BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Sampel
2.1.1 Cacing tanah fridericia sp.
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 10-15 mm, diameter 0,5 - 0,9 mm, dan jumlah segmen antara 43 - 62. Warna bagian dorsal coklat kekuningan, bagian ventral pucat atau kekuningan. Warna ujung anterior cokelat keputihan dan ujung posterior abu-abu cokelat. Prostomium pendek serta mulai segmen 11 dengan tipe lumbrisi, klitelium terletak pada segmen XII-XIII (Arlen, 1998).
Kingdom : Animalia Divisi : Annelida Kelas : Chaetopoda Ordo : Oligochaeta Famili : Enchytraeidae Genus : Fridericia Spesies : Fridericia sp
Cacing tanah seperti yang dikenal masyarakat dan menempati bagian permukaan tanah yang lembab termasuk dalam hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (avertebrata). Dalam klasifikasi biologi, cacing tanah termasuk dalam filum Annelida atau hewan beruas-ruas atau bergelang-gelang. Ciri-cirinya yaitu bertubuh simetris bilateral, silindris
memanjang, bersegmen-segmen (sekitar 115 - 200 segmen), dan pada bagian permukaan tubuh terdapat sederetan sekat atau dinding tipis (Sugiantoro, 2012).
2.1.2 Anatomis dan morfologis
Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Arlen (1994), menjelaskan bahwa cacing tanah yang ditemukan hidup di tumpukan sampah dan tanah sekitarnya mempunyai ukuran panjang sangat bervariasi, yaitu berkisar antara beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih. Gambar morfologi cacing tanah dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 2.1 Morfologi Cacing Tanah (Khairuman dan Amri, 2009). Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh epidermis berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan seta, kecuali pada dua segmen pertama (bagian mulut), bersifat hemaphrodit (berkelamin ganda) dengan peranti kelamin seadanya pada segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk klitelium (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova
(bakal telur). Setelah kawin (kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing dewasa. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Hanafiah, dkk., 2003).
Cacing tanah pada umumnya mempunyai tubuh bulat memanjang, bersegmen-segmen, tidak mempunyai kerangka luar, tidak memiliki alat gerak, dan tidak memiliki mata. Selain itu, pada tubuhnya terdapat seta, yakni berupa rambut pendek yang relatif keras dan mempunyai daya lekat yang tinggi. Seta inilah yang mempunyaidaya lekat yang tinggi. Di habitat alaminya, cacing tanah hidup dan berkembangbiak didalam tanah yang lembab dengan suhu sekitar 15 – 25o
Tubuh cacing tanah memproduksi semacam lendir yang membuat tubuhnya menjadi licin. Cacing tanah bernapas lewat permukaan tubuhnya dengan kulit. Karena itulah, agar kulitnya tetap basah dan tetap bisa bernapas, maka cacing tanah memilih tinggal ditempat yang basah dan lembab serta terhindar dari sinar. Makanan cacing tanah adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan. Setiap cacing tanah bisa menghabiskan bahan-bahan organik seberat sehingga dua kali berat tubuhnya dalam tempo 24 jam.
C.
Cacing tanah bisa hidup antara 1 - 5 tahun, namun rata-rata hidup selama 2 tahun. Siklus hidupnya di mulai dari kokon, cacing muda, cacing produktif, dan cacing tua (Sugiantoro, 2012).
2.1.3 Manfaat cacing tanah
Menurut Alex (2011), cacing tanah banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Beberapa manfaat terbesarnya antara lain adalah sebagai berikut:
- Dalam bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi roba yang menguntungkan tanaman.
- Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan kodok.
- Sebagai media pengobatan cacing mampu mengobati berbagai infeksi saluran pencernaan seperti tifus, disentri serta gangguan perut lainnya seperti maag. Bisa juga untuk mengobati penyakit infeksi saluran pernapasan seperti batuk, asma, influenza, bronkhitis, dan TBC.
- Bahkan cacing tanah dapat dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol, menurunkan tekanan darah bagi penderita diabetes. Cacing tanah mengandung kadar protein tinggi, sekitar 64 - 76% dari bobot keringnya, jauh lebih tinggi dari pada kadar protein pada daging mamalia (65%) dan ikan (50%).
2.2 Mineral
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ,
maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari. Yang termasuk mineral makro antara lain natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan yang termasuk mineral mikro antara lain besi, mangan zink, dan tembaga (Almatsier, 2004).
2.2.1 Besi
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3 - 5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi di dalam tubuh sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh (Almatsier, 2004).
2.2.2 Tembaga
Tembaga ada dalam tubuh sebanyak 50 - 120 mg. Tembaga memegang peranan dalam mencegah anemia. Sumber utama tembaga adalah kerang, tiram, biji-bijian (Almatsier, 2004).
2.2.3 Seng
Tubuh mengandung 2 - 2,5 gram seng yang tersebar di hampir semua sel. Sebagaian besar seng berada di dalam hati, ginjal, otot dan tulang. Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh dan berperan dalam berbagai aspek metabolisme (Almatsier, 2004).
2.3 Spektrofotometri Serapan Atom.
Metode spektrofotometri serapan atom berdasarkan pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Dasar analisis menggunakan teknik spektrofotometri serapan atom adalah bahwa dengan mengukur besarnya absorbsi oleh atom analit, maka konsentrasi analit tersebut dapat ditentukan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar unsur logam tertentu dalam suatu sampel. Cara ini cocok untuk analisis sekelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi, pelaksanaanya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit. Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dalam bentuk gas (Gandjar dan Rohman, 2007).
Proses yang terjadi ketika dilakukan analisis dengan menggunakan spektrofotometri serapan atom dengan cara absorbsi yaitu penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada pada tingkat dasar. Atom-atom tersebut menyerap radiasi pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat atom tersebut.
Sebagai contoh besi menyerap radiasi pada panjang gelombang 248,33 nm, tembaga pada 324,75 nm dan seng pada 213,90 nm. Dengan menyerap radiasi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom pada keadaan
dasar dapat ditingkatkan menjadi ketingkat eksitasi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Secara eksperimental akan diperoleh puncak-puncak serapan sinar oleh atom-atom yang dianalisis. Garis-garis spektrum serapan atom yang timbul karena serapan radiasi yang menyebabkan eksitasi atom dari keadaan azas ke salah satu tingkat energi yang lebih tinggi disebut garis-garis resonansi (Resonance line). Garis-garis resonansi ini akan dibaca dalam bentuk angka oleh Readout (Gandjar dan Rohman, 2007).
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), instrumentasi spektrofotometer serapan atom adalah sebagai berikut:
a. Sumber radiasi
Sumber radiasi yang digunakan adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi dengan logam tertentu sesuai dengan logam yang diperiksa. b. Sumber atomisasi
Sumber atomisasi dibagi menjadi dua yaitu sistem nyala dan sistem tanpa nyala. Kebanyakan instrumen sumber atomisasinya adalah nyala dan sampel diintroduksikan dalam bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk aerosol. Aerosol biasa dihasilkan oleh nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray).
1. Dengan nyala (Flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi bentuk uap atomnya dan untuk proses atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas yang digunakan, misalnya untuk gas asetilen-udara suhunya sebesar 2200ºC. Sumber nyala asetilen-udara ini merupakan sumber nyala yang paling banyak digunakan. Pada sumber nyala ini asetilen sebagai bahan pembakar, sedangkan udara sebagai bahan pengoksidasi.
2. Tanpa nyala (Flameless)
Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit. Sejumlah sampel diambil sedikit lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi radiasi yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif.
c. Monokromator
Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih spektrum sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan dalam analisis yang dihasilkan lampu katoda berongga.
d. Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melewati tempat pengatoman.
e. Amplifier
Amplifier merupakan suatu alat untuk memperkuat signal yang diterima dari detektor sehingga dapat dibaca alat pencatat hasil (Readout).
f. Readout
Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai pencatat hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.
Gambar 2.2 Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Gandjar dan Rohman, 2007)
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), gangguan-gangguan dapat terjadi pada saat dilakukan analisis dengan alat spektrofotometer serapan atom, gangguan itu antara lain adalah:
a. Gangguan oleh penyerapan non-atomik
Gangguan ini terjadi akibat penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan non-atomik dapat disebabkan adanya penyerapan cahaya oleh partikel-partikel pengganggu yang berada di dalam nyala. Cara mengatasi penyerapan non-atomik ini adalah bekerja pada panjang gelombang yang lebih besar.
b. Gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah atau banyaknya atom di dalam nyala.
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), pembentuk atom-atom netral dalam keadaan azas di dalam nyala sering terganggu oleh dua peristiwa kimia, yaitu:
- Disosiasi senyawa-senyawa yang tidak sempurna disebabkan terbentuknya senyawa refraktorik (sukar diuraikan dalam api), sehingga akan mengurangi jumlah atom netral yang ada di dalam nyala.
- Ionisasi atom-atom di dalam nyala akibat suhu yang digunakan terlalu tinggi. Prinsip analisis dengan spektrofotometer serapan atom adalah mengukur absorbansi atom-atom netral yang berada dalam keadaan azas. Jika terbentuk ion maka akan mengganggu pengukuran absorbansi atom netral karena spektrum absorbansi atom-atom yang mengalami ionisasi tidak sama dengan spektrum atom dalam keadaan netral sehingga akan mempengaruhi hasil.
2.4 Validasi Metode Analisis
Menurut Harmita (2004), validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah sebagai berikut:
a. Kecermatan
Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan ditentukan dengan dua cara, yaitu:
- Metode simulasi
Metode simulasi (Spiked-placebo recovery) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam suatu bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya).
- Metode penambahan baku
Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah baku dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Hasilnya dibandingkan dengan sampel yang dianalisis tanpa penambahan sejumlah baku.
Menurut Ermer (2005), suatu metode dikatakan teliti jika nilai
recoverynya antara 80-120%. Recovery dapat ditentukan dengan
menggunakan metode standar adisi. b. Keseksamaan (presisi)
Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang
menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogen. Nilai simpangan baku relatif yang memenuhi persyaratan menunjukkan adanya keseksamaan metode yang dilakukan. Nilai simpangan baku relatif dikatakan memenuhi kriteria seksama dan teliti jika RSD nya tidak lebih dari 2%.
c. Selektivitas (Spesifisitas)
Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang ada di dalam sampel.
d. Linearitas dan rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon baik secara langsung maupun dengan bantuan transformasi matematika, menghasilkan suatu hubungan yang proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang merupakan batas terendah dan batas tertinggi analit yang dapat ditetapkan secara cermat, seksama dan dalam linearitas yang dapat diterima.
e. Batas deteksi dan batas kuantitasi
Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan, sedangkan batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).
2.5 Data Analisis Beberapa Mineral Pada Cacing Tanah
Hasil analisis kadar beberapa mineral yang terdapat dalam cacing tanah pada peneliti terdahulu dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini:
No Nama
Cacing
Metode Kadar Mineral (mg/100 g) Sumber 1. Pontoscolex coretrurus Spektrofotometri serapan atom (AAS) -Timbal = 1,1380 ± 0,04109 -Cadmium = 1,1734 ± 0,05655 Syarifa Ulfa (2011) Drawida sp. -Timbal = 6,5381 ± 0,2018 -Cadmium = 0,01275± 0,4303 Megascolex sp. -Timbal = 8,4259 ± 0,16987 -Cadmium = 9,0923 ± 0,13234 2. Megascolex sp. Spektrofotometri serapan atom (AAS) -Besi = 4196,5785± 28,6098 Meily Dasnawati (2011) -Tembaga =10,3635 ± 0,1836 -Seng =174,7644 ± 0,9814 3. Pontoscolex coretrurus Spektrofotometri serapan atom (AAS) -Kalium =583,7684± 1,1832 -Natrium =121,5537± 4,1062 -Mangan =3,9359± 0,0096 Widya (2012) Peryonix sp. -Kalium =789,2485± 1,0853 -Natrium =184,7378± 4,9483 -Mangan =3,4711± 0,0765 4. Pontoscolex coretrurus Spektrofotometri sinar tampak (visible) Fosfor = 96,9780 ± 1,2550 Fosfor = 105,987 ± 0,6324 Fosfor = 123,593 ± 0,9348 Fosfor = 115,766 ± 0,6057 Darmawati (2013) Peryonix sp. Pheretima peguana Pheritam phostuma