• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SOSIAL KIAI PADA MASA KOLONIAL KARYA-KARYA DJAMIL SUHERMAN DALAM TELAAH SOSIOLOGI SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN SOSIAL KIAI PADA MASA KOLONIAL KARYA-KARYA DJAMIL SUHERMAN DALAM TELAAH SOSIOLOGI SASTRA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA-KARYA DJAMIL SUHERMAN

DALAM TELAAH SOSIOLOGI SASTRA

KIAI’S SOCIAL ROLES AT THE COLONIAL PERIOD AN ANALYSIS OF SOCIOLOGICAL LIT-ERATURE ON THE WORKS OF DJAMIL SUHERMAN

Muhammad Rosyid H.W.

Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Airlangga

Jalan Dharmawangsa Dalam, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia Telepon (031)5035676, Faksimile (031)5035807

Pos-el: mrosyidhw15@gmail.com

Naskah diterima: 4 Maret 2020; direvisi: 16 Juni 2020; disetujui: 23 Juni 2020 Permalink/DOI: 10.29255/aksara.v33il.547.hlm. 25—38

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui cara karya-karya Djamil Suherman menggambarkan sosok kiai dan peran-peran sosial kiai pada masa kolonial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pisau teoretik sosiologi sastra. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka yang sumber data penelitiannya adalah kumpulan cerita pendek Umi Kalsum, novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe dan novel Sakerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kiai di dalam karya Djamil Suherman digambarkan sebagai pemimpin pesantren yang taat beragama. Kiai berperan dalam kehidupan sosial dengan cara mengajarkan agama, membimbing umat, mengajarkan kesaktian, memperkuat moral, dan melawan penindasan kolonial Belanda. Peran perlawanan terhadap penjajahan ini merupakan ijtihad dan kontekstualisasi pemahaman keagamaan kiai sebagai bagian dari semangat zaman.

Kata kunci: kiai, peran sosial, sosiologi sastra

Abstract

This paper aims to research how Djamil Suherman’s literary works portrayed the figure of the kiai and the social roles of the kiai during colonial period. The method used in this research is analytical descriptive with Alan Swingewood’s theory of sociological literature. The data collection was done by literature study techniques where the source of the research data was “Umi Kalsum” collection of short stories, novel “Pe-juang-Pejuang Kali Pepe” and novel “Sakerah”. The findings of this study indicate that the kiai in the work of Djamil Suherman is described as a religious leader of a pesantren. The kiai played a role in social life by teaching religion, guiding people, teaching supernatural powers, strengthening morals and resisting the oppression of Dutch. The role of resistance to this colonolialism is a form of ijtihad and contextualization of kiai’s religious understanding as part of the period spirit.

Keywords: kiai, social role, sociological literature

How to cite: Rosyid H.W., M. (2021). Peran Sosial Kiai pada Masa Kolonial; Karya-karya Djamil

Suherman dalam Telaah Sosiologi Sastra. Aksara, 33(1), hlm. 25—38 DOI: https://doi.org/10.29255/

aksara.v33il.547. hlm. 25—38

PENDAHULUAN

Kiai adalah salah satu kelompok sosial di dalam masyarakat Indonesia. Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim, posisi dan peran kiai sebagai pemimpin agama dalam lanskap

sosial masyarakat tidak dapat dinafikan. Dhofier (2011) mencatat bahwa kiai merupakan kelompok elite yang dihormati dan disegani oleh masyarakat Jawa. Sebagai seorang guru

(2)

dan pemimpin pesantren yang memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, kiai adalah tempat masyarakat bertanya hal apa pun mulai dari masalah agama, ekonomi hingga supranatural. Oleh karena itu, selain sebagai kaum terdidik yang bertugas untuk menyampaikan pengetahuan Islam kepada penduduk desa, kiai juga merupakan patron, tempat penduduk bergantung (Turmudi, 2006).

Tokoh yang disebut “kiai” tidak hanya di-anggap sebagai pemimpin informal, tetapi juga sebagai wujud personifikasi penerus Nabi Mu-hammad karena para kiai adalah pewaris para nabi dalam segi agama ataupun akhlak. Gelar kiai disematkan oleh masyarakat atas dasar keunggulan yang dimiliki kiai seperti keda-laman ilmu, kemuliaan nasab dan kekayaan ekonomi. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, kiai mempergunakannya untuk meng-abdi kepada masyarakat (Moesa, 2007). Den-gan kedudukan dan status sosial tersebut, kiai menyandang peran-peran sosial yang signifikan di masyarakat.

Peran sosial dapat dimaknai sebagai tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki status sosial tertentu. Peran mencakup hak dan kewajiban seorang individu dalam hubungannya dengan individu lain. Setidaknya, peran sosial mencakup tiga hal, yaitu norma-norma yang berhubungan dengan posisi seseorang dalam masyarakat, konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat, dan perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Dalam konsep sosiologi tentang teori peran (role theory), peran adalah sejumlah tindakan yang dilakukan individu dalam suatu konteks (lingkungan). Peran akan efektif bila memenuhi berbagai syarat yang termasuk didalamnya berbagai norma yang melekat pada posisi sosial pelaku, kepercayaan/agama dan sikap yang dianut, serta konsep peran yang dimainkannya sendiri (Borgatta & Marie, 1992). Jadi, segala bentuk aktivitas atau kegiatan bermanfaat yang dilakukan oleh individu dalam suatu masyarakat dapat disebut sebagai wujud peran sosial.

Seperti halnya hubungan sosial, peran so-sial bukanlah hal yang statis, melainkan selalu bergerak secara dinamis sesuai dengan

peru-bahan zaman dan perbedaan teritori. Sejarah mencatat bahwa peran-peran sosial kiai sudah merentang panjang sejak sebelum zaman ke-merdekaan Republik Indonesia hingga masa se-karang. Setiap zaman menghasilkan peran-per-an yperan-per-ang dituntut berbeda dari sosok kiai.

Pada masa penjajahan, para kiai berperan sebagai panglima pemimpin laskar jihad yang berperang melawan Belanda. Diantaranya adalah K.H. Zainul Arifin dari Barus Sumatera Utara yang menjadi pemimpin laskar Hizbullah (tentara Allah) dan KH. Masykur dari Malang yang mengomandoi Laskar Sabilillah (jalan kepada Allah) (Farih, 2016). Ideologi nasionalisme mencintai negara adalah bagian dari iman (hubbul wathon minal iman) mengalir dalam urat nadi para kiai. Resolusi Jihad dari KH Hasyim Asy’ari semakin menegaskan bahwa hukum mempertahankan negara Republik Indonesia adalah bagian dari kewajiban agama yang harus dilaksanakan oleh umat Islam.

Seorang antropolog, Clifford Geertz, juga merekam aktivitas dan peran kiai di Jawa Timur pada medio akhir 1950-an. Geertz (1960) menyebutkan bahwa kiai memiliki peran sebagai cultural broker (makelar budaya), yaitu menghubungkan pesantren dengan kehidupan masyarakat petani di pedesaan Jawa. Kiai juga berperan menyaring unsur-unsur budaya yang diperbolehkan atau yang tidak diperbolehkan berdasarkan agama Islam untuk masuk ke dalam pesantren. Namun, peran kiai berubah ketika teknologi masuk dengan membawa gempuran budaya luar. Horikoshi (1987) yang melakukan penelitian di Jawa Barat mencatat bahwa kiai tidak lagi hanya menjadi makelar budaya, tetapi juga menjadi agen perubahan sosial bagi pesantren dan masyarakat di sekitarnya. Turmudzi (2006) melalui penelitiannya di Jombang pada tahun 2003—2004, mengidentifikasi peran kiai menjadi empat kategori, yaitu Kiai Pesantren, Kiai Tarekat, Kiai Panggung, dan Kiai Politik. Kiai Pesantren merujuk kepada kiai pengasuh pondok pesantren; kiai tarekat adalah pemimpin tarekat yang biasa disebut mursyid; Kiai Panggung adalah kiai yang sering tampil dari panggung ke panggung untuk memberikan ceramah; dan Kiai Politik adalah kiai yang bergerak dalam

(3)

politik praktis. Yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa seorang kiai tidak mesti hanya memainkan satu peran kategori, tetapi ia juga bisa menjalani peran keempat kategori secara bersamaan.

Salah satu yang merekam peran-peran so-sial kiai adalah karya sastra. Sastra dalam hal ini dapat menjadi dokumen sosial yang memo-tret sebuah atau beberapa peristiwa beserta jaring-jaring hubungan antarkelompok mas-yarakat yang terjadi pada kurun waktu tertentu di dalam sebuah teritori tertentu pula. Dalam ar-tian bahwa sebuah karya selalu lahir dari kondi-si sokondi-sio-historis masyarakat tempat pengarang memantulkan kondisi tersebut dan menginter-pretasikannya ke dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastra adalah cermin tentang kiprah kiai di masyarakat, yaitu sejauh mana sastra meng-gambarkan realita sosial tentang peran-peran kiai dalam lingkup sosial kemasyarakatan, uta-manya pada masa kolonial.

Djamil Suherman adalah salah seorang pengarang yang banyak memasukkan unsur kiai ke dalam karyanya. Ia lahir di Sidoardjo, Jawa Timur, 24 April 1924 dan meninggal tanggal 1 Desember 1985 di Bandung. Karyanya yang berupa buku, antara lain (1) Muara (kumpulan puisi bersama Kaswanda Saleh, 1958, Palem-bang: Lembaga Seni), (2) Manifestasi (kum-pulan puisi bersama delapan penyair, 1963, Ja-karta: Jambatan), (3) Umi Kalsum (kumpulan cerpen, 1963, Bukittinggi: NV Nusantara dan terbitan kedua kalinya oleh Mizan, 1984), (4)

Nafiri (kumpulan puisi, 1983,

Bandung:Pus-taka Salman), (5) Pejuang-Pejuang Kali Pepe (novel, 1984, Bandung: Pustaka Salman), (6)

Sarip Tambak Oso (novel, 1985, Bandung:

Mi-zan); (7) Sakerah (novel, 1985), (8) Kabar dari

Langit (kumpulan puitisasi terjemahan Quran,

1986), dan (9) Jalan Pintas ke Sorga:

Kumpu-lan Kisah Nabi dan para Sahabat, 1986) (lihat ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

Djamil Suherman dikenal sebagai sas-trawan yang banyak menulis tentang agama Islam dan dunia pesantren, di antaranya ada-lah tentang kehidupan kiai pada masa penja-jahan. Sosok Djamil yang tumbuh besar dan mendapatkan pendidikan di pesantren menjadi sisi menarik tersendiri untuk mendapatkan

pan-dangan dalam (insider view) tentang peran-per-an tokoh pesperan-per-antren melalui karya-karyperan-per-anya.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah penelitian ini. Perta-ma, bagaimana Djamil Suherman menggam-barkan sosok kiai (pada masa kolonial) dalam karya-karyanya. Kedua, peran sosial seperti apa yang dijalankan oleh kiai pada masa kolonial. Maka, sesuai dengan rumusan masalah, pene-litian ini bermaksud untuk mengungkap sosok dan peran kiai pada masa penjajahan yang ter-gambar melalui karya-karya sastra yang dika-rang oleh Djamil Suherman.

Penelitian tentang karya-karya sastra Djamil Suherman telah dilakukan oleh beber-apa peneliti, salah satunya adalah Yulianto (2007) dengan judul “Novel Pejuang-Pejuang

Kali Pepe Karya Djamil Suherman: Suatu

Tin-jauan Sosiologis”. Penelitian ini menyimpul-kan bahwa novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe mengandung dua dimensi religiusitas, yaitu Pertama, nilai religius tentang hubungan nusia dengan manusia yang berupa bahwa ma-nusia hendaknya bersikap rendah hati, tidak takabur, saling menghargai dan menghormati aturan sosial. Kedua yaitu nilai religius tentang hubungan manusia dengan Tuhan yang berupa manusia percaya dan mengakui-Nya serta men-gajak orang untuk kembali ke jalan-Nya dan menjalankan perintah-Nya. Penelitian di atas memang menggunakan sosiologi sastra, tetap berfokus kepada nilai-nilai religius yang hidup dalam lingkungan sosial. Terlebih lagi, studi Yulianto hanya menyoroti novel

Pejuang-Pe-juang Kali Pepe yang berbeda dengan studi ini

yang menyoroti tiga karya Djamil Suherman. Studi tentang karya Djamil Suherman juga dilakukan oleh Atisah & Mujiningsih (1996) yang menitikberatkan pada latar pesantren da-lam kumpulan cerpenUmi Kalsum. Atisah lebih banyak mengulas tentang pesantren sebagai

set-ting tempat, seperti masjid, rumah kiai, kamar,

dan pemondokan santri berikut dengan gamba-ran kehidupan pesantren yang sesuai dengan ajaran Islam. Penelitian Atisah dan Mujiningsih belum mengungkap tentang dimensi sosiologis dari karya-karya Djamil Suherman. Peneliti lain, Rosyid H.W. (2019), juga pernah menu-lis tentang karya Djamil Suherman dari sudut

(4)

pandang antropologis dengan judul “Subkultur Pesantren dalam Karya-Karya Djamil Suher-man”. Ia menyebutkan bahwa karya Djamil Suherman menarasikan ritual-ritual keagamaan yang hidup di pesantren seperti Marhabanan dan Mauludan. Karya Djamil juga berisi lima elemen pesantren seperti pondok, masjid, kiai, santri, dan pengajaran kitab kuning. Tetapi stu-di stu-di atas juga mengulas tentang kiai, namun hanya dalam porsi yang sangat terbatas dan ku-rang komprehensif. Di sisi lain, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang sosok kiai dalam karya-karya Djamil Suherman.

Sosok kiai dalam sastra Indonesia juga pernah diteliti oleh Aprinus Salam. Salam menyimpulkan bahwa, pertama, kiai memili-ki posisi sosial yang signifikan karena mampu menjadi penasihat masyarakat dalam hal dun-ia. Ini menandakan bahwa kiai memiliki posi-si penting dalam agama sekaligus masyarakat. Kedua, tidak ada gambaran kiai politik dalam karya sastra hingga zaman Orde Baru. Ketiga, karya sastra pasca reformasi menggambarkan keanekaragaman sosok kiai. Dengan memilih banyak novel mulai dari zaman penjajahan Be-landa hingga masa reformasi, penelitian Salam ini lebih menitikberatkan tentang perubahan sosok kiai dari zaman ke zaman dan tidak ber-fokus pada sosok kiai pada era tertentu. Peneli-tian Salam memang menggambarkan sosok kiai pada masa kolonial melalui novel karya Sutan Sati, Hamka, Suman Hs, Sutan Takdir Alisjah-bana, dan Nur Sutan Iskandar yang menggam-barkan kiai sebagai sekadar saudagar kaya dan tidak memiliki kedalaman agama Islam. Hal ini berkaitan dengan seleksi politis yang dilakukan Belanda terhadap karya sastra. Namun, pene-litian Salam tidak menyinggung karangan-ka-rangan Djamil Suherman yang menjadi fokus penelitian ini.

Maka, studi ini dilakukan karena peneli-tian ini berbeda dengan studi-studi sebelum-nya setidaksebelum-nya dalam dua alasan. Pertama, pendekatan yang digunakan dalam membaca karya-karya Djamil Suherman. Pendekatan dan pisau teoretik yang berbeda tentu berbeda pula dalam penentuan titik fokus sehingga meng-hasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Untuk itu, pendekatan sosiologi sastra yang berfokus

pada sosok dan peran kiai pada masa penjaja-han adalah sebuah kebaruan dari penelitian ini yang belum pernah ditulis sebelumnya. Kedua, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga karya Djamil Suherman, yaitu kumpulan cerpen Umi Kalsum, novel Sakerah dan novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Ketiga, data ini dimaksudkan untuk memberikan gam-baran tentang sosok dan peran sosial kiai dalam pandangan Djamil Suherman yang lebih leng-kap.

Studi ini menggunakan teori sosiologi sas-tra sebagai pisau analisisnya. Sosiologi sassas-tra adalah sebuah cara pandang yang melihat sastra memiliki hubungan dengan kehidupan sosial manusia, yaitu hubungan manusia dengan kel-uarga, masyarakat, politik dan negara (Swinge-wood & Laurenson, 1972, hlm. 12--14). Karya sastra merupakan dokumen sosiobudaya yang dapat digunakan untuk melihat suatu fenome-na dalam masyarakat pada masa tertentu yang dapat berupa struktur sosial, hubungan kelu-arga, konflik sosial, tren perceraian dan kom-posisi populasi penduduk Swingewood & Laurenson (1972, hlm. 13). Lebih jauh lagi, Swingewood dan Laurenson menguraikan se-cara detail dalam bukunya The Sociology of

Lit-erature (1972) bahwa terdapat tiga perspektif

sosiologi sastra, yaitu penelitian yang meman-dang karya sastra sebagai dokumen sosial yang merefleksikan situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan penelitian yang menangkap sastra sebagai man-ifestasi peristiwa historis.

Penelitian ini menggunakan perspektif per-tama dari sosiologi sastra Swingewood karena berkesesuain dengan titik masalah yang ingin diungkap, yaitu tentang sastra sebagai dokumen sosial yang merefleksikan situasi sosial pada periode tertentu. Swingewood & Laurenson (1972, hlm. 16--17) menyatakan bahwa sastra adalah cerminan nilai dan perasaan individu dalam sebuah struktur sosial sebagai respons terhadap perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang berbeda-beda sehingga karya sastra yang merekam kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia adalah barometer sosiologis paling efektif dalam melihat respons manusia

(5)

terhadap tekanan sosial.

Maka, peran penelitian sosiologi sastra adalah untuk menghubungkan pengalaman imajinasi penulis dan iklim situasi historis untuk menemukan nilai dan makna dunia sosial tersebut dari karya sastra (Lowenthal, 1957 via Swingewood & Laurenson, 1972, hlm. 14). Dalam hal ini, tugas kritikus sosiologi sastra tidak hanya menemukan refleksi sosial dan historis karya sastra, tetapi juga mengartikulasikan nilai-nilai yang tertanam di dalamnya (Swingewood & Laurenson, 1972, hlm. 14)

Wahyudi (2013, hlm. 61) menggarisbawahi bahwa karya sastra bukanlah artefak, tetapi ha-sil proses dialektika pemikiran, sehingga karya sastra bukanlah semata-mata cerminan realitas secara keseluruhan, melainkan juga sentuhan pemikiran pengarang terhadap fakta yang terja-di. Maka, penemuan nilai dan makna dunia so-sial dalam karya sastra dimaksudkan untuk me-nemukan keberpihakan karya sastra tersebut.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Moleong (2013, hlm. 6), penelitian kualitatif bermaksud untuk memaha-mi fenomena yang dialamemaha-mi sendiri oleh subjek penelitian secara holistik lalu dideskripsikan dalam bentuk paparan kebahasaan yang dapat berupa kata-kata atau teks tulis.

Terdapat tiga langkah dalam penelitian ini. Pertama, penentuan data primer penelitian yang berupa karya-karya Djamil Suherman, yai-tu kumpulan cerita pendek Umi Kalsum (1984), novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984) dan novel Sakerah (1985). Ketiga buku ini dipilih karena menarasikan tokoh dan peran sosial kiai yang menjadi pokok permasalahan dalam studi ini. Kata, kalimat, teks dan atau narasi dalam tiga karya tersebut menjadi sumber data pe-nelitian ini. Selain data primer, pepe-nelitian ini juga menggunakan data pustaka sebagai data sekunder yang dianggap berkaitan dengan fakta sosial tentang peran kiai. Kedua, pengumpu-lan data yang dilakukan adalah dengan teknik simak-catat. Peneliti membaca ketiga karya Djamil Suherman secara intensif dan seksama, lalu mencatat dan mengklasifikasikan data-data

yang berkaitan dengan peran sosial kiai.

Ke-tiga, analisis data yang berupa teknik analisis

isi (content analysis), yaitu peneliti melakukan analisis, interpretasi dan pemaknaan terhadap klasifikasi data teks untuk mengetahui per-an-peran sosial kiai pada masa kolonial yang terekam dalam karya sastra lalu menghubung-kannya dengan realitas sosial yang berupa fakta sosial dan fakta sejarah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kiai di dalam agama Islam adalah seorang tokoh masyarakat yang segala polah tingkah dan tindak tuturnya menjadi perhatian masyarakat. Gelar “kiai” tidak sembarangan disematkan. Ada kategori-kategori tertentu yang harus melekat pada diri seseorang agar ia bisa disebut sebagai kiai. Terdapat karakteristik-karakteristik yang khas yang harus dimiliki oleh seorang kiai. Kategori dan karakteristik inilah yang kemudian membentuk citra kiai.

Sebagai sebuah kontruksi sosial, citra kiai juga dapat berubah seiring dengan perubahan zaman karena pola hubungan sosial masyarakat juga akan berubah berikut juga eksponen-ek-sponen sosialnya. Mungkin, pada suatu masa, kiai dicitrakan memiliki akhlak yang baik yang senang membantu sesama. Namun, kiai di se-buah tempat tertentu pada masa tertentu ada-lah seorang politisi yang sedang meraih kursi kekuasaan.

Maka, karya-karya Djamil Suherman ada-lah sebuah hasil lensa potret dalam menggam-barkan citra kiai pada zaman tertentu, yaitu pada masa penjajahan. Titik potret ini menja-di penting untuk melihat dan menjawab per-tanyaan-pertanyaan, seperti apakah citra kiai mengalami stagnasi atau malah berubah pada masa sekarang? Apakah perubahan citra kiai ke arah yang lebih baik atau lebih buruk pada masa sekarang? Mengapa stagnasi citra kiai terjadi di tengah gelombang perubahan zaman? Mengapa kiai berubah pada masa sekarang? Hal-hal semacam di atas menjadi signifikan untuk ditelaah untuk melihat lanskap sosial masyarakat secara utuh ditempat kiai berperan penting di dalamnya.

Kiai sebagai Individu

(6)

mengamini definisi bahwa kiai adalah pimpinan pondok pesantren yang memiliki kedalaman ilmu agama. Kiai juga didefinisikan memiliki genealogi biologis dari kiai. Seseorang disebut sebagai kiai juga karena ia adalah keturunan kiai pula. Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe mencatat bahwa Kiai Mukmin adalah pimpinan Pondok Pesantren Gedangan tempat ia meng-gantikan kedudukan almarhum ayahnya, Kiai Idris. Begitu juga kumpulan cerpen Umi Kalsum yang membicarakan persoalan kiai.

“Kiai Sjafii adalah putera tunggal beliau (Kiai Ahmad—pen.) yang kini menggantikannya sebagai Kyai pesantren Kedungpring” (Suher-man, 1984b, hlm. 25).

Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Dhofier (2011, hlm. 101--109) bahwa pen-gakuan akan kiai tidaklah diperoleh melalui keturunan, tetapi melalui pengetahuan keag-amaan. Keturunan kiai memang telah diper-siapkan untuk menjadi kiai karena tiga hal.

Pertama, para kiai bertanggung jawab

“menja-ga” anggota keluarganya dari api neraka sep-erti yang diperintahkan Qur’an (surat 66 ayat 6) dengan mengajarkan agama kepada mereka.

Kedua, kiai bertanggung jawab untuk

mele-starikan kehidupan dan kepemimpinan pesant-ren. Ketiga, untuk menjaga rantai intelektual (intellectual chain) dalam pemahaman terha-dap agama.

Dalam cerita-cerita yang dikarang oleh Djamil Suherman, kiai sebagai individu digambarkan sebagai orang yang gemar melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh agama Islam. Tidak hanya melakukan ibadah yang wajib, tetapi juga ibadah yang bersifat sunah. Dengan kata lain, kiai melaksanakan ajaran agama melebihi rata-rata yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Secara kasat mata, ketaatan kiai pada ajaran agama berada pada level yang lebih tinggi daripada umat Muslim lainnya. Kiai seperti diberikan kekuatan dan kemampuan berlebih dalam menjalankan perintah agama. Dalam kumpulan cerpen Umi

Kalsum, Djamil Suherman menggambarkan

sosok Kiai Sjafi’i, pemimpin pesantren di Desa Kedungpring sebagai orang yang “suka

sekali berpuasa dan siang malam melakukan sembahyang sunah (salat sunah atau salat yang dianjurkan agama Islam--pen.)” (“Pesantren dan Kiai Kami”; (Suherman, 1984b, hlm. 25).

Ketaatan beragama inilah yang menjadi sumber bagi terciptanya citra positif dan damai yang melekat pada sosok kiai. Sebagai seo-rang manusia, kiai digambarkan sebagai sosok yang “wajah dan keningnya yang selalu tampak bersih dan bercahaya” sehingga membuat ten-ang dan senten-ang bagi siapapun yten-ang memandan-gnya. Dengan sorot cahaya matanya, ketedu-han adalah hal yang dirasakan ketika melihat kiai. Dalam novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe, keteduhan kiai disebabkan adanya kedamaian iman dan ketawakalan di dalam jiwa kiai. Da-lam kumpulan cerpen Umi Kalsum, keceriaan wajah kiai adalah “pancar nur kebesaran

seo-rang alim”.

Peran-Peran Sosial Kiai

Kiai di cerita-cerita Djamil Suherman adalah sosok manusia yang mengemban banyak per-an sosial. Kiai adalah sosok yper-ang mengajarkper-an agama Islam, membimbing masyarakat, men-gajarkan kesaktian, dan bahkan seorang pemi-mpin laskar perang dalam melawan Belanda.

Mengajarkan Agama dan Membimbing Umat

Sebagai pemimpin pesantren yang memiliki kedalaman pengetahuan agama Islam, dapat dikatakan mengajarkan agama adalah kegiatan paling penting dan utama dari kiai. Kiai dalam karangan-karangan Djamil telah mengajarkan agama Islam setiap hari selama berpuluh-puluh tahun. Tidak hanya mengajar santri-santri yang tinggal bersamanya di lingkup pesantren, kiai juga ‘bertugas’ untuk membimbing masyarakat berkaitan dengan urusan keagamaan. Seorang santri di dalam cerita pendek “Pesantren dan Kiai Kami menceritakan pengalamannya ketika diajar oleh kiai.

“[…] tiap lepas Subuh menerima pengajian langsung dari Kyai Sjafii. Di tingkat lanjutan ini kami mempelajari Tafsir Quran dan penga-jian-pengajian lain yang berat, seperti Mam-ba’ul Ulum, Ihya Ulumuddin karangan Imam

(7)

Ghazali, Filsafat dan Tasawuf” (Suherman, 1984b, hlm. 25).

Kitab kuning inilah yang menjadi pijakan kiai dalam memandu santri untuk memahami ajaran agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Kitab kuning merujuk pada kitab klasik yang dicetak di kertas berwarna kuning. Azra (2012, hlm. 143) mendefinisikan kitab kuning sebagai kitab-kitab keagamaan berba-hasa Arab, Melayu, Jawa, atau baberba-hasa-baberba-hasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, baik yang ditulis oleh ulama Timur Tengah maupun ulama Indonesia sendiri.

Kehidupan kiai tidak bisa dilepaskan dari kitab kuning. Rumah kiai adalah juga rumah bagi tumpukan kitab kuning yang berderet-deret rapi di rak-rak lemari (Suherman, 1984a, hlm. 7). Hal ini menandai penguasaan kiai terhadap pengetahuan agama Islam. Djamil Suherman juga menekankan tentang peran kiai dalam pen-gajaran agama di novel Pejuang-Pejuang Kali

Pepe. Perhatikan kutipan berikut ini.

“Telah berpuluh-puluh tahun Kiyahi Mukmin menuntun santri-santrinya dengan pelaja-ran-pelajaran agama […] ajaran-ajaran agama tidak saja diberikan dalam pesantren, melaink-an juga ke luar sebagai usaha da’wah (Suher-man, 1984a, hlm. 3).

Santri-santri hasil didikan kiai inilah yang telah dibekali pengetahuan agama dan keluhu-ran budi kemudian akan terjun ke masyarakat untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran agama. Di satu sisi, mereka menebarkan keberman-faatan bagi masyarakat luas. Santri-santri yang telah lulus dari pesantren dan bergabung den-gan masyarakat adalah saluran kontribusi kiai di dalam menyampaikan asas-asas kebajik-an dkebajik-an nilai-nilai kebaikkebajik-an. Djamil Suhermkebajik-an menarasikannya sebagai berikut.

“Di Gedangan juga diadakan pengajian-penga-jian yang teratur, yaitu pengapengajian-penga-jian Shubuh, pen-gajian Ashar, dan penpen-gajian Maghrib. Pengaji-an demikiPengaji-an telah berjalPengaji-an berpuluh tahun yPengaji-ang dilaksanakan oleh leluhur Kiyahi Mukmin. Para lulusan Pondok Gedangan yang tersebar luas kini menduduki jabatan penting, baik di

lembaga-lembaga negara yang pada waktu itu terbatas pada pangkat Penghulu Negeri, mau-pun pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di kota-kota besar” (Suherman, 1984a, hlm. 37--38).

Kiai sebagai tokoh sosial tidak hanya mengajar santri, tetapi juga membimbing umat secara umum. Jika kiai mengajar santri hanya dengan cukup berada di pesantren, kiai men-gajar masyarakat harus dengan keluar rumah dan mengunjungi banyak tempat. Kiai berdak-wah dengan menggelar pengajian dari masjid ke masjid, dari desa ke desa, dan satu wilayah ke wilayah lain. Di pelbagai tempat inilah, kiai menjadi pemimpin dari ritual-ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat. Seperti yang ditulis oleh Bruinessen (1994, hlm. 21), kiai tidak hanya sebagai guru agama, tetapi juga pemimpin ritual-ritual penting sekaligus pemb-aca doa pada pelbagai pemb-acara kemasyarakatan.

Kumpulan cerpen Umi Kalsum mencer-itakan bahwa kiai memimpin doa pada aca-ra kasidahan dan marhabanan (“Jadi Santri”; Suherman, 1984b, hlm. 14--15). Dalam gelaran peringatan Isra Mikraj, misalnya, kiai dituntut untuk membacakan sejarah Nabi Muhammad beserta dengan kontekstualisasinya pada masa sekarang (cerpen “Malam Mauludan”; Suher-man, 1984b, hlm. 51).

Kiai adalah pelita bagi masyarakat, tempat segala orang mengadukan masalah-masalah ke-hidupannya. Orang-orang datang kepada kiai atau menghadiri pengajian-pengajiannya alah untuk mencari keberkahan hidup. Kiai da-lam cerita Djamil Suherman adalah orang yang turut bertanggung jawab terhadap terbentuknya harmoni sosial. Kiai berusaha untuk menyuara-kan bahwa manusia haruslah berbuat baik ke-pada sesama dan sejauh mungkin untuk tidak melakukan kejahatan. Mengajarkan agama bagi kiai adalah sama dengan satu tarikan napas da-lam menebarkan kedamaian.

Di dalam salah satu novelnya yang berjud-ul Sakerah, Djamil menceritakan tentang seo-rang preman yang telah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Pada mulanya, Sakerah di-gambarkan sebagai orang yang sering membuat keonaran, mengganggu ketertiban dan

(8)

mencip-takan ketidaktenteraman dalam hidup bermas-yarakat. Namun, dengan sentuhan tangan din-gin kiai, akhirnya Sakerah menjadi orang yang baik. Ia berjuang demi terwujudnya ketentera-man di desanya. Sakerah sebagai ketentera-mantan pre-man digambarkan sering mencari petunjuk dan petuah hidup kepada kiai.

“Pada setiap pengajian di langgar desa, Saker-ah selalu hadir dan disana dia membaktikan di-rinya kepada Kyahi Saleh. Ketekunan Sakerah terhadap kebajikan membuat rumahtangganya berkah. Sekali sebulan dia silaturahmi kepa-da kyahi-kyahi di luar desanya. Dia ke rumah Kyahi Hasan di Sidoarjo, Kyahi Khalil di Dos-ermo […]”

Pertemuan Sakerah dengan kiai telah men-yadarkannya pentingnya berbuat baik kepada sesama. Dengan apa yang dimilikinya, yaitu kesaktian, Sakerah sadar bahwa dia bisa ban-yak menebarkan manfaat bagi orang lain. In-teraksinya yang intens dengan kiai membuat pola pikir dan tingkah lakunya berubah. Pada akhirnya, Sakerah pun menjadi orang baik dan menyadari perannya sebagai manusia. Lalu, ia menggunakan kesaktian dan kekuatannya un-tuk membantu orang-orang yang membutuh-kan. Hal ini adalah berkat bimbingan dan nasi-hat kiai.

“Sakerah memandang bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah kebaikan. Kebaikan pada diri sendiri, keluarga dan orang lain. Pandangan demikian timbul saat-saat dia menyadari bah-wa kejagoan manusia sebenarnya tidaklah ada artinya dibandingkan dengan kekuasaan Maha Pencipta” (Suherman, 1985, hlm. 2).

Mengajarkan Kesaktian dan Memperkuat Moral

Kiai dalam gambaran Djamil Suherman tidak hanya mengajarkan agama belaka, tetapi juga mengajarkan ilmu kesaktian silat dan kanura-gan. Kiai juga adalah seorang pendekar yang sakti. Penampilan tubuhnya yang kekar adalah cerminan dari perawakannya yang kuat dan kepribadiannya yang teguh (Suherman, 1984a, hlm. 25). Cerita-cerita Djamil menunjukkan

bahwa rantai genealogi kiai tidak hanya mew-ariskan kedalaman pengetahuan agama, tetapi juga menurunkan kesaktian. Kiai-kiai adalah para pendekar yang selalu mengajarkan kesak-tiannya kepada muridnya-muridnya. Dalam kumcer Umi Kulsum, tepatnya cerpen berjudul “Pesantren dan Kiai Kami” digambarkan se-bagai berikut.

“Kiai Sjafii bukan saja termasyhur karena be-sar ilmunya. Menurut cerita kakekku, beliau juga punya kesaktian seperti ayah beliau. Dan kesaktian itu memang diwarisi turun temurun dari leluhur beliau yang kabarnya berasal dari negeri Mekkah” (Suherman, 1984b, hlm. 25). Senada dengan hal tersebut, novel Sakerah juga menegaskan tentang kiai.

“Dari Kyahi Khalil inilah Sakerah banyak memperoleh ilmu-ilmu kesaktian, ilmu kebal dan aji-aji yang tidak setiap orang mendapa-tkannya […] Pada masa mudanya, Pak Sya-ropah pun pernah berguru di Dosermo ini se-belum generasi Sakerah […]”

Kesaktian dan ilmu silat yang diajarkan oleh kiai tidak hanya berupa kekuatan fisik saja, tetapi kiai juga membekali para pendekar dengan kekuatan batin dan kekuatan moral. Inilah yang membedakan ilmu silat yang diasuh oleh kiai. Kekuatan batin diperoleh melalui tirakat batin dan riyadah batiniah. Hal ini seperti seseorang mau berguru silat kepada kiai, orang itu diharuskan untuk berpuasa mutih selama empat puluh hari, yaitu puasa yang sahur dan buka puasa hanya diperbolehkan dengan memakan dan meminum hal-hal yang berwarna putih dan tawar seperti air putih, nasi, kerupuk dan garam. Ada pula laku batin yang mensyaratkan seorang murid untuk melakukan salat hajat tiap tengah malam yang ditambah dengan zikir-zikir tertentu.

Kekuatan moral sengaja diajarkan untuk membekali para calon pendekar bahwa kekua-tan dan kesaktian mereka benar-benar digu-nakan untuk kepentingan-kepentingan yang mulia, tidak demi meraih hal-hal yang dilarang oleh agama. Setiap pendekar asuhan kiai adalah pendekar yang diharapkan memiliki keagungan

(9)

moral. Narasi berikut adalah pesan seorang kiai yang telah mendarah daging di dalam jiwa seo-rang pendekar bernama Sakerah.

“Muslim dengan muslim lainnya adalah ber-saudara dan wajib memelihara kasih sayang di antara mereka. Jangan ria, jangan takabur, dan mementang-mentangkan diri, karena seo-rang pun di dunia ini tak ada yang sempurna. Setiap orang punya kelebihan dan kelemah-an. Kesempurnaan hanya pada Gusti Allah.” Pesan-pesan kiai inilah yang menjadi pan-duan bagi para pesilat dalam menggunakan kesaktiannya. Saat pendekar melakukan kes-alahan dengan menyalahgunakan kekuatannya, ia akan mengalami gejolak batin karena telah mengingkari apa yang diajarkan oleh gurunya. Hal inilah yang terjadi kepada Sakerah setelah ia dengan penuh hawa nafsu membunuh beber-apa orang dalam sebuah pertempuran.

“Dia pun seolah melihat Kyahi Saleh, guru dia pernah mengaji di suraunya di Desa Rembang. Kyahi itu pernah berkata kepadanya: orang yang kuat dan pemberani itu adalah dia yang berhasil menundukkan hawa nafsunya. Un-tuk apa kita harus berani mati. Yang perlu kita pikirkan iyalah berani hidup sesudah mati. Un-tuk itu, kita memerlukan bekal persiapan unUn-tuk hidup kelak” (Suherman, 1985, hlm. 87). Pencak silat dan ilmu kesaktian memang telah temurun diajarkan oleh para kiai. Pada masa itu, para pendekar dan pemilik kesak-tian adalah garda depan perlawanan terhadap pihak kolonial. Sakerah menjadi bukti bahwa meskipun pada awalnya ia adalah preman, ia memutuskan untuk melawan Belanda setelah mendapatkan pengajaran kiai. Santri-sant-ri muda di pondok Kiai Mukmin dalam novel

Pejuang-Pejuang Kali Pepe adalah para pesilat

tangguh yang menjadi pejuang terdepan dalam kisah pemberontakan terhadap Belanda.

Sepanjang sejarah revolusioner Indonesia, pemberontak dan petani berbondong-bondong datang ke syekh sufi, kiai dan guru pencak silat yang terkenal karena kekuatan mereka untuk mempersiapkan diri dan mengantisipasi pergo-lakan yang akan datang dalam hal perlawanan

kepada Belanda (Wilson, 2002, hlm. 156). Wil-son (2002, hlm. 156) menegaskan bahwa se-kolah-sekolah silat tradisional bersama dengan tarekat yang dipimpin oleh kiai menjadi dasar yang kuat dalam gerakan revivalistik dan mile-narian di Jawa.

Selain itu, kiai tidak hanya mengajarkan agama dan silat, tetapi juga sering diminta masyarakat untuk membantu mereka berkaitan dengan alam gaib. Masyarakat mempercayai kiai Jawa sebagai kiai yang memiliki penglihatan batin serta ilmu kesaktian, yaitu kiai dianggap mampu menyembuhkan orang sakit secara spiritual dan mampu mengusir makhluk halus (Bruinessen, 1994, hlm. 21). Karena kedalaman ilmunya, kiai dianggap mampu berhubungan dengan dunia supranatural seperti dunia sihir, jin, malaikat, dan setan. Seperti yang terlihat dari narasi berikut saat seorang kiai mampu “menyembuhkan” anggota masyarakat yang terkena sihir. Perhatikan kutipan cerpen “Main Gambus” berikut ini!.

“Fatimah! Fatimah—dan lebih heran lagi ketika Kyai Sjafii datang melihatnya, seketika itu juga ia terdiam seperti kena sihir. Beliau meletakkan kedua tangan beliau ke ubun-ubun kemudi-an pada perut dkemudi-an dadkemudi-anya. Selesai itu, beliau berkenan memanjatkan doa dan semua yang menyaksikan sama khidmat melihatnya. Se-jak itu, Amran tak bergerak-gerak lagi. Betapa bangga dan takjub kami melihat kesaktian Kyai itu” (Suherman, 1984b, hlm. 32).

Melawan Penindasan Kolonial

Karya-karya sastra anggitan Djamil Suherman menggariskan catatan penting tentang peran kiai pada masa kolonial, yaitu bahwa kiai ada-lah pelopor perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Pandangan ini berangkat dari ken-yataan bahwa kedatangan Belanda ke pesantren telah mengganggu kehidupan keagamaan, baik di pesantren sendiri maupun di masyarakat se-cara umum. Kehadiran Belanda, bagi kiai, pasti akan mengacaukan syiar agama dan dakwah Is-lam. Hal ini dipertegas pula dengan pandangan kiai akan eksistensi bangsa ini. Kalimat hubbul

wathon minal iman, mencintai negara adalah

(10)

keag-amaan yang menjadi dasar bagi setiap gerakan perlawanan terhadap Belanda. Sebagai bangsa, penduduk desa adalah pewaris sah bumi dan alam yang mereka hidupi dan tinggali.

“[…] Demikianlah saudara-saudara, pesant-ren dan desa kita terancam bahaya dan kita tak mungkin mengelakkannya. Dengan ancaman itu maka perasaan agama kita tersinggung. Juga perasaan kebangsaan, sebagai bangsa yang berhak mewarisi bumi ini.”

Kebulatan tekad untuk melawan Belanda tidak hanya berdasarkan landasan keagamaan semata, tetapi juga didukung oleh semangat historis bahwa para kiai beserta keturunannya adalah bagian terdepan yang tidak menyetujui penindasan yang dilakukan oleh Belanda. Da-lam kumpulan cerpen Umi Kalsum diceritakan bahwa pemimpin pesantren Gedangan, Kiai Sjafi’i, telah ikut berperang melawan Belanda bahkan saat masih kanak-kanak karena ikut ayahnya, Kiai Ahmad. Kiai satu ini menurut penduduk desa adalah pahlawan dan pemimpin Perang Gedangan.

Kepeloporan kiai dalam melawan Belanda nampak di novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe. Pada mulanya, Belanda datang dengan keingi-nan untuk merampas tanah penduduk dan tanah pesantren demi membangun rel kereta api yang menghubungkan Surabaya-Malang. Penduduk desa yang tahu bahwa tanahnya akan dirampas tidak bisa berbuat apa-apa dan menyerahkan tanahnya secara terpaksa. Akan tetapi, hal itu ti-dak berlaku bagi tanah pesantren yang dikelola oleh kiai. Kiai dengan pendirian teguh menya-takan bahwa dia tidak akan menyerahkan tanah pesantren kepada pihak Belanda. Ia siap dengan segala konsekuensinya.

“Wahid! Katakan kepada Lurah bahwa Kiya-hi Mukmin tidak sudi datang ke Balai Desa!” “Mulai saat ini kita harus bekerja keras. Sean-dainya kita dipaksa menyingkir dan mening-galkan pesantren ini, demi Allah, kita harus menentangnya” (Suherman, 1984a, hlm. 43). Di saat-saat pegawai pemerintahan seperti Lurah dan Pamong Desa telah bergabung den-gan Belanda demi mengambil keuntunden-gan

prib-adi, dapat dikatakan bahwa kiai adalah elemen sosial yang paling mampu untuk memengaruhi masyarakat untuk mengatakan perlawanan. Walhasil, beberapa penduduk yang masih tersi-sa tanahnya akhirnya bergabung dengan pihak pesantren untuk mempertahankan tanah yang secara sah mereka miliki. Orang-orang yang telah menyerahkan tanahnya pun juga merapat kepada kiai untuk berjuang bersama merebut hak yang seharusnya mereka dapat.

Dalam melawan Belanda, kiai adalah pe-main aktif dan pemimpin perang. Masjid di-fungsikan sebagai tempat musyawarah warga untuk mengatur strategi. Masjid serta rumah kiai dijadikan tempat berteduh sementara bagi para penduduk yang telah terusir dari rumahn-ya. Kekayaan kiai dipergunakan untuk mem-beri makan para penduduk dan mempersiapkan logistik peperangan.

Menyikapi Belanda yang terus merangsek ke rumah-rumah penduduk, kiai menggelar musyawarah akbar dan ia langsung memimp-in rapat. Ratusan santri kiai sendiri, santri dari pesantren lain dan penduduk telah berkumpul di masjid. Ada santri dari pesantren Doser-mo, Ngelom, Ngembul, Waru, Sidoarjo, dan lain-lain telah menjadi satu untuk menegak-kan agama Islam. Dengan gaya persuasif, kiai menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan yang ia yakini kepada pen-duduk. Kiai Mukmin berkata dengan pelan, tetapi pasti.

“Anak-anakku, seperti apa yang dikatakan oleh Ismail tadi, tak lama lagi kita akan kehilangan segala-galanya. Bukan saja harta benda, tetapi juga harga diri dan kehormatan sebagai bang-sa yang merdeka di tanah air sendiri. Belanda dengan kekuasaannya akan merampas wilayah kita ini […] Kami ingin mendengar pendapat kalian […] Kalian yang hidup di pesantren ini, yang mencari dan mengamalkan perintah Al-lah, yang selalu mengorbankan apa yang kalian miliki demi tegaknya syi’ar agama kita, ber-tanggungjawab atas keselamatannya, bertang-gung jawab atas keutuhannya. Masjid, pondok, rumah dan tanah ini adalah kepunyaan kalian […]” (Suherman, 1984a, hlm. 54).

(11)

pun menyatakan dengan bulat bahwa mere-ka amere-kan mempertahanmere-kan tanah meremere-ka, amere-kan tetap tinggal di tanah mereka, dan siap ber-perang melawan Belanda. Mereka pun berbaiat dan bersumpah atas nama Tuhan untuk berjihad di jalan Allah.

“Demi Allah, mulai malam ini kita nyatakan perang kepada kompeni!”

“Perang!” “Sabil!”

“Jihad!” (Suherman, 1984a, hlm. 106).

Dalam menanamkan benih-benih perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda, Kiai tidak hanya bermodalkan ucapan belaka, tetapi juga memberi contoh dalam tindakan pula. Ia mengerahkan segala hal yang ia miliki demi kemaslahatan pesantren dan masyarakat. Rumahnya menjadi markas besar untuk tempat singgah para pejuang dan tempat para perempuan untuk memasak dan memasok bahan logistik peperangan. Sebagai pemimpin perang, kiai berada di barisan terdepan dalam menghadapi musuh.

“Kiyahi Mukmin dengan payah tampil kemba-li di jenjang masjid. Kobaran api memburun-ya. Semua mata melihatnmemburun-ya. Dilemparkannya pedangnya ke arah Ahmad lalu ia menghunus kerisnya. Ia turun dan menyerbu ke tengah pertarungan. Kembali mayat bergelimpangan. Satu per satu serdadu kompeni rebah oleh keris Kiyahi” (Suherman, 1984a, hlm. 113).

Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe den-gan tokoh Kiai Mukmin adalah kisah sejarah yang diceritakan ulang oleh Djamil Suherman dengan narasi imajinatif. Kiai Hasan Mukmin adalah pemimpin gerakan perlawanan petani di Gedangan Sidoarjo pada tahun 1904 (Fernando, 1995, hlm. 242--262). Gerakan agama berbasis masyarakat tani ini bermula dari masalah per-tanian ketika Belanda menerapkan penanaman paksa palawija (jagung dan ubi kayu) dan Be-landa menentukan secara sepihak harga sewa tanah sawah untuk ditanami tebu (Umroh, 2017, hlm. 92--93). Narasi-narasi Djamil Suherman menegaskan gambaran tentang perlawanan se-mangat zaman dari para kiai, yaitu perlawanan

terhadap penindasan kolonial Belanda.

Secara historis, perlawanan yang dipelopori kiai adalah gerakan yang sangat menyulitkan pi-hak Belanda. Pemberontakan tidak hanya terja-di terja-di daerah Sidoarjo saja, pada masa sebelum-nya, masyarakat di Cilegon di bawah pimpinan Kiai Wasyid pada tahun 1888 melakukan per-lawanan terhadap kaum penjajah. Salah satu peristiwa pemberontakan yang serius ini dipicu karena pejabat kolonial yang melarang umat Is-lam beribadah di masjid, selain juga pajak-pa-jak yang semakin tinggi (Kartodirjo, 2015, hlm. 474--477). Secara umum, pada masa kolonial Belanda, kehormatan yang tinggi dari mas-yarakat memudahkan kiai untuk membangkit-kan geramembangkit-kan pemberontamembangkit-kan. Kerja sama antara kiai dengan para pemimpin rakyat dalam mela-wan Belanda akan sangat membahayakan pihak kolonial (Dhofier, 2011, hlm. 19). Raffles dalam

The History of Java mencatat bahwa kiai sangat

aktif dalam berbagai pemberontakan (Ricklefs, 2008, hlm. 3).

SIMPULAN

Pembacaan terhadap karya-karya Djamil Suher-man seperti kumpulan cerpen Umi Kalsum, novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe dan novel

Sakerah menunjukkan akan peran-peran sosial

yang diemban oleh kiai pada masa kolonial. Berdasarkan pembahasan tersebut, penelitian ini menarik dua simpulan seperti yang termak-tub sebagai berikut.

Pertama, peran pertama dan utama kiai

adalah mengajarkan agama dan membimbing umat. Peran ini kiai jalankan dengan menga-jarkan santri-santri tentang agama di pesantren. Kelak, santri-santri ini akan kembali ke kam-pung halaman dan diharapkan dapat berkontri-busi terhadap masyarakat. Kiai juga berkunjung dari satu tempat ke tempat lain untuk menebar-kan pemahaman tentang agama dan berbuat baik kepada sesama dengan menggelar pengaji-an-pengajian umum.

Selain mengajarkan agama, kiai juga turut melatih para pendekar-pendekar silat yang nan-tinya kekuatan mereka sangat berguna demi melawan penjajahan. Kiai juga memperkuat moral para pendekar ini dengan nasihat dan laku tirakat. Selain itu, kiai juga dianggap

(12)

mam-pu berhubungan dengan dunia supranatural se-hingga orang-orang yang merasa “sakit” karena diganggu oleh setan atau jin akan meminta kiai untuk mengobati dan menyembuhkannya.

Kedua, sebagai bagian dari semangat

zaman, kiai juga berperan dalam melawan pen-indasan kolonial Belanda. Hal ini membukti-kan bahwa kiai menjadi pelopor perlawanan, inisiator gerakan, dan pemimpin peperangan. Kiai adalah ujung tombak perlawanan dalam mengorganisasi masyarakat, menanamkan benih-benih perlawanan, memimpin rapat-ra-pat penyusunan strategi, menyediakan logistik perang, hingga berdiri paling depan demi mem-bunuh tentara Belanda. Narasi-narasi Djamil Suherman dalam karya-karyanya menunjukkan kontekstualisasi dan ijtihad pemahaman keag-amaan yang dilakukan oleh kiai pada masa ko-lonial demi mewujudkan kehidupan keagamaan dan sosial yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Atisah & Mujiningsih, E.N. (1996). Latar Pe-santren dalam Karya-Karya Djamil Suher-man (Studi Kasus Kumpulan Cerpen Umi Kalsum). Pangsura, Bil.2(Jilid 2).

Azra, A. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan

Modernisasi di Tengah Tantangan Miline-um III. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Borgatta, E.F., & Marie L. (1992).

Encyclo-pedia of Sociology Volume 3. New York:

Macmillan Publishing Co.

Bruinessen, M. van. (1994). Tradisi

Rela-si-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru.

Yogyakarta: LKiS.

Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: studi

pandangan hidup kyai dan visinya men-genai masa depan Indonesia. Jakarta:

LP3ES.

Farih, A. (2016). Nahdlatul Ulama dan Kon-tribusinya dalam Memperjuangkan Ke-merdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Negara Kesatuan Republik In-donesia. Jurnal Penelitian Sosial

Keag-amaan, Vol. 24(No. 2), 251–284.

Fernando, M. (1995). The Trumpet Shall Sound for Rich Peasants: Kasan Mukmin’s Up-rising in Gedangan, East Java, 1904.

Jour-nal of Southeast Asian Studies, Vol. 26(No.

2), 242–262.

Geertz, C. (1960). The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker.

Com-parative Studies in Society and History, 2.

Horikoshi, H. (1987). Kiai dan Perubahan

So-sial. Jakarta: LP3ES.

Kartodirjo, S. (2015). Pemberontakan Petani

Banten. Depok: Komunitas Bambu.

Moesa, A.M. (2007). Nasionalisme Kiai:

Kon-truksi Sosial Berbasis Agama.

Yogyakar-ta: LkiS.

Moleong, L.J. (2013). Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosda-karya.

Ricklefs, M. (2008). Sejarah Indonesia Modern

1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu

Semes-ta.

Rosyid H.W., M. (2019). Subkultur Pesantren dalam Karya-Karya Djamil Suherman (Telaah Antropologi Sastra). Suar Betang,

Vol. 14(No.2), 211–221.

Suherman, D. (1984a). Pejuang-Pejuang Kali

Pepe. Bandung: Penerbit Pustaka.

Suherman, D. (1984b). Umi Kalsum;

Kisah-Ki-sah Pesantren. Bandung: Penerbit Mizan.

Suherman, D. (1985). Sakerah. Bandung: Pen-erbit Pustaka.

Swingewood, A. & Laurenson, D. (1972). The

Sociology of Literature. Paladin.

Turmudzi, E. (2006). Struggling for the Umma;

Changing Roles of Kiai in Jombang East Java. Camberra: Australian National

Uni-versity E-Press.

Umroh, U.A. (2017). Kyai Hasan Mukmin:

Studi tentang perannya memimpin perla-wanan petani pada pemerintah Kolonial

(13)

Belanda di Gedangan 1904. UIN Sunan

Ampel Surabaya.

Wahyudi, T. (2013). Sosiologi Sastra Alan Swingewood; Sebuah Teori. Jurnal

Poeti-ka, Vol. 1(No. 1), 55–61.

Wilson, I.D. (2002). The Politics of Inner

Pow-er: The Practice of Pencak Silat in West Java. Western Australia: School of Asian

Studies Murdoch University.

Yulianto, A. (2007). Novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe Karya Djamil Suherman: Suatu Tinjauan Sosiologis. In Bunga Rampai

Pe-nelitian Sastra. Banjar Baru: Balai

Baha-sa Banjarmasin PuBaha-sat BahaBaha-sa Departemen Pendidikan Nasional. Sumber Internet: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/ sastra/artikel/Djamil_Suherman

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Meliputi kegiatan Minggu Bersih, pemilahan sampah rumah tangga dan dilanjutkan pembinaan remaja oleh tokoh masyarakat dusun, diantaranya Bapak Sukarno kepala RW 1,

Meningkatnya pemahaman para anggota Pokdakan Mina Makmur Abadi dan Pokdakan Siwarak Mina Sejahtera mengenai teknologi pembenihan ikan nila yang baik dan produksi benih monosek

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus terdiri dari tahapan perencanaan, pelaksanaan tindakan, hasil tindakan dan

Penelitian mengenai relasi petanda dan penanda dalam ungkapan tradisional masyarakat Kerinci dari perspektif semiotika bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada indikator menetapkan tujuan dan target belajar 20,00%, mengenali asisten praktikum serta gaya menjelaskannya 36,00%, tekun

Skripsi ini berjudul “Uji Efek Tonikum Infusa Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Pada Mencit Putih (Mus musculus) Jantan Galur Swiss Webster”

i.. Hukum syarak secara keseluruhannya bersifat dinamik. Ianya dapat berubah dari satu hukum ke hukum yang lain sesuai dengan perubahan yang berlaku, termasuklah

9 Tahun 1975 yang mewajibkan pendaftaran nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), tidak serta merta menghapuskan kebiasaan praktek nikah sirri tersebut. Kebiasaan ni- kah