BAB IV
SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR
4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum
Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume tertentu pada kerak bumi dimana panas dipindahkan dari sebuah sumber panas ke pembuangan panas pada suatu permukaan. Sedangkan menurut Ellis dan Mahon (1977), sistem panas bumi adalah istilah umum yang digunakan untuk membahas keterkaitan atau interaksi antara sistem batuan-air yang memiliki temperatur air yang tinggi.
Sistem panas bumi memiliki tiga elemen penting yaitu reservoir, fluida, dan sumber panas (Goff dan Janik, 2000). Reservoir tersusun atas batuan yang bersifat permeabel. Reservoir tersebut dapat merupakan batuan beku, batuan sedimen maupun batuan metamorf. Sedangkan fluida panas bumi dapat berupa air maupun uap. Sumber panas pada sistem panas bumi merupakan fungsi dari aspek geologi dan tatanan tektonik. Jika yang memicu aliran panas adalah magma, maka sistem panas bumi ini disebut sebagai sistem volkanogenik, sedangkan sistem yang dipicu oleh aktivitas tektonik berupa pengangkatan batuan dasar yang panas, perlipatan pada zona permeabel atau sesar dikenal dengan sistem non volkanogenik (Goff dan Janik, 2000).
Sistem panas bumi yang dipicu oleh aktivitas gunung api berasosiasi dengan vulkanisme berumur Kuarter dan intrusi magmatik. Sistem panas bumi yang berkaitan dengan aktivitas gunung api hadir sepanjang batas lempeng dan hot spot. Sistem panas bumi ini memiliki temperatur hingga 3700C dengan kedalaman reservoir pada umumnya 1,5 km (Hochstein dan Browne, 2000). Sedangkan sistem panas bumi yang tidak berhubungan dengan sistem gunung api memiliki temperatur 50-2500C dengan kedalaman reservoir ≥ 1,5 km.
Temperatur reservoir dari berbagai sistem panas bumi tersebut dapat diketahui dengan geotermometer air dan mineral. Geotermometer air dapat diterapkan pada manifestasi berupa mata air alami maupun pemboran sumur.
Geotermometer air dapat dihitung berdasarkan solubilitas mineral (silika) dan reaksi pertukaran ion (Na-K, Na-K-Ca) (Nicholson, 1993).
4.2 Manifestasi Air Hangat Daerah Penelitian
Pengamatan mata air hangat dilakukan untuk menempatkan manifestasi permukaan dalam dimensi ruang dan waktu. Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan manifestasi, perekaman data, pengambilan sampel air dan batuan untuk analisis kimia air dan petrografi.
Dari hasil pengamatan lapangan sedikitnya terdapat 3 manifestasi panasbumi yang diidentifikasikan di daerah penelitian, yaitu Cipanas-1 (Foto 4.1), Cipanas-2 (Foto 4.2 A dan 4.2 C), dan Cileungsing (Foto 4.2 B dan 4.2 D). Selain mata air panas, di daerah penelitian juga ditemukan alterasi berupa kaolinit (Gambar 4.1).
Foto 4.1 Rembesan air panas di tepi Sungai Cipanas (foto diambil di lokasi G.14.4 menghadap tenggara)
Gambar 4.1. Peta manifestasi permukaan
Cipanas-1 Cipanas-2 Cileungsing
40
4.2.1 Tahapan Pengambilan Sampel dan Analisis Air Panas
Analisis komposisi kimia dan tipe air panas ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap pengambilan sampel, analisis kimia, pengolahan data dan penarikan kesimpulan. Tahap pengambilan sampel dilakukan pada tiga kelompok mata air, yaitu kelompok Cipanas-1 yang merupakan rembesan di sepanjang sungai Cipanas, kelompok Cipanas-2 yang merupakan mata air panas diluar Sungai Cipanas, dan Cileungsing yang merupakan air panas di daerah Cileungsing, sebelah utara Cipanas.
Analisis kimia yang dilakukan pada sampel air hangat adalah untuk mengetahui kandungan kation utama, seperti Ca, Na, K, Mg dan anion utama seperti Cl, HCO3, dan SO4 serta senyawa oksida. Hasil analisis kimia selanjutnya diolah untuk mengetahui komposisi air panas, tipe dan karakteristik fluida reservoir panas bumi serta hubungan antara sistem panas bumi dengan pola alterasi yang terjadi di sekitarnya. Selain itu juga dilakukan pengukuran daya hantar listrik dan kesadahan (CaCO3) serta tingkat keasaman larutan di laboratorium. Hasil analisis kimia tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1
A B
C D
Foto 4.2 A)Kolam air hangat Cipanas-2. (foto diambil di kolam Cipanas-2)
B) Kolam air hangat Cileungsing (foto diambil di kolam Cileungsing)
C) Mata air yang hadir di dalam kolam air hangat Cipanas-2 (foto diambil di kolam Cipanas-2)
D) Mata air yang hadir di dalam kolam air hangat Cileungsing (foto diambil di kolam Cileungsing)
Tabel 4. 1. Tabel komposisi kimia dan karakteristik air panas
4.2.2 Geokimia Air Panas
4.2.2.1 Karakteristik Umum dan Tipe Air Panas
Secara umum, berdasarkan pengukuran di lapangan, air panas di daerah penelitian mempunyai temperatur yang hangat, yaitu 44 hingga 50°C, dengan No Parameter Analisis Satuan Hasil Analisis
Cipanas-1 Cipanas-2 Cileungsing
1 Daya Hantar Listrik uS/cm 1747 1536 3340
2 pH (laboratorium) 8,30 8,27 7,97
3 pH pengukuran 6,2 5,9 6,2
4 Temperatur pengukuran
0C 48 49,3 44
5 Besi (Fe) mg/L 1,54 0,85 1,24
6 Boron (B) mg/L 1,40 0,39 1,12
7 Fluorida (F) mg/L 1,09 0,99 1,02
8 Kesadahan (CaCO3) mg/L 192,60 210,60 277,80
9 Kalsium (Ca) mg/L 4,03 8,06 11,28
10 Magnesium (Mg) mg/L 44,35 46,29 60,67
11 Klorida (Cl) mg/L 259,60 254,60 635,30
12 Mangan (Mn) mg/L < 0,05 0,12 < 0,05
13 Natrium (Na) mg/L 306 221,30 455
14 Kalium (K) mg/L 25,30 22,60 35,40
15 Ammonium (NH3) mg/L 0,02 0,01 1,66
16 Sulfat (SO4) mg/L 1,12 < 0,50 2,22
17 Bikarbonat (HCO3) mg/L 461,40 444,50 519,50
18 Karbonat (CO3) mg/L 47,52 30,87 23,76
19 Silika (SiO2) mg/L 43,31 53,54 52,72
20 Arsen (As) mg/L 0,0046 0,0037 0,0027
21 Lithium (Li) mg/L 0,28 0,22 0,75
pH sekitar netral, yaitu 6-8 (Tabel 4.1). Sedangkan berdasarkan pengukuran laboratorium, derajat keasaman air hangat ini berkisar antara netral hingga mendekati basa, yaitu 7,9 hingga 8,3. Hasil analisa kimia pada Tabel 4.1 menunjukkan, bahwa nilai kesadahan (CaCO3) air panas berkisar antara 190- 280 mg/L.
Secara umum, tipe air panas terdiri atas air klorida (Cl), sulfat (SO4), dan bikarbonat (HCO3). Tipe air panas ditentukan berdasarkan kandungan relatif anion Cl, SO4, dan HCO3. Tipe air klorida merupakan fluida panas bumi yang berasal dari reservoir. Air klorida didominasi oleh anion klorida dengan konsentrasi yang dapat mencapai 10.000 mg/kg (Nicholson, 1993).
Manifestasi air klorida umumnya berupa kolam berwarna jernih atau kehijauan atau endapan (sinter) silika. Tipe air sulfat umumnya ditemukan pada daerah dengan muka air tanah yang dekat dengan permukaan (< ~100 m) (Nicholson, 1993). Air sulfat terbentuk karena adanya oksidasi H2S menjadi H2SO4. Manifestasi di permukaan umumnya berupa kolam lumpur.
Sedangkan air bikarbonat merupakan air dengan ion HCO3 yang dominan.
Air ini menghasilkan endapan travertin di permukaan jika mengandung kadar Ca yang tinggi.
Berdasarkan anion Cl, SO4, dan HCO3, tipe air panas di daerah penelitian merupakan air klorida-bikarbonat dan bikarbonat (Gambar 4.2). Sampel Cipanas-1 merupakan sampel air panas yang berasal dari rembesan di sepanjang Sungai Cipanas. Rembesan air panas ini keluar melalui rekahan pada breksi vulkanik. Air panas Cipanas-1 didominasi oleh anion HCO3
(bikarbonat). Seperti halnya Cipanas-1, air panas Cipanas-2 digolongkan ke dalam air bikarbonat (HCO3) yang didominasi oleh anion HCO3.
Berbeda halnya dengan Cipanas-1 dan Cipanas-2, Cileungsing memiliki kandungan Cl lebih tinggi, yaitu 635,30 mg/L dibandingkan dengan HCO3
(519,50 mg/L) dan SO4(2,22 mg/L). Dengan demikian, sampel Cileungsing digolongkan sebagai air klorida-bikarbonat, dengan anion utama adalah Cl.
Air panas Cileungsing diduga berasal langsung dari reservoir panasbumi di bawah permukaan. Meskipun air panas tersebut dipengaruhi oleh ion HCO3
(bikarbonat) dan sulfat (SO4), derajat keasaman air panas di daerah penelitian menunjukkan pH sekitar netral (Tabel 4.1)
4.2.2.2 Reservoir dan Asal Air Panas
Kandungan relatif Cl, Li, dan B pada Gambar 4.3 menunjukkan, bahwa air panas di daerah penelitian mengandung Cl yang relatif tinggi dibanding unsur Li dan B. Gambar 4.3 juga menunjukkan, bahwa rasio B/Cl air panas di daerah penelitian mempunyai nilai sangat rendah, yaitu kurang dari 0,02. Hal ini menunjukkan, bahwa air panas di daerah penelitian berasal dari satu reservoir dan dipengaruhi oleh aktivitas vulkanomagmatik.
Umumnya kandungan Mg pada fluida bertemperatur tinggi berkisar 0,01- 0,1 ppm (Nicholson, 1993). Peningkatan kandungan Mg pada fluida panas dapat diakibatkan adanya proses pencampuran fluida panas dengan air tanah yang memiliki kadar Mg tinggi, yaitu sekitar 1-40 ppm (Davis dan DeWiest, 1966). Peningkatan konsentrasi Mg ini pun terjadi pada sampel air hangat di
Gambar 4. 2. Rasio Cl, SO4, HCO3menunjukkan tipe air panas
daerah penelitian yaitu sebesar 44-60 ppm. Berdasarkan Gambar 4.4 yang menunjukkan kadar Mg yang lebih tinggi dibandingkan kadar K dan Na, maka dapat disimpulkan bahwa fluida panas di daerah penelitian telah mengalami proses pencampuran dengan air tanah di dekat permukaan.
Pengaruh air tanah dan pencampuran di permukaan sebenarnya juga terlihat dari tipe air panas yang berupa air HCO3.
Gambar 4. 3. Perbandingan B, Li dan Cl yang menunjukkan bahwa air hangat di daerah penelitian berhubungan dengan aktivitas vulkanomagmatik
Gambar 4. 4. Perbandingan kandungan relatif Na - K - Mg mata air hangat di daerah penelitian yang menunjukkan bahwa air hangat tersebut merupakan
immature water (Giggenbach, 1988 dalam Nicholson, 1993)
4.2.2.3 Pola Aliran Air Panas
Apabila dilihat dari tipe air panas yang hadir di daerah penelitian, ketiga manifestasi air hangat tersebut berada pada zona outflow. Tipe air bikarbonat yang hadir tersebut menunjukkan bahwa fluida reservoir telah mengalami kondensasi dan pencampuran dengan air permukaan. Hal tersebut mengindikasikan pula bahwa fluida panas tersebut mengalami aliran lateral.
Gambar 4.3 menunjukkan, bahwa air panas di daerah penelitian mempunyai nilai Cl tinggi dibandingkan B dan Li. Hal ini menandakan, bahwa air panas di daerah penelitian dipengaruhi oleh aktivitas vulkanomagmatik. Perbandingan Na/K dan K/Mg yang ditunjukkan dengan Gambar 4.4 semakin memperkuat bahwa ketiga mata air berada pada zona outflow. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di daerah ini umumnya terjadi reaksi antara air panas, air tanah, dan batuan sekitar di dekat permukaan.
Berdasarkan Hochstein dan Browne (2000), manifestasi yang hadir pada sistem panas bumi yang bersifat volkanogenik sangat dipengaruhi oleh relief dan topografi dari gunung api (Gambar 4.5). Pada bagian puncak, manifestasi yang hadir dapat berupa fumarol dan solfatara yang mengandung uap dan gas yang tidak terkondensasi. Selain itu, manifestasi yang mungkin hadir adalah mata air sulfat yang merupakan hasil kondensasi uap yang bercampur dengan air meteorik dangkal sehingga H2S teroksidasi menjadi H2SO4. Air klorida berada lebih dalam dibanding air sulfat (Hochstein dan Browne, 2000).
Karena topografi dan gradien hidrologi, mata air klorida biasanya ditemukan jauh dari sumber panas dan reservoir utama hingga beberapa kilo meter jauhnya. Jadi, pada sistem panas bumi dengan relief terjal berupa pegunungan, air klorida akan ditemukan pada zona outflow bukan pada zona upflow seperti pada sistem panas bumi relief datar.
Model konseptual yang menggambarkan kemunculan manifestasi permukaan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam mengetahui Sistem Panas Bumi Gunung Tampomas. Manifestasi permukaan hadir di kaki Gunung Tampomas yang berupa mata air panas bikarbonat dan klorida- bikarbonat dan berada pada outflow. Mengacu pada model konseptual, air
klorida yang berasal langsung dari reservoir kemungkinan berada di kaki Gunung Tampomas yang elevasinya lebih rendah dan lebih jauh dari puncak Gunung Tampomas. Jadi, untuk mendapat sampel air klorida yang langsung berasal dari reservoir dan tidak mengalami pencampuran dengan air tanah, pengambilan sampel harus dilakukan di daerah dengan elevasi lebih rendah menjauhi puncak Gunung Tampomas. Lokasi manifestasi berupa mata air hangat klorida tersebut mungkin akan berjarak beberapa kilometer dari manifestasi air hangat yang diteliti saat ini.
4.2.2.4 Isotop Air Panas
Pada studi ini hanya dilihat kandungan isotop stabil. Isotop stabil yang umum digunakan pada studi panas bumi adalah isotop hidrogen (1H, 2H atau
Gambar 4. 5. Model konseptual sistem panas bumi yang dipicu oleh stratovolkano andesitik. Temperatur reservoir umumnya ≥ 200 0C. Kedalaman reservoir ≤ 1,5 km dengan kedalaman intrusi berkisar 2-10 km. Dimensi lateral dan outflow minimal 20
km. (Hochstein dan Browne, 2000)
D-deutrium), karbon (12C, 13C), oksigen (16O, 18O), dan sulfur (32S, 34S).
Isotop-isotop tersebut digunakan untuk mengetahui proses atau asal air atau gas.
Kandungan D pada fluida panas bumi sama seperti D yang terkandung pada air meteorik, sedangkan nilai 18O pada fluida panas bumi akan bernilai lebih positif daripada air meteorik (Craig dkk., 1956; Craig, 1963 dalam Nicholson, 1993). Perubahan nilai 18O tersebut dapat disebabkan karena adanya reaksi pertukaran dengan isotop yang lebih berat. Beberapa nilai isotop menunjukkan bahwa kontribusi fluida magmatik pada fluida panas bumi memang sangat kecil (5-10% dari total fluida) sedangkan sisanya berasal dari air meteorik. Adanya pengaruh fluida magmatik akan menunjukkan nilai D fluida geothermal tidak akan sama dengan D air meteorik (Nicholson, 1993).
Isotop stabil yang digunakan untuk sampel air hangat di daerah penelitian adalah D-deutrium dan 18O. Kedua nilai isotop ini digunakan untuk mengetahui bahwa fluida panas pada sistem panas bumi di daerah penelitian berasal dari air meteorik atau fluida magmatik.
Berdasarkan data nilai isotop deutrium dan Oksigen-18 (Tabel 4.2), ketiga mata air panas berada di sekitar garis biru yang merupakan garis air meteorik global (Global Mateoric Water Line) (Gambar 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa recharge Sistem Panas Bumi Gunung Tampomas berasal dari air meteorik.
4.2.3 Geotermometer
Geotermometer merupakan metode untuk menghitung temperatur fluida dalam reservoir. Geotermometer yang digunakan disesuaikan dengan sifat dari sistem panas bumi tersebut. Temperatur fluida reservoir memiliki toleransi kesalahan hingga 10 0C. Berdasarkan temperatur, sistem geotermal dapat dibagi menjadi tiga yaitu sistem panas bumi temperatur tinggi (T ≥ 2500C), sistem panas bumi temperatur sedang (T=125-2500C), dan sistem panas bumi bertemperatur rendah (T ≤ 1250C).
Tabel 4.2. Nilai isotop deutrium dan oksigen-18 mata air hangat
No Lokasi Deutrium Oksigen-18 Unit Metode
1 Cipanas-1 -28,87 ± 0,8 -5,23 ± 0,4 o/oo Vs SMOW Mass Spektrometer 2 Cipanas-2 -27,37 ± 0,5 -5,11 ± 0,6 o/oo Vs SMOW Mass Spektrometer 3 Cileungsing -28,57 ± 0,8 -4,94 ± 0,1 o/oo Vs SMOW Mass Spektrometer
Gambar 4. 6. Grafik nilai isotop mata air Cipanas 1, Cipanas-2, dan Cileungsing yang menunjukkan bahwa recharge Sistem Panas Bumi Gunung Tampomas berasal
dari air meteorik
Sistem panas bumi yang berhubungan dengan aktivitas gunung api pada umumnya merupakan sistem panas bumi bertemperatur tinggi. Temperatur reservoir pada sistem ini dapat mencapai ≥ 2000C (Hochstein dan Browne, 2000). Dengan demikian, geotermometer yang baik digunakan untuk menghitung temperatur fluida reservoir pada Sistem Panas Bumi Gunung Tampomas adalah geotermometer K-Na dan silika karena kedua geotermometer ini valid untuk digunakan dalam perhitungan sistem panas bumi yang memiliki temperatur sekitar 2500C (Nicholson, 1993). Rumus untuk perhitungan geotermometer K-Na adalah :
toC = 1217/ [log (Na/K) + 1.483] – 273 (Fournier, 1979 dalam Nicholson, 1993) toC = 1390/ [log (Na/K) + 1.750] – 273 (Giggenbach, 1988 dalam Nicholson,
1993)
Penggunaan geotermometer K-Na memiliki beberapa batasan, yaitu:
1. Digunakan untuk air yang diperkirakan memiliki temperatur reservoir
>180 0C.
2. Digunakan jika air mengandung Ca rendah berdasarkan perhitungan (log (Ca1/2/ Na) + 2,06) menghasilkan nilai negatif.
3. Digunakan untuk air klorida dengan pH mendekati netral.
Geotermometer silika yang digunakan adalah geotermometer kuarsa adiabatik dan kuarsa konduktif. Rumus untuk kedua geotermometer ini adalah:
Kuarsa Adiabatik (Maximum Steam Loss):
toC = 1522/ (5,75-log SiO2) – 273 (Nicholson, 1993) Kuarsa Konduktif (No Steam Loss):
toC = 1309/ (5,19-log SiO2) – 273 (Nicholson, 1993)
Penggunaan geotermometer kuarsa baik digunakan untuk kondisi reservoir yang kemungkinan bertemperatur > 1500C contohnya sistem panas bumi yang dipicu oleh aktivitas magmatik. Penggunaan geotermometer ini memiliki beberapa batasan, yaitu:
1. Geotermmometer kuarsa adiabatik baik digunakan untuk sumur dan mata air panas boiling atau kolam dengan debit hingga ≥ 2 kg/detik khususnya
yang memiliki sinter silika. Temperatur maksimum yang dihitung oleh geotermometer ini untuk manifestasi berupa mata air adalah ~ 2100C.
2. Geotermometer kuarsa konduktif baik digunakan untuk mata air dengan temperatur sub-boiling.
Tabel 4. 3. Temperatur reservoir berdasarkan perhitungan berbagai geotermometer Geotermometer Cileungsing
TNa-K(Fournier,1979) (oC) 200 TNa-K (Giggenbach, 1988) (oC) 210 TKuarsa Konduktif (oC) 105
Air panas yang bisa digunakan untuk perhitungan geotermometer adalah tipe air klorida (Cl), karena air klorida memiliki pH sekitar netral yang paling baik untuk menunjukkan kondisi reservoir. Pada daerah penelitian, air panas dengan anion Cl yang lebih dominan dibanding anion HCO3 dan SO4 hanyalah air hangat Cileungsing, sehingga perhitungan geotermometer hanya berlaku pada air tersebut.
Dari penghitungan geotermometer-geotermometer tersebut didapat temperatur reservoir sebesar 200-2100C untuk geotermometer K-Na dan 1050C untuk geotermometer kuarsa konduktif. Berdasarkan syarat-syarat geotermometer K-Na, dengan (log (Ca1/2/Na) + 2,06) = -1,9, dan geotermometer silika maka geotermometer yang paling baik digunakan adalah geotermometer K-Na. Selain itu, mengingat Sistem Panas Bumi Gunung Tampomas merupakan sistem panas bumi yang berhubungan dengan aktivitas gunung api yang memiliki temperatur ≥ 2000C (Hochstein dan Browne), maka geotermometer yang digunakan adalah geotermometer K-Na dengan temperatur reservoir 200-2100C. Dengan demikian, temperatur fluida reservoir pada Sistem Panas Bumi Gunung Tampomas adalah 200-2100C.