Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Yayasan Spiritia
No. 5, April 2003
Daftar Isi
Pidato Suzana Murni pada 6th ICAAP
Melbourne 1
Pelatihan Keterampilan tentang Kelompok Dukungan Sebaya 1 Konseling dan test sukarela 2 Angka Kematian AIDS di Thailand Dipotong
Separo dengan Terapi Sub-optimal 2 Angka Pneumosistis Terkait AIDS
Meningkatkan di Negara Berkembang 3 Obat Anti-TB dan HAART Bekerja Sama
secara Baik 3
Jumlah Limfosit Total Alat Murah untuk Menjadwalkan Profilaksis Infeksi
Oportunsitik 5
Lembaran Informasi Baru 5
Tanya jawab 6
Tips untuk Orang dengan HIV No. 16 6 Laporan Keuangan Positive Fund 6
Pelatihan Keterampilan
tentang Kelompok
Dukungan Sebaya
Oleh Oki
Pada tanggal 4 sampai 6 April 2003, Yayasan Spiritia menyelenggarakan Pelatihan Keterampilan tentang Kelompok Dukungan Sebaya untuk Odha. Pelatihan ini merupakan pelatihan kedua yang diselenggarakan Yayasan Spiritia sejak pertengahan tahun lalu. Pelatihan Keterampilan merupakan salah satu program tetap Yayasan Spiritia untuk 2 tahun ke depan.
Pelatihan Keterampilan tentang Kelompok Dukungan Sebaya tersebut diselenggarakan di Yogyakarta bekerjasama dengan JOY (Jaringan Odha Yogyakarta) sebagai panitia lokal sekaligus sebagai bagian dari tim fasilitator selain fasilitator dari Yayasan Spiritia. Pelatihan tersebut diikuti oleh 13 peserta dari 12 kota di 11 provinsi (Medan,
Batam, Pontianak, Balikpapan, Bandung, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Sorong, Timika, Yogyakarta, dan Makassar).
Tujuan pelatihan ini adalah diharapkan setelah pelatihan, peserta punya motivasi untuk
membentuk suatu kelompok dukungan di daerah masing-masing. Selain itu juga dapat memperkuat kelompok dukungan sebaya yang sudah ada. Terkait dengan itu, sebagian peserta yang terlibat adalah yang di daerahnya belum ada kelompok dukungan sebaya untuk odha, dan juga sebagian lainnya dari kelompok dukungan sebaya yang sudah ada Dengan harapan dari pelatihan ini dapat membuka wawasan yang lebih luas tentang kelompok dukungan sebaya sehingga bisa bermanfaat di daerahnya.
Selama 3 hari, pelatihan tersebut mengangkat tentang pentingnya kelompok dukungan sebaya odha, keuntungan, masalah yang mungkin timbul, pencarian dana dan segala sisi tentang kelompok dukungan sebaya untuk odha, termasuk didalamnya tentang kerahasiaan anggota kelompok. Semua peserta merasa pelatihan ini cukup menyenangkan
Pidato Suzana Murni pada
6th ICAAP Melbourne
Memecah Penghalang
Pada Oktober 2001, Suzana Murni memberi sambutan pada pembukaan konferensi internasional AIDS di Asia dan Pasifik ke-6 di Melbourne, Australia. Pada waktu itu, almarhumah sudah sangat sakit, dan harus dibantu naik
panggung dari kursi roda. Namun dia berdiri selama 20 menit untuk menyampaikan pidatonya pada semua peserta.
walaupun jadwalnya yang sangat padat, hal ini disebabkan oleh cara pengemasan pelatihan yang dibuat supaya tidak membosankan, misalnya dengan permainan-permainan dan praktek-praktek.
Selain pelatihan berupa sesi-sesi tersebut, pada hari ketiga pelatihan (6 April 2003) dimana pelatihan hanya sampai tengah hari, para peserta berkesempatan untuk jalan-jalan ke Malioboro, belanja-belanja. Setelah itu, para peserta
mengunjungi kantor/rumah kelompok dukungan JOY. Di sana para peserta melihat secara langsung kantor JOY sebagai tempat kelompok dukungan sebaya melakukan sebagian kegiatannya. Selain melihat kantor JOY, peserta juga mendengar cerita dari Prima (koordinator JOY) tentang sejarah berdirinya JOY, suka dukanya, sehingga bisa menjadi pelajaran bagi teman-teman yang lain. Selain itu juga mendengar cerita tentang LP3Y (lembaga pendidikan jurnalistik terkait HIV/AIDS) dari pemimpin redaksinya, Pak Slamet Riyadi, dimana JOY sangat terkait dengan LP3Y dalam pendiriannya dan juga kantor JOY masih satu lingkungan dengan kantor LP3Y.
Setelah pelatihan, peserta merasakan pentingnya terdapat kelompok dukungan sebaya di setiap daerah untuk odha, sebagai wadah pemberdayaan dan keterlibatan odha dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Juga tumbuh kesadaran bahwa kelompok dukungan sebaya untuk odha tidak selalu harus langsung menjadi besar dengan program dan dana yang besar, karena yang diutamakan adalah kenyamanan dan terpenuhinya kebutuhan anggota kelompok tersebut dimana kebutuhan itu beragam, ada yang sederhana dan ada yang kompleks.
Angka Kematian AIDS di
Thailand Dipotong Separo
dengan Terapi Sub-optimal
Oleh Keith Alcorn, 6 Februari 2003
Terapi kombinasi dua obat dianggap kurang optimal oleh pedoman WHO tentang terapi antiretroviral (ART) di rangkaian terbatas sumber daya. Namun terapi dua obat ini dikaitkan dengan
Konseling dan test sukarela
Yayasan Mitra Indonesia, yang terletak Jl. Percetakan Negara IX A#15 Jakarta 10570 membuka layanan VCT yang dilaksanakan pada setiap hari Selasa dan Kamis pukul 13.00-18.00. untuk keterangan lebih lanjut hubungi telp (021) 424 6385.
penurunan 57 persen dalam angka kematian di antara orang dengan infeksi HIV lanjut di Thailand utara. Ini menurut laporan yang diterbitkan di Jurnal Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi 14 Februari 2003.
Penelitian ini adalah analisis retrospektif terhadap sekelompok pasien yang diobati antara 1995 dan 1999, di Rumah Sakit Lampang di Chiang Mai, Thailand utara. 1.110 pasien menghadiri klinik (34 persen perempuan), 70 persen bergejala; jumlah CD4 pada tahun pertama setelah diagnosis tersedia untuk 681 pasien, dan jumlah ini rata-rata 90 (25-290). 257 pasien sudah mempunyai jumlah CD4 di bawah 50 pada titik ini.
Data lanjut tersedia untuk 1.081 pasien, 607 di antaranya yang meninggal dalam masa pemantauan. Data mengenai pasien yang tidak dapat dipantau, disensor pada waktu kunjungan terakhir. 1.175 pasien tahun pemantauan tersedia untuk dianalisis.
Angka kematian per 100 pasien tahun adalah 79,6 persen pada mereka dengan jumlah CD4 di bawah 100 pada awal.
Dua puluh tiga persen pasien menerima ART pada masa yang diamati. Tujuh puluh sembilan pasien menerima monoterapi, biasanya AZT, sementara 130 pasien diobati dengan terapi dua obat (biasanya AZT dan ddI atau ddC). 19 pasien diobati dengan terapi tiga obat.
Rata-rata, pasien menerima monoterapi diobati selama 211 hari; untuk yang menerima terapi dua obat 367 hari. 19 pasien yang pertama diobati dengan AZT sebelum mulai terapi dua obat dimasukkan pada kelompok terapi dua obat.
Manfaat tahan hidup yang jelas dilihat pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 200 yang menerima terapi dua obat. Penurunan relatif pada kematian untuk pasien yang menerima terapi dua obat dibandingkan yang tidak menerima terapi adalah 57 persen (37 persen untuk monoterapi), serupa dengan manfaat yang dilihat di penelitian Delta dan ACTG 175, yang pertama melaporkan manfaat dari terapi kombinasi dua pada 1995.
“Selama selisih biaya antara terapi kurang optimal dan HAART begitu besar, dokter yang bekerja di negara terbatas sumber daya akan terus
menghadapi dilema: mengobati sedikit pasien dengan terapi yang optimal atau lebih banyak pasien dengan terapi kurang optimal,” komentar penulis. “Mengurangi efektifitas terapi tiga obat pada masa depan di antara pasien yang sudah memakai terapi dua obat memprihatinkan. Namun jika tidak diobati dengan ARV apa pun, sebagian besar pasien dengan jumlah CD4 yang rendah akan segera meninggal.”
Angka Pneumosistis Terkait
AIDS Meningkatkan di
Negara Berkembang
Oleh Anthony J. Brown, MD, 15 Januari 2003
Sejak epidemi AIDS mulai, pneumoniapneumocystis carinii (PCP) mengakibatkan persentase kasus penyakit pernapasan yang meningkat di antara pasien di negara berkembang. Ini menurut laporan baru.
Penulis mencatat bahwa kecenderungan yang lawan terjadi di negara maju. Walaupun penggunaan obat profilaksis anti-PCP mungkin bermain
peranan, alasan utama untuk kecenderung PCP yang berbeda yang dilihat pada kedua jenis negara ini tampaknya ketersediaan terapi antiretroviral yang sangat manjur (HAART).
“Kecenderungan PCP yang diamati di negara berkembang dan maju adalah serupa hingga HAART mulai dipakai” pada pertengahan 1990-an, penulis penelitian Dr. Powel H. Kazanjian, dari University of Michigan di Ann Arbor, mengatakan pada Reuters Health. “Akses ke HAART di negara maju dikaitkan dengan penurunan pada angka PCP, sementara akses yang sulit di negara berkembang membolehkan angka PCP yang terus meningkat.”
Di penelitian ini, tim Dr. Kazanjian meninjau data dari lebih dari 30 penelitian yang menilai angka PCP di beberapa negara berkembang selama dua dasawarsa terakhir ini. Penemuan diterbitkan di jurnal Clinical Infectious Diseases terbitan 1 Januari.
“Laporan yang diterbitkan selama dasawarsa pertama epidemi AIDS mengesankan bahwa PCP penyebab penyakit pernapasan yang relatif jarang pada pasien yang tinggal di negara berkembang,” catat Dr. Kazanjian. Sebaliknya, “beberapa di antara laporan yang lebih baru memperkirakan bahwa prevalensi PCP adalah hampir 50 persen pada pasien dengan penyakit pernapasan,” dia tambahkan.
“Saya rasa ada gagasan bahwa PCP adalah jarang di negara berkembang,” Dr. Kazanjian mengatakan. “Penemuan baru ini tidak mendukung ini.”
Penemuan ini juga menunjukkan bahwa pasien mereka menilai manfaat tambahan dan efektif-biaya terapi tiga obat yang memakai obat generik tanpa melaksanakan analisis ini.
Referensi: Pathipvanich P, et al. Survival benefit from non-highly active antiretroviral therapy in a resource-constrained setting. Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes 32: 157-160, 2003.
URL: http://www.aidsmap.com/news/ newsdisplay2.asp?newsId=1883
PCP sering juga terinfeksi TB. Sebenarnya, beberapa laporan ini menaksir bahwa angka koinfeksi setinggi 80 persen.
Dr. Kazanjian mencatat bahwa sebagian dari peningkatan pada prevalensi PCP mungkin tidak mencerminkan peningkatan yang benar, tetapi mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam pelaporan. Misalnya, penelitian awal memakai kriteria CD4 yang berbeda dengan penelitian baru, dan mungkin hal ini mempengaruhi laporan kasus PCP.
Clin Infect Dis 2003; 36:70-78.
URL: http://www.hivandhepatitis.com/recent/developing/ 011503f.html
Obat Anti-TB dan HAART
Bekerja Sama secara Baik
Oleh Michael Carter, 13 Februari 2003
Obat TB dan HIV bekerja sama secara baik dan aman. Ini menurut beberapa penelitian yang dikajikan di Tenth Conference and Retroviruses and Opportunistic Infections di Boston, AS. TB adalah infeksi oportunistik yang paling umum dan dapat terjadi pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang relatif sehat.
Lima penelitian yang dilaksanakan dalam beberapa rangkaian sumber daya menemukan bahwa waktu HAART dan terapi anti-TB diberikan bersama, pasien mengalami peningkatan pada jumlah CD4, penurunan pada viral load, dan penyembuhan TB. Walaupun pengobatan bersama dengan HAART dan terapi TB dinyatakan aman, satu penelitian menemukan bahwa dosis obat anti-TB rifabutin yang lebih rendah tidak mencapai tingkat terapeutik bila HIV diobati dengan regimen yang mengandung efavirenz.
hidup adalah lebih baik secara bermakna pada pasien diobati TB dalam era HAART (85 persen dibandingkan 95%) setelah 12 bulan terapi TB. Mereka menyimpulkan “walaupun kerumitan terapi antiretroviral selama pengobatan TB...pasien AIDS dapat diobati secara berhasil dengan HAART sekaligus menerima terapi TB yang mengandung rifabutin. Penggunaan HAART dihubungkan dengan ketahanan hidup yang lebih baik setelah diagnosis TB.”
Sebuah penelitian yang dilaksanakan di klinik perawatan HIV di Ahmedabad, India,
membandingkan jumlah CD4 pada dua kelompok pasien HIV. Kelompok A (99 pasien) juga terinfeksi TB dan menerima terapi anti-TB yang mengandung rifampisin, dan kelompok B (98 pasien) terinfeksi HIV saja. Terapi anti-HIV mencakup efavirenz, 3TC, dan AZT atau d4T. Pada awal, jumlah CD4 lebih rendah pada pasien TB (104). Namun setelah enam bulan HAART dan pengobatan anti-TB, jumlah CD4 serupa untuk kedua kelompok: 276 (Kelompok A) dan 278 (Kelompok B). Pada bulan ke-sembilan penelitian, jumlah CD4 lebih tinggi pada pasien yang menerima terapi TB (306) dibandingkan pasien Kelompok B (270). Berdasarkan penemuan, para peneliti menyimpulkan, “pemakaian rifampisin dan efavirenz bersama ditahan baik, dan tidak mempengaruhi kemajuran antiretroviral seperti diukur oleh peningkatan pada jumlah CD4. Di India dan negara lain dengan TB sebagai infeksi oportunistik yang umum, terapi efavirenz dapat ditawarkan bersama dengan pengobatan anti-TB yang mengandung rifampisin.”
Resistansi pada obat anti-TB golongan rifamisin (rifampin dan rifabutin) ditemukan berhubungan dengan jumlah CD4 yang rendah pada penelitian yang dilaksanakan di antara 109 pasien HIV-positif di Baltimore, AS, antara 1993 dan 2001. Pada penyelidikan retrospektif, biakan diperoleh dari semua pasien dengan TB yang rentan pada rifamisin yang menyelesaikan terapi anti-TB yang diawasi langsung. Pengobatan TB adalah harian untuk tiga minggu, kemudian dua kali seminggu. Data tentang kambuhnya TB dikumpulkan dan DNA-nya diselidiki untuk mengenal jenis yang resistan terhadap obat TB. TB kambuh pada sembilan pasien. Jumlah CD4-nya 50; pada tingkat ini, mereka rentan pada infeksi oportunistik yang gawat. Sampel dahak menemukan bahwa ada resistansi pada obat anti-TB golongan rifamisin dalam tiga pasien, semuanya yang menerima rifampin. Resistansi ini tidak dikenal pada pasien yang diobati dengan rifabutin. Para peneliti
menyimpulkan, “di antara pasien HIV, jumlah CD4
yang rendah satu-satunya faktor risiko untuk kambuh TB”, dengan tambahan bahwa resistansi pada rifamisin “hanya dilihat pada pasien dengan jumlah CD4 yang rendah.”
Keamanan dan kemanjuran regimen HAART yang mengandung efavirenz pada pasien TB ditunjukkan oleh penelitian Brasil yang dikaji pada konferensi. Empat puluh empat pasien dilibatkan pada penelitian. Terapi TB mencakup rifampisin, dan isoniazid untuk sembilan bulan dengan pirazidamin untuk dua bulan pertama. HAART berdiri dari dua analog nukleosida dan efavirenz 600mg per hari. Penelitian dilaksanakan selama tiga tahun, dan pada awal rata-rata jumlah CD4 106, viral load 6 log dan berat badan 51kg. Setelah dua tahun, jumlah CD4 rata-rata meningkat menjadi 341, viral load menurun menjadi 1,4 log, dan berat badan meningkat 21kg. Tiga pasien meninggal pada bulan pertama terapi, dua disebabkan infeksi dan satu dengan kegagalan ginjal berhubungan dengan pengobatan. TB menjadi pulih dan HAART berhasil pada lebih dari 80 persen pasien. Dari sembilan yang gagal pengobatan, enam berhenti terapi dalam enam bulan. Para peneliti
menyimpulkan “efavirenz dengan dosis 600mg per hari adalah cukup untuk mengobati pasien HIV/ TB yang memakai pengobatan yang mengandung rifampin.”
Namun, sebuah penelitian yang dilaksanakan di Florida yang melibatkan 20 pasien, menemukan bahwa penggunaan efavirenz dengan rifabutin dapat mempengaruhi bioavailability obat anti-TB tersebut. Tingkat farmakokinetik obat diukur pada semua pasien TB yang HIV-positif yang diobati dengan rifabutin dan efavirenz di sebuah klinik HIV di Florida, AS, antara Juni 2000 dan
September 2002. Dosis rifabutin adalah 300mg atau 450mg dua kali seminggu, dengan dosis efavirenz 600mg sehari. Sebelum HAART dimulai,
Lembaran Informasi Baru
Pada April 2003, Yayasan Spiritia telah menerbit empat lagi lembaran informasi untuk Odha, sbb:•Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 400—Penggunaan Obat Antiretroviral
•Topik Khusus
Lembaran Informasi 620—Masalah Kulit Lembaran Informasi 621—Masalah Penglihatan Lembaran Informasi 622—Masalah Mulut
Dengan ini, sudah diterbitkan 71 lembaran informasi dalam seri ini.
Juga ada lima lembaran informasi yang direvisi:
•Informasi Dasar
Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran Informasi
•Terapi Antiretroviral
Lembaran Informasi 410—Terapi Antiretroviral Lembaran Informasi 412—Tes CD4
Lembaran Informasi 413—Tes Viral Load Lembaran Informasi 420—AZT
•Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 509—Limfoma Non-Hodgkin (NHL)
Lembaran Informasi 511—Moluskum HAART. Untuk dosis 300mg. tingkat dua jam dan
enam jam adalah 0,12 dan 0,15 sebelum HAART, dan 0,14 dan 0,11 setelah mulai HAART. Tingkat efavirenz pada empat dan 24 jam adalah seperti diharapkan.
Para peneliti menyimpulkan, “pada pasien yang memakai rifabutin dan efavirenz bersama, tingkat rifambutin dan efavirenz tidak dipengaruhi secara bermakna, selain tingkat rifabutin enam jam setelah mulai efavirenz. Pasien yang memakai rifabutin 300mg tampaknya tidak mencapai tingkat farmakokinetik yang diharapkan, dan ini mendukung usulan saat ini untuk memakai rifabutin 450mg dua kali seminggu jika dipakai regimen yang mengandung efavirenz.”
Referensi:
Burman W et al. Use of antiretroviral therapy during treatment of active tuberculosis with a rifabutin-based regimen. Tenth Conference and Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston, abstract 136, 2003.
Patel A et al. To study the safety and antiviral efficacy of concomitant use of rifampicin and efavirenz in antiretroviral-naïve tuberculosis coinfected HIV-1 patients in India. Tenth Conference and Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston, abstract 138, 2003.
Nettles R et al. Tuberculosis relapse and acquired rifamycin resistance in HIV-1 infected persons is associated with low CD4 count, but is not more common with rifabutin than rifampin. Tenth Conference and Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston, abstract 137, 2003. Redral-Samapio D et al. Efficacy of efavirenz 600mg dose in ARV therapy regimen for HIV patients receiving rifampicin in the treatment of tuberculosis. Tenth Conference and Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston, abstract 784, 2003.
Hollender E et al. The concomitant use of rifabutin and efavirenz in HIV/TB co-infected patients. Tenth Conference and Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston, abstract 785, 2003.
URL: http://www.aidsmap.com/news/ newsdisplay2.asp?newsId=1911
Jumlah Limfosit Total Alat
Murah untuk Menjadwalkan
Profilaksis Infeksi
Oportunsitik
Pada negara terbatas sumber daya, jumlah limfosit total (total lymphocyte count/TLC) dapat dipakai untuk mengganti jumlah CD4 untuk menentukan status sistem kekebalan tubuh dan memutuskan kapan mulai kemoprofilaksis pada orang terinfeksi HIV.
Karena jumlah CD4 adalah sangat mahal atau sebenarnya tidak tersedia di negara berkembang, dokter sering harus mengambil keputusan tentang profilaksis untuk infeksi oportunistik (OI) tanpa data laboratorium tentang tahap HIV dan tingkat kerusakan sistem kekebalan.
Pada jurnal AIDS terbitan 1 Desember 2002, Dr. N. Kumarasamy dari Y. R. G. Centre for AIDS
Research and Education di Chennai, India, dan rekan-rekan AS menganggap TLC, sebuah ukuran yang murah dan tersedia luas, mungkin adalah solusi.
Pada penelitiannya terhadap pasien terinfeksi HIV yang mengunjungi klinik HIV di India Selatan, mereka menemukan korelasi yang “tinggi” di antara 650 pasangan jumlah CD4 dan TLC. Misalnya, TLC di bawah 1.400 adalah 73% peka (sensitive) dan 88% khusus (specific) untuk jumlah CD4 di bawah 200, dengan nilai ramal positif (positive predictive value/PPV) 76% dan nilai ramal negatif (negative predictive value/NPV) 86%.
TLC di bawah 1.700 adalah 70% peka dan 86% khusus untuk jumlah CD4 di bawah 350.
Dr. Kumarasamy dan rekan-rekan menekankan bahwa “pilihan batas TLC yang cocok untuk mulai profilaksis harus dibuat secara wilayah tergantung pada kejadian infeksi oportunistik, pola resistansi antimikrobe, dan ketersediaan obat antimikrobe.” Di India, harga tes CD4 kurang-lebih 30 dolar AS, dibandingkan dengan harga satu TLC kurang-lebih 80 sen dolar AS.
Sumber: JAIDS 2002; 31:378-383.
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan olehYayasan Spiritia
dengan dukunganT H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD FOU N D FOU N D FOU N D FOU N D
FOU N DAAAAAT I ONT I ONT I ONT I ONT I ON
Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130
Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521
E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:
Hertin Setyowati
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Tanya jawab
Inseminasi ( penyucian sperma )
Tanya : saya seorang Odha, saya ingin tahu tentang Inseminasi di Indonesia?
Jawab : Di Indonesia, Inseminasi adalah sesuatu yang biasa. Tapi untuk cuci sperma yang
memisahkan antara sperma dan virus HIV, belum bisa dilakukan walaupun peralatannya sudah tersedia tapi tenaga medis belum siap menangani.
Tips untuk Orang dengan
HIV No. 16
Tips untuk Hati yang Sehat
Banyak Odha di Indonesia juga terinfeksi hepatitis. Berikut adalah beberapa tips untuk memanjakan hati kita.
•Minta divaksinasi terhadap hepatitis A dan
hepatitis B.
•Hindari alkohol. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa alkohol menambahkan kerusakan pada hati, terutama pada orang dengan hepatitis virus kronis.
•Hati-hati memakai obat resep, obat tanpa resep,
narkoba dan jamu-jamuan, terutama jika dipakai bersama. Kasih tahu dokter tentang semua obat dan jamu yang dipakai.
•Hindari pajanan pada racun lingkungan misalnya
larutan, bahan pengencer cat, dan pestisida. Jika harus berhubungan dengan bahan kimia ini, bekerja di daerah yang terbuka, dan pakai sarung tangan dan masker.
•Makan secara sehat dan seimbang.
•Berolahraga secara berkala, tetapi tidak terlalu
berat.
•Tidur cukup pada malam, dan istirahat siang
sesuai dengan kebutuhan agar membantu menangani kelelahan.
•Periksa ke dokter secara berkala, termasuk
memantau enzim hati (SGOT/SGPT) dan jumlah sel darah.
Source: Beta 52, 2003
Laporan Keuangan Positive
Fund
Periode A pril 2003
Saldo awal 1 April 2003 6,013,913
Penerimaan di bulan April 2003 635,000
Total penerimaan 6,648,913
Pengeluaran selama bulan April:
Item Jum lah
Pengobatan 187,500
Transportasi 95,000
Komunikasi 26,100
Peralatan / Pemeliharaan 61,100
Modal Usaha
-Total pengeluaran 369,700
Saldo akhir Positive Fund per 30
A pril 2003 6,279,213
Lembaran Informasi 514—Herpes Zoster (Sinanaga)
•Efek Samping
Lembaran Informasi 554—Diare
Untuk memperoleh lembaran baru/revisi ini atau seri Lembaran Informasi komplet, silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman
belakang. Anggota milis WartaAIDS dapat akses file ini dengan browse ke: