• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN:"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK

Dengan Yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus | Perilaku

Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari

Kepercayaan Diri | Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja

(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) | Metode Dongeng Dalam

Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah | Perilaku

Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan Emosi | Orientasi Nilai Pelaku Musik

Hardcore

(2)

Jurnal Psikologi UMK diterbitkan dua kali dalam setahun setiap bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan hasil penelitian atau artikel pemikiran yang kritis mengenai masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan bidang psikologi. Redaksi berhak melakukan edit dengan tidak mengubah isi pemikiran tulisan.

JURNAL PSIKOLOGI UMK

Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN: 2085-8655

52 halaman

Penerbit: Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus | Penanggungjawab: Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus | Pemimpin Umum: Drs. M. Suharsono, M.Si | Pimpinan Redaksi: Mochamad Widjanarko, S.Psi, M.Si | Sekertaris Redaksi: Dhini Rama Dania, S.Psi, M.Si | Staf Redaksi: Fajar Kawuryan, S.Psi, M.Si; Latifah Nur Ahyani, S.Psi, MA; Trubus Raharjo, S.Psi, M.Si | Mitra Bestari: Dr. Y. Bagus Wismanto (Unika Soegijapranata); Dr. M. Sih Setija Utami (Unika Soegijapranata); Dr. Edy Suhardono (IISA) | Sekertariat: Muji Syukur, S.Psi | Alamat Redaksi: Kampus Universitas Muria Kudus, Gondangmanis, Bae, Kudus 593352 Jawa Tengah, Telp : 0291 - 438229 , Fax: 0291 – 437198, email: psiumk@yahoo.com, website: www.psikologi-umk.com

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

Nur Halimah & Fajar Kawuryan

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

Wahyu Pranoto & Iranita Hervi Mahardayani

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

Dhini Rama Dhania

Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

Latifah Nur Ahyani

Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan Emosi

Gusti Yuli Asih & Margaretha Maria Shinta Pratiwi

Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

Anto Sanjaya & Mochamad Widjanarko

1

DAFTAR ISI Halaman

9

15

24

33

(3)

Abstract

This present study is aimed to investigate the school readiness differences between student who took pre-scholl education and not took pre-school education. Participants of this study consist of 120 students in the first class of elementary shool from different school in Kudus. This study use accidental sampling. NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) that made by Monks, Rost, and Coffie are used to know the school readiness. t analyses were performed and get the difference coeficient t1.2 =53,405, p=0,000 (p<0,01). This result showed that there are very significant differences school readiness between student who took pre-shcool education and not took pre-school education. The student who took pre-school education have better school readiness if compare with student who not took pre-school education. This is showed by mean difference from two kind of the participant. The student who took pre-school education get the mean score 25,98 but the student who not took pre-school education only get mean score 11,25.

Keywords: school readiness, pre-school

education, elementary school

1 Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

KESIAPAN MEMASUKI SEKOLAH DASAR

PADA ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TK DENGAN YANG

TIDAK MENGIKUTI PENDIDIKAN TK DI KABUPATEN KUDUS

Nur Halimah

Fajar Kawuryan

Manusia dalam perkembangannya ada beberapa tahapan yang harus dilalui, mulai dari masa kanak-kanak, remaja sampai dewasa. Salah satu tahapan yang harus dilalui manusia dan berpengaruh terhadap manusia baik secara fisik maupun secara psikologis adalah masa kanak, karena pada masa kanak-kanak ini adalah pondasi dari kehidupannya kelak agar menjadi manusia yang berkualitas.

Hurlock (1980) menyatakan bahwa rentang masa kanak-kanak dibagi lagi menjadi dua periode yang berbeda; awal dan akhir. Periode awal berlangsung dari umur dua sampai enam tahun, sedang periode akhir masa kanak berkisar antara enam sampai tiba saatnya anak matang secara seksual, dengan demikian awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi; usia dimana ketergantungan secara praktis sudah dilewati, diganti dengan tumbuhnya kemandirian dan berakhir di sekitar usia sekolah dasar.

Anak usia empat sampai dengan enam tahun merupakan bagian dari anak usia dini yang berada pada rentangan usia lahir sampai dengan enam tahun. Pada usia ini biasanya disebut sebagai anak usia prasekolah. Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-kanak sebagai usia prasekolah, untuk membedakannya dari saat di mana anak dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental, untuk menghadapi tugas-tugas pada saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal. Hasil penelitian Djohaeni (2006) Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus,

Pemerhati Tumbuh Kembang Anak.

Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.

1 2

1

(4)

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus menunjukkan bahwa pendidikan TK mampu

memberikan kontribusi pada anak dalam m e n g e m b a n g k a n s e l u r u h a s p e k perkembangan yang dimilikinya.

Alasan minat orangtua memasukkan anaknya ke TK sangat beragam, diantaranya agar mampu belajar disiplin, mampu bersosialisi, mandiri, juga agar anak mempunyai kesiapan sekolah saat SD. Setelah seorang anak menyelesaikan pendidikan prasekolah di taman kanak-kanak, seorang anak akan bersiap untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah dasar. Seorang anak yang belum pernah mengikuti atau menyelesaikan pendidikan prasekolah di taman kanak-kanak biasanya belum siap untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah dasar, sehingga kesiapan bersekolah menjadi sangat penting. Sayangnya hal ini tidak dipahami semua orangtua (Djohaeni, 2008).

Seperti terungkap dalam wawancara dengan ST (Jurang, 25-05-10) orangtua yang mempunyai anak SD yang tidak mengikuti p e n d i d i k a n T K m e n g a t a k a n b a h w a memasukkan anak ke pendidikan TK itu dirasa tidak begitu penting karena hanya diajarkan bernyanyi dan bermain, tetapi harus membayar mahal. Selain itu pendidikan TK juga bukan merupakan prasyarat wajib untuk masuk SD. Baginya agar anak dapat membaca, menulis, dan berhitung akan diajarkan di SD.

Hasil penelitian Sulistiyaningsih (2005) menyatakan bahwa kesiapan bersekolah menjadi penting artinya karena anak yang telah memiliki kesiapan untuk bersekolah akan memperoleh keuntungan dan kemajuan dalam perkembangan selanjutnya. Sementara itu anak yang tidak memiliki kesiapan, justru akan frustrasi bila ditempatkan di lingkungan akademis. Berbagai bentuk perilaku sebagai cerminan frustrasi ini diantaranya adalah menarik diri, berlaku acuh tak acuh,

menunjukkan gejala-gejala fisik, atau kesulitan menyelesaikan tugasnya di sekolah.

Hal senada dari wawancara dengan seorang guru SD, Bp. Setiyo Utomo (SD 2 Besito, 17-05-10, 11.00) yang menyatakan bahwa semua muridnya kelas 1 berasal dari TK. Efeknya, pada saat mengikuti proses belajar mengajar sudah memiliki kesiapan, di antaranya sudah mengenal huruf, sudah mampu menulis, menghitung jumlah gambar, berani mencoba memecahkan masalah, menceritakan dan mengurutkan cerita dari gambar-gambar. Ditambahkan juga bahwa rata-rata anak-anak ini sudah mampu duduk tenang dan menyelesaikan tugas-tugas akademik di sekolah SD.

Terkait dengan kesiapan sekolah, Hurlock (dalam Sulistiyaningsih, 2005) menyatakan bahwa kesiapan bersekolah terdiri dari kesiapan secara fisik dan psikologis, yang meliputi kesiapan emosi, sosial dan intelektual. Seorang anak dikatakan telah memiliki kesiapan fisik bila perkembangan motoriknya sudah matang, terutama koordinasi antara m a t a d e n g a n t a n g a n ( v i s i o - m o t o r i k ) berkembang baik.

Kesiapan emosional sudah dicapai apabila anak secara emosional dapat cukup mandiri lepas dari bantuan dan bimbingan orang dewasa, tidak mengalami kesulitan untuk berpisah dalam waktu tertentu dengan orangtuanya, dapat menerima dan mengerti setiap tuntutan di sekolah, serta dapat mengontrol emosinya seperti rasa marah, takut, dan iri. Selain itu anak harus sudah dapat bekerjasama, saling menolong, menunggu giliran untuk suatu tugas dan sebagainya. Anak yang telah siap secara sosial akan mudah menyesuaikan diri dengan harapan-harapan dan aturan-aturan di sekolah. Menurut Haditono (1986) kesiapan sosial anak dapat dilihat dari kemampuan menyesuaikan diri

(5)

3 Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus terhadap orang yang baru dikenal, seperti guru

dan teman-teman barunya.

Kesiapan intelektual telah dimiliki anak apabila anak sudah mampu mengenal berbagai macam simbol untuk huruf, angka, gambar, serta kata-kata yang digunakan untuk menyebut suatu benda, berpikir secara kritis, menggunakan penalaran walaupun masih sederhana dalam memecahkan masalah mampu berkonsentrasi dan memiliki daya ingat yang baik sehingga anak dapat mengikuti pelajaran dengan lancar (Sulistiyaningsing, 2005).

K u s t i m a h ( 1 0 - 0 6 - 2 0 1 0 ; http://www.pustaka.unpad.ac.id) menyatakan beberapa faktor dalam kesiapan sekolah anak meliputi :

a. Kesehatan Fisik

Kesehatan yang baik dengan asupan gizi yang seimbang sangat dibutuhkan untuk dapat menunjang kesiapan masuk sekolah. Anak yang sehat akan lebih mudah mencerna p e n g e t a h u a n y a n g d i a j a r k a n s e r t a bersosialisasi dengan lebih baik, tampil gesit dan bersemangat, baik dalam menerima informasi maupun dalam membina hubungan sosial dengan guru serta teman -temannya.

b. Usia

Beberapa ahli mengatakan bahwa faktor usia sangatlah penting untuk menentukan kesiapan anak masuk sekolah dasar. Menurut Janke, Comenius, Buhler dan Hetzer dalam buku Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (dalam Kustimah, 2008) menganggap usia 6 tahun sebagai usia yang cukup matang untuk sekolah. Pada usia ini umumnya anak telah memiliki perbendaharaan kata yang cukup banyak, memiliki kemampuan membayangkan s e p e r t i a n a k - a n a k s e u s i a n y a , d a p a t mengemukakan secara verbal ide-ide dan pikiran-pikirannya serta organ-organ indra dan

motorik telah terkoordinasi dengan baik. c. Tingkat Kecerdasan

K e c e r d a s a n / i n t e l i g e n s i m e r u p a k a n kemampuan seorang anak dalam memahami instruksi verbal teoritis dan menyelesaikan tugas-tugas konkrit praktis dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Anak-anak dengan tingkat kecerdasan yang berfungsi pada tahap rata-rata akan menyelesaikan tugas - tugas tersebut secepat anak-anak seusianya. Adapun anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi akan menyelesaikan tugas-tugas tersebut secara lebih cepat dan sebaliknya anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan rendah akan melaksanakannya dengan lebih lambat. Dengan demikian untuk memasuki dunia sekolah yang memiliki program pembelajaran untuk usia tertentu, maka setidaknya seorang anak memiliki tingkat kecerdasan yang berfungsi pada tahap rata-rata.

d. Stimulasi Tepat

Faktor lingkungan terdekat dengan anak sangat berperan dalam menunjang kesiapan anak untuk memasuki sekolah dasar, sehingga potensi perkembangan anak yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal. Orangtua dan guru memegang peranan yang sangat penting dalam mengembangkan aspek-aspek yang sangat menunjang kesiapan anak untuk sekolah meliputi semua perkembangan baik perkembangan motorik kasar dan halus, perkembangan bahasa, perkembangan sosial, perkembangan kognisi dan perkembangan emosi anak.

e. Motivasi

Anak yang merasa bahagia biasanya memiliki motivasi baik untuk melakukan sesuatu, serta umumnya melakukan kegiatan didasari oleh tujuan tertentu.

(6)

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus Guna mengetahui kondisi faktor-faktor

kesiapan sekolah anak, digunakan Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (NST). NST terdiri dari 10 sub tes yang berisi gambar-gambar a t a u m e l e n g k a p i g a m b a r s e k a l i g u s j a w a b a n n y a , y a n g m a s i n g - m a s i n g mengungkap kemampuan yang berbeda, yaitu: 1. Subtes 1: Pengamatan bentuk dan

kemampuan membedakan (vorm

waarneming en onderscheidings vermogen);

2. Subtes 2: Motorik halus (fijne motoriek); 3. Subtes 3: Pengertian tentang besar, jumlah,

dan perbandingan (begrip voor grootte

hoeveelheid en verhoudingen);

4. Subtes 4: Pengamatan tajam (scherp

waarnemen);

5. Subtes 5: Kemampuan berpikir kritis

(kritische waarneming);

6. Konsentrasi (taakspanning); 7. Subtes 7: Ingatan (geheugen);

8. Subtes 8: Pengertian objek dan penilaian s i t u a s i ( o b j e c t b e g r i p e n

situatieboordeling);

9. Subtes 9: Menirukan cerita (weergeven

van een verhaaltje);

1 0 . S u b t e s 1 0 : M e n g g a m b a r o r a n g

(menstekening).

Menurut Monks, Rost, dan Coffie (dalam Sulistiyaningsih, 2005) NST dikembangkan di Nijmegen - Nederland merupakan pengolahan tes Gopinger dari Jerman yang digunakan untuk mengungkap kemampuan sekolah anak. Hal senada diungkapkan bahwa NST merupakan suatu alat tes yang digunakan untuk mengungkap kesiapan untuk masuk sekolah dasar, meliputi kesiapan fisik dan kesiapan psikis. Kesiapan psikis ini terdiri dari kemasakan emosi, sosial, dan intelektual. NST

bersifat non verbal dan disajikan secara individual.

Dapat disimpulkan bahwa kesiapan anak sekolah terdiri dari beberapa aspek, baik fisik maupun psikologis dan salah satu alat tes untuk mengukur kesiapan sekolah adalah Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (NST) yang mengukur aspek-aspek kognitif, motorik halus dan motorik kasar, penilaian sosial, serta emosional.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik perbedaan kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK.

Hipotesis

Ada perbedaan kesiapan sekolah anak sekolah dasar yang mengikuti pendidikan taman kanak-kanak dengan yang tidak mengikuti pendidikan taman kanak-kanak, dengan asumsi bahwa anak-anak yang mengikuti pendidikan TK lebih siap memasuki SD dari pada anak yang tidak mengikuti pendidikan TK.

Metode Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah anak SD kelas satu yang mengikuti pendidikan taman kanak-kanak dan anak SD kelas satu yang tidak mengikuti pendidikan taman kanak-kanak masing-masing sejumlah 60 siswa dari lima SD, yaitu SD 2 Besito, SD 4 Besito, SD 5 Jurang, SD 5 Gondosari, SD 10 Gondosari, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.

Pada penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Alat tes yang digunakan untuk

(7)

5 Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus mengungkap kesiapan sekolah adalah NST

(Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) yang disusun oleh Monks, Rost, dan Coffie. Tes ini terdiri dari 10 sub tes yang berisi gambar-gambar atau melengkapi gambar-gambar sekaligus j a w a b a n n y a , y a n g m a s i n g - m a s i n g mengungkap kemampuan yang berbeda.

Item-item yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu:

1. Item yang jawaban benar yaitu item yang sesuai dengan kunci jawaban yang sudah tersedia.

2. Item yang jawaban salah yaitu item yang tidak sesuai dengan kunci jawaban yang sudah tersedia.

Bentuk jawaban terdiri dua alternatif jawaban yaitu Benar (B) dan salah (S). Pada jawaban benar (B) diberi nilai 1 dan jawaban salah (S) diberi nilai 0 lalu jumlah jawaban subyek pada setiap subtes dan diakumulasi untuk disesuaikan dengan norma.

Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (N.S.T.) yang telah digunakan oleh Woelan (24-08-2010; http://www.adln.lib.unair.ac.id) memiliki validitas antara 0,220 sampai 0,510 dan reliabilitas sebesar 0,829. Untuk menguji perbedaan kesiapan sekolah anak yang mengikutikan pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK digunakan analisis uji t.

Hasil Penelitian 1. Uji Normalitas

Berdasarkan uji normalitas dengan teknik Kolmogorof-Smirnov terhadap data kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan TK diperoleh nilai K-SZ sebesar 1,941 dengan p sebesar 0,138 (p > 0,05) dan anak yang tidak mengikuti pendidikan TK diperoleh nilai K-SZ sebesar 1,157 dengan p sebesar 0,138 (p >

0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebaran data kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK memiliki distribusi normal.

2. Uji Homogenitas

Hasil uji homogenitas varian kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK menunjukkan koefisiensi F sebesar 1,507 dengan p sebesar 0,142 (p>0,05) yang berarti data kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK adalah homogen.

Paired Samples Statistics

25.98 57 1.302 .173 11.25 57 1.607 .213 TK NON_TK Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Tabel 1

Perbedaan Rerata Kesiapan Sekolah Anak SD yang Mengikuti Pendidikan TK dengan

yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK

Paired Samples Test

14.74 2.083 .276

TK - NON_TK Pair 1

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Paired Differences 14.18 15.29 53.405 56 .000 Lower Upper 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Paired Differences Tabel 2

Uji Perbedaan Kesiapan Sekolah Anak SD yang Mengikuti Pendidikan TK dengan

(8)

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus Hasil analisis data menunjukkan koefisien

beda t1.2 sebesar 53,405 dengan p sebesar 0,000 (p<0,01), menunjukkan ada perbedaan sangat signifikan kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbedaan rerata keduanya yaitu untuk anak yang mengikuti pendidikan TK sebesar 25,98 dan untuk anak yang tidak mengikuti pendidikan TK sebesar 11,25. Berdasarkan hasil analisis data di atas maka hipotesis yang diajukan yaitu ada perbedaan kesiapan sekolah anak yang mengikuti pendidikan TK dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan TK; diterima.

Diskusi

Kesiapan bersekolah anak yang satu belum tentu sama dengan anak yang lainnya, bahkan meskipun usianya sama. Hal ini disebabkan karena ada banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya kesiapan bersekolah anak. Selain dipengaruhi oleh kemasakan, lingkungan tempat anak berkembang juga ikut membentuk kesiapan anak bersekolah.

Dapat dipahami bahwa pendidikan anak pada usia prasekolah merupakan dasar yang penting untuk keberhasilan pada jenjang studi yang selanjutnya. Setelah menyelesaikan pendidikan prasekolah di TK, seorang anak akan bersiap untuk mengikuti pendidikan formal di SD (Sulistiyaningsih, 2005). Anak yang mengikuti pendidikan TK dimungkinkan lebih matang dari pada anak yang tidak mengikuti pendidikan TK seperti terungkap dalam penelitian Kustimah (2008). Kesiapan bersekolah menjadi penting artinya karena anak yang telah memperoleh keuntungan dan kemajuan dalam perkembangannya yang selanjutnya. Sementara itu anak yang belum memiliki kesiapan, justru akan mengalami hambatan-hambatan bila ditempatkan di

lingkungan akademis (Sulistiyaningsih, 2005). Adapun menurut Cronbach (dalam Soemanto, 2003) kesiapan (readiness) sebagai segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu. Dalam hal kesiapan ini melibatkan beberapa faktor antara lain (1) perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis, yang menyangkut pertumbuhan terhadap kelengkapan pribadi seperti tubuh pada umumnya seperti alat indra dan kapasitas intelektual, (2) motivasi, yang menyangkut kebutuhan, minat serta tujuan-tujuan individu u n t u k m e m p e r t a h a n k a n s e r t a mengembangkan diri.

Hal lain yang mempengaruhi kesiapan sekolah anak adalah keluarga dan lingkungan. Hurlock (1980) menyatakan lingkungan yang terdekat dengan anak adalah keluarga. Dari berbagai karakteristik keluarga, faktor tingkat pendidikan orangtua merupakan sesuatu yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Tingkat pendidikan orangtua ini sangat penting hubungannya dengan cara mereka mengasuh anak, sementara itu cara pengasuhan anak berhubungan dengan perkembangan anak. Dalam hal ini tingkat pendidikan dan lingkungan orangtua mempengaruhi cara pengasuhan anak. Dalam lingkungan yang terpencil dan tidak ada akses p e n d i d i k a n b a n y a k o r a n g t u a t i d a k memasukkan anaknya ke lingkup pendidikan sekolah yang memadai, hal ini akan berbeda dengan orangtua yang tinggal di lingkungan yang mempunyai banyak akses pendidikan, kebanyakan dari mereka merasa bahwa pendidikan usia dini adalah hal yang penting untuk perkembangan kognitif anak-anak khususnya anak-anak usia prasekolah.

Pada hasil penelitian juga dapat dilihat adanya perbedaan rerata yaitu rerata anak yang mengikuti pendidikan TK lebih besar yaitu

(9)

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

7 sebesar 25,98 dan rerata anak yang tidak mengikuti pendidikan TK sebesar 11,25. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi pendidikan prasekolah yang ditempuh sebelum mengikuti pendidikan sekolah serta lingkungan tempat tinggal anak-anak. Anak-anak yang sebelum SD mengikuti pendidikan TK dimungkinkan secara kognitif, fisik, dan emosi sudah siap dalam memasuki pendidikan sekolah dasar.

Anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan TK ketika memasuki pendidikan sekolah dasar secara kognitif, fisik dan emosi rata-rata belum siap. Anak yang belum memiliki kesiapan, justru akan frustrasi bila ditempatkan di lingkungan akademis. Berbagai bentuk perilaku sebagai cerminan frustrasi ini diantaranya adalah untuk menarik diri, berlaku acuh tak acuh, menunjukkan gejala- gejala sakit fisik, atau kesulitan menyelesaikan tugasnya di sekolah (Rowen dkk dalam Sulistiyaningsih, 2005).

Simpulan dan Saran Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan ada perbedaan sangat signifikan kesiapan sekolah antara anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK, dimana anak SD yang sebelumnya mengikuti pendidikan TK memiliki kesiapan sekolah lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengikuti pendidikan TK.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan : 1. Bagi orangtua agar memasukkan anaknya

di pendidikan prasekolah sebelum memasuki sekolah dasar agar memiliki kesiapan fisik dan kesiapan psikis; berupa

kemasakan emosi, sosial, dan intelektual dalam mengikuti pendidikan di sekolah dasar.

2. Bagi peneliti selanjutnya, agar melibatkan faktor pendukung kesiapan belajar yang lain, misalnya dukungan orangtua, tingkat kecerdasan, dan motivasi.

Daftar Pustaka

Dalyono, M. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rieka Cipta

Djoehaeni, H. (2006). Pengembangan Potensi

Anak Usia Dini Melalui Penerapan Kelas Y a n g B e r p u s a t P a d a A n a k :

http://www.jurnal.psikologi.ac.id. 22-06-2010, 10.30

___________. (2008). Pengembangan

Potensi Anak Usia Dini melalui Penerapan Kelas yang Berpusat pada Anak:

http://www.jurnal.psikologi.ac.id. 22-06-2010, 10.00

Haditono, S.R.(1986). Pengasuhan Anak

Menuju Kesiapan Masuk SD. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi UGM

Hurlock. (1980). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga

Kustimah, (2008). Gambaran Kesiapan Anak

Masuk Sekolah Dasar Dtinjau dari Hasil Test NS (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test). Bandung: Universitas Padjadjaran.

http://www.pustaka.unpad.ac.id. 10-06-2010, 13:30.

Monks dkk. (2004). Psikologi Perkembangan

Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Munarsih, C. (2010). Pembelajaran Terpadu

(10)

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

Miskin di Jakarta:

http://www.adln.lib.unj-upi.ac.id. 5-05-2010, 13.20.

Soemanto, W. (2003). Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Sulistiyaningsih, W. (2005). Kesiapan

Bersekolah Anak Ditinjau Dari Jenis Pendidikan Pra Sekolah Anak dan Tingkat Pendidikan Orangtua. Jurnal Psikologia.

Volume 01 – Juni 2005. Universitas Sumatera Utara.

Woelan, H. (2010). Uji Validitas dan Reliabilitas

Tes NST. http://www.adln.lib.unair.ac.id.

(11)

Volume I, No 1, Desember 2010

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

9

Abstract

This study aims to empirically examine the relationship between consumer behavior of teenagers using branded fashion products with confidence. In this study the subjects of research is student in the Muria Kudus University, with a purposive sampling based sampling that samples with characteristics of teenagers using branded fashion products. Measuring instrument used to obtain the data is scale consumer behavior teenagers use fashion branded products and the confidence scale.

The results obtained from both the correlation coefficient rxy of 0.433 with p of 0.000 (p <0.050), this means there is a significant positive relationship on teenagers consumer behavior using branded fashion products with confidence. So the hypothesis accepted. Teenangers consumer behavior using branded fashion product and confidence gained on medium category. Effective contribution to the behavior variable of consumer confidence at 43.3%.

K e y w o r d s : c o n s u m e r b e h a v i o r a n d

confidence

PERILAKU KONSUMEN REMAJA MENGGUNAKAN PRODUK

FASHION BERMEREK DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI

Wahyu Pranoto

Iranita Hervi Mahardayani

Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus. Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.

1 2

1 2

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini, 2004). Periode transisi pada usia remaja membuat remaja akan selalu berusaha untuk dapat diterima dengan baik oleh kelompok sosialnya. Mereka mengusahakan berbagai cara yang ditujukan pada konformitas kelompoknya. Penampilan fisik merupakan prioritas utama yang menjadi perhatian para remaja, bahkan banyak yang hanya mau membeli produk fashion dengan merek tertentu saja yang harganya mahal, hanya untuk meningkatkan harga diri dan menambah kepercayaan dirinya. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa penampilan fisik merupakan suatu kontributor yang sangat berpengaruh pada rasa percaya diri remaja, (Santrock dalam Kusumaningtyas, 2009).

Penampilan remaja dalam kesehariannya, fashion merupakan salah satu hal yang tidak b o l e h d i l u p a k a n d a l a m m e n u n j a n g penampilannya. Remaja menyadari bahwa fashion sangat penting kerena mereka memiliki keinginan untuk selalu tampil menarik ditengah – tengah kelompok sosialnya. Salah satu bentuk perilaku remaja dalam menambah penampilan dirinya dimata kelompoknya adalah dengan mengikuti mode yang diminati oleh kelompok sebayanya (Mappiare,1982).

Remaja cenderung membeli produk fashion bukan karena alasan kebutuhan, tetapi

(12)

Volume I, No 1, Desember 2010

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri hanya untuk berpenampilan agar lebih dihargai

dan dapat diterima oleh kelompoknya atau teman sebayanya. Perilaku ini lebih dipengaruhi oleh faktor emosi dari pada rasio, karena pertimbangan – pertimbangan dalam membuat keputusan untuk membeli suatu produk lebih menitikberatkan pada status sosial, mode dan kemudahan, dari pada pertimbangan ekonomis. Pilihan emosional biasanya didasarkan atas rasa salah, rasa takut, kurang percaya diri, dan keinginan bersaing serta menjaga penampilan diri, (Sarwono dalam Kusumaningtyas, 2009)

Teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam memilih hal cara berpakaian, hobi, perkumpulan (club), dan kegiatan sosial lainya (Yusuf, 2004). Karena itu remaja berusaha b e r p e n a m p i l a n s a m a d e n g a n t e m a n sebayanya, remaja merasa dirinya lebih diterima dan dihargai. Bagi seorang remaja, arti penerimaan atau penolakan teman sebaya dalam kelompok sangatlah penting. Hal itu mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pikiran, sikap, perasaan, perbuatan – perbuatan dan penyesuaian diri remaja. Hal yang demikian ini akan menimbulkan rasa senang, gembira, puas bahkan rasa bahagia yang pada gilirannya memberi rasa percaya diri yang besar (Mappiare, 1982)

Salah satu penyebab dari rasa kurang percaya diri tersebut yaitu bahwa remaja merasa dirinya memiliki kekurangan dan tidak sama dengan kelompok teman sebayanya dalam konteks secara fisik. Hal ini yang menyebabkan remaja memilih untuk menutupi kekuranganya tersebut dan berusaha untuk u n t u k b e r p e n a m p i l a n s a m a d e n g a n kelompoknya. Remaja yang tidak percaya diri ini cenderung akan menggunakan produk fashion bermerek sebagai kompensasi terhadap kekuranganya, Sinaga (dalam Kusumaningtyas, 2009)

Mode yang terus berkembang seiring perubahan jaman, menyebabkan remaja terus menerus mengikuti perkembangan arus mode. Semakin tinggi kecenderungan mengikuti mode maka kepercayaan diri pada remaja akan semakin kuat atau meningkat. Kecenderungan mengikuti mode memiliki prediksi kuat terhadap terbentuknya kepercayaan diri pada remaja, Buntaran (dalam Kusumaningtyas, 2009). Dengan begitu remaja yang kurang memiliki rasa percaya diri yang kuat secara otomatis akan menggunakan mode – mode yang sedang marak dikalangannya, guna menambah rasa kepercayaan diri pada remaja tersebut.

Berdasarkan fenomena diatas, diduga bahwa remaja yang memiliki masalah dalam kepercayaan dirinya, kurang atau tidak percaya diri akan melakukan usaha untuk menutupi rasa kurang percaya dirinya tersebut dengan cara menggunakan produk fashion bermerek. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengetahui adakah hubungan antara perilaku konsumen remaja yang menggunakan produk fashion bermerek dengan kepercayaan diri.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik hubungan antara perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek dengan kepercayaan diri.

Hipotesis

Ada hubungan positif antara kepercayaan diri dengan perilaku konsumen remaja yang menggunakan produk fashion bermerek, dimana semakin tinggi kepercayaan dirinya maka perilaku konsumen menggunakan

(13)

Volume I, No 1, Desember 2010

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

11 produk fashion bermerek semakin tinggi pula, begitu pula sebaliknya semakin rendah pula kepercayaan dirinya semakin rendah perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek.

Metode Penelitian

Untuk menguji hipotesis penelitian, sebelumnya dilakukan identifikasi dari variabel– variabel yang akan dipakai dalam penelitian ini, yaitu :

1. Variabel Bebas: Kepercayaan Diri.

2. Variabel Tergantung: Perilaku Konsumen Remaja menggunakan produk fashion bermerek.

Penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu mahasiswa fakultas psikologi, fakultas ekonomi, fakultas teknik, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, fakultas hukum, dan fakultas pertanian, tetapi dalam penelitian ini hanya diambil sampel dari masing-masing populasi tersebut yaitu remaja yang berusia 18-21 tahun dan menggunakan produk fashion bermerek.

Dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode skala. Adapun skala yang dibuat dalam penulis ini adalah skala perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek dan skala kepercayaan diri. Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan metode teknik korelasi poduct moment

Hasil Penelitian

Validitas dan Reliabilitas

Skala Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek

Item skala perilaku konsumen remaja

menggunakan produk fashion bermerek menunjukkan, dari 40 item tidak terdapat item yang gugur, item yang valid dengan koefisien validitas berkisar antara 0,2202 sampai 0,7460.

Hasil reliabilitas skala perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek menunjukkan reliabilitas alpha (rtt) sebesar 0,9467

Skala Kepercayaan Diri

Sedangkan item Skala Kepercayaan Diri menunjukkan, dari 40 item pada tahap 1 perhitungan terdapat 6 item yang gugur dengan koefisiensi validitas –0,0056 sampai dengan 0,1766, pada tahap 2 perhitungan terdapat 1 item yang gugur dengan koefisien validitas 0,1638, jadi hasil akhir perhitungan terdapat 33 item yang valid dengan koefisiensi validitas berkisar antara 0,2254 sampai 0,7198.

Hasil reliabilitas skala kepercayaan diri menunjukkan bahwa kepercayaan diri mempunyai reliabilitas alpha (rtt) pada tahap 1 sebesar 0,8433, tahap 2 sebesar 0,8661 dan pada tahap terakhir dengan hasil sebesar 0,8682,

Analisis Data

No. Variabel K-SZ P Keterangan 1. Perilaku Konsumen 0,713 > 0,05 Distribusi Normal 2. Kepercayaan Diri 0,520 > 0,05 Distribusi Normal

Tabel 1

Uji Normalitas Sebaran

F Sig. PKR* PD Between (combined) 1,805 ,020

Groups linierity 23,939 ,000 Devitiation from Linierity 1,190 ,270 Within Groups

Total

Tabel 2

(14)

Volume I, No 1, Desember 2010

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

X PD Y P.KNSMN X kepercayaan diri Pearson Correlation 1 ,433**

Sig.(1 - tailed) ,000 N 99 99 Y P.Konsmn Pearson Correlation ,433** 1 Sig.(1- tailed) ,000 N 99 99 Tabel 3 Uji Hipotesis

** Correlation is significant at the 0,01 level

Diskusi

Berdasarkan analisis data hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan positif antara perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek dengan kepercayaan diri, dengan rxy sebesar 0,433 dengan P < 0,05, dengan demikian hipotesis yang diajukan diterima yaitu semakin tinggi perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek maka semakin tinggi kepercayaan diri. Sebaliknya, semakin rendah perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek maka semakin rendah pula kepercayaan dirinya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Tambunan (2001) bahwa remaja yang memiliki kekurangan pada fisiknya membuat remaja tersebut akan merasa kurang percaya diri pada kelompok sosialnya, dan remaja tersebut akan mudah terbujuk oleh penawaran produk – produk fashion bermerek terbaru yang menurutnya bisa membuat dirinya lebih bisa percaya diri. Bagi produsen, remaja yang tidak percaya diri ini merupakan pasar potensial bagi produk – produk fashion yang mereka ciptakan. Remaja yang seperti ini akan cenderung menggunakan produk fashion bermerek untuk meningkatkan kualitas yang ada pada dirinya khususnya dalam hal penampilan.

Salah satu penyebab dari rasa kurang percaya diri tersebut bahwa remaja merasa dirinya memiliki kekurangan dan tidak sama

dengan kelompok teman sebayanya dalam konteks secara fisik. Hal ini yang menyebabkan remaja memilih untuk menutupi kekuranganya tersebut dan berusaha untuk untuk berpenampilan sama dengan kelompoknya. Remaja yang tidak percaya diri ini cenderung akan menggunakan produk fashion bermerek s e b a g a i k o m p e n s a s i t e r h a d a p k e k u r a n g a n y a , S i n a g a ( d a l a m Kusumaningtyas, 2009).

Sifat remaja selalu ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan diakuinya remaja tersebut oleh orang lain atau teman sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang in (Tambunan, 2001). Karena itu remaja akan menggunakan produk fashion bermerek yang dasarnya produk tersebut sesuai dengan mode atau tren yang sedang in.

Besarnya pengaruh perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek terhadap kepercayaan diri tampak pada besarnya sumbangan efektif sebesar 43,3%, berarti masih terdapat 56,7% faktor lain yang mempengaruhi kepercayaan diri. Besarnya sumbangan efektif perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek yang relatif besar ini penting untuk diperhatikan khususnya bagi remaja. Bagi remaja yang memiliki perilaku konsumen dalam penggunaan produk – produk fashion bermerek yang sangat tinggi hanya g u n a u n t u k s e k e d a r m e n a m b a h kepercayaan dirinya hendaknya untuk tetap bisa dikontrol. Fatimah (dalam Rosita, 2010) menyebutkan kepercayaan diri muncul bukan dari penampilan luar kita

(15)

Volume I, No 1, Desember 2010

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

13 saja melainkan dari rasa optimisme dalam diri, selalu berpikir positif, berpikir realistik dan apa adanya serta evaluasi diri yang objektif.

Hasil analisis variabel perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek diperoleh mean empirik sebesar 113,77 dan SD empirik sebesar 15,675. Berdasarkan norma kategorisasi tingkat perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek, diperoleh bahwa perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek tersebut tergolong sedang. Hal ini diketahui dari hasil respon subyek pada item dalam skala yang menunjukkan prosentase perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek terbesar pada tingkat sedang. Remaja dengan perilaku konsumennya menggunakan produk fashion bermerek sangat rendah ada 11 orang (11,11%), Remaja dengan perilaku konsumennya menggunakan produk fashion bermerek rendah ada 15 orang ( 1 5 , 1 5 % ) , R e m a j a d e n g a n p e r i l a k u konsumennya menggunakan produk fashion bermerek yang tergolong sedang ada 46 orang ( 4 6 , 4 6 % ) , R e m a j a d e n g a n p e r i l a k u konsumennya menggunakan produk fashion bermerek tinggi ada 19 orang (19,19%) dan Remaja dengan perilaku konsumennya menggunakan produk fashion bermerek yang tergolong sangat tinggi ada 8 orang (8,08%).

Sedangkan hasil analisis variabel kepercayaan diri diperoleh mean empirik sebesar 97,44 dengan SD empirik sebesar 9,417. Berdasarkan norma kategorisasi tingkat k e p e r c a y a a n d i r i d i p e r o l e h b a h w a kepercayaan diri remaja tergolong sedang. Hal ini diketahui dari hasil respon subyek pada item dalam skala yang menunjukkan prosentase kepercayaan diri terbesar pada tingkat sedang. Remaja dengan kepercayaan diri yang sangat rendah ada 6 orang (6%), remaja dengan

kepercayaan diri yang rendah ada 23 orang (23,23%), remaja dengan kepercayaan diri sedang ada 41 orang (41,41%), remaja dengan kepercayaan diri tinggi ada 24 orang (24,24%), dan remaja dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi ada 5 orang (5%).

Simpulan dan Saran Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara perilaku konsumen remaja menggunakan produk fashion bermerek dengan kepercayaan diri.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan di atas maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Remaja

Bagi remaja yang kurang percaya diri dalam berpenampilan dan merasa mendapati kekurangan yang ada pada dirinya apabila mungkin diharapkan menggunakan produk fashion bermerek untuk tetap bisa tampil lebih percaya diri atau dengan cara optimis dengan kemampuan, berpikir positif, berpikir realistik dan apa adanya serta evaluasi diri yang objektif, pengendalian diri yang baik dan kemampuan bersosialisasi yang baik.

2. Peneliti selanjutnya

B a g i p e n e l i t i l a i n d i s a r a n k a n u n t u k menggunakan faktor lain yang mempengaruhi p e r i l a k u k o n s u m e n s e b a g a i v a r i a b e l dependent atau variabel tergantung karena karena masih terlalu luas arti tentang perilaku konsumen.

(16)

Volume I, No 1, Desember 2010

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri Daftar Pustaka

Assianbrain. (2008). Mengenal Perilaku

Konsumen. www.AssianBrain.com

Beureukat. (2003). Faktor Lingkungan Sebagai

Penentu Perilaku Konsumen. Fakultas

Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Edris, M. (2008). Perilaku Konsumen. Fakultas Ekonomi, Universitas Muria Kudus.

Engel, J. F. (2002). Perilaku Konsumen Jilid 2. Jakarta : Binarupa Aksara.

Ferrinadewi, E. (2008). Merek Dan Psikologi

Konsumen. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hakim, T, (2005). Mengatasi Rasa Tidak

Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.

H u r l o c k , E . B . ( 1 9 8 0 ) . P s i k o l o g i

Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:

Erlangga.

Kusumaningtyas, R. (2009). Hubungan

Konsep Diri dengan Minat Membeli Produk Fashion Bermerek Terkenal Pada Remaja.

Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Psikologi UNNES.

Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional

Rosita, H. (2010). Hubungan Antara Perilaku

Asertif Dengan Kepercayaan Diri Pada M a h a s i s w a . J u r n a l : U n v e r s i t a s

Gunadarma.

Rumini, S dan Sundari, S. (2004). Psikologi

Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta :

Rineka Cipta.

Tambunan, R. (2001). Kepercayaan Diri Anda. www.e-psikologi.com

Yusuf, S. (2004). Psikologi Perkembangan

Anak dan Remaja. Bandung : Rosdakarya.

Zumars, D. (2010). Konsumen Indonesia Suka

Barang Bermerek (Branded Item).

(17)

Volume I, No 1, Desember 2010

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

15

Abstract

With the growth of world trade in products where competition is accompanied by increasingly stringent targets are so high from the company to its marketing, as well as the marketing of drug company called Medical Representative is charged with a high enough target. Therefore this study aims to determine Workload Influence on Job Stress, Job Stress and Effect on Medical Representative Job Satisfaction in Kudus. From the results of hypothesis test showed that the adjusted R2 of -, 025 indicates that the effect of workload on job stress at 2.5%. With a very small effect, may imply that no form of workload influence on work stress. while for the Effect of Work Stress on Job Satisfaction gained 0,033 Adjusted R2 results show an effect of work stress on job satisfaction by 3.3%, With very little effect, may imply that no form of the effect of job stress on job satisfaction.

Keywords: Job Stress, Workload, Job

Satisfaction

PENGARUH STRES KERJA, BEBAN KERJA

TERHADAP KEPUASAN KERJA

(STUDI PADA MEDICAL REPRESENTATIF DI KOTA KUDUS)

Dhini Rama Dhania

Universitas Muria Kudus

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Indonesia H Sampurno, 2005 (dalam Republika) mengatakan, dalam tiga tahun mendatang ada masalah domestik yang menyangkut nasib distribusi obat nasional, terutama yang berskala kecil. Akibatnya, lebih dari ribuan pedagang besar farmasi harus memperebutkan pasar lokal yang tersisa, sekitar 20 % saja. Sedangkan 80 % sudah d i k u a s a i d i s t r i b u t o r a s i n g . D e n g a n

perkembangan dalam dunia perdagangan di mana persaingan produk semakin ketat disertai dengan target-target yang begitu tinggi dari perusahaan kepada para marketing. Dengan demikian para marketing ini sangat diperlukan agar setiap produk yang dihasilkan dapat dikenal dan tertanam dalam pikiran dan hati masyarakat baik melalui penjelasan door to door, dan face to face.

Dalam perusahaan farmasi para karyawan marketing ini biasa disebut dengan medical representative. Terkait dengan produk yang ditawarkan, sasaran pasarnya juga sangat spesifik, yakni kalangan dokter. Tugas seorang medical representative tidak jauh berbeda dengan sales, tugasnya antara lain mempresentasikan di depan dokter mengenai keunggulan dan kelebihan obat yang mereka tawarkan, menjelaskan kegunaan dari jenis obat baru, ia harus dapat menjelaskan secara rinci segala informasi yang berkaitan dengan produk yang diwakilinya.

D e n g a n d e m i k i a n p a r a m e d i c a l representative dituntut oleh pihak perusahaan untuk selalu dapat menutup target yang telah ditetapkan perusahaan. Adanya target yang telah dibebankan pada para medical representative tersebut, maka munculah sebuah permasalahan dalam pemasaran produk obat khususnya di kota Kudus. Hal ini dikarenakan minimnya unit pelayanan kesehatan yang ada di kota Kudus, dan banyaknya cabang perusahaan farmasi yang

(18)

Volume I, No 1, Desember 2010

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) berdiri di kota Kudus, ini membuat para medical

representative mengalami kesulitan dalam menutup target yang ditetapkan perusahaan karena kurangnya tempat untuk memasarkan produknya, dengan begitu para medical representatif saling berlomba-lomba satu sama lain untuk segera dapat menutup target.

Adanya ketergantungan perusahaan akan sumber daya manusia (karyawan) dapat dilihat dalam bentuk keaktifan karyawan dalam menetapkan rencana, sistem, proses dan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu perusahaan (Hasibuan, 1994). Oleh karena itu sangat perlu adanya perhatian khusus dalam kesejahteraan karyawan dalam suatu organisasi. Kesejahteraan karyawan menjadi sangat penting pada masa sekarang ini, karena apabila kesejahteraan rendah akan muncul akibat-akibat seperti banyak demonstrasi dan aksi mogok kerja..

Kepuasan kerja yang dirasa oleh medical representatif tidak terlepas dari suatu keadaan yang mengikuti seorang individu, salah satunya yaitu stress. Sullivan & Bhagat (1992) menyebutkan bahwa banyak penelitian mengenai pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja dalam suatu organisasi. Hasil penelitian Alberto (1995), Praptini (2000) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja salah satunya adalah stres kerja.

Lebih lanjut penyebab stress dapat dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal, di mana salah satu penyebab stress yang berasal dari eksternal yaitu beban kerja yang dirasakan individu sebagaimana diungkapkan oleh Cooper (dalam Rice, 1999). Beban kerja itu sendiri misalnya target yang telah ditetapkan perusahaan merupakan suatu beban kerja yang harus ditanggung oleh para medical representative. Beban kerja yang dirasa cukup berat dapat berpengaruh pada kondisi fisik dan

psikis seseorang.

Menurut Menpan (1997), pengertian beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Hart and Staveland (dalam Wikipedia, 2008) mendefinisikan beban kerja sebagai berikut :

“the perceived relationship between the amount of mental processing capability or resources and the amount required by the task”.

Dari beberapa pengertian mengenai Beban kerja dapat ditarik kesimpulan beban kerja a d a l a h ” s e j u m l a h k e g i a t a n y a n g m e m b u t u h k a n p r o s e s m e n t a l a t a u kemampuan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, baik dalam bentuk fisik maupun psikis.

Stres merupakan suatu kondisi internal yang terjadi dengan ditandai gangguan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi pada kondisi yang tidak baik. Pendapat tersebut diungkapkan oleh Morgan & King, (1986: 321) yang lebih jelasnya sebagai berikut:

“…as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping”

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang kepuasan kerja diantaranya Wagner III & Hollenbeck (1995), mengutip ungkapan yang diberikan oleh Locke, yang menjelaskan kepuasan kerja adalah suatu perasaan menyenangkan yang datang d a r i p e r s e p s i s e s e o r a n g m e n g e n a i pekerjaannya atau yang lebih penting yaitu nilai

(19)

Volume I, No 1, Desember 2010

17

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) kerja, untuk lebih jelasnya sebagai berikut :

”a pleasurable feeling that results from the perception that one's job fulfills or allows for the fulfillment of one's important job values”.

Kerangka Berpikir

Dalam suatu kesempatan Smith (1981) mengemukakan bahwa konsep stres kerja dapat ditinjau dari beberapa sudut yaitu: pertama, stres kerja merupakan hasil dari keadaan tempat kerja. Kedua, stres kerja merupakan hasil dari dua faktor organisasi yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan organisasi. Ketiga, stres karena ”work load” atau beban kerja. Keempat, akibat dari waktu kerja yang berlebihan. Dan kelima, faktor tanggung jawab kerja. Kahn dan Quin (dalam Ivanceviech et al, 1982) menambahkan bahwa stres kerja merupakan faktor-faktor lingkungan kerja yang negatif, salah satunya yaitu beban kerja yang berlebihan dalam pekerjaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Keenan dan Newton (1984) yang menyebutkan bahwa stress kerja merupakan perwujudan dari kekaburan peran dan beban kerja yang berlebihan.

Hasil penelitian Kuan (1994), Bat (1995), Aun (1998) dan Yahya (1998) membuktikan bahwa beban kerja yang berlebih berpengaruh pada stres kerja. Selanjutnya, penelitian Widjaja (2006) menemukan bahwa beban pekerjaan yang terialu sulit untuk dikerjakan dan teknologi yang tidak menunjang untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik sering menjadi sumber stres bagi karyawan.

Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun), dan yang ke dua Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat

tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Lebih lanjut Eustress dapat memunculkan suatu kondisi kepuasan dalam pekerjaannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Nilvia (2002) bahwa Kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam usaha peningkatan kemampuan sumber daya manusia suatu organisasi, karena dengan kepuasan kerja yang dirasakan maka seorang karyawan mampu bekerja secara optimal.

Sullivan & Bhagat (1992) menyebutkan bahwa banyak penelitian mengenai pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja dalam suatu organisasi. Hasil penelitian Lee (dalam Google.com, 2008) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja salah satunya adalah stres kerja. Selanjutnya penelitian Alberto (1995), m e n g u n g k a p k a n b a h w a s t r e s s k e r j a berpengaruh terhadap kepuasan kerja staf audit. Penelitian yang senada juga ditemukan oleh Praptini (2000) yang menunjukkan bahwa stress berpengaruh terhadap kepuasan kerja yang dirasakan oleh tenaga edukatif tetap Universitas Airlangga.

Namun hasil penelitian Lut (2008) menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT SHARP Electronics Indonesia adalah stres kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Karena dengan stres, seseorang semakin terpacu untuk mengerahkan segala kemampuan dan sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya agar dapat memenuhi persyaratan dan kebutuhan kerja.

Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dapat dibuat suatu model sebagai kerangka pemikiran teoritis untuk menjawab masalah penelitian sebagai berikut:

(20)

Volume I, No 1, Desember 2010

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

Beban Kerja Stres Kerja Kepuasan

Kerja

H1 H2

Dari hasil penelitian terdahulu dari model penelitian di atas, dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut :

a) Beban kerja berpengaruh secara signifkan terhadap stres kerja.

b) Stres kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat kuantitatif dengan pengumpulan data melalui skala. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah beban kerja, variabel intervening adalah stres kerja, dan variabel terikatnya adalah kepuasan kerja medical representatif.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga skala pengukuran yaitu :

a). Skala beban kerja.

Dalam pengukuran beban kerja dengan menggunakan metode NASA TLX, (NASA-Task Load Index) faktornya antara lain: Kebutuhan Fisik (KF), Kebutuhan Mental (KM), Kebutuhan Waktu (KW), Performansi (PF), Usaha (U), dan Tingkat Stress (TS).

b). Skala Stres Kerja

Untuk mengukur stres kerja adalah indikator yang digunakan oleh Patricia (2006). dimana indikatornya antara lain : Fisiologis, K o g n i t i f , S u b y e k t i f , P e r i l a k u , d a n Keorganisasian.

c). Skala Kepuasan Kerja

Indikator kepuasan kerja disusun berdasarkan teori dua faktor Herzberg, yaitu :

?Motivator Factor. Antara lain : Achievement

(keberhasilan menyelesaikan tugas, Recognition (penghargaan), Work it self (pekerjaan itu sendiri), Responbility (tanggung jawab), Possibility of growth (kemungkinan untuk mengembangkan diri), Advancement (kesempatan untuk maju),

?Hygiene factor, antaralain :working

condition (kondisi kerja), interpersonal relation (hubungan antar pribadi), company policy and administration (kebijaksanaan perusahaan), supervision technical (tekhnik pengawasan), Job security (perasaan aman dalam bekerja.

Populasi penelitian ini adalah Medical Representatif di kota Kudus. Cara pengambilan sample pada penelitian ini dilakukan secara Purposive Sampling. Pengambilan sample dilakukan langsung oleh peneliti di rumah sakit, apotik, dan tempat prakter dokter.

Dalam penelitian yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan tekhnik analisis statistik multiple linier regression menggunakan program analisis statistik SPSS versi 11,5 for windows. tekhnik analisis regresi linier untuk mengukur kekuatan hubungan antar 2 variabel atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Analisis regresi linier dilakukan untuk mengetahui pengaruh satu variabel independen terhadap satu variabel dependen.

Sebelum melakukan uji hipotesis, data perlu diuji agar memenuhi kriteria Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) sehingga dapat menghasilkan parameter penduga yang sahih (Supramono & Haryanto, 2005) yaitu dengan menguji multikoleniaritas, heterokedastisitas, dan normalitas.

(21)

Volume I, No 1, Desember 2010

19

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) Hasil Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar 60 kuesioner. Kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan sebanyak 50 kuesioner, sedangkan yang digunakan dalam melakukan analisis data hanya 42 kuesioner karena 8 kuesioner lainnya rusak (tidak diisi secara lengkap). Berikut karakteristik responden yang ditemui dilapangan :

Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase

Pria 24 57 %

Wanita 18 43 %

Jumlah 42 100 %

Tabel 1

Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Usia Frekuensi Prosentase

< 30 tahun 16 38 %

30 - 45 tahun 26 62 %

Jumlah 42 100 %

Tabel 2

Responden berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Prosentase

1 – 5 tahun 12 29 %

5 – 10 tahun 24 57 %

> 10 tahun 6 14 %

Jumlah 42 100 %

Tabel 3

Responden berdasarkan Lama Bekerja sebagai Medical Representatif

Sesuai dengan prosedur penelitian, langkah selanjutnya adalah menguji validitas & reabilitas masing-masing skala. berikut hasil uji validitas dan reabilitas masing-masing skala.

Skala Koef.

Reliabilitas

Validitas Item gugur Skala Beban Kerja 0, 7516 0,3521 0,6231 3

Skala Stres Kerja 0, 9034 0,3342 – 0,7561 19 Skala Kepuasan Kerja 0, 9659 0,2954 – 0,9013 2

Tabel 4

Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Masing-Masing Skala

Untuk melihat bahwa suatu data terdistribusi secara normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah datanya terdistribusi secara normal atau mendekati normal (Bida, 2006). Dalam penelitian ini, digunakan diagram normal P plot untuk mengetahui distribusi data. Dari dua (2) grafik normal Pplot cenderung menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau garis histogram. Hal ini berarti data yang digunakan dalam penelitian ini mengalami gejala normalitas.

Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi yang sempurna. Indicator tidak terjadinya multikolinearitas adalah variance inflation factor /VIP disekitar angka 1, angka tolerance mendekati 1, dan koeefisien korelasi antar variable independent harus l e m a h ( d i b a w a h 0 , 5 ) . H a s i l u j i multikolinearitas menunjukkan bahwa nlai VIF dari kedua variabel sekitar angka 1, nilai tolerance mendekati 1, dan koefisien korelasi dibawah 0.5, maka dapat disimpulkan bahwa tdak terdapat masalah multikolnearitas pada model regresi ini.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, gejala heteroskedastisitas terjadi sebagia akibat dari variasi residual yang tidak sama untuk semua pengamatan, untuk mendeteksinya digunakan grafik Scatterplot. Dari hasil grafik dilihat titik-titik menyebar secara acak diatas dibawah angka nol pada sumbu Y. Hal ini

(22)

Volume I, No 1, Desember 2010

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) menunjukkan bahwa tidak ada masalah

heteroskidastisitas yang mengindikasikan varians konstan yang menghasilkan model estimator yang tidak bias. Maka dapat dikatakan model regresi memenuhi syarat untuk memprediksi stres.

Dari hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan tekhnik analisis regresi diperoleh hasil uji hipotesis menunjukkan nilai Adjusted R2 sebesar -,025 ini menunjukkan bahwa pengaruh beban kerja terhadap stres kerja sebesar 2,5 %. Dengan pengaruh yang sangat kecil tersebut, dapat diartikan bahwa tidak ada bentuk pengaruh beban kerja terhadap stres kerja, yang berarti semakin tinggi beban kerja, stres kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga sebaliknya semakin kecil beban kerja yang ditanggung, stres kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah.. Selain itu diketahui hasil nilai F hitung sebesar 0.000 dengan tingkat signifikansi 0.993, dan nilai t hitung -0.009 dengan sigifkansi 0.993. Hal ini menunjukan bahwa beban kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap stress kerja. Hasil penelitian berarti menolak hipotesis 1 penelitian, yaitu beban kerja berpengaruh secara signifikan terhadap strees kerja.

Dari hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan tekhnik analisis regresi diperoleh: Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai Adjusted R2 sebesar 0,033 ini menunjukkan stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebesar 3,3 %, Dengan pengaruh yang juga sangat kecil, dapat diartikan bahwa tidak ada bentuk pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja, yang berarti semakin tinggi stres kerja, kepuasan kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga sebaliknya semakin kecil stres kerja, kepuasan kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah.

Hasil tersebut lebih diperjelas dengan nilai F hitung sebesar 2,391 dengan signifikansi 0,130. Dan dari perhitungan uji t diperoleh nilai sebesar 1.546 dengan signifikansi sebesar 0.130. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja tidak signifikan. Hasil penelitian ini berarti menolak Hipotesis 2 yaitu : stres kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja.

Diskusi

Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang m e n y a t a k a n b a h w a b e b a n k e r j a mempengaruhi stres yang dirasakan seorang karyawan. Hasil penelitian tersebut antara lain : Kuan (1994), Bat (1995), Aun (1998) dan Yahya (1998) membuktikan bahwa beban kerja yang berlebih berpengaruh pada stres kerja. Selanjutnya, penelitian Widjaja (2006) menemukan bahwa beban pekerjaan yang terialu sulit untuk dikerjakan dan teknologi yang tidak menunjang untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik sering menjadi sumber stres bagi karyawan.

Namun pada kenyataanya beban tidak selalu menjadi sumber penyebab stress yang dirasakan medical represntatif, terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi stres kerja medical representatif . dimana faktor yang mempengaruhi stres kerja itu sendiri sangat banyak sekali dan juga tergantung dari persepsi individu dalam menghadapi suatu masalah. Terkadang ada individu yang saat menghadapi beban kerja yang berat menjadi m e r a s a t e r t a n t a n g u n t u k d a p a t menyelesaikannya sehingga akan lebih rajin dan giat dalam mencapai target yang telah dibebankan. Sehingga individu yang demikian tidak merasakan stres dalam pekerjaannya tetapi merasa lebih bersemangat untuk bekerja memenuhi target.

(23)

Volume I, No 1, Desember 2010

21

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan

Selye (dlm Brief et al,1981) bahwa stres kerja adalah konsep yang terus bertambah. Ini terjadi akibat adanya permintaan yang bertambah, maka semakin bertambah pula munculnya potensi kerja yang disebakan oleh banyak hal.

Stres kerja itu bisa diakibatkan karena pengaruh gaji atau salary yang diterima karyawan, seperti yang dikemukakan oleh Cooper & Payne (dlm Robins, 2001). apalagi pada saat sekarang ini perekonomian menjadi sangat sulit sehingga seseorang banyak yang mengalami stres karena kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai Adjusted R2 sebesar -,025 ini menunjukkan bahwa pengaruh beban kerja terhadap stres kerja sebesar 2,5 %. Dengan pengaruh yang sangat kecil tersebut, dapat diartikan bahwa tidak ada bentuk pengaruh beban kerja terhadap stres kerja, yang berarti semakin tinggi beban kerja, stres kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga sebaliknya semakin kecil beban kerja yang ditanggung, stres kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah

Begitu juga dengan hasil penelitian stres kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan. Jadi stres kerja tidak secara otomatis mempengaruhi kepuasan kerja Medical representatif di kota Kudus. Artinya stres kerja bukan sebagai prediktor terhadap munculnya variabel kepuasan kerja. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai Adjusted R2 sebesar 0,033 ini menunjukkan stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebesar 3,3 %, Dengan pengaruh yang juga sangat kecil, dapat diartikan bahwa tidak ada bentuk pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja, yang berarti semakin tinggi stres kerja, kepuasan kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga sebaliknya

semakin kecil stres kerja, kepuasan kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun rendah.

Hasil dari penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Lut (2008) yang menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT SHARP Electronics Indonesia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Karena dengan stres, s e s e o r a n g s e m a k i n t e r p a c u u n t u k mengerahkan segala kemampuan dan sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya agar dapat memenuhi persyaratan dan kebutuhan kerja.

Sejalan dengan penelitian diatas, McGee, Goodson & Cashman (1984) mendapati bahwa beberapa faktor yang menyebabkan pegawai mengalami stres kerja tetapi masih merasa puas terhadap pekerjaannya. Hal ini diantaranya disebabkan oleh tugas yang mereka kerjakan penuh dengan tantangan dan menyenagkan hati mereka. Selain itu terjadi komomunikasi yang efektif di antara para anggota dalam organisasi tersebut.

Selain dari penelitian Lut, beberapa pendapat juga menyatakan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu insentif dan gaji yang diterima (Parwanto & Wahyudin, 2008). Pendapat yang lain juga diungkapkan oleh Soewondo (1992) dimana faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja itu antara lain hubungan personal, tempat kerja, dan karir yang tidak jelas.

Simpulan dan Saran Simpulan

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa stres kerja tidak secara signifikan mempengaruhi

Referensi

Dokumen terkait

Bagi orang tua mahasiswa fakultas Psikologi Univeristas X Bandung adalah untuk dapat mengembangkan pola asuh demokratis dan memberikan dukungan kepada anak-anaknya supaya mereka

Penelitian yang berjudul “ Pengaruh Pemberian Beberapa Konsentrasi Coumarin Terhadap Umbi G1 Kentang ( Solanum tuberosum L.) di Lapangan ” telah dilakukan di rumah kasa (

LABORATORIUM PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN PMIPA FKIP UNIVERSITAS RIAU..

[r]

Lactose broth tube + Durham Inoculate, control Incubate 37 Sucrose broth tube+ Durham Inoculate, control Incubate 37 Glucose broth tube+ Durham Inoculate, control

Penerapan Simbol Jari Tangan Untuk Meningkatkan Penguasaan Materi Akor Lagu Dalam Pembelajaran Angklung Di Smp Mutiara 5 Lembang.. Universitas Pendidikan Indonesia |

[r]

Dari hubungan ini dapat dijelaskan bahwa pemberian kredit yang dilakukan pedagang kecil untuk mencari modal dalam mengembangkan usahanya berbeda-beda dari pinjaman