• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesediaan Pasien Tuberkulosis Melakukan Tes HIV dan Rasa Takut Akan Prosedur Tes HIV Pada Program Provider Initiated Testing and Counseling (PITC)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kesediaan Pasien Tuberkulosis Melakukan Tes HIV dan Rasa Takut Akan Prosedur Tes HIV Pada Program Provider Initiated Testing and Counseling (PITC)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 Kesediaan Pasien Tuberkulosis Melakukan Tes HIV dan Rasa Takut Akan Prosedur

Tes HIV Pada Program Provider Initiated Testing and Counseling (PITC)

Ari Natalia Probandari *, Eti Poncorini Pamungkasari *, Maharani Indah Dewanti**, Pitra Sekarhandini**

* Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

** Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

ABSTRAK

Telah diketahui adanya koinfeksi antara penyakit Tuberkulosis (TB) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). Pendekatan surveilans kejadian infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah bergeser dari pendekatan Voluntary Conselling and Testing (VCT) ke Provider Innitiated Counselling and Testing (PITC). Pada PITC, konseling dan testing HIV diintegrasikan di dalam pelayanan kesehatan misalnya pada fasilitas kesehatan yang menangani pasien Tuberkulosis (TB). PITC merupakan program yang baru di Indonesia sehingga masih perlu dievaluasi. Tujuan dari penelitian ini mengetahui angka kesediaan tes HIV pada program PICT dan menganalisis rasa takut terhadap prosedur tes sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kesediaan pasien. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah suspek TB dan pasien TB dengan resiko HIV yang datang di fasilitas kesehatan yang menjalankan PITC selama 1 Mei – 31 Oktober 2009, sebanyak 39 orang. Data diperoleh dengan pengisian kuesioner tentang data diri pasien dan kesediaan tes HIV. Data diambil setelah konseling. Analisis data dilakukan dengan analisis bivariat.

Hasil penelitian menunjukkan tingginya angka kesediaan melakukan tes HIV pada program PICT (92.3%), rasa takut akan prosedur tes HIV bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kesediaan tes HIV, OR=0,.2 (CI 95% 0.03 – 1.68, p=0.14). Peneliti merekomendasikan perlunya memperhatikan prinsip patien centered dalam program PICT.

(2)

2 PENDAHULUAN

Dari berbagai literatur diketahui adanya koinfeksi antara penyakit Tuberkulosis (TB) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). Lebih dari 60% dari orang dengan HIV ternyata menderita TB pada masa hidupnya (Espinal et al., 1995; Cahn et al., 2003). Bahkan, TB merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas orang-orang dengan HIV (Mukadi et al., 2001; Corbett et al., 2003).

Indonesia masih tergolong negara dengan low epidemic penularan HIV. Meskipun demikian, ada indikasi bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia meningkat secara tajam. Data nasional tahun 2008 memperkirakan prevalensi HIV/AIDS sebesar 7,12 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk jumlah kasus baru HIV, AIDS serta AIDS/Injecting-Drug Users (IDU) tahun 2008 masing-masing 489 kasus, 4969 kasus dan 1255. Angka kasus HIV/AIDS dan AIDS cenderung meningkat, yakni masing-masing hanya sebesar 3783 kasus HIV AIDS dan 2947 kasus AIDS (Ditjen PPM&PL Depkes RI, 2008). Disisi lain, masalah TB merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena Indonesia berada dalam rangking ketiga dunia dalam jumlah kasus TB.

Strategi penanggulangan HIV menekankan pada surveilens untuk menemukan orang-orang yang terinfeksi virus HIV (surveilens). Karena dengan menemukan orang-orang-orang-orang dengan HIV akan membuka jalan untuk penatalaksanaan kasus dan pencegahan yang lebih adekuat sehingga akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena HIV. Karena TB merupakan koinfeksi paling dominan untuk HIV maka strategi surveilens untuk HIV pun mulai diintegrasikan dengan surveilens TB (Bock et al., 2008).

Mula-mula, surveilens HIV sendiri dilakukan dengan prinsip voluntary dengan inisiatif dari klien, atau yang disebut dengan client innitiated Voluntary Counseling and Testing (VCT). Namun, dari berbagai evaluasi yang dilakukan, respons terhadap VCT dinilai tidak optimal karena rasa takut, stigma, kurangnya pengetahuan tentang risiko HIV pada diri sendiri, ketidakterbukaan, keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan serta aspek ketidakadilan jender (WHO, 2008; Matovu et al., 2007).

(3)

3 Untuk memenuhi kebutuhan untuk mempercepat dan meningkatkan surveilens HIV maka muncullah inisiatif baru yang disebut dengan Provider Inisiated HIV Testing and Counseling (PITC) atau Routine Counseling and Testing (RCT). Salah satu bentuk PITC adalah PITC yang dilakukan pada fasilitas kesehatan yang menangani penyakit TB. Selain PITC, di negara-negara Sub-Sharan Afrika juga dikembangkan berbagai model yang lebih mendekatkan VCT pada masyarakat seperti VCT berbasis rumah (home based VCT), VCT bergerak (mobile VCT) dan penawaran rutin VCT (Matovu et al., 2007)

Dengan peningkatan surveilens dengan pendekatan PITC, diharapkan akan semakin banyak orang yang dapat terdeteksi dan menerima pengobatan anti retro viral therapy (ART). Cakupan ART secara global masih rendah yakni hanya sekitar 31% (27-34%). Angka cakupan ART di Indonesia belum dapat dilaporkan (WHO, 2008).

Di Indonesia, PITC merupakan program yang relatif baru dan belum menjadi kebijakan nasional, karena masih sebatas projek pilot yang diterapkan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Untuk mengembangkan program tersebut, perlu dilakukan evaluasi yang salah satunya evaluasi di tingkat pengguna yakni pasien. Selain itu, publikasi hasil penelitian empirik tentang PITC terutama dari berbagai negara dengan tingkat epidemi rendah seperti Indonesia masih sangat terbatas sehingga penelitian tentang PITC masih perlu banyak dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah menghitung angka kesediaan tes HIV pada program PICT dan menganalisis hubungan antara ketakutan terhadap prosedur tes dan kesediaan pasien untuk melakukan tes HIV.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross-sectional). Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Populasi penelitian adalah pasien suspek TB/TB dengan risiko HIV yang datang ke fasilitas BBKPM Surakarta, dengan kriteria inklusi: (a) pasien suspek TB dengan risiko HIV; dan (b) pasien yang telah didiagnosis TB dengan risiko. Suspek TB ditetapkan jika ada gejala respiratorik berupa batuk > 3 minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri data serta gejala sistemik berupa

(4)

4 malaise, nafsu makan turun, demam, keringat malam hari, dan berat badan turun. Diagnosis TB terutama ditegakkan dengan pemeriksaan sputum Sewaktu, Pagi, Sewaktu. Risiko HIV meliputi: pengguna narkoba jarum suntik, pekerja seks, berganti-ganti pasangan, riwayat infeksi menular seksual, jenis pekerjaan yang berisiko tinggi misal pekerjaan yang berpindah-pindah tempat (supir, pelaut), migran, tuna wisma dan pekerja bar atau salon, riwayat transfusi darah dan produk darah (Depkes RI, 2007). Subjek dieksklusi dari penelitian jika mengalami hambatan untuk berkomunikasi secara verbal serta menolak berpartisipasi dalam penelitian.

Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang datang ke BBKPM Surakarta dari tanggal 1 Mei 2009 sampai dengan 31 Oktober 2009. Besar sampel adalah 39 orang. Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri adalah ketakutan akan prosedur tes HIV, sedangkan variabel terikat adalah kesediaan melakukan tes HIV. Rasa takut akan prosedur tes HIV didefinisikan sebagai tingkat ketakutan seseorang terhadap prosedur tes HIV. Variabel ini diukur dengan kuesioner, dengan satu pertanyaan rating scale. Kesediaan melakukan tes HIV diukur dengan kuesioner dengan skala nominal (ya, tidak).

(5)

5 Pasien klinik PICT di BBKPM Surakarta dan memenuhi kriteria inklusi diberikan informed consent. Setelah mereka menyatakan bersedia menjadi subjek penelitian, mereka diminta mengisi kuesioner data diri tentang pendidikan. Selanjutnya, konselor dari BBKPM memberi informed consent program PICT. Setelah memberikan konseling, maka konselor menanyakan kesediaan pasien tersebut melakukan tes HIV. Analisis data dilakukan dengan uji regresi logistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Karakteristik responden penelitian

No Karakteristik data Jumlah

total

Kesediaan tes HIV Menerima Menolak 1 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 29 10 27 9 2 1 2 Tingkat Pendidikan Dasar (TK, SD) Menengah (SMP-SMA)

Tinggi (PT, Akademi, Institut, Politeknik) 8 31 0 7 29 0 1 2 0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kesediaan tes HIV adalah sebesar 36/39 pasien (92.3%). Hal itu menunjukkan bahwa angka kesediaan tes HIV pada program PITC adalah tinggi. Hasil tersebut relatif sama dengan temuan dari studi-studi sebelumnya di negara high epidemic HIV (Wanyenze et al. 2008; Odiambo et al. 2008).

Pada uji regresi logistik, dengan variabel bebas ketakutan akan prosedur tes HIV, didapatkan hasil OR=0,.2 (CI 95% 0.03 – 1.68, p=0.14). Hal ini menunjukkan bahwa faktor rasa takut terhadap prosedur tes HIV tidak mempengaruhi keputusan menerima atau menolak tes HIV. Dengan demikian rasa takut terhadap prosedur tes HIV bukan merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan menerima atau menolak tes HIV pada PICT. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sifat PITC yang “provider innitiated” dimana dokter atau petugas kesehatan memegang peran sentral dalam proses penawaran tes HIV. Sementara, kultur masyarakat pasien di Indonesia cenderung mengikuti perintah dokter. Dari pengalaman selama

(6)

6 pengumpulan data, kami menemukan juga bahwa responden memutuskan untuk tes HIV karena mengikuti perintah dokter. Selain itu, kadang-kadang pasien juga menganggap konselor PITC sebagai dokter sehingga kemungkinan hal ini juga membuat pasien cenderung memutuskan menerima tes HIV pasca konseling pre-tes yang dilakukan oleh konselor. Royce beragumentasi bahwa pakar kesehatan, dalam hal ini adalah konselor atau dokter, mempunyai pengaruh pada kesediaan tes HIV (Lee et al, 2005).

Adanya faktor-faktor lain diluar yang dipelajari dalam studi ini merupakan indikasi bahwa proses pengambilan keputusan pada tingkat pasien merupakan proses yang kompleks, yang multifaktor (Say et al., 2006) dan sangat dipengaruhi oleh budaya. Suatu studi menunjukkan bahwa orang non-Barat menunjukkan partisipasi yang rendah dalam hubungan dokter-pasien (Schouten et al., 2007). Komunikasi dokter-pasien didominasi oleh dokter, dan cenderung tidak memperhatikan authority pasien (Lazcano-Ponce et al.,2004). Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa skor rasa takut terhadap hasil tes HIV jika positif lebih besar pada yang menerima tes HIV mungkin ada kaitannya dengan ketakutan akan stigma yang ada di masyarakat tentang HIV (Steward et al., 2008; Zhou, 2007).

Kelemahan penelitian ini adalah presisi hasil penelitian yang kurang memuaskan, yang dapat dilihat dari lebarnya rentang CI95%. Hal ini kemungkinan karena jumlah n yang sedikit. Selain itu, penelitian ini tidak melihat pada proses konseling pre-test yang mungkin juga merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan tentang tes HIV.

Namun demikian, hasil penelitian ini memunculkan pertanyaan penelitian yang lain seperti apakah prinsip patient centered dalam PITC juga diperhatikan?. Secara umum, PITC memang mendatangkan angka penerimaan tes HIV yang tinggi tetapi authority pasien, perasaan takut dan kekhawatiran pada pasien yang bersedia melakukan tes HIV harus diperhatikan lebih lanjut pada proses konseling.

KESIMPULAN DAN SARAN

Angka kesediaan pasien TBC untuk melakukan tes HIV pada program PICT cukup tinggi (92.3%). Rasa takut terhadap prosedur tes bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kesediaan tes HIV. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti merekomendasikan

(7)

7 untuk perlunya penelitian kualitatif yang dapat menggali lebih dalam tentang prinsip patient centered pada program PICT.

DAFTAR PUSTAKA

Bock NN, Nadol P, Rogers M, Fenley MA, Moore J, Miller B. Provider initiated HIV testing and counseling in TB clinical settings; tools for program implementation. Int J Tuberc Lung Dis 2008; 12 (3): S 69-S72.

Cahn P, Perez H, Ben G, Ochoa C. Tuberculosis and HIV: a partnership against the most vulnerable. J Int Assoc Physicians AIDS Care 2003; 2:106-123

Corbett EL, Watt CJ, Walker N, et al. The growing burden of tuberculosis: global trends and interactions with the HIV epidemic. Arch Intern Med 2003; 163:1009-1021.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Edisi Pertama. 2007.

Ditjen PPM&PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.2008. http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf (diakses pada 19 Februari 2009). Espinal MA, Reingold AL, Koenig E et al. Screening for active tuberculosis in HIV testing

center. Lancet 1995; 345:890-893

Gruskin S, Ahmed S, Ferguson L. Provider innitiated HIV testing and counseling in health facilities – what does this mean for the health and human rights of pregnant women? Developing World Bioethics 2008; 8(1):1471-8731

Kicksbuck I. Improving Health Literacy in the European Union: Toward a Europe of Informed and Active Health Citizen. Background Paper Presented at European Health Forum Gastein 2004

Kowalezyk J et al. Voluntary Counseling and Testing for HIV among Pregnant Women Presenting in Labor in Kigali, Rwanda. J Acquir Immune Defic Syndr 2002; 31: 408-415

Lazcano-Ponce E, Angeles-Llerenas A, Alvarez del Rio A. Ethics and communication between physicians and their patients with cancer, HIV/AIDS, and rhematoid arthritis in Mexico. Archives of Medical Research 2004; 35: 66-75.

Lee K, Cheung WT, Kwong VCS, Wan WY, Lee SS. Access to appropriate information on HIV is important in maximizing the acceptance of the antenatal HIV antibodytest.

(8)

8 Matovu JKB, Makumbi FE. Expanding access to voluntary HIV counseling and testing in Sub-Saharan Africa: alternative approaches for improving uptake, 2001-2007.Tropical Medicine and International Health 2007; 12(2): 1315-1322.

Mukadi DY, Maher D, Harries A. Tuberculosis case fatality rate in high HIV prevalence populations in sub-Saharan Africa. AIDS 2001; 15: 143-152

Odhiambo J, Kizito W, Njoroge A, Wambua N, Nganga L. Provider-initiated HIV testing and counselling for TB patients and suspects in Nairobi, Kenya. Int J Tuberc Lung Dis 2008; 12 (3): S63-S68

Paxton S, Gonzales G, Uppakaew K, Abraham KK, Okta S, Green C et al. AIDS-related discrimination in Asia. AIDS Care 2005; 17 (4): 413-424.

Say R, Murtagh M, Thomson R. Patient’s preference for involvement in decision making: a narrative review. Patient Education and Counseling 2006; 60:102-114.

Schouten BC, Meeuwesen L, Tromp F et al. Cultural diversity in patient participation: The influence of patient’s characteristics and doctors’ communicative behaviour. Patient Education and Counseling 2007; 67: 214-223.

Steward WT, Herek GM, Ramakhrisna J et al. HIV related stigma: Adapting a theoritical framework for use in India.Social Science & Medicine 2008; 67:1225-1235.

Tuberculosis Coalition for Technical Assisstance. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assisstance, 2006. Wanyenze RK, Nawavvu C, Namale AS, Mayanja B, Bunnel R, Abang B et al. Acceptability

of routine HIV counseling and testing and HIV seroprevalence in Ugandan hospitals. Bulletin of the World Health Organization 2008; 86 (4):241-320

World Health Organization (WHO)/Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Policy Statement on HIV Testing. Geneva: WHO/UNAIDS. 2004. Available at: http://www.who.int/rpc/research_ethics/hivtestingpolicy_en_pdf.pdf (accessed February 16, 2009)

World Health Organization (WHO)/Joiunt United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS).WHO and UNAIDS secretariat statement on HIV testing and counseling. 2006.

WHO. Towards universal access: scaling up priority HIV/AIDS interventions in the health

sector. 2008. Available at:

www.who.int/hiv/pub/towards_universal_access_report_2008.pdf (accessed February 16, 2009)

(9)

9 Zhou YR. “If you get AIDS....You have to endure it alone”: Understanding the social

Referensi

Dokumen terkait

Pada pelaksanaannya banyak dijumpai material yang memiliki berat kering volume yang lebih besar dari spesifikasi proyek yaitu 1,8 kg/³, dan dari adanya material yang

(1) Susunan Organisasi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kabupaten Banyuasin, terdiri dari :.. Sub bagian Perlengkapan dan Perencanaan;

Analisis peningkatan hasil belajar pada penelitian ini pada umumnya mengamati peru- bahan kompetensi peserta didik setelah penerapan modul pembelajaran pada kelas

Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan Laba Akuntansi terhadap Persistensi Laba pada perusahaan manufaktur sektor industri barang

Dalam laporan akhir ini penulis mewawancarai langsung pemilik UKM Ridho Jaya untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan penulis seperti jumlah produk yang

Ulama NU Kudus memberikan alasan mengenai adanya hukuman kebiri sesuai dari hasil Tanya jawab pitulasan ramadhan mengatakan hukuman kebiri diperbolehkan karena

1) Untuk mengetahui faktor atau atribut pelayanan mana saja yang dalam pelaksanaannya harus dipertahankan, ditingkatkan atau tidak perlu dilakukan perbaikan, maka

Juga betapa pentingnya nilai toleransi beragama yang harus dimiliki oleh setiap orang yang hidup berdampingan dengan keberbedaan agama.” Bapak Choiri juga memberikan pernyataan bahwa: