: lintasan pahat akan membentuk lintasan berputar.
• Parallel one way: lintasan pahat parallel dengan pemakanan pada satu arah, terjadi gerak cepat (gerak tanpa memakan untuk memposisikan pahat)
• Parallel reciprocate: lintasan pahat parallel dengan arah pemakanan bolak-balik.
Ilustrasi mengenai XY cutting pattern dapat dilihat pada Gambar 3.24. Untuk kasus ini dipilih XY cutting pattern dengan opsi parallel reciprocate.
Rotary Parallel one way Parallel reciprocate Gambar 3.24 Ilustrasi XY cutting pattern [12]
3.3.1.2.1.1.2 Dialog box Cutting pattern
Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.25. Tidak ada yang bisa dipilih pada dialog box ini karena proses contour roughing tidak bisa melakukan mode penipisan (thinning) ataupun mode pemotongan batas (boundary cutting cutting).
3.3.1.2.1.1.3 Dialog box Approach
Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.26. Tidak ada yang bisa dipilih pada dialog box ini karena contour roughing hanya bisa memotong dalam arah vertikal sepanjang sumbu Z.
Gambar 3.25 Gambar 3.26
Dialog box cutting pattern Contour Roughing Dialog box Approach Contour Roughing
3.3.1.2.1.1.4 Dialog box Clearance
Akan muncul dialog box seperti Gambar 3.27. Untuk baris clearance height isikan tinggi clearance yang diinginkan. Clearance adalah besaran yang menyatakan jarak vertikal pahat terhadap permukaan material yang akan dipotong. Untuk kasus ini clearance height sebesar 5 mm. Pada kolom clearance mode (down) menyatakan perilaku pahat ketika pahat bergerak turun dari clearance height ke permukaan material. Terdapat 3 pilihan yaitu:
• None: tidak ada air cut. Berarti pahat turun sepanjang clearance height dengan diam.
• Air cut only: ketika pahat turun dan sudah mencapai ketinggian tertentu yang disebut air cut height, pahat akan melakukan gerak makan dengan kecepatan makan sebesar air cut speed.
Gambar 3.27 Dialog box Clearance Contour Roughing
• Air cut and sub air cut: ketika pahat turun dan mencapai ketinggian air cut height + sub air cut height, pahat akan melakukan gerak makan dengan kecepatan makan sebesar sub air cut speed sampai mencapai ketinggian air cut height, lalu pahat turun dengan kecepatan makan sebesar air cut speed.
Untuk ilustrasi clearance mode (down) ini dapat dilihat pada Gambar 3.28. Untuk kasus ini clearance mode (down) dipilih air cut only dengan air cut height sebesar 3 mm.
Gambar 3.28 Ilustrasi clearance mode (down) [12]
Untuk air cut type, pilihlah lintasan gerak makan pahat ketika melakukan air cut speed. Ada 3 pilihan yaitu:
• Directly: lintasan gerak makan ketika air cut mengikuti garis lurus.
• Zigzag: lintasan gerak makan ketika air cut mengikuti pola zigzag.
• Sloping on one direction: lintasan gerak makan ketika air cut mengikuti garis miring dengan sudut tertentu.
Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 3.29. Untuk kasus ini air cut type dipilih sloping on one direction dengan angle sebesar 40.
Gambar 3.29 Ilustrasi air cut type [12]
Untuk kolom clearance mode (up) sama seperti kolom clearance mode (down) hanya saja untuk kondisi ini pahat bergerak naik. Untuk kasus ini clearance mode (up) dipilih none.
3.3.1.2.1.1.5 Dialog box Option
Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.30.
Gambar 3.30 Dialog box Option Contour Roughing
Kolom feed rate diisi sesuai permintaan masing-masing baris. Ordinary cutting speed menyatakan kecepatan makan normal (pahat memakan material). Pick speed menyatakan kecepatan makan sesaat setelah pahat memakan material (pahat sesaat akan diangkat). Retract speed merupakan kebalikan dari pick speed yaitu menyatakan kecepatan makan sesaat sebelum pahat memakan material (pahat sesaat akan mencapai permukaan material yang dipotong). Air cut speed menyatakan kecepatan makan pahat ketika berada dalam batasan air cut height. Sub air cut speed menyatakan kecepatan makan pahat ketika berada dalam batasan sub air cut height. Untuk kasus ini ordinary cutting speed dipilih 1000 mm/min, pick speed = 0 mm/min, retract speed = 0 mm/min, air cut speed = 500 mm/min dan sub air cut speed = 0 mm/min.
Tidak perlu memilih kolom recognize flat area untuk proses contour roughing ini. Kolom cutting order menyatakan arah prioritas hasil akhir pemotongan, terdapat 2 pilihan, yaitu:
• Z priority: pemotongan diprioritaskan pada bagian yang memiliki
”lembah” dan “gunung”. Kontur tersebut akan dibentuk terlebih dahulu, baru berpindah ke bagian lainnya.
• XY priority: pemotongan dilakukan berdasarkan kedalaman potong.
Walaupun terdapat lembah dan gunung, pemotongan terhadap bagian tersebut sesuai dengan urutan kedalaman potong.
Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.31 untuk melihat ilustrasi cutting priority.
Untuk kasus kali ini, cutting priority dipilih XY direction.
Gambar 3.31 Ilustrasi cutting priority [12]
Pilihan kolom optimize for circle tip tool tidak perlu dipilih karena pahat yang digunakan pada contour roughing ujungnya tidak membulat. Kolom incorner R menyatakan pilihan untuk mengaplikasikan radius pada sudut yang terdapat di dalam material. Gambar 3.32 mengilustrasikan sudut dalam material yang diberi incorner R dan yang tidak diberi incorner R.
Gambar 3.32 Ilustrasi incorner R [12]
Jika pilihan insert incorner R dipilih, maka perlu dinyatakan besar radiusnya.
Pemberian radius ini bisa dengan 2 cara yaitu
• Tool diameter ratio: dengan cara ini besar radius dinyatakan dengan sebuah rasio terhadap diameter pahat yang digunakan.
• Radius: dengan cara ini besar radius dinyatakan besarnya secara langsung.
Untuk kasus ini, incorner R tidak bisa dipilih karena pada proses contour roughing, hal seperti ini tidak mempengaruhi hasil akhir.
Pada kolom option, pilihan delete area menyatakan dibuat atau tidaknya path (lintasan pahat) untuk ukuran kontur tertentu. Lintasan pahat tidak akan dibuat jika ukuran cross section kontur tersebut lebih kecil daripada ukuran cross section pahat dikalikan nilai delete area. Pilihan delete length menyatakan dibuat atau tidaknya path (lintasan pahat) untuk panjang kontur tertentu. Lintasan pahat tidak akan dibuat jika pajang kontur tersebut lebih kecil daripada diameter pahat dikalikan nilai delete length. Biasanya besar nilai ini disesuaikan dengan default setting. Maka untuk kasus ini dipilih pula default setting, yaitu 0,1 untuk delete area dan 0,1 untuk delete length.
Pada kolom tolerance, terdapat 2 baris yang harus diisi yaitu:
• Tolerance: menyatakan besar toleransi perbedaan kontur antara permukaan model dengan permukaan hasil proses pemesinan ini. Lebih jelasnya lihat ilustrasi pada Gambar 3.33.
Gambar 3.33 Ilustrasi tolerance [12]
• Thickness: menyatakan besar toleransi kedalaman material yang boleh disisakan antara permukaan akhir pemesinan dengan permukaan model.
Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 3.34
. Gambar 3.34 Ilustrasi thickness [12]
Untuk kasus ini tolerance diisi 0,1 sedangkan thickness diisi 0,5.
Kolom pick menyatakan menyatakan mode lintasan pahat untuk berpindah dari satu kontur ke kontur lainnya. Terdapat 3 pilihan yaitu:
• Line: lintasan pahat berbentuk garis.
• Curve: lintasan pahat berbentuk lengkungan.
• S-curve: lintasan pahat berbentuk kurva S.
Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 3.35.
Gambar 3.35 Ilustrasi pick [12]
Untuk kasus ini, pick dipilih line. Pada kolom target model for calculation, pilih model mana yang akan digunakan sebagai pembanding. Karena hanya ada main model, maka dipilihlah main model.
3.3.1.2.1.2 Pahat pada Proses Contour Roughing
Terdapat 3 dialog box yang harus diisi, yaitu dialog box tool setup, holder setup dan tool property. Berikut akan dijelaskan satu persatu.
3.3.1.2.1.2.1 Dialog box Tool Setup
Gambar 3.36 Dialog box Tool Setup
Tampilan dari dialog box ini seperti pada Gambar 3.36. Hal-hal yang perlu didefinisikan adalah sebagai berikut, dengan dilengkapi ilustrasi Gambar 3.37.
Gambar 3.37 Ilustrasi pahat [12]
• Tool type dipilih tipe pahat yang sesuai, dalam hal ini pahat mill.
• Diameter diisi dengan diameter pahat.
• Corner radius diisi dengan dengan radius ujung pada pahat (untuk pahat jenis ball end mill dan bull end mill).
• Length diisi dengan panjang pahat yang memiliki mata potong.
• Under head length diisi dengan panjang pahat dari ujung pahat sampai batas shank.
• Shank diameter diisi dengan diameter shank.
• Taper shank angle diisi dengan besar sudut taper shank level satu.
• Taper shank diisi dengan sudut taper shank level dua, jika taper shank diisi, maka perlu diisi pula length di sebelah kanan taper shank angle yang menyatakan panjang taper shank level satu.
• Effective length diisi dengan panjang efektif dari pahat.
Untuk kasus ini pemilihan ukuran-ukuran pahat seperti disajikan pada Gambar 3.36.
3.3.1.2.1.2.2 Dialog box Holder Setup
Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.38.
Gambar 3.38 Dialog box Holder Setup
Baris-baris yang perlu diisikan adalah:
• Number of holder diisi dengan jumlah holder.
• Holder 1 diameter diisi dengan diameter holder pertama.
• Holder 1 length diisi dengan panjang holder pertama.
• Holder 1 taper dipilih jika holder 1 ditaper, dan seterusnya.
Untuk kasus ini pemilihan ukuran-ukuran holder seperti yang disajikan pada Gambar 3.38 juga.
3.3.1.2.1.2.3 Dialog box Tool property
Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.39 berikut:
Gambar 3.39 Dialog box Tool Property
Masing-masing baris tersebut menyatakan:
• T code: nomor pahat (pahat dipegang oleh automatic tool changer).
• D code: kompensasi diameter pahat.
• H code: kompensasi panjang pahat.
• Edge number: jumlah mata potong pahat,
• Feed rate: kecepatan makan dari pahat.
• Spindle value: putaran pahat.
• Material: material pahat.
• Life-time: umur pahat.
• Comments: komentar tentang pahat.
Tool property ini sangat bergantung pada spesifikasi mesin NC milling yang akan digunakan. Untuk kasus ini, dialog box tool property diisi seperti Gambar 3.39. Beberapa kode seperti T code, D code dan H code dapat diisikan oleh operator.
3.3.1.2.1.3 Area Pemesinan pada Proses Contour Roughing Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.40.
Dialog box ini menyatakan daerah kerja pemesinan yang akan dilakukan oleh pahat. Cutting area bisa berupa:
• area tertutup yang berbentuk persegi.
• area tertutup yang tidak berbentuk persegi.
• area terbuka.
Gambar 3.40 Dialog box Cutting Area
Cutting area ini dapat dibuat langsung di area XY range dengan menekan tombol (untuk area persegi) atau (untuk area bukan persegi). Jika cutting area sudah dibuat di dalam Space-E modeler maka dapat dipanggil dengan perintah id… Untuk kasus ini, cutting area dibuat seperti Gambar 3.40.
3.3.1.2.1.4 Post processor pada Proses Contour Roughing Akan muncul tampilan seperti Gambar 3.41.
Gambar 3.41 Dialog box Post Proseccor
Baris XMP File diisi dengan jenis post processor yang akan digunakan.
Start number biasanya diisi nol. Base file name diisi dengan nama file tempat penyimpanan NC Data (G-Code) nantinya.
3.3.1.2.2 Operasi Semi Finishing
Semi finishing adalah proses pemesinan diantara proses roughing dan finishing [13]. Operasi semi finishing kali ini terdiri dari empat proses yaitu proses contour finishing tahap satu dan dua, lalu dilanjutkan dengan parallel finishing tahap satu dan dua.
3.3.1.2.2.1 Contour Finishing Tahap Satu
Hasil dari proses roughing adalah benda kerja yang sudah memiliki profil permukaan. Namun, profil bentuk permukaannya masih kurang benar, maka langkah selanjutnya adalah proses contour finishing.
Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses contour finishing tahap satu ini adalah parameter proses, pahat yang digunakan, area pemesinan serta post processor yang digunakan (dapat dilihat pada Lampiran A-3). Perbedaaan dengan proses roughing, selain pada strategi pemakanannya yang memang berbeda, juga terletak pada parameter option bagian tolerance. Toleransi kontur dan toleransi ketebalannya diperkecil sehingga akan didapat permukaan yang makin mendekati model. Jejak pemakanan kontur juga harus diperhalus dengan memperkecil parameter function-Z pitch. Tentu saja hal ini dicapai dengan ukuran diameter pahat yang lebih kecil.
3.3.1.2.2.2 Contour Finishing Tahap Dua
Hasil dari proses contour finishing tahap satu akan menghasilkan benda kerja yang memiliki profil permukaan dengan bentuk yang benar. Namun, untuk menghaluskan profil bentuk permukaaannya dilakukan lagi proses contour finishing tahap dua. Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses contour finishing tahap dua ini dapat dilihat pada Lampiran A-4. Perbedaaan dengan proses contour finishing tahap satu hanya terletak pada parameter function bagian Z-pitch. Untuk memperhalus kontur arah Z, nilai stepover kembali diperkecil. Tentu saja hal ini dicapai dengan ukuran diameter pahat yang lebih kecil.
3.3.1.2.2.3 Parallel Finishing Tahap Satu
Hasil dari proses contour finishing tahap satu dan dua akan menghasilkan benda kerja yang memiliki profil permukaan dengan bentuk yang benar. Namun,
kekasaran profil permukaannya masih jauh dari kekasaran profil permukaan model yang diinginkan sehingga dilakukan proses parallel finishing.
Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses parallel finishing tahap satu ini dapat dilihat pada Lampiran A-5. Perbedaaan dengan proses contour finishing selain terletak pada strategi pemakanannya yang memang berbeda, juga pada parameter option bagian tolerance dimana toleransi kontur diperkecil lagi. Untuk meningkatkan kehalusan jejak pemesinan bidang XY, parameter function-XY pitch juga harus diperkecil. Tentu saja untuk mencapai hal ini digunakan pahat dengan diameter yang lebih kecil dan berbentuk ball end mill untuk menghaluskan jejak pemesinan tersebut.
3.3.1.2.2.4 Parallel Finishing Tahap Dua
Hasil dari proses parallel finishing tahap satu akan menghasilkan benda kerja dengan kekasaran profil permukaan yang cukup mendekati model. Namun, diinginkan permukaan yang lebih halus agar lebih mendekati kekasaran profil permukaan model dengan proses parallel finishing tahap dua. Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses parallel finishing tahap dua ini dapat dilihat pada Lampiran A-6. Perbedaaan dengan proses parallel finishing tahap satu terletak pada parameter function bagian XY pitch dimana nilai XY pitch diperkecil dan pada parameter option bagian tolerance dimana toleransi ketebalan diperkecil. Tentu saja untuk mencapai hal ini digunakan pahat dengan diameter yang lebih kecil.
3.3.1.2.3 Operasi Finishing
Finishing adalah proses pemesinan yang menghasilkan permukaan terakhir yang sesuai dengan persyaratan. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan permukaan yang halus [13]. Operasi finishing kali ini terdiri dari tiga proses yaitu proses parallel finishing tahap tiga yang dilanjutkan dengan proses rest cutting tahap satu dan dua. Berikut penjelasannya satu persatu.
3.3.1.2.3.1 Parallel Finishing Tahap Tiga
Hasil dari proses parallel finishing tahap dua menghasilkan benda kerja dengan kekasaran profil permukaan yang lebih mendekati model. Namun, diinginkan
untuk menyempurnakan kekasaran profil permukaan agar lebih mendekati kekasaran profil permukaan model dengan proses parallel finishing tahap tiga.
Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses parallel finishing tahap tiga ini dapat dilihat pada Lampiran A-7. Perbedaaan dengan proses parallel finishing tahap dua terletak pada parameter option bagian tolerance dimana toleransi ketebalan diperkecil lagi. Perbedaan lainnya adalah parameter function bagian XY pitch dimana nilai pitch pemotongan pada bidang XY diperkecil lagi. Tentu saja untuk mencapai hal ini digunakan pahat dengan diameter yang lebih kecil.
3.3.1.2.3.2 Rest Cutting Tahap Satu
Hasil dari proses parallel finishing tahap tiga akan menghasilkan benda kerja dengan kekasaran profil permukaan yang lebih mendekati model. Namun, masih ada bagian-bagian yang kurang mendekati profil bentuk permukaan karena tidak terjangkau oleh pahat sebelumnya. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses rest cutting. Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses rest cutting tahap pertama ini dapat dilihat pada Lampiran A-8. Perbedaan dengan proses parallel finishing tahap tiga selain terletak pada strategi pemakanannya juga terletak pada area pemesinannya. Area untuk rest cutting ini dibatasi pada bagian-bagian tertentu yang belum terjangkau oleh pahat sebelumnya.
3.3.1.2.3.3 Rest Cutting Tahap Dua
Hasil dari rest cutting tahap satu ternyata masih menyisakan bagian-bagian yang masih tidak termakan oleh pahat. Untuk itu langkah selanjutnya dilakukan lagi proses rest cutting tahap dua. Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses rest cutting tahap dua ini dapat dilihat pada Lampiran A-9. Perbedaan dengan proses rest cutting tahap satu terletak pada diameter pahat yang digunakan.
3.3.2 Perencanaan Proses Pemesinan untuk Cavity 3.3.2.1 Pendefinisian Awal pada Space-E/CAM
Pendefinisian awal pada Space-E/CAM meliputi pendefinisian model, material, mesin dan koordinat sistem basis pemotongan. Pendefinisian ini dapat dilihat pada Lampiran B-1.
3.3.2.2 Pendefinisian Proses-Proses Pemesinan Cavity
Dalam proses pemesinan untuk cavity ini terdapat 4 proses pemesinan yang digolongkan dalam 3 operasi yaitu operasi roughing, operasi semi finishing dan operasi finishing. Alasan penentuan jumlah proses ini dapat dilihat lebih jelas pada subbab 4.3.3.2. Berikut akan dijelaskan masing-masing proses pemesinan tersebut.
3.3.2.2.1 Operasi Roughing
Roughing adalah proses pemesinan dengan kondisi pemesinan yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki laju penghasilan geram yang besar. Operasi roughing kali ini hanya terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour roughing, yaitu proses pemakanan cepat untuk membentuk kontur. Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses ini adalah parameter proses, pahat yang digunakan, area pemesinan dan post processor yang digunakan. Pendefinisian ini dapat dilihat pada Lampiran B-2.
3.3.2.2.2 Operasi Semi finishing
Semi finishing adalah proses pemesinan diantara proses roughing dan finishing. Karena kontur permukaan cavity ini tidak terlalu rumit, maka dari proses roughing didapat profil bentuk permukaan yang sudah mendekati profil bentuk permukaan model. Namun demikian, perlu diproses semi finishing terlebih dahulu sebelum diproses finishing agar material yang harus dibuang tidak terlalu banyak.
Operasi semi finishing kali ini terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour finishing. Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses ini dapat dilihat pada Lampiran B-3. Perbedaaan dengan proses roughing, selain pada strategi pemakanannya yang memang berbeda, juga terletak pada parameter option bagian tolerance. Toleransi kontur dan toleransi ketebalannya diperkecil sehingga akan didapat permukaan yang makin mendekati model. Tentu saja hal ini dicapai dengan ukuran diameter pahat yang lebih kecil.
3.3.2.2.3 Operasi Finishing
Finishing adalah proses pemesinan yang menghasilkan permukaan terakhir yang sesuai dengan persyaratan. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan
permukaan yang halus. Karena kontur permukaan cavity tidak begitu rumit, hasil dari proses contour finishing adalah profil bentuk permukaan yang hampir mendekati profil bentuk permukaan model. Oleh karena itu, proses bisa langsung dilanjutkan dengan proses finishing. Operasi finishing kali ini terdiri dari dua proses yaitu proses parallel finishing tahap satu dan dua. Berikut penjelasannya satu persatu.
3.3.2.2.3.1 Parallel Finishing Tahap Satu
Hasil dari proses contour finishing seperti telah disebutkan di atas menghasilkan benda kerja yang memiliki profil permukaan dengan bentuk yang cukup benar. Namun, profil bentuk permukaannya masih tetap harus disempurnakan. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing.
Parallel finishing adalah proses pemesinan untuk memotong seluruh permukaan sehingga didapat permukaan yang halus.
Sama seperti proses-proses sebelumnya, pendefinisian yang harus dilakukan pada proses parallel finishing tahap satu ini adalah parameter proses, pahat yang digunakan, area pemesinan dan post processor yang digunakan. Pendefinisian- pendefinisian ini dapat dilihat pada Lampiran B-4. Perbedaaan dengan proses contour finishing selain terletak pada strategi pemakanannya yang memang berbeda, juga pada parameter option bagian tolerance dimana toleransi kontur dan toleransi ketebalan diperkecil. Dan untuk meningkatkan kehalusan jejak pemesinan bidang XY, parameter function-XY pitch juga harus diperkecil. Untuk mencapai hal ini digunakan pahat dengan diameter yang lebih kecil dan berbentuk ball end mill.
3.3.2.2.3.2 Parallel Finishing Tahap Dua
Hasil dari proses parallel finishing tahap satu akan menghasilkan benda kerja dengan profil permukaan yang cukup mendekati model. Namun, diinginkan permukaan yang lebih halus agar lebih mendekati kekasaran profil permukaan model. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing tahap dua.
Pendefinisian yang harus dilakukan pada proses parallel finishing tahap dua ini dapat dilihat pada Lampiran B-5. Perbedaaan dengan proses parallel finishing tahap satu terletak pada parameter option bagian tolerance dimana toleransi ketebalan diperkecil.
Untuk mencapai hal ini digunakan pahat dengan diameter yang lebih kecil lagi.