• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Aksara Sunda

Aksara sunda merupakan huruf yang berasal dari tanah sunda yang telah digunakan sejak abad ke-14, dibuktikan dengan berbagai macam peninggalan sejarah berupa prasasti, piagam, serta naskah kuno yang cukup banyak (Baidillah et al., 2008). Pada umunya masyarakat Jawa Barat hanya mengenal satu jenis aksara yang disebut sebagai aksara sunda, padahal berdasarkan data sejarah di Jawa Barat telah digunakan 7 (tujuh) jenis aksara, yaitu aksara pallawa dan pranagari (abad ke-5 sampai abad ke-7 Masehi), aksara sunda kuno (abad ke-14 sampai abad ke-18 Masehi), aksara carakan atau jawa (abad ke-11 dan abad ke-17 sampai abad ke-19 Masehi), aksara sunda pegon (abad ke-17 sampai abad ke-20 masehi), aksara sunda cacarakan (abad ke-19 hingga abad ke-20 Masehi), dan huruf latin (akhir abad ke-19 hingga sekarang) (Baidillah et al., 2008).

Aksara yang dikenal oleh masyarakat saat ini yakni aksara sunda baku, dimana hasil penyesuaian dari aksara sunda kuno yang digunakan untuk menulis bahasa sunda kontemporer meliputi penambahan, pengurangan dan perubahan bentuk huruf.

(Passinggrade, 2021). Pada aksara sunda baku terbagi menjadi dua utama, yaitu aksara swara dan ngalagena dengan total berjumlah 32 aksara; terdiri atas 7 aksara swara (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 25 aksara ngalegena, dimana 18 aksara ngalagena utama (ka, ga, nga, ca, ja, nya, ta, da, na, pa, ba, ma, ya, ra, la, wa, sa, ha) dan 7 ngalagena serapan (fa, va, qa, xa, za, kha, sya) (Nurwansah, 2015). Secara umum

(2)

aksara sunda disusun kedalam beberapa kelompok atau jenis yaitu, aksara swara, aksara ngalagena, rarangkèn dan angka.

A. Aksara Swara

Aksara swara merupakan huruf yang melambangkan bunyi vokal mandiri (Nurwansah, 2015). Dalam penggunaanya dapat ditempatkan pada posisi awal, tengah dan akhir kata sebagai sebuah suku kata.

Sumber: (Nurwansah, 2015)

Gambar II.1 Aksara Sunda Swara

B. Aksara Ngalagena

Aksara ngalagena merupakan huruf yang dianggap dapat melambangkan bunyi konsonan (Nurwansah, 2015). Dalam penggunaanya dapat ditempatkan pada posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata maupun suku kata.

Sumber: (Nurwansah, 2015)

Gambar II.2 Aksara Ngalagena Utama

(3)

Sumber: (Nurwansah, 2015)

Gambar II.3

Aksara Sunda Ngalagena Serapan

C. Rarangkèn

Rarangkèn merupakan sebuah sistem yang terdapat pada aturan vokalisasi aksara sunda, berdasarakan penempatannya, rarangkèn dikelompokan kedalam tiga bagian yakni rarangkèn diatas huruf, rarangkèn dibawah huruf dan rarangkèn sejajar dengan huruf (Nurwansah, 2015).

D. Angka

Sistem tata tulis aksara sunda dilengkapi dengan angka-angka dari 0 (nol) sampai 9 (sembilan). Penulisan lambang berderet dari kiri ke kanan, seperti dalam sistem angka bahasa Arab. Beberapa lambang angka sunda bentuknya ada yang mirip dengan lambang aksara seperti swara dan ngalagena (Nurwansah, 2015).

Sumber: (Nurwansah, 2015)

Gambar II.4

Lambang Angka Aksara Sunda

(4)

2.1.2. Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra adalah proses pengelompokan piksel citra dan menetapkannya pada sebuah kategori. Tujuan dari klasifikasi citra adalah untuk menduplikasi kemampuan manusia dalam memahami sebuah informasi dalam citra digital, sehingga komputer atau mesin dapat mengklasifikasikan sebuah citra atau objek layaknya sebuah manusia (Wulandari et al., 2020). Salah satu cara untuk melakukan klasifikasi citra yakni dengan menggunakan metode deep learning.

2.1.3. Deep Learning

Deep learning merupakan bagian dari machine learning yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks seperti computer vision (kemampuan mesin mengenal objek pada data gambar), speech recognition (mengenal data suara) dan natural language processing (mengenal data teks) dengan meniru cara kerja otak manusia menggunakan jaringan saraf tiruan untuk menyelesaikan permasalahan (Andriyani, 2020). Deep learning disebut sebagai deep (dalam) karena memilki struktur dan jumlah jaringan saraf pada algoritma yang sangat banyak mencapai ratusan lapisan.

Algoritma pada deep learning memiliki fitur yang unik yaitu sebuah fitur yang mampu mengekstrasi secara otomatis sehingga mampu menangkap fitur yang relevan sebagai keperluan dalam pemecahan suatu masalah (Dadang, 2018). Algoritma ini sangat berguna dalam memecahkan masalah yang memerlukan pengawasan (supervised), tanpa pengawasan (unsupervised), dan semi terawasi (semi supervised) sehingga dapat mengurangi beban pemrograman. Gambaran umum lapisan-lapisan deep learning ditunjukan pada gambar dibawah ini

(5)

Sumber : https://thedatascientist.com/what-deep-learning-is-and-isnt/

Gambar II.5 Lapisan Deep Learning

Dalam deep learning setiap lapisan tersembunyi (hidden layer) bertanggung jawab untuk melatih serangkaian fitur unik berdasarkan output dari jaringan sebelumnya, ketika jumlah lapisan tersebut semakin bertambah banyak maka akan semakin komplek.

2.1.4. Keras

Keras merupakan library yang digunakan untuk menyederhanakan implementasi algoritma-algoritma dalam deep learning yang ditulis menggunakan bahasa pyhton yang diatas kerangka kerja (framework) machine learning tensorflow, yang bertujuan untuk membuat prototipe dari neural network dengan cepat (Keras, 2020). Dengan memanfaatkan keras maka dapat mempermudah pengunaan, mengurangi kompleksitas (Zaccone et al., 2017). Keras sangat powerfull dan mudah digunakan untuk mengembangkan dan mengevaluasi model deep learning, karena membungkus perhitungan numerik sehingga memungkinkan pengembang untuk mendefinisikan dan melatih model hanya dalam beberapa baris kode. Keras berfokus pada prinsip-prinsip utamanya yang mencakup dalam pembuatan prototipe dari neural network (Dqlab, 2020).

(6)

2.1.5. Tensorflow

Tensorflow adalah platfrom yang dikembangkan oleh Tim Google Brain dan menjadi salah satu platform utama selain CNTK dan Theano dalam mengembangkan dan menerapkan model deep learning (Chollet, 2018). Nama tensorflow diambil dari model data yang diwakili oleh tensor yakni vektor atau maktris n-dimensi yang mewakili semua jenis data dan dataflow atau grafik aliran data yang merupakan singkatan dari model eksekusi tensorflow (Zaccone et al., 2017).

Sumber: (Chollet, 2018)

Gambar II.6

Ilustrasi Deep Learning Software dan Hardware

Setiap bagian kode yang ditulis menggunakan library keras, maka dapat berjalan dengan baik menggunakan tensorflow tanpa harus mengubah apapun pada kode.

Tensorflow merupakan backend matematika simbolis yang dibuat berdasarkan dataflow dan pemrograman yang dikembangkan menggunakan python front-end API dan C++ .

Tensorflow dapat melatih dan menjalankan neural network untuk keperluan klasifikasi tulisan tangan, pengenalan objek atau citra, pengenalan suara dan lainnya.

Saat ini sudah banyak perusahaan yang mengimplementasikan library ini, diantaranya Airbnb, Lenovo, PayPal, bahkan Twitter. Dengan menggunakan tensorflow memungkinkan seorang pengembang atau developer dapat membuat

(7)

grafik aliran data struktur yang mendeskripsikan bagaimana data bergerak melalui grafik, dimana setiap node dalam grafik mewakili operasi matematika dengan menggunakan bahasa python.

Model hasil yang dibuat oleh tensorflow dapat diterapkan pada hampir semua perangkat yang akan digunakan untuk menyajikan prediksi. Manfaat besar yang diberikan dari penggunaan tensorflow adalah pengembang atau developer dapat fokus pada logika aplikasi secara keseluruhan tanpa harus berurusan secara detail mengenai seluk beluk penerapan algoritma, dimana tensorflow yang akan menangani detail di balik layar (Hemera Academy, 2021).

2.1.6. Data Augmentasi

Data Augmentasi merupakan salah satu proses dalam pengolahan data gambar, dimana pada proses ini gambar diubah atau dimodifikasi sedemikian rupa sehingga komputer akan mendeteksi bahwa gambar tersebut merupakan gambar yang berbeda, tetapi manusia mengetahui bahwa gambar yang diubah tersebut merupakan gambar yang sama (Mahmud et al., 2019). Tujuan dari data augmentasi adalah untuk mendapatkan performa yang optimal dalam proses learning dan untuk menghindari terjadinya overfitting.

Pada data augmentasi terdapat beberapa teknik yang umum digunakan diantaranya rotation, zoom, shear, shifting dan horizontal flip (Chollet, 2018).

Dengan menggunakan data augmentasi maka model mendapatkan tambahan data- data yang berguna untuk membuat model melakukan generalisasi dengan baik sehingga meningkatkan akurasi dan dapat menghindari terjadinya overfitting (Aggarwal, 2018).

(8)

2.1.7. Grayscale

Grayscale merupakan citra yang hanya memiliki satu buah channel. Warna abu-abu pada citra grayscale adalah warna R(red), G(green), B(blue) yang memiliki intensitas sama. Dalam hal ini, intensitas berkisaran antara 0 sampai 255. Nilai 0 menyatakan hitam dan 255 menyatakan putih. Secara teori ada beberapa cara yang bisa digunakan dalam mengkonversi citra berwarna RGB ke dalam citra grayscle.

Dalam persamaan matematis dapat ditulis sebagai berikut:

Grayscale = 0.299R + 0.587G + 0.144B (II.1) Keterangan:

R : Nilai Red (Merah) G : Nilai Green (Hijau) B : Nilai Blue (Biru)

2.1.8. Convolutional Neural Network (CNN)

Convolutional Neural Network (CNN) merupakan pengembangan dari Multi- Layer Perceptron (MLP) yang didesain untuk mengolah data dua dimensi (Suartika E.P et al., 2016). CNN termasuk kedalam jenis deep learning karena memiliki kedalaman jaringan yang tinggi dan banyak diaplikasikan pada data input berupa gambar.

CNN terinspirasi dari Visual Cortex, yaitu bagian otak yang berguna untuk memproses informasi dalam bentuk visual (Arfienda, 2019). CNN pertama kali dikembangkan dengan nama NeoCognitron oleh Kunihiko Fukushima yang merupakan seorang peneliti dari NHK Broadcasting Science Research Laboratories,

(9)

Jepang. Konsep tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Yann Lechun, seorang peneliti dari AT&T Bell Laboratories, USA dengan nama LetNet yang berhasil melakukan pengenalan terhadap angka dan tulisan tangan. Pada tahun 2012, penerapan CNN berhasil menjuarai kompetisi ImageNet Large Scale Visual Recognition Challenge 2012 yang dilakukan oleh Alex Krizhevsky.

Cara kerja CNN hampir sama dengan neural network pada umumnya, hanya saja memiliki perbedaan yang utama yaitu menggunakan kernel dua dimensi atau dimensi tinggi pada tiap unit dalam lapisan CNN yang akan dilakukan konvolusi.

Nama “Convolutional Neural Network” menunjukan bahwa jaringan tersebut menggunakan operasi matematika yang disebut konvolusi, selanjutnya CNN dilatih untuk dapat mempelajari fitur atau pola dari objek untuk memprediksi. Ilustrasi arsitektur CNN secara umum dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Sumber: https://medium.com/@samuelsena/

Gambar II.7

Arsitektur Convolutional Neural Network

Berdasarkan gambar II.7 maka pada arsitektur CNN terdapat dua lapisan utama, yakni antara lain:

1. Feature Learning (Feature Extraction Layer)

Pada lapisan ini berguna untuk menerima input gambar secara langsung diawal dan memprosesnya sampai mendapatkan output data array multidimensi. Lapisan

(10)

proses ini terdiri dari atas lapisan konvolusi dan lapisan pooling, dimana setiap proses lapisan tersebut akan menghasilkan feature maps berupa angka-angka yang mempresentasikan gambar yang kemudian akan diteruskan pada classifcation layer.

2. Classification Layer (Layer Klasifikasi)

Pada lapisan ini terdapat beberapa lapisan yang berisi neuron yang saling terkoneksi penuh (fully connected) dengan lapisan lain. Layer klasifikasi ini menerima input dari output layer bagian feature learning lalu diproses pada flatten dengan tambahan beberapa hidden layer pada fully connected sampai menghasilkan output berupa klasifikasi dari setiap kelas.

2.1.9. Convolution Layer

Convolution layer merupakan bagian dari arsitektur CNN, pada lapisan ini akan dilakukan proses manipulasi gambar sehingga menghasilkan gambar baru yang disebut dengan proses konvolusi. Konvolusi merupakan salah satu operasi matematis yang digunakan pada pengolahan citra atau gambar, dengan cara mengkalikan antara data input gambar dengan kernel atau filter.

Sumber: https://programmersought.com/article/45491081436/

Gambar II.8

Ilustrasi Perhitungan Konvolusi

(11)

Secara matematis untuk menghitung output dari proses konvolusi pada convolution layer ditunjukan pada persamaan II.3

(II.3)

Keterangan:

W : Ukuran input P : Padding / Zero Padding K : Ukuran kernel atau filter S : Stride

Stride adalah parameter yang digunakan dalam menentukan berapa jumlah pergeseran kernel, apabila nilai stride adalah 1, maka kernel akan bergeser sebanyak 1 piksel secara horizontal lalu vertikal. Semakin kecil stride maka akan semakin detail informasi yang didapat dari sebuah input, tetapi membutuhkan komputasi yang lebih lama apabila dibandingkan apabila menggunakan stride yang besar.

Sumber: (Imam Juarni, 2020)

Gambar II.9 Ilustrasi Penggunaan Stride

Padding atau Zero Padding merupakan parameter yang menentukan jumlah piksel (berisi nilai 0) yang akan ditambahkan pada sisi dari input, hal ini digunakan untuk memanipulasi dimensi output dari convolution layer (feature maps).

Penggunaan padding cukup penting, karena dimensi output dari proses konvolusi selalu lebih kecil dari input, sementara output akan digunakan pada convolution layer

(12)

berikutnya. Dengan menggunakan padding, dimensi output dapat dimanipulasi agar memiliki dimensi yang sama dengan input atau setidaknya tidak berkurang secara drastis, sehingga convolution layer mendapatkan lebih banyak ekstrasi dari input.

Sumber: https://www.geeksforgeeks.org/cnn-introduction-to-padding/

Gambar II.10 Ilustrasi Padding

2.1.10. Fungsi Aktivasi ReLU

Rectified Liniear Unit (ReLU) merupakan cara paling umum dan dasar untuk memperkenalkan non-linearitas ke dalam jaringan saraf (Rohim et al., 2019). Pada fungsi aktivasi ini neuron-neuron yang bernilai negatif, akan diterjemahkan menjadi nilai 0, sedangkan apabila neuron-neuron yang bernilai positif maka akan diterjemahkan nilai itu sendiri atau tetap. Secara matematis fungsi Aktivasi ReLU dapat ditulis dengan persamaan II.4.

( ) ( ) (II.4)

( ) { ( )

( ) (II.5)

Sumber: https://danau-data.medium.com/

(13)

Gambar II.11 Fungsi Aktivasi RelU 2.1.11. Pooling Layer

Pooling layer merupakan salah satu cara untuk mengurangi ukuran matriks dengan menggunakan operasi pooling. Pada pooling layer terdiri atas filter dengan ukuran dan stride tertentu yang akan bergantian bergeser pada seluruh area feature maps. Terdapat dua jenis operasi pooling yang biasa digunakan yaitu adverage pooling dan maxpooling. Nilai yang diambil pada average pooling adalah nilai rata- rata, sedangkan pada maxpooling adalah nilai terbesar. Umumnya bentuk pooling layer menggunakan kernel atau filter berukuran 2x2. Gambar II.13 merupakan contoh dari operasi max-pooling

Sumber: https://deepai.org/machine-learning-glossary-and-terms/max-pooling Gambar II.12

Ilustrasi Operasi MaxPooling

Secara matematis untuk menghitung output dari pooling layer ditunjukan pada persamaan II.6.

(II.6)

Keterangan:

W : Ukuran Input K : Ukuran Kernel S : Stride

(14)

2.1.12. Flatten Layer

Flatten layer merupakan tahapan yang lebih sederhana dibandingkan dengan convolution layer dan pooling layer. Pada tahap ini output dari layer sebelumnya (pooling layer) diubah menjadi satu kolom. Ilustrasi ditunjukan pada gambar dibawah ini

Sumber: (Imam Jurjawi, 2020)

Gambar II.13 Ilustrasi Proses Flatten

Semua hasil dari pooling layer akan diubah menjadi 1 vektor saja. Jadi apabila sebuah pooling layer berukuran 2x2 matriks, maka akan menjadi 1 vektor dengan 4 baris. Gambar II.15 menunjukan proses lapisan CNN hingga menjadi proses flatten

Sumber: (Imam Jurjawi, 2020)

Gambar II.14

Lapisan CNN Hingga Proses Flatten

(15)

2.1.13. Fully-Connected Layer

Pada lapisan ini, hasil dari flattening dimasukan kedalam struktur ANN yang utuh, dimana ANN terdiri dari 3 bagian yaitu input layer, hidden layer dan output layer. Dalam konteks CNN, semua nodes dari ANN harus terhubung dengan nodes yang ada di depan maupun di belakangnya, maka disebut dengan fully connected.

Berikut ini adalah ilustrasi dai fully connected layer

Sumber: (Imam Jurjawi, 2020)

Gambar II.15

Ilustrasi Fully Connected Layer.

Pada fully connected layer nilai input diperoleh dari hasil flattening. Lapisan fully connected layer disebut juga dengan hidden layer, jumlah hidden layer dan jumlah neurons / nodes / perceptron pada setiap lapisan di hidden layer juga tidak memiliki batasan tetapi harus disesuaikan dengan hardware komputer, karena

(16)

semakin banyak hidden layer dan neuronnya maka semakin lama dan berat juga proses konvolusinya.

2.1.14. Dropout

Dropout merupakan salah satu cara untuk mencengah terjadinya overfitting dan mempercepat proses learning (Abhirawan et al., 2017). Overfitting merupakan kondisi hampir semua data yang telah melalui proses training mendapatkan persentasi yang bagus, tetapi kurang bagus pada proses prediksi (Aditya & Gunawan, 2018). Cara kerja dropout adalah dengan menghilangkan suatu neuron yang berupa hidden layer atau visible layer yang berapa di dalam jaringan.

Sumber: https://medium.com/@rmaggandari/

Gambar II.16 Proses Dropout

2.1.15. Output Layer

Output layer adalah lapisan terakhir pada CNN atau model deep learning lainnya. Pada lapisan ini terdapat beberapa aktivasi yang bisa digunakan diantaranya binary, sigmoid, softmax, dan lain-lain. Salah satu aktivasi yang digunakan untuk output berupa jumlah kelas yang lebih dari dua (multi-class) yakni softmax. Softmax berfungsi untuk menghitung probabilitas pada semua label untuk kelas, dimana

(17)

probabilitas yang paling tinggi dari semua label akan ditampilkan sebagai output pada saat melakukan prediksi, setiap komponen akan berada dalam interval (0-1) (Pangestu et al., 2020). Ilustrasi penggunaan softmax dapat dilihat pada gambar berikut.

Sumber: (Imam Jurjawi, 2020)

Gambar II.17 Ilustrasi Output Layer

2.2. Penelitian Terkait

Dalam penyusunan penelitian ini, sedikit banyak terinspirasi dari penelitian- penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan latar belakang masalah pada penelitian ini. Berikut ini penelitian terkait yang berhubungan dengan penelitian ini, antara lain:

Penelitian yang dilakukan oleh Nisa Amalia, Wahyu Hidayat, Aldy Putra Aldya pada tahun 2020 yang berjudul “Pengenalan Aksara Sunda Menggunakan Metode Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation dan Deteksi Tepi Canny” (Amalia et al., 2020). Pada penelitian ini menerapkan metode JST backpropagation dan deteksi tepi canny untuk melakukan pengenalan pada aksara sunda. Kombinasi keduanya dapat menghasilkan akurasi yang cukup tinggi dalam pengenalan aksara sunda swara yaitu 90% dengan data berjumlah 70 data, sedangkan untuk data latih mendapatkan 76.19% dengan jumlah data 21 aksara sunda.

(18)

Penelitian yang dilakukan oleh Rizki Rahmat Riansyah, Youlia Indrawaty, Irma Amelia Dewi pada tahun 2017 yang berjudul “Sistem Pengenalan Aksara Sunda Menggunakan Metode Modified Direction Feature dan Learning Vector Quantization” (Riansyah et al., 2017). Pada penelitian ini menerapkan modified direction feature dalam proses ekstrasi ciri dan learning vector quantization dalam proses pembelajaran. Kombinasi keduanya dapat mengenali 236 aksara dari 300 aksara dengan total akurasi sebesar 78.67%.

Penelitian yang dilakukan oleh Adri Achmad Farhan, Ratri Dwi Atmaja, Suci Aulia pada tahun 2017 yang berjudul "Perancangan dan Analisis Sistem Pengenalan Kata Aksara Sunda Menggunakan Metode Learning Vector Quantization Berbasis Pengolahan Citra” (Farhan et al., 2017). Pada penelitian ini dirancang sebuah sistem yang dapat mendeteksi atau mengenali aksara sunda berbasis pengolahan citra, menggunakan metode Learning Vector Quantization (LVQ) dengan segmentasi thresholding dan ekstraksi ciri yang digunakan adalah penjumlahan biner (horizontal dan vertikal), DCT dan DFT. Hasil dari pengujian terhadap 30 aksara sunda didapatkan bahwa dengan menggunakan ekstrasi DCT mendapatkan akurasi sebesar 83.33%, sedangkan dengan menggunakan penjumlahan biner vertikal mendapat akurasi sebesar 76,67%, lalu sebesar 73,33% untuk ekstrasi ciri penjumlahan horizontal dan pada ekstrasi ciri DFT mendapatkan akurasi sebesar 60%.

Penelitian yang dilakukan oleh S Purnawati, D. Rachmawati, G. Lumanauw, R F Rahmat, R Taqyddin pada tahun 2018 yang berjudul “Korean Letter Handwritten Recognition Using Deep Learning Convolutional Neural Network On Android Platfrom” (Purnamawati et al., 2018). Pada penelitian ini menerapkan metode Deep Convolutional Neural Network (DCNN) untuk melakukan proses pengenalan citra tulisan tangan korea menggunakan model Inception-v3. Selanjutnya dilakukan proses

(19)

pelatihan ulang menggunakan teknik transfer learning dan mendapatkan akurasi pengujian sebesar 86.9%.

Penelitian yang dilakukan oleh Chaerul Umam, Lekso Budi Handoko pada tahun 2020 yang berjudul “Convolutional Neural Network (CNN) untuk Identifikasi Karakter Hiragana” (Umam & Budi Handoko, 2020). Pada penelitian ini menerapkan arsitektur jaringan neural yakni CNN untuk melakukan identifikasi karakter Hiragana. Hasil dari pengujian terhadap total 1000 data citra diperoleh akurasi sekitar 82% dengan sebaran 120 citra tidak terdeteksi dan 880 data terdeteksi dengan benar.

Penelitan yang dilakukan oleh Christopher Albert Lorentius, Rudy Adipranata, Alvin Tjondrowiguno pada tahun 2019 yang berjudul “Pengenalan Aksara Jawa dengan Menggunakan Metode Convolutional Neural Network” (Lorentius et al., 2019). Pada penelitian ini menggunakan metode Convolutional Neural Network (CNN) untuk mengenali aksara jawa menggunakan bahasa pemrograman python.

Hasil dari pengujian terhadap data testing aksara jawa mencapai hasil akurasi 95,04%.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada objek dan metode yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya hanya menggunakan objek aksara sunda swara, sedangkan pada penelitian ini menggunakan objek aksara sunda swara, ngalagèna dan angka. Metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya menggunakan backpropagation, deteksi tepi canny, MDF dan LVQ, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode Deep Learning dengan menggunakan convolutional neural network (CNN).

Tabel II.1 Penelitian Terkait

(20)

No Penulis Tahun Metode Judul Hasil 1. Nisa Amalia,

Wahyu Hidayat, Aldy Putra Aldya

2020 Jaringan Saraf Tiruan

Backpropagation dan Deteksi Tepi Canny

Pengenalan Aksara Sunda Menggunakan Metode Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation dan Deteksi Tepi Canny

Kombinasi keduanya menghasilkan akurasi sebesar 90% dalam pengenalan aksara sunda swara dengan jumlah data 70, sedangkan akurasi pada data latih sebesar 76,19%

dengan jumlah data 21 aksara sunda.

2. Chaerul Umam dan Lekso Budi Handoko

2020 Convolutional Neural Network (CNN)

Convolutional Neural Network (CNN) untuk Identifikasi Karakter Hiragana

Hasil dari pengujian terhadap total 1000 data citra diperoleh akurasi sekitar 82%

dengan sebaran 120 citra tidak terdeteksi dan 880 data terdeteksi dengan benar.

3. Christopher Albert

Lorentius, Rudy Adipranata, Alvin

Tjondrowiguno

2019 Convolutional Neural Network (CNN)

Pengenalan Aksara jawa dengan

Menggunakan Metode Convolutional Neural Network

Hasil pengujian dengan

menggunakan

metode CNN

terhadap data testing mendapatkan hasil akurasi sebesar 95,04%.

4. S Purnawati, D.

Rachmawati, G.

Lumanauw, R F Rahmat, R Taqyddin

2018 Deep

Convolutional Neural Network (DCNN)

Korean Letter Handwritten Recognition Using Deep Learning

Convolutional Neural Network on Android Platfrom

Menerapkan metode DCNN dengan model Inception-v3.

Selanjutnya

dilakukan proses pelatihan ulang menggunakan teknik transfer learning dan mendapatkan akurasi pengujian sebesar 86.9%.

5. Rizki Rahmat Riansyah, Youlia

Indrawaty dan Irma Amelia Dewi

2017 Modified

Direction Feature dan Learning Vector

Quantization

Sistem Pengenalan Aksara Sunda Menggunakan Metode Modified Direction Feature dan Learning Vector Quantization

Kombinasi keduanya dapat mengenali 236 aksara dari 300 aksara dengan total akurasi sebesar 78.67%.

6. Adri Achmad Farhan, Ratri Dwi Atmaja, Suci Aulia

2017 Learning Vector Quantization (LVQ)

Perancangan dan Analisis Sistem Pengenalan Kata Aksara Sunda Menggunakan Metode

Learning Vector

Pengujian terhadap 30 aksara sunda dengan

menggunakan ekstrasi ciri DCT mendapat akurasi sebesar 83.33%,

(21)

Quantization Berbasis

Pengolahan Citra

sedangkan

penjumlahan biner vertikal mendapat akurasi sebesar 76,67%, lalu untuk ekstrasi ciri penjumlahan

horizontal mendapat akurasi 73,33% dan pada ekstrasi ciri DFT mendapatkan akurasi sebesar 60%.

Referensi

Dokumen terkait

Tugas akhir ini berjudul : “STUDI EKONOMI METERISASI PENERANGAN JALAN UMUM KOTA MEDAN”, yang disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan sarjana

Bagan yang memerlihatkan urutan prosedur dan proses dari beberapa file di dalam media tertentu. Melalui flowchart ini terlihat jenis media penyimpanan yang dipakai dalam

• Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah menikah sekitar bulan Desember 2006 di Kabupaten Lombok Barat karena saksi turut

Penetapan Daftar Lokasi dan Alokasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri Tahun Anggaran (T.A.) 2012 dilakukan melalui proses konsultasi dan koordinasi yang intensif

Untuk menekan populasi hama maka perlu dilakukan teknik pengendalian, yaitu dengan sistem pola tanam tumpangsari dan hama yang perlu diwaspadai kehadirannya

Rekomendasi yang dapat diberikan antara lain, Penyelenggara dan pengelola melakukan kegiatan identifikasi kebutuhan bahan bacaan masyarakat sehingga bahan bacaan yang ada

Pakar antropolog yang satu ini menjelaskan lebih jauh, budaya adalah cara dan patokan hidup manusia yang terpola dengan baik merupakan produk dan bertahan dari

Gigi tiruan sebagian lepasan merupakan pergantian gigi yang mengenai sebagian dari lengkung gigi dan jaringan sekitarnya, dapat terjadi pada rahang atas maupun