• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PILOT PROJECT MODEL RESTORASI GAMBUT TERINTEGRASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PILOT PROJECT MODEL RESTORASI GAMBUT TERINTEGRASI"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN AKHIR

PILOT PROJECT MODEL RESTORASI GAMBUT

TERINTEGRASI

LOKASI : DESA PELALAWAN, PELALAWAN (KHG SUNGAI KAMPAR)

Oleh:

TIM FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

Ketua Tim:

Dr.Ir. Sri Nuryani Hidayah Utami, M.P, M.Sc

DIBIAYAI OLEH :

BADAN RESTORASI GAMBUT 2018

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Restorasi Gambut telah ditargetkan sebesar 2,4 juta Ha mulai tahun 2016 sampai 2020. Areal tersebut tersebar di 7 propinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Papua) dan 4 kabupaten prioritas (OKI, Musi Banyuasin, Kep. Meranti dan Pulang Pisau). Disadari bahwa riset tentang restorasi telah dilakukan oleh beberapa pihak dan hasil-hasilnya telah tersedia, namun kajian penerapan hasil litbang yang terangkai untuk tujuan tertentu dan terintegrasipelaksanaannya tetap diperlukan. Pembangunan Pilot Project yang merupakan plot demontrasi pada dasarnya adalah penerapan hasil IPTEK yang dirangkai menjadi suatu upaya restorasi yang terintegrasi. Mengingat bahwa IPTEK restorasi gambut secara parsial telah tersedia di berbagai Perguruan Tinggi dan atau Institusi Penelitian, maka pembangunan Pilot Project yang merupakan penerapan IPTEK restorasi gambut secara terintegrasi maka Badan Restorasi Gambut perlu bekerjasama dengan institusi riset baik di Perguruan Tinggi maupun institusi penelitian antara lain Universritas Gadjah Mada.

Laporan Akhir pelaksanaan kegiatan Pilot Project Gambut Terintegrasi sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban dan juga untuk mendapatkan masukan agar dalam kegiatan pendampingan di masa yang akan dating akan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, saran yang membangun sangat diharapkan.

Atas terselenggaranya kegiatan tersebut kami menyempaikan terimakasih yang mendalam Kepada:

1. Yth. Bapak Kepala Badan Restorasi Gambut berserta jajarannya, terutama Kedeputian Penelitian dan Pengembangan atas kesempatan yang diberikan kepada Universitas Gadjah Mada

2. Bapak Bupati, Camat dan kepala Desa Pelalawan atas ijin dan fasilitas yang diberikan untuk kegiatan Pilot Project di desa Pelalawan

3. Rektor Universitas Riau dan jajarannya terutama Dekan Fakultas Pertanian dan para Staf Pengajar, Kepala Pusat Sudi Bencana dan para peneliti yang telah banyak membantu selama kegiatan

4. Kelompok Tani Berkat Mandiri dan Berkat Makmur yang dengan semangat dan gigih melaksanakan kegiatan penanaman terutama padi yang tidak mudah

(3)

iii 5. Masyarakat desa Pelalawan, termasuk petugas penyuluh pertanian yang membantu sehingga pelaksanaan kegiatan dapat berjalan lancer.

6. Para Mahasiswa S1 dan S 2 yang terlibat melaksanakan kegiatan ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Yogyakarta, Desember 2018 Penanggungjawab Kegiatan,

(4)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iv I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

III. BAHAN DAN METODE ... 11

IV. HASIL KEGIATAN ... 17

A. Koordinasi dengan Pemerintah Kelurahan ... 17

B. Pelatihan dan Penyuluhan ... 17

C. Persiapan Budidaya Tanaman ... 17

D. Pengembangan SIstem Monitoring Lingkungan Biofisik ... 24

E. Perhitungan Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca ... 28

F. Peternakan Kambing di Lahan Gambut ... 30

G. Potensi Budidaya di Lahan Gambut ... 32

H. Kajian Sosial Ekonomi Usahatani Lahan Gambut ... 41

I. Revitalisasi ... 51

J. Rekayasa Pengelolaan Banjir dan Kekeringan ... 52

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

I. LAMPIRAN ... 60

(5)

1

PILOT PROJECT MODEL RESTORASI GAMBUT TERINTEGRASI

I.

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Restorasi Gambut telah ditargetkan sebesar 2,4 juta Ha mulai tahun 2016 sampai 2020. Areal tersebut tersebar di 7 propinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Papua) dan 4 kabupaten prioritas ( OKI, Musi Banyuasin, Kep. Meranti dan Pulang Pisau). Dari target restorasi tersebut, terdapat !,4 juta Ha merupakan kawasan hutan yang dibebani hak, sehingga kegiatan restorasi menjadi kewajiban pemegang ijin, sedangkan 600 ribu ha merupakan hutan lindung dan kawasan konservasi. Dengan demikian hanya 400 ribu ha areal target restorasi di APL dan dapat melibatkan masyarakat.

Pendekatan restorasi yang diterapkan mencakup 3 hal utama yaitu rewetting (pembasahan kembali lahan gambut), revegetasi (penanaman kembali areal yang terbakar) dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat. Untuk melaksanakan tiga kegiatan utama restorasi tersebutdibutuhkan dukungan IPTEK untuk implementasinya, sehingga penerapan teknologi pada restorasi lahan gambut scientifically appproved (dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah).

Disadari bahwa riset tentang restorasi telah dilakukan oleh beberapa pihak dan hasil-hasilnya telah tersedia, namun kajian penerapan hasil litbang yang terangkai untuk tujuan tertentu dan terintegrasi pelaksanaannya tetap diperlukan. Pembangunan Pilot Project yang merupakan plot demontrasi pada dasarnya adalah penerapan hasil IPTEK yang dirangkai menjadi suatu upaya restorasi yang terintegrasi. Pada penerapan tersebut diperoleh catatan teknis yang perlu menjadi acuan bila kegiatan tersebut direplikasi di tempat lain. Kegiatan pembangunan pilot project juga melibatkan secara aktif kelompokkelompok yang akan terkait langsung, sehingga kegiatan restorasi gambut akan dapat diinternalisasikan. Mengingat bahwa IPTEK restorasi gambut secara parsial telah tersedia di berbagai Perguruan Tinggi dan atau Institusi Penelitian, maka pembangunan Pilot Project yang merupakan penerapan IPTEK restorasi gambut secara terintegrasi perlu bekerjasama dengan institusi riset baik di Perguruan Tinggi maupun institusi penelitian.

Universitas Gadjah Mada telah lama melakukan penelitian di lahan gambut, sejak kegiatan pembukaan lahan gambut tahun 1968 hingga sekarang yang menghasilkan banyak Doktor, Master, Sarjana dan banyak tulisan ilmiah. Pemanfaatan gambut untuk pertanian mempunyai landasan histori yang kuat. Menurut Prof. Tejoyuwono Notohadiprawiro, pakar gambut UGM (1994), kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut antara lain kondisi hidrologi, lapisan gambut mentah, amblesan (subsidence), pelindian hara (leaching) oleh ayunan pasang surut, intrusi air laut dan keterisolasian lokasi.

(6)

2 Kontroversi tentang pemanfaatan atau reklamasi lahan gambut secara besar-besaran selalu muncul. Alasan dihindarinya penggunaan gambut karena produktivitas lahannya yang rendah, pencapaian ke lokasi sulit dll. Tetapi seiring dengan kelangkaan lahan pertanian akibat konversi lahan dan fragmentasi lahan, pemanfaatan lahan sub-optimal termasuk gambut tidak dapat dihindari. Fakultas Pertanian telah melakukan banyak penelitian yang secara ringkas dapat dikemukakan sbb (Maas, 2013):

1. Pertanian di lahan gambut dapat berproduksi baik dengan pemberian inputan secara bertahap dengan memanfaatkan sumberdaya local

2. Pengaturan air dengan mempertahankan muka air pada saluran sebagai tendon air dengan pemasangan tabat pada musim hujan dan pelepasan air dengan pembukaan tabat pada musim kemarau dapat mempertahankan sifat hidrofilik gambut

3. Penataan lahan dengan system surjan pada tipe luapan C cukup baik

Pilot Project Gambut terintegrasi Kerjasama Fakultas Pertanian UGM dengan Badan Restorasi Gambut telah dilaksanakan di desa Pelelawan, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Riau.

ALASAN PEMILIHAN LOKASI: Desa PELALAWAN, Kecamatan Pelelawan, Kabupaten Pelalawan

• Pelalawan merupakan daerah yang pada saat musim kemarau sering terjadi kebakaran dan pada saat musim hujan sering terjadi banjir

• Mayoritas masyarakat menggunakan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit, untuk itu Mereka membutuhkan arahan pemanfaatan gambut yang bisa mensejahterakan sekaligs tetap diperbolehkan oleh pemerintah

• Pertanian di lahan gambut dapat berproduksi baik dengan pemberian inputan secara bertahap dengan memanfaatkan sumberdaya local

• Pengaturan air dengan mempertahankan muka air pada saluran sebagai tendon air dengan pemasangan tabat pada musim hujan dan pelepasan air dengan pembukaan tabat pada musim kemarau dapat mempertahankan sifat hidrofilik gambut

• Masyarakat di Pelalawan tinggal dekat dengan perusahaan besar HTI namun tidak terlibat dalam kegiatan tersebut.

• Pemukiman dan lahan masyarakat berada di hilir, sedangkan perusahaan HTI berada di Hulu sehingga pada musim hujan lokasi sering terkena dampak banjir

• Mata pencaharian utama adalah bertanam sawit baik sebagai pemilik, pekerja, ataupun kegiatan pasca panen

(7)

3 • Masyarakat memiliki waktu yang cukup di sela budidaya sawit sehingga dapat digunakan untuk budidaya tanaman pangan terintegrasi dengan peternakan dan perikanan

• Ada kebijakan untuk mengembangkan lahan seluar 60 Ha untuk tanaman pangan dan jika kegiatan ini berhasil maka akan peningkatan skala luasan lahan (upscale)

Pilot project tahun 2017 telah dilaksanakan pada musim hujan. Tujuan pilot project Gambut Terintegrasi : 3 R Rewetting, Revegetasi dan Rehabilitasi Pendapatan cukup tercapai pada kegiatan ini.

1. Kondisi gambut tetap basah karena dilakukan pada musim hujan dan bahkan banjir. Penanaman padi, jagung dan tanaman sela sayuran, nanas, refugia cukup menutupi lahan, hasil budidaya padi, ternak ungags dan ikan menaikkan pendapatan petani. 2. Budidaya padi sawah selama musim penghujan cukup tahan menghadapi banjir,

perlakuan plot pilot project dengan penambahan pupuk kandang dan limbah ikan, di samping dolomit dan NPK terbukti menghasilkan Gabah Kering Panen tinggi yaitu 4,8 ton/ha. Hasil ini jauh melampaui rata-rata produktivitas padi sawah petani setempat di hamparan tersebut.

3. Dari kegiatan pilot project integrasi tanaman pangan dan ternak di lahan gambut ini kami menyimpulkan bahwa ayam kampung super dapat menjadi alternative komoditas untuk dipelihara di Pelalawan. Hal ini didukung dengan kondisi permintaan yang cukup besar dan familiaritas terhadap komoditas tersebut. Pemeliharaan ayam kampung super dapat menjadi diversifikasi sumber-sumber pendapatan selain sumber pendapatan pokok berupa tanaman pangan. Namun demikian, petani perlu melakukan intervensi-intervensi teknologi pada pola pemeliharaan agar didapat keuntungan optimal dari pemeliharaan ayam kampung super tersebut.

4. Jenis ikan yang adaptif di lingkungan gambut adalah ikan baung local sedangkan ikan nila kurang adaptif.

5. Jagung sebaiknya ditanam sebagai tanaman sela, tidak disarankan ditanam di sawah pada musim hujan.

Mengingat kegiatan baru dilaksanakan pada satu kali musim dan mengejar ketersediaan air sehingga belum terintegrasi dengan baik maka kegiatan sangat penting untuk dilanjutkan dengan menitikberatkan pada permasalahan yang terjadi :

1. Pencegahan kebakaran pada musim kemarau 2. Pencegahan pengeringan gambut

(8)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Sumberdaya alam yang bersifat multifungsi, itulah predikat tepat yang pantas diberikan kepada lahan gambut. Dengan predikat semacam ini, gambut terpaksa harus menampung banyak kepentingan dan harapan. Padahal, gambut merupakan ekosistem yang marjinal dan rapuh sehingga mudah rusak. Kondisi semacam ini menuntut kesadaran semua pihak untuk bersikap bijak dan harus melihat gambut dari berbagai sudut pandang. Kesadaran terhadap pentingnya keseimbangan antar berbagai fungsi gambut, akan lebih menjaminkeberlanjutan pemenuhan fungsi sosial, ekonomi, dan kelestarian lingkungan (Najiyati et al., 2006).

Tidak seluruh lahan rawa gambut di Indonesia sesuai dan layak dimanfaatkan untuk pertanian karena adanya berbagai kendala, seperti: ketebalan gambut, kesuburan rendah, kemasaman tinggi, lapisan pirit, dan substratum subsoil (di bawah gambut ) dapat berupa pasir kuarsa. Dari luas gambut Indonesia sekitar 20 juta ha, diperkirakan hanya 9 juta ha yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Sampai tahun 1998, lahan rawa (gambut dan non-gambut) yang telah dibuka diperkirakan mencapai 5,39 juta ha, terdiri atas 4 juta ha dibuka oleh masyarakat dan 1,39 juta ha dibuka melalui program yang dibiayai oleh pemerintah (Dept. Pekerjaan Umum dalam Subagjo, 2002). Dengan demikian dilihat dari sisi kuantitas, pertanian di lahan gambut masih memiliki prospek untuk dikembangkan. Namun pengembangngannya harus dilakukan secara sangat hati-hati dan sesuai peruntukannya mengingat kendalanya yang cukup banyak. Selain itu juga mengingat telah diratifikasinya Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) oleh berbagai negara termasuk Indonesia.

Pengalaman menunjukkan bahwa tidak semua pengembangan pertanian di lahan gambut bisa sukses, namun tidak semuanya juga mengalami kegagalan (Najiyati et al., 2001). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa? Sebetulnya, sudah sejak lama lahan gambut digunakan untuk budidaya pertanian. Di Indonesia, budidaya pertanian di lahan gambut secara tradisional sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu oleh suku Dayak, Bugis, Banjar, dan Melayu dalam skala kecil. Mereka memilih lokasi dengan cara yang cermat, memilih komoditas yang telah teruji, dan dalam skala yang masih dapat terjangkau oleh daya dukung/layanan alam. Perkembangan ekonomi diikuti oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat sejak era orde baru, menuntut adanya pemenuhan kebutuhan di segala aspek kehidupan. Penebangan kayu merajalela, sistem perladangan dan penyiapan lahan perkebunan dengan cara bakar semakin meluas, dan eksploitasi hutan gambut menjadi tak terkendali. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kendala-kendala kimia utama untuk pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah gambut tropika adalah rendahnya pH tanah dan rendahnya ketersediaan sebagian besar unsur hara tanaman.

(9)

5 Untuk terciptanya budidaya yang berkelanjutan, terutama dalam hal pengusahaan tanaman-tanaman semusim, masukan-masukan yang berupa amandemen perlu dipilih sedemikian rupa sehingga menghasilkan pengaruh ganda dan pengaruh amelioratif jangka panjang (Najiyati et al., 2006).

Pengembangan lahan gambut yang sesuai peruntukannya umumnya memang berhasil. Reklamasi lahan rawa gambut di Kawasan Karang Agung Sumatera Selatan merupakan contoh yang dapat memberikan gambaran secara lebih variatif. Tetapi ketidak-berhasilan juga ditunjukkan di berbagai lokasi. Pengembangan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah merupakan salah satu contoh ketidakberhasilan reklamasi lahan gambut yang paling spektakuler sepanjang sejarah Indonesia (Maas, 2003). Hasil Riset Gambut yang menjadi pertimbangan dalam kegiatan pilot project ini diantaranya : Fahmi et al (2012) : Jeluk muka air tanah gambut di Desa Kanamit Barat (Pangkoh 9), Pulang Pisau, Kalimantan Tengah berfluktuasi mengikuti curah hujan. Pada saat musim kemarau jeluk muka air tanah bisa mencapai 150 cm di bawah permukaan tanah, dan sebaliknya pada saat musim hujan dapat menggenangi seluruh lapisan tanah. Data rata-rata jeluk muka air tanah menunjukkan bahwa jeluk muka air tanah pada gambut tebal konsisten lebih rendah daripada gambut sedang, oleh karena gambut sedang mempunyai lebih dekat ke sungai daripada gambut dalam. Gambut tebal lebih dekat ke puncak kubah gambut.

Pengeringan gambut menyebabkan penurunan kadar lengas yang lebih cepat pada gambut fibrik daripada gambut hemik dan saprik. Kecepatan penurunan lengas juga bergantung kepada suhu pemanasan. Dengan suhu pemanasan yang lebih tinggi, maka lengas akan lebih cepat turun. Kandungan gugus OH-fenolat dan Karboksilat COOH gambut fibrik lebih tinggi daripada saprik sehingga lebih banyak mengikat air. (Dharmawati et al 2010) : Hidrofobisitas gambut fibrik akan terjadi lebih dahulu daripada gambut saprik, oleh karena lebih banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa yang bersifat hidrofilik. Selulosa dan hemiselulosa akan mudah menjadi hidrofobik jika mengalami pemanasan atau pengeringan. (Masganti et al 2001)

Pemulihan gambut hidrofobik dengan surfaktan dan amelioran, yang dilanjutkan dengan pemupukan P, berpengaruh nyata meningkatkan konsentrasi P dalam trubus dan akar jagung. Surfaktan anionik (S1) nyata meningkatkan konsentrasi P dalam trubus dan akar, dan peningkatan ini diikuti oleh dengan peningkatan serapan total unsur tersebut dalam tanaman. Serapan P tertinggi dicapai pada perlakuan surfaktan anionik ditambah amelioran yang dipupuk P dengan takaran 80 kg.P.ha-1 (Utami et al 2010).

Bertani di lahan gambut memang harus dilakukan secara hati-hati karena menghadapi banyak kendala antara lain kematangan dan ketebalan gambut yang bervariasi, penurunan permukaan gambut, rendahnya daya tumpu, rendahnya kesuburan

(10)

6 tanah, adanya lapisan pirit dan pasir, pH tanah yang sangat masam, kondisi lahan gambut yang jenuh air (tergenang) pada musim hujan dan kekeringan saat kemarau, serta rawan kebakaran.

Pengeloaan air di lahan gambut

Pengelolaan air (water management) atau sering disebut tata air di lahan gambut bertujuan bukan hanya semata-mata untuk menghindari terjadinya banjir/genangan yang berlebihan di musim hujan tetapi juga harus dimaksudkan untuk menghindari kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping untuk memperpanjang musim tanam, juga untuk menghindari bahaya kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Pengelolaan air yang hanya sematamata dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di musim hujan dengan membuatsaluran drainase saja akan menyebabkan kekeringan di musim kemarau. Iniprinsip penting yang harus diterapkan jika akan berhasil bertani di lahan gambut.

Secara lebih rinci, pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan untuk:

a. Mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di musimkemarau; b. Mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya didalam tanah; c. Mensuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman;

d. Mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence) terlalu cepat e. Mencegah pengeringan dan kebakaran gambut serta oksidasi pirit;

f. Memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah.

Dibandingkan dengan tata air di lahan lainnya, tata air di lahan rawa terutamagambut lebih sulit karena hal-hal sebagai berikut:

a. Lahan menghasilkan senyawa-senyawa beracun sehingga saluran irigasi perlu dipisahkan dengan saluran drainase dengan sistem aliran satu arah;

b. Kecenderungan terjadinya banjir lebih besar dibandingkan di lahan keringsehingga tata air harus dapat menjamin tidak terjadinya banjir di musimhujan;

c. Gambut dan lapisan pirit (jika ada) membutuhkan suasana yangsenantiasa lembab. Oleh sebab itu, pada musim kemarau suplai airharus terjaga paling tidak untuk mempertahankan kelembaban gambutdan lapisan pirit;

d. Gambut bersifat sangat porous sehingga laju kehilangan air di saluranmelalui rembesan jauh lebih tinggi dibandingkan di lahan kering yangtanahnya liat. Hal ini menuntut adanya teknik khusus untukmempertahankan keberadaan air.

Pengaturan tinggi muka air tanah gambut

Seperti diuraikan tentang pengelolaan air tanah gambut, penggunaan lahan yang memerlukan drainase dangkal seperti perkebunan karet, sagu, atau sawah dapat mengurangi jumlah emisi dibandingkan dengan sistem yang memerlukan drainase dalam.

(11)

7 Selain itu lahan yang sudah terlanjur didrainase, apalagi lahan gambut yang terlantar, perlu dinaikkan kembali muka air tanahnya, misalnya dengan membuat pintu air sehingga proses dekomposisi aerob dapat dikurangi.

Drainase sebidang lahan gambut tidak hanya berpengaruh pada bidang lahan yang didrainase saja, tetapi juga terhadap lahan dan hutan gambut di sekitarnya. Semakin dalam saluran drainase semakin besar dan luas pula pengaruhnya dalam menurunkan muka air lahan gambut sekitarnya, yang selanjutnya mempercepat emisi GRK. Oleh sebab itu konservasi lahan gambut melalui pendekatan hidrologi harus diterapkan pada seluruh hamparan (kubah) gambut.

Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa daerah, termasuk di Provinsi Riau. Dalam periode 1982-2007 telah dikonversi seluas 1,83 2 juta lahan gambut atau 5% dari total luas hutan gambut di Provinsi Riau seluas 3,2 juta ha. Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat cepat dibanding lahan nongambut (WWF, 2008). Iklim di Kabupaten Pelalawan cukup mendukung pengembangan pertanian, karena curah hujan cukup memadai dan hampir merata sepanjang tahun. Namun pembangunan pertanian di daerah ini menghadapi tantangan yang berat dan beragam, antara lain kondisi lahan marginal yang cukup luas, lahan potensial belum dimanfaatkan secara optimal, aksebilitas terbatas, dan sebaran penduduk belum merata. Sekitar 18,5% lahan gambut di Provinsi Riau berada di Kabupaten Pelalawan seluas 700 ribuan ha atau 54,1% dari luas wilayah kabupaten. Di sebelah utara sungai Kampar sampai ke pantai sebagian besar berupa lahan rawa gambut dalam (> 3 m). Mengubah status lahan gambut dari kondisi alami menjadi lahan pertanian akan mendorong terjadinya emisi karbon (BBSDLP, 2011b). Di sisi lain, perubahan iklim global menuntut perlunya program mitigasi dan pengendalian emisi karbon melalui pengembangan sistem usaha tani yang dapat menyerap karbon (carbon sequestration).

Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) pada tahun 2013 telah melakukan survei dan pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 untuk identifikasi dan inventarisasi karakteristik lahan gambut spesifik lokasi di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau guna mendukung usaha pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di daerah setempat.

Kabupaten Pelalawan terletak di pesisir pantai timur Sumatera, berada antara 1o 25’ Lintang Utara sampai 0o 20’ Lintang Selatan dan antara 100o 42’–103o 28’ Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Bengkalis, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuantan Sengingi, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau. Luas wilayah Kabupaten Pelalawan 1.392.494 ha atau 14,7% dari

(12)

8 luas wilayah Provinsi Riau. Kabupaten Pelalawan terdiri atas 12 kecamatan (Gambar 2), terluas adalah Kecamatan Teluk Meranti yang mencapai 423.984 ha (30, 5%) dan tersempit Kecamatan Pangkalan Kerinci dengan luas 19.355 ha atau hanya 1,4% dari luas Kabupaten Pelalawan (BPS Kabupaten Pelalawan, 2012).

Keadaan Demografi Luas wilayah Kabupaten Pelalawan adalah 13.925 km2 dengan jumlah penduduk 334.899 jiwa, rata-rata 24 jiwa/ km2 (Tabel 2). Kabupaten Pelalawan menaungi 12 kecamatan. Kecamatan Kabupaten Pelalawan adalah Teluk Meranti (4.240 km2) dengan kepadatan penduduk terendah (3 jiwa/ km2). Kepadatan 10 penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Pangkalan Kerinci (ibukota kabupaten), rata-rata 423 jiwa/km2 .

Penggunaan dan Tutupan Lahan Pola penggunaan lahan di daerah ini dipengaruhi oleh kondisi tanah dan ketersediaan air. Kriteria utama yang digunakan dalam klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan vegetasi adalah jenis vegetasi permanen atau komoditas yang umum ditanam. Jenis penggunaan atau tutupan lahan di Kabupaten Pelalawan terdiri atas sawah, ladang, tegalan, pekarangan dan perumahan, kampung padat, kebun (karet, kelapa, sawit, campuran, belukar), dan hutan (hutan rawa, bakau, lebat dan kawasan HTI). Luas lahan pertanian (sawah, ladang, tegalan) 14,2% dari luas wilayah kabupaten, perkebunan (karet, kelapa, sawit, campuran) 24,4% dan perkebunan kelapa sawit paling luas (21,3%), permukiman dan pekaranangan 2,9%, dan hutan (hutan lebat dan hutan rawa) 52,9%. Area belukar dapat dikatagorikan sebagai lahan terlantar, mencakup 59.521 ha atau 4,3%. dari wilayah Kabupaten Pelalawan. Sebagian kawasan belukar dapat diarahkan untuk perluasan pertanian (tanaman semusim dan tahunan) dengan mempertimbangkan potensi lahan. Hutan rawa gambut dalam (> 3 m) berfungsi sebagai kawasan resapan air untuk menjaga keseimbangan hidrologi wilayah guna mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan cadangan air (tandon) pada musim kemarau.

Sifat Dan Sebaran Lahan Gambut

Sifat Umum Secara kimiawi, lahan gambut bereaksi masam dengan pH 3,0-4,5. Gambut dangkal (ketebalan 300 cm) yang mempunyai pH 3.1-3,9. Kandungan basa Ca, Mg, K, dan Na rendah. Kandungan Al umumnya rendah sampai sedang dan semakin rendah pH semakin tinggi Al. Kandungan unsur mikro khususnya Cu dan Boron sangat rendah, sebaliknya kandungan Fe cukup tinggi. Kadar N total termasuk tinggi, tetapi sebagian besar dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kerapatan lindak (BD) rendah (0,05-0,3 g/cm3) sehingga daya dukung atau daya tumpu (bearing capacity) lahan rendah. Falam kondisi terbuka, lahan gambut mudah mengalami kekeringan karena drainase sehingga mudah mengalami penurunan permukaan (subsidensi). Laju penurunan gambut cenderung lebih cepat dan tinggi pada gambut dalam. Ketebalan gambut mempengaruhi kesuburan tanah gambut. Semakin tebal gambut, semakin menurun

(13)

9 kesuburan lahan. Secara umum, gambut topogen yang dangkal dan dipengaruhi oleh air tanah atau masih terkena luapan air sungai atau kebanjiran, umumnya tergolong gambut mesotrofik sampai eutrofik, sehingga mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik daripada gambut ombrogen yang pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan sehingga sebagian besar bersifat oligotrofik.

Tanah gambut menempati cekungan di antara dua sungai besar. Lahan gambut di Kabupaten Pelalawan tertetak di antara Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Batang Kuantan. Bila cekungan di antara dua sungai tersebut sempit, gambut yang terbentuk biasanya dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m atau gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m. Jika jarak horisontal kedua sungai besar tersebut cukup jauh hingga puluhan kilometer, tanah gambut biasanya membentuk kubah (peat dome) yang cukup besar. Penyebarannya ke arah pedalaman mencapai ratusan kilometer dari garis pantai. Pengamatan lapang menunjukan bahwa semakin jauh dari tepi sungai/rawa, semakin tebal endapan bahan organik.

Sebaran Lahan Gambut Lahan gambut di Kabupaten Pelalawan menempati hulu Sungai Kerumutan (Pangkalan Lesung), Langgam, aliran Sungai Kampar, mulai dari Pelalawan sampai ke Teluk Meranti. Kubah gambut (ketebalan > 5 m) berada di sebelah utara Sungai Kampar. Gambut tebal (> 5 m) tersebar di Kecamatan Kuala Tolam, Rangsang, Sungai Ara, Pangkalan Terap, Kuala Panduk, Petodoan, Teluk Binjai, Teluk Meranti, dan Pulau Muda.

Luas lahan gambut di Kabupaten Pelalawan 700.639 ha atau 54,1% dari luas kabupaten Pelalawan, Riau.

Kondisi Umum desa Pelalawan

Kondisi umum wilayah survei penelitian didominasi oleh lahan gambut. Dari hasi pengamatan di lapangan didapatkan kedalaman gambut yang bervariasi antara 0-523 meter. Dimana jarak antara sungai dan lahan sangat menentukan kedalaman gambut. Kondisi penggunaan lahan dan pengolahan juga mempengaruhi kedalaman gambut, karena intensitas pengolahannya yang berkeanjutan mempengaruhi kedalaman gambut.

(14)

10 Gambut dangkal atau bergambut (0-50 cm) banyak ditemukan di daerah pinggir Sungai Kampar dan Sungai Alur Panjang. Lapisan substratum gambut atau lapisan bawah gambut merupakan hasil sedimentasi dari air sungai/clay. Pinggiran Sungai Kampar didominasi oleh penggunaan lahan pemukiman, perkebunan, dan semak belukar. Pemukiman berada paling banyak di daerah pinggir Sungai Kampar, dimana Sungai Kampar merupakan tempat mata pencahariaan penduduk Desa Pelalawan yang rata-rata semua berprofesi sebagai nelayan. Perkebunan berada paling banyak didaerah Pinggiran Sungai Alur Panjang yang didominasi oleh tanaman Kelapa Sawit. Batas Perkebunan masyarakat dengan Lahan HTI RAPP dihitung mulai Sungai Alur Panjang sampai dengan kanal batas yaitu ±500 meter.

Gambar 1. Peta lahan gambut Pelalawan

3. Tujuan:

a.

Memanfaatkan hasil riset dan inovasi untuk dapat dirangkai menjadi pilot project restorasi gambut yang terintegrasi.

b. Pengembangan pembangunan Pilot Project yang bersinergi dengan beberapa pihak untuk mendukung pelaksanaan restorasi gambut oleh BRG.

(15)

11

III.

BAHAN DAN METODE

Dilaksanakan pada Desa Pelalawan, Kecamatan Pelalawan, Kab Palalawan yang mempunyai kawasan APL seluas 4000 ha. Lahan gambut ini kering di musim kemarau, dan tergenang saat musim hujan. Hasil monitoring dengan alat yang dipasang menunjukkan bulan kering hanya pada bulan Juli dan selama 10 hari saja, selebihnya adalah Hujan, sehingga masalah di lokasi adalah pencegahan dan penangulangan banjir.

Gambar 2. Peta lokasi Pilot Project yang dibuat Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Tanah UGM yang melakukan penelitian tahun 2017.

Kegiatan pengembangan Pilot Project gambut terintegrasi dalam wilayah APL ini akan di fokuskan pada:

1. Kegiatan Rewetting gambut.

Rewetting gambut perlu dilakukan untuk menghambat perombakan gambut dan mencegah kebakaran gambut. Agar rewetting gambut berjalan dengan baik maka diperlukan pengaturan muka air tanah pada pada wilayah gambut tersebut. Pada daerah penelitian pengeringan lahan gambut terjadi pada saat musim kemarau tetapi hanya pada bulan Juli (hasil analisis data 2017), sedangkan pada saat musim hujan menjadi banjir.

(16)

12 Karena pelaksanaan riset dimulai pada bulan Agustus maka hujan sudah mulai turun sehingga tidak perlu dilakukan rewetting mengingat kondisi gambut masih basah.

2. Kegiatan Revegetasi Gambut dengan melakukan pengembangan kegiatan

model pilot project dengan target lokasi terdahulu pada monev

keberlanjutan dan masyarakat asli dan petani transmigran desa tersebut

(dalam satu KHG)

Kegiatan revegetasi dengan mengintroduksi tanaman-tanaman yang dicoba adaptasikan dengan kondisi lingkungan yang selalu ada air : Padi sawah dengan varietas khusus berdasarkan pemenuhan kebutuhan antara kondisi fisik lapangan dan kebutuhan tanaman.

Pemerintah Kalurahan menyediakan lahan tidur seluas 3 hektar untuk dibuka dan dimanfaatkan menjadi lahan budidaya pertanian di lokasi terdahulu yang belum dibuka. Hal ini kemudian membuat proses budidaya menjadi lebih lama karena harus elakukan land clearing, penataan lahan dan pembuatan saluran drainase. Untuk kegiatna tersbeut dibutuhkan waktu lebih dari satu bulan karena menunggu antria alat berat. Sudah dilakukan upaya permohonan bantuan alat ke Perusahaan RAPP tetapi tidak dipenuhi meskipun sudah dengan bantuan Lurah Pelalawan.

3.

Revitalisasi mata pencaharian masyarakat dengan integrated farming

tanaman

pangan – ternak – ikan

Perlu dilakukan revitalisasi mata pencaharian masyarakat pada lingkungan gambut, dengan cara penguatan integrated farming, yaitu keterpaduan antara bercocok tanam tanaman pangan baik dengan pola tumpang sari, pola surjan dan agroforestry yang dipadukan dengan usaha ternak dan ikan. Kegiatan integrated farming ini menggunakan metode demplot pada satuan lahan tertentu dan melibatkan partisipasi masyarakat sehingga dapat memberikan keuntungan secara ekonomis secara berlipat dan dapat menjaga gambut tidak terbakar. Dengan tingkat kandungan organik sangat tinggi, keasaman tinggi, miskin mineral dan kejenuhan basa yang rendah, lahan gambut berpotensi sebagai lahan pertanian di Indonesia dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai komoditi. Pada umumnya petani lahan gambut mengusahakan usahataninya telah menerapkan sistim usahatani terpadu antara tanaman hortikultura (sayuran) dan ternak meskipun masih secara tradisional sehingga sinergisme antara kedua komponen usahatani tersebut belum maksimal.

Rerata luas garapan petani di kabupaten Pelalawan hasil survey Tim Fakultas Pertanian UGM (2017) adalah sbb:

(17)

13 Musim Rerata Luas Garapan (Ha)

Sawah Tegalan Pekarangan Total MT I 0.32 2.36 0.01 2.69 MT II - 2.36 0.01 2.37 MT III - 2.36 0.01 2.37

Rerata dalam satu tahun hanya menanam padi sawah sekali pada MT 1, dengan rerata luasan lahan sawah hanya 0,32 ha/orang. Oleh karena itu, perlu dilanjutkan pola gambut terintegrasi dengan tanaman padi sawah, ternak dan ikan dan sayuran di galengan.

Untuk Pilot Project lanjutan ini dilaksanakan pada musim kemarau dengan membuat bloking kanal-kanal dengan menanam padi dan jagung plus sayuran, diintergrasikan dengan ternak ayam kampong yang sudah ada dan kambing. Setelah tahun lalu sukses dengan ayam kampong maka untuk pilot project lanjutan dikembangan kambing.

Peternakan Kambing di Lahan Gambut: Pendekatan Integrasi Hamparan

Dengan tingkat kandungan organik sangat tinggi, keasaman tinggi, miskin mineral dan kejenuhan basa yang rendah, lahan gambut berpotensi sebagai lahan pertanian di Indonesia dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai komoditi. Pemanfaatan tersebut juga dapat dilakukan secara terintegrasi dengan usahatani berbagai macam komoditas dalam satu hamparan. Usahatani lain yang tidak kalah penting dilakukan petani di lahan gambut adalah beternak. Beternak di lahan gambut ini mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan petani. Selain itu, lahan rawa gambut tersebut akan memberi peluang usaha bagi petani setempat untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan.

Jenis ternak yang diintervensikan dalam pola integrasi di lahan gambut ini adalah kambing. Pada awal perencanaan, ternak yang akan dikelola adalah itik. Namun pada proses berjalan, pihak kelompok secara partisipatif menginginkan adanya perubahan komoditas menjadi kambing. Perubahan ini ddasarkan atas dasar kemanfaatan bagi petani. Selanjutnya, tim peneliti menyerahkan 15 ekor kambing yang kemudian dipelihara oleh kelompok. Tahap selanjutnya adalah pembangunan kandang. Selama ini kambing masih dipelihara di sekitar rumah petani. Hal ini disebabkan karena lahan hamparan sedang dipersiapkan untuk tanaman jagung. Pemeliharaan sementara di lokasi permukiman untuk menjaga agar kambing tidak memakan tanaman yang sedang tumbuh.

Pilot project pemeliharaan kambing ini selanjutnya akan masuk tahapan monitoring dan evaluasi. Secara umum monitoring digunakan untuk mengetahuI sejauh mana ternak dipelihara dengan baik serta ketersediaan pakan di sekitar lahan hamparan. Di akhir kegiatan akan dilakukan evaluasi untuk mengetahui kemanfaatan kambing bagi petani.

(18)

14 Selain itu, evaluasi dalam konteks mengkaji kesesuain dengan komoditas lain dan model integrasi hamparan tersebut akan dilakukan untuk mendapatkan feedback dari proses action research ini.

Hasil Penelitian Pilot Project gambut terintegrasi tahun 2017 telah dapat dibuat pola tanam sbb :

Hasil pengamatan hidrologi dan klimatologi tahun 2017 digunakan untuk membuat pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi data terolah.

Teknologi budidaya tanaman pangan (khususnya padi) di lahan gambut mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani sebesar 75 – 100%. Akan tetapi usahatani padi di lahan gambut memerlukan teknik budidaya tersendiri, karena keadaan tanah dan lingkungan yang tidak serupa dengan lahan sawah irigasi. Rendahnya produksi padi lahan gambut dapat dipengarungi oleh pengelolaan air yang kurang baik, sehingga keadaan biofisik seperti pH rendah, tingginya konsentrasi asam –asam organik, AL, dan Fe yang dapat meracuni tanaman padi.

Ketidaktepatan dalam pengelolaan air ini mengakibatkan dampak negatif tidak hanya pada aspek budidaya tetapi juga ekosistem dan lingkungan gambut seperti kekeringan pada elevasi yang tinggi, kebanjiran (water logged) pada elevasi rendah, kebakaran lahan dan hutan, subsidensi, oksidasi lapisan pirit, dan tingginya emisi karbon. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode yang integrasi dalam melakukan perbaikan tata kelola lahan dan air sehingga peningkatan produktifitas padi di lahan gambut dapat dicapai. Adapun gambaran umum tentang konsep dan metode yang akan dikembangkan dalam penelitian ini seperti disajikan pada Gambar3.

(19)

15 Gambar 3. Gambaran umum konsep model pilot project gambut terintegrasi

(20)

16 Gambar 5. Neraca Air dan Jadwal Tanam

(21)

17

IV. HASIL KEGIATAN

A. Koordinasi dengan Pemerintah Kalurahan, Penyuluh, Kelompok Tani

Tim Riset telah beberapa kali datang ke lokasi dan menempatkan 4 mahasiswa S1 dan S2 untuk tinggal selama kurang lebih 5 bulan. Kunjungan pertama adalah koordinasi dengan Lurah Pelalawan dan PPL, dilanjutkan dengan Kelompok Tani. Hasil kesepakatan dengan Bapak Lurah, Tim Riset Fakutas Pertanian UGM diberi keleluasaan untuk menggunakan lahan idle (belumdibuka) seluas kurang lebih 3 (tiga) hektar untuk dijadikan Pilot Project. Lahan tersebut harus dibuka dulu karena masih berupa semak belukar.

B. Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perikanan

Kunjungan kedua Pelatihan pembuatan pupuk hayati dan penyuluhan pertanian. Antusias Kelompok Tani untuk hadir dan mengikuti kegiatan sangat tinggi. Setelah lima hari pupuk hayati yang telah dibuat sudah jadi dan diaplikasikan ke lahan petani. Lebih kurang 70 orang hadir dalam kegiatan tersebut meliputi 2 kelompok tani yaitu Berkat Usaha dan Berkat Makmur, perangkat kecamatan, kelurahan, penyuluh pertanian dll. Dalam perkembanngan selanjutnya petani sangat merasakan manfaat pupuk hayati tersebut. Dalam kesempatan tersebut juga disepakati bahwa untuk ternak yang akan dikembangkan adalah kambing mengingat ketersediaan pakan yang melimpah.

C. Persiapan Budidaya Tanaman

Berdasarkan analisis cuaca di pelalawan telah dibuat jadwal tanam berdasarkan neraca klimatik. Bulan Juli sd November disarankan menanam Jagung dan kedelai selain padi di lahan yang selalu cukup air. Untuk Pilot Project lanjutan ini Pemerintah Desa menyediakan hampir 3 hektar lahan tidur untuk digunakan. Tim Riset memulai dengan Land clearing dengan alat berat, dilanjutkan preparasi lahan dengan traktor dan penananam.

(22)

18 Pelatihan pembuatan pupuk hayati dipimpin Dr Tri Harjaka, selanjutnya penyuluhan pertanian peternakan dan perikanan berupa tanya jawab dikawal Ketua Tim Dr Sri Nuryani HU dengan anggota yang hadir pada saat itu Dr Benito Heru P, Dr Ahmad Romadloni.

(23)

19

Pelatihan pembuatan pupuk hayati dan penyuluhan pertanian

(24)

20

Land clearing

(25)

21 Ternak kambing yang diintegrasikan ke lahan pertanian, sekalligus untuk pupuk dan memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan

(26)

22 Land clearing mengalami kelambatan (pemunduran jadwal) karena menunggu bantuan dari pihak RAPP. Atas saran Bapak Lurah, Tim bersama Kelurahan mengajukan surat permohonan bantuan alat berat dan traktor untuk lnad clearing dan preparasi lahan, tetapi ditunggu samai 1 bulan tidak kunjng mendapat respon, karena itu kemudian land clearing dan preparasi lahan dibiayai sendiri dengan dana BRG. Akibat pemunduran jadwal, ketika bulan Oktober akhir terjadi hujan leat, air pasang dan terjadi banjir maka tanaman kebanjiran.

Kunjungan Tim Peneliti bersama Peneliti BPTP Riau ke lokasi Pilot Project Gambut Terintegrasi (atas), dan bawah kambing yang dibiarkan bebas makan di lahan yang baru panen.

Kondisi Iklim di Riau

Kondisi iklim di Riau diperoleh dari data klimatologi; curah hujan dan suhu dari stasiun cuaca Simpangtiga Pekanbaru dari bulan Januari 2014 sampai bulan Oktober 2018.

(27)

23 Gambar 7. Data klimatik dari tahun 2014-2018

Gambar 7 menampilkan data klimatik bulanan yang diperoleh dari stasiun Pekanbaru/Simpangtiga dari bulan Januari 2014 sampai Oktober 2018. Data klimatik meliputi data hujan dan data suhu yang terdiri dari suhu minimum, suhu maksimum dan suhu rata-rata. Dari grafik terlihat bahwa setiap bulan terjadi hujan walaupun berfluktuatif, dari intensitas rendah sampai tinggi. Dari Januari 2014, intensitas hujan berfluktuatif diantara 100 - 500 mm/bulan, dengan intensitas tertinggi terjadi pada bulan November tahun 2016. Pada bulan-bulan dimusim kemarau antara April-September juga terjadi hujan dengan intensitas rendah sampai tinggi, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara musim hujan dan musim kemarau. Sedangkan data suhu menunjukkan bahwa suhu rata-rata

(28)

24 fluktuatif antara 24 – 30 0C, sedangkan suhu minimum 210C yang terjadi pada bulan Februari 2017, dan suhu maksimum 340C yang terjadi pada bulan Mei 2017.

D. Pengembangan sistem monitoring lingkungan biofisik (cuaca-tanah)

Untuk melakukan optimalisasi kondisi lahan dan air, data parameter lingkungan biofisik (cuaca-tanah) diperoleh melalui pengembangan sistem monitoring. Adapun skema sistem monitoring yang akan dikembangkan sesuai dengan Gambar 8.

Gambar 8. Skema sistem monitoring

Parameter lingkungan biofisik diukur dengan menggunakan sensor telah biasa digunakan untuk pengembangan sistem monitoring sebelumnya yang berasal dari Decagon Devices. Parameter iklim yang diukur dan dimonitor terdiri dari presipitasi (sensor rain gauge), radiasi matahari (sensor pyranometer), suhu dan kelembaban (sensor T&RH), yang digunakan untuk menentukan besarnya evapotranspirasi. Sedangkan parameter lingkungan tanah menggunakan sensor kelembaban tanah, suhu tanah, daya hantar listrik tanah (5-TE). Seluruh data yang terukur akan tersimpan didalam EM50 data logger yang kemudian akan didownload sesuai dengan kebutuhan kita. Data-data tersebut diukur dengan interval pengukuran 30 menit. Dengan sistem ini, data kondisi lingkungan biofisik dilapang dapat dimonitor secara kontinyu setiap harinya.

Berikut adalah gambar sistem monitoringnya, beserta sensor-sensornya (Gambar 10):

(29)

25 Gambar 9. Sensor Klimatik

Gambar 9 adalah sensor-sensor klimatik yang ada di sistem monitoring dilapangan, yaitu:

a.

Hujan atau disebut presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer baik dalam keadaan

cair maupun beku ke permukaan bumi. Alat ukur yang digunakan

adalah

Penakar Hujan (Rain gauge) dengan unit satuan mm (Gambar 10).

Gambar 10. Rain-gauge

b. Temperature/humidity sensor (Gambar 11): Suhu udara merupakan keadaan panas udara yang di sebabkan oleh panas matahari. Alat ukurnya adalah thermometer dengan unit satuan adalah oC. Kelembaban udara merupakan jumlah kandungan uap air yang ada dalam udara. Kandungan uap air di udara berubah-ubah bergantung apda suhu udara dan tekanan udara. Alat ukur yang digunakan adalah Higrometer dengan unit satuan %

Gambar 11. Suhu dan Kelembaban Sensor

c. Solar radiation sensor (Gambar 12): Radiasi matahari merupakan sumber energi terbesar dan mampu untuk merubah air di permukaan maupun didalam biomassa menguap. Alat ukur yang digunakan adalah Pyranometer dengan unit satuan W/m2 (untuk pengukuran interval menit/jam), atau MJ/m2/hari (untuk pengukuran interval harian

(30)

26 Gambar 12. Solar Radiation Sensor

d. EM50 Data Logger (Gambar 13): tempat untuk menyimpan data dari masing-masing sensor yang terpasang.

Gambar 13. Em50 Data Logger Penyajian data

Pengambilan data dari masing-masing yang tersimpan di data logger dilakukan secara manual, dan pengambilan dilakukan setiap tiga hari sekali. Data yang tersimpan dalam data logger disetting dengan interval pengambilan data setiap 30 menit sekali. Berikut ini adalah metode pengambilan data dan data yang tersaji dalam bentuk data harian.

Pengambilan data

1. Menggunakan software ECH2O utility

Pengambilan data dari data logger menggunakan software ECH2O utility yang didownload secara gratis dari website www.decagon.com (Gambar 15)

(31)

27 2. Download Data

Setelah data terdownload dan dalam format csv dengan interval 30 menit untuk masing, masing sensor, kemudian dilakukan pengelompokan data dari interval 30 menit menjadi data harian, dan data tersebut tersaji dalam Gambar 8-10 berikut ini:

Gambar 15. Solar radiation data

(32)

28 Gambar 17. Data suhu dan kelembaban

Field Monitoring System yang dipasang di lahan

E. Perhitungan Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Dalam penelitian ini juga dilakukan penghitungan emisi gas rumah kaca. Emisi GRK khususnya pada lahan padi sawah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Perlakuan pemberian air yang beragam pada lahan sawah telah mempengaruhi perubahan dinamis parameter biofisik tanah seperti kelembaban tanah dan suhu tanah yang akan berimbas pada peningkatan/penurunan aktifitas mikroorganisme tanah. Aktifitas mikroorganisme ini sangat mempengaruhi emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer. Hubungan antara emisi

(33)

29 GRK dan parameter lingkungan yang mempengaruhinya sangat kompleks. Oleh sebab itu, model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) lebih cocok digunakan untuk memodelkan sistem yang komplek seperti pada bidang pertanian daripada model matematika (Hashimoto, 1997). Model JST memiliki kemampuan untuk mengenali dan mempelajari hubungan input dan output dari sistem tanpa memperhatikan kondisi fisiknya secara eksplisit (Basheer dan Harmeer, 2000).

Adapun bentuk model yang dikembangkan seperti terlihat pada Gambar XX. Model JST yang dikembangkan terdiri dari 3 layar, yaitu layar masukan (input layer), tersembunyi (hidden layer) dan keluaran (output layer). Untuk layar masukan terdiri dari 3 noda untuk parameter lingkungan biofisik yang terdiri dari kelembaban tanah (soil moisture), suhu tanah (soil temperature), daya hantar listrik tanah (soil EC), redok potensial tanah (soil Eh) dan pH tanah (soil pH), sedangkan gas CH4 dan N2O dijadikan keluaran dari masing-masing model tersebut. Masing-masing layar tersebut terhubung dengan nilai pembobot (weights) yang merupakan penghubung antara layar masukan dan keluaran. Pembobot inilah yang dicari dari model JST dalam memprediksi emisi GRK yang terjadi. Untuk mendapatkan pombobot tersebut digunakan pembelajaran model algoritma Back Propagation. Algoritma ini terdiri dari dua fase, yaitu perhitungan maju dan mundur (forward and backward propagation) dan update pembobot.

(34)

30 Tabel 2. Hasil perhitungan dilahan Pelalawan

Tabel 2 merupakan hasil N2O dan CH4 yang diperoleh dari perhitungan menggunakan jaringan syaraf tiruan dari sensor cuaca dan tanah yang dipasang di demplot pelalawan. Nilai N2O dan CH4 terbesar terjadi pada 35 hari setelah tanam. Hal ini mungkin disebabkan pada periode tersebut terjadi banjir atau genangan di lahan.

REKOMENDASI BIDANG PENGELOLAAN AIR: 1. Identifikasi waktu pasang dan surut sungai 2. Prediksi curah hujan di wilayah Pelalawan

3. Pembuatan neraca air klimatik di wilayah Pelalawan

4. Pembuatan lubang-lubang (bak) penampung air disekitar lahan sebagai media penampung air dari lahan

5. Pembuatan saluran dari ke kanal.

F. Peternakan Kambing di Lahan Gambut: Pendekatan Integrasi Hamparan

Dengan tingkat kandungan organik sangat tinggi, keasaman tinggi, miskin mineral dan kejenuhan basa yang rendah, lahan gambut berpotensi sebagai lahan pertanian di Indonesia dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai komoditi. Pemanfaatan tersebut juga dapat dilakukan secara terintegrasi dengan usahatani berbagai macam komoditas dalam satu hamparan. Usahatani lain yang tidak kalah penting dilakukan petani di lahan gambut adalah beternak. Beternak di lahan gambut ini mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan petani. Selain itu, lahan rawa gambut tersebut akan memberi peluang usaha bagi petani setempat untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan.

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 -35.60 18.02 -26.03 -765.85 19.73 16.86 447.56 -2.81 -151.96 876.64 20.55 HST CH4 (mg/m2/hari) 783.74 180.24 0 -2.33 7 3.43 14 0.58 21 4.25 28 2.02 35 13.37 42 1.83 49 3.45 56 3.67 63 5.46 70 8.23 77 -0.20 84 1.52 HST N2O (mg/m2/hari)

(35)

31 Jenis ternak yang diintervensikan dalam pola integrasi di lahan gambut ini adalah kambing. Pada awal perencanaan, ternak yang akan dikelola adalah itik. Namun pada proses berjalan, pihak kelompok secara partisipatif menginginkan adanya perubahan komoditas menjadi kambing. Perubahan ini ddasarkan atas dasar kemanfaatan bagi petani. Selanjutnya, tim peneliti menyerahkan 15 ekor kambing yang kemudian dipelihara oleh kelompok. Tahap selanjutnya adalah pembangunan kandang. Selama ini kambing masih dipelihara di sekitar rumah petani. Hal ini disebabkan karena lahan hamparan sedang dipersiapkan untuk tanaman jagung. Pemeliharaan sementara di lokasi permukiman untuk menjaga agar kambing tidak memakan tanaman yang sedang tumbuh.

Pilot project pemeliharaan kambing ini selanjutnya akan masuk tahapan monitoring dan evaluasi. Secara umum monitoring digunakan untuk mengetahu sejauh mana ternak dipelihara dengan baik serta ketersediaan pakan di sekitar lahan hamparan. Di akhir kegiatan akan dilakukan evaluasi untuk mengetahui kemanfaatan kambing bagi petani. Selain itu, evaluasi dalam konteks mengkaji kesesuain dengan komoditas lain dan model integrasi hamparan tersebut akan dilakukan untuk mendapatkan feedback dari proses action research ini.

1. Pemilihan ternak yang ingin di kembangkan dan lokasi kandang

Banyak hewan ternak yang sangat potensial untuk di kembangkan di daerah Pelalawan ini, seperti yang saya temui di daerah ini yaitu Sapi, Kambing, Kerbau dan Ayam. Karena sebagai percontohan untuk petani agar daerah riset ini menjadi Integrated Farm maka kali ini kami mencoba memilih untuk mengembangkan ternak kambing. Setelah dilakukan diskusi dengan kelompok tani pengolah lahan, akhirnya kami memutuskan untuk lebih mengembangkan ternak kambing.

Saat survei lokasi kita merencanakan membuat kandang di dekat lahan pertanian agar kotoran kambing dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Namun dengan pertimbangan bahwa masa tanam sedang dimulai dan keamanan ternak maka kita menyepakati sementara kambing dipelihara di lahan dekat permukiman. Lokasi yang dipilih adalah lahan miliki ketua kelompok.

3. Latar belakang pemilihan ternak Kambing Kampung

Prospek pemilihan kambing untuk diintegrasaikan dengan pertanian adalah bahwa kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk. Selain itu, limbah pertanian juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selanjutnya, ternak kambing juga memiliki potensi sebagai berikut:

• Harga relatif tinggi

Harga kambing cukup stabil di area penelitian sekitar 1 juta hingga 1,5 juta per ekor. Selain itu, daging kambing juga diminati untuk konsumsi sehari hari bagi masyarakat.

(36)

32 • Pemeliharaan mudah

Pemeliharaan yang mudah juga menjadi alasan pemilihan ternak kambing asli. Kambing dipelihara di tempat penelitian tidak menggunakan banyak vaksin maupun obat-obatan seperti pada pemeliharaan komoditas lain yang justru akan menambah biaya pemeliharaan. Kita sudah sering menjumpai di daerah sekitar banyak yang memelihara kambing. Namun, persoalannya kini ialah bagaimana menjadikan ternak kambing kampung lebih intensif dan optimal.

• Potensi pasar masih bagus

Banyak konsumen memilih konsumsi daging sebagai salah satu cara pemenuhan protein hewani. Permintaan akan kambing masih cukup besar tutama untuk pasar pangan olahan dari daging kambing. Oleh karena itu, banyak rumah makan atau konsumen dari pedagang kuliner menjadi pasar potensial dari daging kambing.

Harga kambing per ekor pada saat penelitian mencapai Rp. 1.000.000,-. Dengan masa pemeliharaan hingga 4 bulan, kambing dapat dijual dengan harga Rp. 1.500.000,-. Dengan menghitung biaya tetap dan biaya variabel maka petani, asumsi all in all out, petani berpotensi mendapatkan keuntungan hingga mencapai Rp. 930.000,-/bulan atau Rp. 240.000,-/ekor/4 bulan dengan skala usaha 15 ekor. Hal ini dapat menjadi salah satu tambahan diversifikasi sumber-sumber pendapatan selain dari komoditas pertanian

G.

Potensi Budidaya di Lahan Gambut

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian selalu menimbulkan kontroversi. Menurut Notohadiprawira (2001) kontroversi tersebut karena sistem pembukaan dan pengelolaan yang bertentangan dengan sifat hakiki gambut. Pada satu sisi lahan gambut perlu didrainase, di sisi lain gambut mempunyai sifat sebagai tandon (penampung) air. Menurut Sabiham (2010) pemerintah Belanda sejak awal memandang lahan gambut tidak sesuai untuk pertanian, tetapi hasil kajian pakar Amerika di Florida menyatakan bahwa lahan gambut apabila dikelola dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang benar dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Perbedaan pendapat antara pro dan kontra tentang pemanfaatan lahan gambut ini ada kalanya menimbulkan distorsi antara berbagai pihak.

Lahan gambut berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian yang produktif. Komoditas yang dapat dikembangkan antara lain tanaman pangan seperti: padi, palawija; tanaman hortikultura seperti jeruk, lidah buaya, dan berbagai sayuran; dan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, kopi, dan kelapa sawit. Pengembangan lahan gambut harus memperhatikan aspek biofisik lahan, sosial ekonomi dan lingkungan. Keterpaduan antara ketiga aspek tersebut diharapkan dapat berdampak terhadap

(37)

33 keberlanjutan sistem pertanian di lahan gambut (Maftu’ah et.al., 2013). Berdasarkan ketentuan dan kesesuaian lahan, maka tidak semua lahan gambut di Indonesia dapat dikembangkan atau dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan karena adanya berbagai permasalahan, antara lain: (1) ketebalan gambut (> 3 m), (2) tingkat kesuburan rendah, (3) tingkat kemasaman tinggi, (4) substratum tanah (di bawah gambut) dapat berupa pasir kuarsa dan lapisan pirit, (5) daya dukung lahan rendah, dan (6) penurunan permukaan gambut (subsidence) sesudah direklamasi.

Luas lahan gambut di Provinsi Riau mencapai 3,9 juta hektar atau sekitar 26% luas lahan gambut di Indonesia (14,9 juta hektar) (Wahyunto et al., 2005). Dalam keadaan alami (belum diganggu), tanah gambut mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO2 secara perlahan, sehingga emisi gas CO2 relatif seimbang dengan penyerapan CO2 oleh vegetasi alami, bahkan dapat berfungsi sebagai net stock (Agus et al., 2009). Kendala utama budidaya tanaman di lahan gambut adalah tingkat kemasaman tanah yang tinggi apabila dikaitkan dengan asam-asam organik beracun, rendahnya ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman yang diusahakan, permasalahan kebakaran lahan gambut, dan pengaturan tata air (Agus et al., 2008). Mengatasi masalah kandungan asam-asam organik yang beracun di lahan gambut biasanya dilakukan drainase dan penambahan bahan amelioran. Bahan amelioran (zat pembenah tanah) adalah bahan yang mampu memperbaiki atau membenahi kondisi fisik dan kesuburan tanah. Contoh bahan amelioran yang sering digunakan adalah kapur, tanah mineral, pupuk kandang, kompos, dan abu (Subiksa, 2011).

Menurut Yuliani (2014), teknologi pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dibutuhkan lima strategi khusus yaitu penyiapan lahan, pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan, pemilihan komoditas, dan pengaturan pola tanam. Penyiapan lahan bertujuan untuk menciptakan kondisi tanah menjadi baik, gembur dapat ditanamidengan mudah, lahan bersih dari gulma, dan aerasi tanah baik sehingga perakaran tanaman menjadi baik. Penyiapan lahan dengan olah tanah intensif diduga dapat mendorong terjadinya kering tak balik pada gambut, terutama jika dilakukan pada musim kemarau (Simatupang, et al., 2013). Menurut Chairunnas et al., (2001) penyiapan lahan di gambut dapat dilakukan dengan cara meenebas rumput-rumput/belukar yang dilakukan dengan parang, hasil tebasan dikumpulkan di suatu tempat kemudian dibakar dan membuat saluran di dalam petakan dengan lebar 30 cm kedalaman 20 cm dan jarak antar saluran berkisar 6-10 cm dan saluran keliling. Aktifias pembukaan dan pembersihan lahan (land clearing) dan pembuatan saluran (kanalisasi) menyebabkan terjadinya perubahan tata air (hidrologi). Las et al. (2008) menyebutkan bahwa kondisi ini berpengaruh pada terjadinya perubahan tingkat kesuburan lahan, penurunan muka tanah (subsidensi) dan kering tidak balik (irreversibel drying). Pengelolaan air pada lahan gambut pada prinsipnya untuk mengatur kelebihan air sesuai

(38)

34 dengan kebutuhan tanaman yang dibudidayakan. Salah satu sistem yang diterapkan untuk pengelolaan air di lahan gambut adalah sistem drainase terkendali (Yuliani, 2014). Ameliorasi adalah tindakan penambahan bahan tertentu untuk mengubah kondisi tanah melalui perubahan lingkungan biotik, kimia dan fisika tanah yang fungsi utamanya meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah dan menurunkan emisi GRK (Masganti, 2013). Sedangkan bahan amelioran adalah bahan yang mampu memperbaiki atau membenahi kondisi fisik dan kesuburan tanah. Berbagai masukan disarankan adalah penambahan tanah mineral, kapur, pupuk kimia, pupuk kandang, dan sisa abu pembakaran (Lestari, et al., 2012). Pemberian amelioran dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah bagi tanaman baik itu berupa pupuk anorganik maupun organik (Noor, M., 2010). Pemupukan merupakan pemberian hara ke dalam tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Menurut Agus F. dan Subiksa (2008) pemupukan sangat dibutuhkan karena hara gambut sangat rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah pupuk lengkap terutama pupuk yang mengandung N, P, K, Ca, Mg dan unsurr mikro Cu, Zn, dan B. Pemupukan harus dilakukan secara bertahap dengan takaran rendah karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut rendah sehingga pupuk mudah tercuci (Subiksa, et al., 2011). Pemilihan Komoditas dapat mempengaruhi keberhasilan budidaya tanaman pertanian di lahan gambut. Komoditas tanaman yang ditanam di lahan gambut sebaiknya yang adaptif untuk mengurang input sarana produksi yang dibutuhkan sehingga terjadi efisiensi biaya. Komoditas hortikultura (sayuran dan buah-buahan) memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari tanaman pangan, tetapi memerlukan teknik budidaya yang lebih rumit (Yuliani, 2014). Beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan petani agar pertanian hortikultura mereka menguntungkan adalah: (1) pemilihan tanaman atas dasar permintaan pasar; (2)tersedia input bagi usaha tani; (3) pembuatan abubakar dilakukan secara terkendali; (4) mudah mendapatkan pukan ayam dan (5) menghemat keberadaan gambut dengan memperlambat dekomposisi gambut melalui pengendalian tinggi muka air tanah (Sagiman, 2007). Pada prinsipnya pengaturan pola tanam di lahan gambut bertujuan mengurangi lamanya waktu tanah dalam keadaan terbuka yang memicu terjadinya emisi. Relay planting adalah salah satu contoh penerapan pola tanam yang memungkinkan tanah gambut tidak terbuka saat penggantian tanaman berikutnya. Pengaturan pola tanam dan pola usahatani merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan memperpendek masa bera. Pola usahatani yang diterapkan petani dapat berupa monokultur seperti padi – bera, padi + palawija/sayuran, sayuran+palawija, sayur-sayuran, sangat tergantung pada tipologi lahan (Yuliani, 2014).

Pilot Projest Model Restorasi Gambut Terintergrasi (Lanjutan) ini untuk revegetasi menanam tanaman pangan Jagung dan kedelai.

(39)

35 A. KEDELAI

Penanaman benih kedelai dilakukan dengan cara ditugal dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm. Setiap lubang tanam berisi 2 benih kedelai. Penanaman dilakukan menggunakan rancangan penelitian RAKL (Rancangan Acak Lengkap) dengan perlakuan pemberian mikoriza dan kombinasi dosis pupuk berbeda yang diulang menjadi tiga ulangan.

Tabel 3. Dosis dan Perlakuan yang Diaplikasikan pada Kedelai (Glycine max)

Perlakuan Notasi Dosis yang diaplikasikan

Pupuk NPK

N1 Tanpa Pupuk

N2 150 kg NPK

N3 300 kg NPK

Mikoriza M1 Tanpa mikoriza

M2 Dengan Mikoriza

B. JAGUNG

Penanaman benih jagung dilakukan dengan cara ditugal dengan jarak tanam 70 cm x 40 cm. Setiap lubang tanam berisi 2 benih jagung. Penanaman dilakukan menggunakan rancangan penelitian RAKL (Rancangan Acak Lengkap) dengan perlakuan pemberian mikoriza dan kombinasi dosis pupuk berbeda yang diulang menjadi tiga ulangan.

Tabel 4. Dosis dan Perlakuan yang Diaplikasikan pada jagung (Zea mays)

Perlakuan Notasi Dosis yang diaplikasikan

Pupuk NPK

N1 Tanpa Pupuk

N2 150 kg NPK

N3 300 kg NPK

Mikoriza M1 Tanpa mikoriza

M2 Dengan Mikoriza M1 N3 M1 N2 M2 N2 M2 N1 M2 N3 M2 N2 M2 N1 M1 N1 M1 N3 M1 N2 M1 N1 M2 N3 M1 N3 M2 N1 M1 N2 M2 N3 M1 N1 M2 N2

(40)

36 Tabel 5. Plot Penelitian

Keterangan : Varietas = V1 : Bisi V2 : Pertiwi

Mikoriza = M1 : tanpa Mikoriza M2 : Dengan Mikoriza

Pupuk = N1 : tanpa pupuk N2 : NPK 150 kg N3 : NPK 300 kg

V2M2N3 V2M2N1 V2M2N2 V2M1N2 V2M1N3 V2M1N1 V2M1N3 V2M1N2 `V1M1N2 V1M1N3 V1M1N1 V1M2N1 V1M2N2 V1M2N3 V1M2N1 V1M2N3 V1M2N2 V2M2 N1 V2M2 N2 V2M2 N3 V2M2 N1 V2M2 N3 V2M2 N2 V2M1 N2 V2M1 N1 V2M1 N3 V2M1 N1 V1M1 N2 V1M1 N3 V1M1 N1 V1M1 N3 V1M1 N2 V1M1 N1 V1M2 N1 V1M2 N3 V1M2 N2

(41)

37 Panen Biomasa Kedelai 30 HST

Pertumbuhan tanaman kedelai dan jagung sangat baik sampai vegetative maksimum, tetapi kemudian terlanda banjir besar.

(42)

38 Pertumbuhan jagung varietas Pertiwi

0 20 40 60 80 100 ti n gg i t an ama n jag u n g p er ti w i

minggu setelah tanam

M2N2 (3)

(43)

39 Pertumbunan jagung varietas Pioneer

Revegetasi selain tanaman pangan (padi, jagung, kedelai), juga tanaman tebu, pisang, sayuran, nanas dll di pinggir lahan.

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 ti n gg i t an ama n jag u n g p io n er

minggu setelah tanam

M2N2 (1)

(44)

40

Tinggi tanaman kedelai

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00

Tinggi Tanaman

2MST 3MST 4MST 5MST 6MST 7MST 8MST 9MST 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

Berat Segar Tajuk

(45)

41 Pertumbuhan tanaman jagung dan kedelai yang diberi mikorisa menunjukkan hasil lebih baik daripada yang tidak diberi mikorisa (tinggi tanaman dan berat segar tanaman), demikian juga jumlah polong kedelai sampai umur 60 HST.

H. Kajian Sosial Ekonomi dan usahatani pada lahan gambut di Pelalawan 1. Keadaan Wilayah KecamatanPelalawan

Keadaan wilayah Kecamatan Pelalawan meliputi letak geografis dan topologi, keadaan lahan, kependudukan dan pertanian.Sebagai gambaran secara umum diwilayah Kecamatan Pelalawan.

1.1. Letak geografis dan topografi

Luas wilayah Kabupaten Pelalawan tercatat 13.925 km2 atau 14,73% dari total luas Provinsi Riau. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan Pangkalan Kerinci.Kecamatan terluas adalah Kecamatan Teluk Meranti (30,45%) dan terkecil Kecamatan Pangkalan Kerinci (1,39%). Kabupaten Pelalawan terletak di Pesisir Pantai Timur pulau Sumatera antara 1,25’ Lintang Utara sampai 0,20’ Lintang Selatan dan antara 100,42’ Bujur Timur sampai 103,28’ Bujur Timur. Kabupaten Pelalawan terbagi dalam 12 Kecamatan dengan Ibukota Kabupaten yaitu Kecamatan Pangkalan Kerinci.Jika diukur jarak lurus antara ibukota kabupaten terhadap ibukota Kecamatan, Kecamatan Langgam mempunyai jarak terdekat sedangkan Kecamatan Kuala Kampar mempunyai jarak terjauh. Bisa dilihat dari peta administrasi Kecamatan Pelalawan dapat dilihat di lampiran.

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

Jumlah Polong

45hst 60hst

(46)

42 1.2. Keadaan lahan

Keseluruhan luas lahan di Kecamatan Pelalawan, perkebunan mendominasi luas lahan yang di gunakan pada Kecamatan Pelalawan. Perincian penggunaan lahan di Kecamatan Pelalawan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6 Penggunaan lahan diKecamatanPelalawan

Jenis Lahan Luas Wilayah (ha)

Sawah 249,00 Ladang 5.446,83 Tegalan 1.938,13 Perkebunan 35.591,89 Lainnya 2.230,49 Jumlah 45.456,34

Sumber: Data Sekunder, 2018

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat sebagian luas wilayah yang berada di KecamatanPelalawan di gunakan sebagai perkebunan dengan luas wilayah yang dipakai sekitar 35.591,89 ha dengan persentase 78,3%. Sedangkan untuk sawah 0,5%, ladang 12%, tegalan 4,3%, dan lainnya 4,9%. Dapat dijelaskan bahwa lahan yang ada di kecamatan pelalawan adalah lahan gambut dengan ketebalan gambut yang beragam, tapi para petani tidak kehilangan akal oleh lahan mereka yang marjinal atau lahan gambut, petani dengan berbagai cara untuk mengembangkan hasil pertanian untuk pendapatan tambahan dan juga ada yang menjadikannya pencarian pokok.

1.3. Kependudukan

Penduduk Pelalawan tumbuh dengan cepat sejak awal berdirinya tahun 1999.Sebagai daerah penopang ibukota provinsi, tumbuhnya sektor industri dan perkebunan, serta meningkatnya akses jalan yang semakin baik menjangkau Desa-Desa sehingga memudahkan sarana dan prasarana ekonomi berkembang di Kecamatan Pelalawan. Jumlah penduduk Kabupaten Pelalawan tahun 2016 sekitar 428,15 ribu jiwa, meningkat dibandingkan tahun 2015 sekitar 407,25 ribu jiwa. Kabupaten Pelalawan mempunyai tingkat migrasi yang tinggi karena sebagai pusat ekonomi baru yang sedang tumbuh.

a. Data kependudukan berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin digunakan untuk mengetahui berapa besarnya penduduk pria dan wanita yang ada di KecamatanPelalawan.Perincian jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.

(47)

43 Desa/Kelurahan Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Sungai Ara 577 563 1.140 Ransang 427 417 844 Kuala Tolam 617 606 1.223 Pelalawan 2.532 2.144 4.676 Telayap 2.111 1.991 4.102

Batang Nilo Kecil 785 737 1.522

Sering 871 896 1.767

Delik 871 724 1.595

Lalang Kabung 1.416 1.245 2.661

Jumlah 10.207 9.323 19.530

Sumber: Data Sekunder, 2018

Jumlah penduduk yang berada di KecamatanPelalawan sekitar 19.530 jiwa dengan DesaPelalawan ada diangka yang paling banyak yaitu sekitar 4.676 jiwa dengan persentase 23,9% dan yang paling sedikit berada pada Desa Rangsang dengan persentase 4,3%. b. Data Kependudukan berdasarkan Desa

Jumlah penduduk berdasarkan Desa digunakan untuk melihat distribusi penduduk KecamatanPelalawan berdasarkan pembagian wilayah Desa.KecamatanPelalawan terbagi menjadi 9 Desa.Jumlah penduduk berdasarkan Desa di KecamatanPelalawan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 8. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut Desa/Kelurahan Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk

(Jiwa) Luas Desa (Km2) Kepadatan (Jiwa/Km2) Persentase (%) Sungai Ara 1.140 89,00 13 8,39 Ransang 844 71,00 12 7,74 Kuala Tolam 1.223 89,80 14 9,03 Pelalawan 4.676 256,91 18 11,61 Telayap 4.102 220,00 19 12,26

Batang Nilo Kecil 1.522 81,00 19 12,26

Sering 1.767 108,00 16 10,32

Delik 1.595 150,00 11 7,10

Lalang Kabung 2.661 81,00 33 21,29

Gambar

Gambar 1. Peta lahan gambut Pelalawan
Gambar  2.  Peta  lokasi  Pilot  Project  yang  dibuat  Mahasiswa  Program  Studi  Magister  Ilmu  Tanah UGM yang melakukan penelitian tahun 2017
Gambar 4. Curah Hujan
Gambar 6. Rekomendasi Jadwal Tanam
+7

Referensi

Dokumen terkait