BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Kedudukan Hukum
a. Pengertian Kedudukan
Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut, atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi. Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial tidaklah semata-mata merupakan kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompok yang berbeda, tapi kedudukan sosial tersebut mempengaruhi kedudukan orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda. Namun, untuk mendapatkan pengertian yang mudah kedua istilah tersebut akan digunakan dalam pengertian yang sama, yaitu kedudukan (status) (Jeffa Leibo, 1995: 61).
b. Pengertian Hukum
Hukum merupakan suatu dasar dalam melakukan penegakan hukum. Komponen utama dalam hukum adalah masyarakat dan aturan yang di dalamnya tedapat suatu lembaga yang menyelenggarakan proses pembentukan dan penerapan hukum.
Kamus hukum menyebutkan, hukum adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mana tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib menaatinya, bagi pelanggaran terdapat sanksi (Yan Pramadya Puspa, 2008: 284).
Berikut ini adalah pengertian hukum menurut para ahli, antara
lain: commit to user
1) Menurut E.Utrecht
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (C.S.T. Kansil, 1986: 38).
2) Menurut Hans Kelsen
Hukum adalah ketentuan sistem peraturan norma yang mengatur kehidupan manusia untuk berperilaku baik dalam masyarakat (Philips M. Hadjon, 1987: 10).
3) Menurut Thomas Hobbes
Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain (Zainal Asikin, 2011: 10).
4) Menurut Marxis
Hukum merupakan cerminan hubungan masyarakat pada suatu tahapan perkembangan tertentu yang ekonomis (Haris Sumadiria, 2016: 2).
5) Menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Hukum adalah peraturan yang memilki sifat memaksa, menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan lingkungan masyarakat yang dibuat dan dilaksanakan oleh badan resmi yang berwajib (C.S.T. Kansil, 1997: 11).
c. Pengertian Kedudukan Hukum
Kedudukan hukum atau locus standi adalah suatu keadaan ketika suatu pihak dianggap memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa di suatu pengadilan. Biasanya kedudukan hukum dapat ditunjukan dengan cara berikut (R. Soeroso, 1993: 106):
1) Suatu pihak secara langsung dirugikan oleh undang-undang atau tindakan yang menjadi permasalahan, dan kerugian ini akan terus
memerintahkan pemberian kompensasi, menetapkan bahwa hukum yang dipermasalahkan tidak berlaku untuk pihak tersebut, atau menyatakan bahwa undang-undang tersebut batal demi hukum;
2) Pihak penuntut tidak dirugikan secara langsung, tetapi mereka memiliki hubungan yang masuk akal dengan situasi yang menyebabkan kerugian tersebut, dan jika dibiarkan kerugian dapat menimpa orang lain yang tidak dapat meminta bantuan dari pengadilan;
3) Suatu pihak diberikan kedudukan hukum oleh suatu undang-undang
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 51 ayat (1) menyebutkan mengenai subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi karena telah memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum dan memiliki kedudukan hukum, yaitu sebagai berikut:
1) Perorangan warga Indonesia;
2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3) Badan hukum publik atau privat; atau 4) Lembaga negara.
2. Tinjauan tentang Hukum Jaminan a. Pengertian Hukum Jaminan
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten, atau security of law. Di dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional, disebutkan bahwa Hukum Jaminan meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Pengertian Hukum Jaminan ini mengacu pada jenis jaminan bukan pengertian hukum jaminan (Salim HS, 2004: 5). commit to user
Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan mengemukakan pengertian hukum jaminan adalah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu yang yang lama dan bunga yang relatif rendah (Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, 1980: 25).
Menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturang perundang-undangan yang berlaku saat ini (M. Bahsan, 2008: 3).
Sementara itu, menurut Salim HS, hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit (Salim HS, 2004: 6).
b. Pengaturan Hukum Jaminan
Pengaturan mengenai hukum jaminan dapat dijumpai dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengaturan mengenai alas hak hukum jaminan terdapat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.
Ketentuan dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan (Gadai dan Hipotik) dan pada Buku Ketiga
1) Prinsip-prinsip Hukum Jaminan
Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
a) Kedudukan Harta Pihak Peminjam
Pasal 1131 KUHPerdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya.
b) Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dibedakan atas dua golongan, yaitu:
(1) Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing; dan
(2) Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.
c) Larangan Memperjanjikan Pemilikan Objek Jaminan Utang oleh Pemberi Pinjaman.
Larangan ini akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi besarnya nilai utang yang dijamin. Ketentuan yang demikian misalnya dalam Pasal 1178 KUHPerdata tentang Hipotik.
d) Gadai
Gadai adalah salah satu lembaga jaminan yang dapat digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa barang bergerak. Gadai diatur oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.
e) Hipotik commit to user
Hipotik adalah salah satu lembaga jaminan yang dapat digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa barang tidak bergerak. Hipotik diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata.
f) Penanggungan Utang
Penanggungan utang diatur oleh Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata. Penanggungan utang merupakan jaminan utang yang bersifat perorangan. Akan tetapi, dalam hal ini diartikan pula dapat diberikan oleh suatu badan di samping oleh perorangan sebagaimana yang terdapat dalam praktik sehari-hari dan lazim disebut dengan sebutan borgtocht (M. Bahsan, 2008: 9).
c. Unsur-Unsur Hukum Jaminan
Unsur-unsur hukum jaminan terdiri atas (Salim HS, 2004: 7-8):
1) Adanya kaidah hukum;
2) Adanya pemberi dan penerima jaminan;
3) Adanya jaminan; dan 4) Adanya fasilitas kredit.
d. Asas-Asas Hukum Jaminan
Terdapat 5 (lima) asas penting dalam hukum jaminan, yaitu sebagai berikut (Salim HS, 2004: 9):
1) Asas Publicitet
Asas publicitet yaitu asas bahwa semua hak, baik Hak Tanggungan, Hak Fidusia, dan Hipotek harus didaftarkan.
Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut dilakukan pembebanan jaminan.
2) Asas Specialitet
Asas specialitet yaitu bahwa Hak Tanggungan, Hak Fidusia dan Hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atau atas
3) Asas Tidak Dapat Dibagi-Bagi
Asas tidak dapat dibagi-bagi yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya Hak Tanggungan, Hak Fidusia dan Hipotek dan Hak Gadai walaupun telah dilakukannya pembayaran sebagian.
4) Asas Inbezitstelling
Asas inbezitstelling yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai.
5) Asas Horizontal
Asas horizontal yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan Hak Pakai, baik Tanah Negara maupun tanah Hak Milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggunan tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan Hak Pakai.
Selain itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman asas-asas hukum jaminan juga meliputi asas filosofis, asas kontitusional, asas politis, dan asas operasional (konkret) yang bersifat umum. Asas operasional kemudian dibagi lagi menjadi asas sistem tertutup, asas absolut, asas mengikuti benda, asas publikasi, asas specialitet, asas totalitas, asas asessi pelekatan, asas konsistensi, asas pemisahan horizontal, dan asas perlindungan hukum (Mariam Darus Badrulzaman, 1996: 23)
e. Objek Hukum Jaminan
Objek dari Hukum Jaminan terdiri atas 2 (dua) macam, yaitu (Salim HS, 2004: 8):
1) Objek Materiil
Objek materiil yaitu bahan (materiil) yang dijadikan sasaran dalam penyelidikannya, dalam hal ini adalah manusia.
2) Objek Formil
Objek formil yaitu sudut pandang tertentu terhadap obyek materiilnya.
f. Ruang Lingkup Hukum Jaminan commit to user
Ruang lingkup hukum jaminan terdiri atas:
1) Jaminan Umum
Jaminan secara umum adalah jaminan yang diberikan untuk kepentingan debitur, yang menyangkut semua harta kekayaan debitur. Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata bahwa segala harta benda milik debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada baik yang berwujud benda bergerak maupun benda tetap akan menjadi jaminan untuk segala utang-utang dari para kreditur-krediturnya. Hasil dari penjualan harta benda tersebut menjadi pelunasan utang debitur kepada kreditur sesuai dengan piutang yang diberikan kecuali terdapat alasan untuk didahulukan pelunasannya.
Hal ini kemudian menjadi masalah karena utang debitur tetap tidak dapat dibayar secara lunas karena akan dibagi berdasarkan persentase piutang yang dimiliki oleh kreditur kepada debitur, sehingga jaminan umum masih belum memberikan keamanan terhadap kreditur untuk mendapatkan pelunasan piutangnya secara penuh.
2) Jaminan Khusus
Jaminan khusus timbul sebagai usaha umtuk mengatasi kelemahan yang ada pada jaminan umum. Berdasarkan kalimat pada Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi “kecuali diantara para kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”, maka terdapat kemungkinan terjadinya perjanjian yang menyimpang dari pengaturan jaminan umum.
Bentuk jaminan khusus ditentukan secara tegas dan terbatas pada Pasal 1133 KUHPerdata yang berbunyi “Hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai, dan hipotek”. Berdasarkan pasal tersebut maka adanya alasan untuk didahulukan dapat terjadi karena
ketentuan undang-undang dan juga karena diperjanjikan antara debitur dan kreditur.
Jaminan khusus dibagi menjadi dua (2) macam yaitu:
(1) Jaminan Perorangan
Dasar hukum dari jaminan perorangan (borgtocht) atau penanggungan dapat dilihat dalam Buku III Bab 17 KUHPerdata tentang Penanggungan. Jaminan perorangan merupakan pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji atau wanprestasi.
Kemudian hukum jaminan juga mempunyai sifat menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya, misalnya borgtocht. Selain sifat tersebut hak perorangan mempunyai asas kesamaan yang artinya tidak membedakan mana piutang yang lebih dahulu terjadi dan mana piutang yang terjadi kemudian. Semuanya mempunyai kedudukan yang sama, tidak mengindahkan urutan terjadinya, semua mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitur (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980: 47).
Jaminan perorangan dapat dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu (Salim HS, 2004: 218):
(a) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat diagih;
(b) Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng;
(c) Akibat hak dari tanggung renteng pasif, hubungan hak bersifat ekstern adalah hubungan hak antara para debitur dengan pihak lain (kreditur) serta hubungan hak bersifat
commit to user
intern adalah hubungan hak antara sesama debitur dengan debitur lainnya.
(d) Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUHPerdata), yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.
Jaminan borgtocht sendiri bersifat accessoir dan sebagai cadangan saja, jika seorang penjamin (borg) diberikan hak istimewa yaitu hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut agar kekayaan milik si berutang utama (debitur) lebih dahulu disita dan dijual atau lelang (Sutarno, 2004:
149).
Dalam hal dimaksud tersebut adalah apabila harta kekayaan debitur utama tidak cukup maka harta kekyaan penjamin baru dapat dieksekusi, dan apabila dalam hal debitur tidak mampu membayar utang-utangnya maka si penjamin dapat langsung ditagih untuk melunasi utang-utang debitur.
(2) Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu benda tertentu yang menjadi objek jaminan suatu utang, yang suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan utang debitur apabila debitur ingkar janji. Dengan mempunyai berbagai kelebihan, yaitu sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain sifat absolut dimana setiap orang harus menghormati hak tersebut, memiliki droit de preference, droit de suite, serta asas-asas yang terkandung padanya, seperti asas spesialitas dan publisitas telah memberikan kedudukan dan hak istimewa bagi pemegang hak tersebut/kreditur, sehingga dalam praktik lebih disukai pihak kreditur daripada jaminan perorangan (Djuhaendah Hasan dan Salmidjas, 2000: 214).
Menurut sifatnya, jaminan kebendaan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu (Mariam Darus Badrulzaman, 1996: 23):
(a) Jaminan dengan Benda Berwujud (Materiil)
Benda berwujud dapat berupa benda/barang bergerak dan atau benda/barang tidak bergerak. Yang termasuk dalam jaminan benda bergerak meliputi: gadai dan fidusia, sedangkan jaminan benda tidak bergerak meliputi: hak tanggungan, fidusia, khususnya rumah susun, hipotek, kapal laut dan pesawat udara.
(b) Jaminan dengan Benda Tidak Berwujud (Imateriil) Benda/barang tidak berwujud yang lazim diterima oleh bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih debitur terhadap pihak ketiga.
3. Tinjauan tentang Personal Guarantee a. Pengertian Personal Guarantee
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata istilah personal guarantee disebut sebagai penanggung, dimana dijelaskan dalam Pasal 1820 KUHPerdata bahwa penanggung ialah berdasarkan suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang (debitur) manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Istilah personal guarantee sering disebut pula sebagai penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajibannya (Susanti Adi Nugroho, 2018: 205).
Jaminan perorangan atau personal guarantee ini adalah jaminan yang diberikan kepada seorang kreditur berupa benda melainkan pernyataan oleh pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa commit to user
dalam hal ini debitur dapat dipercaya untuk melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan, dengan syarat apabila nantinya debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga yang akan melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan adanya jaminan perorangan atau personal guarantee maka suatu hal yang sangat berarti bagi seorang kreditur manakala debitur tidak membayar utang-utangnya adalah kreditur dapat menuntut kepada seorang penjamin untuk membayar utang-utang tersebut (Susanti Adi Nugroho, 2018: 205).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa personal guarantee merupakan suatu jaminan perorangan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, untuk kemudian pihak kreditur dapat menagih piutangnya kepada personal guarantee jika debitur utama cidera janji atau wanprestasi atas kewajibannya.
b. Pengaturan Hukum Personal Guarantee
Pengaturan hukum mengenai personal guarantee diatur dalam Buku III Bab 17 Pasal 1820-1850 KUHPerdata yang terbagi atas:
1) Bagian Kesatu tentang sifat penanggungan (Pasal 1820 - 1830);
2) Bagian Kedua tentang akibat-akibat penanggungan antara si berutang dan si penanggung (Pasal 1831-1838);
3) Bagian Ketiga tentang akibat-akibat penanggungan antara si berutang dan si penanggung, dan antara para penanggung sendiri (Pasal 1839-1844); dan
4) Bagian Keempat tentang hapusnya penanggungan utang (Pasal 1845 -1850).
c. Pihak yang Dapat Menjadi Personal Guarantee
Pada hakikatnya, personal guarantee yang ingin mengikatkan dirinya dalam penanggungan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu (Thomas Suyatno, dkk, 2007:94):
1) Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk mengikatkan diri;
2) Memiliki kemampuan ekonomis untuk dapat memenuhi utang debitur yang bersangkutan; dan
3) Harus berdiam diri di wilayah Republik Indonesia d. Hak Istimewa Personal Guarantee
Hak istimewa menurut Pasal 1134 KUHPerdata yaitu merupakan hak untuk didahulukan diantara para kreditur. Pengaturan mengenai hak istimewa personal guarantee dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1) Hak si penanggung untuk menuntut agar harta kekayaan debitur disita dan dieksekusi terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.
Dan apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi utangnya, maka harta si penanggung kemudian akan di eksekusi bagi pelunasan utang debitur;
2) Hak si penanggung untuk tidak mengikatkan diri bersama-sama dengan debitur secara tanggung menanggung. Dengan kata lain dalam hak ini penanggung telah mengikatkan diri bersama-sama debitur dalam suatu perjanian secara jamin-menjamin. Dan penanggung yang telah mengikatkan dirinya bersama-sama debitur dalam suatu akta perjanjian dapat dituntut oleh kreditur untuk tanggung-menanggung bersama debiturnya masing-masing untuk seluruh utang;
3) Hak si penanggung untuk mengajukan tangkisan yang tertuang dalam Pasal 1849 dan Pasal 1850 KUHPerdata. Hak ini lahir dari perjanjian jaminan, dimana dalam hak ini penanggung memiliki hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur kepada kreditur terkecuali tangkisan yang hanya mengenai pribadi debitur;
4) Hak si penanggung untuk membagi utang. Dalam hak ini dimaksudkan bahwa apabila dalam suatu perjanjian jaminan ada beberapa penanggung yang mengikatkan diri untuk menjamin
commit to user
satu debitur dan utang yang sama maka setiap penanggung terikat untuk keseluruhan utang; dan
5) Hak si penanggung diberhentikan dari penjamin. Dalam hal ini bahwa seorang penanggung berhak meminta kepada kreditur untuk dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin jika terdapat alasan untuk itu.
Personal guarantee sebagai penjamin diwajibkan membayar utang debitur kepada kreditur dalam hal apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, yang mana sesuai dengan Pasal 1831 KUHPerdata maka atas harta benda kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu, baru kemudian apabila ada kekurangan, maka harta penjamin dapat digunakan untuk melunasi sisa utang tersebut.
Dalam hal pelunasan utang kreditur, seorang personal guarantee sebagai penjamin tidak dapat menuntut agar harta benda debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya, dalam hal ini sesuai dengan Pasal 1832 KUHPerdata, yaitu:
1) Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukannya lelang sita terlebih dahulu atas harta debitur;
2) Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berutang secara tanggung menanggung;
3) Jika si berutang dapat mengajukan suatu tangkisan mengenai dirinya pribadi;
4) Jika Debitur berada dalam keadaan pailit;
5) Dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.
e. Hapusnya Penanggungan Personal Guarantee
Hapusnya suatu kewajiban bagi penjamin disesbabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut, yaitu:
1) Hapusnya perjanjian penjaminan/penanggungan (borgtocht) tergantung dari perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya sebagai perjanjian pokok. Apabila suatu perjanjian hapus, maka
2) Hapusnya penjaminan juga dapat disebabkan dari adanya pembebasan terhadap penjamin atau diberhentikan dari penjamin;
3) Apabila kreditur telah menerima pembayaran utang dari debitur.
(Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2007: 142).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan mengenai hapusnya penanggungan utang personal guarantee dalam Pasal 1848-1849 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:
1) Pasal 1848 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Si penanggung dibebaskan apabila ia karena salahnya si berpiutang, tidak dapat menggantikan hak-haknya, hipotik-hipotiknya dan hak istmewanya dari si berpiutang ini.
2) Pasal 1849 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Jika si berpiutang secara sukarela menerima suatu benda tak bergerak maupun suatu benda lain sebagai pembayaran atas utang pokok, maka si penanggung dibebaskan atasnya, biarpun benda itu kemudian karena suatu putusan hakim oleh si berpiutang harus diserahkan kepada orang lain.
4. Tinjauan tentang Perusahaan
Pengertian Perusahaan menurut Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan mendefinisikan Perusahaan sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perseorangan maupun badan usaha yang berbebntuk badan hukum commit to user
atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Menurut Molengraaff yang dimaksud dengan Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus untuk memperoleh penghasilan, bertindak keluar dengan cara memperdagangkan, menyerahkan atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan (Uma Sekaran dan Roger. 2013: 31-32).
Istilah Perusahaan dalam Bahasa Indonesia mempunyai tiga pengertian yang diadopsi dari istilah Belanda, yaitu sebagai berikut (R.
Murjiyanto, 2002: 13):
a. Onderneming
Dalam istilah onderneming tercermin seakan-akan adanya suatu kesatuan kerja (wekeenheid), namun dalam hal ini terjadi dalam suatu perusahaan.
b. Bedriff
Bedriff diterjemahkan dengan “perusahaan”, dimana dalam hal ini tercermin adanya penonjolan pengertian yang bersifat ekonomis yang bertujuan menghasilkan lab, dalam bentuk suatu yang menyelenggarakan suatu perusahaan. Bedriff merupakan kesatuan teknik untuk produksi, misalnya huisvlijt (home industry atau industri rumah tangga), nijverheid (kerajinan atau keterampilan khusus), fabrick (pabrik).
c. Vennootschap
Vennootschap mengandung pengertian yuridis karena adanya suatu bentuk usaha yang ditimbulkan dengan suatu perjanjian untuk kerjasama dari beberapa orang sekutu atau persero.
Dari istilah-istilah tersebut, dapat disimpulkan perbedaan pengertian bedriff (perusahaan) dan onderneming, yaitu jika bedriff mengandung pengertian kesatuan finansial-ekonomis, maka onderneming merupakan suatu kesatuan kerja (weerkenheid) yang mengandung pengertian
yuridis. Sedangkan vennootschap mengandung pengertian yang bersifat yuridis.
5. Tinjauan tentang Kepailitan a. Pengertian Kepailitan
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”
dan istilah tersebut dikenal di perbendaharaan bahasa yang berbeda-beda, yaitu dalam bahasa Perancis dikenal dengan faillite, dalam bahasa Latin dikenal dengan failire, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan to fail atau bankrupt (Munif Rochmawanto, 2015: 27).
Black’s law dictionary menyatakan “Bankrupt is the state or condition of one who is unable to pay his debts as they are, or become, due”(Henry Campbell Black, 1979: 134).
Menurut Black Law Dictionary, pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas pihak ketiga (di luar debitur) (Ahmad Yani dan Gunawan, 2004: 11).
Pengertian kepailitan dituangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kepailitan, yang berbunyi:
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
R. Soekardono menyatakan bahwa kepailitan adalah penyitaan umum atas kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalan yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan boedel dari orang yang pailit (R.
Soekardono, 1993: 195). commit to user
b. Prinsip-Prinsip dalam Hukum Kepailitan
Undang-Undang Kepailitan memiliki asas/prinsip umum kepailitan, antara lain (Alfian Huzhayya, 2019: 15-21):
1) Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa para kreditur mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur. Artinya apabila suatu debitur tidak sanggup untuk membayar utang-utangnya, maka harta kekayaan debitur menjadi sasaran kreditur dalam melunasi utang-utangnya tersebut.
Prinsip ini mengartikan bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak mupun harta yang sekarang dipunyai debitur menjadi sasaran bagi para kreditur untuk melunasi segala bentuk utang-utangnya.
2) Prinsip Pari Passu Prorata Parte
Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka kecuali jika diantara para kreditur itu ada yang meunurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayarannya.
Prinsip paritas creditorium diartikan untuk memberikan suatu keadilan bagi semua kreditur tanpa adanya suatu perbedaan terhadap harta kekayaan debitur, sedangkan prorata parte bermakna perolehan yang proporsional, yaitu jumlah yang diterima oleh kreditur dihitung berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibandingkan dengan piutang mereka secara keseluruhan terhadap harta kekayaan yang dipunyai oleh debitur.
3) Prinsip Structured Creditors
Adanya suatu prinsip structured creditors sebagai pelengkap
parte guna melindungi para kreditur yang memiliki jaminan preferensi yang telah diberikan oleh undang-undang.
Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam kreditur menjadi tiga macam, yaitu:
a. Kreditur Separatis;
b. Kreditur Preferen; dan c. Kreditur Konkuren.
4) Prinsip Utang
Dalam proses kepailitan, konsep utang merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa adanya utang tidak mungkin suatu perkara kepailitan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang maka esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi asset debitur untuk membayar utang-utangnya kepada kreditur.
Utang dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kepailitan, yaitu:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia ataupun dalam mata uang asing, baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Dapat disimpulkan bahwa dalam pengajuan perkara kepailitan harus ada konsep utang sebagai syarat permohonan pailit, karena tanpa adanya utang nilai kepailitan menjadi tidak ada.
5) Prinsip Debt Collection
Hukum kepailitan berfungsi sebagai alat collective proceeding bagi para kreditur bahwa segenap harta kekayaan debitur adalah menjadi jaminan terhadap utang para krediturnya dengan melikuidasi asset debitur. Dengan demikian prinsip debt commit to user
collection berfungsi sebagai sarana pemaksa untuk merealisasikan hak-hak kreditur melalui proses likuidasi terhadap harta kekayaan debitur.
6) Prinsip Debt Polling
Prinsip ini menekankan terkait bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi di antara para krediturnya. Di dalam melakukan pendistribusian aset tersebut tentunya kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorata paret, dan prinsip structured creditors. Prinsip ini juga merupakan artikulasi dari sifat-sifat yang melekat dalam proses kepailitan, baik hal tersebut berkenaan dari adanya karakteristik kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim.
7) Prinsip Debt Forgiveness
Implementasi dari prinsip debt forgiveness ini dalam norma-norma hukum kepailitan yaitu adanya penundaan kewwajiban pembayaran utang untuk jangka waktu yang ditentukan. Dengan adanya prinsip ini, bagi debitur yang telah dinyatakan pailit akan mendapatkan status fresh-starting, sehingga memungkinkan debitur untuk memulai usaha baru tanpa adanya bayang-bayang dibebani utang-utang debitur yang lama.
Adanya prinsip debt forgiveness tidaklah lepas bahwasanya suatu usaha akan terkandung suatu risiko atau ketidakpastian dan semua risiko merugikan usaha dan bahkan bisa pula sampai membangkrutkan suatu usaha.
8) Prinsip Universal dan Teritorial.
Prinsip universal dalam kepailitan mengandung makna bahwa putusan pailit dari suatu negara, maka putusan tersebut berlaku terhadap semua harta debitur baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Istilah tersebut dikenal sebagai cross border insolvency. Namun, apabila negara tersebut tidak
perjanjian antar negara maka berlaku prinsip teritorial yang hanya berlaku pada negara tempat tersebut memutuskan debitur pailit.
c. Pengertian Utang, Kreditur, dan Debitur 1) Pengertian Utang
Pengertian utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kepailitan, yaitu:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia ataupun dalam mata uang asing, baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
2) Pengertian Kreditur dan Debitur
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kepailitan mendefinisikan debitur sebagai berikut:
Debitor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Kepailitan mendifinisikan kreditur sebagai berikut:
Keditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dikenal istilah debitur dan kreditur, melainkan istilah yang digunakan adalah si berutang dan si berpiutang.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1235 KUHPerdata, dan Pasal 1239 KUHPerdata, si berutang adalah pihak yang wajib memberikan, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu yang berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian ataupun karena undang-undang. Di dalam pustaka-pustaka hukum dan kehidupan masyarakat schuldenaar disebut sebagai debitur, sedangkan schuldeiser disebut sebagai kreditur (Sutan Remy Sjahdeini, 2010: 93). commit to user
d. Syarat-Syarat Mengajukan Permohonan Pailit
Syarat mengajukan permohonan pailit diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat mengajukan permohonan pailit, yaitu (Munir Fuady, 2002: 9):
1) Adanya utang;
2) Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
3) Minimal satu dari utang dapat ditagih;
4) Adanya debitur;
5) Adanya Kreditur;
6) Kreditur lebih dari satu;
7) Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga;
8) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:
a) Pihak debitur;
b) Satu atau lebih kreditur;
c) Jaksa untuk kepentingan umum;
d) Bank Indonesia jika debiturnya bank;
e) Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
f) Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
9) Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam undang-undang kepailitan;
10) Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak dapat memberikan
“judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus lainnya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan, yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah sebagai berikut:
1) Debitur sendiri;
2) Seorang kreditur atau lebih;
3) Kejaksaan;
4) Bank Indonesia;
5) Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam;
6) Menteri Keuangan; dan
7) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pemohon Pailit f. Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit
Ketentuan dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Kepailitan telah menjelaskan bahwa setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya dapat dijatuhi keputusan kepailitan.
Debitur disini dapat terdiri dari orang (badan pribadi) maupun pihak badan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka yang dapat dinyatakan pailit, ialah (Zainal Asikin, 2013: 31):
1) Dalam debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia;
2) Dalam hal debitur adalah perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal;
3) Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau BUMN yang bergerak di kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan/Otoritas Jasa Keuangan;
4) Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitur yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuam suami ataupun istrinya;
dan
commit to user
5) Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama tempat tinggal masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untung seluruh utang frima.
Berkenaan dengan penanggung (borgtocht) yang telah diatur dalam Pasal 1820-1830 KUHPerdata, terkait kepailitan penanggung, Zainal Asikin merumuskan sebagai berikut (Zainal Asikin, 2013: 32):
1) Seorang penanggung belum dapat dinyatakan pailit apabila tertanggung (debitur) benar-benar masih mampu membayar utang-utangnya, meskipun keadaan penanggung sudah dalam keadaan tidak mampu dan harus diingat pula bahwa dengan jatuhnya pailit penanggung tidaklah secara otomatis membuat tertanggung (debitur) menjadi pailit;
2) Bahwa pihak penanggung baru dapat dinyatakan pailit atau dimohonkan pailit apabila perusahaan tertanggung (debitur) benar-benar sudah tidak mampu membayar utang-utangnya, dan penanggung sendiri tidak melaksanakan fungsinya sebagai seorang penanggung yang baik.
Merujuk pada klausa nomor 2, penulis berpendapat bahwa untuk menyatakan bahwa pihak penanggung pailit, maka syarat pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan harus terpenuhi yaitu, adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta terdapat dua atau lebih kreditur.
g. Akibat Kepailitan
1) Akibat Terhadap Harta Kekayaan
Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dalam hal ini, kepailitan hanya melibatkan harta kekayaan debitur, artinya debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang termasuk dalam
Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur selama kepailitan berada dalam sita umum sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, kecuali (Jono, 2013: 107):
a) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan debitur yang berhubungan dengan perkerjannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan keluarganya, yang berada di tempat itu;
b) Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; dan
c) Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.
2) Akibat Kepailitan Terhadap Pasangan (Suami/Istri) Debitur Pailit
Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Kepailitan, terhadap seseorang yang dinyatakan pailit, yang pailit tersebut termasuk juga istri atau suaminya atas dasar persatuan harta. Ketentuan ini membawa kepada konsekuensi hukum yang serius dengan ikut pailitnya si suami/istri yang tergabung dalam persatuan harta juga berdampak pada sita kepailitan dan masuk kedalam boedel pailit (Munir Fuady, 2017: 65).
3) Akibat Kepalitian Terhadap Seluruh Perikatan yang Dibuat Debitur Pailit
Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Kepailitan, semua perikatan debitur yang terbit setelah adanya putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali jika perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. commit to user
4) Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Karyawan
Terbitnya putusan pernyataan pailit bagi karyawan yang bekerja pada debitur pailit, mengakibatkan baik karyawan maupun kurator sama-sama berhak untuk memutuskan hubungan kerja. Dalam pemutusan hubungan kerja perlu adanya pemberitahuan PHK dengan jangka waktu sebagai berikut (Munir Fuady, 2017: 71):
a) Jangka waktu pemberitahuan PHK yang sesuai dengan perjanjian kerja;
b) Jangka waktu tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan; dan
c) Dapat di PHK dengan pemberitahuan minimal jangka waktu 45 hari.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Secara garis besar kepailitan mengatur tentang perjanjian kredit atau utang piutang yang dilakukan oleh debitur dan kreditur. Dalam melakukan perjanjian kredit atau utang piutang, seorang debitur sering menggunakan suatu jaminan untuk menjaminkan utangnya kepada kreditur. Salah satu
Kredit
Hubungan Debitur dengan Kreditur
Debitur Personal
Guarantee
Pailit
Kreditur
Kedudukan Hukum Personal Guarantee Apabila Telah
Memenuhi Kewajibannya Terhadap Perusahaan yang
Dimohonkan Pailit Kedudukan Hukum
Personal Guarantee Terhadap Perusahaan
yang Dimohonkan Pailit
commit to user
jaminan yang diberikan debitur adalah jaminan khusus yaitu jaminan perorangan berupa personal guarantee. Kedudukan hukum personal guarantee pada hakikatnya hanya menjadi pihak ketiga yang menjaminkan dan menanggung pelunasan utang apabila debitur cidera janji atau wanprestasi dalam melunasi utang-utangnya. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1832 angka 2 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa personal guarantee yang mengikatkan diri dengan debitur secara tanggung-menanggung, dapat disebut juga sebagai seorang debitur.
Apabila personal guarantee tidak mampu untuk memenuhi kewajiban debitur yang cidera janji atau wanprestasi, maka dapat dituntut pertanggung jawabannya oleh kreditur. Salah satu sarana hukum yang dipergunakan untuk penyelesaian utang piutang tersebut yaitu permohonan pailit dengan catatan telah terpenuhinya syarat permohonan pailit yaitu adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta mempunyai dua atau lebih kreditur. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai kedudukan hukum personal guarantee terhadap perusahaan yang dimohonkan pailit serta kedudukan hukum personal guarantee apabila telah memenuhi kewajibannya terhadap perusahaan yang dimohonkan pailit.