• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesintasan Perbedaan Laju Kesembuhan Pasien Katarak Menurut Jenis Operasi Yang Dilakukan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesintasan Perbedaan Laju Kesembuhan Pasien Katarak Menurut Jenis Operasi Yang Dilakukan."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN WAKTU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

MADE INTAN SHANTIVANI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN WAKTU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

MADE INTAN SHANTIVANI

NIM. 1220025084

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)

UNIVERSITAS UDAYANA

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN WAKTU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

MADE INTAN SHANTIVANI NIM. 122025084

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 15 Juli 2016

Tim Penguji Skripsi

Ketua (Penguji I)

(dr. I Ketut Tangking Widarsa, MPH) NIP.194801201979031001

Anggota (Penguji II)

(5)

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 15 Juli 2016

Pembimbing,

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmatNya penyusunan skripsi penelitian yang berjudul Analisis Kesintasan Perbedaan

Waktu Kesembuhan Pasien Katarak Menurut Jenis Operasi yang Dilakukan dapat

diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan

dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan

penghargaan kepada :

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., PhD, selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ;

2. Ni Made Dian Kurniasari, SKM., MPH. dan Ketut Hari Mulyawan, S.Kom., MPH.,

selaku pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, pikiran serta tenaga dalam

membimbing serta mengarahkan penulis selama penyusunan proposal penelitian;

3. dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH, selaku dosen pengajar peminatan biostatistika

yang telah banyak berbagi ilmu, saran, dan nasihat, serta selalu sabar menjelaskan

setiap pertanyaan sejak peminatan hingga penyusunan skripsi ini;

4. Kepada Rumah Sakit Mata Bali Mandara yang telah mengijinkan penulis melakukan

penelitian dan mengambil data pasien katarak yang melakukan operasi pada bulan

Oktober-Desember;

5. Kepada Orang Tua dan keluarga yang senantiasa menemani dan membantu serta

(7)

6. Lucky 7 yang selalu meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu merevisi, serta

tidak pernah berhenti mengingatkan dan memberikan motivasi dalam penyusunan

skripsi ini.

7. Teman-teman angkatan 2012 PS. Kesehatan Masyarakat FK Unud, yang senantiasa

memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

Demikian skripsi ini disusun, semoga dapat memberikan manfaat bagi diri kami

sendiri dan pihak lain yang menggunakan.

Denpasar, Juni 2016

(8)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN LAJU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

ABSTRAK

Prevalensi katarak di Indonesia adalah sebesar 1,8% dan di Bali sebesar 2,7%.

Katarak dapat disembuhkan melalui operasi katarak baik menggunakan

Phacoemulsification (Phaco) atau Small Incision Cataract Surgery (SICS), target waktu sembuh pasca operasi selama 4 minggu. Namun waktu sembuh pasien katarak pasca operasi adalah selama 4-8 minggu. Perbedaan waktu tersebut dapat dipengaruhi oleh teknik operasi yang digunakan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan laju kesembuhan pasien katarak menurut jenis operasi yang dilakukan.

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan study cohort retrospective. Sebanyak 212 pasien katarak yang melakukan operasi katarak digunakan sebagai kohort. Penelitian ini menggunakan data sekunder meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, komplikasi, tanggal melakukan operasi dan tanggal mencapai

kesembuhan yang diambil dari berkas rekam medis. Data dianalisis dengan metode Life

Table, Kaplan Meier, Logrank Test, dan uji Cox Regression.

Hasil penelitian ini menunjukkan Phaco membutuhkan waktu sembuh lebih

singkat dibandingkan dengan SICS, dimana median waktu yang dibutuhkan pasien untuk

sembuh adalah 25 hari pada kelompok SICS dan hanya 8 hari pada kelompok Phaco yang

bermakna secara statistik (p=0,0011). Pasien dengan jenis operasi Phaco lebih mungkin untuk sembuh dalam waktu 4 minggu (HR 1,70; 95%CI 1,18-2,47) dibandingkan pasien dengan operasi SICS, setelah dikontrol dengan kelompok umur, jenis kelamin, komplikasi dan riwayat penyakit.

Pasien pada kelompok Phaco memiliki waktu kesembuhan pasca operasi yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok SICS yang bermakna secara statistik. Jenis operasi memiliki hubungan bermakna terhadap waktu kesembuhan pasien katarak dalam 4 minggu pasca operasi.

(9)

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

MAINSTREAM OF BIOSTATISTICS AND DEMOGRAPHY MINI THESIS

JUNE 2016

Made Intan Shantivani

THE DIFFERENCE IN RECOVERY TIME OF CATARACT PATIENTS ACCORDING TO THE TYPE OF SURGERY PERFORMED : A TIME TO

EVENT ANALYSIS ABSTRACT

The prevalence of cataract in Indonesia in 2013 was 1.8% and in Bali was 2.7%. Cataracts can be treated through a surgery, and postoperative recovery time target is for 4 weeks. But normaly, postoperative recovery time of cataract patients was varied 4-8 weeks. The time difference at the recovery time can be influenced by the surgical technique performed. Therefore, the aimed of the study id to identify the difference in recovery time of cataract patients according to the type of surgery performed.

This was an analytic observational study with retrospective cohort study design. A sample of 212 cataract patients was derived from a cohort of cataract patients who were undergone cataract surgery in 2015 in Rumah Sakit Mata Bali Mandara. Data of the patien regarding age, sex, history of disease, complications, surgery date and the date when patient fully recover from postoperative were collected from medical record file. Data was analysed by Life Table, Kaplan Meier, Logrank Test, and Cox Regression.

The results of this study indicated that Phaco takes shorter time to recover from postoperative treatment than that in SICS. The median of the recovery time in SICS group was 25 days, which was higher than that in Phaco group with was only 8 days of recovery time. The difference of the recovery time in both groups were statistically significant (p = 0.0011). Patients who undergone Phaco operating technique were more likely to recover within 4 weeks after surgery than those in SICS group after adjusted by age group, gender, complications and history of disease (adjusted HR = 1.70 ; 95% CI HR = 1.18 to 2.47; p = 0.004).

Patients in Phaco group had faster postoperative recovery time than the SICS group. In addition, the type of surgery performed between Phaco and SICS was associated with 4 weeks of postoperative recovery time.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Katarak ... 7

2.2 Operasi Katarak ... 8

2.3 Kesembuhan Katarak ... 11

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan ... 11

2.5 Waktu Kesembuhan ... 15

2.6 Metode Analisis Kesintasan ... 16

(11)

2.6.2 Fungsi Kesintasan dan fungsi Hazard ... 19

2.7 Lifetable ... 21

2.8 Kaplan-Meier ... 22

2.9 Uji Log Rank ... 22

2.10 Cox Regression ... 23

BAB III KERANGKA KONSEP ... 25

3.1 Kerangka Konsep ... 25

3.2 Hipotesis Penelitian ... 26

3.3 Variabe dan Definisi Operasional ... 26

3.3.1 Variabel ... 26

3.3.2 Definisi Operasional Variabel ... 27

BAB IV METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Desain Penelitian ... 30

BAB V HASIL PENELITIAN ... 35

5.1 Gambaran Situasi Rumash Sakit Mata Bali Mandara ... 35

5.2 Karakteristik Responden ... 35

5.3 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Operasi ... 37

5.4 Analisis Waktu Kesembuhan Pasien Katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara ... 38

5.5 Analisis Perbedaan Waktu Kesembuhan Pasien Katarak menurut Jenis Operasi yang Dilakukan di Rumah Sakit Mata Bali Mandara ... 39

5.6 Pengaruh Jenis Operasi yang dilakukan terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak selama 4 Minggu Pasca Operasi ... 40

(12)

6.1 Perbedaan Waktu Kesembuhan Pasien Katarak menurut Jenis Operasi yang Dilakukan di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember

2015. ... 43

6.2 Pengaruh Jenis Operasi Terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak yang melakukan Operasi di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember 2015. ... 46

6.3 Kelemahan dan Keunggulan Penelitian ... 49

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 50

7.1 Simpulan ... 50

7.2 Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria Tajam Penglihatan Menurut World Health Organization ... 8

Tabel 2.2 Komponen Life Table ... 21

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel... 27

Tabel 5.1 Karakteristik Pasien Katarak yang Melakukan Operasi Katarak di Rumah Sakit

Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember 2015 ... 36

Tabel 5.2 Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Operasi ... 37

Tabel 5.3 Pengaruh Jenis Operasi terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak selama 4

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran Data Tersensor ... 18

Gambar 2.2 Kurva Fungsi Kesintasan ... 20

Gambar 2.3 Kurva Fungsi Hazard ... 21

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 25

Gambar 5.1 Pengambilan Sampel Penelitian ... 36

Gambar 5.2 Waktu Kesembuhan Pasien Katarak yang Melakukan Operasi Katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember 2015 ... 38

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Jadwal Penelitian

Lampiran 2 Formulir Data Sekunder

Lampiran 3 Hasil Analisis Data

(16)

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Lambang

% : Persen

> : Lebih besar

< : Lebih kecil

≥ : Lebih dari sama dengan

≤ : Kurang dari sama dengan.

= : Sama dengan

α : Alpha

p : Nilai p

Daftar Istilah

SICS : Small Incision Cataract Surgery

Phaco : Phacoemulsicfication

Perdami : Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia

Miopia : Rabun jauh

HR : Hazard Ratio

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, yaitu

sebesar 51% (WHO, 2012). Perkiraan insiden katarak di Indonesia adalah 0,1%/tahun atau

setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI,

2005). Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi katarak di

Indonesia adalah sebesar 1,8%, tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara (3,7%), diikuti oleh

Jambi sebesar 2,8%, kemudian Bali sebesar 2,7% dan terendah di DKI Jakarta sebesar

0,9% (Riskesdas, 2013).

Katarak dapat disembuhkan melalui operasi katarak yang merupakan prosedur

yang paling umum dilakukan dalam oftalmologi dan didukung dengan sepasang kacamata

(Tabin dkk, 2008). Hampir sebagian besar penglihatan normal dapat dikembalikan melalui

operasi pengangkatan lensa opacifier, difasilitasi oleh implantasi lensa intraokular (IOL)

(Schwiegerling, 2010). Untuk mengatasi beban kebutaan dari katarak dibutuhkan cakupan

bedah yang cukup dan hasil bedah yang baik, yaitu keselamatan, rehabilitasi visual awal

dan emetropia pasca operasi (Tabin dkk, 2008).

Waktu sembuh pasien katarak pasca operasi ditargetkan selama 4 minggu dengan

85% pasien memiliki tajam penglihatan tanpa koreksi adalah ≥6/18 (Perdami, 2013).

(18)

belum mencapai kesembuhan dalam waktu 4 minggu. Dengan kesembuhan terlama

mencapai 8 minggu. National Health Service (2015) juga mencatat variasi waktu

kesembuhan pasca operasi adalah antara 4-8 minggu. Variasi lama waktu kesembuhan

pasien tersebut dapat berkaitan dengan teknik operasi yang digunakan (Limburg, dkk,

2005).

Tidak hanya teknik operasi, faktor lain juga dapat mempengaruhi waktu

kesempuhan pasien katarak. Pada penelitian sebelumnya, faktor demografi, variable klinis

dikatakan dapat mempengaruhi kesembuhan pasien (Fermont, dkk, 2014). Selain itu,

riwayat penyakit mata selain katarak seperti glaukoma, miopia tinggi, degenerasi makula

dan ablasio retina serta riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus juga dapat

mempegaruhi waktu sembuh pasien katarak pasca operasi (Limburg, dkk, 2005).

Rumah Sakit Mata Bali Mandara merupakan rumah sakit khusus kelas A yang

menjadi tujuan utama penderita katarak dalam melakukan operasi katarak di Bali. Rumah

Sakit Mata Bali Mandara memiliki 2 teknik operasi katarak, yaitu teknik

Phacoemusification dan Small Incision Cataract Surgery (SICS) (RS Mata Bali Mandara

2014).

Phacoemulsification (Phaco) dalam beberapa tahun terakhir merupakan prosedur

yang paling populer untuk mengobati katarak pada pasien di negara berkembang. Alasan

untuk popularitas ini adalah bahwa Phaco aman dan memberikan hasil visual yang lebih

baik, seperti rehabilitasi visual awal dan emetropia (Tabin, dkk., 2008). Pengguna Small

(19)

penerapan yang lebih cepat, lebih sedikit bergantung pada teknologi dan biaya yang lebih

rendah (Vekantesh, dkk, 2010 dalam (NCC & AVRI, 2012).

Menurut beberapa penelitian, dibandingkan dengan Phaco ada risiko

antigmatisme yang lebih pada SICS. Pada hari pertama pasca operasi juga memberikan

risiko yang lebih di edema kornea (Tabin, dkk., 2008). Menurut Ruit, dkk (2007)

kekeruhan kapsul posterior lebih sering terjadi pada kelompok yang menggunakan teknik

SICS dibandingkan dengan Phaco. Resiko umum pada SICS adalah terjadinya luka pada

iris mata (Boughton B, 2009). Sejauh ini di RS Mata Bali Mandara belum diketahui

apakah terdapat perbedaan waktu kesembuhan yang signifikan dari kedua teknik operasi

baik menggunakan Phaco atau SICS.

Pada bulan oktober-desember 2015, Rumah Sakit Mata Bali Mandara telah

melakukan operasi katarak sebanyak 356 pasien. Dimana pasien yang menggunakan

teknik Phaco sebanyak 199 (56%) dan yang menggunakan teknik SICS sebanyak

180(157%). Sejauh ini di RS Mata Bali Mandara belum memiliki informasi tentang

perbedaan waktu kesembuhan dari kedua teknik operasi yang dilakukan yaitu Phaco dan

SICS.

Waktu kesembuhan dapat diketahui dengan analisis kesintasan (analisis survival).

Analisis kesintasan adalah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data

dimana variabel outcome yang diteliti adalah waktu (time) sampai suatu peristiwa (event)

terjadi (Kleinbaum & Klein, 2005: 4). Analisis kesintasan juga mempertimbangkan

(20)

secara lengkap. Hal ini disebabkan oleh kejadian tak terduga yang mengakibatkan obyek

keluar dari penelitian (Collet, 1994).

Menurut Kleinbaum (1997), tujuan analisis kesintasan adalah mengestimasi atau

menginterpretasi fungsi hazard dan fungsi kesintasan dari data kesintasan,

membandingkan fungsi kesintasan dan fungsi hazard pada dua kelompok atau lebih, dan

untuk mengetahui hubungan antara waktu kesintasan dengan variabel-variabel yang

diduga mempengaruhi waktu kesintasan.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin membandingkaan waktu sembuh

pasien katarak menurut jenis operasi yang dilakukan dan melihat pengaruh jenis operasi

terhadap waktu kesembuhan tersebut menggunakan teknik analisis kesintasan.

1.2 Rumusan Masalah

Waktu sembuh pasien katarak pasca operasi ditargetkan selama 4 minggu dengan

85% pasien mencapai tajam penglihatan tanpa koreksi adalah ≥6/18. Studi pendahuluan

di RS Mata Bali Mandara menunjukkan bahwa 40,39% dari 100 pasien yang melakukan

operasi katarak belum mencapai kesembuhan dengan tajam penglihatan tanpa koreksi ≥6/18 dalam waktu 4 minggu pasca operasi. Waktu terlama kesembuhan mencapai 8

minggu. Adanya variasi waktu sembuh tersebut kemungkinan disebabkan oleh teknik

operasi yang dilakukan, karena teknik operasi tersebut memiliki perbedaan dari segi

proses, biaya, keamanan, hasil visual, risiko dan komplikasi. Selain dari teknik operasi,

faktor lain seperti faktor demografi, riwayat penyakit dan komplikasi juga kemungkinan

memiliki pengaruh dalm perbedaan waktu kesembuhan tersebut. Sampai saat ini, masih

(21)

kesembuhannya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan waktu

kesembuhan pada pasien katarak berdasarkan jenis operasi yang dilakukan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

 Apakah ada perbedaan waktu kesembuhan pada pasien katarak berdasarkan

jenis operasi yang dilakukan?

 Apakah ada pengaruh dari jenis operasi terhadap waktu kesembuhan pada

pasien katarak?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beda waktu

kesembuhan pada pasien katarak berdasarkan jenis operasi yang dilakukan.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mengetahui waktu kesembuhan pasien katarak yang melakukan operasi

katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara berdasarkan jenis operasi yang

dilakukan.

2) Mengetahui pengaruh jenis operasi terhadap waktu kesembuhan pasien

katarak yang melakukan operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara

(22)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar dapat menambah

pengetahuan mengenai teknik operasi katarak dilihat dari waktu kesembuhan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai

perbedaan waktu kesembuhan pasien katarak berdasarkan jenis operasinya

sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam memilih jenis operasi katarak yang

akan digunakan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai beda waktu kesembuhan pasien

katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara berdasarkan jenis operasi yang dilakukan dan

pengaruh jenis operasi terhadap waktu sembuh. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun

2016 dengan menggunakan data pasien katarak yang melakukan operasi pada bulan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katarak

Kata katarak berasal dari bahasa Latin cataracta, yang berarti air terjun, karena

orang menderita katarak mempunyai pengelihatan yang kabur seolah-olah dibatasi oleh

air terrjun (Anies, 2006). Jika ini terjadi, jalannya sinar akan berkurang atau terhambat,

sehingga lensa tidak apat difokuskan (Ali, 2003). Katarak adalah kekeruhan yang terjadi

pada lensa mata, yang menghalangi pengelihatan yang jelas (WHO, 2012 ; Anies, 2006).

Sebagian kasus katarak berkaitan dengan proses penuaan, namun juga dapat terjadi pada

anak-anak yang lahir dengan kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah cedera

mata, inflamasi atau penyakit mata lainnya (WHO, 2012).

Katarak tidak menimbulkan nyeri atau bengkak, tetapi bisa mengakibatkan

kehilangan penglihatan yang progresif atau kebutaan total. Gejala yang umum terjadi

adalah semua cahaya yang masuk ke mata memasuki lensa, sehingga bagian lensa yang

tersumbat akan mengaburkan cahaya, lalu menyebabkan terganggunya penglihatan yang

parahnya ditentukan oleh lokasi dan kematangan katarak (Ali, 2003)

Katarak merupakan penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh berbagai faktor,

baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang berpengaruh antara

lain adalah umur, jenis kelamin dan faktor genetik, sedangkan faktor ekstrinsik yang

berpengaruh antara lain adalah pendidikan dan pekerjaan yang berdampak langsung pada

(24)

Gejala katarak dini dapat diperbaiki dengan kacamata baru, pencahayaan yang

terang, kacamata anti-silau, atau lensa pembesar. Jika tindakan ini tidak membantu,

operasi adalah satu-satunya pengobatan yang efektif (NIH, 2014).

2.2 Operasi Katarak

Katarak dapat disembuhkan melalui operasi katarak yang merupakan prosedur

yang paling umum dilakukan dalam oftalmologi dan didukung dengan sepasang kacamata

(Tabin, dkk, 2008). Hampir penglihatan normal dapat dikembalikan melalui operasi

pengangkatan lensa opacifier, difasilitasi oleh implantasi lensa intraokular (IOL)

(Schwiegerling, 2010). Untuk mengatasi beban kebutaan dari katarak dibutuhkan cakupan

bedah yang cukup dan hasil bedah yang baik, yaitu keselamatan, rehabilitasi visual awal

dan emetropia pasca operasi. Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah

menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah

menimbulkan penyulit seperti glaukoma dan uveitis (Arif, 2000).

Sebagian besar hasil operasi katarak dilaporkan hanya dalam tajam penglihatan

(RCOphth, 2010). Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6

(20/15 atau 20/20 kaki). Apabila penglihatan kurang maka diukur dengan menentukan

kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari) ataupun proyeksi sinar (Ilyas, 2000).

Tabel 2.1 Kriteria Tajam Penglihatan Menurut World Health Organization

Kriteria Tajam Penglihatan

Snellen LogMAR

Baik 6/6 - 6/18 0,00-0,48

Sedang <6/18 – 6/60 >0,48 – 1,00

(25)

Bedah katarak sudah berubah dalam 20 tahun terakhir, yang prinsipnya disebabkan

oleh diperkenalkannya mikroskop operasi, instrumentasi yang lebih baik, benang jahit

yang lebih baik, serta lebih baiknya lensa intraokuler (Tabin dkk., 2008). Rumah Sakit

Mata Bali Mandara menggunakan 2 teknik operasi katarak, yaitu Phacoemulsification

(Phaco) dan Small Incision Cataract Surgery (SICS).

Prosedur fakoemulsifikasi pertama kali dilakukan pada mata manusia oleh Charles

Kelman pada tahun 1967. Ini adalah awal dari Phaco untuk mengatasi masalah yang

terkait dengan penyembuhan, peradangan, dan astigmatisme (Jha & Brig, 2006). Phaco

adalah teknik yang digunakan untuk menghilangkan katarak menggunakan mesin dan

mikro-bedah instrument. Teknik Phaco biasanya dilakukan dengan membuat sayatan

skleral sementara (3,0 mm) dan memisahkan kornea yang jelas untuk tindakan

sewaktutnya (Venkatesh, dkk, 2009). Operasi katarak fakoemulsifikasi merupakan teknik

operasi dengan memecah nukleus lensa menjadi fragmen-fragmen kecil dengan

memanfaatkan energi ultrasonik intensitas tinggi, kemudian diikuti dengan aspirasi

fragmen-fragmen lensa (Bellarinatasari, 2011). Setelah membersihkan katarak, kantong

kapsuler diisi dengan hydroxypropy. Prosedur ini diikuti dengan implan lensa ke dalam

kantong kapsuler (Venkatesh, dkk, 2009).

Pada Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS), insisi dilakukan di skleral

sekitar 5.5 mm – 7.0 mm. Ada 2 aspek dari incisi SICS yang harus di pertimbangkan, yang

pertama self sealing nature dari luka dan yang kedua induksi astigmatisma, dimana

astigmatisma harus minimal dan jika memungkinkan meniadakan keberadaan

(26)

nucleus sangat tergantung pada arsitektur dari luka. Keuntungan konstruksi irisan pada

sklera kedap air sehingga membuat katup dan isi bola mata tidak prolaps keluar. Dan

karena incisi yang dibuat ukurannya lebih kecil dan lebih posterior, kurvatura kornea

hanya sedikit berubah (Venkatesh, dkk, 2010).

Banyak hasil penelitian yang telah membandingkan kedua teknik tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian Kwartika (2015) menyatakan bahwa terdapat perbedaan

bermakna pada sensitivitas kornea pasca operasi katarak dengan teknik SICS dan

fakoemulsifikasi sampai hari ke-28 dengan penurunan lebih besar pada teknik SICS

dibandingkan fakoemulsifikasi. Sitompul dkk (2008), juga melaporkan bahwa pada

fakoemulsifikasi terjadi penurunan sensitivitas kornea yang berlangsung lebih lama

dibandingkan dengan SICS.

SICS memiliki waktu operasi yang lebih cepat, lebih murah dan kurang

bergantung pada teknologi dibandingkan dengan Phaco (Venkatesh, 2005).

Dibandingkan dengan Phaco ada risiko antigmatisme yang lebih pada SICS. Pada

hari pertama pasca operasi juga memberikan risiko yang lebih di edema kornea (Tabin,

dkk., 2008). Menurut Ruit, dkk (2007) kekeruhan kapsul posterior lebih sering terjadi pada

kelompok yang menggunakan teknik SICS dibandingkan dengan Phaco. Resiko umum

pada SICS adalah terjadinya luka pada iris mata (Boughton B, 2009).Jika dilihat dari hasil

ketajaman visual, Singh, dkk (2009) mencatat hasil visual yang buruk lebih besar pada

Phaco (6% dari pasien) dibandingkan dengan SICS (1% dari pasien). Ketajaman visual

rata-rata adalah 0,43 ± 0,27 pada kelompok fakoemulsifikasi dan 0,47 ± 0,24 pada

(27)

visual. Sedangkan Cook dkk (2011) menyatakan tidak ada perbedaan hasil ketajaman

visual pada hari pertama, namun pada minggu ke 8 ada perbedaan ketajaman pengelihatan

yang diukur dengan menggunakan kacamata (p=0,03) dan tanpa menggunakan kacamata

(p=0,02), diamana Phaco lebih baik dari SICS.

2.3 Kesembuhan Katarak

Menurut Perdami Kesembuhan katarak ditandai dengan tajam penglihatan tanpa

koreksi adalah ≥6/18 pada 4 minggu pasca operasi. Kesembuhan katarak dapat juga di

tandai dengan pemberian kacamata pada minggu keempat kunjungan pasca operasi. Pada

kunjungan ketiga refraksi dapat dilakukan. Jika mata sudah tenang dan stabil maka pasien

akan di berikan kacamata (AOA, 2004).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sebuah waktu kesembuhan penyakit. Pada

penelitian sebelumnya, faktor demografi, variable klinis dan teknik operasi diakatakan

dapat mempengaruhi kesembuhan pasien (Fermont, dkk, 2014). Menurut Effendy (1998),

rendahnya angka kesembuhan berkaitan dengan karakteristik penderita diantaranya umur,

jenis kelamin, dan tipe penyakit karena terjadinya perubahan keadaan fisiologis, imunitas,

dan perubahan kebiasaan makanan atau perilaku hidup sehat.

Kesembuhan pasien katarak ditandai dengan tajam pengelihatan yang dihasilkan

pasca operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tajam pengelihatan pasca operasi

katarak adalah riwayat penyakit mata selain katarak seperti glaukoma, miopia tinggi,

(28)

mellitus. Teknik operasi dan komplikasi pasca operasi juga mempengaruhi kesembuhan

pasien (Limburg, dkk, 2005).

Belum ada penelitian mengenai faktor-faktor yang mepengaruhi waktu kesembuhan

pasien katarak pasca operasi katarak, namun ada beberapa penelitian terkait faktor-faktor

yang mempengaruhi waktu kesembuhan penyakit lain, diantaranya :

1. Jenis Operasi

Variasi kesmbuhan katarak dapat dipengaruhi oleh teknik operasi yang dilakukan.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa waktu sembuh kelompok

Phacoemulsification 8,1 kali lebih cepat di bandingkan dengan kelompok control

(Rotchford, 2007). Gogate dkk (2005) menyimpulkan bahwa fakoemulsifikasi dan SICS

aman dan efektif untuk rehabilitasi visual pasien katarak. Mereka juga menyimpulkan

bahwa fakoemulsifikasi memberikan ketajaman penglihatan yang diukur tanpa

menggunakan kacamata atau lensa kontak lebih baik dalam proporsi yang lebih besar dari

pasien pada 6 minggu.

Berdasarkan hasil penelitian Ruit, dkk (2007), pada enam bulan, pada kelompok

fakoemulsifikasi hasil visual lebih baik, dengan lebih banyak pasien memiliki lebih dari

atau sama dengan 20/30 hasil visual yang baik dengan koreksi (94%) dan tanpa koreksi

(54%). Sedangkan pada kelompok SICS 32% tanpa koreksi dan 89% dari pasien dengan

kacamata melihat lebih baik dari atau sama dengan 20/30. Ada beberapa kemungkinan

alasan untuk hasil visual yang lebih baik pada kelompok fakoemulsifikasi dibandingkan

dengan kelompok SICS. Penjelasan yang paling mungkin karena tingkat kekeruhan kapsul

(29)

2. Umur

Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan

sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan menggunakan hitungan tahun (Chaniago,

2002). Menurut Hurlock (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Menurut Suryabudhi (2003)

seseorang yang menjalani hidup secara normal dapat diasumsikan bahwa semakin lama

hidup maka pengalaman semakin banyak, pengetahuan semakin luas, keahliannya

semakin mendalam dan kearifannya semakin baik dalam pengambilan keputusan

tindakannya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kesembuhan penyakit

lebih kecil 1,6 kali pada umur muda dibandingkan dengan umur tua (Zubaidah, 2013).

Umur diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan signifikan dengan hasil

visual yang lebih buruk (Norregaard et al., 1998), dengan pasien berusia 90 tahun ke atas

memiliki empat kali risiko hasil visual yang buruk bila dibandingkan dengan mereka yang

berusia 50 sampai 59 tahun (Desai, Minassian & Reidy, 1999).

Khanna, dkk (2012) menyatakan bahwa kelompok umur memilik pengaruh

bermakna terhadap waktu kesembuhan dilihat dari hasil ketajaman visual pasca operasi

(p<0,001). Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa semakin tua umur semakin akan

dikaitkan dengan tingginya prevalensi riwayat penyakit yang diderita, seperti penyakit

penyerta mata miopia, diabetes militus dan hipertensi (Hashemi dkk, 2012).

3. Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan

(30)

Pakistan dan studi dari Rajasthan di India menunjukkan bahwa perempuan memiliki hasil

visual yang lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki (Bourne et al., 2007;Murthy et al.,

2001). Ruit, ddk (2007) juga menyatakan bahwa laki-laki memiliki kencenderungan yang

lebih untuk mencapai ketajaman visual terbaik, 6/18 dalam 40 hari dibandingkan

perempuan.

Khanna, dkk (2012) yang menyatakan bahwa perempuan memiliki kecenderungan

terhadap waktu kesembuhan yang lebih lama jika dilihat dari ketajaman visual pasca

operasi, sehingga jenis kelamin tetap dimasukkan kedalam model. Jika dilihat dari

distribusinya, perempuan cenderung menggunakan jenis operasi SICS, sehingga ada

kemungkinan komplikasi yang lebih banyak terjadi pada perempuan yang membuat

perempuan memiliki waktu kesembuhan lebih lama dibandingkan dengan laki-laki

(Khanna dkk 2012 ; Hashemi dkk, 2012).

4. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit lain yang di derita pasien dapat mempengaruhi waktu

kesembuhan, seperti jika pasien menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM). Berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011), pasien dengan riwayat penyakit

DM 6,264 kali lebih lama penyembuhannya dibandingkan dengan pasien yang tidak

memiliki riwayat DM.

Pemeriksaan mengungkapkan bahwa 127 dari 177 mata (71,7%) setelah 12 sampai

18 bulan dari ekstraksi katarak memiliki hasil visual yang buruk karena gangguan mata

pra operasi. Berbagai kondisi mata pra operasi yang bertanggung jawab untuk pencapaian

(31)

trachomatous corneal scarring, mewakili 40,9% kasus, glaucoma, penyakit makula dan

retina merupakan 25,9% dari kasus (Salem, 1987).

5. Komplikasi

Sebanyak 31 mata (15,8%) setelah 12 sampai 18 bulan dari ekstraksi katarak

memiliki hasil visual yang buruk karena komplikasi bedah. Jenis komplikasi yang dialami

adalah ablasi retina (32,3%), vitreous heamorrhage (25,8%), Cystoid Macular Edema

(CME) dan endophthalmitis masing-masing sebesar 9,7% (Salem, 1987).

Pada dasarnya, Phaco dan SICS menghasilkan komplikasi yang sedikit. Namun,

jika dibandingkan dengan Phaco, ada risiko antigmatisme dan edema kornea yang lebih

pada SICS (Bougton B, 2009). Ruit, dkk (2010) menambahkan bahwa lebih banyak risiko

kekeruhan posterior kapsular pada kelompok SICS dibandingan dengan kelompok Phaco

dan juga sering terjadi luka iris pada teknik SICS. Hal ini disebabkan karena ukuran

sayatan pada teknik SICS lebih besar dibandingkan dengna Phaco yaitu sekitar 6 mm dan

seringkali memerlukan jahitan. Berdasarkan hal tersebut, seringkali terjadinya kesalahan

saat membuat sayatan (Bougton B, 2009).

2.5 Waktu Kesembuhan

Waktu kesembuhan adalah waktu yang diperlukan untu kembali ke keadaan

normal atau mendekati normal setelah mengalami suatu penyakit atau trauma (White,

2007). Kesembuhan dapat di peroleh melalu suatu pengobatan atau tindakan berupa

operasi. Waktu kesembuhan suatu operasi sangat penting untuk diketahui. Dengan

mengetahui waktu kesembuhan dapat melakukan monitoring dan evaluasi keefektivan

(32)

pertimbangan dalam mengurangi beban pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan

pasca operasi sampai pasien dinyatakan sembuh (Jamison, dkk., 2006).

2.6 Metode Analisis Kesintasan

Analisis kesintasan (survival) adalah suatu metode yang berhubungan dengan

waktu, mulai dari time origin atau start point sampai dengan terjadinya suatu kejadian

khusus atau end point. Data yang diperoleh di bidang kesehatan merupakan pengamatan

terhadap pasien yang diamati dan dicatat waktu terjadinya kegagalan dari setiap individu

(Collet, 1994).

Dalam analisis kesintasan, ada istilah failure, yaitu suatu kejadian dimana

tercatatnya kejadian yang diinginkan. Dalam menentukan waktu kesintasan, ada tiga

faktor yang dibutuhkan yaitu :

1. Waktu awal pencatatan (start point).

Waktu awal pencatatan adalah waktu awal dimana dilakukannya pencatatan untuk

menganalisis suatu kejadian.

2. Waktu akhir pencatatan (end point).

Waktu akhir pencatatan adalah waktu pencatatan berakhir. Waktu ini berguna untuk

mengetahui status tersensor atau tidak tersensor seorang pasien untuk bisa melakukan

analisis.

3. Dan skala pengukuran sebagai batas dari waktu kejadian dari awal sampai akhir

(33)

Menurut (Kleinbaum, 1997) ada beberapa tujuan analisis kesintasan:

1. Mengestimasi/memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi kesintasan atau hazard

dari data kesintasan.

2. Membandingkan fungsi kesintasan dan fungsi Hazard pada dua atau lebih kelompok.

3. Menilai hubungan variabel-variabel explanatory dengan kesintasan waktu ketahanan.

2.6.1 Data Tersensor

Yang membedakan antara analisis kesintasan dengan analisis statistik lainnya

adalah adanya data tersensor. Data tersensor adalah data tercatat saat adanya informasi

tentang waktu kesintasan individual, tetapi tidak tahu persis waktu kesintasan yang

sebenarnya (Kleinbaum & Klein, 2011: 5-6). Menurut Catala dkk., (2011) ada 3 alasan

terjadinya data tersensor :

1. Seseorang tidak mengalami suatu peristiwa dari awal pencatatan sampai akhir

pencatatan.

2. Sesorang hilang tanpa ada alasan ketika pencatatan sampai akhir pencatatan.

3. Seseorang tercatat keluar dari penelitian karena kematian atau beberapa alasan lain

seperti reaksi obat yang merugikan objek.

Sedangkan menurut Pyke &Thompson (1986) data dikatakan tersensor jika

pengamatan waktu kesintasan hanya sebagian, tidak sampai failure event. Penyebab

terjadinya data tersensor antara lain:

1. Loss to follow up, terjadi bila obyek pindah, meninggal atau menolak untuk

(34)

3. Termination, terjadi bila masa penelitian berakhir sementara obyek yang diobservasi

belum mencapai failure event.

Situasi ini diilustrasikan dengan grafik di bawah ini. Grafik menggambarkan

beberapa orang atau objek yang diikuti. � menyatakan orang atau objek yang

mendapatkan peristiwa.

Dalam bukunya Crowder dkk (1991) mengatakan bahwa ada 3 jenis penyensoran,

yaitu:

1. Left-censored, observasi dikatakan left-cencored jika objek yang diobservasi

mengalami peristiwa di bawah waktu yang telah ditetapkan atau ketika masa

observasi belum selesai.

2. Right-censored, obsevasi dikatakan right-cencored jika objek masih hidup atau

masih beroperasi ketika masa observasi telah selesai. X

(35)

3. Interval-censored, ketika objek mengalami peristiwa diantara interval waktu

tertentu maka observasi dikatakan interval-censored

Menurut Lee dan Wang (2003) ada 3 tipe penyensoran data, yaitu:

1. Tipe I, jika objek-objek diobservasi selama waktu tertentu, namun ada beberapa

objek yang mengalami peristiwa setelah periode atau masa observasi selesai, dan

sebagian lagi mengalami peristiwa diluar yang ditetapkan.

2. Tipe II, masa observasi selesai setelah sejumlah objek yang diobservasi

diharapkan mengalami peristiwa yang ditetapkan, sedang objek yang tidak

mengalami peristiwa disensor.

3. Tipe III, jika waktu awal dan waktu berhentinya observasi dari objek

berbeda-beda. Sensor tipe III ini sering disebut sebagai random-censored.

2.6.2 Fungsi Kesintasan dan fungsi Hazard

Pada analisis kesintasan ada dua hal yang mendasar yaitu fungsi kesintasan

dan fungsi Hazard. Fungsi kesintasan merupakan dasar dari analisis ini, karena

meliputi probabilitas kesintasan dari waktu yang berbeda-beda yang memberikan

informasi penting tentang data kesintasan.

Secara teori, fungsi kesintasan dapat digambarkan dengan kurva mulus dan

memiliki karakteristik sebagai berikut (Kleinbaum dan Klein, 2005):

1. Tidak meningkat, kurva cenderung menurun ketika � meningkat

2. Untuk �=0, � = 0 =1 adalah awal dari penelitian, karena tidak ada objek yang

(36)

3. Untuk �=∞, � = ∞ =0; secara teori, jika periode penelitian meningkat tanpa

limit maka tidak ada satu pun yang bertahan sehingga kurva kesintasan

mendekati nol

Gambar 2.2 Kurva Fungsi Kesintasan

Berbeda dengan fungsi kesintasan yang fokus pada tidak terjadinya

peristiwa, fungsi Hazard fokus pada terjadinya peristiwa. Oleh karena itu fungsi

Hazard dapat dipandang sebagai pemberi informasi yang berlawan dengan fungsi

kesintasan.

Sama halnya dengan kurva fungsi kesintasan, kurva fungsi Hazard juga

memiliki karakteristik, yaitu (Kleinbaum dan Klein, 2005):

1. Selalu nonnegatif, yaitu sama atau lebih besar dari nol

2. Tidak memiliki batas atas

Selain itu fungsi Hazard juga digunakan untuk alasan:

1. Memberi gambaran tentang keadaan failure rate

(37)

3. Membuat model matematik untuk analisis kesintasan biasa

Gambar 2.3 Kurva Fungsi Hazard

2.7 Life table

Metode Life Table adalah metode yang umum digunakan dalam analisis

kesintasan. Tabel ini bisa dianggap sebagai tabel frekuensi distribusi, dimana distribusi

dari survival time dibagi menjadi beberapa interval. Pada masing-masing interval tersebut

dihitung jumlah proporsi dari objek yang hidup dari keseluruhan sampel dan proporsi dari

kejadian yang janggal dalam rentang interval tersebut. Adapun komponen life table adalah

sebagai berikut:

Tabel 2.2 Komponen Life Table

No. Komponen Formula

1. Interval start time (x)

2. Number entering interval (nx) n(x+1) =nx-wx-dx

3. Number withdrawal (wx)

(38)

6. Proportion terminating (qx) qx=dx/n’x

sampel awal, dan jumlah sampel yang mencapai end point dan tersensor pada tiap interval.

Adapun dari komponen tersebut yang dilihat adalah Lx sebagai pembentuk fungsi kurva

kesintasan, density, dan Hazard.

2.8 Kaplan-Meier

Kaplan-Meier merupakan suatu metode untuk membuat tabel dan grafik fungsi

harapan hidup (survival function) atau fungsi kematian kasar (hazard function) untuk lama

waktu terjadinya suatu kondisi yang diteliti dari saat pengamatan dimulai (time to event

data). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Kaplan dan Meier (1985) untuk

menganalisis harapan hidup untuk periode waktu tertentu dari sebuah penelitian kohort

atau eksperimental (follow-up study).

Analisis Kapaln-Meier digunakan untuk menganalisis perbedaan survival time

dua kelompok atau lebih dengan asumsi variasi survival time hanya ditentukan oleh faktor

waktu dan tidak dipengaruhi oleh variabel perancu atau covariate (Widarsa, 2014).

2.9 Uji Log Rank

Menurut (Peto & Peto) asumsi yang sedikit berbeda dalam jumlah data dari yang

(39)

melihat kesesuaian atau ketidak sesuaian diantara grup 1 dan grup 2 dalam analisis

kesintasan . Caranya adalah dengan membandingkan estimasi Hazard function dari grup

yang diobservasi dalam waktu tertentu. Uji Log Rank diperluas untuk analisis stratifikasi,

sebagai contoh, pengaruh variabel prognostik yang patut diperhitungkan, dan untuk

membandingkan 3 kelompok atau lebih (Machin dkk, 2006).

2.10 Cox Regression

Model regresi Cox diperkenalkan oleh D.R. Cox (1972) dan pertama kali

diterapkan pada data kesintasan. Pada model tersebut variabel peyerta dimasukkan dalam

model sebagai variabel bebas dan waktu kesintasan sebagai variabel tak bebas. Dengan

menerapkan model regresi Cox, maka akan diketahui bentuk hubungan antar variabel

(Kontz and Johnson, 1982).

Model regresi ini dikenal juga dengan istilah Proportional Hazard Model karena

asumsi proporsional pada fungsi Hazardnya. Secara umum, model regresi Cox

dihadapkan pada situasi dimana kemungkinan kegagalan individu pada suatu waktu yang

dipengaruhi oleh satu atau lebih variabel penjelas. (Collet, 1994)

Hazard (h) dalam regresi survival adalah risiko terjadinya endpoint (kematian)

pada periode waktu berikutnya berdasarkan baseline pada awal periode tersebut (Widarsa,

2015). Hazard Ratio adalah perbandingan hazard kelompok terpapar dengan kelompok

tidak terpapar. Bila variabel X adalah variabel paparan dengan kategori 1=terpapar dan

0=tidak terpapar, maka penghitungan HR dapat dilakukan dengan cara berikut (Widarsa,

(40)

Dari perhitungan tersebut dapat diringkas, bahwa HR dari variabel paparan (X)

adalah sama dengan expotensial koefisien regresi () dari varaiabel paparan (X) tersebut.

Jadi, HR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

�� = ��� �

Note:

HR > 1, artinya variabel bebas meningkatkan risiko

HR = 1, artinya variabel bebas tidak berpengaruh

Gambar

Gambar 2.1 Gambaran Data Tersensor
Gambar 2.2 Kurva Fungsi Kesintasan
Tabel 2.2 Komponen Life Table

Referensi

Dokumen terkait

Model ini adalah model estimasi paling baru diantara metode lain karena persamaan empiris yang digunakan untuk estimasi elemen-elemen biaya pada tahun 1986.. Model DAPCA

Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit

Lagu memliki bentuk atau karakter yang sama dengan komunikasi massa, dimana pada lagu, komunikasi berlangsung satu arah dari musisi kepada pendengar, lalu komunikator

Skripsi ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian yang dilaksanakan pada September- Oktober 2006 di lahan rehabilitasi Desa Wonoasri Taman Nasional Meru Betiri dengan judul

Bahwa didalam posita angka 4 halaman 4 penggugat mendalilkan bahwa almarhum Ida Bagus Nyoman Amertha Puja alias I Nyoman Amertha Puja alias I BGS Nyoman

Skema pemasaran telur menjelaskan bahwa hasil produksi telur dari peternak dijual kepada UD Majujaya (pedagang TK I) sebagai kegiatan pemasaran yang rutin, sedangkan

Adapun alasan-alasan dan keadaan hukum yang menjadi DASAR GUGATAN ini adalah sebagai berikut: Bahwa Para Penggugat adalah ahli waris dari Nyonya Oewij Wijen berdasarkan Surat

dilakukan dengan menganalisa aktivitas belajar mana yang harus tetap dilaksanakan dengan menggunakan metoda pembelajaran tradisional , dan yang dapat diselenggarakan dengan metoda