PROFIL KEMISKINAN PROVINSI BALI 2014
PEMERINTAH PROVINSI BALI
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
KATA PENGANTAR
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian Pemerintah khususnya di Bali. Usaha penurunan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja masih menjadi isu utama dalam pembangunan sosial ekonomi Bali.
Pemerintah Provinsi Bali melalui visi Bali Mandara secara bertahap melakukan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Namun mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin, sehingga upaya yang telah dilakukan belumlah cukup. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat.
Pemerintah juga telah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), melalui Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Untuk mendukung tugas TKPK, Bappeda Provinsi Bali bekerjasama dengan BPS Provinsi Bali menyusun profil kemiskinan yang menyajikan informasi tentang gambaran umum kemiskinan berdasarkan variabel individu, perumahan dan lingkungan dengan harapan dapat digunakan sebagai bahan untuk menyusun rencana aksi dan peta jalan dalam percepatan penanggulangan kemiskinan.
Meskipun telah disiapkan dengan sebaik-baiknya disadari masih banyak kekurangan yang mungkin terjadi, karena itu saran untuk perbaikan sangat kami hargai dan kepada semua pihak yang telah memberikan perhatian disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Semoga informasi yang disajikan dalam Buku Profil Kemiskinan ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan masyarakat Bali.
Denpasar, Nopember 2015
Ir. I PUTU ASTAWA, M.MA Pembina Utama Muda 19611231 198302 1 055
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG ... 1
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN ... 5
1.3. RUANG LINGKUP ... 6
BAB II DEFINISI KEMISKINAN 2.1. DEFINISI UMUM ... 7
2.2. SUDUT PANDANG KEMISKINAN... 8
2.2.1 KEMISKINAN RELATIF ... 8
2.2.2 KEMISKINAN ABSOLUT... 9
2.3. FENOMENA KEMISKINAN ... 10
2.4. TERMINOLOGI KEMISKINAN LAINNYA ... 10
2.5. TEORI KEMISKINAN ... 11
2.6. KARAKTERISTIK KEMISKINAN ... 13
BAB III METODOLOGI 3.1. METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN ... 15
3.2. UKURAN KEMISKINAN ... 28
3.3. DISTRIBUSI DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN ... 31
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1. DISTRIBUSI PENDAPATAN ... 37
4.2. INDIKATOR KEMISKINAN BALI ... 44
4.3. PROFIL PENDUDUK MISKIN ... 54
4.3.1.PENDIDIKAN ... 54
4.3.2.KETENAGAKERJAAN ... 56
4.3.3.KESEHATAN ... 59
4.3.4.KONSUMSI PENDUDUK MISKIN ... 61
4.4. PROFIL RUMAH TANGGA MISKIN ... 63
4.4.1.JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA ... 63
4.4.2.KONDISI TEMPAT TINGGAL ... 66
4.4.3.PROGRAM PEMERINTAH ... 70
4.4.4.AKSES INTERNET ... 71
BAB V PENUTUP ... 73 LAMPIRAN ... 75
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Permasalahan kompleks kemiskinan telah lama menjadi perhatian di seluruh dunia selama beberapa warsa terakhir. Dengan ketimpangan distribusi kemakmuran yang ada saat ini perspektif atau cara pandang mengenai kemiskinan itu sendiri akan sangat berbeda satu sama lain. Negara miskin yang secara langsung menghadapai masalah kronis ini akan memandang kemiskinan sebagai benih pesimis jangka panjang yang tidak mungkin dihapuskan dalam beberapa generasi.
Kelompok mediocre atau negara-negara berkembang yang memiliki kondisi ekonomi lebih baik akan memandang kemiskinan sebagai bibit ketidakbahagiaan yang memiliki potensi menjadi polemik kompleks untuk masalah sosial dalam negeri mereka. Sementara itu bagi kelompok negara maju, negara miskin adalah pasar yang potensial yang belum digarap. Sebuah wilayah dengan potensi sumber daya alam terpendam dan kekuatan ekonomi yang luar biasa akan menjadi bangsa yang kuat jika digarap dengan sempurna.
Permasalahan kemiskinan begitu sulit untuk ditanggulangi dan penuh dengan relativitas dalam setiap kondisi yang disajikan. Kaum miskin di Swiss misalnya akan sangat berbeda dengan kondisi kaum papa di Bangalore India.
Di negara maju, kaum miskin memiliki akses layanan publik yang cukup baik.
Apabila beruntung mereka akan memperoleh tunjangan yang diterima setiap bulannya. Sangat berbeda dengan negara miskin dimana penduduk marjinal
dalam strata ekonominya masih berurusan dengan perut lapar dan ketidakberdayaan sosial.
Akan tetapi kondisi psikologis kedua kelompok ini akan jauh berbeda.
Menjadi orang miskin di tepi Bangalore akan menjadi jauh lebih biasa daripada menjadi orang miskin di tengah orang kaya Zurich. Kondisi psikologis ini sangat krusial dari mentalitas orang miskin di kedua atau beberapa negara ini. Dan oleh karenanya dapat dikatakan bahwa diagnosa untuk kemiskinan sudah sepenuhnya diketahui meskipun obat yang diberikan masih berupa sebatas terapi.
Apabila melihat jauh ke belakang, permasalahan kemiskinan telah ada ketika perjalanan kebudayaan mulai menyisir pada sisi-sisi kemajuan ekonomi.
Ketika motif dan tujuan ekonomi mulai menjadi dasar perubahan cara hidup bersama maka ketika itulah kemajuan yang dialami di satu pihak tidak serta merta bisa diikuti oleh pihak lainnya. Dengan kata lain ketika hasil usaha personal menjadi pembeda seiring dengan melemahnya interaksi komunal untuk kepentingan kolektif, garis pembatas kondisi individu-individu maupun kondisi antar kelompok dapat mulai jelas dipetakan perbedaannya.
Dilihat dalam runut waktunya, permasalahan tentang kemiskinan telah lama berada dalam sejarah panjang umat manusia. Romawi di masa dulu (awal terbentuknya republik) telah berhasil mengidentifikasi masyarakat miskin sebagai kekuatan penting dalam kehidupan sosial dan politik. Bagaimana memperlakukan orang miskin adalah kajian esensial dalam topik filosofis serta diskusi yang berlangsung pada masa itu. Dalam kurun ratusan tahun di permulaan masehi ini, orang miskin adalah musuh sekaligus mitra secara kolektif golongan lainnya.
Di luar sifat altruisme manusia yang mempedulikan sesama, kemiskinan ditakuti karena banyak dampak sosial ikutannya. Kriminalitas serta
menurunnya kualitas hidup adalah resonansi dari dampak kemiskinan dalam cakupan yang luas. Meskipun harus diakui juga bahwa keberpihakan pada golongan ini selalu menjadi wacana dan topik yang hangat serta sangat potensial dalam propaganda politik. Hanya saja dalam posisi ini keterbatasan golongan miskin seringkali menjadi tumpuan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah.
Hingga kini terminologi kemiskinan telah beberapa kali mengalami perubahan arti seiring dengan perluasan definisi yang dialami. Pada awalnya kemiskinan diidentifikasi hanya sebagai kondisi kurangnya sumber makanan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk. Seiring dengan kemajuan teknologi dan proses industrialisasi yang terjadi maka proses untuk menciptakan kemakmuran seolah menjadi lebih mudah dan tentu saja lebih efisien.
Meningkatnya taraf hidup sebagai ekses pertumbuhan ekonomi telah berhasil memberi ruang untuk transformasi definisi dan klasifikasi kemiskinan.
Kemiskinan saat ini tidak hanya menyangkut makanan maupun sekedar kondisi ekonomi akan tetapi telah meluas pada keterbatasan akses sumber daya dan fasilitas publik. Sendhil Mulaianathan dari MIT menangkap bahwa kemiskinan adalah buah dari kelangkaan (scarcity). Kelangkaan berarti masih ada cukup lebar jarak antar keinginan dengan kemampuan pemenuhan. Untuk golongan miskin keinginan dapat diterjemahkan ulah sebagai kebutuhan.
Konsep kemiskinan menjadi semakin luas ketika kita diperkenalkan pada istilah Kemiskinan Multi Dimensi. Konsep ini lebih mengarah pada himpitan dari segala arah yang dialami seseorang dengan anggota rumah tangganya yang berasal dari ketidak berdayaan untuk memenuhi aspek pendidikan, kesehatan, serta standar hidup layak.
Kompleksnya persoalan kemiskinan multi dimensi membuat paradigma penyelesaian kemiskinan juga mengalami perubahan yang cukup drastis.
Dalam bukunya Poor Economics, Esther Dufflo dan Abijhit Benerjee mengungkapkan bahwa sesungguhnya kita tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan karena kita memang belum dapat memahaminya dalam level yang memang diperlukan. Permasalahan ini dikenal dengan istilah “mil terakhir”. Kita telah memiliki fasilitas, kita memiliki sumber daya, akan tetapi kita tidak mampu menyelesaikannya.
Sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, Dufflo dan Banerjee mengusulkan bahwa model penyelesaian masalah kemiskinan harus spesifik dalam batas wilayah spasial yang terukur. Jika tidak demikian pemahaman dan solusi yang dihasilkan akan menjadi bias. Solusi masalah kemiskinan harus demikian terstandardisasi seperti halnya eksperimen-eksperimen dalam kedokteran. Uji-uji terukur ini akan dapat menghasilkan variasi solusi untuk beragam kasus kemiskinan yang mungkin sangat spesifik.
Terobosan dalam penelitian ini diharapkan akan dapat membantu penyelesaian masalah-masalah yang sebelumnya dianggap sebagai kasus generik menjadi kasus yang bersifat spesifik. Mengingat kasus kemiskinan juga menyangkut pada topik-topik seperti angka kematian bayi, gizi buruk, diare dan lainnya maka batasan eksperimen yang dilakukan nantinya juga akan mengalami ekspansi yang lebih luas dibandingkan dengan sebelumnya.
Oleh karenanya dalam upaya untuk memerangi kemiskinan pemerintah mengeluarkan berbagai program perlindungan sosial. Mulai dari bantuan secara langsung dalam bentuk tunai, perbaikan tempat tinggal hingga subsidi pendidikan dan pemberdayaan ekonomi. Semua ini dilakukan untuk memberi lebih banyak jalan kaum miskin keluar dari labirin kemiskinan mereka. Solusi
multi dimensi inilah yang diharapkan memberikan harapan dari kelangkaan yang mereka alami.
Akan tetapi terlepas dari aspek kebendaanya penanggulangan kemiskinan juga harus melibatkan unsur yang paling penting yaitu pemberdayaan. Pemberdayaan dapat efektif ketika secara sadar orang mau terlepas dari belenggu kemiskinan yang mereka alami. Dalam tataran ini peran nilai sosial dan budaya menjadi sangat penting sehingga kaum miskin tidak lagi merasa semakin termarginalisasi atau sebaliknya sebagai orang yang nyaman dengan kondisi yang mereka hadapi untuk saat ini.
Di lain pihak program pengentasan kemiskinan memerlukan ketersediaan data yang komperehensif mengenai kemiskinan secara keseluruhan baik itu mikro individu maupun rumah tangga. Tanpa data yang memadai ada indikasi bahwa penanggulangan kemiskinan nantinya memiliki peluang yang cukup besar untuk tidak menemui sasaran. Di sisi lain penyediaan data yang komperehensif ini adalah bagian dari sinergi bersama untuk pemberantasaan kemiskinan yang dapat dimulai dari segala arah.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Publikasi ini ditujukan untuk memberikan gambaran yang lebih komperehensif mengenai kemiskinan Bali di tahun 2014 berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2014. Selain mencoba memaparkan mengenai kemiskinan dalam indikator-indikatornya, publikasi ini juga akan memuat berbagai hal yang menyangkut karakteristik kemiskinan dan orang miskin pada umumnya. Karakteristik yang dibahas mengacu pada kondisi individu dan rumah tangga kelompok miskin.
1.3. SUMBER DATA
Publikasi ini menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2014 (Susenas 2014). Survei ini dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Data yang dihasilkan oleh survei ini diharapkan mampu mengestimasi kemiskinan hingga pada tingkat kabupaten.
BAB II DEFINISI KEMISKINAN
2.1. Definisi Umum
Kemiskinan secara harfiah berasal dari kata “miskin”. Makna kata miskin ini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai keadaan tidak berharta; serba kekurangan. Sedangkan kemiskinan disebutkan sebagai situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yg minimum.
Hampir sama dengan KBBI, Wikipedia mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan maupun kesehatan. Sedangkan BPS menambahkan harus adanya standar minimum yang dipenuhi seseorang hingga dapat dikategorikan sebagai miskin maupun tidak miskin. Definisi yang meluas ini dikarenakan karena cakupan mengenai kemiskinan sendiri yang telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleks nya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Sedangkan menurut UNDP kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Definisi menurut UNDP ini tentunya sedikit berbeda karena ada kata pilihan artinya kondisi miskin diartikan tidak hanya secara umum namun keterbatasan pada satu bagian kehidupan juga akan diartikan sebagai miskin.
Terakhir adalah BAPPENAS (2004) yang mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Pada dasarnya kemiskinan tersebut dapat ditinjau dari dua sisi yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.
2.2 Sudut Pandang Kemiskinan
2.2.1 Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif adalah kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Karena keterbandingan inilah maka dapat dilihat perbedaan standar orang miskin antara
Berbagai hal dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan relatif ini, diantaranya adalah yang disebutkan Todaro bahwa variasi kemiskinan di
negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri.
2.2.2 Kemiskinan Absolut
Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Pengukuran kemiskinan absolut didasarkan atas Garis Kemiskinan (GK) dimana seseorang kan dikatakan miskin jika hasil pendapatannya (dalam konteks ini konsumsinya) berada di bawah garis kemiskinan, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum; pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Sedangkan apabila berada diatas GK maka seseorang atau individu tersebut tidak dikatakan miskin lagi secara materi
2.3 Fenomena Kemiskinan
Dilihat dari kondisinya, fenomena kemiskinan pada sebuah individu maupun kelompok yang berlangsung dalam selang waktu tertentu dapat dibagi menjadi kemiskinan kronis (Chronic) dan kemiskinan sementara (Transient).
Kemiskinan kronis dapat diartikan sebagai kondisi kemiskinan yang berlangsung secara terus menerus diakibatkan keterbatasan yang bersifat permanen seperti halnya keterbatasan fisik, ketrampilan, aset serta daya tahan. Sementara itu sedikit berbeda dengan kemiskinan kronis, kemiskinan sementara dapat terjadi karena faktor insidental seperti halnya hilangnya pekerjaan yang memang tidak tetap atau musiman, bencana alam dan lain sebagainya. Pemahaman pada kedua kondisi kemiskinan ini sangat penting karena secara teoretis kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk penanganannya secara mendasar juga memiliki perbedaan.
2.4 Terminologi Kemiskinan Lainnya
Dengan dipandangnya kemiskinan sebagai permasalahan yang meluas dari segi konteks hendaknya pemahaman mengenai kemiskinan tersebut tidaklah serta merta dibawa ke interpretasi yang mengalami peyoratikasi dalam makna. Hal ini disampaikan karena pada dasarnya ada terminologi lain dari kemiskinan yang disebut sebagai kemiskinan secara kultural atau budaya.
Kemiskinan ini dekat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang mau membantu.
Kemiskinan budaya timbul karena 2 hal umum yang berlaku secara terpisah berdasarkan situasi yang dihadapi. Pertama adalah rasa putus asa seseorang untuk lepas dari kemiskinan karena berbagai usaha yang dilakukannya (terutama mencari pekerjaan) selalu berakhir pada kegagalan.
Kegagalan yang mereka temui secara pelan-pelan telah menggiring kepada kondisi dimana mereka tidak mau untuk berusaha lagi.
Kedua adalah sifat nyaman yang dimiliki oleh penduduk dalam suatu komunitas. lingkungan yang tradisional dan relatif tidak berkembang telah membiarkan seseorang menjadi statis dalam menilai kebutuhannya. Akibatnya ada perbedaan dari apa yang menjadi standar kebutuhan mereka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Kemiskinan secara kultural ini sangat dekat dengan kemiskinan yang bersifat relatif, artinya pada dasarnya masyarakat tersebut tidak bisa dikatakan miskin secara mutlak.
2.5 Teori Kemiskinan
Kemiskinan yang terjadi di Indonesia pada umumnya melanda penduduk yang tinggal di pedesaan. Salah satu golongan miskin di pedesaan adalah mereka yang termasuk kategori petani kecil yang bertempat tinggal di daerah yang terisolir dengan kondisi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kurang menguntungkan. Petani kecil yang hidup dalam kemiskinan tersebut umumnya memiliki lahan pertanian yang sempit. Kecilnya luas lahan yang dimiliki mengakibatkan mereka sangat sulit meningkatkan taraf hidupnya.
Dari waktu ke waktu jumlah penduduk miskin ini semakin berkurang di daerah pedesaan sementara jumlah penduduk miskin dikota semakin banyak. Hal ini disebabkan banyak penduduk miskin dari desa yang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya mereka bekerja di sektor informal perkotaan seperti pedangang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, dan sebagainya. Sebagian dari profesi ini membuat mereka tetap tergolong miskin.
Migrasi yang tidak seimbang ini tentunya akan menyebabkan kesenjangan yang makin tinggi di daerah perkotaan. Upah kerja yang murah di satu sisi telah menguntungkan pengusaha namun disisi lain sangat merugikan bagi para tenaga kerja yang rela dibayar lebih rendah asalkan mendapat pekerjaan. Akibat lain dari ketidakseimbangan migrasi ini adalah piramida penduduk semu dalam arti kondisi piramida penduduk yang ideal sebenarnya diakibatkan oleh migrasi yang tinggi sehingga daerah perkotaan selalu terlihat memiliki keuntungan populasi (Population Deviden). Padahal usia produktif tersebut diakibatkan oleh migrasi bukan semata-mata oleh kelahiran dan kematian. Karenanya keadaan yang tercipta tidaklah stabil dan tidak terprediksi.
Jinghan (2000) menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan di negara berkembang saling resiprokal dengan akibatnya. Tiga ciri penyebabnya antara lain adalah Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan. ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman.
Sedangkan jika dilihat dari segi ketenagakerjaan penyebab kemiskinan sangat dekat dengan pengangguran. Tingginya angka pengangguran disebabkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan rendahnya investasi perkapita. Tingginya pertumbuhan tenaga kerja (terutama di kota) disebabkan oleh penurunan tingkat kematian dan tingginya migrasi. Sedangkan rendahnya investasi perkapita disebabkan oleh tingginya ketergantungan terhadap teknologi asing yang hemat tenaga kerja. Rendahnya investasi per kapita berjalan paralel dengan rendahnya tingkat pendapatan per kapita.
Akibatnya tingkat pendapatan yang rendah jelas berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita itu sendiri.
Secara umum permasalahan kebijakan yang diterapkan untuk mengentaskan kemiskinan seyogyanya tidak mempengaruhi kebijakan ekonomi dalam lingkup yang seutuhnya. Artinya kebijakan yang diambil bisa sangat spesifik dan dalam konteks tertentu harus ada diferensiasi yang jelas antar penduduk miskin dan penduduk yang sekedar berpendapatan rendah.
2.6 Karakteristik Kemiskinan
Karakteristik kemiskinan hendaknya ditinjau dari 5 (lima) hal yaitu : persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan, dan ekonomi (konsumsi/kapita). Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang memadai mengenai kondisi spesifik dari golongan miskin itu sendiri.
Indikator lain yang sangat disarankan untuk ditelaah antara lain menyangkut kondisi perumahan, sumber air, akses terhadap sarana publik yang pada dasarnya juga memegang peranan terhadap kualitas hidup orang miskin.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB III METODOLOGI
3.1. METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN
a. Prinsip-prinsip Penghitungan Kemiskinan
Dalam pengukuran kemiskinan, terdapat beberapa kriteria yang seharusnya dipenuhi. Adapun kriteria ukuran kemiskinan yang telah diterima yaitu prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Prinsip anonimitas dan independensi populasi maksudnya adalah ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa jika terjadi transfer sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan, dan jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi daripada sebelumnya. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lainnya sama, jika terjadi transfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.
b. Perubahan Metode Penghitungan Kemiskinan
Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan BPS pada tahun 1984 yang mencakup data kemiskinan periode 1976-1981. Sejak itu setiap tiga tahun sekali BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, yaitu pada saat data modul konsumsi tersedia.
Namun sejak tahun 2000, penghitungan kemiskinan dilakukan setiap tahun
dengan menggunakan data KOR bagi tahun-tahun yang tidak ada modul konsumsi. Sejak tahun 2002 penghitungan kemiskinan selain menggunakan Susenas reguler juga menggunakan Susenas Panel.
Metode yang digunakan untuk menghitung penduduk miskin adalah metode Head Count Index. Menurut metode ini, penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut garis kemiskinan.
Dengan demikian sebelum menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, maka terlebih dahulu dihitung garis kemiskinan.
Garis kemiskinan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan (beras, umbi-umbian, ikan dan sebagainya) maupun kebutuhan hidup minimum bukan makanan (perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sebagainya). Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2.100 kilokalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum energinya sebesar 2.100 kilokalori perhari.
Kebutuhan energi ini dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis komoditi makanan, seperti beras, umbi-umbian, ikan, daging dan sebagainya.
Dalam penghitungan kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2.100 kilokalori didasarkan pada konsumsi makanan dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan (di-inflate) dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelas tersebut disebut penduduk referensi (reference population).
Agar seseorang dapat dikatakan hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak cukup. Oleh karena itu perlu juga dipenuhi
kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Batas kebutuhan minimum untuk makanan ditambah kebutuhan minimum untuk bukan makanan itulah yang disebut Garis Kemiskinan. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan.
Dengan standar kemiskinan yang mengacu pada kebutuhan energi 2100 kilo kalori ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan, berarti penduduk miskin tidak dikonseptualisasikan sebagai sangat papa atau yang mengandung konotasi tidak berdaya tanpa bantuan pihak lain. Sebaliknya, kemiskinan dipersepsikan lebih manusiawi. Namun demikian dalam standar yang digunakan sampai dengan tahun 1996, kebutuhan minimum non makanan belum diukur secara realistis, sehingga masih perlu disempurnakan.
Sejak Desember 1998, penghitungan penduduk miskin telah menggunakan standar baru. Standar baru tersebut lebih dinamis, yaitu menyesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Perbedaan standar baru ini dengan standar sebelumnya (tahun 1996) adalah pada perluasan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan dasar.
Standar tersebut diubah agar ukuran kemiskinan yang digunakan dapat mengukur tingkat kemiskinan secara lebih realistis.
Standar baru tersebut juga telah disempurnakan agar keterbandingan antar daerah dapat terjaga. Penyempurnaan dilakukan dengan memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar daerah, dimana tingkat harga di setiap provinsi distandarkan terhadap tingkat harga di DKI Jakarta.
Cara tersebut memungkinkan diperkirakannya standar kebutuhan minimum di masing-masing daerah dari reference population yang terbanding, yang memiliki tingkat pengeluaran (pendapatan) riil yang sama di seluruh provinsi, sehingga standar yang diperoleh terbanding antar provinsi. Meskipun
demikian, standar yang digunakan tetap memperhitungkan perbedaan pola konsumsi antar daerah. Dengan kata lain, walaupun jenis barang dan jasa yang ditetapkan sebagai kebutuhan pokok bisa berbeda antar daerah, tetapi karena didasarkan pada pola konsumsi penduduk yang sama pengeluaran riilnya, maka standarnya cukup terbanding.
Standar baru tersebut telah diterapkan pada penghitungan kemiskinan tahun 1996, 1999, 2002, 2003, 2004 dan 2005. Dengan demikian untuk tahun 1996 tersedia dua angka yaitu angka yang dihitung menggunakan standar baru (1998) dan yang dihitung menggunakan standar 1996.
Secara ringkas tahapan penghitungan penduduk miskin dengan menggunakan standar baru yang disempurnakan adalah sebagai berikut:
Menghitung pengeluaran riil penduduk nasional (yang dipisahkan antara perkotaan dan perdesaan) dengan deflator harga yang dibayar kelompok penduduk marjinal, yaitu 20 persen penduduk yang berada sedikit diatas estimasi garis kemiskinan. Kelompok penduduk ini disebut sebagai kelompok penduduk referensi (reference population). Pada tahap ini pengeluaran penduduk antar provinsi distandarkan terhadap DKI Jakarta, dengan standarisasi ini faktor perbedaan harga antar provinsi telah tereleminir.
Dari langkah diatas diperoleh distribusi penduduk menurut pengeluaran riil-nya.
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi komoditi di setiap provinsi yang didasarkan pada pola konsumsi penduduk referensi di masing-masing provinsi. Dari komoditi terpilih tersebut akan diperoleh garis kemiskinan makanan dan non makanan.
Tahap terakhir adalah menghitung jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan dengan menggunakan metode Head Count Index.
c. Penyempurnaan Metode Penghitungan Kemiskinan
Standar baru yang digunakan sejak Desember 1998 merupakan perbaikan dari standar sebelumnya (1996). Perubahan standar ini meliputi perluasan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan dasar.
Dengan adanya perubahan standar, kemiskinan akan dapat terukur secara lebih realistis. Namun demikian, standar baru (1998) yang ditetapkan tahun 1999 tersebut belum secara cermat dapat mengukur keterbandingan antar daerah (provinsi serta perkotaan-perdesaan) dan antar waktu karena adanya perbedaan tingkat harga antar daerah. Keterbandingan antar daerah dapat diatasi dengan menghilangkan efek perbedaan pendapatan riil (pengeluaran riil). Dengan menghilangkan efek perbedaan pendapatan, maka perbedaan tingkat pengeluaran penduduk akan benar-benar disebabkan oleh perbedaan pola konsumsi (selera) penduduk dan harga, bukan oleh perbedaan pendapatan. Jadi standar kebutuhan minimum DKI Jakarta lebih tinggi dari NTB, misalnya, bukan karena DKI Jakarta memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi, tetapi karena pola konsumsi yang berbeda dan ketersediaan barang dan jasa yang berbeda. Dengan demikian, jelas bahwa standar ini masih tetap memperhitungkan perbedaan pola konsumsi antar daerah.
Dengan menyamakan pendapatan (pengeluaran) riil dari penduduk referensi antar waktu, berarti standar tersebut juga terbanding antar waktu, namun juga tetap dinamis karena tetap mengakomodir perubahan pola konsumsi antar waktu. Dengan perkataan lain, standar 1998 yang telah
disempurnakan telah relatif terbanding antar daerah dan antar waktu, serta tetap mengakomodir perbedaan antar daerah dan perubahan antar waktu.
Langkah-langkah mengukur standar yang terbanding:
Menentukan kelompok penduduk referensi, yaitu 20 persen penduduk yang berada diatas estimasi garis kemiskinan. Estimasi garis kemiskinan dihitung dari garis kemiskinan tahun sebelumnya yang digerakkan dengan tingkat inflasi selama periode 1 tahun terakhir.
Berdasarkan penduduk referensi tersebut, dipilih 52 komoditi dasar makanan untuk tingkat nasional. Selanjutnya dihitung rata-rata harga dari ke-52 komoditi di setiap provinsi. Rata-rata harga ini selanjutnya akan digunakan sebagai deflator dalam menghitung pengeluaran riil penduduk. Rata-rata harga dihitung secara tertimbang, dengan penimbang proporsi pengeluaran (budget share) masing-masing komoditi yang tercakup dalam paket nasional terhadap total pengeluaran ke-52 komoditi. Rata-rata harga dihitung terpisah untuk masing-masing daerah perkotaan dan perdesaan, dengan formula berikut:
ik j ijk
i P
P .
dimana:
Pij = Rata-rata harga di daerah i (perkotaan atau perdesaan) dan di provinsi j.
Pijk = Rata-rata harga di daerah i (perkotaan atau perdesaan), provinsi j, dan komoditi k.
ik = Proporsi pengeluaran komoditi k (bundel nasional) di daerah i, yaitu Vik /Vi.
(Vik=Pengeluaran komoditi k, Vi =Total pengeluaran dari 52 komoditi).
Setelah nilai Pij di setiap provinsi (daerah perkotaan dan perdesaan) diperoleh, selanjutnya dihitung nilai pengeluaran riil masing-masing rumahtangga. Namun sebelumnya Pij ini distandarkan terlebih dahulu terhadap DKI Jakarta, dengan menggunakan formula berikut:
Pis= Pij/ PDKI Jakarta
Pis= Deflator harga
Pengeluaran riil masing-masing rumah tangga dihitung berdasarkan formula berikut:
P
isE RE
RE = Pengeluaran Riil (dihitung untuk setiap rumahtangga) E = Pengeluaran Nominal.
Dari butir 3 diatas diperoleh distribusi pengeluaran riil penduduk di masing-masing provinsi di perkotaan dan di perdesaan.
Atas dasar distribusi pengeluaran riil tersebut, selanjutnya dihitung garis kemiskinan makanan dan non makanan. Meskipun pada penentuan pengeluaran riil dilakukan per provinsi, namun pada penghitungan garis kemiskinan hanya dilakukan untuk tingkat nasional (masing-masing perkotaan dan perdesaan). Penghitungan garis kemiskinan dilakukan mengidentifikasi paket komoditi yang menjadi komoditi dasar bagi penduduk referensi. Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah:
jk jk jkj
P Q V
GKM .
dimana:
GKMj= Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori).
Pjk= Harga komoditi k di daerah j.
Qjk= Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.
Vjk= Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
j = Daerah (perkotaan atau perdesaan).
Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 dengan harga implisit kalori dari penduduk referensi ini.
jK jK
j
K
HK V
dimana:
KjK = kalori dari komoditi K di daerah j
j
HK
= harga rata-rata kalori di daerah j2100 x
K H F
j
jdimana:
Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi 2100 kilokalori/kapita/hari.
Selanjutnya, kebutuhan dasar non makanan dihitung berdasarkan pada pola konsumsi penduduk referensi yang sama. Sementara Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah:
i ij
r V
GKNM .
dimana :
GKNMj= Garis Kemiskinan Non Makanan di daerah j
ri= Rasio pengeluaran barang non makanan terhadap sub kelompok pengeluaran menurut daerah pada penduduk referensi, rasio ri dihitung dari SPKKD yang telah disebutkan sebelumnya.
Vi= Nilai pengeluaran komoditi non makanan menurut daerah.
i = Jenis barang non makanan terpilih di masing- masing daerah.
d. Pemilihan Paket Komoditi Dalam Penghitungan Garis Kemiskinan
Seperti telah dijelaskan di atas, Garis Kemiskinan Makanan atau batas kecukupan makanan dihitung berdasarkan pada kebutuhan minimum makanan yang dikonsumsi untuk dapat hidup sehat, yaitu kebutuhan makanan yang akan menghasilkan energi 2100 kilokalori per kapita per hari. Pendekatan yang digunakan dalam menghitung nilai rupiah yang setara 2100 kilokalori adalah pendekatan kebutuhan dasar. Pendekatan ini telah digunakan sejak tahun 1993.
Dalam pendekatan kebutuhan dasar, pertama kali dipilih sejumlah paket komoditi kebutuhan dasar penduduk. Suatu komoditi akan menjadi bagian dari paket kebutuhan dasar apabila komoditi tersebut banyak dikonsumsi oleh
sekelompok penduduk yang berada sedikit diatas estimasi garis kemiskinan atau yang disebut kelompok penduduk referensi. Yang diperhitungkan sebagai kelompok penduduk referensi adalah kelompok 20 persen penduduk yang berada diatas estimasi awal garis kemiskinan dan didasarkan atas pengeluaran riil.
Paket komoditi dasar makanan yang dipakai untuk menentukan garis kemiskinan ditetapkan berdasarkan pada data Susenas Panel. Tujuan utama dari pemilihan komoditi makanan tersebut adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis makanan yang merupakan kebutuhan dasar kelompok penduduk marjinal, yang selanjutnya akan dijadikan sebagai standar kebutuhan minimum makanan. Pemilihan kebutuhan dasar didasarkan pada asumsi bahwa kelompok penduduk marjinal akan selalu mengutamakan kebutuhan dasar terlebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, kebutuhan dasar adalah komoditi yang dikonsumsi mayoritas penduduk marjinal. Selain pertimbangan tersebut, pemilihan komoditi dilakukan dengan juga mempertimbangkan beberapa hal lainnya. Seperti banyaknya komoditi dalam masing-masing kelompok jenis makanan yang dipertimbangkan. Jadi untuk kelompok jenis makanan yang terdiri dari banyak jenis makanan, maka jumlah komoditi yang dipilih untuk mewakili kelompok tersebut juga lebih banyak.
Dari pertimbangan kewajaran, jika jelas merupakan kebutuhan pokok, seperti beras dan garam maka komoditi tersebut tetap terpilih.
Ketentuan pemilihan tersebut tidak dibedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Yang membedakan antara perkotaan dan perdesaan adalah nilai pengeluarannya, yang dapat menggambarkan perbedaan kuantitas harga.
Jadi secara tidak langsung, perbedaan ini menggambarkan perbedaan kualitas barang yang umumnya dikonsumsi oleh penduduk perkotaan dan perdesaan.
Dengan cara tersebut maka terpilih antara 2-5 jenis komoditi di setiap
kelompok komoditi makanan, dan secara total terpilih sekitar 52 komoditi makanan yang dijadikan sebagai paket komoditi dasar. Jumlah komoditi dasar makanan terpilih pada tahun 2009 sama dengan paket pada penghitungan kemiskinan tahun-tahun sebelumnya.
Apabila kandungan kalori ke-52 komoditi dasar yang riil dikonsumsi penduduk pada kelompok penduduk referensi nilainya tidak mencapai 2100 kilokalori perkapita perhari, maka dilakukan mark-up, yaitu dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya diperkirakan batas kecukupan makanan dengan formula sebagai berikut :
521
52 2
1
...
i
i
V V V
V V
521
52 2
1
...
i
i
K K K
K K
K HK V
dimana :
i = Jenis komoditi yang masuk dalam paket komoditi dasar makanan (1, 2,…, 52)
V = Nilai pengeluaran dari ke-52 komoditi K = Jumlah kalori dari ke-52 komoditi
K
H = Harga rata-rata kalori ke 52 komoditi
Untuk memperoleh nilai pengeluaran minimum makanan yang menghasilkan energi 2100 kilokalori maka :
2100 ' HK x
V
F = V’
F = Pengeluaran minimum makanan (batas kecukupan makanan).
F adalah batas kecukupan makanan atau garis kemiskinan makanan berdasarkan data Susenas Panel modul konsumsi pada tingkat provinsi, yaitu yang menghasilkan 2100 kilokalori perkapita perhari.
Seperti halnya pada penentuan garis kemiskinan makanan, dalam menentukan garis kemiskinan non makanan juga digunakan pendekatan kebutuhan dasar, dimana dalam penghitungannya terlebih dahulu ditentukan jenis-jenis komoditi dasar non makanan. Penentuan paket komoditi dasar non makanan didasarkan pada hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang mencakup sekitar 1050 rumah tangga di seluruh Indonesia.
Mengingat pentingnya mengukur tingkat kemiskinan secara realistis, maka cakupan komoditi non makanan yang ada dalam paket dasar bukan makanan sebelumnya diperluas. Perluasan cakupan komoditi tersebut didasarkan atas hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD).
Dengan adanya Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar maka jenis komoditi yang masuk sebagai paket komoditi dasar menjadi 65 jenis di perkotaan dan 68 jenis di perdesaan atau jika diagregasikan menurut sub- kelompoknya adalah 39 sub-kelompok pengeluaran di perkotaan dan 35 sub- kelompok pengeluaran di perdesaan. Namun demikian, hasil SPPKD disesuaikan kembali dengan data Susenas Panel sehingga diperoleh masing- masing 36 jenis komoditi atau sub-kelompok pengeluaran baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Dari Susenas tidak dapat diketahui masing-masing pengeluaran ke-65 dan ke-68 jenis komoditi tersebut, yang diketahui hanyalah ke-39 dan ke-35
sub-kelompok pengeluarannya. Oleh karena ke-65 dan ke-68 jenis komoditi tersebut adalah merupakan bagian dari ke-39 dan ke-35 sub-kelompok, maka untuk menghitung nilai minimum non makanan harus diketahui rasio masing- masing sub-kelompok pengeluaran yang merupakan rasio pengeluaran jenis komoditi (65 dan 68 jenis) terhadap sub-kelompoknya. Rasio tersebut mengindikasikan persentase pengeluaran kebutuhan dasar terhadap sub- kelompoknya. Sebagai contoh, rasio pengeluaran barang kecantikan di perkotaan sebesar 0,7091 artinya bahwa sebanyak 70,91 persen dari pengeluaran sub-kelompok barang kecantikan di perkotaan merupakan kebutuhan dasar bagi kelompok referensi.
Rasio pengeluaran sub-kelompok diperoleh dari Survei Paket Komoditi kebutuhan dasar (SPKKD). Sementara nilai pengeluaran sub-kelompoknya dihitung dari Susenas Panel modul konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non- makanan atau batas kecukupan non makanan merupakan perkalian dari rasio pengeluaran sub-kelompok dengan rata-rata pengeluaran sub-kelompok yang sama pada Susenas Panel modul konsumsi. Nilai batas kecukupan non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:
dimana :
NFp= Pengeluaran minimum non makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p.
Vi= Nilai pengeluaran sub-kelompok non makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).
ri= Rasio pengeluaran barang non makanan terhadap sub kelompok pengeluaran menurut daerah (dari SPKKD).
i = Jenis barang non makanan terpilih di daerah p.
p = Daerah (perkotaan atau perdesaan).
3.2. UKURAN KEMISKINAN
Terkait dengan kriteria ukuran kemiskinan tersebut, terdapat dua indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi keempat kriteria itu yaitu indeks Sen dan indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Pada indeks Sen, pengukuran kemiskinan telah memasukkan faktor besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan distribusi pendapatan antara orang miskin.
Dengan asumsi faktor lainnya sama, bertambah tingginya rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, bertambah besar gap pendapatan orang miskin, maka kemiskinan pun kan bertambah besar. Sedangkan indeks FGT memiliki kelebihan lain daripada indeks Sen, indeks FGT memungkinkan untuk didekomposisi berdasarkan kelompok-kelompok pengeluaran tertentu.
Secara umum indeks kemiskinan dari Sen dapat ditulis sebagai berikut:
) ) 1
(
( I I G
H
S
Dimana :
S = Indeks Kemiskinan Sen H = Head Count Index
G = Koefisien Gini masyarakat miskin
I = Rata-rata defisit pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan
Foster-Greer-Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu:
qi
i
z y z P n
1
1
dimana:
= 0,1,2
Z = Garis kemiskinan
Yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi< z q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan n = Jumlah penduduk
Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase penduduk miskin. Jika =1 disebut Indeks kedalaman kemiskinan (P1) sedangkan jika=2 disebut Indeks keparahan kemiskinan (P2). Kedua indeks P1
dan P2akan dijelaskan pada uraian berikutnya.
a. Indeks Kedalaman Kemiskinan
Dengan memberikan nilai =1 pada rumus Foster-Greer-Thorbecke (FGT) akan diperoleh ukuran yang dinamakan Indeks Kedalaman Kemiskinan/Poverty Gaps Index (P1). Indeks ini merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. Dengan demikian indeks ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan diformulasikan sebagai berikut:
1
1 1
1
qi
i
z y z P n
Melalui indeks kedalaman kemiskinan juga akan dapat diperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Ukuran ini masih belum realistis karena belum mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat. Sungguhpun demikian, ukuran tersebut memberikan informasi yang berguna mengenai skala minimum dari sumber keuangan yang diperlukan untuk menangani masalah kemiskinan.
Sebagai ukuran pengentasan kemiskinan, indeks ini cukup memadai karena transfer dana kemiskinan dilakukan dengan target sasaran yang sempurna. Namun indeks ini masih memiliki kelemahan karena mengabaikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
b. Indeks Keparahan Kemiskinan
Untuk memecahkan masalah ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin digunakan ukuran Poverty Severity Index (P2). Indeks ini secara sederhana merupakan jumlah dari poverty gap tertimbang di mana penimbangnya sebanding dengan poverty gap itu sendiri. Dalam penghitungannya, indeks ini dapat diperoleh melalui rumus FGT dengan nilai
=2 yaitu:
2
1 2
1
qi
i
z y z P n
Dengan mengkuadratkan poverty gap, indeks ini secara implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jatuh di
bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Ukuran ini kurang mendapat perhatian dalam penerapannya, karena tidak mudah dalam menginterpretasikan dan dengan demikian ukuran ini tidak digunakan secara lebih luas (World Bank, 2002).
3.3. DISTRIBUSI DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat, karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif.
Oleh karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran.
Dalam hal ini analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumahtangga sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Susenas. Dalam analisis ini akan digunakan empat ukuran untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan yaitu koefisien Gini (Gini Ratio) dan Ukuran Bank Dunia.
a. Koefisien Gini
Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus Koefisien Gini adalah sebagai berikut:
ni
i i
i
Fc Fc
fp GR
1
*
11
dimana:
GR = Koefisien Gini (Gini Ratio);
fpi = frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i;
Fci = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i;
Fci-1 = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke (i-1).
Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, gambarlah grafik persentase kumulatif rumah tangga (dari termiskin hingga terkaya) pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada gambar 6. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna.
Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna. Koefisien Gini tidak sepenuhnya memuaskan.
Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:
Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.
Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kumulatif Pengeluaran (%)
Kumulatif Penduduk (%)
Gambar 3.1. Koefisien Gini Menurut Kurva Lorenz
A
B
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini juga memenuhi hal ini.
Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi kriteria ini.
Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat:
Dapat didekomposisi
Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain.
Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok. Yakni nilai total koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).
Dapat diuji secara statistik
Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang) kepercayaan umumnya dapat dibentuk.
b. Ukuran Bank Dunia
Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan: 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan
pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut:
Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai memiliki ketimpangan pendapatan tinggi;
Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai memiliki ketimpangan pendapatan sedang/menengah;
Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai memiliki ketimpangan pendapatan rendah.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS
4.1. DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya dapat mensejahterakan semua lapisan masyarakat apabila dalam kenyataannya hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Namun jika pada kenyataannya pertumbuhan yang tinggi juga disertai dengan kesenjangan yang tinggi maka sudah dapat dipastikan ada beberapa bagian dari masyarakat yang termajinalkan dari kemampuan ekonomi disekitarnya.
Mengutip pada karya Easterly dalam bukunya “The Quest of Elusive Growth” kita dapat menyimak bahwa sejatinya hubungan antara pertumbuhan dan ketimpangan masih merupakan teka-teki. Salah satu bagian yang dapat menjelaskan teka-teki ini adalah peran pemerintah sebagai institusi yang menaungi dan mengatur segala kegiatan ekonomi yang berada pada wilayahnya.
Ketika peran pemerintah hilang dan menyebabkan ekspansi ekonomi menjadi tidak terkendali maka yang terjadi adalah ketimpangan yang tidak bisa terhindarkan. Sebaliknya ketika peran pemerintah menjadi terlalu kuat yang terjadi justru kemandekan ekonomi dalam artian yang sesungguhnya. Periode ini juga dikenal sebagai hilangnya niat dan ide kreatif sebagai agen dari ekonomi.
Ketimpangan juga bisa terjadi meskipun ekspansi ekonomi terus berlangsung. Berkembangnya sektor padat modal dan berteknologi tinggi
ternyata tidak serta memberikan kesejahteraan bagi sebagian penduduk.
Beberapa kelas penduduk akan menempati posisi teratas kelas pendapatan karena merupakan penerima langsung dari pendapatan industri yang tinggi sementara yang lainnya justru masih tertahan di dasar piramida. Hal ini telah banyak terjadi dan sangat rawan terjadi ketika konteks pembicaraan mengacu pada wilayah-wilayah dengan tingkat densitas penduduk sangat tinggi.
Sementara itu sistem ekonomi dan pemerintahan yang kita gunakan sangat sensitif dan signifikan memberi arah pada kondisi global yang terjadi.
Dengan masuknya investasi yang disertai kebebasan atau otonomi dalam mengelola dirinya maka secara tidak langsung, sedikit banyak kita telah menerapkan sistem ekonomi kapitalis dalam mengelola ekonomi kita.
Akan tetapi sistem ekonomi pada dasarnya bukanlah masalah pokok.
Baumol dalam bukunya “Good Capitalism dan Bad Capitalism” menulis bahwa tidak semua bentuk kapitalisme adalah buruk dan mementingkan diri sendiri.
Ada bentuk yang sangat baik untuk menyerap potensi sumber daya manusia dan menyalurkannya menjadi pertumbuhan ekonomi. Aliran ini dikenal sebagai kapitalis enterpreneurship.
Kapitalis enterpreneurship tidak menghendaki modal yang besar serta percaya bahwa satu-satunya sumber daya yang tidak habis adalah kreativitas.
Dengan mampu mengembangkan enterpreneurship secara merata maka niscaya pertumbuhan ekonomi tidak akan sepenuhnya bersandar pada modal yang sangat besar. Kapitalisme ini berbeda dengan kapitalisme institusi maupun kapitalisme arahan negara yang memang dalam penerapannya tidak sempurna di semua belahan dunia serta justru membawa lebih banyak ketimpangan daripada pemerataan pendapatan.
Hingga saat ini memang sangat sulit mengembangkan enterpreneurship tanpa adanya subsidi silang dari pemerintah maupun perusahaan besar. Akan tetapi industri kreatif dapat berkembang dan menjadi salah satu supplier terbesar dari kebutuhan masyarakat jika apa yang mereka hasilkan dapat diketahui dan diterima oleh masyarakat.
Grafik IV.1
Koefisien Gini Propinsi Bali Tahun 1997 - 2014
Melihat ketimpangan yang terjadi selama kurun waktu tahun 1997 hingga 2014 maka kita akan dapat melihat lonjakan pada gini rasio terjadi pada masa-masa dimana goncangan ekonomi melanda Bali. Dimulai sejak 1998, krisis moneter membuat rasio gini yang dari sebelumnya 0,27 menjadi 0,31.
Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2005. Di tahun ini Gini Rasio melonjak menjadi 0,31 setelah sebelumnya sekitar 0,27.
0.29 0.31
0.27 0.25
0.29 0.30
0.26 0.27 0.33
0.30 0.28
0.31 0.31 0.37
0.41 0.43
0.40 0.42
Diantara kenaikan-kenaikan ini yang paling banyak menyita perhatian adalah kenaikan sesudah tahun 2010. Setelah 2010 tingkat ketimpangan meningkat menjadi jauh diatas sebelumnya. Gini telah beranjak naik dari sebelumnya yang hanya 0,31 menjadi 0,37. Kenaikan ini telah memberikan dampak yang cukup signifikan dalam paradigma ketimpangan ekonomi Penduduk di Bali.
Ketimpangan kita tidak lagi dianggap ketimpangan rendah namun mulai beranjak menapaki posisi sebagai yang menengah. DI tahun sesudahnya (2011) Koefisien Gini bahkan mencapai level di atas angka 0,4. Posisi yang tetap bertahan dalam fluktuasi hingga tahun 2014 dimana angka koefisien Gini mencapai 0,42. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya sekitar 0,40.
Tabel IV.1
Distribusi Pendapatan Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2014
Kabupaten/Kota / Regency/City
Distribusi Pendapatan / Income Distribution 40% Bawah 40% Sedang 20% Tinggi
40% Lower 40% Middle 20% Upper
(1) (2) (3) (4)
1. Jembrana 18.44 34.04 47.52
2. Tabanan 17.35 35.38 47.26
3. Badung 18.64 40.73 40.64
4. Gianyar 17.87 37.88 44.25
5. Klungkung 19.98 35.51 44.51
6. Bangli 20.94 37.27 41.80
7. Karangasem 20.67 35.95 43.38
8. Buleleng 17.66 35.17 47.17
9. Denpasar 16.13 40.47 43.39
B A L I 18.10 37.59 44.31
Berdasarkan Klasifikasi Ketimpangan Bank Dunia, maka di tahun 2014 tingkat ketimpangan pendapatan di Kabupaten/Kota yang paling tinggi di Bali terdapat di Kota Denpasar. Persentase ekonomi yang dinikmati kelompok terbawah hanya sekitar 16 persen. Heterogenitas telah membuat Denpasar mengalami kondisi hingga saat ini. Tingginya heterogenitas di suatu wilayah maka peluang terjadinya persaingan akan semakin tinggi. Setiap individu yang terlibat dalam persaingan akan beresiko menjadi seorang pemenang maupun seseorang yang kalah.
Tingginya persaingan membuat banyak orang tersisihkan tidak dapat lagi kembali ke daerah asal dan hanya menikmati tingkat pendapatan yang lebih kecil dari yang seharusnya mereka terima. Denpasar juga sangat strategis.
Permintaan bisa dengan sangat mudah dipenuhi di kota ini. Bagi seseorang yang memiliki kompetensi, wilayah heterogen adalah peluang yang sangat besar. Bagi para pemilik kapital, Denpasar adalah lokasi tempat break event point paling cepat terjadi. Tingginya demand adalah potensi terbesar. Bagi para pemain kecil, potensi ekonomi yang digarap sangat kecil dan relatif stagnan.
Dilihat dari koefisien Gini, ketimpangan tertinggi terjadi di Kabupaten Gianyar dimana yang angka koefisien Gininya mencapai 0,40. Kabupaten Buleleng sedikit di bawahnya bersama dengan Jembrana yang tingkat ketimpangannya mencapai 0,39. DI ketiga wilayah ini perekonomian juga terlihat sangat tidak seimbang. Hampir 50 persen ekonomi dikuasai kelompok 20 persen terkaya.
Ada beberapa alasan mengapa ketiga wilayah ini mengalami transformasi ketimpangan hingga seperti saat ini. Jembrana adalah wilayah yang mulai berkembang. Pusat transportasi laut, serambi masuk Propinsi Bali untuk Propinsi sebelah baratnya. Jembrana sangat lemah dalam mengatasi
arus masuk, para migran yang kebanyakan berasal dari Jawa. Pertumbuhan penduduk ini di saat yang sama akan meningkatkan permintaan di wilayah tersebut. Oleh karenanya harga aset maupun properti di Jembrana akan mengalami kenaikan dalam persentase yang cukup besar. Ketika pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari nilai sebuah aset tidak bergerak maka lambat laun ketimpangan akan semakin tinggi.
Tabel IV.2
Gini Rasio Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2013 dan 2014
Kabupaten/Kota / Regency/City
Rasio Gini
2014 2013
(1) (5) (6)
1. Jembrana 0.39 0.37
2. Tabanan 0.40 0.39
3. Badung 0.34 0.35
4. Gianyar 0.38 0.33
5. Klungkung 0.35 0.36
6. Bangli 0.33 0.31
7. Karangasem 0.34 0.33
8. Buleleng 0.39 0.38
9. Denpasar 0.38 0.36
B A L I 0.415 0.403
Buleleng adalah macan tidur ekonomi Bali. Dengan bantuan daya tarik pusat-pusat pendidikannya, Buleleng tidak lagi menjadi bagian yang tersisihkan di wilayah utara Pulau Bali. Kenaikan permintaan yang tinggi untuk perumahan, membuat harga properti juga mengalami kenaikan. Kenaikan ini di sisi lain memicu semakin besarnya ketimpangan. Hingga saat ini Buleleng masih kesulitan dalam desentralisasi dan pembangkitan potensi wilayah, mengingat wilayah yang dimiliki sangat luas.
Tabanan adalah kasus yang berbeda. Bersentuhan langsung dengan Denpasar, sehingga merasaakan dampak langsung perkembangan pusat ekonomi. Namun, tidak seperti Gianyar, Tabanan sangat luas dan tentu saja berada pada jalur terpenting dari Jawa ke pusat Bali. Tabanan juga dekat dengan Badung sebagai sentral pariwisata. Sama dengan Badung, Tabanan juga memiliki kawasan Tanah Lot yang sedang merubah wajahnya dengan besarnya investasi yang diarahkan disana. Tabanan lebih dinamis namun di sisi lain lebih tidak merata dibandingkan wilayah lain yang berbatasan langsung dengan ibu kota propinsi.
DI antara beberapa kabupaten di Bali hanya Badung dan Klungkung yang mengalami penurunan dari rasio Gini yang mereka miliki. Sementara itu kabupaten lain menunjukkan peningkatan dalam rasio gini yang dimiliki.
Peningkatan terbesar yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun ini terjadi di Kabupaten Gianyar yang tingkat ketimpangannya meningkat dari 0,33 di tahun 2013 menjadi 0,38 di tahun 2014. Kenaikan Gini Rasio di Gianyar sangat unik mengingat pada periode yang sama Indeks Kemahalan Konstruksi Gianyar juga mengalami kenaikan yang paling besar dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Selain itu untuk tahun 2014 IKK untuk Tabanan dan Buleleng juga tercatat yang paling tinggi.
Indikator ketimpangan menunjukkan tendensi negatif serius ketika berada di wilayah dengan tingkat investasi tinggi. Hal ini cukup mudah dipahami. DI wilayah seperti ini tingkat migrasi yang terjadi sangat tinggi.
Sumber daya yang datang tidak sepenuhnya orang berpendidikan, namun terdiri juga dari pekerja kasar yang didatangkan untuk proyek konstruksi.
Migran dengan potensi menetap ini cenderung kelompok ekonomi rendah yang jumlahnya relatif semakin besar dari waktu ke waktu. Wilayah potensial juga adalah magnet bagi investor dari tempat lain yang kemudian juga
menanamkan modalnya di tempat yang baru. Fenomena ini lambat laun akan menjadi penyebab meningkatnya ketimpangan. Distribusi pendapatan yang tidak merata adalah salah satu penyebab dari peningkatan ketimpangan tersebut.
4.2. INDIKATOR KEMISKINAN BALI
Sejalan dengan masalah ketimpangan ekonomi sebagai persoalan umum maka kemiskinan adalah masalah selektif seperti halnya pengangguran. Di atas batas tertentu kemiskinan adalah penghantar distribusi ekonomi pada ketidakseimbangan. Oleh karenanya kemiskinan haruslah dikondisikan dalam batas-batas yang wajar. Akan tetapi hal ini seperti tidak berlaku jika menilik pada korelasi antar dua variabel yaitu kemiskinan dan rasio gini yang terjadi di Propinsi Bali dari kurun waktu 2000 hingga 2014.
Grafik IV.2
Scatter Plot Koefisien Gini dan Jumlah Penduduk Miskin Propinsi Bali Tahun 1997 - 2014