• Tidak ada hasil yang ditemukan

STADIUM ACUTE KIDNEY INJURY BERHUBUNGAN DENGAN KADAR FOSFAT, TETAPI TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN KADAR FIBROBLAST GROWTH FACTOR 23 SERUM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STADIUM ACUTE KIDNEY INJURY BERHUBUNGAN DENGAN KADAR FOSFAT, TETAPI TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN KADAR FIBROBLAST GROWTH FACTOR 23 SERUM."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

STADIUM ACUTE KIDNEY INJURY BERHUBUNGAN

DENGAN KADAR FOSFAT, TETAPI TIDAK

BERHUBUNGAN DENGAN KADAR FIBROBLAST

GROWTH FACTOR 23 SERUM

I KETUT SUARDANA NIM 1114048210

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

STADIUM ACUTE KIDNEY INJURY BERHUBUNGAN

DENGAN KADAR FOSFAT, TETAPI TIDAK

BERHUBUNGAN DENGAN KADAR FIBROBLAST

GROWTH FACTOR 23 SERUM

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

I KETUT SUARDANA NIM 1114048210

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 23 PEBRUARI 2016

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. dr. Ketut Suwitra, Sp.PD-KGH Dr. dr. Yenny Kandarini Sp.PD-KGH NIP. 1953112 0198012 1 001 NIP. 196901061999032004

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK NIP.1958 0521 198503 1 002

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 17 Pebruari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 776/UN14.4/HK/2016 Tanggal 4 Pebruari 2016

Ketua : Prof.Dr.dr. Ketut Suwitra,Sp.PD-KGH Anggota :

(5)
(6)

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 (PPDS-1)

Combined Degree Ilmu Penyakit Dalam pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suwitra Sp.PD-KGH, pembimbing pertama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti pendidikan, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Yenny Kandarini Sp.PD-KGH, pembimbing kedua yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasillitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan PPDS-1

(7)

vii

Ungkapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada Prof. DR. dr. I Dewa Nyoman Wibawa, Sp.PD-KGEH, selaku Kepala Program Studi Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah atas kesempatan, dorongan, petunjuk, arahan, masukan dan suri tauladan kepada penulis. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. dr. N Tigeh Suryadi MPH, Ph.D, Dr. dr. I D Made Sukrama M,Si., Sp.MK (K)., Dr. dr. Desak Wihandani M.Kes yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat disempurnakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Divisi Ginjal dan Hipertensi SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. Wayan Sudhana, Sp.PD-KGH, dr. Jodhi Sidharta Loekman, Sp.PD-KGH, Prof. Dr. dr. Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH, dr. Nyoman Paramitha Ayu, Sp.PD yang telah memberikan masukan, dorongan, dan bimbingan kepada penulis. Semua Kepala Divisi dan Staf SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, atas segala bimbingan dan dorongan yang diberikan dalam menjalani program pendidikan sehari-hari, pelaksanaan dan penyusunan penelitian ini. Ucapan terimkasih juga penulis ucapkan kepada Drg. Triputro Nugroho, M.Kes, selaku Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti PPDS-1 Ilmu Penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Ucapan terima kasih tidak lupa juga penulis ucapkan kepada Prof. DR. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, selaku Ketua Komisi Etik Penelitian FK Unud/RSUP Sanglah, yang telah memberikan masukan tentang kelaikan etik penelitian dan ijin untuk melangsungkan penelitian ini.

(8)

viii

I Gede Ngurah Darryl Sudhiana, I Kadek Ngurah Rory Daneswara, I Komang Ngurah Raia Danendra atas dukungan, pengorbanan, dorongan dan semangat untuk menjalani pendidikan di bagian penyakit dalam.

(9)

ix

ABSTRAK

STADIUM ACUTE KIDNEY INJURY BERHUBUNGAN DENGAN KADAR FOSFAT, TETAPI TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN KADAR

FIBROBLAST GROWTH FACTOR 23 SERUM

Gangguan metabolisme mineral khususnya fosfat dan fibroblast growth factor 23 serum (FGF-23) telah diketahui secara baik pada penyakit ginjal kronis (PGK). Terdapat hubungan linear antara perburukan laju filtrasi glomerolus (LFG) dan peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada PGK. Pada acute kidney injury (AKI) hubungan tersebut belum jelas. Beberapa penelitian pendahuluan melaporkan adanya peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada pasien AKI. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini diadakan dengan hipotesis bahwa terdapat hubungan antara stadium AKI dan peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum.

Penelitian observasional, studi potong lintang ini dilaksanakan di RSUP Sanglah dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2015 dengan menggunakan 75 pasien AKI sebagai sampel. Kriteria inklusi mencakup pasien AKI berusia 17- 60 tahun. Variabel yang diperiksa pada penelitian ini yaitu stadium AKI, fosfat serum, kadar FGF-23 serum. Stadium AKI menggunakan kriteria KDIGO 2012, yaitu berdasarkan parameter kreatinin serum dan produksi urin. Fibroblast Growth Factor-23 serum diperiksa di Laboratorium Prodia Denpasar dengan menggunakan metode FGF-23 C Terminal ELISA dari Immutopics. Kadar fosfat serum diperiksa dengan metode molibdate UV di Laboratorium Prodia Denpasar. Hubungan stadium AKI dan kadar fosfat serum dan kadar FGF-23 serum dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Untuk menilai pengaruh variabel perancu berupa umur, skor APACHE II dan adanya gagal jantung kongestif/pembesaran ventrikel kiri terhadap kadar fosfat dan FGF-23 serum dilakukan uji ANCOVA.

Empat puluh enam orang (61,3%) dari 75 sampel adalah laki-laki dan sisanya perempuan. Dua puluh lima orang termasuk AKI stadium 1 (33,3%), 25 orang stadium 2 (33,3%) serta 25 orang stadium 3 (33,3%). Median kadar fosfat serum ialah 4,2 (2,00 -11,70 mg/dl) dan median kadar FGF-23 serum 1146,20 (31,30 – 1561,10 RU/ml). Hasil uji korelasi didapatkan hubungan positif sedang antara stadium AKI dan kadar fosfat serum (r = 0,43; p < 0,001). Tidak ditemukan hubungan antara stadium AKI dan kadar FGF-23 serum (r = 0,16, p = 0,163).

Stadium AKI berhubungan dengan kadar fosfat serum, namun tidak berhubungan dengan kadar FGF-23 serum.

(10)

x

ABSTRACT

SEVERITY OF ACUTE KIDNEY INJURY CORRELATE WITH SERUM PHOSPHATE LEVEL, BUT NOT CORRELATE WITH SERUM

FIBROBLAST GROWTH FACTOR-23 LEVEL

Dysregulated mineral metabolism especially phosphate and fibroblast growth factor 23 (FGF-23) were well characterized in chronic kidney disease (CKD). There were linear correlation between decreased glomerular filtration rate (GFR) and increased serum phosphate and FGF-23 level in CKD patients. This correlation was not clear in acute kidney injury (AKI). Emerging evidens showing that dysregulated mineral metabolism in patients with AKI were identical with CKD patients. Based on this phenomenon, this study was conducted with an hypotesis severity of AKI correlate with serum phosphate level and serum FGF-23 level.

This observasional, cross-sectional study was performed on 75 AKI patients from June to October 2015 at Sanglah Hospital. Every AKI patients aged range 17-60 years old has been included in this study. Variables measured in this study were severity of AKI, serum phosphate and serum FGF-23. Severity of AKI was defined by Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) criteria, based on serum creatinin and urine output. Serum FGF-23 level was measured using FGF-23 C Terminal ELISA from Immutopics at Prodia laboratory Denpasar. Serum phosphate level was measured using molibdate UV at Prodia laboratory Denpasar. Statistical analysis was performed using spearman correlation. Confounding variabel such as age, APACHE II score and congestif heart failure/left ventrikuler hypertropy was perfomed using ANCOVA.

Forty six out of 75 sample were male (61.3%) and the rest were female. Twenty five sample were categorized AKI stage I (33.3%), 25 sample stage 2 (33.3%) and 25 sample stage 3 (33.3%). Median phophate level was 4.2 (2.00 -11.70 mg/dl) and median FGF-23 level was 1146.20 (31.30 – 1561.10 RU/ml). Moderate positive and highly significant correlation between severity of AKI and serum phosphate level had been showed by this study (r = 0.43; p < 0.001). There was no correlation between severity of AKI and serum FGF-23 level (r = 0.16, p = 0.163).

Severity of AKI has moderate correlation with serum phosphate level, but no correlation was founded with serum FGF-23 level.

(11)

xi

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xvi

(12)

xii

2.5.3 Peranan FGF-23 dalam Kondisi Fisiologis ... 20

2.5.4 Fibroblast Growth Factor 23 pada AKI ... 23

2.5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar FGF-23 Serum ... 25

2.6 Fibroblast Growth Factor 23 dan fosfat pada PGK ... 28

2.7 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Penyakit Jantung ... 29

2.8 Fibroblast Growth Factor 23 pada Pasien Sakit Berat ... 30

2.9 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Berbagai Etiologi AKI 31 2.10 Pengaruh Hemodialisis pada Kadar Fosfat dan FGF-23 Serum ... 31

2.11 Pengaruh Umur terhadap Kadar FGF-23 dan Fosfat Serum ... 32

2.12 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada AKI ... 32

2.13 Hubungan antara Kadar Fosfat Serum, FGF-23 Serum dan Stadium AKI ... 36

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 41

3.1 Kerangka Berpikir ... 41

3.2 Konsep ... 42

3.3 Hipotesis Penelitian ... 43

(13)

xiii

4.1 Rancangan Penelitian ... 44

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 44

4.3 Populasi dan Sampel ... 44

4.4 Variabel Penelitian ... 46

4.5 Bahan Penelitian ... 50

4.6 Instrumen Penelitian ... 51

4.7 Prosedur Penelitian... 51

4.8 Analisis Data ... 52

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Stadium AKI Menurut KDIGO 2012 ... 8

2.2 Nilai Dasar Kreatinin Serum Normal Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Ras ... 9

2.3 Penyebab AKI Prerenal ... 10

2.4 Penyebab AKI Renal ... 11

2.5 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis untuk Menentukan Etiologi AKI .. 12

2.6 Perbedaan AKI dengan Kondisi Akut pada PGK ... 13

4.1 Nilai Dasar Kreatinin Serum Normal Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin , Ras ... 86

4.2 Stadium AKI ... 86

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 54

5.2 Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Stadium AKI ... 55

5.3 Analisis Bivariat antara Stadium AKI dan Kadar Fosfat Serum ... 56

5.4 Analisis Bivariat Variabel Independen terhadap Kadar Fosfat Serum . 57 5.5 Uji Ancova Pengaruh Stadium AKI, Skor APACHE II, CHF/LVH terhadap Kadar Fosfat Serum ... 58

5.6 Uji Ancova Pengaruh Stadium AKI, Skor APACHE II, CHF/LVH terhadap Kadar Fosfat Serum ... 58

5.7 Analisis Bivariat antara Stadium AKI dan Kadar FGF-23 Serum... 59

5.8 Analisis Bivariat Variabel Independen terhadap Kadar FGF-23 Serum 59 5.9 Uji Ancova Pengaruh Stadium AKI, skor APACHE II, CHF/LVH terhadap Kadar FGF-23 Serum ... 60

5.10 Uji Ancova Pengaruh Stadium AKI, Skor APACHE II, CHF/LVH terhadap Kadar FGF-23 Serum ... 61

(15)

xv 2.4 Peranan PTH dalam Homeostasis Fosfat Bila Terjadi Penurunan

LFG ... 17 2.5Peranan FGF-23 dalam Homeostasis Fosfat Bila Terjadi Penurunan

LFG ... 18 2.6 Struktur FGF-23 ... 20 2.7 Metode Pemeriksaan FGF-23 ... 21 2.8 Peranan FGF-23 dalam Meregulasi Metabolisme Fosfat pada

Keadaan Fisologis ... 21 2.9 Pegaturan Homeostasis Fosfat oleh Ginjal: Hipotesis Distal to

Proximal Feedback Mechanism ... 23 2.10 Mekanisme Peningkatan FGF-23 pada AKI ... 25 2.11 Peningkatan Kadar FGF-23 Sejak Awal Onset AKI ... 35 2.12 Kadar FGF-23 Serum Meningkat pada Pasien Pasca Operasi Jantung yang Mengalami AKI ... 36 2.13 Hubungan antara Peningkatan Kadar Fosfat Serum dan FGF-23 Serum pada Pasien AKI ... 37 2.14 Peningkatan FGF-23 Serum Meningkatkan Risiko Kematian

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

ACE = Angiotensin corventing enzim

ACKD = Acute on chronic kidney disease

ADHR = Autosomal dominan hypophosphatemic rachiitis

ADQI = Acute dialisis quality initiative

AIN = Acute interstitial nephritis

AKI = Acute kidney injury

AKIN = Acute kidney injury network

APACHE II = Acute Physiology And Chronic Health Evaluation

ATN = Acute tubuler necrosis

ATP = Adenosine trifosfat

BUN = Blood urea nitrogen

CaSR = Calsium sensing reseptor

cFGF-23 = C terminal fibroblast growth gactor 23

CHF = Congestif heart failure

CPB = Cardiopulmonary bypass

CRS =Cardiorenal syndrome

Cyp24a1 = 1,25 dihydroxyvitamin D 24-hydroxylase

Cyp27b1 = 25-hydroxyvitamin D 1-α-hydroxylase

DMP1 = Dentin matrix protein1

DNA = Deoxyribosa nucleic acid

EKG = Electrokardiograpy

ELISA = Enzyme-linked immunosorbent assay

FGF-23 = Fibroblast growth factor 23 FGFR = Fibroblast growth factor reseptor

GALNT3 = Polypeptide N acetylgalactosaminyl transferase 3

GFR = Glomerular filtration rate

HFTC = hiperphosfatemic familial tumoral calcinosis

HIV = Human immunodeficiency virus

(17)

xvii ICU = Intensive care unit

iFGF-23 = Intact Fibroblast growth factor 23

IL-18 = Interleukin-18 IQR = Interquartile range

JVP = Jugular venous pressure

kDa = kilo dalton

KDIGO = Kidney disease improving global outcome

LFG = Laju filtrasi glomerous LVH = Left ventrikel hyperthrovi MAP = mean arterial pressure

MDRD = Modification of diet in renal disease

NGAL = Neutropil gelatinase-associated lipocalin

NHE3 = Natrium hidrogen exchange isoform 3

NPT2a = Natrium phosfate transporter 2a

NPT2c = Natrium phosfate transforter 2c OGD = osteoglophonic dysplasia

RIFLE = Risk,injury,failure, loss,end stage

(18)

xviii SLE = Systemic lupus erythematosus

SLED = Sustained low efficient dialysis

TIO = Tumor induced osteomalacea

USG = Ultrasonografi VDR = Vitamin D reseptor

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ... 85

2 Surat Ijin ... 86

3 Amandemen Perubahan Judul Penelitian ... 87

4 Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 ... 88

5. Prosedur Pemeriksaan FGF-23 dengan Menggunakan Human FGF-23 (C-Term) ELISA KIT Generasi Kedua ... 89

6 Skor APACHE II ... 91

7 Informed Concent ... 92

8 Formulir Persetujuan... 94

9 Formulir Pengumpulan Data ... 95

10 Analisis Data ... 99

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian AKI baik yang terjadi di masyarakat (community acquired) maupun di rumah sakit (hospital acquired). Morbiditas dan mortalitas akibat AKI semakin meningkat begitu juga biaya yang diperlukan untuk perawatan di rumah sakit.

Penelitian di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi AKI pada pasien yang dirawat di rumah sakit sebesar 7% (Lattanzio dan Kopyt, 2009). Pada pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU), kejadian AKI mencapai 36-67% dan 5-6% dari penderita tersebut memerlukan hemodialisis (Osterman dan Chang, 2007). Hal yang sama juga didapatkan di RSUP Sanglah, prevalensi AKI pada pasien yang dirawat di ICU sebesar 20,7% (Nugraha, 2012) hingga 34,65% (Emria, 2014). Hal ini mengakibatkan peningkatan lama rawat di rumah sakit, biaya perawatan serta tingkat mortalitas yang tinggi (Levy dkk.,1996). Penderita AKI yang menjalani hemodialisis di ICU, tingkat mortalitasnya lebih dari 50% dan sebagian penderita yang berhasil selamat berkembang menjadi gagal ginjal terminal dalam 3 tahun (Hoste dkk., 2006). Konsep yang dianut sekarang ialah AKI telah menjadi penyakit dengan sekuele jangka panjang serta berpotensi menjadi penyakit ginjal kronik (Ishani dkk., 2009; Lafrance dkk., 2010).

(21)

2

(ADQI) yaitu: Risk, Injury, Failure, Loss dan End stage renal disease (RIFLE) serta kriteria dari Acute Kidney Injury Network (AKIN). Penelitian oleh Joannidis dkk. (2009) yang membandingkan kriteria RIFLE dan AKIN, melaporkan bahwa kedua kriteria tersebut masing-masing memiliki kekurangan dalam mendeteksi adanya AKI. Berdasarkan hal tersebut, Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) pada tahun 2012, mengajukan definisi dan klasifikasi AKI untuk kepentingan keseragaman dalam penelitian dan pelaporan. Definisi AKI menurut KDIGO yaitu: peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl dalam 48 jam; atau peningkatan kreatinin serum ≥ 1,5 kali nilai dasar, baik yang diketahui maupun diasumsikan terjadi dalam 7 hari; atau volume urin ˂ 0,5 ml/kgbb/jam selama 6 jam. Stadium AKI dibagi menjadi stadium 1, 2 dan 3 berdasarkan parameter kreatinin serum dan produksi urin (KDIGO, 2012).

(22)

3

Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa gangguan metabolisme mineral pada AKI identik dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada PGK, seiring dengan perburukan stadium PGK. Peningkatan kadar FGF-23 serum telah terjadi pada PGK stadium 2 dan mencapai 1000 kali lipat pada PGK stadium 5, namun hiperfosfatemia baru terjadi pada PGK stadium 3 (Wolf, 2010). Penelitian oleh Filler dkk. (2011) melaporkan hubungan yang signifikan antara FGF-23 dengan estimasi laju filtrasi glomerolus (LFG) dengan menggunakan cystatin C (r = - 0,47, p <0,001). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Dominguez dkk. (2013), yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara estimasi LFG dengan C terminal FGF-23 (r = - 0,35, p < 0,05).

Publikasi pertama peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada pasien AKI dilaporkan oleh Leaf dkk. (2010). Publikasi tersebut berupa laporan kasus AKI akibat rhabdomyolysis, yang diikuti peningkatan kadar fosfat serum sebesar 10,5 mg/dl (nilai normal 2,8-4,5 mg/dl) serta peningkatan kadar FGF-23 serum sebesar 619 RU/ml (nilai normal 7-71 RU/ml).

Penelitian selanjutnya dilaporkan oleh Zhang dkk. (2011) pada 12 pasien

critically ill dengan AKI (dua pasien AKI stadium 1; lima pasien AKI stadium 2; serta lima pasien AKI stadium 3) dibandingkan dengan 8 pasien critically ill tanpa AKI. Pada penelitian ini didapatkan peningkatan kadar FGF-23 serum lebih tinggi pada pasien critically ill dengan AKI dibandingkan dengan pasien critically ill

tanpa AKI (median [interquartile range/IQR]=1948 [347-4969] versus 252 [65-533] RU/ml, p = 0,01). Hiperfosfatemia juga ditemukan lebih tinggi pada pasien

(23)

4

mmol/L versus 3,3 ± 1,1 mmol/L, p = 0,02). Peningkatan kadar fosfat serum tersebut tidak berkorelasi dengan peningkatan kadar FGF-23 serum (r = 0,08, p = 0,74). Kadar FGF-23 serum pada AKI stadium 1 mencapai 437 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 4369 RU/ml (mencapai 10 kali lipat). Peningkatan kadar FGF-23 serum tersebut tidak berkorelasi dengan stadium AKI (berdasarkan kriteria AKIN).

Penelitian oleh Leaf dkk. (2012) mendapatkan hasil yang berbeda. Penelitian tersebut melibatkan 30 orang pasien dengan AKI, dibandingkan dengan 30 pasien tanpa AKI sebagai kontrol. Pada AKI stadium 1 kadar fosfat mencapai 3,8 mg/dl dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 5,3 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada stadium 1 mencapai 224 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 2534 RU/ml. Peningkatan kadar fosfat serum berkorelasi secara signifikan dengan kadar FGF-23 serum (r = 0,32, p = 0,02) (Leaf dkk., 2012).

Penelitian terbaru oleh Christov dkk. (2013) pada binatang percobaan mencit dengan AKI dibandingkan dengan mencit tanpa AKI. Peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan 1 jam setelah onset AKI dan mencapai 18 kali lipat nilai dasar setelah 24 jam (4500 ± 562 pg/ml pada AKI versus 307 ± 19 pg/ml pada non AKI; p < 0,01). Peningkatan kadar fosfat secara signifikan terjadi dalam 24 jam pada mencit dengan AKI dibandingkan dengan tanpa AKI (11,2 ± 1,4 mg/dl vs 6,4 ± 0,3 mg/dl; p<0,05). Kadar neutrofil gelatinase-associated lipocalin

(24)

5

(2013) selanjutnya melakukan penelitian lanjutan pada 14 pasien yang menjalani operasi jantung, dimana terdapat 4 orang yang mengalami AKI. Kadar FGF-23 serum pada pasien operasi jantung yang mengalami AKI, meningkat 15,9 kali lipat 24 jam setelah operasi. Hasil tersebut sebanding dengan penelitian pada binatang mencit sebelumnya (Christov dkk., 2013).

Peningkatan kadar FGF-23 dan fosfat serum pada pasien AKI memiliki implikasi klinis yang besar. Leaf dkk. (2012) melaporkan peningkatan kadar FGF-23 serum berhubungan dengan peningkatan risiko kematian dan diperlukannya

renal replacement therapy (RRT) pada pasien AKI (OR=13,73 per 1SD log FGF-23, 95%, CI=1,75-107,50). Berdasarkan hal tersebut, peningkatan kadar FGF-23 dan fosfat serum telah menjadi kajian untuk dijadikan target terapi pada pasien AKI. Beberapa obat-obatan seperti pengikat fosfat dan calcimimetic (cinacalcet) dapat menurunkan kadar FGF-23 dan fosfat serum (Wetmore dkk., 2010). Diperlukan penelitian dalam skala besar untuk mengetahui manfaat pemberian kedua obat tersebut dalam menurunkan mortalitas pasien AKI.

Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum pada pasien AKI. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hubungan antara stadium AKI dan peningkatan kadar fosfat serum serta FGF-23 serum.

1.2Rumusan Masalah

(25)

6

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum: mengetahui hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum dan kadar FGF-23 serum.

1.3.2 Tujuan khusus:

1. Mengetahui hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum. 2. Mengetahui hubungan antara stadium AKI dan kadar FGF-23 serum.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan: dapat diketahui hubungan antara stadium AKI dan kadar fosfat serum dan FGF-23 serum.

(26)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi dan Stadium AKI

2.1.1 Definisi AKI

Terdapat berbagai definisi AKI yang telah diajukan para ahli, dengan berbagai keterbatasannya. Berdasarkan hal tersebut KDIGO mengajukan definisi AKI untuk kepentingan praktis dan keseragaman dalam penelitian. Definisi AKI menurut KDIGO ialah salah satu dari kondisi berikut:

1. Peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl dalam 48 jam; atau

2. Peningkatan kreatinin serum ≥ 1,5 kali nilai dasar, baik yang diketahui maupun diasumsikan terjadi dalam 7 hari; atau

3. Volume urin ˂ 0,5 ml/kgbb/jam selama 6 jam

2.1.2 Stadium AKI

(27)

8

Tabel 2.1

Stadium AKI menurut KDIGO 2012

Stadium Kreatinin serum Produksi urin

1 1,5 -1,9 kali nilai dasar

Peningkatan kreatinin serum ≥ 4,0 mg/dl atau

Yang dimaksud dengan nilai dasar kreatinin serum disini, ialah:

1. Kadar kreatinin serum terendah dalam 3 bulan terakhir yang tercatat dalam rekam medis pasien.

2. Bila kreatinin serum awal tidak diketahui, maka nilai dasar kreatinin serum ialah nilai terendah yang didapatkan setelah pengulangan pemeriksaan kreatinin serum dalam 24 jam, atau dapat juga menggunakan estimasi kadar kreatinin serum normal berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras seperti tercantum dalam tabel 2.2.

2.2Penyebab AKI

(28)

9

renal/intrinsik) serta (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal). Sebagian besar penyebab AKI ialah prerenal (55%) diikuti oleh renal sebesar 40% serta pascarenal sebesar 5% (Thadani dkk., 1996).

Tabel 2.2

Nilai dasar kreatinin serum normal berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras (Bellomo dkk., 2004)

Umur (tahun) Pria (mg/dl) Wanita (mg/dl)

kulit hitam non kulit hitam kulit hitam non kulit hitam

20-24 1.5 1,3 1,2 1,0 prerenal biasanya memiliki reversibilitas yang baik bila dikoreksi dengan cepat. Penyebab AKI prerenal di masyarakat paling sering oleh diare, muntah-muntah, demam tinggi dengan asupan cairan yang kurang. Penyebab AKI prerenal yang terjadi di rumah sakit paling sering oleh gagal jantung dan syok sepsis (Roesli, 2011; Emria, 2014). Berbagai penyebab AKI prerenal dapat dilihat dalam tabel 2.3.

2.2.2 Penyebab Renal

(29)

10

nefron. Kerusakan tubuler biasanya muncul dalam manifestasi sebagai muddy brown cast granuler. Kerusakan interstitial dapat muncul sebagai pembentukan cetakan sel darah putih. Analisis mikroskopis dari proses glomerular dan kerusakan mikrovaskuler menunjukkan sel darah merah yang dismorfik. Acute tubuler necrosis (ATN) dapat disebabkan oleh paparan berkepanjangan dari proses prerenal (misalnya iskemik) atau oleh kerusakan langsung oleh toksin yang bersifat nefrotoksik (Lattanzio dan Kopyt, 2009). Berbagai penyebab renal dari AKI selengkapnya disampaikan dalam tabel 2.4.

Tabel 2.3

Penyebab AKI prerenal (dimodifikasi dari Roesli, 2011)

Mekanisme Contoh

Kehilangan volume cairan tubuh

Dehidrasi, perdarahan masif, kehilangan cairan melalui: gastrointestinal (diare, muntah); ginjal (diuretik, osmotik diuretik, insufisiensi adrenal); kulit (luka bakar, diaphoresis), peritoneum (drain pasca operasi)

Penurunan volume efektif pembuluh darah (cardiac output)

Infark miokard, kardiomiopati, perikarditis, aritmia, disfungsi katup, gagal jantung, emboli paru, hipertensi puulmonal, dll.

Redistribusi cairan Hipoalbumin (sindrom nefrotik, sirosis hepatis), syok sepsis, gagal hati, peritonitis, pankreatitis,

rhabdomiolysis, obat-obatan vasodilator dll. Obstruksi renovaskuler Arteri renalis (stenosis intravaskuler, emboli),

vena renalis (trombosis intravaskuler, infiltrasi tumor)

Vasokontriksi intra-renal primer

NSAID, siklosporin, sindrom hepatorenal, hipertensi maligna, preeklamsia, skleroderma

2.2.3 Penyebab Pascarenal

(30)

11

Obstruksi tersebut mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam kapsula bowmen dan menurunkan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Obstruksi ureter baik bilateral maupun unilateral dapat disebabkan oleh tumor (endometrium, servik, limfoma, metastase), sedangkan obstruksi kandung kemih atau urethra dapat disebabkan oleh tumor/hipertrofi prostat, tumor kandung kemih, prolap uteri, neurogenic bladder, bekuan darah serta obstruksi ureter (Roesli, 2011).

Tabel 2.4

Penyebab AKI renal (dimodifikasi dari Thadani dkk., 1996)

Mekanisme Penyebab

Nekrosis tubuler akut Obat-obatan (aminoglikosida, cisplatin, ampoteresin B), iskemia berkepanjangan, syok septik, obstruksi intratubuler (rhabdomiolysis, hemolisis, multiple mieloma, asam urat, kalsium oksalat), toksin (bahan kontras radiologi, karbon tetraklorid, etilen glikol, logam berat)

Nefritis interstitial akut Obat-obatan (penisilin, NSAID, ACE inhibitor, alupurinol, cimetidine, H2 blocker, proton pump inhibitor), infeksi (streptokokus, difteri, leptospirosis), metabolik (hiperurikemia, nefrokalsinosis), toksin (etilene glikol, kalsium oksalat), penyakit autoimun (SLE, cryoglobulinemia)

Glomerulonefritis akut Pascainfeksi (streptokokus, bakteri, hepatitis B, HIV, abses visceral), vasculitis sistemik (SLE, Wegeners granulomatous, poliartritis nodusa, Henoch-Sconlein purpura, IgA nefritis, sindrom goodpasture),

glomerulonefritis membranoploriferatif serta idiopatik Oklusi

mikrokapiler/glomerular

(31)

12

2.3 Diagnosis AKI

2.3.1 Diagnosis Klinis

Pendekatan klinis untuk diagnosis AKI melalui prosedur rutin anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis dibuat secara komprehensif, mencakup penilaian faktor risiko untuk mengalami AKI, etiologi hingga komplikasinya. Risiko terjadinya AKI meningkat dengan adanya paparan terhadap bahan-bahan yang dapat menyebabkan AKI (misalnya: sepsis, luka bakar, obat nefrotoksik dll.) atau adanya berbagai faktor yang meningkatkan kerentanan seseorang untuk menderita AKI (seperti: dehidrasi, umur tua, pasien PGK, DM, penyakit kronis dll.).

2.3.2 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis serta etiologi AKI memerlukan beberapa pemeriksaan laboratorium, radiologis serta penanda biologis (biomarker) baru. Aplikasi pemeriksaan laboratorium serta radiologis untuk membedakan etiologi AKI disampaikan dalam tabel 2.5.

Tabel 2.5

Pemeriksan penunjang diagnosis untuk menentukan etiologi AKI (Agraharkar dkk., 2007; Lattanzio dan Kopyt, 2009)

Parameter Prerenal Renal Pascarenal

Rasio BUN: SC > 20:1 < 20:1

Berat jenis urin > 1,020 1,010-1,020 Osmolaliritas urin > 500 mOsm < 400 mOsm

Sedimen urin, tipe cast Bland, hyaline Granuler Red cell cast

Sodium urin, mEq/L < 20 > 40

USG Normal Normal Hidronefrosis,

(32)

13

2.3.3 Diagnosis Banding

Diagnosis banding AKI ialah kondisi akut pada PGK (acute on chronic kidney disease/ACKD). Cara membedakan AKI dengan kondisi akut pada PGK dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang baik laboratorium maupun radiologis (tabel 2.6).

Tabel 2.6

Perbedaan AKI dengan kondisi akut pada PGK (KDIGO, 2012)

Penanda AKI Kondisi akut pada

PGK/ACKD

Penanda darah (sindroma tubuler) + +

Radiologis

Ginjal mengecil - +

Hidronefrosis + +

Kista - +

Batu - +

Riwayat transplantasi ginjal - +

2.4 Fosfat

2.4.1 Homeostasis Fosfat pada Kondisi Fisiologis

(33)

14

Fosfat total tubuh adalah 500-700 g, dan 85% terdiri dari kristal

hydroxypatite pada tulang bersama-sama dengan kalsium, 15% terletak di kompartemen selular dan kurang dari 1% terletak di cairan ekstraselular seperti tampak pada gambar 2.1 (Mirza, 2010).

Gambar 2.1

Homeostasis fosfat (Mirza, 2010)

Fosfat dalam darah bebas dari pengikat protein dan ada dalam bentuk H2PO4, HPO4-2 dan PO4, sehingga fosfat yang beredar sering dinotasikan sebagai fosfat anorganik. Konsentrasi fosfat serum normal 2,8 4,5 mg/dl (0,9 -1,5 mmol/l) dan dipertahankan melalui interaksi yang kompleks antara usus, ginjal, tulang dan kelenjar paratiroid (Kestenbaum dan Drueke, 2010).

(34)

15

vili usus halus. Jalur paraselular merupakan gradient-dependent atau transport pasif (gambar 2.2). Mekanisme kerja dari Npt2b pada usus halus ditentukan oleh jumlah asupan fosfat melalui makanan serta calcitriol/vitamin D. Calcitriol

(1,25[OH] 2 D) menstimulasi co-transporter NPT2b, merupakan hormon utama yang mengatur absorpsi fosfat di usus. Kation, seperti kalsium, magnesium, dan aluminium, berikatan dengan fosfat di saluran cerna dan menghambat absorpsinya. Pada hewan dan manusia, diet tinggi fosfat menyebabkan eksresi cepat fosfat di urin, tanpa peningkatan kadar fosfat serum (Kestenbaum dan Drueke, 2010).

Gambar 2.2

Absorpsi fosfat di usus (Blaine dkk., 2014)

Ginjal merupakan organ utama yang mengatur homeostasis fosfat ekstraselular. Fosfat difiltrasi di glomerulus dan direabsorpsi di tubulus proksimal. Sekitar 85% reabsorpsi fosfat terjadi di tubulus proximal ginjal melalui proses intraselular (Raina dkk., 2012; Blaine dkk., 2014). Proses ini dimediasi oleh tiga

(35)

16

membran apikal dari sel tubulus proximal ginjal. Pada manusia NPT2a dan NPT2c memiliki peranan utama dalam reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal. Dalam melakukan fungsinya ketiga sodium cotransporters tersebut menggunakan energi yang berasal dari perpindahan sodium melalui perbedaan gradien untuk memindahkan fosfat dari filtrate glomerolus kedalam sel tubulus (gambar 2.3). Jumlah fosfat yang direabsorbi tergantung dari banyaknya sodium phosphate cotransporters yang terletak di membran apikal sel tubulus proximal. Dalam keadaan normal, jumlah fosfat yang difiltrasi sama dengan jumlah fosfat yang diabsorpsi (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Pada kondisi ginjal normal, diet tinggi fosfat menyebabkan penurunan aktivitas NPT2a dan NPT2c sehingga menurunkan reabsoprsi fosfat dari ultrafiltrasi glomerolus, sebaliknya pada diit rendah fosfat maka akan meningkatkan aktivitas NPT2a dan NPT2c sehingga meningkatkan reabsorpsi fosfat (Blaine dkk., 2014).

Gambar 2.3

Absorpsi fosfat di ginjal (Blaine dkk., 2014)

Hormon paratiroid (PTH) dan FGF-23 merupakan dua hormon fosfaturic

(36)

17

serta PiT-2 (Kestenbaum dan Drueke, 2010; Blaine dkk., 2014). Mekanisme kerja kedua hormon tersebut pada ginjal dijelaskan sebagai berikut. Pada kondisi penurunan LFG baik pada AKI maupun PGK maka akan terjadi peningkatan kadar fosfat, yang akan menstimulasi pelepasan hormon PTH dari kelenjar paratiroid (gambar 2.4). Peningkatan kadar PTH akan menyebabkan penurunan jumlah NPT2a dan NPT2c pada membran basal tubulus proximal, yang akan menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat lewat urin (Blaine dkk.,2014).

Gambar 2.4

Peranan PTH dalam homeostasis fosfat bila terjadi penurunan LFG (Blaine dkk., 2014)

2.4.2 Fosfat pada AKI

Pada kondisi penurunan LFG seperti pada AKI dan PGK, peningkatan kadar fosfat yang terjadi juga akan merangsang sel osteosit tulang untuk meningkatkan produksi FGF-23 (gambar 2.5). Fibroblast growth factor 23memerlukan kofaktor

(37)

18

menurunkan aktivitas NPT2a dan NPT2c di tubulus proximal, sehingga menurunkan reabsorpsi fosfat serta meningkatkan ekskresi fosfat lewat urin. Peningkatan kadar FGF-23 serum juga menurunkan kadar 1,25 (OH)2 D (calsitriol) dengan cara menekan aktvitas 1α-hydroxylase yang berfungsi untuk sintesis calsitriol serta meningkatkan aktivitas enzim 24-hydroxylase yang berfungsi meningkatkan degradasi calcitriol. Penurunan kadar calsitriol akan menurunkan absorpsi fosfat di usus. Sehingga dengan meningkatkan ekskresi fosfat urin dan menurunkan absorpsi fosfat di usus halus, maka peningkatan kadar FGF-23 serum tersebut diharapkan mampu mencegah terjadinya hiperfosfatemia (Blaine dkk., 2014; Scialla dan Wolf, 2014).

Gambar 2.5

(38)

19

2.5 Fibroblast Growth Factor 23

2.5.1 Struktur dan Asal dari FGF-23

Fibroblast growth factor 23 merupakan protein 32-kDa dengan 251 asam amino yang disekresi terutama oleh osteosit dan osteoblas tulang ke dalam sirkulasi (Dominguez dkk., 2013). Protein ini juga diekspresikan dalam jumlah yang kecil oleh glandula salivatorius, lambung, dan dalam konsentrasi rendah juga terdapat di otot rangka, otak, glandula mamaria, liver dan jantung (Martin dkk., 2012). Strukturnya terdiri dari 24 sequens asam amino hydrofilik dan terminal NH2 yang terdiri dari 154 asam amino mengandung inti FGF dengan regio yang homolog dan domain terminal COOH yang mengandung 73 asam amino (gambar 2.6). Terjadi pemotongan dan O-glikosilasi terhadap sequens signal 24 asam amino oleh enzim UDP-N-asetil-α-D-galactosamine dan polypeptide N acetylgalactosaminyl-tranferase 3 (GALNT3), sebelum akhirnya protein FGF-23

mature disekresikan kedalam sirkulasi. Pada aliran darah protein FGF-23 beredar dalam dua bentuk yaitu: bentuk yang mature/ a full length mature form (25 FGF23251) dan dalam bentuk yang lebih pendek yaitu (25FGF23179) yang tidak mengandung 73 asam amino (COOH-terminal tail). Hanya bentuk mature yang aktif, karena domain terminal COOH sangat penting untuk berinteraksi dengan dengan kofaktor α-kloto dan aktivasi dari signal FGF-23 (Martin dkk., 2012; Diniz dan Frazao, 2013).

Fibroblast growth factor 23 pertama kali di temukan pada tikus sebagai anggota baru keluarga FGF dan diidentifikasi sebagai faktor humoral penyebab

(39)

20

yang diinduksi osteomalacia (TIO). Kelainan ini ditandai oleh hypophosphatemia, rendahnya kadar 1,25 (OH)2 vitamin D dan rakhitis/osteomalasia (Razzaque dan Lanske, 2007).

Mekanisme kerja FGF-23 dengan berikatan terhadap fibroblast growth factor reseptor (FGFR) serta membutuhkan kofaktor klotho pada ginjal dan kelenjar paratiroid. Terdapat beberapa reseptor FGF yaitu FGFR1, FGFR3 serta FGFR4. Khusus pada ginjal FGFR1 merupakan reseptor utama. Fibroblast growth factor reseptor 1 merupakan reseptor utama FGF-23 yang memediasi efek fosfaturic dari FGF-23, sedangkan FGFR3 dan FGFR4 lebih berperan dalam metabolisme vitamin D.

Gambar 2.6

Struktur FGF-23 ( Razzaque dan Lanske, 2007)

2.5.2 Metode Pemeriksaan FGF-23

(40)

21

(cFGF-23) mengukur intact FGF-23 dan C-terminal fragments, karena capture antibodies mengenali dua epitopes pada C terminus dibagian distal dari

proteolytic cleavage (Jonsson dkk., 2003; Wolf dan White, 2014).

Gambar 2.7

Metode pemeriksaan FGF-23 (Wolf dan White, 2014)

2.5.3 Peranan FGF-23 dalam Kondisi Fisiologis

Peranan utama FGF-23 ialah menjaga keseimbangan metabolisme fosfat dalam tubuh. Peranan tersebut melibatkan ginjal, tulang serta kelenjar paratiroid. Secara skematis peranan FGF-23 dalam menjaga keseimbangan fosfat dalam kondisi normal dirangkum dalam gambar 2.8.

Pada kondisi fisiologis, bila terjadi peningkatan kadar fosfat dalam darah (hiperfosfatemia) maka akan memicu peningkatan kadar FGF-23 serum. Pada ginjal, FGF-23 akan terikat dengan reseptornya (FGFR) serta kofaktor α-kloto.

(41)

22

rangka menormalkan kembali kadar fosfat serum. Natrium phosphate transporter

2a merupakan cotransporter utama dalam proses reabsorpsi fosfat dan ditemukan secara ekslusif pada membran apikal sel tubulus proksimal ginjal.

Gambar 2.8

Peranan FGF-23 dalam meregulasi metabolisme fosfat pada keadaan fisiologis (Lafage-Proust, 2010)

Fibroblast growth factor 23 juga menekan sintesis 1,25 dihydroxyvitamin D. Efek tersebut melalui penghambatan 25-hydroxyvitamin D 1-α-hydroxilase

(42)

masing-23

masing bertanggung jawab untuk sintesis bentuk bioaktif dari vitamin D dan inisiasi dari degradasi dari bentuk bioaktif vitamin D menjadi bentuk tidak aktif asam calsitriol. Bila kita amati efek FGF-23 pada peningkatan ekskresi fosfat serta penekanan sintesis vitamin D terjadi di bagian tubulus proksimal ginjal (gambar 2.9). Sesunguhnya reseptor FGF-23 (FGFR) serta α-kloto sebagian besar terletak di tubulus distal, sehingga hal ini dikenal dengan hipotesis distal to proximal tubulur feedback mechanism (Martin dkk., 2012).

Gambar 2.9

Pengaturan homeostasis fosfat oleh ginjal: hipotesis distal to proximal feedback mechanism (Martin dkk., 2012)

(43)

24

resorpsi tulang sehingga terjadi peningkatan kadar fosfat dan kalsium. Sementara pada ginjal PTH memiliki efek menstimulasi 1-α-hydroxilase sehingga terjadi peningkatan sintesis 1,25 dihydroxyvitamin D, kemudian meningkatkan reabsopsi kalsium pada tubulus distal. Kadar kalsium dalam darah sendiri memiliki efek umpan balik negatif pada kelenjar paratiroid melalui calsium sensing reseptor/CaSR (Saliba dkk., 2009).

2.5.4 Fibroblast Growth Factor 23 pada AKI

Mekanisme peningkatan kadar FGF-23 serum pada AKI belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat berbagai faktor yang terlibat, seperti dirangkum pada gambar 2.10. Mekanisme pertama ialah karena peningkatan produksi FGF-23 oleh tulang. Penelitian pada binatang dengan AKI menunjukkan peningkatan produksi FGF-23 oleh sel osteosit tulang (Christov dkk., 2013). Mekanisme kedua ialah produksi ektopik FGF-23 oleh sel tubulus ginjal yang mengalami cedera/kerusakan dibawah mekanisme jejas patologis intrinsik. Hal ini didukung oleh penelitian oleh Zanchi dkk. (2013) yaitu adanya mRNA FGF-23 di dalam tubulus proksimal dan tubulus distal ginjal dari tikus percobaan. Mekanisme ketiga ialah penurunan bersihan FGF-23 yang beredar di sirkulasi. Penelitian oleh Christov dkk. (2013) melaporkan terdapat keterlambatan pembersihan FGF-23 pada tikus dengan AKI dibandingkan tikus tanpa AKI (waktu paruh 33 menit

(44)

25

inhibisi oleh toksin uremik. Beberapa penelitian skala kecil pada pasien AKI menunjukkan status besi serum yang tidak konsisten pada pasien AKI (Davis

dkk., 1999; Tuttle dkk., 2003). Akumulasi besi pada ginjal telah dilaporkan pada

pasien AKI dan binatang percobaan dengan AKI dan dapat mengaktivasi stres

oksidatif serta menstimulasi berbagai pelepasan monokin dan sitokin dari sel

tubulus ginjal (Martines dkk., 2013; Shah dkk., 2011; Johson dkk., 2010). Hasil

penelitian tersebut mendukung hipotesis bahwa FGF-23 diekspresikan secara

ektopik di sel tubulus renalis. Peran besi dalam memodulasi metabolisme FGF-23

tampak pada ekpresi FGF-23 sel tubulus renalis selama AKI subklinis mungkin

terjadi (Pavik dkk., 2012; Spichtig dkk., 2014). Diperlukan penelitian lanjutan

untuk mengkormasi hal tersebut.

Gambar 2.10

(45)

26

2.5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar FGF-23 Serum

Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar FGF-23 serum dibagi menjadi 3 katagori yaitu: faktor sistemik, faktor lokal serta faktor posttranslational (Martin dkk., 2012). Faktor sistemik meliputi: 1) vitamin D (1, 25 (OH) 2D; 2) kadar fosfat serum; 3) PTH serta 4) faktor sistemik yang lain.

Vitamin D merupakan faktor sistemik terpenting terhadap kadar FGF-23 serum. Pemberian vitamin D meningkatkan kadar FGF-23 serum, ganguan dalam metabolisme vitamin D menurunkan kadar FGF-23 serum (Salto dkk., 2005 dan Liu dkk., 2006). Peningkatan kadar Vitamin D menyebabkan peningkatan absorpsi kalsium dan fosfat pada saluran cerna. Kedua hal ini akan menyebabkan penekanan produksi PTH oleh kelenjar paratiroid, dan kemudian pada ginjal meningkatkan eksresi kalsium urin untuk mempertahankan kadar kalsium pada kadar normal. Penurunan kadar PTH yang menyebabkan penurunan ekskresi fosfat, kemungkinan menyebabkan keseimbangan fosfat yang positip, oleh karena efek vitamin D untuk meningkatkan absorbsi fosfat di saluran cerna, tidak mampu mengatasi peningkatan FGF-23 yang juga menekan sintesis 1,25(OH) 2D. Siklus hormonal yang klasik ini menjadi: peningkatan 1,25 (OH) 2D  meningkatkan FGF-23 menurunkan kadar 1,25 (OH)2 D (Martin dkk., 2012). Kerja dari FGF-23 juga diatur oleh aktivitas reseptor vitamin D (VDR) baik secara dependent

(46)

27

meningkatkan kadar FGF-23. Hal tersebut menunjukkan bahwa, ekpresi FGF-23 juga dikendalikan oleh vitamin D yang tidak tergantung pada VDR (Shimada dkk., 2004; Marsell dkk., 2008).

Efek fosfat terhadap FGF-23 masih belum sepenuhnya diketahui. Pemberian fosfat pada mencit percobaan, meningkatkan kadar FGF-23. Penelitian pada manusia ternyata memberikan hasil yang tidak konsisten. Efek pemberian diet dengan fosfat yang tinggi maupun rendah, akan memberikan efek terhadap kadar FGF-23 bila diberikan dalam jangka panjang (Larson dkk., 2003; Burnett dkk., 2006; Parwad dkk., 2005). Pada penderita dengan PGK, terjadi peningkatan kadar FGF-23 yang sebanding dengan peningkatan kadar fosfat serum. Pemberian diet fosfat bersama dengan fosfat binder dilaporkan cukup untuk menurunkan ekskresi fosfat urin akan tetapi sangat sedikit efeknya dalam menurunkan kadar FGF-23 serum (Oliveira dkk., 2010).

Faktor sistemik penting yang lain ialah kadar PTH serum. Penelitian secara invitro menunjukkan PTH secara langsung meningkatkan ekpresi gen FGF-23. Pada penderita dengan hiperparathyroid primer terdapat peningkatan kadar FGF-23 serum, sedangkan paratiroidektomi akan menurunkan kadar FGF-FGF-23 pada penderita PGK (Sato dkk., 2004; Kawata dkk., 2007).

(47)

28

Faktor lokal khususnya pada tulang juga berperan dalam meregulasi kadar FGF-23 serum. Faktor tersebut ialah regulasi oleh phosphate regulating gene with homologies to endopeptidases on the X chromosome (PHEX) serta dentin matrix protein 1 (DMP1). Bila terjadi mutasi atau inaktivasi dari PHEX, maka akan meningkatkan ekpresi gen FGF-23 pada sel osteoblas dan osteosit tulang (Liu dkk., 2006; Yuan dkk., 2008). Mutasi maupun inaktivasi dari DMP1 juga menyebabkan peningkatan ekpresi FGF-23 pada osteoblas dan osteosit tulang (Feng dkk., 2006; Liu dkk., 2006). Ekpresi FGF-23 pada tulang juga dipengaruhi oleh reseptor FGF-23 (FGFR). Mutasi pada FGFR-1 seperti pada penyakit

osteoglophonic dysplasia (OGD) akan menyebabkan peningkatan kadar FGF-23 serum serta hipofosfatemia (White dkk., 2005).

2.6 Fibroblast Growth Factor 23dan Fosfat pada PGK

Pada PGK terjadi hiperfosfatemia yang diakibatkan oleh berkurangnya kemampuan filtrasi glomerolus terhadap fosfat, sehingga terjadi retensi fosfat. Hal ini diikuti oleh peningkatan kadar fibroblast growth factor 23 (FGF-23) serum oleh sel osteosit tulang. Fibroblast growth factor 23 bekerja pada tubulus ginjal untuk meningkatkan ekskresi fosfat urin, sehingga kadar fosfat serum kembali normal. Peningkatan kadar FGF-23 serum juga menekan sintesis

1,25-dihydroxyvitamin D, sehingga terjadi hipokalsemia yang selanjutnya merangsang peningkatan hormon paratiroid/hiperparatiroid sekunder (Oliveira dkk., 2010; Russo, 2011).

(48)

29

risiko kematian, kejadian kardiovaskuler, progresi menjadi gagal ginjal terminal serta kegagalan awal cangkok ginjal (Isakova dkk., 2011; Juppner, 2011).

Hubungan antara peningkatan FGF-23 serum dan penurunan LFG telah diketahui secara baik pada pasien PGK. Penelitian oleh Bachchetta dkk. (2010) menemukan hubungan yang terbalik antara LFG dengan kadar C terminal FGF-23 serta intact FGF-23 plasma (r = - 0,214 dan r = - 0,30; p = 0,001). Filler dkk. (2011) juga melaporkan hubungan yang signifikan antara FGF-23 dengan estimasi LFG dengan menggunakan cystatin C (r = - 0,47, p <0,001). Hasil yang sebanding dilaporkan oleh Dominguez dkk. (2013), terdapat hubungan yang signifikan antara estimasi LFG dengan ln{C terminal FGF-23} (r = - 0,35, p < 0,05). Pada penelitian tersebut juga didapatkan hubungan yang signifikan antara estimasi LFG dengan fraksi ekskresi fosfat urine (r = -0,40, p = <0,05) (Dominguez dkk., 2013).

2.7 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Penyakit Jantung

(49)

30

dipertimbangkan sebagai target terapi untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler di populasi terutama pada pasien dengan PGK.

2.8 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Pasien Sakit Berat

(Critically Ill)

Pasien dengan penyakit berat/critically ill meskipun tanpa gangguan ginjal dilaporkan mengalami peningkatan kadar FGF-23 serum, yang diduga akibat tingginya proses inflamasi pada pasien tersebut (Martin dkk., 2012; Leaf dkk., 2012). Peningkatan kadar FGF-23 serum pada pasien critically ill kemungkinan merupakan acute phase reactan (Leaf dkk., 2012). Derajat keparahan penyakit pada pasien critically ill dapat diukur dengan menggunakan skor dari Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (APACHE) II (Wong dan Knaus, 1991). Penelitian oleh Zhang dkk. (2011) melaporkan terdapat perbedaan skor APACHE II yang bermakna antara pasien critically ill dengan AKI dibandingkan dengan pasien critically ill tanpa AKI ( 27 ± 11 versus 17 ± 8, p= 0,04). Berdasarkan analisis regresi linear multivariat, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan FGF-23 serum dengan skor APACHE II ( r = 0,05, p = 0,14, CI: -0,22-0,11) (Zhang dkk., 2011).

(50)

31

Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Zhang dkk. (2011) yaitu ditemukan hiperfosfatemia (13,9 ± 3,0 mg/dl) pada 12 sampel pasien critically ill di ICU yang mengalami AKI.

2.9 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Berbagai Etiologi AKI

Etiologi AKI dapat disebabkan oleh faktor prerenal, renal dan pascarenal seperti pada uraian sebelumnya. Pengaruh berbagai etiologi AKI terhadap kadar FGF-23 dan fosfat serum belum diketahui secara jelas. Leaf dkk. (2012) melaporkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar FGF-23 serum berdasarkan etiologi AKI. Diperlukan penelitian lanjutan berskala besar untuk membuktikan hal tersebut.

2.10 Pengaruh Hemodialisis pada Kadar Fosfat dan FGF-23 Serum

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) yang dilakukan pada AKI stadium 3 maupun AKI stadium 2 dengan indikasi khusus (KDIGO, 2012). Menurut prosedur, hemodialisis dibedakan menjadi 3 yaitu: hemodialisis darurat/emergency, hemodialisis persiapan/preparative serta hemodialisis kronik/reguler (Daugirdas dkk., 2007). Pada penderita AKI dengan gangguan hemodinamik digunakan metode sustained low efficient dialysis (SLED). Metode ini menggunakan waktu dialisis yang panjang (6-10 jam) dengan mengurangi

(51)

32

Hemodialisis hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Pengaruh hemodialisis terhadap kadar fosfat dan FGF-23 pada penderita AKI belum belum sepenuhnya diketahui. Pada PGK yang menjalani hemodialisis regular, kadar FGF-23 serum tetap tinggi, hingga mencapai 1000 kali lipat nilai normal (Wolf dkk., 2010). Hal ini diduga, karena peningkatan produksi FGF-23 serum bukan karena penurunan bersihannya. Peningkatan produksi FGF-23 serum sebanyak dua kali lipat oleh sel tulang juga telah dibuktikan pada model percobaan tikus dengan AKI (Chistov dkk., 2013).

2.11 Pengaruh Umur terhadap Kadar FGF-23dan Fosfat Serum

Terdapat beberapa laporan penelitian yang menyatakan terdapat peningkatan

kadar fosfat dan FGF-23 serum seiring bertambahnya umur. Penelitian oleh

Brown dkk. (2009) melaporkan peningkatan kadar FGF-23 (FGF-23 C terminal

ELISA) dan fosfat serum seiring bertambahnya umur. Hal yang sama juga

dilaporkan oleh Baccheta dkk. (2010) yaitu terdapat peningkatan kadar intact

FGF-23 setelah umur 15 tahun, dan terdapat korelasi yang signifikan antara kadar

intact FGF-23 dan umur (r = 0,228, p = 0,001).

2.12 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada AKI

(52)

33

dan Tumlin, 1996). Gangguan metabolisme vitamin D, hiperkalsemia maupun hipokalsemia juga dilaporkan terjadi pada AKI dengan penyebab selain

rhabdomiolysis (Pietrek dkk., 1978; Mallete dan Silvermean, 1980; Massry dkk., 1974).

Penelitian mengenai kadar FGF-23 serum pada AKI, pertama kali dilaporkan oleh Leaf dkk. (2010) pada seorang pasien AKI akibat rhabdomiolysis. Laporan kasus tersebut menemukan peningkatan kadar FGF-23 serum sebesar 619 RU/ml (nilai normal 7-71 RU/ml). Hal ini diduga karena stimulasi langsung oleh hiperfosfatemia akibat rhabdomiolysis serta hiperparatiroid yang bersifat transient

akibat terjadinya sekuestrasi kalsium di otot.

Penelitian lanjutan oleh Zhang dkk. (2011) juga menemukan peningkatan kadar FGF-23 pada pasien AKI dengan etiologi selain rhabdomiolysis. Pada penelitian pendahuluan tersebut melibatkan 12 sampel pasien critically ill di ICU yang mengalami AKI dibandingkan dengan 8 pasien critically ill tanpa AKI sebagai kontrol. Kadar FGF-23 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien

critically ill dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol (median FGF-23 serum 1948 RU/ml; IQR, 347-4969 versus 252 RU/ml; IQR, 65-533, p = 0,01). Pada penelitian ini juga didapatkan hiperfosfatemia lebih tinggi pada pasien dengan AKI jika dibandingkan dengan pasien tanpa AKI (4,5 ±1 mmol/L versus 3,3 ± 1,1 mmol/L, p = 0,02). Hiperpatiroid berat (PTH > 250 mg/dl) ditemukan pada pasien AKI, meskipun tidak bermakna secara statistik.

(53)

34

pasien tanpa AKI sebagai kontrol. Hiperfosfatemia secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang mengalami AKI dibandingkan kontrol (4.5 ± 1 vs 3,3 ± 1,1 mg/dl, p = 0,02). Kadar FGF-23 serum juga lebih tinggi pada pasien dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol (median [IQR] = 1471 [224-2534] versus 263 [96-574] RU/ml, p = 0,003). Peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan telah terjadi 24 jam setelah onset AKI dan menurun pada hari ke lima.

Christov dkk. (2013) melakukan penelitian pada model tikus percobaan dengan AKI untuk mengetahui waktu dan mekanisme terjadinya peningkatan FGF-23 dan fosfat serum pada AKI. Pada percobaan ini digunakan injeksi asam folat intraperitoneal untuk menginduksi terjadinya AKI. Peningkatan kadar fosfat secara signifikan terjadi dalam 24 jam pengamatan pada tikus dengan AKI dibandingkan dengan tanpa AKI (11,2 ± 1,4 mg/dl versus 6,4 ± 0,3 mg/dl; p < 0,05). Ditemukan juga peningkatan hormon PTH secara signikan lebih tinggi pada tikus yang mengalami AKI jika dibandingkan tikus tanpa AKI (1359 ± 320

versus 85 ± 38, p < 0,05). Peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan 1 jam setelah onset AKI dan mencapai 18 kali lipat nilai dasar setelah 24 jam (4500 ± 562 pada AKI versus 307 ± 19 pada non AKI; p < 0,01). Pada percobaan tersebut (gambar 2.11) didapatkan peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan FGF-23 serum terjadi secara signifikan 1 jam setelah onset AKI, sedangkan peningkatan kadar fosfat serum baru terjadi setelah 2 jam munculnya AKI. Kadar

(54)

35

mendahului peningkatan kadar fosfat dan NGAL serum. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa terdapat peningkatan produksi FGF-23 oleh tulang, sebesar 2 kali lipat pada binatang mencit dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol.

Gambar 2.11

Peningkatan kadar FGF-23 sejak awal onset AKI (Chritov dkk., 2013). Pengambilan sampel darah diambil pada jam ke 0, 1, 2, 4, 6 dan 8 setelah injeksi

vehicle (garis putus-putus) serta injeksi asam folat (garis lurus). (a) Kadar BUN plasma (mg/dl). (b) Kadar fosfat plasma (mg/dl). (c) Kadar iFGF-23 plasma (pg/ml). (d) Kadar NGAL plasma (ng/ml). (e) Kadar cFGF-23 plasma (pg/ml)

(55)

36

tersebut sebanding dengan penelitian pada model percobaan tikus, ditemukan peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan sejak awal terjadinya AKI, meskipun belum terdapat peningkatan kreatinin serum.

Gambar 2.12

Kadar FGF-23 serum meningkat pada pasien pascaoperasi jantung yang mengalami AKI ( Christov dkk., 2013)

2.13 Hubungan antara Stadium AKI dan Kadar Fosfat Serum serta FGF-23

Serum

(56)

37

berkorelasi terhadap peningkatan FGF-23 serum (r = 0,08, p = 0,74). Peningkatan kadar FGF-23 serum tidak berkorelasi dengan stadium AKI berdasarkan kriteria AKIN (Zhang dkk., 2011).

Penelitian oleh Leaf dkk. (2012) mendapatkan hasil yang berbeda. Pada penelitian ini melibatkan 30 pasien AKI baik yang dirawat di ruang perawatan biasa maupun di ICU. Pada AKI stadium 1 kadar fosfat serum mencapai 3,8 mg/dl dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 5,3 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada AKI stadium 1 mencapai 224 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 2534 RU/ml. Peningkatan kadar fosfat serum berkorelasi dengan kadar FGF-23 serum (r = 0,32, p = 0,02) seperti tampak pada gambar 2.13.

Gambar 2.13

Hubungan antara peningkatan kadar fosfat serum dan FGF-23 serum pada pasien AKI (Leaf dkk., 2012)

(57)

38

yang memerlukan RRT/hemodialisis termasuk AKI stadium 3, sehingga secara tidak langsung pada penelitian ini menyatakan bahwa peningkatan kadar FGF-23 serum berhubungan dengan stadium AKI, seperti tampak pada gambar 2.14.

Gambar 2.14

Peningkatan FGF-23 serum meningkatkan risiko kematian dan diperlukannya RRT pada AKI (Leaf dkk., 2012).

(58)

39

Gambar 2.15

Peningkatan kadar FGF-23 serum berkorelasi negatif dengan kadar 1,25

dihydroxyvitamin D (Leaf dkk., 2012)

(59)

40

Gambar 2.16

Gambar

Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 .......................................................................
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3  Penyebab AKI prerenal  (dimodifikasi dari Roesli, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pemberian 1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol) terhadap Kadar Fibroblast Growth Factor-23 dan Albuminuria Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V

Lebih lanjut dikatakan kadar serum VEGF ini berkorelasi dengan tingkat keparahan dari penyakit yang dinilai dengan perhitungan skor PASI.. Publikasi seputar VEGF dalam

Berhubungan dengan peranan penting leptin pada penyakit autoimun, didapatkan bahwa perempuan mempunyai kadar leptin serum 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki

Ditemukan suatu metode pemeriksaan kadar serum EG-VEGF yang diperiksa dari spesimen darah dianggap lebih mudah dan tidak terlalu invasif serta cairan folikel berhubungan

Kadar kolesterol total yang tinggi dan HDL yang rendah akan meningkatkan rasio dari keduanya dan berhubungan langsung dengan peningkatan risiko penyakit jantung

Merokok ketika menyemprot dan pengetahuan tentang pestisida yang rendah merupakan faktor yang berhubungan dengan kadar serum cholinesterase pada petani penyemprot di

Merokok ketika menyemprot dan pengetahuan tentang pestisida yang rendah merupakan faktor yang berhubungan dengan kadar serum cholinesterase pada petani penyemprot di

taufik dan hidayahNya sehingga penelitian karya akhir dengan judul ”Asosiasi Antara Laju Filtrasi Glomerulus dengan Kadar Fibroblast Growth Factor 23 Pasien Penyakit Ginjal