• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERBANDINGAN SOLAR - BIODIESEL (MINYAK JELANTAH) TERHADAP EMISI GAS BUANG PADA MOTOR DIESEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PERBANDINGAN SOLAR - BIODIESEL (MINYAK JELANTAH) TERHADAP EMISI GAS BUANG PADA MOTOR DIESEL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERBANDINGAN SOLAR - BIODIESEL (MINYAK JELANTAH) TERHADAP

EMISI GAS BUANG PADA MOTOR DIESEL

Syahril Machmud

Dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta

INTISARI

P

enelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh besarnya persentase campuran biodiesel pada solar, terhadap emisi gas buang pada berbagai variasi kecepatan putar mesin (rpm).

Dalam percobaan menggunakan Engine Test Bed, dimana mesin diletakkan pada suatu bantalan yang kemudian poros output mesin dihubungkan dengan sebuah poros dinamometer. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah Emisi Gas Buang, meliputi : CO, CO2, serta HC. Bahan bakar yang digunakan adalah solar murni, dan campuran biodiesel 5% (B5), 10% (B10), 15% (B15) dan 20% (B20).

Dari penelitian, diperoleh hasil bahwa Emisi Gas Buang CO terendah, terjadi pada bahan bakar B10, CO2 terendah juga pada bahan bakar B10, dan HC terendah pada bahan bakar B20.

Kata Kunci : biodiesel, emisi, persentase, solar.

I. PENDAHULUAN

Penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia, terutama solar, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, penggunaan solar, mencapai 27,535 juta kilo liter dan pada tahun 2005 juga, Indonesia telah menjadi net importir minyak solar (Kompas,18 Maret 2006), sehingga dapat kita simpulkan bahwa permasalahan energi, merupakan hal serius untuk segera ditangani saat ini. Salah satu cara penanganannya adalah dengan mengembangkan sumber energi alternatif, khususnya biodiesel sebagai instrumen penting dalam perencanaan dan pengembangan energi nasional.

Sumber energi alternatif biodiesel yang dimaksud adalah minyak goreng bekas (recyeled frying oil). Minyak goreng bekas merupakan salah satu bahan baku yang dapat dimanfaatkan untuk biodiesel karena memiliki sifat-sifat yang mirip dengan solar.

Pokok permasalahan pada penelitian ini adalah mengukur seberapa besar pengaruh pemakaian campuran bahan bakar solar - biodiesel terhadap hasil pembakaran/emisi gas buang (CO, CO2, HC) pada motor diesel dengan berbagai variasi putaran mesin

(2)

II. LANDASAN TEORI

1. Biodiesel diproduksi dari bahan pertanian, sehingga dapat diperbaharui.

A. Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester)

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan, lemak hewani serta minyak goreng bekas.

Semua tanaman yang mengandung minyak dapat digunakan untuk bahan baku biodiesel (tabel 2.2). Biodiesel yang dibuat dari kedelai biasa disebut soybeen methyl ester (SME), dari kanola atau rapeseed disebut rapseed methyl ester (RME) sedangkan dari jelantah biasa disebut recyeled frying oil methyl ester (RFOME).

Jika dibandingkan dengan bahan bakar solar, biodiesel memiliki beberapa keunggulan, yaitu:

2. Biodiesel memiliki nilai cetane yang tinggi, volatili rendah dan bebas sulfur.

3. Lebih ramah lingkungan karena tidak ada emisi SOx

4. Menurunkan keausan ruang piston, karena sifat pelumasan bahan bakar yang bagus (kemampuan untuk melumasi mesin dan sistem bahan bakar).

.

5. Aman dalam penyimpanan dan transportasi, karena tidak mengandung racun.

6. Memungkinkan diproduksi dalam skala kecil, sehingga dapat diproduksi di pedesaan.

7. Biodegradabel : lebih mudah terurai oleh microorganisme dibanding minyak mineral.

Kajian menunjukkan bahwa biodisel dapat didegradasi secara biologis empat kali lebih cepat dari pada bahan bakar diesel minyak bumi, yaitu mencapai 98 % dalam tiga minggu. Akibat biodegradasi secara biologis, emisi dan bau yang tidak sedap dapat dikurangi. Biodiesel tidak secara cepat meletup atau menyala dalam keadaan normal karena mempunyai titik bakar yang tinggi yaitu 150°C, hal ini berbeda dengan bahan bakar diesel minyak bumi yang titik bakarnya hanya 52°C. Energi yang ada dalam biodiesel 12 % lebih rendah daripada bahan bakar minyak bumi. Biodiesel mengandung energi sekitar 37 MJ/kg, sedangkan diesel mengandung energi sekitar 42 MJ/kg. Pengurangan energi tersebut diimbangi oleh peningkatan efisiensi pembakaran biodiesel sebesar 7 %.

Biodiesel dihasilkan melalui proses pemecahan molekul trigliserida yaitu dengan melepaskan tiga buah asam lemak terdiri “tulang punggung”nya.

Pemecahan itu dilakukan dengan metanol atau etanol dan dibantu katalisator.

Tiga buah asam lemak itu bereaksi dengan metanol atau etanol menjadi ester metil atau etil asam lemak yang sifat fisiknya mirip denga minyak solar.

Rangkaian “tulang punggung” ini akan menjadi gliserin. Terpecahnya trigliserida menjadi tiga ester asam lemak akan menurunkan sepertiga dari berat awal molekul. Selain itu, akan menurunkan viskositas 5-10 persen.

Proses selanjutnya adalah memisahkan biodiesel dari gliserin dan memurnikan produk tersebut.

Secara umum proses yang digunakan adalah transesterifikasi yang pada dasarnya mereaksikan minyak tersebut dengan metanol atau etanol yang ditambahkan katalis pada temperatur 60-80 0 C selama 1 jam (gambar 2.1).

(3)

Gambar 2.1 Diagram proses produksi biodiesel secara umum (Sumber: Biodiesel Fuel for Diesel Engine, Supranto, 2006)

B. Minyak Goreng Bekas (jelantah)

Pemanfaatan jelantah sebagai bahan baku biodiesel telah dilakukan dibeberapa negara, seperti Jepang, Jerman, Austria dan Hawaii.

Ketersediaan yang relatif banyak serta harga yang murah memungkinkan bahan ini dijadikan biodiesel. Ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa bersifat karsinogenik yang terjadi selama proses penggorengan. Senyawa karsinogenik ini berbahaya bagi kesehatan manusia.

Feedstocks PO / VO

Soap +

Glycerol Triglyceride separations

(4)

Gambar 2.2 Minyak jelantah sebelum dan sesudah menjadi biodiesel (Sumber: Menghasilkan biodiesel murah, Rama Prihandana, hal.30)

C. Emisi Gas Buang

Emisi gas buang kendaraan bermotor telah menjadi sumber utama pencemaran udara terutama di daerah perkotaan. Apalagi dengan bertambahnya unit kendaraan bermotor serta buruknya mutu bahan bakar.

Walaupun gas buang kendaraan bermotor terdiri dari senyawa yang tidak berbahaya seperti nitrogen, karbon dioksida dan uap air, tetapi didalamnya terkandung juga senyawa lain dengan jumlah yang cukup besar yang dapat membahayakan kesehatan maupun lingkungan. Bahan pencemar yang terdapat didalam gas buang kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO) , berbagai senyawa hidrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx). Bahan bakar tertentu seperti hidrokarbon dilepaskan ke udara karena adanya penguapan dari sistem bahan bakar.

Senyawa-senyawa di dalam gas buang yang dinyatakan dapat membahayakan kesehatan adalah berbagai oksida sulfur, oksida nitrogen, dan oksida karbon, hidrokarbon, dan partikulat. Pembentukan gas buang tersebut terjadi selama pembakaran bahan bakar solar di dalam mesin.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan menentukan perbandingan campuran dan persiapan alat-alat uji (engine test bed, gas analyzer). Setelah bahan dan alat uji memenuhi syarat, dilanjutkan dengan pengujian untuk mengetahui besarnya emisi gas buang yang terjadi. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1

(5)

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian (Flow Chart)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.1 Faktor kelebihan udara (excess air) PUTARAN

(RPM)

Lamda (λ)

SOLAR B5 B10 B15 B20

1650 0,945 1,305 1,339 1,316 1,320 1950 0,930 1,221 1,252 1,244 1,257 2300 0,931 1,197 1,218 1,224 1,242 2650 0,972 1,121 1,222 1,209 1,237 3000 0,935 1,301 1,338 1,321 1,333

Mulai

Menentukan perbandingan campuran bahan bakar solar -

biodiesel

Persiapan alat uji

Syarat terpenuhi:

• Bahan bakar

• Mesin

• Alat ukur

Proses pengujian dilakukan

Memasukkan data pengujian

Melakukan pengolahan data hasil pengujian

Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

TIDAK

YA

(6)

PUTARAN RPM

EMISI CO (%)

SOLAR B5 B10 B15 B20

1650 5,475 0,017 0,006 0,017 0,010 1950 5,051 0,048 0,010 0,022 0,013 2300 5,046 0,055 0,020 0,036 0,028 2650 2,490 0,059 0,026 0,038 0,036 3000 3,500 0,063 0,027 0,041 0,045

HUBUNGAN CO DAN PUTARAN

0 1 2 3 4 5 6

1600 1950 2300 2650 3000

PUTARAN (RPM)

EMISI CO (%)

SOLAR B5 B10 B15 B20

Poly. (SOLAR) Poly. (B5) Poly. (B10) Poly. (B15) Poly. (B20)

Gambar 4.1 Grafik hubungan emisi CO dan putaran

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa emisi CO bahan bakar solar, berada jauh di atas emisi CO campuran biodiesel yaitu mencapai 5,475 %.

Emisi CO pada bahan bakar solar cenderung menurun dengan bertambahnya putaran mesin. Perbedaan yang jauh antara emisi CO pada solar dan campuran biodiesel disebabkan karena pada bahan bakar solar terjadi campuran kaya (excess air (λ) < 1), sedangkan pada bahan bakar campuran biodiesel terjadi campuran kurus (excess air (λ) > 1). Untuk menurunkan emisi CO, maka campuran hendaknya dibuat kurus.

HUBUNGAN CO DAN PUTARAN

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07

1600 1950 2300 2650 3000

PUTARAN (RPM )

CO (%)

B5 B10 B15 B20 Poly. (B5) Poly. (B10) Poly. (B15) Poly. (B20)

Gambar 4.2 Grafik hubungan emisi CO campuran biodiesel dan putaran

(7)

Pada gambar 4.2 terlihat bahwa semua jenis campuran biodiesel mengalami kenaikan dengan bertambahnya putaran mesin. Bahan bakar B5 berada pada posisi teratas dibandingkan dengan campuran biodiesel yang lain, mulai dari putaran 1650 rpm hingga 3000 rpm. Bahan bakar B15 dan B10 mempunyai kecenderungan yang sama apabila dilihat dari bentuk garis (line) pada grafik. Namun B10 berada pada posisi terendah, yang artinya kandungan emisi CO bahan bakar ini adalah paling sedikit dibandingkan bahan bakar yang lain. Sedangkan pada B20 cenderung naik dengan persentase kenaikan yang lebih tinggi daripada B15 dan B10. Hal ini terlihat dengan terbentuknya garis lurus yang naik seiring bertambahnya putaran.

Kenaikan CO dapat disebabkan karena pada suhu yang tinggi terjadi reaksi antara karbon dioksida (CO2) dengan karbon (C) yang menghasilkan gas CO. Pada suhu yang tinggi CO2 dapat terurai kembali menjadi CO dan oksigen. Reaksi pembentukan CO lebih cepat daripada pembentukan CO2, sehingga pada hasil akhir pembakaran masih mungkin terdapat gas CO.

Semakin tinggi suhu hasil pembakaran, maka jumlah gas CO2 yang terdisosiasi menjadi CO dan O semakin banyak. Oleh karena itu naiknya CO dengan bertambahnya putaran untuk bahan bakar campuran biodisel dapat disebabkan karena suhu yang tinggi. Karena suhu yang tinggi merupakan pemicu terbentuknya CO.

Tabel 4.3 Emisi CO2

PUTARAN RPM

pada solar dan campuran biodisel EMISI CO2 (%)

SOLAR B5 B10 B15 B20

1650 20 11,54 11,32 11,45 11,34 1950 20 13,31 11,97 12,13 11,95 2300 20 13,55 12,37 12,41 12,47 2650 18,86 13,35 12,33 12,53 12,4 3000 15 12,3 11,18 11,41 11,36

HUBUNGAN CO2 DAN PUTARAN

10 12 14 16 18 20 22

1600 1950 2300 2650 3000

PUTARAN (RPM)

CO2 (%)

SOLAR B5 B10 B15 B20

Poly. (SOLAR) Poly. (B5) Poly. (B10) Poly. (B15) Poly. (B20)

Gambar 4.3 Grafik hubungan emisi CO2

Dari grafik di atas terlihat bahwa bahan bakar solar berada pada posisi teratas, artinya energi yang terbentuk lebih besar jika dibandingkan dengan campuran biodiesel. Pada bahan bakar solar cenderung mengalami

dan putaran

(8)

pembakaran yang menurun. Sedangkan pada bahan bakar campuran biodiesel memiliki kecenderungan naik pada putaran 2300 rpm, namun kemudian turun pada putaran 3000 rpm. Penurunan ini disebabkan karena udara yang masuk ke dalam ruang bakar tidak dapat bereaksi secara sempurna dengan bahan bakar atau dapat juga disebabkan karena CO2

terdisosiasi menjadi CO dan oksigen akibat suhu yang tinggi. Persentase CO2

pada bahan bakar B5 lebih tinggi daripada campuran biodiesel lainnya.

Sedangkan bahan bakar B10, B15 dan B20 memiliki karakter yang hampir sama. Hal ini terlihat pada grafik bahwa garis dari masing-masing jenis bahan bakar yang saling berhimpitan. Dari analisis tersebut, maka dapat dikatakan bahwa CO2

PUTARAN RPM

pada bahan bakar campuran biodiesel tidak terjadi perbedaan yang signifikan, tetapi terjadi perbedaan yang cukup besar jika dibandingkan dengan solar.

Tabel 4.4 Emisi HC pada solar dan campuran biodiesel EMISI HC (PPM)

SOLAR B5 B10 B15 B20

1650 4166 19 23 3 8

1950 4086 55 22 8 8

2300 3896 52 21 7 0

2650 3516 56 17 5 0

3000 3653 56 21 7 1

HUBUNGAN EMISI HC DAN PUTARAN

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500

1600 1950 2300 2650 3000

PUTARAN (RPM)

EMISI HC (PPM)

SOLAR B5 B10 B15 B20

Poly. (SOLAR) Poly. (B5) Poly. (B10) Poly. (B15) Poly. (B20)

Gambar 4.4 Grafik hubungan emisi HC dan putaran

Pada gambar 4.9 dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang sangat jauh antara emisi HC pada bahan bakar solar dan campuran biodiesel.

Emisi HC bahan bakar solar berada di atas emisi campuran biodiesel hingga 99,9%. Hal ini terjadi karena pada pembakaran dengan bahan bakar solar, terjadi campuran kaya atau kekurangan oksigen. Sesuai dengan hasil pengujian, bahwa λ yang merupakan faktor kelebihan udara pada bahan bakar solar kurang dari 1 (tabel 4.4). Sehingga menyebabkan bahan bakar tidak terbakar secara sempurna. Berbeda halnya dengan bahan bakar campuran biodiesel, pada grafik terlihat berada jauh di bawah emisi solar. Hal ini disebabkan karena pada bahan bakar campuran biodiesel ini terjadi

(9)

excess air (λ) yang lebih dari 1, sehingga hidrokarbon yang terbentuk lebih sedikit daripada solar.

HUBUNGAN HC DAN PUTARAN

0 10 20 30 40 50 60 70

1600 1950 2300 2650 3000

PUTARAN (RPM)

EMISI HC (PPM)

B5 B10 B15 B20 Poly. (B5) Poly. (B10) Poly. (B15) Poly. (B20)

Gambar 4.5 Grafik hubungan emisi HC campuran biodiesel dan putaran

Grafik di atas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kecenderungan pembentukan emisi HC pada masing-masing persentase campuran. Pada bahan bakar B5 mulai dari putaran 1650 hingga 3000 rpm berada di atas emisi HC campuran yang lain, serta memiliki kecenderungan meningkat dengan bertambahnya putaran. Pada posisi dibawahnya adalah B10 yang memiliki kecenderungan turun dengan bertambahnya putaran mesin.

Sedangkan pada bahan bakar B15 tidak terlihat terjadi perbedaan yang signifikan dengan bertambahnya putaran mesin. Penurunan terbesar di antara campuran biodiesel terjadi pada B20, yang semakin turun dengan bertambahnya putaran mesin. Selain yang disebutkan di atas, emisi HC juga dapat terbentuk karena temperatur yang rendah pada daerah dinding silinder, sehingga pada temperatur tersebut tidak mampu melakukan proses pembakaran.

V. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Emisi karbon monoksida (CO) bahan bakar solar berada jauh di atas emisi CO campuran biodiesel. Perbedaan ini mencapai 99,6 % di atas campuran biodiesel.

2. Emisi karbon dioksida (CO2

3. Emisi hidrokarbon (HC) bahan bakar solar berada jauh di atas campuran biodiesel, hingga mencapai 99, 9%.

) bahan bakar solar berada pada posisi di atas campuran biodiesel dan cenderung mengalami penurunan untuk semua jenis bahan bakar pada putaran 3000 rpm.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Nur Alam Syah, 2006, Biodiesel Jarak Pagar, Agromedia Pustaka, Jakarta.

Arismunandar W., Koichi Tsuda, 1997, Motor Diesel Putaran Tinggi, Pradnya Paramita, Jakarta.

Arismunandar W., 1988, Motor Bakar Torak, ITB, Bandung.

Hanum C.S., 2001, Biodiesel Jelantah dan Pelumas Sawit, www.kompas.com Manut, 2006, Beda Performa Harga Tetap Sama, Majalah Otomotif, Jakarta.

Prihandana R., Hendroko R., Nuramin M., 2006, Menghasilkan Biodiesel Murah, Agromedia Pustaka, Jakarta.

Purwoko Chamdan, 2005, BBM Langka, Kenapa Nggak Coba Jelantah?, Jakarta, www.bisnis.com.

Saputra H., 2001, Biodiesel, mengapa tidak?, www.kompas.com

Shintawati A., 2006, Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia, www.bni.co.id

Sidik Budoyo, 2006, Teknologi Proses Pencampuran Biodiesel dan Minyak Solar di Indonesia, www.geocities.com

Soerawijaya T, 2006, Potensi Indonesia Menghasilkan Biodiesel, www.lipi.com

Soerawijaya, 2005, Minyak Lemak atau Biodiesel Ester Metil?, www.pikiranrakyat.com

Soerawijaya, 2005, Energi Alternatif- Biodiesel (bagian I), www.lipi.com Sudrajad A, 2005, Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan, www.ppi-

jepang.org

Sues, A.A.A., 2002, Biodiesel dari Minyak Jelantah, www.kompas.com

Tri Mulyantara, Koes Sulistiadji, 2006, Biodiesel, Bahan Bakar Campuran Ramah Lingkungan, Tangerang, www.pustaka-deptan.go.id

Wisnu Arya Wardana, 2001, Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi, Yogyakarta.

Yuli Setyo Indartono, 2006, Mengenal Biodiesel: Karakteristik, Produksi, Hingga Performansi Mesin, www.beritaiptek.com

Gambar

Gambar 2.1  Diagram proses produksi biodiesel secara umum  (Sumber: Biodiesel Fuel for Diesel Engine, Supranto, 2006)
Gambar 2.2 Minyak jelantah sebelum dan sesudah menjadi biodiesel   (Sumber: Menghasilkan biodiesel murah, Rama Prihandana, hal.30)
Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian (Flow Chart)
Gambar 4.1 Grafik hubungan emisi CO dan putaran
+4

Referensi

Dokumen terkait

Ditinjau dari standar emisi yang digunakan, dapat dikatakan bahwa penggunaan biodiesel sebagai campuran di dalam bahan bakar mesin masih layak dan aman untuk digunakan karena

yang terjadi. Artinya, energi yang dibakar semakin banyak. Sehingga dari grafik diatas dapat diketahui dengan penggunaan bahan bakar blue gaz dan gas elpiji proses

Perbandingan penggunaan dua bahan bakar yang berbeda pada motor diesel dengan pengujian performa pada beban penuh disampaikan dalam bentuk grafik perbandingan putaran (rpm)

Secara umum tidak terdapat perubahan yang signifikan pada prestasi motor bakar diesel yang menggunakan campuran bahan bakar biodiesel minyak jarak dan solar jika dibandingkan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh campuran biodiesel gracilaria verrucosa pada bahan bakar solar terhadap unjuk kerja dan emisi gas

Rekapitulasi efek konsumsi bahan bahan bakar spesifik minyak solar MS-1 rata-rata, MS-2 rata-rata dibandingkan dengan konsumsi bahan bahan bakar spesifik minyak solar referensi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemanasan bahan bakar biodiesel dengan gas buang terhadap kandungan gas CO, O 2 dan CO 2 mesin diesel, pengaruh

Penelitian ini menggunakan bahan bakar biodiesel dengan bahan baku minyak kedelai untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja mesin