• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG SEMENTARA MENJADI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

UTANG TETAP DALAM PUTUSAN NOMOR 64/PKPU/2012/PN.NIAGA.JKT.PST.

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

WIGRHA TOMMY BOY SIMANUNGKALIT NIM: 140200247

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

K A T A P E N G A N T A R

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunian-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Fakultas Hukum Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu,” ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG SEMENTARA MENJADI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

UTANG TETAP DALAM PUTUSAN NOMOR

64/PKPU/2012/PN.NIAGA.JKT.PST” Penelitian ini dapat dikerjakan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Sehubungan dengan ini dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr.

Budiman Ginting, S.H., M.Hum

2. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum

3. Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum

4. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum

5. Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H

6. Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H sekaligus sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan petunjuk serta saran yang bermanfaat dan sangat mendukung dalam penyelesaian Skripsi ini

(4)

7. Terima kasih kepada Pembimbng I Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum yang telah banyak memberikan petunjuk serta saran yang bermanfaat dan sangat mendukung dalam penyelesaian Skripsi ini.

8. Bapak/ Ibu dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan ilmunya yang sangat berarti bagi masa depan saya,

9. Dalam kesempatan ini, dengan penuh sukacita, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu saya atas segala jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik, membimbing penulis sejak lahir, serta senantiasa mengiringi penulis dan keluarga dengan doa yang tiada hentinya.

10. Terima Kasih kepada teman-teman semua yang telah memberikan semangat dan bantuan selama proses pengerjaan skripsi.

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada dalam maasyarakat.

Penulis menyadari pula, bahwa substansi Skripsi ini tidak luput dari berbagai kekhilafan, kekurangan dan kesalahan, dan tidak akan sempurna tanpa bantuan, nasehat, bimbingan, arahan, kritikan. Oleh karenanya, apapun yang disampaikan dalam rangka penyempurnaan Skripsi ini, penuh sukacita Peneliti terima dengan tangan terbuka.

(5)

Semoga Skripsi ini dapat memenuhi maksud penulisannya, dan dapat bermanfaat bagi semua pihak, sehingga Ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa.

Medan, 30 April 2019 Penulis,

Wigrha Tommy Boy Simanungkalit

iii

(6)

Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum1 Tri Murti Lubis, S.H., M.H2 Wigrha Tommy Boy Simanungkalit3

Salah satu sarana hukum dalam penyelesaian utang piutang untuk mengantisipasi kesulitan yang menimbulkan masalah dalam utang piutang tersebut, maka dapat digunakan ketentuan perdamaian yang telah disediakan Pemerintah sebagai instrumen hukum yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (disingkat UUK dan PKPU). PKPU merupakan sarana yang strategis dalam mencegah kepailitan. Apabila permohonan PKPU dikabulkan secara tetap dan tercapai perdamaian, maka debitor akan terhindar dari kepailitan.

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia?, 2. Bagaimana Proses Perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara Menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap?, 3.

Bagaimanakah Proses PKPU dalam Putusan Nomor

64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst?

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma- norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Kesimpulan, Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia diatur dalam Pasal 222 sampai Pasal 294 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan prosedur hukum atau (upaya hukum). Proses Perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara Menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap merupakan satu rangkaian proses PKPU. Analisis putusan nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst telah terpenuhi menurut ketentuan penjelasan Pasal 228 ayat (6) dan Pasal 229 ayat (1), serta memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 228 ayat (5), Pasal 230 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara menjadi Tetap dapat diterima berdasarkan pasal-pasal dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Saran, Pemerintah Republik Indonesia seharusnya bekerjasama dengan para akademisi dalam membentuk pengaturan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), khusus didalam setiap pasal-pasal harus jelas dan tegas didalam setiap pengaturan dan proses perubahan PKPU Sementara Menjadi PKPU Tetap. Putusan hukum dalam kepailitan dan PKPU oleh hakim seharusnya memutuskan seadil-adilnya sesuai teori hukum dan fakta hukum di persidangan.

Kata Kunci : PKPU Sementara, PKPU Tetap, Kepailitan, Putusan Pengadilan

1 Dosen Pembimbing I, Depertemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing II, Depertemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Mahasiswa Depertemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Kepailitan ... 8

2. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ... 14

F. Metode Penelitian... 17

G. Sistematika Penulisan... 21

BAB II : PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA ... 23

A. Tinjauan Umum Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia ... 23

B. Prinsip-prinsip Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia ... 28

C. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia ... 41

BAB III : PERUBAHAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG SEMENTARA MENJADI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TETAP ... 50

v

(8)

A. Dasar Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU) ... 50

B. Penerapan Aturan Hukum Mengenai PKPU Tetap ... 51

C. Proses Perubahan PKPU Sementara Menjadi PKPU Tetap ... 55

BAB IV : PELAKSANAAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM PUTUSAN NOMOR 64/PKPU/2012/PN.NIAGA.JKT.PST ... 62

A. Duduk Perkara ... 62

1. Perkara Nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst ... 62

2. Pertimbangan Hakim ... 65

a. Pertimbangan Hakim PKPU Sementara... 65

b. Pertimbangan Hakim PKPU Tetap ... 67

3. Fakta Hukum... ... 69

4. Putusan Hakim... ... 73

B. Analisis Putusan Nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst ... 75

BAB V : PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dan perdagangan di Indonesia mengakibatkan makin banyak persoalan yang timbul di masyarakat, karena setiap orang memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, begitupun dengan badan usaha memerlukan uang untuk membiayai kegiatan usahanya, namun adakalanya mereka tidak mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya maupun untuk membiayai kegiatan usahanya tersebut.

Sampai hari ini Indonesia telah melakukan dua kali penggantian Undang- Undang Kepailitan. Pertama, Faillissements Verordening (Staatblad 1905 Nomor 217 juncto Staatblad 1906 Nomor 348) yang tetap berlaku sampai dengan tahun 1998. Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan) menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.4

Undang-Undang Kepailitan yang pada awalnya untuk melikuidasi harta kekayaan milik debitor untuk keuntungan para kreditornya, dalam perkembangannya mengalami perubahan. Undang-Undang Kepailitan menjadi

4Siti Anisah, “Studi Komparasi Terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan”, Yogyakarta: Jurnal Hukum Universitas Islam Indonesia Vol.

16, 2009, hlm. 31.

(10)

instrumen penting untuk mereorganisasi usaha debitor ketika mengalami kesulitan keuangan.

Umumnya permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat, tidak dapat dipungkiri erat kaitannya dengan semakin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan saat ini. Krisis moneter juga berpotensi membawa dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang- piutang untuk meneruskan kegiatannya.5

Salah satu sarana hukum dalam penyelesaian utang piutang untuk mengantisipasi kesulitan yang menimbulkan masalah dalam utang piutang tersebut, maka dapat digunakan ketentuan perdamaian yang telah disediakan Pemerintah sebagai instrumen hukum yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (disingkat UUK dan PKPU). Utang digunakan sebagai dasar utama untuk mempailitkan debitor, dalam UUK dan PKPU pengadilan niaga menerapkan ketentuan utang dalam penyelesaian perkara kepailitan.6 Kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka pihak lain dapat menuntut seseorang atas haknya secara perdata.7

Undang-Undang Kepailitan saat ini, memang sangat mempermudah proses kepailitan. Sebagai contoh, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila

5 Konsideran Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU).

6Sunarmi Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta:

Sofmedia, 2010), hlm. 429.

7M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 34-35.

(11)

terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya cukup disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) telah terpenuhi.8

Ketentuan Pasal di atas dengan tegas menyatakan bahwa Hakim harus mengabulkan, bukan dapat mengabulkan, jika telah terbukti secara sederhana.

Maksudnya terbukti secara sederhana adalah kreditor dapat membuktikan bahwa debitor berutang kepadanya, dan belum dibayarkan oleh debitor kepadanya padahal telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kemudian kreditor tersebut dapat membuktikan di depan pengadilan, bahwa debitor mempunyai kreditor lain selain dirinya. Jika menurut hakim apa yang disampaikan kreditor atau kuasanya benar, tanpa melihat besar kecilnya jumlah tagihan kreditor, maka hakim harus mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditor tersebut.9

Adanya Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ini diharapkan bisa menggantikan dan menyempurnakan perundangan produk kolonial maupun nasional yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat.

Dengan penegasan ini maka diharapkan secara sosiologis bisa memulihkan dan menimbulkan kepercayaan investor dan masyarakat kepada pemerintah.

Sementara secara yuridis memberikan kepastian dan kejelasan sebagai landasan

8 Zulkarnain Sitompul, “Bail-in:Meningkatkan Tanggung Jawab Pemilik dan Kreditur Bank”, www.zulkarnainsitompul.wordpress.com, online internet diakses pada tanggal 20 April 2019

9 Zulkarnain Sitompul, Ibid, diakses pada tanggal 20 April 2019

(12)

hukum yang kuat serta memberikan motivasi kuat pada hakim, panitera dan advokat, kurator dan pengurus untuk meningkatkan profesionalismenya.10

PKPU merupakan sarana yang strategis dalam mencegah kepailitan.

Apabila permohonan PKPU dikabulkan secara tetap dan tercapai perdamaian, maka debitor akan terhindar dari kepailitan.11 Pada dasarnya, pemberian PKPU kepada debitor dimaksudkan agar debitor mempunyai kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian, baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian atas utangnya ataupun melakukan restrukturisasi (penjadwalan ulang) atas utangnya. Oleh karena itu, PKPU merupakan kesempatan bagi debitor untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas utang-utangnya agar debitor tidak sampai dinyatakan pailit.12

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hakim pengadilan niaga menyimpulkan serta memperhatikan ketentuan Pasal 228 ayat (5), Pasal 229 dan Pasal 230 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, serta pasal-pasal dan peraturan perundang- undangan lainnya yang berkaitan dengan perkara tersebut. Adapun ketentuan Pasal 228 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai berikut:

10Esther Roseline, “Efektivitas Dalam Mencegah Kepalilitan”, http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=1746-html, diakses pada tanggal 20 April 2019

11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 217 ayat (3)

12 Katrin Martha Ulina, Herman Susetyo, Hendro Saptono, “Akibat Hukum Putusan Penolakan PKPU Terhadap Debitor (Kajian Hukum Atas Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 28/PKPU/2011/Pn.Niaga.Jkt.Pst.)”, Semarang: Diponegoro Law Review Vol. 1 No. 4, 2012, hlm. 3.

(13)

“Dalam hal penundaan kewajiban pembayaran utang tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (4), Debitor dinyatakan pailit”

Pasal 229 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai berikut:

(1) Pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan:

a. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan

b. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

(2) Perselisihan yang timbul antara pengurus dan kreditor konkuren tentang hak suara Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diputus oleh Hakim Pengawas.

(3) Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.

(4) Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap Debitor, agar dapat diputus terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.

Pasal 230 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai berikut:

(1) Apabila jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir, karena Kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (6) belum tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, pengurus pada hari berakhirnya waktu

(14)

tersebut wajib memberitahukan hal itu melalui Hakim Pengawas kepada Pengadilan yang harus menyatakan Debitor Pailit paling lambat pada hari berikutnya.

(2) Pengurus wajib mengumumkan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam surat kabar harian di mana permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diumumkan berdasarkan Pasal 226.

Majelis hakim berpendapat bahwa keberatan dari Debitur harus ditolak karena tidak sesuai dengan proses PKPU di Indonesia, Debitur harus mengajukan Rencana Perdamaian (syarat Mutlak ) sebagaimana ketentuan Pasal 228 ayat (3) dan ayat (4) Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dan Majelis Hakim tidak terikat dengan Keputusan Pengadilan Tinggi Hongkong.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis akan menguraikan secara lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap dalam Putusan Nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia?

2. Bagaimana Proses Perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara Menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap?

3. Bagaimanakah Proses PKPU dalam Putusan Nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst?

(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia

b. Untuk mengetahui tentang Proses Perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara Menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap

c. Untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan putusan hukum nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst

2. Manfaat Penulisan

Sementara hal yang diharapkan menjadi manfaat dari adanya penulisan skripsi ini adalah:

a. Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dan memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan hukum ekonomi dan khususnya di kepailitan dan PKPU.

b. Secara praktis uraian dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan menambah wawasan dan pengetahuan secara khusus bagi penulis dan secara umum bagi masyarakat tentang kepailitan dan PKPU juga sebagai bahan kajian untuk para akademisi dan peneliti

(16)

lainnya yang ingin mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi pelaksanaan putusan hakim tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengamatan dan penelusuran yang telah dilakukan, belum ada penelitian tentang Analisis Yuridis Perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap dalam Putusan Nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, sesuai dengan judul skripsi ini.

Telah dilakukan juga pemeriksaan judul skripsi tersebut kepada Arsip Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU/Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum USU, yang menyatakan bahwa”Tidak Ada Judul yang Sama”. Maka berdasarkan hal itu wajarlah bila penelitian terhadap judul skripsi tersebut tetap dilanjutkan. Diadakan juga penelusuran mengenai berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang dilakukan belum ada yang pernah mengangkat topik tersebut.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kepailitan

Istilah “pailit” sendiri berasal dari bahasa Belanda “failliet”, yang mempunyai arti rangkap, yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata sifat. Kata

“failliet” sendiri berasal dari bahasa Perancis “faillite”, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut “le faili”. Kata kerja “faillir” berarti

(17)

gagal. Juga dalam bahasa Inggris kita kenal kata “to fail” dengan arti yang sama.13

Pailit, di dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitor yang berhenti membayar (tidak membayar) utang-utangnya.14 Pernyataan kepailitan tidak perlu ditunjukkan bahwa debitor tidak mampu untuk membayar utangnya, dan tidak dipedulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar.15

Istilah berhenti membayar tidak mutlak harus diartikan debitor sama sekali berhenti membayar utang-utangnya. Tetapi debitor dapat dikatakan dalam keadaan berhenti membayar apabila ketika diajukan permohonan pailit ke pengadilan, debitor tidak dapat membayar utangnya. Keadaan berhenti membayar juga tidak sama sekali dengan keadaan, bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar utangnya itu.16

Pengertian Kepailitan sendiri menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK) yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

13 Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang FH UGM, 2006), hlm. 54.

14 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 27.

15 Siti Soemarti Hartono, Op. Cit, hlm. 55.

16 Putusan HR. 23 Maret 1946 NJ 1946, hlm. 233.

(18)

Berdasarkan defenisi di atas tampak bahwa kepailitan itupun merupakan perbuatan yang berbentuk penyitaan maupun eksekusi terhadap harta debitor untuk pemenuhan kepada debitor. Sementara itu jika diperhatikan dari pengertian pailit menurut pendapat Sri Soemantri Hartono ialah: “Suatu lembaga hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropah yang tercantum dalam Pasal-Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata”.17

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang Debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Niaga) dikarenakan Debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta Debitor dapat dibagikan kepada para Kreditor sesuai dengan peraturan Pemerintah.18

Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan di atas.19 Apabila dilihat menurut sudut sejarah hukum, Undang-undang Kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para Kreditor dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.20

17 Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta : Liberty, 1981), hlm. 3.

18 J. Djohansah. Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 23.

19 Kartini Muljadi. Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 75-76.

20 Erman Radjagukuguk. Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm.

181.

(19)

Selanjutnya menurut Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah :

“the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againt whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntaru petition, or who has been adjudged a bankrupt.”

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang Debitor atas utang- utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh Debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar.21

Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitor dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:22

a. kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditor;

b. kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor- kreditornya.

21 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan. (Jakarta : Rajawali Pers, 1999), hlm. 11.

22 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Ibid, hlm. 11

(20)

Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Dari syarat pailit yang diatur dalam Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah:23

a. Adanya utang;

b. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo;

c. Minimal satu dari utang dapat ditagih;

d. Adanya Debitor;

e. Adanya Kreditor;

f. Kreditor lebih dari satu;

g. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan khusus yang disebut dengan ”Pengadilan Niaga”;

h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu:

1) Pihak Debitor;

2) Satu atau lebih Kreditor;

3) Jaksa untuk kepentingan umum;

4) Bank Indonesia jika Debitornya bank;

5) Bapepam jika Debitornya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian;

6) Menteri Keuangan jika Debitornya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik;

i. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU;

j. Apabila syarat-syarat terpenuhi, Hakim “menyatakan pailit” bukan dapat dinyatakan pailit.” Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak dapat diberikan ruang untuk memberikan ”judgement” yang luas.

23 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 8.

(21)

Sehingga dalam pengajuan pailit terhadap Debitor oleh Kreditor, maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih sama dengan Undang-Undang Kepailitan, hanya pengaturan Pasalnya saja yang berubah bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU diatur. Esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan Debitor untuk kepentingan semua Kreditor yang pada waktu Debitor dinyatakan pailit mempunyai hutang.

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU diatur persyaratan untuk dapat dipailitkan sungguh sangat sederhana. Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Kepailitan dan PKPU, menentukan bahwa yang dapat dipailitkan adalah Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.

Hal ini tidak berbeda jauh dengan syarat pailit yang diatur dalam Undang- Undang Kepailitan dan PKPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya”.

Berdasarkan paparan di atas, maka telah jelas, bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, Debitor harus telah memenuhi dua syarat yaitu:

(22)

a. Memiliki minimal dua Kreditor atau lebih

b. Tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Kreditor yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan Debitor, tanpa melihat jumlah piutangnya.

2. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Mengacu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang wajib daftar perusahaan, maka perusahaan didefenisikan sebagai “setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus menerus, dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”. Sementara yang dimaksud dengan

“bentuk usaha” adalah organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak setiap jenis usaha. Organisasi atau badan usaha tersebut diatur/diakui oleh undang-undang, baik bersifat perseorangan, persekutuan atau badan hukum.24

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur pada BAB II Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, tepatnya Pasal 212 sampai Pasal 279 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Kedudukan dari PKPU adalah bahwa PKPU tidak dapat disejajarkan dengan instrumen kepailitan, atau sebagai sesuatu yang bersifat alternatif dari prosedur kepailitan. PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-

24 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1.

(23)

utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren.25

PKPU dapat diajukan secara sukarela oleh debitor yang telah memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat membayar utang-utangnya, maupun sebagai upaya hukum terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kreditornya.

PKPU sendiri terbagi 2 bagian, yaitu:

a. tahap pertama, adalah PKPU Sementara;

b. tahap kedua adalah PKPU Tetap.

Berdasarkan Pasal 214 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Pengadilan niaga harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara. PKPU sementara diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat kreditor yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada debitor untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.

PKPU Tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke 45 atau rapat kreditor tersebut, belum dapat memberikan suara mereka terhadap rencana tersebut.26

Prinsip ini jelas berbeda dengan kepailitan, yang prinsip dasarnya adalah untuk memperoleh pelunasan secara proporsional dari utang-utang debitor.

25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 212

26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 217 ayat (3)

(24)

Meskipun pada prinsipnya kepailitan masih membuka pintu menuju perdamaian dalam kepailitan, namun cukup jelas bahwa kepailitan dan PKPU adalah dua hal yang berbeda, dan oleh karenanya tidak pada tempatnya untuk membandingkan secara kuantitatif kedua hal tersebut.

Bandingkan dengan apabila melalui proses restructuring biasa, yang apabila terjadi breach perjanjian, tentunya harus dilalui proses gugat perdata yang berliku-liku proses dan panjangnya waktu. Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, maka pengadilan yang berhak memutus pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Hukum Acara yang digunakan adalah Hukum Acara Menurut Munir Fuady, istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of payment atau Surseance van Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang diberikan oleh Undang-Undang melalui putusan Hakim Niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak Kreditor dan Debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.27

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disebut juga PKPU harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti bahwa seorang Debitor tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi apabila sipeminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga maupun atas utang pokok.

27 Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 50.

(25)

Istilah gagal bayar dikenal dan dipergunakan dalam dunia keuangan untuk menggambarkan suatu keadaan dimana seorang Debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian utang piutang yang dibuatnya misalnya tidak melakukan pembayaran angsuran ataupun pelunasan pokok utang sesuai dengan kesepakatan termasuk melakukan pelanggaran atas persyaratan kredit sebagaimana diatur di dalam kontrak. Kondisi ini dapat terjadi pada semua kewajiban utang termasuk obligasi, kredit pemilikan rumah, pinjaman perbankan, surat sanggup bayar, Medium Term Note , dan lain-lain perjanjian yang bersifat utang.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif.

Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan. Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum yang dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang dibahas,28 Adapun beberapa langkah yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah :

28Soerjono Soekanto dan Sri Mahudji, Perlindungan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 13.

(26)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.29

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini, bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan analisis yuridis terhadap penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dalam suatu putusan.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini meliputi data sekunder menggunakan jenis data sekunder (secondary data). Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Data sekunder berfungsi untuk mencari data awal/informasi, mendapatkan batasan/definisi/arti suatu istilah. data sekunder yang dipakai adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 1.

(27)

2) Kitab Hukum Undang-undang Dagang

3) Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan,

4) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel ilmiah, hasil-hasil penelitian, laporan- laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi dan sebagainya yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yang mencakup bahan yang memberi petunjuk- petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, ensiklopedia, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (Library Research). Metode Library Research adalah mempelajari sumber- sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini.

Berupa rujukan beberapa buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana ekonomi dan hukum yang sudah mempunyai nama besar dibidangnya, koran dan majalah.

(28)

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan (studi pustaka). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dari sumber ini dengan memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku yang berhubungan dengan judul skripsi “Analisis Yuridis Perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara menjadi Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang Tetap dalam Putusan Nomor

64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst”.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif. Kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur, baik yang berupa buku, peraturan perundangan, dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa.

Analisis data ini dilakukan setelah setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi, sehingga diketahui reliabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. 30

30Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 7.

(29)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA Pada bab ini akan membahas mengenai tinjauan umum tentang penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia, prinsip-prinsip penundaaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia dan pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia

BAB III PERUBAHAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG SEMENTARA

MENJADI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TETAP

(30)

Dalam bab ini akan dibahas tentang dasar hukum penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), penerapan aturan hukum mengenai PKPU tetap dan proses perubahan PKPU sementara menjadi PKPU tetap.

BAB IV PELAKSANAAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG DALAM PUTUSAN NOMOR 64/PKPU/2012/PN.NIAGA.JKT.PST Dalam bab ini akan dibahas tentang duduk perkara nomor 64/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst dan analisis putusan

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab Kesimpulan dan Saran. Merupakan ringkasan dari bab-bab yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

(31)

BAB II

PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia

Ketentuan PKPU yang berlaku di Indonesia masih menjadi satu dengan Undang-Undang Kepailitan, baik semasa Faillissement Verordening Stb .1905No.217 juncto Stb. 1906 No.348, setelah terjadinya krisis moneter di Indonesia Juli 1997, maka dirubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135) dan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004), dimana instrumen hukurn tersebut diperlukan untuk memfasilitasi permasalahan hukum pembayaran utang dan pernyataan pailit.31

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan satu atau lebih Kreditornya.32

31 Sunarmi,Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hlm. 200.

32 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 33.

(32)

Berkaitan dengan ketentuan Pasal tersebut, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan definisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan utang. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor, bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapatkan pemenuhan dari harta kekayaan Debitor.33

Menurut Setiawan, dalam tulisannya yang berjudul “Ordonansi Kepailitan Serta Plikasi Kini” Utang seyogyanya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (dimana Debitor telah menerima sejumlah uang tertentu dari kreditornya), maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan Debitor harus membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena Debitor telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar Debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain.34

Kartini Muljadi, dalam tulisannya yang berjudul “Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan” mengaitkan pengertian utang dengan Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Kartini Muljadi menguraikan

33 Adrian Sutedi, Ibid, hlm. 34.

34 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailtan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 87.

(33)

bahwa ia mengartikan utang sama dengan pengertian kewajiban. Dari uraiannya pula dapat disimpulkan bahwa kewajiban itu timbul karena setiap perikatan, Pasal 1233 KUH Perdata dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Selanjutnya Kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam Pasal 1233 itu dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata yang menentukan, tiap-tiap perikatan (menimbulkan kewajiban) untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Dengan kata lain bahwa pengertian utang adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kartini Muljadi menganut pengertian utang dalam arti yang luas.35

Sutan Remy Sjahdeini, mengemukakan bahwa pengertian utang di dalam undang-undang tidak seyogyaya diberi arti yang sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang-piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban Debitor yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada Kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apa pun juga (tidak terbatas hanya kepada perjanjian utang-piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan Hakim yang telah berkakuatan hukum tetap.36

35 Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, hlm. 88.

36 Ibid, hlm. 89.

(34)

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan diatas dengan dirumuskannya pengertian utang menimbulkan dua aliran, yaitu:

1. Aliran sempit

Penganut aliran ini mengatakan bahwa utang adalah kewajiban Debitur untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang- piutang atau perjanjian kredit, yang terdiri atas utang pokok dan atau bunga.

2. Aliran luas

Penganut aliran ini yang dimaksud dengan utang adalah bukan saja hanya kewajiban Debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang-piutang saja, tetapi juga kewajiban Debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian atau undang- undang.37

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia pada hakikatnya bertujuan untuk melakukan perdamaian antara debitor dengan para kreditornya dan menghindarkan debitor yang telah atau akan mengalami insolven dari pernyataan pailit. Akan tetapi apabila kesepakatan perdamaian dalam rangka perdamaian PKPU tidak tercapai, maka debitor pada hari berikutnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.38

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terbagi dalam dua (2) tahap, yaitu tahap PKPU Sementara dan tahap PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal

37 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: Tata Nusa, 2012), hlm.

11.

38 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2008), hlm. 329.

(35)

225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga harus mengabulkan permohonan PKPU sementara. PKPU sementara diberikan untuk jangka waktu 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat kreditor untuk memberikan kesempatan kepada debitor untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya. Sedangkan PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke-45 atau rapat kreditor belum dapat memberikan suara mereka terhadap rencana perdamaian tersebut (Pasal 228 ayat (6) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004).

Pada hakikatnya PKPU berbeda dengan kepailitan, PKPU tidak berdasarkan pada keadaan dimana debitor tidak membayar utangnya atau insolven dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan budel pailit. PKPU tidak dimaksudkan untuk kepentingan debitor saja, melainkan juga untuk kepentingan para kreditornya. Menurut Fred B.G. tumbuan, PKPU bertujuan menjaga jangan sampai seorang debitor, yang karena suatu keadaan semisal keadaan likuid dan sulit memperoleh kredit, dinyatakan pailit, sedangkan bila ia diberi waktu besar kemungkinan ia akan mampu untuk melunaskan utang-utangnya, jadi dalam hal ini akan merugikan para kreditor juga. Oleh karenanya dengan memberi waktu dan kesempatan kepada debitor melalui PKPU maka debitor dapat melakukan reorganisasi usahanya ataupun restrukturisasi utang-utangnya, sehingga ia dapat melanjutkan usahanya dan dengan demikian ia dapat melunasi utang-utangnya.39

39 Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, hlm. 329.

(36)

B. Prinsip-prinsip Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia Menurut Black, prinsip diartikan sebagai “a fundamental truth or doctrine, asof law; a comprehensive rule or doctrine wgich furnishes a basis or origin for others”.

Menurut Satjipto Rahardjo, prinsip hukum dinyatakan sebagai jantung peraturan hukum dan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Prinsip-prinsip hukum di dalam hukum kepailitan diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar andalan memecahkan persoalan hukum yang timbul yang mana tidak dapat dan/atau belum dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada.40

Berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana keberadaanya digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, yaitu:41

1. Prinsip Paritas Creditorium

Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor. Prinsip paritas creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang- barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.42

40Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, (Yogyakarta:Genta Publishing, 2010), hlm. 74

41Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung:PT.Alumni, 2003), hlm. 13.

42M. Hadi Subhan, Op.Cit, hlm. 27-28.

(37)

Adapun filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda, sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang- utangnya, meski harta tersebut tidak terkait langsung dengan utang-utangnya.43

Menurut Kartini Muljadi44, peraturan kepailitan di dalam Undang-Undang Kepailitan adalah penjabaran dari Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek. Hal ini dikarenakan :

a. Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya;

b. Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya, tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan haknya atau mengagunkannya;

dan

c. Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit.

Prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut adalah para kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip ini tidak membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan.

43M. Hadi Subhan, Ibid, hlm. 28.

44Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy A.Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung:Alumni, 2001), hlm. 300.

(38)

Oleh karenanya, ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan prinsip pari passu pro rata parte dan prinsip structured creditors.45

Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailitan yang menerapkan prinsip paritas creditorium, maka di dalam Faillis sements verordening (Peraturan Kepailitan sebelum Tahun 1998) tidak menganut prinsip paritas creditorium.46 Pasal 1 Peraturan Kepailitan/Faillis sements verordening menyatakan bahwa setiap debitor yang tidak mampu membayar kembali utang tersebut baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau lebih, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit.47

Ketentuan tersebut, tersurat bahwa pernyataan pailit hanya memerlukan dua syarat saja, yaitu debitor harus berada dalam keadaan telah berhenti membayar, dan harus ada permohonan pailit baik oleh debitor sendiri maupun seorang kreditor atau lebih.48 Ketentuan di dalam Faillis sements verordening yang tidak menganut prinsip paritas creditorium merupakan kelalaian pembuat undang- undang. Pentingnya prinsip paritas creditorium untuk dianut di dalam peraturan kepailitan adalah sebagai pranata hukum untuk menghindari unlawful execution akibat berebutnya para kreditor untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari debitor dimana hal itu akan merugikan baik debitor sendiri maupun kreditor yang datang terakhir atau kreditor yang lemah.49

45M. Hadi Subhan, Op.Cit, hlm. 29.

46M. Hadi Subhan, Ibid, hlm. 73.

47Ibid, hlm. 73-74.

48Ibid, hlm. 74.

49Ibid

(39)

2. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte

Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.50

Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata.51 Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil dari padanya.52

3. Prinsip Structured Pro Rata

Prinsip structured pro rata atau yang disebut juga dengan istilah structured creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan keluar keadilan diantara kreditor. Prinsip ini adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan

50Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu, yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaaan debitor

51M. Hadi Subhan, Op.Cit, hlm. 30.

52Ibid

(40)

menjadi tiga macam, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.53

Menurut Jerry Hoff, pembagian kreditor di dalam hukum kepailitan dijabarkan sebagai berikut :54

a. Secured creditors right of secured creditors, security interests are inrem right that vest in the creditor by agreement and subsequent performance of certain formalities. A creditor whose interests are secured by inrem right is usually entitled to cause the foreclosure of the collateral without a judgement, to satisfy his claim from the proceeds with priority over the other creditor. This right to foreclosure without a judgmentis called the right of immediateenforcement.

b. Preferred creditor the the preferred creditors have a preference to their claim. Obviously, the preference issue is only relevant if there is morethan one creditor and if the assets of the debitor are not sufficient to pay of all the creditors (there is a concursus creditorum). Preferred creditor are required to present their claims to the thereceiver for verification and are there by charged a pro rata parte share of costs of the bankruptcy. There are several categories of preferred creditors:creditors who have statutory priority, creditors who have non statutory priority, and estate creditors.

c. Unsecured creditor the unsecured creditor do not have priority and will therefore be paid, if any poceeds of the bankcruptcy estate remain, after all trheother have received payment. Unsecured creditor are required to present their claims for verification to their receiver and they are charged a pro rata parte share of the cocts of the bankruptcy.

Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren saja, melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) dan kreditor yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan (kreditor preferen).55 Ketiga kreditor ini diakui eksistensinya dan bahkan di dalam undang-undang kepailitan Belanda tidak terdapat keraguan

53Pembagian atau pengklasifikasian kreditor di dalam kepailitan ini dapat dilihat dalam Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit., hlm. 280., dan dapat dilihat dalam Jono, Op.Cit, hlm. 5-10.

54M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 32.

55Ibid, hlm. 33.

(41)

terhadap hak kreditor separatis dan kreditor preferen untuk mengajukan kepailitan.

4. Prinsip Debt Collection

Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor.56

Prinsip-prinsip kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia menggunakan prinsip debt collection yang dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaan debitor agar mau membayar utangnya kepada para kreditornya dengan cara melikuidasi seluruh aset debitor sampai sejauh kemampuan aset debitor bisa melunasi utang-utangnya kepada para kreditor.

Prinsip ini juga memiliki konsekuensi kepada debitor agar berhati-hati melaksanakan pengurusan usahanya dan manajemen usaha agar tidak sampai bangkrut.57

Masih banyak asas-asas dan prinsip-prinsip yang dikenal dalam hukum kepailitan, di samping asas dan prinsip tersebut ditentukan syarat minimal mengajukan permohonan kepailitan kepada Pengadilan Niaga.58 Syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor dengan tujuan untuk memperoleh pelunasan pembayaran utang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU

56Zaman dahulu, prinsip ini dimanifestasikan dalam bentuk perbudakan, pemotongan sebahagian tubuh debitor (mutilation), dan pencincangan tubuh debitor (dismemberment).

Sedangkan hukum kepailitan modern menekankan prinsip ini antara lain dalam bentuk likuidasi aset. Sutan Reny Sjahdeni, Op.Cit, hlm. 38.

57Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta:Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 19.

58M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 25.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas)

Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang ditandai dengan Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang ditandai dengan suatu

Metode yang digunakan dalam penyusunan Tafsir al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI ini adalah metode tematik, atau dikenal juga dengan istilah maudhu’i..

Berdasarkan literatur, pelarut yang bersifat tidak terlalu polar juga dapat digunakan untuk membersihkan lendir pada permukaan daging lidah buaya Maksudnya agar tidak banyak

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemantauan jentik rutin oleh jumantik dari kalangan ibu rumah tangga tidak berjalan optimal, sehingga dilakukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran ICM dengan pendekatan problem posing berbantuan software MATLAB memiliki

Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian dan pembahasan penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Siswa dengan tingkat kecerdasan emosional tinggi: a) mampu

Dalam gerakan tertentu yang yang tidak bisa diamati secara visual dan tidak dapat terjangkau oleh mata telanjang manusia, aplikasi pemrosesan video sering harus melakukan