• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%,"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan energi Indonesia saat ini sebagian besar masih bertumpu pada bahan bakar fosil. Kebutuhan energi nasional ditopang minyak bumi sekitar 51,66%, gas alam 28,57% dan batubara 15,34%. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Indonesia pada tahun 2009, mencapai 21.218.383 kL (BPH Migas, 2010).

Kebutuhan BBM pada tahun 2010 meningkat menjadi 97.100.000 kl dan yang harus diimpor sebesar 52.600.000 kl, sedangkan pada tahun 2015 kebutuhan BBM diperkirakan menjadi 136.200.000 kl dan impornya menjadi 89.700.000 kl. Cadangan minyak bumi akan habis sekitar 12 tahun lagi, gas 30 tahun dan batu bara masih bisa dimanfaatkan hingga 70 tahun ke depan. Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ini menjadi masalah besar dan perlu solusi yang mendesak. Salah satu langkah solusinya adalah memanfatkan bioetanol sebagai alternatif pengganti. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mendorong pengembangan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak (Anonim

a

, 2014).

Bahan Bakar Nabati (BBN) yang terdiri dari biodiesel dan bioetanol

merupakan bahan bakar alternatif yang paling potensial mengurangi dominasi bahan

bakar minyak. Selama kurun waktu 23 tahun (2012-2035), diprediksi BBN meningkat

dengan laju pertumbuhan 15,9% per tahun untuk skenario dasar dan 17,4% untuk

(2)

2 skenario tinggi (Supriyono et al., 2014). Pada kedua skenario, pertumbuhan bioetanol sangat rendah. Hal ini disebabkan hampir semua bahan baku bioetanol diperlukan sebagai bahan pangan atau farmasi sehingga cukup sulit untuk mengembangkan perkebunan energi untuk bioetanol sementara sementara hasil perkebunan tersebut masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan komoditas ekspor. Salah satu bahan bakar alternatif yang menjanjikan adalah bioetanol. Bioetanol secara umum didefinisikan sebagai bahan bakar cair yang didapatkan dari biomasa melalui hidrolisis enzimatis dan fermentasi oleh ragi (Jeong et al., 2011).

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya yaitu 2/3 berupa lautan dengan panjang pantai sekitar 81.000 km. Potensi luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru mencapai 222.180 ha atau sekitar 20% dari luas areal potensial.

Pada Indonesia Seaweed Forum I di Makassar Sulawesi Selatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyatakan bahwa rumput laut dapat menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan. Hal ini didasarkan pada beberapa kelebihan rumput laut seperti pembudidayaan rumput laut yang relatif singkat (45 hari), produktivitas tinggi, kandungan gula monomer maupun polimer sehingga baik sebagai sumber pangan maupun energi. Produksi rumput laut Indonesia yang mencapai 4.305.027 ton (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2011) menunjukkan potensi yang baik untuk pengembangan dan pemanfaatan rumput laut.

Selain itu, wilayah dan iklim di Indonesia juga sangat mendukung bagi

pertumbuhan dan budidaya rumput laut sehingga Indonesia memiliki

keanekaragaman rumput laut yang besar. Rumput laut telah banyak dimanfaatkan

(3)

3 sebagai sumber bahan baku industri pangan, industri farmasi, dan remediasi lingkungan. Pemanfaatan jenis rumput laut lainnya adalah sebagai penghasil BBN seperti bioetanol, biodiesel, biooil dan biogas. Konversi rumput laut menjadi etanol akan memberikan dampak luas bagi perekonomian nasional yaitu peningkatan pendapatan petani dan nelayan, peningkatan pendapatan dari ekspor, serta penguatan ketahanan negara di bidang energi khususnya energi terbarukan.

Pengembangan bioetanol dari rumput laut akan mendukung kebijakan Pemerintah dalam penyediaan energi terbarukan terutama BBN. Sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 25 Tahun 2013, target penggunaan gasohol (campuran premium dan etanol) pada tahun 2013-2015 sebesar 1 % di bidang transportasi dan 2% di bidang industri. Target tersebut terus meningkat hingga 20% di bidang transportasi dan industri pada 2025. Untuk mencapai target tersebut maka harus digunakan bahan baku dari gula, pati dan selulosa (Anonim

a

, 2010). Bahan bakar alternatif yang memanfaatkan potensi sumber daya lokal harganya lebih murah dan dapat meningkatkan perekonomian lokal.

Banati et al. (2009) menyatakan bahwa pemanfaatan rumput laut masih perlu dikembangkan lagi agar memberikan nilai tambah, baik secara ekonomi maupun lingkungan. Seiring dengan perkembangan teknologi rumput laut telah ditingkatkan pemanfaatannya sehingga akan memberikan nilai yang lebih tinggi. Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai bahan baku pembuatan etanol.

Rumput laut dikategorikan kedalam tiga kelompok yaitu rumput laut merah

(Rhodophyta), rumput laut hijau (Chlorophyta), dan rumput laut cokelat

(Phaeohyceae) (Percival, 1979 dalam Park et al., 2011). Diantara ketiga jenis rumput

(4)

4 laut tersebut, rumput laut merah dikenal memiliki kandungan karbohidrat tinggi (Park et al., 2011). Secara umum rumput laut mengandung polisakarida seperti selulosa dan

alginat, juga monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan xilosa. Komposisi tersebut menunjukkan potensi rumput laut sebagai bahan baku etanol. Keberadaan berbagai macam polisakarida menyebabkan proses hidrolisis dan fermentasi lebih kompleks atau rumit. Karagenan merupakan polisakarida yang diekstrak dari rumput laut merah seperti Chondrus, Gigartina, Euchema, Furcellaria, dan Phyllophora (Meinita et al.

2011). Menurut Rachbini et al., (2011) dalam Nurdin (2012), jenis rumput laut yang dibudidayakan secara luas di Indonesia terdiri atas Euchema cottonii dan Glacilaria, dengan perbandingan hasil panen sekitar 70:30. Karena tingginya produksi rumput laut jenis tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan rumput laut merah dari jenis E. cottonii.

Dari paparan hasil penelitian sebelumnya terhadap kelompok rumput laut di atas, dapat dilihat bahwa rumput laut khususnya dari jenis E. cottonii dapat diolah menjadi bioetanol dengan metode fermentasi, dengan memanfaatkan kandungan karbohidratnya. Puspawati et al. (2015) melakukan hidrolisis rumput laut E. cottonii menggunakan enzim selulase. Pada penelitian tersebut didapatkan kadar gula reduksi terbaik setelah proses hidrolisis selama 12 jam dengan enzim selulase 19 AU pada suhu 50

o

C menghasilkan kadar gula reduksi 7,853 g/l.

Secara alami selulosa diikat oleh hemiselulosa dan dilindungi oleh lignin.

Adanya senyawa pengikat lignin inilah yang menyebabkan bahan sulit untuk

dihidrolisis (Iranmahboob et al., 2002). Oleh sebab itu, proses pretreatment dan

hidrolisis asam digunakan untuk memecah ikatan lignin, selulosa dan hemiselulosa.

(5)

5 Rumput laut merah mengandung selulosa dan agar, sementara agar tidak dapat dihidrolisis oleh enzim, tetapi dapat dihidrolisis oleh asam (Jeong et al., 2011).

Iryani et al. (2009) meneliti produksi etanol dari 10 g residu E. cottonii menggunakan H

2

SO

4

98% pada suhu 100

o

C. Dalam penelitian tersebut dihasilkan gula reduksi tertinggi sebesar 41,225 g/l. Selain itu, Meinita et al. (2011) melaporkan bahwa produksi etanol dari E. cottonii melalui proses hidrolisis 100 g/l bahan baku dengan 0,2% H

2

SO

4

pada suhu 130

o

C selama 15 menit menghasilkan gula reduksi tertinggi 30,5 g/l dan etanol 1,31 g/l. Penelitian senada juga dilakukan oleh Wiratmaja et al. (2011) dengan mencampurkan E. cottonii dengan ragi dengan perbandingan 1:0,006 menghasilkan 15,5% etanol.

Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa E. cottonii layak dijadikan bahan baku bioetanol. Dalam penelitian tersebut, bahan baku rumput laut yang digunakan di keringkan terlebih dahulu, kemudian dihaluskan sebelum dilakukan hidrolisis. Proses tersebut membutuhkan energi dan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan upaya memperpendek proses produksi dengan melakukan pencucian dan perendaman rumput laut sebelum hidrolisis.

Penelitian ini bertujuan untuk memaksimalkan kondisi hidrolisis untuk

produksi gula yang tinggi menggunakan katalis asam encer dengan perlakuan suhu,

konsentrasi asam, dan waktu hidrolisis. Kemudian dilanjutkan dengan proses

fermentasi untuk menghasilkan bioetanol menggunakan metode Separate Hydrolysis

and Fermentation (SHF).

(6)

6 B. Rumusan Masalah

Pembuatan etanol dari bahan berselulosa seperti E. cotonii memerlukan beberapa tahapan (pretreatment) sebelum masuk pada tahapan fermentasi untuk menghasilkan etanol. Menurut hasil penelitian Luthfy (1988) melaporkan bahwa rumput laut jenis E. cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80

% , lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Sebagaimana dikutip dari Shofiyanto (2008), bahan berselulosa dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk produksi etanol dengan melakukan proses hidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis dilakukan untuk mendapatkan gula sederhana yang kemudian difermentasi oleh kapang untuk menghasilkan etanol.

Hidrolisis lignoselulosa menjadi gula sederhana dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi. Hidrolisis lignoselulosa secara fisik yang telah dilakukan yaitu dengan perlakuan liquid hot water (Rachmaniah et al., 2009). Hidrolisis secara kimia dilakukan dengan menggunakan asam. Menurut Mussatto dan Roberto (2004) umumnya asam yang digunakan adalah H

2

SO

4

atau HCl pada kisaran konsentrasi 2%-5% (Iranmahboob et al., 2002; Sun dan Cheng, 2002), dan suhu reaksi ± 160

o

C.

Dari hasil penelitian Rizal (2005), penambahan konsentrasi katalis NaOH hingga 8% ternyata mampu meningkatkan kandungan selulosa dalam produksi pulp dari jerami, sehingga diperoleh hasil produksi optimum selulosa sekitar 91,4 % dengan sisa lignin dalam pulp yang hanya mencapai sekitar 1,2 % saja.

Selulosa merupakan polisakarida melimpah di bumi yang dapat diubah

menjadi glukosa dengan cara hidrolisis (Groggins dalam Sari 2009). Pengembangan

teknologi bioproses dengan menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya

(7)

7 merupakan suatu proses yang lebih ramah lingkungan. Pada penelitian yang telah dilakukan ini menggunakan bakteri selulolitik untuk memproduksi enzim guna menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Namun menurut Jeong et al. (2011), penggunaan enzim membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu reaksi yang lama.

Selain itu menurut Kumar et al., 2009; Chen et al., 2011 dalam Jeong et al. (2011), enzim mudah dihambat oleh produk samping proses sakarifikasi, dan ini bukan merupakan solusi untuk komersialisasi, disamping harga enzim yang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian Puspawati et al. (2015) diketahui rumput laut E.cottonii dapat menghasilkan substrat fermentasi bioetanol dengan indikator gula

reduksi melalui proses hidrolisis enzimatis menggunakan enzim selulase. Kondisi terbaik pada proses hidrolisis enzimatis selama 12 jam yaitu dengan enzim selulase 19 AU pada suhu 50

o

C menghasilkan kadar gula reduksi 7,853 g/l. Analisis kelayakan finansial produksi substrat fermentasi tersebut dikatakan belum layak karena aliran kas pada studi kelayakan bernilai negatif. Selain membutuhkan waktu yang lama, dalam proses hidrolisis E. cottonii secara enzimatis dibutuhkan enzim dengan harga yang tinggi dan memerlukan preparasi yang rumit sehingga sulit diaplikasikan dalam skala industri.

Salah satu proses hidrolisis lignoselulosa menjadi gula sederhana adalah

dengan menggunakan asam. Hidrolisis dengan menggunakan asam ini lebih

menguntungkan yaitu tidak diperlukannya recovery asam serta tidak adanya

kehilangan asam dalam proses. Sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh

Putra et al. (2011), proses fermentasi dari limbah E. cotonii menjadi bioetanol

dilakukan pretreatment delignifikasi menggunakan NaOCl dan emersi menggunakan

(8)

8 campuran H

2

SO

4

untuk variasi yang berbeda. Proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae. Pada penelitian tersebut, NaOCl digunakan dengan variasi 0.25%, 0.50% dan 0.75%. H

2

SO

4

digunakan dengan konsentrasi 0.5% dan variasi S. cerevisiae dengan rasio 1: 0,0015; 1: 0,003; 1:

0,0045; 1: 0,006 dan 1: 0,0075 untuk setiap kilogram limbah E. cottonii dan yeast, dan dengan waktu fermentasi 3, 6 dan 9 hari. Sebagai pembanding adalah sampel dengan perlakuan sama, tapi tanpa H

2

SO

4

. Berdasarkan penelitian, hasil bioetanol adalah 4,4% per hari dengan produksi tertinggi etanol tertinggi adalah 14,0%.

Iryani et al. (2009) meneliti produksi etanol dari 10 g residu E. cottonii menggunakan H

2

SO

4

98% pada suhu 100

o

C. Dalam penelitian tersebut dihasilkan gula reduksi tertinggi sebesar 41,225 g/l. Selain itu, Meinita et al. (2011) melaporkan bahwa produksi etanol dari E. cottonii melalui proses hidrolisis 100 g/l bahan baku dengan 0,2% H

2

SO

4

pada suhu 130

o

C selama 15 menit menghasilkan gula reduksi tertinggi 30,5 g/l dan etanol 1,31 g/l.

Hidrolisis gel E. cottoni pernah dilakukan oleh Candra et al. (2011) selama dua jam menggunakan H2SO4 5% pada suhu 100oC menghasilkan15,8 mg/mL gula reduksi dan etanol 4,6%.

Penelitian senada juga dilakukan oleh Wiratmaja et al. (2011) dengan mencampurkan E. cottonii dengan ragi dengan perbandingan 1:0,006 menghasilkan 15,5% etanol.

Dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa E. cottonii layak dijadikan

bahan baku bioetanol. Dalam penelitian tersebut, bahan baku rumput laut yang

digunakan dikeringkan terlebih dahulu. Sebelum dihidrolisis, rumput laut kering

tersebut harus dihaluskan terlebih dahulu untuk memperluas permukaan dan

memudahkan kontak bahan dengan katalis. Proses tersebut membutuhkan energi dan

(9)

9 biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan upaya memperpendek proses produksi dengan melakukan pencucian dan perendaman rumput laut sebelum hidrolisis.

Parameter proses hidrolisis yang optimal dilihat dari tingginya kadar gula reduksi dan rendahnya kadar hidroksimetilfurfural (HMF) pada hidrolisat, serta rendahnya sisa hemiselulosa, selulosa, dan lignin pada residu proses hidrolisis.

Hidrolisat dari kondisi hidrolisis tersebut difermentasi dengan membandingkan inokulum ragi instan dan starter kultur murni S. Cerevisiae dengan parameter meningkatnya volume CO

2

dan menurunnya kadar gula reduksi yang dimanfaatkan oleh yeast.

C. Batasan Masalah

Dari permasalahan yang dihadapi perlu kiranya diberikan batasan – batasan, sehingga rumusan permasalahan dapat diselesaikan dengan cara yang lebih sederhana tanpa ada bias dan mengurangi keakuratan data hasil penelitian. Batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ragi (yeast) yang digunakan dalam proses fermentasi adalah jenis S.

cerevisiae komersial dengan merek dagang Fermipan yang diproduksi oleh

PT Sangra Ratu Boga dan kultur murni FNCC 3012 yang diperoleh dari Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

2. Senyawa kimia yang digunakan dalam proses hidrolisis E. cottonii adalah

asam encer H

2

SO

4

(Pro-Analysis).

(10)

10 3. Penetralan pH sebelum analisis dilakukan dengan penambahan NaOH

kedalam hidrolisat hingga mencapai pH pada kisaran 7.

4. Parameter proses hidrolisis yang optimal dilihat dari tingginya kadar gula reduksi dan rendahnya kadar hidroksimetilfurfural (HMF) pada hidrolisat, serta rendahnya sisa hemiselulosa, selulosa, dan lignin pada residu proses hidrolisis.

5. Parameter kinerja fermentasi terbaik diamati dari peningkatan volume CO

2

dan menurunnya kadar gula reduksi yang dimanfaatkan oleh yeast.

4. Penelitian ini berfokus pada proses hidrolisis dan tidak dilakukan analisis lebih lanjut mengenai kinetika kimia dan reaksi hasil fermentasi.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Mendapatkan variasi konsentrasi H

2

SO

4,

waktu, dan suhu hidrolisis yang paling optimal pada tahapan proses hidrolisis E. cottonii sebagai substrat fermentasi dalam produksi bioetanol.

2. Mengetahui perbandingan kinerja fermentasi bioetanol dengan menggunakan inokulum ragi instan dan inokulum yang berasal dari kultur murni S.

cerevisiae.

(11)

11 D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat seperti yang tercantum di bawah ini :

1. Diperoleh data-data signifikan yang dapat dijadikan acuan awal dalam hal penggunaan, pemanfaatan serta pengoptimalan pemakaian E. cottonii sebagai salah satu sumber bahan baku pembuatan etanol sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang digunakan selama ini.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai potensi E. cottonii sebagai salah satu sumber bahan baku alternatif pembuatan bioetanol sebagai bahan bakar ramah lingkungan di masa depan.

3. Manfaat jangka panjang dari penelitian ini akan mewujudkan kemandirian

energi dan ketahanan masyarakat di bidang energi.

Referensi

Dokumen terkait

Dikarenakan autoclave digunakan sebagai salah satu alat sterilisasi sehingga perlu untuk dilakukan kualifikasi autoclave untuk menjamin bahwa autoclave tersebut

Salah satu masalah yang sering muncul dimasyarakat adalah tindak pidana pembunuhan, tindak pidana pembunuhan adalah salah satu bentuk kejahatan dalam jiwa seseorang

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Amaliyah dan Wibawati pada tahun 2012 dengan judul “Pengelompokan Kabupaten/Kota Di Jawa Timur Berdasarkan Indikator Indonesia Sehat

July 12th, 2018 - Contoh Descriptive Text Animal Tentang Hewan Gajah Dalam Bahasa Inggris Beserta Artinya Contoh Teks Deskripsi Tentang Gajah Dalam Bahasa Inggris …. 3

N: Saya mengembangkan kurikulum SIT dalam K-13 dapat bentuk metode ceramah ataupun yang lainnya, saya sisipkan dalam materi pembelajaran, atau tayangan di TV LED dengan

(Issued by: Name of administration) Lembar Komunikasi mengenai persetujuan (atau penolakan atau penarikan persetujuan atau produk diskontinu secara permanen) dari sepeda motor

abnormal return sebelum dan sesudah Pilkada DKI Jakarta 2017 dan terdapat perbedaan trading volume activit y 6 hari sebelum dan 6 hari setelah Pilkada DKI

Dijelaskan pula dalam buku penelitian ini bahwa dinamika dan pertumbuhan Pesantren Jawa Pesisiran, Kajen menghadapi pusaran arus modernitas nampaknya menjadi satu