Relasi Leksikal dalam Peristilahan Kehewanan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Made Sri Satyawati
Universitas Udayana madesrisatyawati@yahoo.co.id
1.1 Pendahuluan
Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, pertumbuhan dan perkembangan bahasa dipengaruhi oleh kebudayaan yang berlaku di daerah tempat bahasa itu digunakan. Kebudayaan yang hidup umumnya sesuai dengan sistem mata pencaharian yang dilakoni oleh penduduk di daerah setempat sehingga bahasa yang hidup pun diwarnai oleh kosa kata yang berkaitan dengan sistem mata pencahariannya. Misalnya dalam suatu daerah, sistem mata pencahariannya adalah bertani, maka bahasa yang hidup didominasi oleh kosa-kata yang berkaitan dengan pertanian.
kata-kata yang berkaitan dengan sistem pencaharian yang pernah dilakukan oleh penduduk sudah tidak digunakan lagi, bahkan generasi baru sudah tidak mengenal. Misalnya tempat bertelur ayam. Generasi muda tidak pernah melihat ayam bertelur di dalam bengbengan, mereka hanya pernah melihat ayam bertelur di dalam kardus sehingga ketika pertanyaan tersebut muncul, mereka tidak menyebut bengbengan, tetapi kardus. Namun, tidak semua siswa dapat menjawab, mereka tidak tahu tempat ayam biasanya bertelur karena sekali pun mereka tidak pernah melihat ayam bertelur sehingga kata yang berkaitan dengan ayam bertelur tidak diketahuinya.
Tulisan ini bertujuan untuk membantu meminimalisasi proses kehilangan kata-kata karena adanya pergeseran lingkungan. Kata-kata yang akan dikaji adalah kata-kata yang berkaitan dengan kehewanan dalam guyub tutur bahasa Bali. Kajiannya akan dititikberatkan pada pengungkapan relasi-relasi leksikal kata-kata sehingga hasil yang akan diperoleh adalah relasi-relasi leksikon berdasarkan berbagai aspek tinjauan, seperti dewasa dan muda (Saeed, 2000:69).
1.2 Metodologi
1.3 Pembahasan
Kajian terhadap relasi leksikon dalam guyub tutur bahasa Bali merupakan kajian ekolinguistik yang dilihat dari relasi leksikal sehingga teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik yang dipadukan dengan teori semantik tentang relasi leksikal.
1.3.1 Ekolinguistik
Ekolinguistik merupakan sebuah teori yang memayungi penelitian bahasa yang ditautkan dengan ekologi (Fill and Mühlhäusler. 2001:126). Pada prinsipnya ekolinguistik merupakan paduan antara linguistik (ilmu bahasa) dan teori ekologi. Mbete (2009: 2) mengungkapkan bahwa bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya.
disebutkan bahwa bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna. Dalam dimensi sosiologis ini disebutkan bahwa adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Terakhir adalah dimensi bilogis. Dimensi bilogis berhubungan erat dengan diversivitas (keanekaragaman) biota danau, laut, atau darat secara berimbang dalam ekosistem. Diumpamakan seperti hukum alam, yaitu siapa yang kuat, maka akan tetap hidup dan menguasai, sedangkan yang lemah akan terpinggirkan. Demikian juga bahasa. Bahasa dari dimensi bilogis juga akan mengalami perubahan. Hanya kuantitas penggunaannya akan menjawab apakah bahasa yang hidup akan bertahan atau terpinggirkan. Apabila ada kekhawatiran seperti itu, maka semestinya bahasa direkam secara leksikon sehingga fitur-fitur itu tertandakan dan dipahami.
Pemahaman tersebut menggambarkan bahwa peta kaji ekolinguistik adalah sebagai berikut.
1. Leksikon-leksikon yang bermakna dan berfungsi referensial, yaitu leksikon-leksikon yang memiliki referensi yang nyata sehingga dapat dilacak dan dapat dibuktikan secara empirik dan kasad mata.
2. Leksikon-leksikon yang diamati adalah leksikon-leksikon yang berkaitan dengan lingkungan.
3. Leksikon-leksikon yang dipakai topik kajian adalah leksikon-leksikon yang dapat dipertanyakan keberadaan dan jumlahnya. Mengapa sejumlah hewan, tumbuhan atau hal lain yang berkaitan dengan lingkungan sudah tidak ada lagi?
Penggunaan teori ekolinguistik ini tetap berlandaskan teori sosiolinguistik yang mengungkapkan bahwa adanya pergeseran dan pemertahanan bahasa yang disebabkan oleh faktor sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomis (Gunarwan, 2006:102). Asumsi tersebut menjadi landasan kajian dalam menggali data.
1.3.2 Relasi Leksikal
Ada sejumlah tipe relasi leksikal. Seperti yang diketahui bahwa sebuah leksem khusus kemungkinan akan memiliki sejumlah relasi leksikal sehingga hal tersebut lebih tepat disebut sebagai leksikon sebagai network, bukan daftar kata-kata seperti dalam kamus. Tipe-tipe relasi leksikal adalah homonimi, polisemi, sinonim, antonim, hiponim, meronimi, dan koleksi keanggotaan. Dalam tulisan ini, kajian ditekankan pada kajian hiponim. Hiponim adalah relasi (hubungan) inklusi. Sebuah hiponim mencakup makna kata yang lebih umum, seperti (1) dog
‘anjing’ dan cat ‘kucing’ adalah hiponim dari binatang dan (2) sister ‘adik perempuan’ dan
mother ‘ibu’ adalah hiponim dari woman. Istilah yang lebih umum disebut dengan superordinate atau hipernim. Sebagian besar kosa kata terkait dengan sistem inklusi dan taksonomi yang dihasilkan membentuk jaringan semantik hirarki seperti yang tergambar di bawah ini.
Bird
crow hawk duck etc
Selain itu, adapula relasi leksikal tipe berbeda. Relasi leksikal ini tampak seperti subkasus khusus taksonomi relasi adult-young, seperti yang terlihat pada contoh berikut.
No. Nama Binatang Dewasa
(adult)
Arti Nama Anak
Binatang (young)
Arti
1. dog ‘anjing’ puppy ‘anak anjing’
2. cat ‘kucing’ kitten ‘anak kucing’
3. cow ‘sapi’ calf ‘anak sapi’
4. pig ‘babi’ piglet ‘anak babi’
5. duck ‘bebek’ duckling ‘anak bebek’
6. swan ‘angsa’ ‘cygnet’ ‘anak angsa’
Relasi yang sama berlaku pada pasangan male-female, seperti berikut ini.
No. Nama Binatang Jantan
Arti Nama Binatang
Betina
Arti
1. dog ‘anjing jantan’ bitch ‘anjing betina’
2. tom ‘kucing jantan’ ?queen ‘kucing betina’
3. bull ‘sapi jantan’ cow ‘sapi betina’
4. hog ‘babi jantan’ sow ‘babi betina’
5. drake ‘bebek jantan’ duck ‘bebek betina’
6. cob ‘ikan tongkol
jantan’ pen ‘ikan tongkol betina’
Dengan uraian teori di atas, maka berikut ini akan dikaji relasi leksikal kehewanan dalam guyub tutur bahasa Bali.
1.3.3 Relasi Leksikal dalam Bahasa Bali
leksikal yang menghubungkan dua kutub atau dapat pula membuat superordinatnya atau hipernimnya.
Berdasarkan analisis data diketahui bahwa dalam bahasa Bali ditemukan khazanah kosa kata kehewanan yang memiliki dua tipe hubungan tersebut, yaitu taksonomi relasi dua kutub dan taksonomi relasi hipernim. Kedua tipe tersebut akan dijelaskan dibawah ini.
1.3.3.1Taksonomi Relasi Dua kutub
Beberapa khazanah kosa kata kehewanan bahasa Bali terkikis dalam perjalanan waktunya. Lingkungan yang berubah mengakibatkan petani tidak lagi memelihara binatang seperti umumnya petani dahulu sehingga ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh binatang tidak tampak oleh mata atau bahkan hilang. Hal itu menyebabkan generasi muda saat ini sangat sedikit mengetahui khazanah kosa kata yang berkaitan dengan taksonomi relasi dewasa dan muda; jantan dan betina.
Tabel 1 Taksonomi Relasi Jantan-Betina
No. Nama Binatang Jantan
Arti Nama Binatang
Betina
Arti
1. celeng ‘babi jantan’ bangkung ‘babibetina’
2. cicing ‘anjing jantan’ kuluk ‘anjing betina’
3. manuk ‘ayam jantan’ pegina ‘ayam betina’
4. cula ‘sapi jantan’ sampi ‘sapi betina’
5. bengkiwe ‘bebek jantan’ bebek ‘bebek betina’
babi jantan disebut dengan celeng muani. Padahal untuk babi yang jantan sudah ada kosa kata yang khusus, yaitu celeng ‘babi jantan’.
Dalam taksonomi relasi dewasa dan muda ditemukan lebih dari dua, yaitu No. Nama Binatang
Dewasa (adult)
Arti Nama Anak
Binatang (young)
Arti
1. cicing ‘anjing’ konyong ‘anak anjing’
3. sampi ‘sapi’ godel ‘anak sapi’
4. celeng/bangkung ‘babi’ kucit ‘anak babi’
5. bebek ‘bebek’ memeri ‘anak bebek’
6. siap ‘ayam’ pitik ‘anak ayam’
7. bojog ‘monyet’ apa ‘anak monyet’
8. bikul ‘tikus’ nyingnying ‘anak tikus’
9. jaran ‘anak kuda’ bebedag ‘anak kuda’
10. kambing ‘kambing; wiwi ‘panak kambing
11. katak ‘katak’ becing ;panak kata’
12. lelipan ‘lelipan; kalimayah ‘anak lelipan’
13. meong ‘kucing’ tai ‘anak kucing'
14. penyu ‘penyu’ tukik ‘panak penyu’
15. kakua ‘kura-kura’ boko ‘panak kura-kura’
Taksonomi relasi dewasa dan muda masih banyak bisa ditemukan walaupun tidak semua khazanah kosa kata tersebut masih dipakai dalam berkomunikasi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya anak-anak menyebutkan anak binatang sesuai dengan nama binatang dewasa, seperti panak sampi, panak celek, dan panak bojog. Pergeseran ini banyak ditemukan di kalangan generasi muda sehingga banyak anak muda yang tidak tahu nama anak seekor binatang. Hal ini membuktikan bahwa lingkungan sangat menentukan kebertahan dan pergeseran suatu bahasa.
1.3.3.2Taksonomi Relasi Hipernimi
kebiasaan memelihara binatang sudah sangat jarang ditemukan. Selain karena pekerjaan sudah tidak menjadi petani, berkurangnya lahan pertanian juga menjadi penyebab hilangnya kebiasaan memelihara binatang. Apalagi sekarang, rumah-rumah tidak lagi dibangun di atas tanah yang luas, tetapi dibangun di atas lahan yang sempit sehingga tidak dapat dengan leluasa memelihara berbagai jenis binatang.
Taksonomi relasi yang ditemukan dalam bahasa Bali adalah sebagai berikut.
badan buron‘kadang hewan’
bengbengan badan celeng badan sampi sebun
babi ‘babi’
kucit ‘anak babi’ babi ‘babi muda’ celeng ‘babi dewasa’ kaung’ babi jantan’ bangkung ‘babi betina’
siap ‘ayam’
Siap brumbun siap wangkas siap biik siap biing siap sangkur siap olagan siap grungsang siap sandeh ‘ayam warna ‘ayam putih’ ‘ayam ‘ayam ‘ayam tidak ‘ayam yang ‘ayam yang ‘ayam yang warni’ bintik- merah’ berbulu lehernya tidak bulunya bulunya
bintik ekor’ berbulu’ keriting’ berdiri di leher’
Taksonimi relasi hipernim untuk hewan, terutama hewan yang dipakai untuk sarana persembahyangan memiliki taksonomi yang cukup beragam seperti babi dan ayam. Taksonomi ayam dibagi berdasarkan warna bulu dan jenis bulu ayam, sedangkan taksonomi babi dibagi berdasarkan umum dan fungsi babi. Dalam taksonomi babi terdapat jenis babi yang disebut kucit
‘anak babi’. Kucit‘anak babi’ merupakan babi yang baru lahir sampai berumur 3 bulan. Setelah
tiga bulan, babi disebut babi. Ketika babi berumur lebih dari 6 bulan disebut celeng, kaung, dan
adalah babi jantan yang berfungsi sebagai hewan yang mengawini babi betina, sedangkan
bangkung adalah babi betina yang berfungsi untuk dikawini dan memiliki keturunan. Penamaan terhadap babi seperti ini sudah mulai tidak dikenal oleh generasi muda karena kegiatan beternak babi tidak lagi dilakukan secara tradisional, tetapi sudah dilakukan oleh pengusaha sehingga dilaksanakan dengan lebih modern. Hal itu menyebabkan anak-anak tidak pernah melihat jenis-jenis babi seperti itu.
Relasi hipernim kadang hewan merupakan salah satu relasi yang mengandung khazanah kosa kata yang tidak umum bagi para generasi muda sehingga ketika dalam pelajaran sekolah ada pertanyaan tentang tempat ayam bertelur, mereka tidak bisa menjawab. Seperti diungkapkan di atas, pertanyaan itu dijawab dengan sederhana, yaitu kardus karena yang mereka lihat ayam bertelur dan tidur di dalam kardus.
1.3.4 Dimensi Ideologis, Sosiologis, dan Biologis
generasi muda tidak mengetahui bahwa terdapat berbagai jenis ayam. Penyebutan ayam bagi generasi muda tidak lagi berdasarkan warna, tetapi secara umum saja, yaitu ayam sehingga ketika melihat ayam yang sedikit aneh , misalnya tidak memiliki bulu di leher, mereka tidak akan menyebut siap olagan, tetapi ayam aneh.
1.3.5 Tipe dan Fungsi konstituen yang Membangun Khazanah Kosa Kata Kehewanan dalam Sintaksis
Taksonomi relasi hipernim merupakan relasi yang terdiri atas konstituen yang berkategori nomina, baik berupa kata maupun frasa. Konstituen yang berupa kata adalah sebagai berikut. Contoh:
(1) siap ‘ayam’ (2) babi ‘babi’
(3) bengbengan ‘kandangan ayam’
(4) bengkiwe ‘bebek jantan’
(5) bikul ‘tikus’
(6) jaran ‘kuda’
(7) meong ‘kucing’
(8) bojog ‘monyet’ (9) tai ‘anak kucing’
(10) becing ‘anak katak’
(11) Siap-e ma-taluh di bengbengan-ne. ayam-def pref-telur prep kadang ayam-def
‘Ayam bertelur di kandangnya’
(12) Dokar-e paid-e teken jaran. ‘Dokar-def tarik-suf obl kuda ‘Dokarnya ditarik oleh kuda.’
(13) Panak bojog madan tai. Anak monyet pref-nama tai
‘Anak monyet bernama tai.’
(14) Ia n-ampah celeng. Dia pref-potong babi ‘Dia memotong babi.’
(15) Ento jaran. Dem kuda ‘Itu adalah kuda.’
Selain berupa kata, taksonomi jenis ini dapat pula berupa frasa, yaitu berupa frasa nomina.
(16) siap selem ‘ayam hitam’
(17) badan celeng ‘kandang babi’
(18) siap brumbun ‘ayam berbulu warna-warni’
(19) siap grungsang ‘ayam berbulu keriting’
(20) siap olagan ‘ayam tanpa bulu di leher’
Konstituen-konstituen dari (16) sampai dengan (20) merupakan konstituen yang berupa frasa. Masing-masing frasa memiliki inti berupa nomina, yaitu siap ‘ayam’ dan bada
‘kandang/tempat’, sedangkan konstituen yang lain merupakan modifikator sehingga konstruksi
pengetesan yang lebih detail dan mendalam. Fungsi dalam tataran sintaksis dapat dilihat dalam contoh berikut.
(1) Siap olagan-ne tusing bisa me-keber. ayam olagan-def tidak bisa pref-terbang
‘Ayam yang tidak berbulu dileher itu tidak bisa terbang.’
(2) I Bapa m-ersih- ang badan celeng-e. Art ayah pref-bersih-suf kandang babi-def ‘Bapak membersihkan kandangbabi.’
(3) Ento madan siap grungsang. dem pref-adan ayam grungsang ‘Itu namanya ayam grungsang.’
(4) Jijih-e amah-a teken i siap selem.
Biji padi-def makan-suf obl art ayam hitam ‘Biji padinya dimakan oleh ayam hitam.’
Contoh-contoh tersebut memperlihatkan frasa-frasa nomina menduduki fungsi dalam tataran sintaksis, yanitu Subjek dalam (1), Objek dalam (2), Pelengkap dalam (3), dan Oblik/keterangan dalam (4).
1.4Simpulan
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Bali terdapat berbagai taksonomi mengenai hewan, baik berupa kandang maupun jenis-jenis binatang. Dari taksonomi relasi dua kutub dan relasi hipernim diketahui bahwa banyak khazanah kosa kata kehewanan yang dimiliki oleh bahasa Bali. Kosa kata tersebut sudah mulai kurang/tidak dikenal oleh generasi mudah. Dari relasi dua kutub diketahui adanya relasi jantan dan betina sehingga ada yang bernama manuk ‘ayam jantan’ dan pegina ‘ayam betina, sedangkan dari relasi hipernim
dapat menduduki berbagai fungsi tataran sintaksis, seperti Subjek, Objek, Pelengkap, Keterangan, Oblik, dan Predikat.
DAFTAR PUSTAKA
Fill, Alvin and Peter Mühlhäusler (eds). 2001. The Ecolinguistics Reader. Language Ecology
and Evironmental. London and New York: Continuum.
Haugen, E. (1972a). “The Ecology of Language”. dalam Dil, A.S. (ed) The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. Stanford: Stanford University Press.
Haugen, E. (1972b). “The Ecology of Language”. Dalam Fill, A. dan Muhlhausler, P. The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment. London: Continuum. Koetjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Mbete, Aron Meko. 2009. Refleksi Ringan tentang Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik. Denpasar: Universitas Udayana.
Saeed, John I. 2000. Semantics. Oxford: Blackwell Publisher Ltd.