• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hal ini dikarenakan saat ini rata-rata petani di Indonesia sudah melakukan alih fungsi lahan dari lahan tanaman perkebunan lain menjadi lahan perkebunan kelapa sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Hal ini dikarenakan saat ini rata-rata petani di Indonesia sudah melakukan alih fungsi lahan dari lahan tanaman perkebunan lain menjadi lahan perkebunan kelapa sawit"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, dimana pertanian sebagai penopang dalam pembangunan dan juga sebagai sumber mata pencarian penduduknya.

Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar yaitu sekitar 13,11 persen pada tahun 2021 (Lampiran 1).

Perkebunan memiliki karakteristik yang dapat ditinjau melalui beberapa aspek yang diantaranya jenis komoditas, hasil produksi, dan pengusahaannya.

Tanaman kelapa sawit merupakan salah satu komoditi unggulan subsektor tanaman perkebunan yang juga menjadi penyumbang devisa negara melalui ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO), membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat (sebagai petani, buruh pabrik, karyawan perusahan, pedagang, dll), mengembangkan perekonomian desa dan mengentaskan kemiskinan.

Tabel 1. Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2019- 2021

Tahun PR (Ha) PBN (Ha) PBS (Ha) Total (Ha)

2019 5.958.502 633.924 8.085.134 14.677.560

2020 6.003.800 634.690 7.880.617 14.327.097

2021 6.088.700 506.700 7.250.000 13.845.400

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019

Tabel 1 menunjukkan bahwa selama tahun 2019 sampai 2021 luas lahan kelapa sawit di Indonesia mengalami trend yang meningkat. Penurunan ini dikarenakan luas lahan pada perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan swasta (PBS) mengalami penurunan. Sementara itu, pada perkebunan rakyat luas

(2)

lahan kelapa sawit justru mengalami peningkatan, sehingga dari ketiga perkebunan tersebut maka perkebunan rakyat memiliki luas tertinggi dibanding dengan lahan PBN dan PBS. Hal ini dikarenakan saat ini rata-rata petani di Indonesia sudah melakukan alih fungsi lahan dari lahan tanaman perkebunan lain menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit tersebar dibeberapa wilayah Indonesia, seperti pulau Sumatera dan Kalimantan.

Terjadinya perluasan areal perkebunan kelapa sawit secara besar–besaran juga memberikan dampak negatif dalam perkembangannya. Perkebunan kelapa sawit Indonesia diklaim tidak ramah lingkungan dan tidak mengarah pada pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan. Kebakaran hutan dan lahan dalam pembukaan maupun perluasan lahan mengakibatkan banyak ekosistem hutan yang rusak. Rusaknya ekosistem ini berimbas pada terganggunya rantai makanan dan berkurangnya spesies langka. Kajian CIFOR (Center fot International Forestry Research) yang dikutip dari buku Potret Keadaan Hutan Indonesia (PKHI)

memperkirakan bahwa setidaknya empat juta hektar kebun kelapa sawit produktif yang ada saat ini, lahannya berasal dari deforestasi (Forest Watch Indonesia, 2014).

Guna menekan resiko pada kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, maka pada tahun 2011 Indonesia menginisiasi produksi kelapa sawit berkelanjutan yang kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.19/OT.140/3/2011 tentang pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil-ISPO), Peraturan ini kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri Pertanian No.11/Permentan/OT.140/3/2015 (Agustina, 2014).

(3)

Sertifikasi kelapa sawit merupakan salah satu cara pemerintah untuk menanggulangi dampak lingkungan, permasalahan sosial, pemananasan global, hilangnya spesies langka dan dampak lainnya yang ditimbulkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan lembaga sertifikasi kelapa sawit yang akan memberikan standar kualitas produk – produk yang berbahan baku minyak kelapa sawit (Darussamin, 2012).

Melalui hasil penelitian Dewi, et al (2015), adapun manfaat yang dapat diterima petani apabila mengikuti sertifikasi ISPO yakni terbukanya akses pasar dan akses finansial bagi petani, meningkatkan usaha berkelanjutan bagi masyarakat, mengurangi sengketa lahan serta isu negatif mengenai perkebunan kelapa sawit Indonesia.

Melalui data Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2020, melalui sertifikat ISPO yang telah diterbitkan mencakup area perkebunan sawit seluas 5.450.329 ha atau 38,03 persen dari total luas kebun sawit 14,33 juta Ha. Produksi TBS:

60.266.557 ton/tahun, Produksi CPO perkebunan tersebut sebanyak 13.003.424 ton/tahun atau 32,05 persen dari total produksi CPO 40,57 juta ton/tahun, sedangkan produktivitasnya sebanyak 18,96 ton/ha dan rendemen rata-rata 24,45 persen. Sertifikasi ISPO yang telah diterbitkan terdiri dari: 785 perusahaan, 11 KUD/KSU kebun plasma, 1 Bumdes serta 6 Koperasi/Asosiasi kebun yang tersebar di Indonesia.

Salah satu wilayah yang menerima sertifikasi ISPO untuk usahatani kelapa sawit adalah Provinsi Jambi. Adapun beberapa daftar penerima sertifikasi ISPO di Provinsi Jambi tahun 2021 sebagai berikut:

(4)

Tabel 2. Daftar Nama Koperasi penerima Sertifikasi ISPO di Provinsi Jambi Tahun 2021

No. Nama Lokasi Tahun

Sertifiksi

Nomor Sertifikat

Ket 1. KUD Karya

Mukti

Kabupaten Bungo 2017 SGS-ID - ISPO-0015

Plasma 2. Koperasi Mutiara

Bumi

Kabupaten Batanghari 2018 MISB ISPO/030

Swadaya 3. Koperasi Perkasa

Nalo Tantan

Kabupaten Merangin 2019 MISB ISPO/053

Plasma 4. Gapoktan Catur

Manunggal

Kabupaten Tanjung Jabung Barat

2020 MISB ISPO/063

Swadaya Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, 2020

Tabel 2 menunjukkan bahwa di Provinsi Jambi ada 4 pihak yang menerima serifikasi ISPO, dimaan sertifikasi ISPO ini sudah diberikan kepada petani kelapa sawit Provinsi Jambi sejak tahun 2017 dan terakhir pada tahun 2020. Penerima pertama sertifikasi ISPO adalah KUD Karya Mukti yang ada di Kabupaten Bungo, penerima kedua adalah Koperasi Mutiara Bumi di Kabupaten Batanghari, penerima ketiga adalah Koperasi Perkasa Nalo Tantang di Kabupaten Merangin dan penerima terakhir adalah Gapoktan Catur Manunggal di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Kabupaten Batanghari merupakan salah satu Kabupaten yang telah menerima sertifikasi ISPO, tepatnya pada Kecamatan Bajubang di Desa Pompa Air melalui KUD Mutiara Bumi Pada Tahun 2018. Petani yang telah menerima sertifikasi merupakan petani kelapa sawit swadaya yang tergabung sebagai anggota koperasi. Adapun jumlah petani yang menerima sertifikasi ISPO di Kecamatan Bajubang sebagai berikut:

(5)

Tabel 3. Sebaran Data Petani Swadaya yang Sudah Bersertifikasi ISPO dan Petani Kelapa Sawit Swadaya yang Non-Sertifikasi di Kecamatan Bajubang Tahun 2021

No Desa Petani bersertifikasi ISPO

Petani Nonsertifikasi

Jumlah Petani

1. Kel. Bajubang - 65 65

2. Ladang Peris - 106 106

3. Penerokan - 47 47

4. Bungku - 132 132

5. Pompa Air 74 96 170

6. Petajen - 25 25

7. Batin - 36 36

8. Mekar Jaya - 40 40

9. Sungkai - 38 38

Jumlah 74 585 659

Sumber : Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Jambi 2020

Tabel 3 menunjukkan bahwa petani penerima ISPO di KUD Mutiara Bumi yang ada di Desa Pompa Air Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari hanya 74 petani dari total 170 petani. Hal ini berarti hanya 43,54 persen petani yang tergabung kedalam kepemilikan sertifikat ISPO dari total petani yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit di Desa Pompa Air. Berbagai kendala dialami oleh petani terhadap sertifikasi ISPO, seperti sulitnya petani dalam memenuhi persyaratan administrasi, legalitas lahan, pembiayaan sertifikasi, dan belum tergabung dalam keanggotaan koperasi atau kelompok tani, serta kesiapan petani untuk menerapkan standar pedoman ISPO. Keadaan petani tersebut tentu berbanding jauh dengan pernyataan yang sudah tertuang melalui Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa ISPO bersifat mandatory atau merupakan suatu kewajiban bagi setiap usaha perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah Indonesia yang akan diberlakukan pada Tahun 2025 mendatang untuk perkebunan dan berlaku pada perusahaan perkebunan setelah peraturan tersebut dikeluarkan. Usaha perkebunan kelapa sawit, yang terdiri dari

(6)

usaha budidaya tanaman perkebunan kelapa sawit, usaha pengelolaan hasil perkebunan kelapa sawit dan integrasi usaha budidaya perkebunan kelapa sawit dan usaha pengelolaan hasil perkebunan kelapa sawit diharuskan untuk melakukan sertifikasi ISPO.

Hal inilah yang menjadikan petani sebagai pihak yang mengambil keputusan, untuk menerima ataupun menolak sesuatu yang tidak mudah untuk diterima. Pada hakikatnya, pengambilan keputusan merupakan suatu pendekatan yang sistematis terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat (Siagian, 1986).

Pertanian dalam penerapan ISPO merupakan sebuah inovasi sistem tata kelola usahatani kelapa sawit yang berkelanjutan untuk saat ini maupun mendatang. Petani menjadi bagian yang penting dalam menerima proses adopsi dan difusi inovasi sistem tata kelola tersebut yang diharapkan petani dapat maju dan mampu menjadi salah satu pelopor pembangunan pertanian di Indonesia, terkhusus pada subsektor perkebunan kelapa sawit. Menurut Mardikanto (1993) penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar–benar dapat melaksanakan atau menerapkan dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan usahataninya.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji hal ini lebih dalam. Termasuk seberapa besar faktor – faktor yang ada dalam mempengaruhi pengambilan keputusan petani terhadap menjalankan usahatani dalam penerapan ISPO. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian mengenai

(7)

“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keputusan Petani Untuk Tergabung Dalam Sertifikasi ISPO di KUD Mutiara Bumi Kabupaten Batanghari”.

1.2. Perumusan Masalah

Berkembangnya industri kelapa sawit tidak terlepas dari bagaimana pengelolaan minyak sawit yang berkelanjutan dan lestari. Secara umum industri kelapa sawit menunjukkan kinerja ekonomi yang sangat menguntungkan. Tingkat keuntungan yang menggiurkan mendorong pertumbuhan industri dan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat, menyebabkan kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian cukup baik terhadap pengembangan wilayah, Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB), maupun lapangan kerja (Kadir, 2012). Industri kelapa sawit sering dituding sebagai salah satu penyebab perubahan iklim, pemanasan global, rusaknya lingkungan dan hutan-hutan tropis serta hilangnya keanekaragaman hayati yang ada (Hadad, 2010).

Melalui Pasal 2 pada Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, No.11/Permentan/OT.140/3/2015 serta undang–undang terbaru melalui Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 mengenai Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification/ISPO) yang menyatakan bahwa penerapan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dilakukan secara wajib (mandatory). Adapun ISPO diwajibkan untuk setiap perusahaan perkebunan serta secara usaha kebun plasma dan usaha kebun swadaya ataupun bagi setiap usaha perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah Indonesia. Usaha perkebunan kelapa sawit, yang terdiri dari usaha budidaya tanaman perkebunan kelapa sawit, usaha pengelolaan hasil perkebunan kelapa sawit, dan integrasi usaha budidaya perkebunan kelapa

(8)

sawit serta usaha pengelolaan hasil perkebunan kelapa sawit diharuskan untuk melakukan sertifikasi ISPO (Kementerian Pertanian, 2020).

Pengusaha perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu menerapkan sertifikasi produk kelapa sawit yang sudah ditetapkan. Akan tetapi standar yang diterapkan tidak mudah untuk dipenuhi oleh pengelola perkebunan kelapa sawit, terutama perkebunan rakyat. Karakteristik perkebunan rakyat dengan berbagai keterbatasannya menghadapi kendala dalam memenuhi standar tersebut baik dari pemenuhan legalitas lahan, kelembagaan, maupun besaran biaya yang tidak sedikit dalam menerapkan sistem budidaya berdasarkan prinsip dan kriterian ISPO. Namun di sisi lain, petani yang telah mendapatkan sertifikat ISPO akan mendapatkan jaminan dalam penjualan TBS ke perusahaan (Pabrik Kelapa Sawit) yang telah ditetapkan oleh Dinas Perkebunan setempat (Chalil dkk, 2019).

Demikian halnya, maka seorang petani harus mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab atas akibat dari resiko yang timbul dari konsekuensi dari keputusan yang diambilnya (Siagian 1986).

Lionberger (1960) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi meliputi luas usahatani, tingkat pendapatan, keberanian mengambil resiko, umur, tingkat partisipasi dalam kelompok, aktivitas mencari informasi dan ide–ide baru serta sumber informasi yang dimanfaatkan. Pendidikan juga mempengaruhi cepat lambatnya adopsi suatu inovasi. Pada penelitian ini, peneliti mencoba mengkaji faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi petani sehingga mereka bersedia menerapkan pertanian dengan sistem tata kelola yang berkelanjutan (ISPO) dalam usahataninya.

(9)

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran faktor–faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk tergabung dalam sertifikasi ISPO di KUD Mutiara Bumi?

2. Bagaimana pengambilan keputusan petani untuk tergabung dalam sertifikasi ISPO di KUD Mutiara Bumi?

3. Apa saja faktor–faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk tergabung dalam sertifikasi ISPO di KUD Mutiara Bumi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan urauan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui gambaran faktor–faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk tergabung dalam sertifikasi ISPO di KUD Mutiara Bumi.

2. Mengetahui pengambilan keputusan petani untuk tergabung dalam sertifikasi ISPO di KUD Mutiara Bumi.

3. Menganalisis faktor–faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk tergabung dalam sertifikasi ISPO di KUD Mutiara Bumi.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi serta masukan banyak pihak yang berkepentingan, yakni sebagai berikut :

(10)

1. Bagi petani, sebagai acuan atau bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menangani persoalan yang sedang dihadapi.

2. Bagi pengembang ilmu, sebagai bahan pustaka dan sumber informasi untuk menambah wawasan terhadap bidang yang sedang ditempuh.

3. Bagi penulis, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata-1 di Fakultas Pertanian, Universitas Jambi.

(11)

11

Referensi

Dokumen terkait

Kami telah mereviu Laporan Keuangan Badan Pusat Statistik Kota Palu untuk tahun anggaran 2015 berupa Neraca per tanggal 30 Juni 2015, Laporan Realisasi Anggaran,

1, Juni 2012 hadir ke hadapan sidang pembaca dengan mengetengahkan 5 (lima) artikel sebagai berikut: Analisis Implementasi E-Government pada Pemerintah Daerah

Kampanye ini dapat dilakukan agar lebih banyak lagi orang yang mengerti dan bisa membantu mengatasi masalah bullying terhadap anak- anak.Selain itu perancangan ini dapat

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan: Terdapat pengaruh secara parsial pengalaman kerja terhadap kinerja

Berdasarkan pengamatan peneliti melalui penyebaran angket dan hasil wawancara dengan Guru PNS di Gianyar sebanyak 41 orang yang terdiri atas 27 Laki-laki (66,0%) dan 14

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas V Sekolah Dasar Negeri

Skor rata-rata kompetensi pedagogik pada dimensi “melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran” diperoleh skor 58,33% atau 2,33 dari skor maksimal

Gabungan kata atau kelompok kata yang merupakan frasa yang tidak berderivasi tidak diberlakukan sebagai lema atau sublema, tetapi diberlakukan sebagai contoh pemakaian