• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan salah satu jenis kain yang memiliki corak tertentu. Corak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan salah satu jenis kain yang memiliki corak tertentu. Corak"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Batik merupakan salah satu jenis kain yang memiliki corak tertentu. Corak pada batik dibuat menggunakan lilin dan digambarkan diatas kain mori. Pembuatan batik dilakukan di hampir seluruh wilayah Jawa, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembuatan batik mengalami masa keemasannya pada tahun 1920an.1 Kain batik yang dibuat memuat corak-corak atau motif tertentu yang menampilkan karakter masing-masing daerah dibuatnya batik tersebut. Seperti misal batik Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan batik pedalaman atau batik yang berkembang di lingkungan kraton, lebih sering menggunakan warna soga dan motif yang dipengaruhi oleh kebudayaan hindu-budha. Sementara batik Pekalongan yang termasuk batik pesisiran atau batik yang berada di daerah pesisir pantai lebih cenderung menggunakan warna yang lebih cerah dan motif yang terpengaruh oleh kebudayaan asing seperti dari China, India dan Arab.2

Batik tidak hanya diminati oleh kalangan dalam negeri saja, tetapi kalangan mancanegara juga menyukai batik. Minat mancanegara terhadap batik dapat

1

Ardiyanto Pranata, “The Development of Motif in Indonesian Pesisiran Batik Fashion Trend From 1850 Until Today”, Dunia Batik: Conference and

Exhibition (Yogyakarta: ICCT, 1997),hlm.2.

2

Sufwandi Mangkudilaga, “Batik Indramayu as A Tourism Attraction”,

(2)

dilihat ketika pada 2006, 540 motif batik dipamerkan di Jepang, bahkan beberapa motif batik Yogyakarta dijadikan sebagai motif pada kimono atau pakaian tradisional Jepang.3 Batik semakin dikenal dunia, terutama setelah UNESCO memberikan pengakuan terhadap batik sebagai salah satu warisan kebudayaan Indonesia pada 2 Oktober 2009.

Banyaknya daerah-daerah pembatikan di Jawa diimbangi dengan banyaknya jumlah pembatik yang memproduksi batik. Para pembatik atau pengrajin batik ini terbagi menjadi dua jenis, yakni juragan batik dan juga buruh batik. Juragan batik atau pengusaha batik adalah mereka yang memiliki usaha pembatikan dengan buruh batik sebagai anggotanya, sedangkan buruh batik adalah mereka yang membuat batik untuk juragan ataupun untuk usaha mereka sendiri. Terbentuknya juragan dan buruh batik memiliki peranan penting dalam industri batik.

Ketersediaan bahan baku menjadi faktor utama dalam keberlangsungan industri batik. Sulit memperoleh bahan baku menjadi hambatan dalam perkembangan industri batik. Pada 1997 beberapa industri batik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah juga mengalami kesulitan mendapatkan bahan pokok batik akibat harga yang naik. Harga bahan-bahan pokok di Kabupaten Pati mengalami kenaikan hingga dua kali lipat bahkan pernah mencapai empat kali lipat.4 Biaya produksi yang mahal menyebabkan banyak perajin batik yang kemudian

3

Ronny, “540 Motif Batik Yogya Dipasarkan di Jepang”, Kedaulatan

Rakyat, 2 Januari 2006, Tahun LXI, No.92, hlm.14.

4

Yustina Hastarini, “Batik Bakaran Tjokro Pati: Perkembangan Ragam Hias Tahun 1977-2013”, Kerajinan Batik dan Tenun, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2013), hlm.309.

(3)

menghentikan usaha batiknya dan beralih ke profesi yang lain. Hal serupa terjadi di desa Wukirsari, Imogiri pada 1980an yang juga kesulitan mendapatkan bahan baku pembuatan batik. Para pengusaha batik mengalami penurunan produksi batik dan pengrajin banyak yang berhenti sementara karena sulitnya mendapat bahan baku batik. Dinas Perindustrian Daerah Istimewa Yogyakarta kemudian memberikan bantuan berupa kain mori kepada para pembatik di Desa Wukirsari5 untuk memulihkan keadaan industri batik.

Industri batik bisa terus berlangsung dan bisa memproduksi batik dengan maksimal apabila bahan baku yang dibutuhkan dapat tersedia dan para pembatik tidak kesulitan dalam memperolehnya. Untuk kepentingan produksi, koperasi batik yang ada di daerah juga memiliki peran terhadap keberlangsungan industri batik. Koperasi batik muncul sebagai akibat kesadaran para pembatik dalam mengusahakan bahan baku batik. Di Yogyakarta dengan didahului semangat organisasi Sarekat Dagang Islam atau SDI (1909), para pengusaha batik di Yogyakarta kemudian melakukan pertemuan dan perudingan yang menghasilkan dibentuknya koperasi batik Persatuan Pengusaha Batik Indonesia (PPBI) pada 1934.6

Semangat koperasi kemudian meluas daerah industri batik seperti Surakarta, Pekalongan dan Tulungagung, sehingga memunculkan beberapa koperasi batik.

5

Tim penulis, Perajin Tradisional di Daerah Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, (Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992),

hlm.149

6

A.N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta (Yogyakarta: Merapi, 2002) hlm.59.

(4)

Koperasi batik memiliki tugas untuk menjual bahan baku dengan harga yang terjangkau untuk para pembatik. Dalam usaha memenuhi kebutuhan akan bahan baku batik dalam jumlah yang besar, koperasi batik di daerah-daerah kemudian membentuk sebuah gabungan koperasi yang bersifat pusat, yakni Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pada 1948. Menurut Christian Lempelius, pada 1970an ekonomi koperasi batik dianggap tidak termasuk dalam program peningkatan induk kerajinan sehingga jarang mendapat perhatian.7 Meskipun begitu GKBI yang menjadi pusat dari koperasi-koperasi batik yang ada diharapkan bisa menemukan solusi bagi para pengusaha batik baik anggotanya atau bukan dalam menangani masalah kesulitan mendapat bahan baku dan juga bergesernya selera pasar.

Permasalahan kesulitan mendapat bahan baku di Yogyakarta sudah terjadi sejak Jepang mengekspor kain mori ke Indonesia setelah Belanda tidak lagi mengadakan impor kain mori untuk para pengrajin batik di Indonesia pada 1927. Masuknya kain mori dari Jepang ke Indonesia menyebabkan munculnya persaingan antara pengrajin batik di Indonesia dengan pedagang dari Cina dan Arab dalam mendapatkan kain mori. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan para pengrajin batik di Yogyakarta kesulitan mendapatkan kain mori sebagai bahan utama dalam membuat batik. Sebenarnya bukan hanya kain mori saja yang

7

Christian Lempelius, “Prospek Koperasi Industri Kecil”, Prisma No.6

(5)

susah didapat, melainkan juga bahan lain seperti malam atau lilin dan juga pewarna batik.

Koperasi batik dan koperasi pusat GKBI sudah dibentuk, namun kesulitan dalam pengadaan bahan baku batik di Yogyakarta masih terjadi. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan mengenai kinerja koperasi batik terutama GKBI sebagai koperasi pusat selama menjalankan tugasnya sebagai koperasi.

I.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama yang dibahas adalah mengenai dinamika GKBI di Yogyakarta sejak berdirinya pada 1948 hingga surutnya kinerja pada 1980. Berangkat dari permasalahan utama tersebut, kemudian dijabarkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Mengapa GKBI didirikan? 2) Apa peran GKBI terhadap industri batik di Yogyakarta tahun 1948-1980? 3) Siapa sajakah yang tergabung dalam GKBI?

Dalam melakukan penelitian sejarah ini supaya pembahasan tidak melebar ke dalam konteks yang lebih luas, maka dilakukan pembatasan cakupan ruang dan waktu. Unsur ruang (spasial) dan unsur waktu (temporal) merupakan bagian yang penting dan penulisan sejarah dengan tema koperasi batik ini memiliki kedua unsur tersebut. Lingkup spasial dalam penulisan sejarah ini adalah wilayah Yogyakarta dan tahun 1948 hingga tahun 1980 sebagai lingkup temporal. Wilayah Yogyakarta dipilih sebagai batasan spasial karena di wilayah tersebut mayoritas penduduknya berkerja sebagai pembatik.

(6)

Temporal yang digunakan adalah 1948 sebagai batasan awal dan 1980 sebagai batasan akhir. Alasan dipilihnya tahun 1948 sebagai batasan awal adalah pada tahun itu organisasi Gabungan Koperasi Batik Indonesia atau GKBI dibentuk di Yogyakarta. Sedangkan tahun 1980 digunakan sebagai batasan akhir karena pada sekitar tahun itu GKBI mengalami penurunan kinerja dan juga masa sulit antara ingin bubar atau maju dengan resiko. Selain itu selera masyarakat terhadap pakaian berubah sehingga mengakibatkan munculnya persaingan antar pengusaha batik tulis dengan mesinisasi dan produk kain impor yang harganya lebih menjangkau. Terjadinya persaingan antara batik dengan selera masyarakat dan produk kain impor juga memberikan dampak kepada perusahaan-perusahaan swasta dan munculnya persaingan antar koperasi.

I.3 Tujuan Penelitian .

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjelaskan peran perkembangan GKBI dalam industri batik di Yogyakarta pada 1948 dan 1980. Peran GKBI yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai peran GKBI terhadap industri batik dan koperasi batik di Yogyakarta.

Penulisan mengenai koperasi batik sudah beberapa ditulis oleh beberapa sejarawan, namun belum ada yang menuliskan mengenai koperasi pusat yang merupakan gabungan dari koperasi-koperasi batik yang sudah ada dan melihatnya dalam keberlangsungan industri batik di suatu daerah yang dalam penelitian ini adalah Yogyakarta. Hal tersebut membuat penelitian ini tidak sama dengan penelitian tentang batik pada umumnya.

(7)

I.4 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini dibutuhkan tinjuan dari tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya. Adapun buku-buku yang ditinjau salah satunya adalah buku karya A.N Suyanto yang berjudul Sejarah Batik Yogyakarta. Buku ini berisi mengenai sejarah perkembangan batik di Yogyakarta yang berkaitan erat dengan tradisi dan budaya kasultanan Yogyakarta. Di dalam buku karya A.N Suyanto ini menjelaskan mengenai sejarah perkembangan batik dan industrinya di Yogyakarta mulai dari masa kolonial Hindia Belanda hingga sekitar tahun 1990an8. Dalam buku Sejarah Batik Yogyakarta dijelaskan mengenai tumbuhnya organisasi koperasi batik di Yogyakarta hingga munculnya GKBI. Perkembangan industri batik di Yogyakarta setelah adanya koperasi batik tidak dibahas lebih dalam.

Buku lain yang ditinjau adalah buku yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Seni Kerajinan Batik Indonesia. Buku yang ditulis oleh Sewan Susanto ini membahas mengenai batik dari berbagai aspek, mulai dari bahan pembuat batik hingga jenis-jenis batik di Indonesia dan juga terdapat penjelasan mengenai peran GKBI terhadap perkembangan batik di Indonesia. Peran GKBI yang dibahas dimulai dari tahun 1953 ketika GKBI menjadi distributor bahan baku batik.9

8

A.N. Suyanto, Op.Cit., hlm.59.

9

Sewon Susanto, Seni Kerajinan Batik, (Jakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, 1980), hlm. 316.

(8)

Sebuah buku yang disunting oleh Soemarso dengan judul Perajin Tradisional

di Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satu pembahasannya

adalah mengenai pengrajin batik di Desa Wukirsari. Industri batik yang ada di Desa Wukirsari mayoritas adalah industri rumah tangga atau hanya dilakukan oleh anggota keluarga.10 Buku Perajin Tradisional di Daerah Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta ini tidak membahas mengenai organsisasi atau perkumpulan

batik yang ada di dalam masyarakat. Soemarso tidak membahas mengenai koperasi batik dan terlebih mengenai GKBI.

Buku lain yang ditinjau adalah karya Anesia Aryunda Dofa yang berjudul

Batik Indonesia. Secara keseluruhan fokus buku ini mengarah tentang jenis –jenis

batik, tetapi kegiatan produksi kerajinan batik juga dijelaskan. Hal yang ditinjau dari buku ini adalah mengenai perdagangan batik yang terjadi sesudah GKBI dibentuk. Koperasi batik yang telah dibentuk dan munculnya GKBI tidak terlalu memberikan kemudahan bagi para pembatik dalam mendapatkan bahan baku dan justru dikatakan memunculkan konflik baru.11 Perbedaan dari buku ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah lingkup spasial yang digunakan. Buku karya Anesia menggunakan lingkup nasional sebagai batasan spasialnya sementara penelitian yang akan dilakukan memilih Yogyakarta sebagai batasan spasialnya.

10

Tim penulis, Perajin Tradisional di Daerah Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992),

hlm.151.

11

Anesia Aryunda Dofa, Batik Indonesia (Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1996), hlm.54-55.

(9)

Adapula buku mengenai batik yang juga ditinjau, yakni Mbok Mase

Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20 karya Soedarmono. Buku ini

membahas mengenai industri batik di Solo. Buku karya Soedarmono ini membahas mengenai pelaku dalam perdagangan batik seperti produsen, distributor dan konsumen batik di Solo dan lebih fokus pada produksi batik serta aspek sosial pengusaha batiknya.12 GKBI tidak banyak dijelaskan dan dalam buku ini memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, yakni Soedarmono Yogyakarta.

Sebuah buku yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta karya Selo Soemardjan membahas mengenai kondisi sosial di Yogyakarta. Ditinjau lebih dalam Selo Soemardjan membahas mengenai pemasaran batik yang dilihat dari koperasi-koperasi batik yang ada di Yogyakarta namun penjelasannya masih bersifat umum.13

Sebuah skripsi yang ditinjau adalah karya Widi Novita Sari dengan judul “Dinamika Kerajinan Batik di Desa Paseban, Klaten pada Tahun 1958-1997”. Skripsi Widi membahas mengenai kehidupan sosial ekonomi pengusaha dan pedagang batik dan juga mengenai perkembangan penjualan batik setelah

12

Soedarmono, Mbok Mase Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abd

20, (Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia, 2006), hlm.64.

13

Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981), hlm.243.

(10)

dibentuknya Gabungan Koperasi Batik Indonesia.14 Perbedaan skripsi karya Widi dengan penelitian yang ditulis adalah lingkup spasial. Lingkup spasial yang digunakan pada penelitian yang akan ditulis adalah Yogyakarta dan pada skripsi karya Widi adalah daerah Paseban, Klaten.

Selanjutnya yang juga ditinjau adalah skripsi karya Anna Dwi Kustiwi, “Kelas Menengah Muslim Pengusaha Batik di Surakarta Tahun 1960- Tahun 1970”. Skripsi Anna ini menjelaskan mengenai industri batik di Surakarta setelah munculnya GKBI yang membahas dari proses produksi hingga pemasarannya. Skripsi ini melihat dari sudut kelas menengah muslim yang mayoritas adalah pengusaha batik Jawa.15 Ada lagi sebuah skripsi yang membahas mengenai koperasi batik karya Siska Narulita, “Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta 1950-1980” membahas mengenai organsisasi koperasi batik PPBI di Yogyakarta. Siska juga memberikan gambaran mengenai gambaran industri batik di Yogyakarta.16 Siska hanya sedikit membahas tentang GKBI dalam hal hubungan kerja sama antara PPBI dengan organisasi lain. Meninjau dari skripsi ini, fokus utama dalam skripsi Siska adalah mengenai organisasi Koperasi Batik PPBI.

14

Widi Novita Sari, “Dinamika Kerajinan Batik di Desa Paseban, Klaten pada tahun 1958-1997”, Skripsi S1, (Jurusan Ilmu Sejarah: Fakultas Imu Budaya, 2010), hlm. 49.

15

Anna Dwi Kustiwi, “Kelas Menengah Muslin Pengusaha Batik di Surakarta Tahun 1960-Tahun 1970”, Skripsi S1, (Jurusan Ilmu Sejarah: Fakultas Sastra, 1993), hlm.53.

16

Siska Narulita, “Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta 1950-1980”,

(11)

Penulisan batik memang sudah banyak dilakukan orang, namun sepertinya pembahasan mengenai perkembangan GKBI masih belum banyak dilakukan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalitasannya.

I.5 Metode Penelitian

Penulisan sejarah merupakan penulisan kembali peristiwa sejarah dengan menggunakan fakta dari berbagai sumber-sumber yang ditemukan. Penulisan sejarah dimaksudkan untuk merekonstruksi masa lalu. Dalam penulisan sejarah dibutuhkan sumber-sumber untuk memunculkan fakta yang digunakan dalam penulisan sejarah. Sumber-sumber yang dibutuhkan dalam penulisan sejarah berupa sumber tertulis, sumber lisan dan sumber tidak tertulis atau sumber alternatif. Untuk melakukan penulisan sejarah dengan fakta-fakta yang dihasilkan dari sumber diperlukan sebuah metode, yakni metode sejarah. Metode sejarah merupakan sebuah metode dalam keilmuan sejarah untuk melakukan rekonstruksi sejarah untuk menghasilkan tulisan sejarah. Menurut Kuntowijoyo, metode sejarah dalam penulisan sejarah mencakup lima tahapan, yakni pemilihan tema, pengumpulan sumber (heuristik), verifikasi atau kritik sumber, interpretasi, dan proses penulisan.17

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menemukan beberapa sumber berupa buku, karya tulis ilmiah, koran, artikel dan jurnal yang membahas masalah atau mendokumentasikan mengenai industri batik di Yogyakarta dan GKBI.

17

Kuntowijoyo,Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 90.

(12)

Penulis juga menemukan sumber tidak tertulis berupa foto-foto dari KITLV Digital Media Library yang mendukung penelitian mengenai dinamika GKBI dan industri batik di Yogyakarta.

Pencarian sumber tidak berhenti disitu saja, penulis melakukan pencarian sumber di beberapa tempat seperti di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Kota Yogyakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan St. Ignatius dan juga Jogja Library Center (JLC). Selain itu, juga dilakukan pencarian sumber di Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Yogyakarta, Pabrik mori PC GKBI Medari dan kantor pusat GKBI yang telah berubah menjadi PT. GKBI Investment di Jakarta.

Penulis juga mencari beberapa sumber lisan berupa wawancara. Penulis melakukan wawancara kepada para pembatik di daerah Nogorini, Imogiri dan juga beberapa pedagang batik di Pasar Beringharjo. Narasumber atau informan yang berhasil penulis wawancarai di Imogiri adalah para pembatik yang menjadi anggota koperasi atau perkumpulan pembatik, mereka yang tidak ikut organisasi koperasi dan yang bersifat independen. Metode wawancara yag digunakan adalah dengan tanya jawab. Kesulitan yang dialami penulis dalam melakukan wawancara adalah sulitnya perijinan dan prosedur yang terlalu berbelit-belit.

I.6 Sistematika

Dalam penulisan sejarah dengan tema GKBI ini penulis membagi dalam empat bab. Bab I dibagi menjadi enam sub bab. Enam sub bab tersebut adalah

(13)

latar belakang penelitian, perumusan masalah dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Latar belakang berisi alasan mengambil tema penelitian dan penggambaran awal dari tema penelitian yang akan dibahas. Perumusan masalah adalah sub bab yang berisi pertanyaan masalah penelitian yang akan dibahas dalam bab pembahasan, dan ruang lingkup berisi batasan lingkup temporal dan spasial yang digunakan dalam penelitian. Tujuan penelitian berisi mengenai tujuan dari penelitian yang dilakukan. Tujuan dan rumusan masalah harus saling berkaitan. Sub bab metode sejarah merupakan sub bab yang berisi mengenai metode yang akan digunakan dalam penelitian. Dalam penulisan sejarah ini, metode yang digunakan adalah metode sejarah.

Bab II membahas mengenai industri batik di Yogyakarta sebelum didirikannya GKBI dan juga mengenai organisasi GKBI mulai dari didirikannya, bentuk organisasi serta anggotanya. Dalam bab III membahas mengenai kinerja GKBI pada tahun-tahun awal berdirinya dan perannya terhadap industri batik di Yogyakarta. Bab IV membahas mengenai perkembangan GKBI dalam industri batik di Yogyakarta dengan melihat perannya sebagai koperasi pusat terhadap koperasi batik di Yogyakarta yang menjadi anggotanya.

Bab V akan membahas mengenai kesimpulan. Bab ini membahas mengenai kesimpulan dari isi atau hasil penelitian yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Bank Mandiri Cabang Krakatau Medan untuk meningkatkan kinerja karyawan dan pengawasan harus lebih diperketat namun tidak membatasi kebebasan karyawan dalam memilih

1) Kartu jam hadir harus dibandingakan dengan kartu jam kerja sebelum kartu yang terakhir ini dipakai sebagai dasar distribusi biaya tenaga kerja langsung. 2) Pemasukan

Sumber daya kesehatan merupakan salah satu faktor pendukung dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas, yang diharapkan dapat meningkatkan derajat

Reading this publication with the title Galois Theory By Ian Stewart will let you know

Terdapat pula temuan penelitian bahwasanya Berdasarkan pada hasil korelasi tiap aspek, dari variabel kebahagiaan menunjukkan bahwa aspek resiliensi merupakan aspek

Menjelaskan gerak parabola menggunakan gambar vector dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari Gerak lurus Berubah Beaturan Gerak Parabola X / 1 X / 1 menunjukk an

Dalam perancangan ini aspek ergonomi yang dipertimbangkan adalah kenyamanan pengguna saat menggunakan sepatu. Sepatu yang digunakan harus mengikuti bentuk kaki dan mendukung

peningkatkan disiplin kerja aparatur pada Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah adalah merupakan suatu proses pengelompokan aparatur dalam