• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK DALAM RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH SUARA HIDAYATULLAH. Oleh: Iit Septyaningsih NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK DALAM RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH SUARA HIDAYATULLAH. Oleh: Iit Septyaningsih NIM:"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK DALAM RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH SUARA HIDAYATULLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I.). Oleh:. Iit Septyaningsih NIM: 109051100012. KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2013 M.

(2)

(3)

(4)

(5) ABSTRAK Iit Septyaningsih Implementasi Kode Etik Jurnalistik dalam Rubrik Laporan Utama Majalah Suara Hidayatullah. Kebebasan pers di Indonesia mengalami peningkatan setelah runtuhnya masa Orde Baru, hal itu ditandai dengan banyaknya media massa baik cetak atau pun elektronik yang mulai bermunculan, dan berlomba untuk menyajikan informasi kepada masyarakat sesuai pembingkaiannya masing-masing. Untuk mengatur kebebasan pers agar tidak berdampak negatif, disusunlah Kode Etik Jurnalistik yang disahkan oleh Dewan Pers pada 2006. Jadi semua media massa di Indonesia, harus menjadikan kode etik tersebut sebagai salah satu pedoman dalam melakukan kegiatan jurnalistik, tidak terkecuali majalah Suara Hidayatullah, sebagai media massa Islam yang memiliki kekhasan pemikiran Islam dibandingkan media umum. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka muncul pernyataan pada penelitian, yaitu: Bagaimana Kode Etik Jurnalistik diimplementasikan pada berita dalam rubrik Laporan Utama majalah Suara Hidayatullah? Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 1? Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 2? Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 3? Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 4? Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 8? Dan Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 9? Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan pendekatan kualitatif, dan paradigma konstruktivis yang melihat pemberitaan sebagai aktivitas konstruksi sosial. Teknik analisis data deskriptif yang digunakan yaitu model Miles dan Huberman, dengan analisis framing model Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki untuk menganalisis bagaimana Kode Etik Jurnalistik diimplementasikan dalam teks berita, dilihat dari empat struktur, yakni sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Secara keseluruhan Suara Hidayatullah telah mengimplementasikan elemen-elemen Kode Etik Jurnalistik dalam penyajian teks berita di rubrik Laporan Utama. Namun masih terdapat beberapa pelanggaran yang tidak sesuai dengan kode etik, seperti tidak berimbang, tidak independen, tidak menerapkan asa praduga tidak bersalah, dan tidak mencantumkan sumber serta waktu pengambilan foto. Jadi majalah Suara Hidayatullah belum sepenuhnya mengimplementasikan Kode Etik Jurnalistik yang telah disahkan oleh Dewan Pers. Kendati demikian Suara Hidayatullah tetap menjadikan kode etik ini sebagai salah satu pedoman dalam kerja jurnalistik, tetapi seperti kebanyakan media lainnya, Suara Hidayatullah juga memiliki kode etik sendiri yang berlaku di media tersebut.. i.

(6) KATA PENGANTAR. Puji syukur atas rahmat dan karunia Illahi Rabbi, Tuhan Pemilik Alam. Penguasa. segala. isi. hati. dan. kekayaan. dunia. dan. akhirat.. Alhamdulillahirabbil’alamin, terima kasih ya Allah untuk segala limpahan ilmu yang kau berikan kepada hamba-Mu yang fana ini. Terima kasih untuk segala nikmat, kesempatan, dan cinta yang kau berikan secara tulus. Rasulullah SAW. Kekasih Allah, suri tauladan nyata dalam hidupku. Terima kasih untuk semangat dan pembelajaran akan makna kerja keras, kesabaran dan ketulusan. You’re my idol ever after. Limpahan terima kasih atas selesainya skripsi ini tak akan pernah lupa penulis persembahkan kepada: 1) Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief Subhan MA, Dr. Suparto, M. Ed, MA, sebagai Wakil Dekan I, Drs. Jumroni, sebagai Wakil Dekan II, Drs. Wahidin Saputra M.A, sebagai Wakil Dekan III. 2) Ketua. Konsentrasi. Jurnalistik,. Rubiyanah,. MA,. serta. sekretaris. Konsentrasi Jurnalistik, Ade Rina Farida, M.Si. Terima kasih telah banyak membantu dan mendukung penulis. 3) Dr. Suhaimi, M.Si, sebagai pembimbing skripsi ini. Terimakasih untuk ilmu, kesempatan, bahkan waktu dan segalanya yang diberikan untuk menjadikan skripsi ini menjadi sesuatu yang bernilai, dan bermanfaat.. ii.

(7) 4) Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan mengajarkan banyak ilmu dengan penuh keikhlasan. 5) Ibunda Mustofa dan Ayahanda Mujiono, kalian adalah orangtua hebat yang selalu mengajarkan aku segalanya. Terima kasih atas doa-doa yang selalu dipanjatkan. Terima kasih atas motivasi yang selalu diberikan. Terima kasih pula untuk selalu percaya pada mimpi-mimpi besarku. 6) Keluarga besarku. Adik satu-satunya Vivin Anggraini, sepupu, paman, bibi, pakde, bude, mbah, dan semua keluarga yang selalu mendukung langkahku, dan menjadikanku kebanggan kalian. 7) Pemimpin Redaksi Kelompok Media Hidayatullah, Mahladi, Sekretaris Redaksi majalah Suara Hidayatullah, Khadirin, dan seluruh tim redaksi majalah Suara Hidayatullah. Terimakasih telah memberikan kemudahan dalam penelitian skripsi ini. 8) Keluarga besar SMP Negeri 1 Ciputat, dan SMA Negeri 3 Ciputat. Terimakasih untuk selalu mengajarkan keoptimisan. 9) Semua teman di kelas Jurnalistik A 2009, Amel, Makini, Niken, Indah, Ana, Dhani, Vina, Siti, Reza, Roni, Zaki, dan lainnya. Dengan kalian aku mengukir cerita, menjadikannya sebuah memori indah yang tidak terlupa. 10) Keluarga besar LPM UIN Jakarta, Kopma UIN Jakarta, dan FLP Ciputat. Terimakasih untuk saling berbagi ilmu, berdiskusi, dan bersilahturahmi.. iii.

(8) 11) Teman-teman seperjuangan dalam organisasi Lisma UIN Jakarta, Fitri, Sarah, Maulida, Wiwi, Wini, Wita, dan lainnya. Terimakasih telah bersabar menghadapi kelabilanku. 12) Keluarga Besar KKN Cibitung Kulon. Yuyun, Diah, Fargas, Alya, Mieke Wiku, Wildan, Kang Asep, dan lainnya. Terimakasih untuk waktu singkat yang sangat bermakna. 13) Tim redaksi majalah Swara Cinta, khususnya Widodo, dan Uyang. Terimakasih untuk dukungan, bimbingan, serta kerjasamanya 14) All of RDK 107,9 Fm’s crew, Arif, Aziz, Iqy, Eko, Irni, Fauziah, Hira, Andari, Dwita, Reza, Hafid, dan lainnya. Terima kasih pula untuk para alumni RDK yang sudah sukses berkarya diluar, specially for Andri, Ditya, Zaldy, Wiwit, Bela, Rani, Dian, Lukman, dan lainnya. Kalian adalah keluarga yang tidak akan pernah terganti sampai kapan pun. 15) Sahabat-sahabatku, penggagas Babo Talk Indonesia. Ade, Mumpuni, Dora dan Sandika. Terima kasih untuk semuanya, suka citanya, tangisnya, dan segala rasa yang selalu ada disetiap waktunya. Kalian sahabat terbaik. 16) Seluruh teman-teman yang tidak pernah berhenti mendukungku. Anum, Desti, Dila, Iin, Tiwi, Melly, Sara, Uni, Nisa, Miska, Usi, Nila, Euis, Cempaka, dan lainnya. Jakarta, 12 Oktober 2013. Peneliti. iv.

(9) DAFTAR ISI. ABSTRAK..................................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................. v DAFTAR TABEL ......................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. ix BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 6 D. Metodologi Penelitian ........................................................................ 8 E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 13 F. Sistematika Penulisan......................................................................... 14. BAB II. TINJAUAN TEORITIS A. Fungsi Media Massa .......................................................................... 16 B. Konsep Etis ........................................................................................ 18 1. Pengertian Kode Etik.................................................................... 21 C. Kode Etik Jurnalistik .......................................................................... 24 1. Pengertian Kode Etik Jurnalistik................................................... 24 2. Sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia.................................... 28 3. Posisi Kode Etik Jurnalistik bagi Wartawan ................................. 35 4. Kode Etik Jurnalistik 2006 ........................................................... 38 5. Definisi Konseptual ...................................................................... 40 D. Peran Lembaga Suprastruktur dan Infrastruktur terhadap Kode Etik Jurnalistik ................................................................................... 43 1. Peran Pemerintah dan Dewan Pers ............................................... 43 2. Peran Media Massa ...................................................................... 48 E. Framing ............................................................................................. 49 1. Konstruksi Realitas Sosial Media Peter L. Berger ......................... 49 2. Pengertian Framing ...................................................................... 54 3. Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ............................. 56. BAB III. PROFIL MAJALAH SUARA HIDAYATULLAH A. Sejarah dan Perkembangan................................................................. 63 B. Majalah Suara Hidayatullah sebagai Media Islam .............................. 65 C. Kelompok Media Hidayatullah........................................................... 67 D. Visi dan Misi ..................................................................................... 68 E. Profil Pembaca dan Distribusi Majalah ............................................... 68 F. Susunan Redaksi Majalah Suara Hidayatullah .................................... 69. BAB IV. ANALISIS DATA. v.

(10) A. Implementasi Kode Etik Jurnalistik pada Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam Rubrik Laporan Utama .................................................................................. 71 B. Interpretasi Penelitian......................................................................... 137 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................ 146 B. Saran ................................................................................................. 147. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 149 LAMPIRAN. vi.

(11) DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6.. Tabel 1 Konsep Framing Pan dan Kosicki ........................................................... 62 Tabel 2 Frame Suara Hidayatullah: Mahalnya Harga Sebuah Pernikahan ............ 83 Tabel 3 Frame Suara Hidayatullah: Boleh Terima Imbalan, Asal… ..................... 92 Tabel 4 Frame Suara Hidayatullah: Usaha Negara Mengintai Dana Teroris ......... 102 Tabel 5 Frame Suara Hidayatullah: Jangan Lagi Menyudutkan Islam .................. 116 Tabel 6 Frame Suara Hidayatullah: Kala Orang Kantoran Belajar Bahasa Arab ....................................................................................................... 127 7. Tabel 7 Frame Suara Hidayatullah: Mencari Metode yang Efektif ....................... 135 8. Tabel 8 Implementasi Kode Etik Jurnalistik dalam Rubrik Laporan Utama Majalah Suara Hidayatullah ......................................................... 136. vii.

(12) DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 1 Contoh cover majalah Suara Hidayatullah ........................................... 67 2. Gambar 2 Distribusi majalah Suara Hidayatullah ................................................. 68. viii.

(13) DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.. Lampiran 1: Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 2: Surat Izin Penelitian (Skripsi) Lampiran 3: Surat Keterangan Penelitian dari Tempat Penelitian Lampiran 4: Teks Berita 1 (Rubrik Laporan Utama, edisi 11/XXV/Maret 2013/Rabiul Akhir 1434) 5. Lampiran 5: Teks Berita 2 (Rubrik Laporan Utama, edisi 11/XXV/Maret 2013/Rabiul Akhir 1434) 6. Lampiran 6: Teks Berita 1 (Rubrik Laporan Utama, edisi 12/XXV/April 2013/Jumadil Awal 1434) 7. Lampiran 7: Teks Berita 2 (Rubrik Laporan Utama, edisi 12/XXV/April 2013/Jumadil Awal 1434) 8. Lampiran 8: Teks Berita 1 (Rubrik Laporan Utama, edisi 1/XXVI/Mei 2013/Jumadil Akhir 1434) 9. Lampiran 9: Teks Berita 2 (Rubrik Laporan Utama, edisi 1/XXVI/Mei 2013/Jumadil Akhir 1434) 10. Lampiran 10: Transkrip Wawancara dengan Pemimpin Redaksi Kelompok Media Hidayatullah 11. Lampiran 11: Kode Etik Jurnalistik 2006. ix.

(14) 1. BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pasca tumbangnya masa Orde Baru pada 1998, industri media massa terus bermunculan. seperti. jamur. di. musim. hujan.. Kebebasan. pers. mulai. dikampanyekan, dan tidak bisa dibendung lagi. Dengan kata lain wartawan mulai dapat bebas memberikan informasi kepada masyarakat, sekali pun informasi tersebut mengungkapkan sisi negatif pemerintah. Tak hanya media cetak, media elektronik pun turut hadir memberikan pilihan informasi bagi khalayak, bahkan kini terkenal pula media on-line. Hal ini sangat memudahkan bagi masyarakat untuk memeroleh berita secara cepat, dan sesuai kebutuhannya masing-masing. Demi menata kebebasan pers di Indonesia agar tidak melewati batas, beberapa organisasi menciptakan ‘kode etik’ sebagai pedoman media massa dalam menyiarkan berita atau informasi. Ketika Indonesia memasuki Era Reformasi (setelah berakhirnya Orde Baru), PWI adalah satu-satunya organisasi wartawan yang berdiri. Namun setelah itu bermunculan beberapa organisasi wartawan lain, seperti Serikat Pewarta, AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), dan lainnya. Hal itu menunjukkan, perlunya ada persamaan kode etik bagi seluruh wartawan di Indonesia terlepas dari latar belakang organisasinya. Oleh sebab itu, pada 6 Agustus 1999, 24 dari 26 organisasi wartawan menandatangani Kode Etik.

(15) 2. Wartawan Indonesia (KEWI) di Bandung. 1 KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan dewan pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 juni 2000. Penerapan kode etik itu juga menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak – hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral, atau pedoman etika profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.2 Kini KEWI telah disempurnakan menjadi Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI), yang disetujui oleh 29 organisasi wartawan dan juga Dewan Pers, pada 14 Maret 2006. Kode etik itulah yang menjadi pedoman wartawan di Indonesia hingga sekarang. 3 Dengan kata lain, seluruh wartawan Indonesia, dari media apa pun, harus menaatinya. Hanya saja, memang tidak dijelaskan secara detail, media-media seperti apakah yang harus menaati KEJI tersebut. Hal ini perlu dibahas, sebab bila dilihat dari perkembangan Islam yang cukup pesat di Indonesia, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pers di Indonesia pun turut dipengaruhi oleh ajaran Islam, dan juga mengambil peran dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Hal ini terbukti dari lahirnya beberapa media massa Islam pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, seperti Benih Merdeka yang terbit pada 1916, serta dipimpin oleh 1. Fuadmje, Kode Etik Jurnalistik, http://fuadmje.wordpress.com/2011/11/06/kode-etikjurnalistik/ Diakses pada 8 April 2013 pukul 00.50 WIB. 2 Fuadmje, Kode Etik Jurnalistik, http://fuadmje.wordpress.com/2011/11/06/kode-etikjurnalistik/ Diakses pada 8 April 2013 pukul 00.50 WIB. 3 Sirikit Syah, Rambu-rambu Jurnalistik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 1..

(16) 3. Ketua Serikat Islam (SI) cabang Medan. Benih Merdeka merupakan koran surat kabar harian pertama yang menggunakan kata “Merdeka” sebagai namanya. Ada pula surat kabar Islam Bergerak yang dipimpin oleh Maraja Sayuthy tokoh SI cabang Samarinda. Selanjutnya terdapat majalah Pandji Islam, yang terbit di Medan pada 1934, dipimpin oleh Zainal Abidin Ahmad, majalah ini ikut menyebarluaskan informasi tentang pergerakan perjuangan kemerdekaan. 4 Selain yang telah disebutkan sebelumnya, masih banyak media massa Islam lainnya yang hadir sejak awal abad 20. Media massa Islam memiliki karakter yang lebih khas dibandingkan dengan media lainnya. Ideologi yang dibawa pun sangat kuat dan jelas terlihat. Hal itu dikarenakan, media massa Islam kerapkali diciptakan memang untuk membawa misi-misi dakwah tertentu. Jadi tidak sekedar memberikan informasi tetapi juga bersifat lebih naratif atau mengajak khalayak untuk melakukan sebuah tindakan. Oleh sebab itu muncul pertanyaan, apakah media massa Islam juga harus mengikuti KEJ? Bila kembali pada prinsip media massa sebagai pemberi informasi bagi masyarakat, ditambah lagi aktivitas jurnalisme yang dilakukan dalam media tersebut, maka tentu saja KEJ juga berlaku terhadap media massa Islam. Saat ini, majalah Suara Hidayatullah merupakan salah satu majalah Islam terlama sejak 1990 yang masih bertahan di Indonesia, dan namanya pun cukup akrab di telinga masyarakat. Mengapa dikatakan demikian? Sebab seringkali media massa Islam tidak memiliki waktu panjang untuk bertahan, serta kurang 4. Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1987), h. 69-70..

(17) 4. mampu bersaing dengan media massa lainnya. Ditambah lagi, tidak banyak masyarakat luas yang mengenal, serta menjadikan media massa Islam sebagai sumber informasi utama. Hal ini memang merupakan fenomena dalam perkembangan media massa Islam. Kendati demikian, media massa Islam tetaplah media alternatif yang dibutuhkan masyarakat. Jadi, terlepas dari ideologi apapun yang diembannya, media tetap sumber berita bagi khalayak. Oleh karena itu, bila media tersebut hidup di Indonesia, maka secara otomatis harus mengikuti peraturan di Indonesia, salah satunya terkait dengan KEJ yang ada di Indonesia. Melihat hal tersebut, penulis tertarik meneliti keterkaitan antara Kode Etik Jurnalistik dengan media massa berbasis Islam, dalam bentuk skripsi berjudul “IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALISTIK DALAM RUBRIK LAPORAN UTAMA MAJALAH SUARA HIDAYATULLAH”.. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Demi mempermudah, dan mempertajam penelitian ini, maka penulis membatasi kajian masalah, pada isi Kode Etik Jurnalistik Indonesia yang telah disempurnakan pada 2006, serta implementasinya dalam majalah Suara Hidayatullah. Agar lebih fokus, penulis juga membatasi hanya menganalisis enam pasal dari 11 pasal dalam Kode Etik jurnalistik, yaitu pasal 1, 2, 3, 4, 8, dan 9. Hal ini dikarenakan enam pasal tersebut dapat dianalisis secara langsung dalam teks berita..

(18) 5. Selain itu untuk lebih fokus, objek yang diteliti hanya pada berita di rubrik ‘Laporan Utama’ dalam majalah Suara Hidayatullah, edisi bulan Maret-Mei 2013. Setiap Laporan Utama terdapat 3-4 judul berita, namun dibatasi juga hanya dua judul berita yang diteliti dalam setiap edisi. Penulis sengaja mengambil beberapa judul berita di rubrik Laporan Utama dengan tema berbeda, agar dapat melihat sudut pandang majalah Suara Hidayatullah dalam berbagai fakta atau peristiwa. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana Kode Etik Jurnalistik diimplementasikan pada teks berita dalam rubrik Laporan Utama majalah Suara Hidayatullah? a) Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 1 yang mengharuskan berita dibuat secara independen, akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk? b) Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 2 yang mengharuskan berita dibuat dengan menghormati hak privasi, faktual, mencantumkan keterangan foto/gambar yang dimuat, dan tidak melakukan plagiat? c) Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 3 yang mengharuskan wartawan atau penulis berita melakukan check and recheck, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak?.

(19) 6. d) Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 4 yang melarang pembuatan berita bohong, fitnah, sadis, cabul, serta mengharuskan pencantuman waktu pengambilan gambar/foto yang dimuat? e) Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 8 yang melarang berita ditulis berdasarkan prasangka dan diskriminasi atas dasar perbedaan suku, ras, agama, warna kulit, jenis kelamin, dan bahasa, serta larangan merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, juga cacat? f) Apakah Suara Hidayatullah sudah mengimplementasikan pasal 9 yang mengharuskan berita dibuat dengan menghormati hak narasumber untuk tidak menulis berita tentang keluarganya, dan tidak menulis kehidupan pribadi narasumber kecuali demi kepentingan publik?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Untuk mengetahui bagaimana Kode Etik Jurnalistik diimplementasikan pada teks berita dalam rubrik Laporan Utama majalah Suara Hidayatullah. a) Untuk. mengetahui. apakah. Suara. Hidayatullah. sudah. mengimplementasikan pasal 1 yang mengharuskan berita dibuat secara independen, akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk..

(20) 7. b) Untuk. mengetahui. apakah. Suara. Hidayatullah. sudah. mengimplementasikan pasal 2 yang mengharuskan berita dibuat dengan menghormati hak privasi, faktual, mencantumkan keterangan foto/gambar yang dimuat, dan tidak melakukan plagiat. c) Untuk. mengetahui. apakah. Suara. Hidayatullah. sudah. mengimplementasikan pasal 3 yang mengharuskan wartawan atau penulis berita melakukan check and recheck, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. d) Untuk. mengetahui. Apakah. Suara. Hidayatullah. sudah. mengimplementasikan pasal 4 yang melarang pembuatan berita bohong, fitnah, sadis, cabul, serta mengharuskan pencantuman waktu pengambilan gambar/foto yang dimuat. e) Untuk. mengetahui. mengimplementasikan. apakah pasal. 8. Suara yang. Hidayatullah melarang. berita. sudah ditulis. berdasarkan prasangka dan diskriminasi atas dasar perbedaan suku, ras, agama, warna kulit, jenis kelamin, dan bahasa, serta larangan merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, juga cacat. f) Untuk. mengetahui. apakah. Suara. Hidayatullah. sudah. mengimplementasikan pasal 9 yang mengharuskan berita dibuat dengan menghormati hak narasumber untuk tidak menulis berita tentang keluarganya, dan tidak menulis kehidupan pribadi narasumber kecuali demi kepentingan publik..

(21) 8. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan positif bagi pengembangan keilmuan, khususnya di bidang ilmu komunikasi dan jurnalistik. Tak hanya itu, penulis juga berharap penelitian ini dapat menjadi salah satu ragam penelitian yang mengaitkan Kode Etik Jurnalistik dengan implementasi secara nyata dalam media Islam. Diharapkan pula riset ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi, data, serta referensi bagi Mahasiswa di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, khususnya jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), konsentrasi Jurnalistik. b. Manfaat Praktis Semoga penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai Kode Etik Jurnaslistik, serta implementasinya. Hal ini dinggap perlu, sebab masih jarang penelitian yang membahas tentang hal tersebut. Selain itu, semoga dapat memberikan inspirasi dan pengetahuan pula kepada peminat kajian di bidang ini, terutama bagi mereka yang ingin mencoba memahami hubungan antara jurnalisme, keislaman, dan kode etik.. D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitan Dalam penelitian tentang implementasi Kode Etik Jurnalistik dalam teks berita ini, penulis menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma ini memiliki posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang.

(22) 9. dihasilkan. Rancangan konstruktivis melihat pemberitaan media sebagai aktivitas konstruksi sosial. 5 Paradigma konstruktivis bersifat subjektif. Dalam hal ini peneliti melakukan penafsiran terhadap pemberitaan yang dikonstruksi oleh Majalah Suara Hidayatullah berdasarkan data-data yang didapat di lapangan, kemudian dianalisis dengan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku. Paradigma konstruktivis melihat dan menemukan realitas yang sesungguhnya di media yang dikonstruksikan oleh wartawan atau perusahaan media itu sendiri. 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang atau perilaku yang dapat teramati. 6 Penelitian kualitatif merupakan suatu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan. dengan. orang-orang. tersebut. dalam. bahasa,. serta. peristilahannya. 3. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Selain itu penelitian deskriptif. 5. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cetakan ke 3, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 204 6 Eduardus Dosi, Media Massa Dalam Jaring Kekuasaan (NTT: Ledalero, 2012), h. 95..

(23) 10. hanya memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak pula menguji hipotesis atau membuat prediksi. 7 Dalam penelitian ini pembahasan disajikan dalam bentuk uraian kata-kata (deskripsi),oleh sebab itu termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif. 4. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian dalam hal ini adalah redaksi majalah Suara Hidayatullah, karena merupakan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Kemudian objek penelitiannya adalah rubrik Laporan Utama majalah Suara Hidayatullah edisi Maret-Mei. Dapat dikatakan, fokus penelitian adalah penggunaan Kode Etik Jurnalistik dalam penulisan berita pada rubrik Laporan Utama majalah tersebut. 5. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Maret 2013 – Oktober 2013. Penelitian ini dilakukan di Majalah Suara Hidayatullah Jl. Cipinang Cempedak I/14, Polonia, Jakarta Timur 13340. Telp. 021-85902045, 98123016 Faks. 85902045, email: redaksi@hidayatullah.com. 6. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan melakukan komunikasi tatap muka (face to face) antara peneliti dan sumber penelitian. Wawancara dapat didefiniskan pula sebagai interaksi bahasa yang berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan untuk meminta informasi 7. Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2005), h. 22-24..

(24) 11. atau. ungkapan kepada. orang. yang. diteliti. seputar. pendapat,. dan. keyakinannya. 8 Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan Mahladi, Pemimpin Redaksi Kelompok Media Hidayatullah. Tahapannya adalah peneliti mempersiapkan beberapa pertanyaan tentang bagaimana pembingkaian berita yang dilakukan redaksi Suara Hidayatullah pada rubrik Laporan Utama, dan bagaimana mereka mengimplementasikan Kode Etik Jurnalistik dalam rubrik tersebut. Kemudian penulis datang ke kantor redaksi majalah Suara Hidayatullah, dan seluruh pertanyaan dijawab dengan bebas serta terbuka secara tatap muka langsung, sesuai dengan kebutuhan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sesuai dengan penelitian. b. Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data melalui telaah dan mengkaji buku-buku. Majalah-majalah, website dan literatur-literatur lain yang ada relevansinya dengan materi penelitian untuk selanjutnya dijadikan bahan argumentasi. 9 7. Teknik Analisis Data Peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif model Miles dan Huberman untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Terdapat tiga tahap yang dilakukan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. a) Tahap reduksi data. 8. Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 50. 9 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 75..

(25) 12. Reduksi. data merujuk pada proses pemilihan, pemokusan,. penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian “data mentah” yang terjadi dalam catatan-catatan lapangan tertulis. 10 Jadi peneliti merangkum dan memilih data-data penting yang telah dikumpulkan oleh peneliti melalui wawancara, dan studi dokumentasi. b) Tahap penyajian data (data display) Setelah data direduksi, kemudian data disajikan dalam bentuk uraian atau penjelasan (teks naratif). Selain itu, data juga dapat ditampilkan melalui tabel atau grafik. Dengan adanya data display, maka data yang diperoleh akan lebih mudah untuk dipahami. 11 c) Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi Dari. permulaan. pengumpulan. data,. peneliti. kualitatif. mulai. memutuskan apakah “makna” sesuatu, mencatat keteraturan, polapola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur kausal, dan proposisiproposisi. 12 Jadi kesimpulan diambil dengan melihat data-data yang mendukung dari kesimpulan awal, kemudian ditarik kesimpulan baru yang didasari oleh data-data yang diperoleh, berupa pemaparan temuan dan interpretasi peneliti.. 10. Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 129. 11 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 131-132. 12 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 133..

(26) 13. Komponen-komponen analisis data tersebut secara keseluruhan saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data, sehingga model dari Miles dan Huberman ini disebut juga sebagai model interaktif. 13. E. Tinjauan Pustaka Penulis telah melakukan tinjauan pustaka atau penelusuran penelitianpenelitian terdahulu di beberapa perpustakaan seperti perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, perpustakaan umum UIN Jakarta, perpustakaan kampus Mercu Buana Jakarta, dan lainnya. Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan skripsi ini yang dapat dijadikan sebagai rujukan, seperti di bawah ini: a) “Kecenderungan Judul Berita dan Penerapan Kode Etik Jurnalistik pada Harian Umum Lampu Merah” yang disusun oleh Yosep Soepriyadi, mahasiswa Bidang Studi Jurnalistik, Universitas Mercu Buana Jakarta, pada tahun 2005. Penelitian ini lebih fokus menganalisis judul berita yang digunakan, dan pelanggaran kode etik apa yang dilakukan oleh Harian Umum Lampu Merah. Metode penelitian yang digunakan analisis isi kuantitatif dengan membuat berbagai kategorisasi dalam teks. b) “Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (Analisis Isi pada Surat Kabar DenPost tanggal 1-7 Maret 2009)” yang disusun oleh Dian Irfa Dewi, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dan Studi Media, Universitas 13. Mengelola Data dalam Penelitian Kualitatif. www.atwarbajar.wordpress.com diakses pada 17 Juli 2013..

(27) 14. Muhammadiyah Malang, pada tahun 2009. Penelitian ini berisi frekuensi kemunculan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang terbagi dalam delapan kategorisasi. Metode penelitian yang digunakan juga analisis isi kuantitatif. c) “Implementasi Regulasi Penyiaran dalam Program Drama Reality Show Realigi di Trans TV” yang disusun oleh Silvia Maulina, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Jakarta, pada tahun 2011. Penelitian ini berisi tentang bagaimana regulasi penyiaran seperti P3SPS diterapkan dalam salah satu program di Trans Tv di atas. Metode Penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Kendati peneliti melakukan rujukan terhadap ketiga skripsi di atas, namun penelitian yang dilakukan tetap jauh berbeda. Hal ini karena, peneliti membahas tentang Implementasi Kode Etik Jurnalistik dalam Majalah Suara Hidayatullah, tepatnya pada rubrik Laporan Utama dengan menggunakan metode deskriptif dan teknik analisis framing Pan dan Kosicki, untuk melihat bagaimana dan seperti apa Kode Etik Jurnalistik diimplementasikan atau diterapkan dalam penulisan berita dalam rubrik tersebut.. F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran jelas dan terarah maka penulis membagi pembahasannya ke dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab, yaitu:.

(28) 15. BAB I. PENDAHULUAN membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Pendekatan dan Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, serta Sistematika Penulisan.. BAB II. TINJAUAN TEORITIS menerangkan tentang fungsi media massa, konsep etis kode etik, pengertian dan sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia, peran lembaga suprasutruktur dan infrastruktur terhadap Kode Etik Jurnalistik, serta penjelasan tentang analisis framing, khususnya model Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki.. BAB III. PROFIL MAJALAH SUARA HIDAYATULLAH berisikan tentang profil majalah Suara Hidayatullah, seperti sejarah berdiri, perkembangan, distribusi, dan struktur redaksi, serta peran Suara Hidayatullah sebagai media massa Islam.. BAB IV. TEMUAN DAN ANALISIS DATA menjelaskan tentang Analisis Framing Pan dan Kosicki pada teks berita, kemudian dikaitkan dengan Kode Etik Jurnalistik, lalu disimpulkan dalam interpretasi penelitian.. BAB V. PENUTUP Dalam bab akhir ini, penulis memberikan kesimpulan terhadap apa yang telah diteliti oleh penulis dalam karya ilmiah ini, serta memberikan saran-saran dan juga beberapa lampiran yang didapat oleh penulis..

(29) 16. BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Fungsi Media Massa Media massa kini tak sekedar sumber informasi bagi masyarakat, melainkan industri, dapat dikatakan pula bisnis di bidang informasi atau berita. Hal ini menimbulkan dilema di dalam tubuh media massa itu sendiri, sebab secara otomatis informasi yang disiarkan oleh media massa harus disesuaikan dengan pemilik modal seperti pengiklan, juga pemilik perusahaan media massa itu sendiri. Dampaknya, khalayak tidak lagi mendapatkan informasi secara utuh, melainkan telah dikonstruksi oleh media masing-masing. Terlepas sebagai industri, sebenarnya media massa memiliki beberapa fungsi yang seharusnya dapat dijalankan. Effendy (1993) dalam buku Komunikasi Massa yang ditulis oleh Elvinaro Ardianto, dkk, mengemukakan tiga fungsi utama media massa, yaitu: 1 1) Fungsi Informasi Fungsi memberikan informasi ini diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar, atau pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan sesuai dengan kepentingannya. Khalayak sebagai mahluk sosial akan selalu merasa haus informasi yang terjadi. 2) Fungsi Pendidikan 1. Elvinaro Ardianto,dkk, Komunikasi Massa (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), h. 18-19..

(30) 17. Media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya (mass education). Media massa harus banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya mendidik. Salah satu cara mendidik yang dilakukan media massa adalah melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa atau pembaca. Media massa melakukannya melalui drama, cerita, diskusi, dan artikel. 3) Fungsi Memengaruhi Fungsi memengaruhi dari media massa secara implisit terdapat pada tajuk/editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya. Khalayak dapat terpengaruh oleh iklan-iklan yang ditayangkan televisi atau pun surat kabar. Menurut Dominick (2001) media massa juga memiliki beberapa fungsi, di antaranya fungsi kontrol, dan fungsi menghibur. 2 1) Fungsi Kontrol Fungsi pokok media massa atau pers terutama di negara-negara demokrasi adalah fungsi kontrol sosial atau pengawasan masyarakat. Fungsi kontrol terjadi ketika media massa menginformasikan berbagai kabar mengenai pemerintahan atau pun bahaya yang akan menghadang masyarakat, misalnya bencana alam. 3 2) Fungsi Menghibur Fungsi hiburan media massa tampak jelas dari isi atau konten medianya, yang mencakup berita, laporan, foto, dan artikel mengenai gaya hidup, konser music, dunia mode, karikatur, feature, dan lainnya. Di surat kabar atau majalah berita sekali pun, hiburan ditampilkan dengan tulisan atau karangan yang ditulis. 2. Elvinaro Ardianto,dkk, Komunikasi Massa (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), h. 14. 3 Sedia Willing Barus, Jurnalistik Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 18..

(31) 18. oleh penulis yang selera humornya tinggi, sehingga tulisan menyenangkan saat dibaca. 4 Dalam menjalankan berbagai fungsinya di atas, media massa harus memiliki aturan tertulis untuk mengatur media massa agar tetap sesuai dengan fungsinya. Di Indonesia, telah terdapat aturan hukum seperti Undang-Undang Pers, Undang-Undang Penyiaran, dan lainnya. Hanya saja, itu belum cukup diperlukan aturan norma atau etika yang lebih berhubungan dengan moral atau nilai-nilai, misalnya kode etik. Tanpa etika semacam itu, bukan tidak mungkin media massa hanya menjadi sebuah industri yang berorientasi pada keuntungan finansial. Di Indonesia pun telah ada berbagai kode etik dalam dunia media massa, seperti Kode Etik Periklanan, Kode Etik Jurnalistik, dan lainnya.. B. Konsep Etis Media massa merupakan hasil atau produk dari perkembangan akal dan budaya. Budaya sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘buddhayah’. Kata tersebut berasal dari kata ‘budhi’ yang berarti ‘akal’. Jadi manusia memang memiliki unsur-unsur potensi budaya, yaitu pikiran (cipta), rasa, dan kehendak (karsa). Menurut Levi Strauss budaya merupakan sistem simbolik yang dimiliki bersama dan termasuk ciptaan pikiran (creative of mind) secara kumulatif. 5 Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam, semesta, objek-objek materi dan milik yang 4. Sedia Willing Barus, Jurnalistik Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 17. 5 Nugroho Trisnu Brata, Antropologi (Jakarta: Esis, 2007), h. 4-6..

(32) 19. diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.6 Maka, secara sederhana media massa ada karena manusia yang membuatnya ada, serta menjadikan hal tersebut sebagai elemen penting yang harus ada dalam kehidupan. Media massa (mass media) dapat didefinisikan sebagai saluran, sarana atau alat yang digunakan dalam proses komunikasi massa untuk menyalurkan informasi kepada orang banyak atau seluruh masyarakat (channel of mass communication).7 Kini media massa tumbuh semakin cepat, tak hanya berbentuk cetak, bentuk audiovisual bahkan on-line pun sangat banyak, sehingga masyarakat di berbagai pelosok dunia dapat dengan mudah mendapatkan informasi. Marshall McLuhan berpendapat, bahwa keadaan dunia semakin kecil dikarenakan dunia saat ini bagaikan desa global (global village). Konten atau isi informasi yang disampaikan media massa pun semakin beragam. Di Indonesia sendiri, pers sebagai sebagai bagian dari media massa, pernah mendapatkan tekanan serta batasan cukup keras saat orde baru (19661998), segala hal negatif tentang pemerintah sedikit pun tak boleh diberitakan kepada masyarakat. Namun kini, setelah masa orde baru selesai, pers mulai mendapat kebebasan memberikan informasi apa pun dalam media massa. Hanya saja ada kecenderungan orang selalu berbuat salah, maka perlu dibuat sebuah aturan untuk mengatasinya. Ada aturan yang berupa hukum positif dan ada pula yang berupa konsep nilai-nilai dan norma yang hidup di tengah-. 6. Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 18. 7 Asep Syamsul M. Romli, Kamus Jurnalistik Daftar Istilah Penting Jurnalistik Cetak, Radio, dan Televisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), h. 85..

(33) 20. tengah masyarakatnya, tanpa terkecuali, pers sebagai pekerja media massa juga demikian. 8 Nilai dan norma itu disebut etika. Etika berbicara mengenai ‘etis atau tidak etis’ serupa dengan ‘pantas atau tidak pantas’. Etis atau tidak etis dapat ditentukan berdasarkan bagaimana nilai atau norma yang berlaku. Secara sederhana etika dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip atau tatanan berperilaku yang baik dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang bersumber dari keahlian, moral atau hati nurani kelompok masyarakat itu. 9 Dalam kehidupan bermasyarakat etika selalu dimunculkan, kendati tidak ada hukuman tertulis bila melanggarnya. Sejak zaman dahulu konsep etika sudah dipelajari orang. Awalnya etika merupakan salah satu cabang filsafat yang terkenal, beriringan dengan logika. Dalam perkembangannya kemudian, etika juga sudah banyak ditinjau dari berbagai sudut pandang pendekatan dan disiplin ilmu. Walaupun berbagai analisis, telaah, dan pembahasan itu memang sudah mampu menghasilkan pengertian-pengertian umum yang sama terhadap makna etika, tetapi sampai sekarang, sebenarnya masih tetap belum ada satu definisi yang dianggap ‘sempurna’. Istilah etika dalam profesi biasanya hampir selalu digandeng dengan istilah atau kata “kode” sehingga menjadi “kode etik” sebagai satu kesatuan istilah. 10. 8. Sedia Willing Barus, Jurnalistik Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 236. 9 Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 136. 10 Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 135..

(34) 21. Sebagai wartawan atau pers, kode etik sangat dibutuhkan karena adanya tuntutan yang sangat asasi, yakni kebebasan pers. Tidak jarang dalam melaksanakan kebebasan pers itu wartawan cenderung lupa atau sengaja melupakan hak orang lain sehingga merugikan profesinya sebagai delik pers. 11 Hal ini menjadi keharusan, sebab sejatinya tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak. Maka dari itu etika diperlukan dalam memberikan informasi kepada khalayak. Pada dasarnya etika ada dalam segala hal yang berhubungan dengan media massa, tidak hanya tentang pers yang memiliki ‘Kode Etik Jurnalistik’. Dalam dunia periklanan, atau tepatnya dalam menyiarkan iklan di media massa, terdapat pula beberapa aturan sebagai etika, yang tertuang dalam ‘Kode Etik Iklan’. 12 Maka seperti yang telah dijelaskan di paragraf awal, bahwa media massa merupakan produk akal dan budaya, maka diperlukan ‘kode etik’ sebagai aturan nilai dan norma, yang juga merupakan produk akal dan budaya. 1. Pengertian Kode Etik Setiap profesi atau pekerjaan pasti memiliki standarisasi serta batasan dalam menjalankan tugasnya. Standarisasi tersebut harus disusun sedemikian rupa agar nantinya dapat dijadikan landasan tepat bagi profesi yang bersangkutan. Biasanya standarisasi atau batasan itu disebut dengan ‘kode etik’.. 11. Sedia Willing Barus, Jurnalistik Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 235. 12 Rizal Isnanto, Buku Ajar Etika Profesi (Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 2009), h. 1-2..

(35) 22. Kata ‘kode’ berasal dari bahasa Inggris code yang berarti ‘sandi’. 13 Kode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdiri dari tiga arti, pertama yakni tanda, baik berupa kata-kata atau tulisan yang disepakati untuk maksud tertentu, atau untuk menjamin kerahasiaan berita, pemerintah, dan sebagainya, kedua kode adalah kumpulan peraturan yang bersistem, ketiga kode berarti kumpulan prinsip yang bersistem. Morse atau dalam gerakan kepramukaan disebut juga sandi morse, termasuk kode atau benda berupa titik serta garis sebagai pengganti huruf, angka, juga tanda baca yang digunakan pada pengiriman dan penerimaan berita telekomunikasi. 14 Sehingga pengertian dasar kode, adalah himpunan ketentuan, peraturan, atau petunjuk yang sistematis. 15 Sedangkan kata ‘etik’ atau ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak atau moral. Dalam bahasa latin. terdapat pula kata ‘mos’. (tunggal) atau ‘mores’ (jamak) yang artinya kebiasaan baik. 16 Menurut KBBI etik adalah norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Maka dari itu dapat dijabarkan ke dalam beberapa hal, seperti etik jurnalistik, yaitu aturan tata susila kewartawanan; norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, serta tata karma penerbitan; lalu etik. 13. Team Pustaka Phoenix, Phoenix Pocket Dictionary, 12th (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2010), h. 48. 14 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 578. 15 Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 136. 16 Ibid, h. 135-136..

(36) 23. kedokteran adalah norma dan dan asas yang berlaku bagi para dokter sebagai landasan dalam menjalankan profesinya. 17 Bila digabungkan maka kode etik diartikan sebagai himpunan atau kumpulan etika. Pada dasarnya istilah ‘kode etik’ tidak dapat dipisahkan, terutama bila dikaitkan dengan profesi. Dengan kata lain ‘kode etik’ merupakan satu kesatuan istilah. 18 Kode etik memang bukan regulasi yang bersifat hukum pidana, namun posisinya cukup penting demi menjaga profesionalitas sebuah pekerjaan. Kode etik juga dapat dijelaskan sebagai panduan moral dan etika yang disusun dan ditetapkan organisasi profesi seperti dokter, pengacara, guru, jurnalis, dan lain-lain. Kode etik biasanya mempunyai pengertian yang sama dengan istilah kode kehormatan, deklarasi hak-hak dan kewajiban, piagam kewajiban-kewajiban profesional, prinsip-prinsip, standar, serta lainnya. 19 Selain sebagai pedoman, fungsi kode etik juga mengatur mengenai hal-hal yang seharusnya boleh dilakukan dan tidak. Maksudnya adalah untuk mencegah anggota organisasi profesi bersangkutan melakukan praktik-praktik merugikan profensi dan masyarakat, apalagi praktik-praktik yang menyangkut pelanggaran pidana. 20 Banyak sekali teori yang menguraikan mengapa sebuah organisasi profesi akhirnya sampai mempunyai kode etik profesi. Namun dari berbagai. 17. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 309. 18 Ibid, h. 135. 19 Sedia Willing Barus, Jurnalistik Petunjuk Teknis Menulis Berita (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 235. 20 Ibid, h. 235..

(37) 24. pandangan dan teori yang ada, dapat diterangkan bahwa dalam perkembangan masyarakat manapun terdapatlah suatu kelompok marginal masyarakat yang mempunyai profesi khas, dan profesi itu memiliki tradisi sendiri. 21 Secara tradisional setidaknya ada empat bidang profesi yang sampai kini dinilai masuk dalam kategori tersebut, yaitu Kedokteran, Hukum, Jurnalistik, dan Kerohanian (Pastor, Pendeta, atau Ulama). 22 Melalui proses tertentu pengemban profesi ini dituntut memiliki tingkat moralitas tinggi yang bersumber pada semangat pengabdian sesama manusia dan kepentingan umum serta keahlian teknis dari ilmu di bidangnya. Sesudah itu lingkungan pengemban profesi itu juga mengisyaratkan adanya penguasaan tradisi kultural dalam penggunaan keahlian dan keterampilannya itu. Dengan begitu muncullah semacam kesepakatan sosial bahwa si pengemban profesi itu sendirilah sebenarnya yang paling mengetahui apakah perbuatan dia atau anggotanya sudah sesuai dengan tuntutan dan standar profesinya. Itulah sebabnya dalam kode etik (profesi) umumnya dikembalikan lagi ke hati nurani si pengemban profesi itu.23. C. Kode Etik Jurnalistik 1. Pengertian Kode Etik Jurnalistik Dalam menjalankan tugasnya, wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus 21. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 136. 22 Ibid, h. 136. 23 Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 137..

(38) 25. berpegang kepada Kode Etik Jurnalistik. Tujuannya agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyiarkan informasi. 24 Secara singkat Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika di bidang jurnalistik. Dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 (UU Pers No. 40/1999) juga disebutkan bahwa “kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan” [pasal 1 ayat (14)]. Dengan kata lain, wartawan dituntut untuk bertindak tepat, dan bermoral dalam menjalankan tugasnya sebagai pencari, pemilih, penyimpan, pengolah, serta penyampai infomasi. Bagaimana seharusnya atau sepantasnya cara untuk memeroleh, mengolah, juga menyampaikan informasi itu secara benar, kalangan pers sendirilah yang paling mengetahui hal itu. Standar moral dan operasional itulah yang terangkum dalam kode etik jurnalistik.25 Kode Etik Jurnalistik atau kannos of journalism juga berarti pedoman wartawan dalam melaksanakan tugasnya sebagai landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. 26 Alex Sobur M.Si pun mendefinisikan lengkap Kode Etik Jurnalistik sebagai, filsafat di bidang moral pers, yaitu bidang yang mengenai kewajiban kewajiban pers dan tentang apa yang merupakan pers yang baik dan pers yang buruk, pers yang benar dan pers yang salah, pers. 24. Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 136. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 138. 26 Asep Syamsul M. Romli, Kamus Jurnalistik Daftar Istilah Penting Jurnalistik Cetak, Radio, dan Televisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2008), h. 73. 25.

(39) 26. yang tepat dan pers yang tidak tepat. Ia juga menjelaskan Kode Etik Jurnalistik sebagai: “Etika pers atau ilmu studi tentang peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku pers, atau dengan perkataan lain, etika pers itu berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers. Etika pers mempermasalahkan bagaimana pers itu dilaksanakan agar dapat memenuhi fungsinya dengan baik.”27. Kode Etik Jurnalistik pun dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab yang harus dipikul wartawan demi terciptanya penyampaian informasi secara beretika, dan mengarahkan pada ketertiban serta perdamaian hidup di antara pergaulan masyarakat sehingga tercipta suatu masyarakat, adil, makmur juga sejahtera.28 Oleh sebab itu, posisi kode etik jurnalistik sebagai landasan kerja wartawan cukup penting, bahkan tidak kalah penting dengan kode etik kedokteran, kode etik hukum, atau pun kode etik profesi lainnya. Pada dasarnya Kode Etik Jurnalistik terkait dengan organisasi wartawan, dan hanya mengikat wartawan yang menjadi anggota organisasi wartawan bersangkutan.29 Sebagai contoh, misalnya Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ PWI), maka sesuai dengan makna serta sejarah perkembangannya, KEJ PWI hanya berlaku khusus untuk anggota PWI, kemudian diawasi oleh organisasi atau lembaga di lingkungan PWI yang diperuntukkan untuk itu. Dengan demikian, KEJ PWI tidak dapat diterapkan 27. Chitra Pratiwi, Sejarah Jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, http://www.anneahira.com/pengertian-kode-etik-jurnalistik.htm Diakses pada 29 April 2013 pukul 16.21. 28 Chitra Pratiwi, Sejarah Jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, http://www.anneahira.com/pengertian-kode-etik-jurnalistik.htm Diakses pada 29 April 2013 pukul 16.21. 29 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Tangerang: Penerbit Kalam Indonesia, 2005), h. 136..

(40) 27. kepada pihak lain di luar PWI. Sebaliknya pihak lain juga tidak dapat memberikan penilaian pelaksanaan KEJ PWI terhadap anggota PWI. Kode etik memang berlaku otonom, sebab kode etik dibuat oleh dan untuk kelompok masyarakat tertentu lalu tidak berlaku untuk kelompok masyarakat lainnya dan tanpa pula dapat dicampuri oleh pihak lainnya. Kode etik juga berlaku secara personal, artinya penerapan ketentuan kode etik berlaku secara personal, bukan secara kelembagaan atau organisasi. Sanksi yang dijatuhkan pun merupakan sanksi yang ditujukan kepada personal penyandang profesi. 30 Dewasa ini di Indonesia terdapat banyak organisasi wartawan, maka dari itu kode etik jurnalistik yang ada pun bermacam-macam tergantung organisasi wartawan yang merumuskannya. Namun sejak 6 Agustus 1999, telah ditetapkan oleh Dewan Pers sebuah Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sebagai kode etik jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia terlepas dari latar belakang keorganisasiannya, sebagaimana Sebagaimana diamanatkan UU No. 40/1999 tentang Pers, melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000. 31 KEWI tersebut dirumuskan serta ditandatangani oleh 26 organisasi wartawan yang hadir di Bandung. 32 Kini KEWI tahun 1999 tersebut telah diperb arui. menjadi. Kode. Etik. Jurnalistik Indonesia (KEJI) yang telah disahkan oleh Dewan Pers di Jakarta, pada 14 Maret 2006. Pengesahan ini telah dihadiri serta disetujui oleh 29. 30. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 138. 31 Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004), h. 72. 32 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 315-316..

(41) 28. organisasi wartawan.33 KEJI inilah yang sekarang berlaku bagi seluruh wartawan di Indonesia di samping kode etik jurnalistik yang berlaku di masing-masing organisasi. Hal ini disebabkan, Dewan Pers memang tidak mencabut kode etik masing-masing oganisasi tersebut. 2. Sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia Keberadaan kode etik jurnalistik di Indonesia, tidak lahir begitu saja. Diperlukan proses panjang hingga akhirnya dapat diberlakukan seperti sekarang. Berbicara mengenai sejarah kode etik jurnalistik di Indonesia, tentu sangat berkaitan dengan sejarah jurnalistik atau perkembangan pers di Indonesia itu sendiri. Sejarah Jurnalistik dunia yang ikut memengaruhi cerita sejarah jurnalistik Indonesia. dimulai jaman Romawi Kuno, pada masa pemerintahan Julius. Caesar (100-44 SM). Pada saat itu, terdapat acta diurna yang memuat semua hasil sidang, peraturan baru, keputusan-keputusan senat dan berbagai informasi penting yang ditempel di sebuah pusat kota yang disebut Stadion Romawi. Kemudian di kawasan Asia pertama kali terjadi di Cina, yakni ditandai dengan terbitnya surat kabar pertama pada 911, bernama ‘Kin Pau’. Surat kabar tersebut milik pemerintah ketika zama Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dengan di Jaman Caesar, Kin Pau berisi keputusan rapat, hasil musyawarah dan berbagai informasi dari Istana. 34 Di Indonesia pun perkembangan jurnalistik selalu berkaitan erat dengan 33. Sirikit Syah, Rambu-rambu Jurnalistik: Dari Undang-undang hingga Hati Nurani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 178-179. 34 Chitra Pratiwi, Sejarah Jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, http://www.anneahira.com/pengertian-kode-etik-jurnalistik.htm Diakses pada 29 April 2013 pukul 16.21..

(42) 29. permerintah dan situasi politik yang terjadi. Oleh sebab itu, sejarah jurnalistik Indonesia seringkali dibagi menjadi golongan, yaitu Pers Kolonial, Pers Cina, serta Pers Nasional. Pers Kolonial adalah pers yang dibangun oleh orangorang Belanda di Indonesia, lalu pada abad ke-18 muncul surat kabar bernama Bataviasche Nouvellesd, sejak saat itu bermunculan surat kabar dengan bahasa Belanda yang isinya bertujuan untuk membela kaum kolonialis. 35 Selanjutnya Pers Cina dimulai dengan kemunculan surat kabar yang dibuat oleh orangorang Cina, media ini dibuat sebagai media pemersatu keturunan Tionghoa di Indonesia. Terakhir Pers Nasional, merupakan awal sesungguhnya Sejarah jurnalistik Indonesia dimulai, tepatnya saat gerakan Pers Nasional muncul pada abad ke-20 di Bandung, dengan surat kabar bernama ‘Medan Priayi’. 36 Medan Priayi adalah media yang dibuat oleh Tirto Hadisuryo atau Raden Djikomono, sebagai alat perjuangan pergerakan kemerdekaan. Sejak saat itu, Tirto Hadisuryo akhirnya dianggap sebagai pelopor peletak dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia. Setelah itu muncullah berbagai media dengan berbagai tujuan, seperti sebagai alat perjuangan, alat politik, pengawas pemerintah, bahkan sebagai komoditas industri seperti sekarang.37 Berdasarkan penjelasan di atas, maka sejarah pembentukan, pelaksanaan. 35. Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2009), h. 30. Chitra Pratiwi, Sejarah Jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, http://www.anneahira.com/pengertian-kode-etik-jurnalistik.htm Diakses pada 29 April 2013 pukul 16.21. 37 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2009), h. 33-34. 36.

(43) 30. serta pengawasan kode etik jurnalistik di Indonesia, jika diurutkan secara sistematis, pada garis besarnya dapat dibagi dalam lima periode: 38 a. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik Periode 1945 ini terjadi ketika Indonesia baru mulai merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Kendati baru merdeka, tidak lama kemudian di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru. Tentu saja karena masih baru belajar dan masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat menerbitkan di alam merdeka, belum terpikir soal pembuatan Kode Etik Jurnalistik. Akibatnya pada periode ini pers belum berjalan dengan kode etik. b. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI Tahap 1 Pada 1946 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) lahir di Solo, tapi ketika lahir pun organisasi ini belum memiliki kode etik. Saat itu baru ada semacam konvensi, yang dituangkan dalam satu kalimat, yang intinya bahwa organisasi ini mengutamakan prinsip kebangsaan. Barulah setahun setelah terbentuk, pada tahun 1947 lahirlah Kode Etik PWI pertama. Dilihat dari perumusan, sistematis dan istilah-istilah yang dipakai ternyata Kode Etik Jurnalistik PWI pertama itu secara umum dapat disimpulkan tidak lebih dari terjemahan kode etik milik wartawan Amerika, bernama Cannon of Journalism. Menurut ketua tim perumusnya, almarhum Tasrif, memang waktu itu para anggota perumusnya sebagian besar banyak mempelajari kode etik wartawan Amerika. Sehingga apabila hasilnya merupakan terjemahan dari Cannon of Journalism tidak begitu mengherankan. Pada kenyataannya karena 38. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 143-146..

(44) 31. Kode Etik Jurnalistik ini waktu itu masih satu-satunya, maka kode etik inilah yang menjadi rujukan bagi para wartawan Indonesia umumnya, dan bagi anggota PWI khususnya. c. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Kode Etik Jurnalistik Non PWI Setelah PWI lahir, kemudia muncul berbagai organisasi wartawan lainnya. Walaupun dijadikan sebagai pedoman etik oleh berbagai organisasi lain, sebenarnya Kode Etik Jurnalistik PWI hanya berlaku bagi anggota PWI sendiri. Padahal organisasi wartawan lain juga memerlukan kode etik jurnalistik. Latar belakang pemikiran itulah yang kemudian mendorong Dewan Pers mencoba membuat serta mengeluarkan pula Kode Etik Jurnalistik yang berlaku secara nasional. Saat itu Dewan Pers membentuk sebuah panitia Ad Hoc yang terdiri dari tujuh orang. Mereka ditugaskan untuk merumuskan berbagai kode etik yang berkaitan dengan pers, termasuk Kode Etik Jurnalistik. Panitia terdiri atas Mochtar Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H.G. Rorimpandey, Soendoro, Wonohiro, L.E. Manuhua dan A. Azis akhirnya menyelesaikan tugas mereka 30 September 1968. Hasil kerja mereka kemudian diterima oleh Dewan Pers pada waktu itu juga melalui keputusan 09/1968 yang ditandangani Ketua dan Sekretaris Dewan Pers, yakni Boediarjo dan T. Sjahril. Sesudah adanya Kode Etik Jurnalistik hasil karya Dewan Pers, PWI tidak pernah mencabut atau menyatakan Kode Etik Jurnalistik PWI sudah tidak berlaku lagi. Begitu pula Dewan Pers sendiri tidak pernah pula menyatakan.

(45) 32. bahwa Kode Etik Jurnalistik yang mereka buat berlaku sebagai satu-satunya Kode Etik Jurnalistik untuk seluruh wartawan. Dengan demikian sebetulnya waktu itu de facto terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik. Bagi wartawan anggota PWI berlaku Kode Etik Jurnalistik PWI, sedangkan bagi wartawan non PWI berlaku Kode Etik Jurnalistik hasil “Panitia Tujuh” yang disahkan Dewan Pers pada 30 September 1968. Bagi wartawan anggota PWI, tentu saja harus tunduk pada ketentuan-ketentuan PWI, termasuk untuk kode etiknya. Sedangkan bagi wartawan non PWI, dengan adanya keputusan tanggal 30 September 1968 dari Dewan Pers, mereka harus tunduk kepada kode etik hasil karya “Panitia Tujuh” saat itu. d. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI Tahap 2 Dualisme ini berlangsung sampai sekitar tujuh tahun. Sebenarnya setahun setelah disahkan kode etik produk Dewan Pers, keluarlah peraturan mengenai wartawan. Menurut pasal 4 Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai wartawan, ditegaskan, wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan oleh pemerintah. Namun ketika itu belum ada satu pun organisasi wartawan yang telah disahkan oleh pemerintah. Pada 20 Mei 1975 barulah kemudian pemerintah mengukuhkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Keputusan itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 47/ KEP/ MENPEN/ 1975 yang ditandatangani oleh Menteri Penerangan Mahsuri. Setelah keluarnya peraturan ini dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982,.

(46) 33. ditegaskan organisasi wartawan haruslah organisasi yang distujui oleh pemerintah. Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Pokok Pers telah menegaskan sebagai berikut. “Organisasi pers ialah organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, organisasi grafika pers dan organisasi media periklanan yang disetujui oleh pemerintah.” Dengan adanya dasar hukum itu maka dalam periode ini hanya PWI yang dianggap sah sebagai organisasi wartawan sekaligus hanya satu-satunya organisasi wartawan yang diakui di Indonesia. Akibatnya organisasi wartawan di luar PWI tidak diakui dan tidak sah. Hal ini bermakna, kala itu seluruh wartawan Indonesia wajib menjadi anggota PWI . Sebagai konsekuensi logis dari dari pengukuhan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui dan sah, maka kode etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah Kode Etik Jurnalistik PWI. Sebaliknya kode etik jurnalistik lainnya sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai hal ini pemerintah juga mengeluarkan keputusan Menteri Penerangan No. 48/ KEP/ MENPEN/ 1975 yang mengukuhkan Kode Etik Jurnalistik PWI sebagai Kode Etik Wartawan Indonesia. Sejak itu Kode Etik Jurnalistik yang berlaku secara menyeluruh pada periode ini mutlak hanyalah Kode Etik Jurnalistik PWI. e. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik Tahun 1998 meletus “revolusi politik” yang dikenal dengan istilah reformasi. Paradigma dan tatanan dunia pers berubah lagi. Setahun kemudian lahir Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Pasal 7 ayat 1.

(47) 34. Undang-Undang ini membebaskan wartawan dalam memilih organisasi wartawan. Dengan adanya ketentuan ini, maka otomatis PWI tidak lagi sebagai satu-satunya organisasi wartawan. Kemudian muncullah banyak organisasi wartawan baru, tetapi dari sudut anggota PWI sudah teerlanjur memiliki anggota yang sangat besar. Akibat adanya ketentuan ini di luar Kode Etik Jurnalistik PWI ada pula banyak Kode Etik Jurnalistik dari organisasi wartawan lainnya. Sebelumnya pada 6 Agustus 1999 di Bandung, terlebih dahulu 25 organisasi wartawan menelorkan Kode Etik Wartwan Indonesia (KEWI). Belakangan pada 20 Juni 2000 KEWI disahkan oleh Dewan Pers dengan Surat Keputusan Dewan Pers No. 1/ SK-DP/ 2000. Jadi yang melahirkan KEWI bukanlah Dewan Pers, namun Dewan Pers hanya mengesahkan saja. Sesudah itu pada 14 Maret 2006, 29 organisasi pers kembali bergabung membuat Kode Etik Jurnalistik Baru. Kode Etik Jurnalistik ini disahkan pada 24 Maret 2006 sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara Nasional melalui keputusan Dewan Pers No. 03/ SK-DP/ III/ 2006. Sesuai dengan penjelasan pasal 7 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 berikut, “Yang dimaksud dengan ‘Kode Etik Jurnalistik’ adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.” Kode Etik Jurnalistik yang baru telah memenuhi ketentuan tersebut, tetapi Kode Etik Jurnalistik masing-masing organisasi wartawan tidak dicabut. Dengan demikian pada periode ini, disamping Kode Etik Jurnalistik yang.

(48) 35. disahkan Dewan Pers pada 14 Maret 2006, masih banyak pula Kode Etik Jurnalistik dari masing-masing media atau pun organisasi wartawan. 3. Posisi Kode Etik Jurnalistik bagi Wartawan Keberadaan Kode Etik Jurnalistik menempati posisi sangat penting bagi wartawan. Bahkan menurut mantan Sekjen PWI Pusat (2003-2008), Wina Armada Sukardi, kode etik lebih penting posisinya dibandingkan dengan perundang-undangan lain yang memiliki sanksi fisik sekali pun. 39 Sudah sepantasnya Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan istimewa di hati setiap wartawan. Wartawan yang tidak memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai seorang wartawan. Hal ini disebabkan, wartawan yang tidak memiliki prinsip dalam menjalankan tugasnya, adalah wartawan yang tidak mampu memahami apa sebenarnya tugas mulia seorang wartawan. Oleh karena itu, kode etik sangat bermanfaat bagi seluruh proses kerja wartawan. Wina Armada Sukardi, menyatakan bahwa setidaknya ada empat alasan mengapa Kode Etik Jurnalistik sangat penting bagi para wartawan, yakni: 40 a. Kode Etik Jurnalistik dibuat khusus dari, untuk dan oleh kalangan wartawan sendiri dengan tujuan untuk menjaga martabat atau kehormatan profesi wartawan. Hal ini berarti, pelanggaran terhadap kode etik adalah pelanggaran terhadap kehormatan profesi wartawan, serta terhadap diri. 39. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 146. 40 Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 146-147..

(49) 36. sendiri. Bagi seorang wartawan, tidak ada yang lebih tercela dibandingkan dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai kehormatan profesinya sendiri. Melanggar perundang-undangan, boleh jadi, bagi para wartawan masih dapat menimbulkan kilah, mungkin saja suatu undang-undang karena alasan politis kurang sesuai bahkan berbenturan dengan kemerdekaan pers dan sifat hakekat profesi jurnalistik, sehingga pelanggaran itu dapat dianggap justru untuk menegakkan profesi jurnalistik itu sendiri. Mungkin pula dapat disebut undang-undang tersebut dilaksanakan dengan kurang tepat oleh pihak tertentu sehingga merugikan wartawan. Jadi, jika wartawan melanggar undang-undang masih mungkin ada unsur “pemaaf”. Sejumlah wartawan yang dihukum berdasarkan undang tetapi tidak menyalahi Kode Etik Jurnalistik, maka tetap dapat menegakkan kepalanya. Misalnya tokoh wartawan Mochtar Lubis, ia dihukum Sembilan tahun oleh rezim Orde Lama karena tulisan-tulisannya, tetapi ia tetap dikenang sebagai wartawan besar dan terhormat, sebab tidak pernah melanggar Kode Etik Jurnalistik. b.. Kode Etik Jurnalistik dibuat dari, untuk, dan oleh wartawan sendiri. Jadi dibuat khusus serta diperuntukkan secara khusus pula. Pelanggaran terhadap ketentuan yang dibuat khusus oleh kalangan wartawan sendiri, juga diperuntukkan khusus untuk wartawan, bahkan diawasi pula oleh wartawan sendiri. Jelas sudah dari sudut profesi, merupakan perbuatan amat tercela. Dapat dikatakan hal itu termasuk perbuatan yang menginjakinjak profesi wartawan. Itulah sebabnya lembaga yang mengawasi.

(50) 37. pelaksanaan ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik sering disebut “Dewan Kehormatan”. c. Wartawan harus memiliki keterampilan teknis di bidang profesinya. Misalnya harus dapat menulis berita atau menyiarkan berita dengan benar, adil, dan berimbang. Selain itu wartawan juga harus memiliki pengetahuan serta wawasan luas. Dengan kata lain, wartawan harus berilmu, baik dalam penguasaan teknis jurnalistik maupun sosial kemasyarakatan. Kode Etik Jurnalistik dalam hal ini menjadi salah satu dan yang utama, juga barometer profesionalisme wartawan. d. Kode Etik Jurnalistik menyangkut hati nurani terdalam wartawan. Rumusan dalam Kode Etik Jurnalistik merupakan hasil pergumulan hati nurani wartawan. Pelaksanaannya juga harus dilandasi dengan hati nurani. Maka pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik, berarti pengkhianatan terhadap hati nurani profesi wartawan sendiri. Hal ini jelas merupakan sifat sangat tercela. Secara prinsip pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik khusus bagi wartawan dapat bermakna merupakan perbuatan yang lebih tercela daripada pelanggaran terhadap hukum atau perundang-undangan sekali pun.41 Selanjutnya M. Alwi Dahlan juga sangat menekankan betapa pentingnya kode etik bagi para wartawan, atau pun masyarakat. Menurutnya, kode etik setidaknya memiliki lima manfaat berikut:42. 41. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers (Jakarta: Dewan Pers, 2007), h. 147. 42 M. Alwi Dahlan, Etika: Antara Slogan dan Profesionalisme, dalam Setengah Abad Pergulatan Etika Pers (Jakarta: Dewan Kehormatan PWI, 2005), h. 233..

(51) 38. a. Melindungi keberadaan seorang profesional dalam berkiprah di bidangnya. Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang profesional. b. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi. c. Mencegah kecurangan antar rekan profesi. d. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber.. Dengan demikian Kode Etik Jurnalistik memang sangat penting dan bermanfaat bagi para wartawan, maka dari itu wartawan pun harus menaatinya secara sadar diri, sebab bagaimana pun Kode Etik Jurnalistik bukanlah sebuah perundang-undangan yang memiliki sanksi mutlak bagi pelanggarnya. 4. Kode Etik Jurnalistik 2006 Setelah mengalami banyak perubahan, akhirnya pada 24 Maret 2006 Dewan Pers mengesahkan Kode Etik Jurnalistik 2006 di Jakarta, setelah sebelumnya 29 organisasi pers bergabung untuk menyusun kode etik tersebut. Kode etik jurnalistik 2006 berisi 11 pasal yang disesuaikan dengan kerja jurnalistik. Isi kode etik jurnalistik 2006 sebagai berikut:43 Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal 2. 43. Jurnalistik.. Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik.

(52) 39. Wartawan. Indonesia. menempuh. cara-cara. yang. profesional. dalam. melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku,.

(53) 40. ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. 5. Definisi Konseptual Dalam penelitian tentang Implementasi Kode Etik Jurnalistik ini, terdapat enam pasal dalam Kode Etik Jurnalistik 2006 yang digunakan, yakni pasal 1, 2, 3, 4, 8, dan 9. Setiap pasal memiliki tujuan dan maksud masingmasing, agar dapat digunakan secara tepat oleh seluruh wartawan di Indonesia. Berikut definisi konseptual setiap pasal: Pada pasal 1 berbunyi ‘Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk’. Di sini independen yang dimaksud adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Kemudian Akurat berarti, dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang.

(54) 41. berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Selanjutnya, tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. 44 Sehingga Kode Etik Jurnalistik pasal 1 sudah terimplementasikan pada teks, bila terdapat indikator-indikator tersebut. Lalu pada pasal 2 berbunyi ‘Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik’. Cara-cara profesional di sini maksudnya adalah seperti, menghormati hak privasi, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Kemudian rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang, serta tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. 45 Hal-hal tersebut dapat dilihat pada bagaimana teks berita disajikan, sehingga bila indikator-indikator tersebut terkandung dalam teks, berarti kode etik jurnalistik pasal 2, telah diimplementasikan dalam teks berita. Kemudian pada pasal 3 berbunyi ‘Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah’. Menguji informasi di sini berarti melakukan check and recheck. tentang. kebenaran informasi itu. Kemudian Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Lalu opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan, hal ini berbeda. 44. Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik, Penafsiran Pasal 1. 45 Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik, Penafsiran Pasal 2..

(55) 42. dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Selanjutnya asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.46 Bila beberapa indikator di atas ada dalam teks berita, berarti kode etik jurnalistik pasal 3 ini telah terimplementasi. Selanjutnya pada pasal 4 berbunyi ‘Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul’. Bohong di sini berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Lalu fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Selanjutnya, dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. 47 Bila dalam teks berita mengandung unsur-unsur di atas, maka Kode Etik Jurnalistik pasal 4 belum terimplementasikan. Pasal 8 berbunyi ‘Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani’. Prasangka yang dimaksud adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Lalu diskriminasi berarti. 46. Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik, Penafsiran Pasal 3. 47 Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik, Penafsiran Pasal 4..

Gambar

Tabel 1 Konsep Framing Pan dan Kosicki
Gambar 1. Contoh cover majalah Suara Hidayatullah
Gambar 2. Distribusi majalah Suara Hidayatullah
Tabel 2 Frame Suara Hidayatullah: Mahalnya Harga Sebuah Pernikahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

secara luas dan tidak bisa di nikmati banyak kalangan dan bahkan akan kalau up to date dengan kreatifitas orang lain. Asumsi ini berdasarkan pada fakta bahwa semua “yang baru”

Berdasarkan hasil penelitian sehubungan dengan masalah yang dikaji, dapat disimpulkan sebagai berikut : Faktor-faktor yang menjadi penyebab belum maksimalnya

Ide dari game ini adalah perjalanan dua binatang yaitu ular dan ulat, dimana ular dan ulat akan mengikuti sayembara untuk sebuah kerajaan, untuk membuka sebuah kerajaan,

Pada masa kehamilan ibu, hormon tertentu merangsang payudara untuk memperbanyak saluran-saluran air susu dan kelenjar- kelenjar air susu (Khasanah, 2011). ASI eksklusif

Di dalam makalah ini juga kami menampilkan gambar-gambar yang merupakan contoh karya seni rupa tiga dimensi.. Pengertian Seni Rupa

Kelompok kaum muda termasuk mahasiswa dengan populasi yang cukup besar dan peran yang penting di masa depan, menghadapi berbagai risiko yang berkaitan dengan kesehatan

Laporan Kinerja Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur Tahun 2014, disusun berdasarkan pelaksanaan program dan kegiatan periode 1 Januari 2014 sampai

Dengan terbitnya Peraturan Bupati Sumbawa tentang Pemanfaatan Portal Simpul Jaringan Data dan Informasi Spasial Kabupaten Sumbawa untuk evaluasi pelaksanaan Rencana Kerja