SKRIPSI
INTERVENSI ULTRASOUND DAN CLOSED KINEMATIC CHAIN
EXERCISE LEBIH EFEKTIF DARIPADA INTERVENSI
ULTRASOUND DAN OPEN KINEMATIC CHAIN EXERCISE
DALAM MENURUNKAN NYERI PADA PASIEN
OSTEOARTHRITIS LUTUT DENGAN SKOR NYERI 8
–
20 DI
DAERAH BADUNG
NI MADE DENI PURNAMA
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
i
INTERVENSI ULTRASOUND DAN CLOSED KINEMATIC CHAIN
EXERCISE LEBIH EFEKTIF DARIPADA INTERVENSI
ULTRASOUND DAN OPEN KINEMATIC CHAIN EXERCISE
DALAM MENURUNKAN NYERI PADA PASIEN
OSTEOARTHRITIS LUTUT DENGAN SKOR NYERI 8
–
20 DI
DAERAH BADUNG
Skripsi ini diajukan sebagaiSalah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA FISIOTERAPI
Oleh:
NI MADE DENI PURNAMA
NIM. 1202305025
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
vi
INTERVENSI ULTRA SOUND DAN CLOSED KINEMATIC CHAIN
EXERCISE LEBIH EFEKTIF DARIPADA INTERVENSI ULTRA
SOUND DAN OPEN KINEMATIC CHAIN EXERCISE DALAM
MENURUNKAN NYERI PADA PASIEN OSTEOARTHRITIS
LUTUT DENGAN SKOR NYERI 8-20 DI DAERAH BADUNG
ABSTRAK
Pada pasien osteoarthritis lutut, nyeri adalah gejala yang paling umum dan dominan yang mewakili gejala klinis osteoarthritis. Nyeri yang dirasakan mengakibatkan penurunan kekuatan otot quadricpes femoris yang merupakan otot yang berperan dalam stabilisasi area lutut. Penurunan kekuatan otot quadriceps femoris berdampak pada peningkatan nyeri yang mengakibatkan penurunan aktifitas fungsional yang dapat berujung dengan terjadinya disabilitas. Latihan penguatan serta intervensi modalitas fisioterapi dapat diberikan untuk mengurangi nyeri pada pasien osteoarthritis lutut. Latihan penguatan yang diberikan dapat berupa closed kinematic chain exercisa dan open kinematic chain exercise dimana diketahui kedua latihan ini efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui intervensi mana yang lebih efetktif dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan two grouppre
dan post test design. Sampel penelitian berjumlah 20 orang yang dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok 1 diberikan intervensi ultrasound dan closed kinematic chain exercise 3 kali perminggu sebanyak 12 kali perlakuan, sedangkan Kelompok 2 diberikan intervensi ultrasound dan open kinematic chain exercise 3 kali perminggu selama 12 kali perlakuan. Pengukuran penurunan nyeri lutut diukur dengan menggunakan skala Western Ontario McMaster Universities Osteoarthritis Index
(WOMAC). Setelah mendapatkan data hasil penelitian, dilakukan uji normalitas dengan Shapiro wilk test dan uji homogenitas dengan Levene’s test. Selanjutnya dilakukan uji hipotesis dengan paired sample t-test, untuk mengetahui perbedaan rerata sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok.
Pada Kelompok 1 didapatkan hasil p=0,000 dengan beda rerata 4,700±1,059, sedangkan pada Kelompok 2 didapatkan hasil p=0.000 dengan beda rerata 1,800±0,918. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan nyeri yang bermakna pada setiap kelompok. Pada uji beda selisih anatara Kelompok 1 dengan Kelompok 2 yang menggunakan independent sample t-test didapatkan p=0,000 (p<0,05).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa intervensi ultrasound dan closed kinematic chain exercise lebih efektif daripada intervensi ultrasound dan open kinematic chain exercise dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan skor nyeri 8-20 di daerah Badung.
vii
INTERVENTION ULTRA SOUND AND CLOSED CHAIN
KINEMATIC EXERCISE MORE EFFECTIVE THAN THE
INTERVENTION ULTRA SOUND AND OPEN CHAIN
KINEMATIC EXERCISE IN REDUCING PAIN IN PATIENTS
WITH SCORES KNEE OSTEOARTHRITIS 8-20 PAIN IN THE
BADUNG AREA
ABSTRACT
In patients with knee osteoarthritis , pain is the most common symptom and dominant representing clinical symptoms of osteoarthritis. Pain is felt resulted in decreased muscle strength which is quadricpes femoris muscle plays a role in the stabilization of the knee area. Decreased muscle strength quadriceps femoris impact on increasing the pain that resulted in decreased functional activity that can lead to the occurrence of disability. Strengthening exercises and physiotherapy modalities of intervention can be given to reduce pain in patients with osteoarthritis of the knee. Strengthening exercises that can be given exercisa closed kinematic chain and open kinematic chain which is known to both training exercise is effective in reducing pain in patients with osteoarthritis of the knee. The purpose of this study was to determine which one is more efetktif intervention in reducing pain in patients with osteoarthritis of the knee.
This study is an experimental research design with two group pre and post test design. These samples included 20 people who were divided into two groups. Group 1 was given intervention ultrasound and closed kinematic chain exercises three times a week as much as 12 times treatment , while the second group was given ultrasound intervention and open kinematic chain exercise three times a week for 12 times treatment. Measurement decrease in knee pain was measured using a scale of Western Ontario McMaster Universities Osteoarthritis Index ( WOMAC ) . After getting the data from the study , conducted by Shapiro Wilk normality test and homogeneity test by Levene 's test. Further test the hypothesis by paired sample t -test , to determine the mean difference before and after the intervention in each group.
In Group 1 showed p = 0.000 with a mean difference 4.700 ± 1.059 , while in Group 2 showed p = 0.000 with a mean difference 1.800 ± 0.918 . These results suggest that there is a significant decrease in pain in each group. In different test difference anatara Group 1 with Group 2 using independent sample t -test was obtained p = 0.000 ( p < 0.05 ).
Based on these results , it can be concluded that the intervention ultrasound and closed kinematic chain exercise is more effective than intervention ultrasound and open kinematic chain exercise in reducing pain in patients with osteoarthritis knee pain score 8-20 in the Badung area .
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu yang
berjudul “Intervensi Ultrasound dan Closed Kinematic Chain Exercise Lebih Efektif
Daripada Ultrasound dan Open Kinematic Chain Exercise dalam Menurunkan Nyeri Pada Pasien Osteoarthritis Lutut dengan Skor Nyeri 8-20 di Daerah Badung”.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana
Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan Skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan Skripsi ini, yaitu kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, PFK selaku Ketua Program Studi
Fisioterapi Universitas Udayana.
3. Ni Luh Nopi Andayani, SSt.FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus pengajar
yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan
skripsi ini.
4. dr. Nila Wahyuni, S.Ked, M.Fis selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
5. I Ketut Nuada, Ni Made Pastini, Ni Putu Deni Suwitri, M.Pd, I Nyoman Ade
ix
memberi dukungan serta semangat tanpa hentinya pada penulis untuk berjuang
hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Seluruh teman - teman AXOPLASMIC, Fisioterapi FK Unud 2012 yang selalu
membantu dan memberikan semangat dalam berbagai cara baik itu melalui
tawa, canda, ataupun nasihat-nasihat yang memacu semangat. Terimakasih
banyak sudah mengingatkan satu sama lainnya untuk sama-sama berjuang.
7. Para sahabat saya, Bianglala, Lemakers, dan para sahabat dari SMP
terimakasih banyak sudah selalu berbagi cerita-cerita motivasi dan
memberikan semangat walaupun kita terbatas ruang dan waktu.
8. Dosen - dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak penulis sangat harapkan.
Denpasar, Mei 2016
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iv 2.1Osteoarthritis Lutut... 7
2.1.1 Anatomi dan Biomekanik Terapa pada Osteoarthritis Lutut ... 8
2.1.2 Insiden Osteoarthritis Lutut ... 13
2.1.3 Etiologi Osteoarthritis ... 14
2.1.4 Patogenesis Osteoarthritis ... 16
2.1.5 Gambaran Klinis Osteoarthritis ... 18
2.1.6 Klasifikasi Osteoathritis Lutut ... 21
2.1.7 Diagnosis Osteoarthritis Lutut ... 23
xi
2.2.1 Efek Kelemahan Otot dan Instabilitas dalam Peningkatan Nyeri pada
Pasien Osteoarthritis Lutut ... 24
2.2.2 Efek Nyeri pada Penurunan Kemampuan Fungsional ... 26
2.2.3 Indeks Pengukuran Fungsional pada Osteoarthritis Lutut ... 27
2.2.4 Penilaian dan Interpretasi Indeks WOMAC ... 28
2.3Ultrasound ... 30
2.3.1 Definisi ... 30
2.3.2 Fisika Dasar Ultrasound ... 30
2.3.3 Efek – Efek Ultrasound Terhadap Tubuh ... 32
2.3.4 Dosis Pemberian Ultrasound ... 34
2.3.5 Indikasi dan Kontraindikasi Ultrasound ... 34
2.3.6 Ultrasound untuk Osteoarthritis Lutut ... 35
2.4Closed Kinematic Chain Exercise ... 36
2.4.1 Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Closed Kinematic Chain Exercise pada Pasien Oseoarthritis Lutut ... 39
2.5Open Kinematic Chain Exercise ... 40
2.5.1 Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Open Kinematic Chain Exercise pada Pasien Osteoarthritis Lutut ... 44
2.6Perbandingan Closed Kinematic Chain Exercise dengan Open Kinematic Chain Exercise ... 44
xii
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 57
4.4Variabel ... 58
4.5Definisi Operasional Variabel ... 58
4.6Instrumen Penelitian ... 61
4.7Prosedur Penelitian ... 62
4.7.1 Persiapan Penelitian... 62
4.7.2 Pelaksanaan Penelitian ... 62
4.8Alur Penelitian ... 69
4.9Teknik Analisis Data ... 70
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1Data Karakteristik Sampel... 72
5.2Uji Normalitas dan Homogenitas ... 74
5.3Pengujian Hipotesis ... 75
5.3.1 Uji Beda Rerata Skor Nyeri Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 75
5.3.2 Uji Beda Skor Nyeri Sebelum, Sesudah Intervensi dan Selisih Skor Penurunan Nyeri pada Kedua Kelompok ... 76
BAB VI PEMBAHASAN 6.1Karakteristik Sampel ... 78
6.2Distribusi dan Varians Sampel Penelitian ... 80
6.3Intervensi Ultrasound dan Closed Kinematic Chain Exercise dapat Menurunkan Nyeri pada Penderita Osteoarthritis Lutut ... 80
6.4Intervensi Ultrasound dan Open Kinematic Chain Exercise dapat Menurunkan Nyeri pada Pasien Osteoarthritis Lutut ... 83
6.5Intervensi Ultrasound dan Closed Kinematic Chain Exercise Lebih Efektif daripada Ultrasound dan Open Kinematic Chain Exercise dalam Menurunkan Nyeri pada Pasien Osteoarthritis Lutut ... 85
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1Simpulan ... 89
7.2Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Osteoarthritis ... 7
Gambar 2.2 Arah Tarikan otot Quadricep Femoris ... 10
Gambar 2.3 Lintasan GFR pada lutut normal dan lutut dengan peradangan ... 11
Gambar 2.4 Ruang sendi pada osteoarthritis dan pada lutut normal ... 11
Gambar 2.5 Pembebanan selama berjalan pada osteoarthritis ... 12
Gambar 2.6 Closed Kinematic Chain Exercise ... 37
Gambar 2.7 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Half Squates ... 38
Gambar 2.8 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Wall Slides ... 39
Gambar 2.9 Open Kinematic Chain Exercise... 41
Gambar 2.10 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Curl ... 43
Gambar 2.11 Open Kinematic Chain Exercise dengan Leg Extension ... 43
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep... 51
Gambar 4.1 Desain Penelitian ... 53
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT) ... 16
Tabel 2.2 Kriteria Klasifikasi Osteoarthritis Genu menururt Kellgren dan Lawrence ... 22
Tabel 2.3 Diagnosis Osteoarthritis Lutut Berdasarkan American College of Rheumatology ... 23
Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Indeks WOMAC ... 29
Tabel 2.5 Intepretasi Nilai Indeks WOMAC ... 29
Tabel 2.6 Karakteristik Closed Kinematic Chain Exercise dengan Open Kinematic Chain Exercise ... 46
Tabel 4.1 Prosedur Assesment Fisioterapi ... 62
Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 73
Tabel 5.2 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Umur dan IMT ... 73
Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Penurunan Nyeri Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 74
Tabel 5.4 Hasil Uji Skor Nyeri Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 75
Tabel 5.5 Hasil Uji Beda Skor Nyeri Sebelum, Sesudah Intervensi dan Selisih Skor Penurunan Nyeri pada Kedua kelompok ... 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia terjadi
peningkatan UHH (Umur Harapan Hidup) setiap tahunnya dimana pada tahun
2000, UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun, angka ini meningkat menjadi 69,43
tahun pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 menjadi 69,5 tahun. Peningkatan
UHH ini menunjukkan peningkatan populasi lanjut usia (lansia), menurunnya
angka kematian serta meningkatnya jumlah angka kesakitan karena penyakit
degeneratif (Kemenkes, 2013).
Lanjut usia atau lansia adalah individu yang mengalami proses penuaan
secara terus- menerus yang mengakibatkan turunnya daya tahan fisik sehingga
rentan mengalami gangguan fungsi tubuh dan rentan terserang penyakit
degeneratif yang dapat menyebabkan disabilitas bahkan kematian. Menurut
Center for Disease Control and Prevention, osteoarthritis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi penyebab utama terjadinya disabilitas pada
usia lanjut (Rekomendasi IRA, 2014).
Kerentanan terjadinya osteoarthritis bisa meningkat dikarenakan oleh faktor
genetik (riwayat keluarga positif meningkatkan resiko), umur, etnis, diet, dan jenis
kelamin (Felson, 2004) serta adanya ketidaknormalan gerak sendi, varus atau
valgus deformity, kelemahan otot atau adanya perubahan dalam struktur dari sendi (seperti kerusakan meniscus atau ruptur ligamen) yang memudahkan progresivitas
2
Osteoarthritis bisa menyerang berbagai sendi yang menopang berat tubuh
seperti tangan, pinggul dan lutut, namun osteoarthritis lutut merupakan penyakit
sendi yang paling umum terjadi di dunia. Seseorang dengan osteoarthritis lutut
mengalami nyeri lutut, kekakukan sendi, penurunan proprioseptif dan penurunan
kekuatan otot. Keluhan utama pada pasien osteoarthritis lutut ialah adanya nyeri.
Nyeri yang berhubungan dengan osteoarthritis lutut ini menyebabkan penurunan
kekuatan otot quadriceps femoris sebesar 15% - 20% (Rice et al., 2011). Penurunan kekuatan otot quadriceps femoris akan memperburuk nyeri awal yang
dirasakan pasien (Brandt, 2003).
Penatalaksanaan osteoarthritis ditujukan pada pengendalian/ menghilangkan
nyeri, memperbaiki gerak dan fungsi sendi serta meningkatkan kualitas hidup
(Felson, 2003). Pada kasus osteoarthritis, penatalaksanaan yang diberikan dapat
berupa penatalaksanaan secara non farmakologi dan farmakologi (Rekomendasi
IRA, 2014). Pengobatan farmakologis memberikan hasil yang cepat namun
memiliki efek samping. Untuk mengurangi efek tersebut maka dapat diberikan
penatalaksanaan nonfarmakologis berupa intervensi fisioterapi yaitu modalitas
dan terapi latihan. Modalitas fisioterapi standar yang dapat diberikan pada pasien
osteoarthritis lutut ialah ultrasound (Petrella,2001). Pengaruh mekanik maupun
pengaruh thermal dapat memberikan dampak fisiologis yang dapat menurunkan
nyeri pada pasien osteoarthritis (Suja, 2014). Sebuah penelitian yang dilakukan di
Mexico menyebutkan adanya pengaruh penurunan nyeri dan peningkatan
fungsional pasien osteoarthritis lutut grade 2 menurut Kellgren and Lawrence
3
Terapi latihan yang dapat diberikan pada pasien osteoarthritis lutut adalah
jenis-jenis latihan yang ditujukan untuk meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan
otot-otot disekitar lutut salah satunya resistance exercise baik secara closed kinematic chain maupun open kinematic chain (Bennell & Hinman, 2011). Pada studi yang dilakukan di Inggris diperoleh hasil bahwa pemberian latihan pada
ekstremitas bawah pasien osteoarthritis sangat efektif untuk menurunkan nyeri,
meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas daripada pasien yang tidak mendapatkan
latihan (Olalekan et al., 2013).
Closed kinematic chain exercise merupakan suatu metode penerapan
resistance exercise dimana dalam pemberian latihan, pasien berada pada posisi menumpu berat badan dan tungkai kontak langsung dengan permukaan dasar
(Kinandana, 2015). Open kinematic chainexercise adalah suatu latihan gerak aktif yang melibatkan satu otot dan sendi saja (single joint) dan tanpa disertai pergerakan pada segmen proksimalnya (Branden, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Sadhana Verma di India dan penelitian yang
dilakukan di poliklinik RSUD Kota Mataram tahun 2014 menunjukkan bahwa
pemberian closed kinematic chain exercise lebih baik daripada open kinematic chain exercise pada pasien dengan osteoarthritis dimana dalam meningkatkan fungsional daripada open kinematic chain exercise dikarenakan closed kinematic chain exercise melibatkan kegiatan dengan keadaan menumpu berat badan (Verma, 2012).
Penelitian yang dilakukan di daerah Badung pada tahun 2015 menunjukkan
4
hasil penelitian ini peneliti memilih untuk membandingkan kedua jenis latihan
tersebut untuk mengetahui pengaruh latihan tersebut dalam menurunkan nyeri
pada pasien osteoarthritis lutut di Daerah Badung. Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat sebuah tulisan ilmiah dengan
judul “Intervensi Ultrasound dan Closed Kinematic Chain Lebih Efektif daripada
Intervensi Ultrasound dan Open Kinematic Chain Exercise dalam Menurunkan Nyeri pada Pasien Osteoarthritis Lutut dengan Skor Nyeri 8-20 di daerah
Badung”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian
ini sebagai berikut:
1. Apakah intervensi Ultrasound & Closed Kinematic Chain Exercise
efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan
skor nyeri 8- 20 di daerah Badung?
2. Apakah intervensi Ultrasound & Open Kinematic Chain Exercisse
efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan
skor nyeri 8 – 20 di daerah Badung?
3. Apakah intervensi Ultrasound & Closed Kinematic Chain Exercise lebih efektif daripada intervensi Ultrasound &Open Kinematic Chain Exercise
dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan skor
5
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran umum mengenai pemberian intervensi
Resistance Exercise metode Closed Kinematic Chain Exercise dengan metode Open Kinematic Chain dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan skor nyeri 8 -20.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk membuktikan bahwa intervensi Ultrasound dan Closed Kinematic Chain Exercise efektifdalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan skor nyeri 8 – 20 di daerah Badung.
2. Untuk membuktikan bahwa intervensi Ultrasound dan Open Kinematic Chain Exercise efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan skor nyeri 8 – 20 di daerah Badung.
3. Untuk membuktikan intervensi Ultrasound dan Closed Kinematic Chain Exercise lebih efektif daripada Ultrasound dan Open Kinematic Chain Exercise dalam menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis lutut dengan skor nyeri 8 – 20 di daerah Badung.
1.4. Manfaat Penelitian
6
1.4.1. Manfaat Praktis
1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan
tindakan fisioterapi dalam menurunkan nyeri pada osteoarthritis lutut di
daerah Badung.
2. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai langkah preventif
penurunan fungsional akibat nyeri pada pasien osteoarthritis lutut di
daerah Badung. 1.4.2. Manfaat Teoritis
1. Digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian
selanjutnya yang akan membahas hal yang sama.
2. Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya dan
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Osteoarthritis Lutut
Osteoarthritis adalah penyakit degeneratif pada daerah lokal sendi yang
bersifat kronis. Proses dari penyakit osteoarthritis melibatkan seluruh bagian sendi
yaitu ligament, kartilago dan otot disertai adanya penyempitan ruang sendi,
adanya osteofit, dan sklerosis pada X-Ray (Bennel KL dan Hinman RS, 2011).
Proses ini akan menyebabkan tulang rawan sendi mengalami erosi, pembentukan
osteofit (Iversen,2012), seperti ditunjukkan oleh gambar 2.1.
Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang biasa dialami lansia di dunia.
Sekitar sepertiga dari jumlah lansia memiliki gambaran radiologi peradangan pada
sendi, meskipun lansia yang positif mengalami osteoarthritis pada lutut, tangan
atau pinggul hanya 8.9% dari populasi lansia. Osteoarthritis lutut adalah tipe yang
paling umum (6% dari semua lansia). Terjadinya kasus osteoarthritis meningkat
seiring dengan peningkatan usia. Terjadinya osteoarthritis pada lutut lebih tinggi
di antara usia 70 sampai 74 tahun, meningkat setinggi 40 %. (Michael, 2010).
8
2.1.1. Anatomi dan Biomekanik Terapan pada Osteoarthritis Lutut
Lutut memiliki fungsi biomekanik yang penting saat beraktifitas seperti
saat berjalan dan berlari. Keadaan jaringan otot dan struktur tulang pada area lutut
mempengaruhi stabilitas dari lutut. Terjadinya cedera pada ligamen dan kartilago
adalah akibat dari adanya pembebanan atau kerja yang berlebihan pada lutut
(Neumann, 2009).
Sendi lutut terbentuk oleh tulang distal femur, proksimal tibia dan fibula
dan pattela. Lutut terdiri dari lateral dan medial sendi tibiofemoral dan sendi patellofemoral. Gerakan pada lutut terjadi dalam dua bidang, memungkinkan fleksi dan ekstensi pada bidang sagittal dan internal dan eksternal rotasi pada
bidang horizontal. Secara fungsional, jarang terjadi gerakan mandiri dari beberapa
sendi di ekstremitas bawah. Sebagai pertimbangan, contohnya adalah interaksi
antara pinggul, lutut dan ankle selama berlari atau memanjat atau berdiri dari
posisi duduk. Hubungan kuat fungsional dalam sendi pada ekstremitas bawah
terlihat dari fakta bahwa otot yang melintasi lutut juga melintasi pinggul ataupun
ankle (Neumann, 2009).
Sendi lutut terbentuk oleh Tibiofemoral joint dan Pattelofemoral joint.
Kemudian dilapisi oleh kapsul sendi yang lentur, dan disertai beberapa jaringan
konektif seperti bursa (suprapatellaris, subpopliteal, dan bursa gastrocnemius) dan ligamen-ligamen yang memperkuat dan membantu stabilitas sendi lutut
9
Pada sendi tibiofemoral dibentuk oleh tulang tibia dan femur dan membentuk biaxial modified hinge joint. Pada ujung permukaan tulang femur dilapisi oleh kartilago hyaline, dan pada ujung permukaan tulang tibia juga dilapisi oleh kartilago hyaline dan dilapisi oleh jaringan fibrokartilago yang membentuk meniskus. Kartilago hyaline ini berfungsi untuk mengurangi gaya friksi antar kedua permukaan tulang selama terjadinya gerakan pada sendi lutut
dan meniskus berfungsi memperbaiki kongruenitas dan sebagai peredam gaya antara kedua permukaan sendi (Sudaryanto, 2011).
Sendi tibiofemoral memungkinkan perpindahan berat badan dari femur ke
tibia ketika perputaran sendi, rotasi bidang sagittal sendi dengan sudut kecil dari
rotasi aksial tibia. Secara fungsional, grup otot quadriceps dan pergerakan
patellofemoral – sepanjang dengan anterior tibialis dan sendi ankle – bertindak untuk menghilangkan penerusan momentum ketika tubuh mengalami fase berdiri
dari siklus jalan (Fred Flandry, 2011).
Otot pada lutut dibedakan menjadi dua grup yaitu grup ekstensor lutut dan
grup fleksi-rotasi lutut. Otot quadriceps berfungsi sebagai ekstensor sendi lutut dengan arah tarikan yang berbeda-beda setiap bagian otot, sedangkan otot hamstring berfungsi utama untuk fleksor sendi lutut. Arah tarikan yang berbeda- beda pada setiap bagian otot quadriceps dapat dilihat pada gambar 2.2. Otot
quadriceps terdiri dari otot rectus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, dan
10
penggerak utama dan juga berfungsi untuk stabilitas aktif sendi lutut
(Neumann,2009).
Gambar 2.2. Arah tarikan otot Quadricep Femoris
Sumber : Neumann (2009)
Bagian medial pada sendi lutut normal mendapatkan pembebanan sekitar
70% dari berat badan. Hal ini terjadi oleh karena lintasan dari vektor ground reaction force (GRF) pada sendi lutut. Lintasan GFR berjalan melewati bagian medial dan posterior lutut. Gambar 2.3 menggambarkan perbedaan lintasan GRF
pada lutut normal dan lintasan GFR pada lutut dengan peradangan. Momen yang
diciptakan oleh gaya pada sendi lutut ini dibentuk oleh momen gaya fleksi dan
adduksi. Pada pasien dengan osteoarthritis akan terjadi peningkatan momen
11
Gambar 2.3. Lintasan GRF pada lutut normal dan lutut dengan peradangan Sumber : Reeves & Bowling (2012)
Pada gambar 2.4 menunjukkan bahwa magnitude pada adduksi lutut menghasilkan penyempitan ruang sendi, melonggarnya kapsul bagian medial,
timbulnya nyeri dan terganggunya aktivitas fungsional (Reeves & Bowling,
2012). Fenomena melonggarnya kapsul sendi tersebut juga dikenal dengan istilah
pseudo-laxity.
Gambar 2.4 Ruang sendi pada osteoarthritis dan pada lutut normal
12
Untuk mengatasi sensasi instabilitas sendi ini otot-otot yang memperkuat
bagian medial mengalami kontraksi untuk menstabilisasi aspek medial sendi lutut,
yang mana hal ini meningkatkan pembebanan pada bagian medial dan
mempercepat proses degeneratif (Creaby et al., 2010). Peningkatan pembebanan di sisi medial lutut pada pasien osteoarthritis ditunjukkan oleh gambar 2.5.
Gambar 2.5. Pembebanan selama berjalan pada osteoarthritis Sumber : Neumann (2009)
Penurunan ruang sendi akan meningkatakan gaya reaksi pada sendi pada
bagian medial selama aktivitas berjalan yang akan meningkatkan gaya friksi pada
kedua permukaan sendi. Gaya friksi tersebut dapat menyebabkan nyeri yang
berdampak pada inhibisi otot dan mempengaruhi aktivitas fungsional. Friksi pada
13
2.1.2. Insiden Osteoarthritis Lutut
Diperkirakan 42,7 juta penduduk Amerika (15% dari populasi total)
mengalami osteoarthritis lutut pada tahun 1995, dan dengan melihat pertumbuhan
rata- rata umur penduduk dari populasi, jumlah penderita osteoarthritis
diperkirakan akan meningkat 59,4 juta penduduk (18,2%) pada tahun 2020
(Vennu, 2014). Osteoarthritis bisa menyerang berbagai sendi yang menopang
berat tubuh seperti tangan, pinggul dan lutut namun osteoarthritislutut merupakan
penyakit sendi yang paling umum dan terbanyak terjadi di dunia. Prevalensi
osteoarthritis pada panggul adalah 5,5%, osteoarthritis lutut 7,1% dan
osteoarthritis tangan 4,3% (Mody & Wolf, 2003).
Prevalensi penderita osteoarthritis di seluruh dunia adalah sekitar 9% pada
laki-laki dan 18% pada perempuan (Mody & Wolf, 2003). Di Indonesia, penyakit
osteoarthritis merupakan penyakit rematik yang paling banyak ditemukan pada
golongan usia lanjut di Indonesia, sebanyak 50-60 %. Yang kedua adalah
kelompok rematik luar sendi (gangguan pada komponen penunjang sendi,
peradangan, penggunaan berlebihan, dan sebagainya). Yang ketiga adalah asam
urat (gout) sekitar 6 - 7%. Sementara penyakit rematoid arthritis (RA) di
Indonesia hanya 0,l % (1 di antara 1000-5000 orang), sedangkan di negara-negara
Barat sekitar 3 % (Nainggolan, 2009).
Gejala dari osteoarthritis lutut terjadi pada kurang lebih 6 % dari orang
dewasa usia 30 tahun dan persentasenya meningkat sampai 11 % pada orang tua
berusia 65 tahun. Pada penelitian rutin dimana wanita dan pria yang ditanyakan
14
umumnya dialami oleh wanita berusia 65 tahun keatas dan masalah kesehatan
kedua yang umumnya dialami oleh wanita yang berusia antara 45 sampai 64
tahun. Pada pria, keluhan lutut yang dirasakan dianggap sebagai osteoarthritis
yang merupakan masalah kesehatan yang biasa ditemukan (Felson, 1998).
2.1.3. Etiologi Osteoarthritis
Berdasarkan kriteria American Rheumatoid Association (ARA), osteoarthritis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Osteoarthritisprimer
Jenis ini paling sering ditemukan, dikatakan primer karena penyebabnya
tidak diketahui atau herediter dan dapat dibedakan menjadi peripheral dan spinal.
Biasanya terjadi karena proses penuaan (Rekomendasi IRA, 2014).
Penjelasannya karena pada orangtua, volume air dari tulang muda
meningkat dan susunan protein tulang mengalami degenerasi. Akhirnya, kartilago
mulai degenerasi dengan mengelupas atau membentuk tulang muda yang kecil.
Pada kasus-kasus lanjut, ada kehilangan total dari bantalan kartilago antara
tulang-tulang dan sendi-sendi. Penggunaan berulang dari sendi-sendi yang
terpakai dari tahun ke tahun dapat membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan
meradang, menyebabkan nyeri dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan
tulang ini menyebabkan gesekan antar tulang, menjurus pada nyeri dan
keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan dari kartilago dapat juga menstimulasi
pertumbuhan pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di sekitar sendi-sendi.
Persendian yang biasa terkena yaitu jari-jari tangan, jari-jari kaki, lutut dan
15
2. Osteoarthritissekunder
Disebut osteoarthritis sekunder karena diketahui penyebabnya. Jenis ini
meliputi osteoarthritis yang timbul pada sendi yang sebelumnya sudah ditemukan
adanya kerusakan atau kelainan sendi. Osteoarthritis sekunder adalah
osteoarthritis yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi lain yang sudah
diketahui yaitu pada post-traumatik, kelainan kongenital dan pertumbuhan (baik
lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi, penyakit akibat deposit
kalsium, kelainan endokrin, metabolik, inflamasi, imobilitas yang terlalu lama,
serta faktor risiko lainnya seperti obesitas, operasi yang berulangkali pada
struktur-struktur sendi, dan sebagainya (Rekomendasi IRA, 2014). Adanya
obesitas merupakan faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya
osteoarthritis lutut. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi
lutut. Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat
berjalan. Studi di Chingford menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan Indeks
Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita osteoarthritis lutut secara radiografik meningkat sebesar 1,36 poin.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh akan meningkatkan
risiko menderita osteoarthritis lutut. Pengukuran termudah untuk mengetahui
kategori berat badan berlebih bisa menggunakan IMT (Nainggolan, 2009).
Kategori IMT di beberapa negara berbeda-beda, untuk kategori IMT di Indonesia
16
Tabel 2.1 Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT)
IMT KATEGORI
<18,5 Berat badan kurang
18,5 – 22,9 Berat badan normal
≥ 23,0 Kelebihan berat badan
23,0 – 24,9 Berisiko menjadi obes
25,0 – 29,9 Obes I
≥ 30,0 Obes II
Sumber : Centre for Obesity Research and Education 2007
Berat badan kurus kelihatannya tidak mempunyai perbedaan risiko dengan
berat badan normal dengan sedangkan berat badan obes mempunyai resiko yang
lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal untuk mengalami
osteoarthritis. Osteoarthritis bukanlah jenis penyakit yang muncul seketika.
Prosesnya melalui beberapa tahap dan bila sudah terkena biasanya menjadi kronis.
Radang sendi bisa bermula dari tubuh yang kegemukan. Berat badan yang
berlebih memberikan beban yang besar pada tulang sehingga mempengaruhi
kesehatan sendi (Nainggolan, 2009).
2.1.4. Patogenesis Osteoarthritis
Faktor patogenesis dapat dikelompokkan menjadi (1) kerusakan kartilago
(misalnya dalam penyakit deposisi kristal), (2) kerusakan tulang subchondral
(misalnya pada penyakit Paget’s), dan (3) kerusakan akibat pembebanan
17
Proses penyakit terdiri dari degradasi kartilago, pembentukan tulang baru dan
synovitis kronis (Shamley & Louis, 2005).
1. Degradasi Kartilago dan Sinovitis
Secara normal, perusakan dan perbaikan jaringan kartilago articular terjadi secara seimbang yang dikontrol oleh Sitokin (perusakan) dan Growth Factor
(perbaikan). Namun, pada osteoarthritis lutut, lebih terjadi dominasi pada proses
kerusakan kartilago. Proses degradasi kartilago pada osteoarthritis dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu: I) degradasi proteolitik pada matrix kartilago, II) Fibrilasi pada permukaan kartilago, III) Chronic Synovitis (Shamley & Louis, 2005). 2. Pembentukan Tulang Periartikular
Pada osteoarthritis¸ terjadi pembentukan tulang baru dalam bentuk
subchondral sclerosis serta pembentuk osteophyte. Subchondral sclerosis
terbentuk saat kartilago sendi mengalami kerusakan dan menghilangnya kemampuan peredam gaya. Menghilangnya kemampuan meredam gaya tersebut, menyebabkan gaya pembebanan akan ditransmisikan langsung menuju tulang dan
hal tersebut menstimulasi pembentukan tulang baru. Hal ini menjelasakan
terhadap fenomena penebalan trabeculae dan peningkatan densitas tulang dibawah permukaan tulang pada titik dimana terjadinya pembebanan maksimal.
(Shamley & Louis, 2005).
Substansi kimia seperti Growth Factor yang dihasilkan oleh synovium
juga memiliki andil dalam stimulasi pembentukan tulang baru. Tulang pada
pasien dengan osteoarthritis lututmemilki kadar growth factor IGF-1, IGF-2, dan
18
Namun, penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan osteoarthritis, terutama
pada hypertrophic osteoarthritis cenderung memiliki densitas tulang yang baik dan mengurangi resiko terjadinya osteoporosis dibandingkan orang yang normal
(Shamley & Louis, 2005).
3. Sinovitis Kronis
Synovial Phagocyte meliputi partikel-partikel yang berasal dari degradasi
kartilago, melepasakan enzim degradatif yang memicu chronic synovitis. Synovitis diasosiasikan dengan meningkatnya produksi cytokine, kerusakan
kartilago lebih lanjut, dan menyebabkan lebih banyak synovitis, yang disebut dengan cycle of destruction. Synovitis menyebabkan penebalan dan fibrosis pada kapsul sendi yang mana dapat menghasilkan deformitas sendi (Shamley & Louis,
2005).
2.1.5. Gambaran Klinis Osteoarthritis
Manifestasi klinis yang khusus pada osteoarthritis lutut meliputi
pembesaran tulang, nyeri, keterbatasan Range of Motion (ROM), adanya krepitasi, pembengkakan sendi, deformitas sendi, morning stiffness, dan tanda-tanda inflamasi (American College of Rheumatology, 2012). Beberapa manifestasi klinis yang dialami pasien osteoarthritis diantaranya :
1. Nyeri
Nyeri adalah gejala yang paling umum dan dominan yang mewakili gejala
klinis osteoarthritis lutut. Menurut kriteria diagnostik yang disarankan oleh
19
sasaran untuk kebanyakan modalitas dalam pengobatan dan penurunan maupun
peningkatan rasa sakit adalah faktor kunci dalam mengevaluasi efek dari suatu
intervensi. Rasa sakit yang berasal dari struktur intracapsular, juga jaringan
periartikular, misalnya otot dapat menjadi sumber rasa sakit (Henriksen, 2006).
Nyeri yang dikeluhkan oleh pasien osteoarthritis lutut adalah bervariasi
pada tiap-tiap individu. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nyeri pada
osteoarthritis lutut antara lain : 1) Nyeri oleh karena faktor lokal adalah perubahan
bentuk pada sendi yang mengalami peradangan dengan adanya osteophite dan
pada kasus lebih lanjut terjadi destruksi dan instabilitas. Semua ini dapat
menyebabkan abnormal kekakuan mekanik terhadap ligamen, kapsul dan struktur
inervasi yang lainya, sehingga menimbulkan nyeri dan lokasi nyeri tekan. Hal ini
mungkin menyebabkan timbulnya nyeri tekan dan nyeri yang tajam saat aktivitas.
2) Nyeri oleh karena faktor tulang adalah peningkatan tekanan intraosseous pada
tulang subkondal yang menyebabkan hambatan aliran vena, sehingga timbulnya
nyeri. 3) Nyeri oleh karena faktor otot adalah terjadi kelemahan otot pada sendi
yang terlibat, sehingga terjadi kelainan fungsi otot. Dengan latihan penguatan otot
akan dapat mengurangi nyeri (Diepe et al., 1995). Peranan otot quadriseps selain sebagai proteksi yang penting pada sendi lutut, dapat pula bertindak untuk
mengurangi kecepatan tungkai sebelum penumpuan tumit, sehingga beban dapat
berkurang. Adanya kelemahan otot quadriceps akan menambah beban pada sendi
lutut sehingga dapat meningkatkan nyeri lutut yang dirasakan pasien osteoarthritis
lutut. Pada kebanyakan pasien osteoartrithis lutut, nyeri yang dirasakan
20
Nyeri pada osteoarthritis lutut, terjadi pada saat menumpu berat badan dan
diperberat pada saat berjalan, berlari, naik turun tangga, dari duduk ke berdiri atau
jongkok-berdiri dan nyeri akan hilang jika di istirahatkan. Rasa nyeri awalnya
ringan, timbul secara intermiten dan sembuh atau hilang dengan sendirinya. Nyeri
pada OA dapat bertambah parah oleh adanya faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang dapat memperberat nyeri yang dirasakan pasien osteoarthritis
ialah adanya osteofit, kekakuan,kelemahan otot dan deformitas. Faktor eksternal
yang dapat memperberat nyeri diantaranya aktivitas fisik, kebiasaan olahraga dan
jenis pekerjaan pasien (Rekomendasi IRA, 2014).
2. Menurunnya Range Of Motion
Pada pasien osteoarthritis akan ditemukan kesulitan atau rasa kaku saat
akan memulai gerakan pada kapsul, ligamen, otot, dan permukaan sendi lutut.
Timbulnya osteofit dan penebalan kapsuler, spasme otot serta nyeri membuat
pasien tidak mau melakukan gerakan secara maksimal sampai batas normal,
sehingga mengakibatkan menurunnya keterbatasan lingkup gerak sendi.
Keterbatasan gerak tersebut bersifat pola kapsuler akibat kontraktur kapsul sendi.
Keterbatasan pola kapsuler yang terjadi yaitu gerak fleksi lebih terbatas dari gerak
ekstensi (Kuntono, 2011).
3. Krepitasi
Permukaan sendi yang kasar karena degradasi dan rawan sendi
menyebabkan munculnya krepitasi yang terdengar seperti suara gesekan
permukaan tulang yang kasar pada saat sendi digerakkan. Pada awalnya hanya
21
dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat
terdengar hingga jarak tertentu (Kuntono, 2011).
4. Kelemahan Otot Quadriceps dan Atrofi Otot Sekitar Sendi Lutut
Muscle Wasting atau kelemahan otot akan terjadi seiring dengan meningkatknya progresifitas dari Osteoarthritis. Penelitian telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara osteoarthritis dengan menurunnya kekuatan otot-otot utama disekitar sendi yang mengalami osteoarthritis
merupakan salah satu gejala klinis yang khas dari osteoarthritis. Apabila nyeri dan kekakuan sendi berlangsung lama, maka akan terjadi penurunan penggunaan
dan pergerakan otot quadriceps sehingga akan menunjukan atrofi (Kuntono, 2011).
5. Deformitas
Osteoarthritis lutut yang berat akan menyebabkan destruksi kartilago, tulang, dan jaringan. Deformitas varus terjadi bila adanya kerusakan pada kompartemen medial dan kendornya ligamentum collateral lateral, serta variasi subluksasi karena perpindahan titik tumpu pada lutut atau diakibatkan oleh
pembatasan adanya osteofit yang besar (Kuntono, 2011).
2.1.6. Klasifikasi Osteoarthritis Lutut
Kriteria klasifikasi osteoarthritis lutut menurut Kellgren dan Lawrence
22
Tabel 2.2. Kriteria Klasifikasi Osteoarthritis Lutut Menurut
Kellgren dan Lawrence
Deskripsi Original Alternatif A Alternatif B Alternatif C Alternatif D
23
2.1.7. Diagnosis Osteoarthritis Lutut
Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tak dapat didasarkan hanya
pada satu jenis pemeriksaan saja. Biasanya kita lakukan pemeriksaan reumatologi
ringkas berdasarkan prinsip pemeriksaan GALS (Gait, arms, legs, spine). Penegakan
diagnosis osteoarthritis dapat berdasarkan beberapa gejala klinis. Tidak ada
pemeriksaan penunjang khusus yang dapat menentukan diagnosis osteoarthritis.
Pemeriksaan penunjang saat ini terutama dilakukan untuk meonitoring penyakit dan
untuk menyingkirkan kemungkinan osteoarthritis karena sebab lainnya. Pemeriksaan
radiologi dapat menentukan adanya osteoarthritis, namun tidak berhubungan langsung
dengan gejala klinis yang muncul (Rekomendasi IRA, 2014). Untuk mendiagnosis
osteoarthritis lutut, dapat digunakan pemeriksaan berdasarkan American College of Rheumatology dimana pemeriksaan ini menggunakan hasil laboratorium, radiografi dan gejala klinis yang muncul pada pasien (Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Diagnosis Osteoarthritis Lutut Berdasarkan American College of Rheumatology
Nyeri lutut ditambah dengan
24
Krepitasi Krepitasi dan Krepitasi Nyeri tulang Osteofit Nyeri tulang Pembengkakan
Keterangan: tanda cairan synovial osteoarthritis adalah jernih,
viskus atau jumlah sel darah putih kurang dari 2000/mm3. Sumber : Rekomendasi IRA, 2014
2.2. Nyeri pada Osteoarthritis Lutut
2.2.1. Efek Kelemahan Otot dan Instabilitas dalam Peningkatan Nyeri pada
Osteoarthritis Lutut
Seseorang dengan osteoarthritis pada lutut ditemukan mengalami
kelemahan kelemahan otot pada otot quadriceps, dengan defisit kekuatan sekitar 20% - 45% jika dibandingkan dengan kekuatan otot pada orang normal.
Kelemahan otot quadriceps yang persisten merupakan kondisi klinis yang sangat penting pada pasien osteoarthritis lutut karena mempengaruhi gangguan stabilitas
25
otot quadriceps memilki fungsi protektif pada persendian lutut dimana otot
quadriceps bekerja secara eksentrik selama fase awal menapak (stance phase) dan berperan untuk memperlambat (deselerasi) pergerakan tungkai saat menuju fase
heel strike dengan tujuan untuk menurunkan gaya impulsif menuju lutut (Brandt
et al., 2008).
Kelemahan pada otot quadriceps diasosiasikan dengan meningkatnya rata-rata pembebanan pada sendi lutut (Rice et al., 2011). Beberapa data menunjukkan bahwa semakin besar gaya tension yang dihasilkan otot quadriceps akan melindungi lutut dari beberapa insiden nyeri, kehilangan kartilago, serta penyempitan ruang sendi tibiofemoral (Segal et al., 2010). Stabilitas pada sendi lutut memerlukan gaya internal dalam magnitude yang untuk melawan gaya eksternal yang dialami oleh lutut. Otot quadriceps dinyatakan mampu meredam gaya pada lutut dan menyediakan stabilitas dinamis. Kelemahan otot quadriceps
dapat merubah stress kontak pada kartilago artikular yang diasosiasikan dengan insiden nyeri lutut dan dapat berkontribusi terhadap kejadian osteoarthritis lutut
(Segal et al., 2010).
Kelemahan otot, nyeri, dan gagguan fungsional membentuk sebuah siklus
pada pasien dengan osteoarthritis lutut. Dalam siklus tersebut, dinyatakan bahwa kelemahan otot menghasilkan pembebanan yang abnormal pada sendi lutut dan
dikaitkan dengan instabilitas, dimana pembebanan yang abnormal pada lutut
tentunya memicu nyeri di sekitar persendian. Nyeri yang dialami pasien kemudian
26
kelemahan otot yang dialami pasien. Siklus tersebut terus berputar dan
mempengaruhi progresifitas penyakit tersebut (Iwamoto et al., 2011).
2.2.2. Efek Nyeri pada Penurunan Kemampuan Fungsional
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya
kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan pada jaringan. Perubahan fungsi pada nyeri memicu respon protektif
dengan maksud untuk menjaga agar kerusakan jaringan tetap minimal. Kapasitas
pengalaman nyeri memiliki fungsi protektif. Jika kerusakan jaringan tidak dapat
dihindarkan, akan terjadi perubahan bertahap pada sistem saraf perifer dan sistem
saraf pusat yang bertanggung jawab terhadap persepi nyeri (Henriksen, 2006).
Banyak teori yang menjelaskan mekanisme nyeri yang terjadi dan
bagaimana nyeri tersebut dirasakan. Mekanisme nyeri diawali oleh adanya
stimulus noxious pada reseptor sensorik yang kemudian dilanjutkan melalui empat tahap yaitu: transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Transduksi adalah suatu
proses dimana terjadi konversi daripada energy panas, mekanis, atau kimia
menjadi sebuah energy listrik yang dilakukan oleh reseptor sensoris yang bernama
nociceptor. Transmisi merupakan mekanisme penghantaran energi listrik yang diterima oleh nociceptor menuju ke medulla spinalis dan otak. Persepsi merupakan pemaparan atau penggambaran sinyal listrik tersebut menjadi sebuah
pengalaman sensoris. Modulasi merupakan suatu mekanisme inhibisi yang
27
Pada osteoarthritis lutut, nyeri terjadi sebagai akibat adanya kontak antara
kedua permukaan tulang. Pada sendi yang normal, kedua permukaan tulang
pembentuk sendi ditutupi oleh jaringan kartilago yang tidak memiliki persarafan sensoris di dalamnya, sehingga kontak pada kedua permukaan kartilago ini tidak menghasilkan input sensoris (Kuntono, 2011). Namun pada sendi yang
mengalami osteoarthritis, degenerasi kartilago dan subchondral scelorosis
menyebabkan terjadinya kontak antara kedua permukaan tulang yang dimana
tulang memiliki persarafan sensoris dan free nerve ending yang berfungsi sebagai
nociceptor K. Pembentukan tulang (osteophyte) juga memiliki peran terhadap timbulnya nyeri pada kondisi osteoarthritis (Kuntono, 2011).
2.2.3. Indeks Pengukuran Fungsional pada Osteoarthritis Lutut
WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Osteoarhtritis Index) adalah indeks yang digunakan untuk menilai keadaan pasien dengan osteoarthritis pada lutut (Choundhary & Kishor, 2013). Sibel Basaran et al
mengemukakan bahwa semua subskala dan WOMAC total memiliki konsistensi
internal dan validitas yang lebih memuaskan dibandingkan dengan Lequesne.
Validitas WOMAC berkisar antara 0,78-0,94, sedangkan reliabilitasnya antara
0,80 - 0,98 untuk OA lutut. Oleh karena itu, WOMAC dapat digunakan sebagai
alat ukur dalam penelitian.
Total 24 parameter yang terdiri dari nyeri, kekakuan (stiffness), fungsi fisik dan sosial dievaluasi menggunakan WOMAC. WOMAC juga dapat digunakan
untuk memantau perkembangan penyakit atau untuk menentukan efektivitas obat
28
menunjukkan besarnya keterbatasan fungsional pasien sedangkan nilai yang
rendah menunjukkan perbaikan kemampuan fungsional. Parameter WOMAC
antara lain (1) adanya nyeri yang mana aspek yang dinilai saat berjalan kaki,
menaiki anak tangga, melakukan aktivitas pada malam hari, saat istirahat dan saat
menumpu (2) adanya kekakuan pada pagi hari dan kekakuan sepanjang hari (3)
keadaan fungsi fisik pasien meliputi kesulitan turun tangga, kesulitan naik tangga,
kesulitan dari posisi duduk ke berdiri, kesulitan berdiri, kesulitan duduk di lantai,
kesulitan berjalan pada permukaan datar, kesulitan masuk dan keluar dari
kendaraan, kesulitan berbelanja, kesulitan memakai kaos kaki, kesulitan berbaring
di tempat tidur, kesulitan melepaskan kaus kaki, kesulitan bangun dari tempat
tidur, kesulitan masuk dan keluar kamar mandi, kesulitan duduk , kesulitan
melakukan tugas – tugas berat serta kesulitan melakukan tugas-tugas ringan
(AAOS, 2013).
2.2.4. Penilaian dan Interpretasi Indeks WOMAC
1. Penilaian
WOMAC menghasilkan nilai algofungsional yang dapat diperoleh melalui
kuesioner untuk mengukur nyeri sendi dan disabilitas pasien osteoarthritis lutut.
Dalam kuesioner tersebut, jawaban dari masing-masing pertanyaan diberi skor 0
sampai 4. Setiap skor mewakili keadaan yang dirasakan pasien. Keterangan
mengenai skor pada pertanyaan kuisioner WOMAC dapat dilihat pada tabel 2.4.
Selanjutnya skor dari 24 pertanyaan dijumlah, dibagi 96 dan dikalikan 100%
untuk mengetahui skor totalnya. Semakin besar skor menunjukkan semakin berat
29
Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Indeks WOMAC
Skor Keterangan
0 Tidak
1 Ringan
2 Sedang
3 Parah
4 Sangat Parah
2. Interpretasi
Hasil penilaian indeks WOMAC dapat diinterpretasikan sesuai dengan
jumlah skor yang didapatkan.
Tabel 2.5 Intepretasi Nilai Indeks WOMAC
Jenis Pemeriksaan Total Skor Keterangan
Sakit 0 Minimum
20 Maksimum
Kekakuan 0 Minimum
8 Maksimum
Fungsi Fisik 0 Minimum
68 Maksimum
Total 96 Maksimum Skor
Keterangan Hasil skor WOMAC: Minimum skor total: 0
30
2.3. Ultrasound
2.3.1. Definisi
Bunyi/ suara adalah peristiwa getaran mekanik dalam bentuk gelombang
longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu dengan frekuensi yang
variabel. Berdasarkan frekuensinya, bunyi/suara dibagi menjadi : infrasonik (<20
Herzt), audio sonik (20 – 20.000 Herzt) dan ultrasonik (>20.000 Herzt)
(Pusdiknakes, 1993).
Ultra Sound adalah gelombang suara yang merupakan getaran mekanik di dalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk atau elastis dengan frekuensi
antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara yang digunakan adalah gelombang
longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat diregistrasi oleh telinga manusia
untuk mengurangi nyeri 1-2 w/cm2 kontinyu (serabut saraf) selama 3-5 menit,
0,5-1 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan ganglia) selama 3-4 menit atau pulsed selama 6-8 menit diberikan selama 15 menit di setiap pengobatan sebanyak 5 kali setiap 2-3
hari sekali (Pusdiknakes, 1993).
2.3.2. Fisika Dasar Ultrasound
Ultrasound dibentuk oleh gelombang suara dengan frekuensi tinggi yang dihasilkan oleh generator piezoelectric yang terdapat pada ujung transduser.
Transduser dibentuk oleh Kristal piezoelectric seperti quartz dengan ketebalan sekitar 2-3 mm. Kristal piezoelectric ini berfungsi mengkonversi energi listrik yang didistribusikan menjadi energi akustik melalui deformasi yang dihasillkan
31
radiating area (ERA). Ultrasound memiliki beberapa jenis transduser dengan ukuran ERA yang berbeda-beda. Besarnya area yang diobati harus lebih besar
sekitar 2 hingga 3 kali dibandingkan dengan ukuran ERA (Draper & Pretince,
2005).
Ultrasound terapi memiliki rentangan frekuensi antara 0,75 hingga 3.0 MHz. Dalam ultrasound terapi, frekuensi yang umumnya digunakan adalah 1 MHz dan 3 MHz. Frekuensi pada ultrasound menentukan dalamnya penetrasi yang dihasilkan. Penggunaan frekuensi 1 MHz mampu melewati jaringan
superfisial dan utamanya diabsorpsi pada jaringan yang lebih dalam pada
kedalaman 2 hingga 5 cm. Sedangkan pada frekuensi 3 MHz, energi yang
dihasilkan diserap utamanya pada jaringan superfisial sehingga menghasilkan
penetrasi yang lebih dangkal sekitar 1 hingga 3 cm (Draper & Pretince, 2005).
Ultrasound dapat menghasilkan dua jenis gelombang yaitu gelombang
countinuous dan pulsed. Pada gelombang continuous, gelombang yang dihasilkan tetap konstan selama pengaplikasian dan energi yang dihasilkan sebesar 100%.
Dengan pulsed ultrasound, intensitas yang ditransmisikan akan diinterupsi secara periodik sehingga memiliki fase on-time dan off-time. Dengan penggunaan gelombang pulsed, rata-rata intensitas yang dihasilkan menjadi berkurang (Draper & Pretince, 2005).
Amplitudo merupakan besarnya gelombang arah dari suatu gelombang.
Amplitudo dideskripsikan sebagai pergerakan partikel dalam suatu medium.
32
dihasilkan oleh generator. Intensitas merupakan power yang dihasilkan per unit area dengan satuan W/cm2 (Draper & Pretince, 2005).
2.3.3. Efek – Efek Ultrasound terhadap Tubuh
Secara umum, energi ultrasonik menyebabkan molekul jaringan lunak
bergetar dari paparan kompresi dan penghalusan yang disebabkan oleh gelombang
akustik. Gerak molekul meningkat menyebabkan gesekan antara molekul mikro
dan panas gesekan yang dihasilkan, sehingga meningkatkan suhu jaringan (Allen,
2006). Penjelasan efek- efek ultrasound secara khusus pada tubuh ialah :
1. Efek Mekanik
Jika gelombang ultra sound masuk ke tubuh efek pertama yang muncul adalah efek mekanik. Adanya gelombang longitudinal menyebabkan adanya
pemempatan dan peregangan dengan frekuensi yang sama menghasilkan variasi
tekanan di dalam jaringan. Variasi tekanan merupakan efek mekanik yang disebut
efek micromassage. Adanya variasi tekanan tersebut akan menghasilkan perubahan volume dari sel-sel tubuh sebesar 0,02%, perubahan permeabilitas dari
membran sel dan membran jaringan, dan mempermudah proses metabolisme
33
kolagen, vascularized digunakan untuk pengembangan jaringan ikat baru yang sangat penting untuk perbaikan yang cepat. Dengan demikian pemakaian
ultrasound dengan efek non-thermal dapat efektif dalam memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada kondisi kerusakan jaringan akut (Draper & Pretince,
2005).
2. Efek Panas
Micromassage yang ditimbulkan dari ultrasound akan menimbulkan efek panas dalam jaringan. Efek panas yang diproduksi tidak sama untuk setiap
jaringan tergantung dari beberapa faktor yang ditentukan diantaranya bentuk
aplikasi ultrasound (kontinyu/ terputus-putus), intensitas, lamanya terapi dan keoefisien absorpsi (Pusdiknakes, 1993). Dari peningkatan temperatur jaringan
tersebut akan menghasilkan pemanjangan serat kolagen pada tendon dan kapsul sendi, penurunan kekakuan sendi, pengurangan spasme otot, modulasi nyeri,
peningkatan aliran darah, dan respon inflamasi ringan yang dapat membantu dalam resolusi peradangan kronis. Peningkatan suhu 10C membantu
meningkatkan metabolisme dan proses penyembuhan, peningkatan suhu 20-30C
mengurangi nyeri dan spasme otot, dan peningkatan 40C meningkatkan ekstensibilitas kolagen dan mengurangi kekakuan sendi (Draper & Pretince, 2005).
3. Efek Fisiologis
34
mengalami kerusakan memiliki respon yang lebih tinggi terhadap energi
ultrasound dibandingkan dengan jaringan yang normal (Draper & Pretince, 2005).
2.3.4. Dosis Pemberian Ultrasound
Dosis merupakan hasil perkalian antara intensitas dan lamanya terapi.
Dalam menentukan dosis terapi dengan menggunakan ultra sound harus memperhatikan beberapa faktor diantaranya memilih frekuensi yang berbeda,
memilih gelombong kontinyu atau terputus-putus, pilihan arus gelombang
disesuaikan dengan efek terapi yang ingin dicapai (Pusdiknakes, 1993).
Gelombang terputus-putus akan memberikan dosis yang rendah. Bila
menginginkan efek panas terapis dapat memilih gelombang kontinyu. Jaringan
mana yang akan diterapi serta bagaimana aktualitas kondisinya. Prinsip
menggunakan terapi ultra sound tidak boleh terjadi rasa sakit di jaringan (Speed, 2001).
2.3.5. Indikasi dan Kontraindikasi Ultrasound
Indikasi pemberian ultrasound dibedakan berdasarkan efek yang diinginkan. Indikasi untuk pemberian continuous ultrasound adalah ketika efek utama yang diinginkan adalah peningkatan temperatur jaringan seperti pada
beberapa kondisi seperti adanya jaringan parut, kontraktur sendi, inflamasi kronis,
spasme otot, nyeri, meningkatkan ekstensibilitas kolagen, regenerasi jaringan, tendonitis kronis, epicondylitis, phantom pain, dan lain-lain Sedangkan pada
35
Kontraindikasi pemberian ultrasound adalah paparan langsung kepada daerah malignan, pada kehamilan, adanya implan plastik, daerah yang mengalami
hemmorhagic, daerah yang mengalami ischemic, daerah yang mengalami infeksi, adanya pace-maker, pada daerah ephyphysial plate, thrombotic, pada daerah mata,
gonad, dan medulla spinalis pasca laminectomy, dan total joint replacement.
(Allen, 2006).
2.3.6 Ultrasound untuk Osteoarthritis Lutut
Pemberian modalitas Ultrasound banyak memberikan manfaat dalam
terapi pada pasien dengan osteoarthritis. Pengaruh mekanik, pengaruh thermal dan
pengaruh biologis yang dipilih dapat menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis
(Suja, 2014). Sebuah penelitian yang dilakukan di Mexico menyebutkan adanya
pengaruh penurunan nyeri dan peningkatan fungsional pasien osteoarthritis lutut
grade 2 menurut Kellgren and Lawrence setelah pemberian ultrasound (Sanchez
et al., 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Levent Ozqonene, Ebru Ayketin dan Gulis
Durmusoqlu tentang “A Double Blind Trial of Clinical Effect of Therapeutic Ultrasound in Knee Osteoarthritis” untuk menentukan efektivitas US pada osteoarthritis lutut. meningkatkan fungsi fisik dan memperbaiki tulang rawan pada
penderita osteoarthritis lutut. Hasil penelitian menunjukan bahwa US adalah
modalitas yang aman dan efektif dalam menghilangkan rasa sakit dan peningkatan
fungsi pada pasien osteoarthritis lutut. Hal tersebut dikarenakan US
memanfaatkan energi mekanik yang dirubah menjadi bentuk gelombang suara
36
pemanasan pada jaringan yang lebih dalam sehingga efek thermal yang dihasilkan
dapat menimbulkan efek fisiologis seperti peningkatan aliran darah, peningkatan
metabolisme jaringan, perubahan aktivasi neuromuskuler yang menyebabkan
relaksasi otot dan penurunan nyeri (Ozqonene et al., 2009).
Beberapa uji klinis kualitas tinggi mengemukakan keuntungan –
keuntungan dari penggunaan ultrasound dalam rehabilitasi (Iversen, 2012).
Pemberian ultrasound sebagai modalitas standard yang diberikan pada pasien
osteoarthritis banyak dilakukan di klinik fisioterapi di Bali terutama di Daerah
Badung merupakan hal yang biasa menimbang manfaat pemberian US yang dapat
membantu menurunkan nyeri pada pasien osteoarthritis dengan efek yang
dimiliki.
2.4. Closed Kinematic Chain Exercise
Closed kinematic chain exercise melibatkan pergerakan yang dimana bagian distal segmen berada dalam keadaan stabil (fixed) pada bagian permukaan. Dalam latihan jenis ini, pergerakan pada salah satu sendi menyebabkan pergerakan
simultan pada bagian distal yang disertai dengan pergerakan pada bagian sendi
37
Gambar 2.6 Closed Kinematic Chain Exercise
(Sumber : Colby & Kisner, 2007)
Berbeda dari open kinematic chain exercise, pada closed kinematic chain exercise tidak akan didapatkan kontraksi otot yang bersifat individual, melainkan juga akan terjadi kontraksi oleh grup-grup otot yang sinergis yang berkontribusi
dalam gerakan substitusi selama proses latihan ini. Selama closed kinematic chain exercise pasien lebih menggunakan kemampuan otot-otot untuk menstabilisasi dalam mengontrol pergerakan sendi yang dituju, serta mengontrol gerakan sendi
proksimal serta distal dari sendi yang dituju (Colby & Kisner, 2007).
Bentuk-bentuk latihan closed kinematic chain exercise pada penderita osteoarthritis lutut merupakan kombinasi dari half squats dan wall slides. Berikut rincian bentuk latihan:
1. Half Squates
Latihan ini dilakukan untuk mengembangkan masa otot dan tenaga. Squat
dikatakan sebagai ‘King of Exercise’, gerakan dasar/kompon nomor 1 untuk paha, latihan yang paling berat, melibatkan paling banyak otot, dan merangsang
38
ini dilakukan pada posisi berdiri dengan kaki selebar bahu, letakkan tangan di
pinggang. Rendahkan dan tekuk lutut seperti ketika akan duduk sampai mencapai
sudut 900. Posisi kepala dan punggung tetap lurus. Kembali berdiri seperti semula
dan ulangi gerakan yang sama. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3-5 sets
dengan 6-12 repetisi (Darren, 2015).
Gambar 2.7 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Half Squates
(Sumber: Darren, 2015)
2. Wall Slides
Wall slides adalah latihan yang efektif untuk meningkatkan otot
quadriceps. Gambaran latihan wall slides dapat dilihat pada gambar 2.8. Latihan ini dilakukan pada posisi berdiri tegak pada tembok, tempelkan punggung dan
posisikan kaki sesuai dengan lebar bahu pasien. Perlahan-lahan tekuklah lutut
pasien, kemudian gerakan punggung kebawah sampai lutut pasien tertekuk 45
derajat dan tahan sampai hitungan kelima. Angkat kembali punggung pasien
sampai lutut pasien lurus. Ulangi langkah diatas 8-12 kali jika pasien tidak
mengalami kesulitan melakukannya maka tingkatkan repetisi latihan dan
39
dari latihan ini adalah juga dapat meningkatkan keseimbangan (Emrani et al.,
2006).
Gambar 2.8 Closed Kinematic Chain Exercise dengan Wall Slides
(Sumber: Perfomance Physical Therapy + Fitness, 2016)
2.4.1. Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Closed Kinematic Chain Exercise
pada Pasien Osteoarthritis Lutut
Pada latihan ini, akan terjadi aproksimasi sendi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan open kinematic chain exercise. Aproksimasi sendi ini berdampak pada menurunnya gaya potong (shear) antara kedua permukaan sendi selama terjadinya pergerakan. Aproksimasi sendi yang terjadi selama closed kinematic chain exercise ini dapat meningkatkan kongruenitas pada sendi yang akan berkontribusi terhadap peningkatan kestabilan sendi (Colby & Kisner, 2007).
Posisi closed kinematic chain exercise dilakukan dalam keadaan weight-bearing, banyak penelitian yang melaporkan bahwa closed kinematic chain exercise dapat menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan sendi, memfasilitasi ko-aktivasi daripada sekelompok otot agonis dan antagonis (ko-kontraksi) yang
selanjutnya meningkatkan stabilitas dinamis. Selama posisi squat, otot hamstring