• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBHINNEKAAN, DEMOKRASI DAN HAK- HAK WARGA NEGARA (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KEBHINNEKAAN, DEMOKRASI DAN HAK- HAK WARGA NEGARA (2)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Bilingual Newsletter

Editorial ... 1

Fokus ... 3

Fitur ... 18

Kronik ... 21

Refleksi ... 30

Agenda ... 32

EDITORIAL

KEBHINNEKAAN,

DEMOKRASI DAN

HAK-HAK WARGA NEGARA (2)

P

esta demokrasi tahun

2014 telah usai.

Pemi-lihan Presidan dan Wakil

Presiden sudah dilaksanakan

secara langsung dan serempak di

seluruh wilayah tanah air pada 9

Juli lalu. Terpilihnya Joko Widodo

(JOKOWI) dan Jusuf Kalla (JK)

sebagai pasangan Presiden dan

Wakil Presiden RI periode

2014-2019 menyisakan banyak cerita,

dari cerita yang

menggembira-kan, mengecewamenggembira-kan,

menyedih-kan sampai memuakmenyedih-kan.

Pilpres kali ini sungguh

diwarnai oleh banyak hal yang

b e l u m p e r n a h t e r j a d i

sebelumnya dalam sejarah

Indonesia. Pertama pilpres

langsung kali ini hanya diikuti

oleh dua pasangan yang memiliki

karakter dan latarbelakang yang

sangat kontras. Kedua, pilpres

kali diikuti dengan antusiasme

yang sangat besar dan dukungan

yang luar biasa, khususnya dari

kalangan anak muda. Munculnya

DIVERSITY,

DEMOCRACY, AND THE

RIGHTS OF THE CITIZEN

(2)

T

h e 2 0 1 4 d e m o c r a t i c

celebration is over. The direct

Presidential Election was done

simultaneously throughout the

whole regions in Indonesia on 9 July

2014. The election of Joko Widodo

(JOKOWI) as the President and Jusuf

Kalla (JK) as the Vice President of

Indonesia for the year 2014 to 2019

has left the people with many stories

ranging from those which are

e x c i t i n g , t h o s e w h i c h a r e

disappointing, those which are

heart-breaking, to those which are

revolting.

The 2014 General Election brings

out a lot of new incidents which

enrich Indonesian history. Among

those incidents, there is the fact that

there were only two Presidential

pairings who had highly contrasting

characters and backgrounds. There is

also the great enthusiasm, support,

and participation from the people,

especially the youth. On top of that,

there is also the phenomenon in

which massive volunteer groups

started to emerge in most parts of

Indonesia. All this shows the great

desire of the Indonesian people to

have a leader who is pro-people,

closer to the people, and can change

the state of the Indonesian people to

the better in all aspects of life,

especially those with regards to the

fulfillment of people's rights as

Penanggung Jawab

Elga Sarapung

Pemimpin Redaksi

Wiwin Siti Aminah

Tim Redaksi

Elga Sarapung, Wiwin Siti

Aminah, Wening Fikriyati

Setting/ Layout

Ryo Emanuel

Dokumentasi

Margareta E. Widyaningrum

Keuangan

Eko Putro Mardianto,

Fita Andriani

Diterbitkan oleh

Institut DIAN/ Interfidei

Jl. Banteng Utama 59,

Perum Banteng Baru

Yogyakarta, 55581, Indonesia.

Phone.:0274-880149.

Fax.:0274-887864

E-mail

dianinterfidei@yahoo.com

Facebook

Institut DIAN/Interfidei

Twitter

@dian_interfidei

Website

(2)

fenomena kelompok relawan (khususnya untuk

pasangan Jokowi-JK) yang massif di hampir

seluruh wilayah Indonesia menunjukkan adanya

keinginan yang besar dari rakyat untuk

mendapatkan pemimpin yang pro-rakyat, yang

dekat dengan rakyat dan dapat mengubah

keadaan rakyat Indonesia menjadi lebih baik di

segala bidang kehidupan. Dengan terpilihnya

pasangan Jokowi-JK, rakyat Indonesia semakin

mempunyai harapan besar akan terjadi

perubahan tersebut.

Selamat membaca dan salam demokrasi!

Indonesian citizens.

Such high expectations, of course, cannot

necessarily be realized by having new leaders. Yet, they

have to be accompanied by adequate support from the

legislative and judiciary institutions. Above all, the

support of the people is the most critical in the

realization of these expectations. With this, the

government can function well and the changes will be

immediately experienced by the people of Indonesia.

In this year's second edition, we deliver the same

theme as the previous edition. Two papers will present

the different dynamics of the experiences from the last

Presidential Election; they are the one in South Sulawesi

and the one in West Sumatra. As for the profile in this

edition, we are presenting the profile of

Lembaga

Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat

(LAPAR, Institute

of People for Education and Advocacy), South Sulawesi.

(3)

2014 PRESIDENTIAL ELECTION:

BETWEEN THE LIGHT and THE

DARK OF DEMOCRACY

By Abdul Karim

Executive Director of LAPAR South Sulawesi

T

he 2014 presidential election

has provided many lessons

learnt. Some people have

regarded the victory of Jokowi-JK as

the political victory of people power.

It even perceived as the awakening of

the second reformation in Indonesia.

Some scholars seen this as the

increasing of political awareness of

the people, because choosing

Prabowo Subianto-Hatta Radjasa

considered as supporting violator of

human rights, authoritarian and

military oriented government. In

addition, the nation had being

traumatized by the Soeharto regime.

For more than three decades, Soeharto through his

political New Order development has failed in almost

all lines yet has successfully produced corrupt

politicians.

All the people in this country seem to be frustrated

by the situation of the state - nation in the last ten years.

Rampant corruption in government institutions and

political parties, the increasing number of poverty, as

well as an on going inter-religious violence had

coloring this nation in the past ten years. SBY-led

regime additionally leaves some extreme failures.

Therefore, the people have waited the presence of

the country's future leader like Jokowi. The figure's

leadership track record has no doubt proven; starting as

the mayor of Solo for two periods, then the Governor of

Jakarta until he was formally elected as the president in

2014. All in all Jokowi has shown his leadership

integrity and quality as a down to earth leader.

With the

blusukan

leadership style, Jokowi has

successfully established an interactional relationship

with the people. The style that finally attracts people's

sympathy, as if they feel the man is part of them. The

PILPRES 2014:

ANTARA TERANG dan GELAP

DEMOKRASI

Oleh Abdul Karim

Direktur Eksekutif LAPAR Sulsel

P

ilpres 2014 memberi banyak

pelajaran yang harus kita petik.

Kemenangan Jokowi-JK pada

pilpres itu oleh sebahagian kalangan

disebut sebagai kemenangan politik

massa rakyat. Bahkan, kemenangan

Jokowi-JK seringkali dipersepsi sebagai

kebangkitan "reformasi kedua" negeri

ini. Kaum terpelajar menyebutnya,

bahwa kemenangan itu menandakan

kesadaran politik warga mengalami

kemajuan. Sebab mendukung pasangan

Prabowo Subianto-Hatta Radjasa sama

halnya mendukung pemerintahan

pelanggar HAM, otoriter, dan tentu saja

militeristik. Bangsa ini punya trauma

kegagalan dipimpin tokoh militer

mendiang Soeharto. Selama tiga dasawarsa lebih,

Soeharto melalui politik pembangunan Orde Baru-nya

terbukti gagal di hampir semua lini. Bahkan, rezim itu

sukses mendidik-membesarkan pemimpin-pemimpin

korup di negeri ini.

Seluruh rakyat di negeri ini nampaknya frustrasi

dengan situasi negara-berbangsa sepuluh tahun terakhir.

Korupsi yang merajalela baik di tubuh institusi

pemerintahan, maupun di tubuh Parpol, hingga ke lapis

bawah, kemiskinan yang semakin meningkat secara

kualitatif, hingga kekerasan antar umat beragama

senantiasa mewarnai bangsa ini dalam sepuluh tahun

terakhir. Rezim yang dipimpin SBY pun mengesankan

kegagalan yang teramat sangat.

Karena itu, kehadiran sosok calon pemimpin negeri

seperti Jokowi menjadi penantian bagi masyarakat.

Track

record

kepemimpinan putra asal Solo, Jawa Tengah ini

tak diragukan; mulai ketika ia memimpin kota Solo dua

periode, lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga

menjadi Capres 2014 ini--ia telah menunjukkan kualitas

kepemimpinan dengan penuh pelayanan dan integritas

tinggi.

(4)

people has found the missed leader, who do more action

rather than those who merely talking.

In spite of it all, it is important to reflect the

presidential elections' processes on July 9th 2014. How

was the democracy's quality of the presidential

election? Are these processes valued the high quality of

democracy or just a mere queasy democracy?

Political Volunteers and The Politics of Volunteers

First of all, it is interesting to point out the

phenomenon of " volunteers " in the 2014 presidential

election. A number of volunteers' groups supporting

Jokowi to be a candidate of president have been spread

in several provinces long before Jokowi officially

pointed as a presidential candidate. It is after the official

announcement of candidacy; the volunteers had

increasingly growing like mushrooms. Never before in

the history of the republic there was a movement based

on a massive voluntarism such as the 2014 presidential

election. In fact, perhaps, there are only two in the

world: The Jokowi's and the Obama's presidential

election of 2008. Furthermore, even the issues of

sectarianism were structurally, systematically, and

massively mobilized, it failed to kick Jokowi down. He

still elected as the 7th president of the Republic of

Indonesia (Teuku Kemal Fasya ; 2014).

The proliferation of volunteers can be pointed out

as a new political phenomenon of the republic

post-independence after 1945. In the Old Order era, there

were a number of political volunteers who monitored

the electoral process. However, these volunteers

formed by political parties and indeed they were

members of the parties. In contrast, the volunteers of

Jokowi, came from a wide range of community, in fact,

some of them were non-partisans of the parties that

nominate Jokowi-JK. Uniquely, these volunteers

worked massively utilizing cyberspace and the real

world.

In the New Order era, similarly, the presence of

volunteers chamber had sealed by the political regime.

This due to the New Order regime limited the space for

political activists. Accordingly, there was no room for

freedom of speech at all levels. Volunteers' politics can

only grow in a climate of open democracy. It is

precisely why the volunteers of Jokowi may flourish.

They were living in an open democratic space in spite of

the poor quality of democracy.

In the New Order era, additionally, there seems no

praktek blusukan yang dipopulerkannya itu, ia

menunjukkan wajah kepemimpinan yang melayani

dengan penuh integritas. Ini pun menunjukkan bahwa

rakyat negari ini merindukan pelayanan, bukan pidato

tanpa

action

. Terlepas dari itu semua, kita tetap penting

merefleksikan proses-proses Pemilu Pilpres 2014 pada 9

Juli lalu. Bagaimana kualitas demokrasi Pilpres Juli 2014

lalu? Apakah proses-proses itu bisa didefinisikan sebagai

praktek demokrasi yang berkualitas tinggi, atau justeru

proses itu tetap hanya sebagai prosedur-prosedur

demokrasi semata?

Relawan Politik dan Politik Relawan

Pertama-tama mari kita simak fenomena "relawan"

dalam pilpres 2014 ini. Jauh sebelum Jokowi resmi

menjadi calon presiden berpasangan JK, di beberapa

propinsi telah terbentuk paguyuban relawan yang

mendorong/mendukung Jokowi maju sebagai capres.

Ketika Jokowi resmi menjadi capres, "relawan" makin

bertumbuh bak jamur. Belum pernah dalam sejarah

republik ada gerakan yang berbasis kepada kesukarelaan

(

voluntarism

) sedemikian besarnya seperti Pilpres 2014

lalu. Mungkin di dunia hanya ada dua, setelah Obama

pada Pilpres 2008. Bahkan isu sektarianisme yang

dimobilisasi secara terstruktur, sistematis, dan massif tak

berhasil meninju KO Jokowi. Ia tetap terpilih sebagai

presiden RI ketujuh (Teuku Kemal Fasya; 2014).

Menjamurnya relawan bisa ditandai sebagai

fenomena politik baru pasca kemerdekaan republik ini

1945 silam. Di era kepemimpinan Orde Lama memang

terdapat sejumlah relawan politik yang misalnya bekerja

memantau proses pemilu. Tetapi mereka adalah relawan

bentukan partai politik saat itu yang direkrut dari dalam

tubuh partai politik. Berbeda dengan relawan dalam

konteks Jokowi ini, mereka mendeklarasikan diri atau

komunitasnya sebagai relawan, dan sebahagian besar

bukan berasal dari kader partai politik pengusung

Jokowi-JK. Uniknya, relawan ini berselancar di dunia

maya dan dunia nyata.

Sementara di zaman Orde Baru, ruang hadirnya

relawan-relawan politik ditutup rapat oleh rezim yang

berkuasa. Ini terjadi sebab rezim Orde Baru memang tak

memberi kesempatan bertumbuhnya aktivis-aktivis

politik yang berbeda pandangan dengan rezim di segala

level. Demokrasi benar-benar terpasung. Relawan politik

hanya bisa tumbuh dalam iklim demokrasi yang terbuka.

Aspek itu pulalah yang memungkinkan mengapa

relawan-relawan Jokowi tumbuh subur. Sebab mereka

hadir dalam ruang demokrasi yang terbuka kendatipun

kualitas demokrasi secara objektif masih sangat

mencemaskan.

(5)

such kind of volunteers. Public matters mostly

separated from political affairs. It was political

technocracy practiced at the time; the politics governed

by a handful of political technicians, namely the

activists of political parties. Politics is not the affairs of

the people, but the affairs of political parties and elites.

For more than thirty-two years, some important lessons

on strengthening democracy learned.

The presence of political volunteers, who has

played important roles in winning Jokowi-JK, has also

changing the rigid, tense, and clumsy styles of political

practices as we have seen in the past ten years. Politics

embraced by these volunteers, was a politics of

command good. There were no identity barriers. There

were no boundaries of ethnicity, religion, or social

class. They came from all walks of life. They were

united under the banner of "Jokowi- JK winning

volunteers". In this context, hence, the presence of

"political volunteers” reflected "unity in diversity" of

political practices.

Tracing back to 2014, how some groups of people

from different backgrounds and communities declared

themselves as Jokowi-JK volunteers; thousands people

gathered during the presidential election campaign in

Gelora Bung Karno, and thousands of them crowded

the inauguration of the new president on the 20th of

October in Senayan. Again, these colorful backgrounds

of volunteers gave a pave to Jokowi to be elected as the

seventh president of the republic.

Accordingly, it may say that the social status

differences of political volunteers are not an issue in of

the diversity. The diversity, indeed, is the strength of

democracy, as well as a significant factor of social and

political stability. Additionally, it may be noted that the

2014 presidential election had a strong political

legitimacy compare to both 2004 and 2009 elections. In

2014, the political volunteers participated not only in

the voting booth, but also since the beginning of the

presidential candidacy.

Procedure of Democracy

In the 2014 presidential election, despite of the

political and social supports from Jokowi's volunteers

was very significant, yet some figures show that the

substance of democracy was weaker than the

procedural of democracy.

The nomination of Jokowi-JK carried by PDIP,

Nasdem, PKB, Hanura, and PKPI had indeed meet the

itu, urusan politik dijauhkan dari perkara masyarakat

kebanyakan. Yang berkembang saat itu adalah teknokrasi

politik; politik diatur oleh segelintir teknisi politik, yakni

pegiat partai politik. Politik bukan urusan rakyat, tetapi

urusan partai politik dan sejumlah elit. Selama lebih dari

tiga puluh dua tahun, kita mendapatkan pelajaran penting

dalam kerangka memperkuat demokrasi.

Kehadiran relawan politik ini juga mampu

mencairkan praktek politik beku, kikuk, dan

menegangkan, sebagaimana yang kita saksikan dalam

sepuluh tahun terakhir. Relawan dalam konteks ini

menjadikan politik sebagai ajang kegembiraan bersama.

Tak ada sekat-sekat perbedaan identitas. Tak ada

batas-batas etnik, agama, suku, kelas sosial, latar belakang

kehidupan, dan profesi dalam relawan. Mereka menyatu

dalam nafas yang sama; "relawan pemenangan

Jokowi-JK". Di sini kemudian kita temukan bahwa kehadiran

"relawan politik" pada intinya mencerminkan

"ke-bhinekaan yang solid" dalam politik. Komunitas relawan

berperan penting dalam memenangkan Jokowi-JK.

Lihatlah kembali misalnya, bagaimana sekelompok

warga dari berbagai latar belakang mendeklarasikan diri

dan komunitasnya mendorong dan memenangkan

Jokowi sebagai presiden ke tujuh republik ini. Saat

kampanye pilpres misalnya, di lapangan Gelora Bung

Karno, ribuan massa berkumpul menantikan Jokowi.

Yang terbaru, saat momentum pelantikan Jokowi-JK

sebagai presiden/wakil presiden pada 20 Oktober lalu,

ratusan ribu massa berkumpul di Senayan menanti

Jokowi-JK. Mereka berasal dari latar belakang dan

profesi.

Dengan demikian, sebuah pelajaran penting pantas

didengungkan di sini bahwa

keragaman status sosial

dalam politik relawan tidak menjadi persoalan dalam

kebhinekaan kita. Dan fenomena ini pun menunjukkan

bahwa kebhinekaan adalah kekuatan demokrasi, serta

sebagai potensi sosial politik yang cukup signifikan

.

Dan fenomena ini barangkali bisa didefinisikan sebagai

tanda bahwa pilpres 2014 ini memiliki legitimasi politik

yang kuat dibanding pilpres 2004 dan pilpres 2009. Sebab

partisipasi relawan politik bukan hanya di bilik suara,

tetapi sejak awal (sebelum Jokowi maju sebagai capres)

mereka sudah bertumbuh di mana-mana, meneriakkan

agar Jokowi maju sebagai Capres.

Prosedur Demokrasi

(6)

substansi.

Jokowi-JK yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB,

Hanura, dan PKPI telah menunjukkan bahwa pencalonan

mereka memang memenuhi posedur demokrasi.

Kampanye pun ditunaikan keduanya bersama parpol

pengusung dan tim suksesnya. KPU dan Bawaslu hadir

sebagai penyelenggara dan pengawas setiap

tahapan-tahapan pilpres. Kesemua aspek ini merupakan

prosedur-prosedur formal demokrasi.

Tetapi di lapis masyarakat, pilpres dimaknai tak

lebih sebagai rutinitas lima tahun di negeri ini. Sebagai

rutinitas, tentu saja harus dimeriahkan. Rakyat lantas

dimobilisasi untuk memeriahkan rutinitas itu dengan cara

merekrutnya sebagai tim sukses, memobilisasi mereka

saat kampanye dan sebagainya. Selebihnya, rakyat

dimobilisasi hadir di TPS. Kita yang menyaksikan

fenomena itu lantas berteori, bahwa fenomena itu

menunjukkan proses demokrasi sedang berlangsung.

Padahal, tanpa disadari cara-cara seperti itu justeru

menempatkan rakyat sebagai 'objek', bukan sebagai

'subjek demokrasi'. Masyarakat memang terlibat dalam

kemeriahan pilpres, tetapi sesungguhnya mereka tak

lebih sebagai objek. Mereka terlibat bukan karena

kesadaran atau tanpa penalaran demokrasi, melainkan

karena “dimobilisasi” atau “diinstruksikan”. Pada titik

ini, pilpres gagal diselami sebagai proses demokrasi

untuk mempertegas “kedaulatan”.

Adapun masyarakat yang saban hari memang

nampak mengenal/akrab dengan kontestan-kontestan

pilpres itu disebabkan oleh begitu aktifnya media massa

mewartakan dinamika pilpres. Setiap hari, tontonan

tentang pilpres disimak melalui TV ataupun media cetak.

Tetapi—sekali lagi—ini pun tidak mencerminkan

kuatnya kesadaran/penalaran demokrasi warga. Jadi,

pengetahuan masyarakat bawah tentang kontestan pilpres

disebabkan oleh dinamika pilpres persis seperti

infortaiment yang senantiasa diputar di stasiun televisi.

Bukan karena keberhasilan parpol pengusung atau tim

sukses membangun kesadaran demokrasi warga.

Ancaman Kebhinekaan

Kampanye negatif cukup produktif dilancarkan oleh

kontestan pilpres. Kampanye negatif inilah yang

menyuburkan potensi-potensi terselubung penggunaan

i s u S A R A d a l a m m o m e n t u m p i l p r e s .

Matamassa.org

—sebuah situs yang melakukan

monitoring pemilu pilpres bersama Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) Jakarta menemukan penggunaan isu

SARA dalam pilpres lalu paling banyak menyerang kubu

pasangan Jokowi-JK. Menurut Kordiantor

Matamassa.org

, Muhammad Irham, bahwa serangan

SARA kepada Jokowi terjadi sebanyak 69 kali.

procedures of democracy: The campaign

accomplished by both political parties and success

teams. KPU and BAWASLU presented as organizers

and supervisors in each stages of the election.

The society, additionally, interpreted the election

just merely a routine five years democratic party. As a

routine, of course, the party should be enlivened.

People then mobilized to enliven the routines and

recruited as a campaign successful team. Moreover,

they were mobilized and instructed to present at the

polling stations. Thus, in this context, we are

witnessing the phenomenon of the processes of

democracy.

In fact, such ways has precisely located the people

as 'objects' and not as 'subject of democracy'. The

society for sure has involved in a festive of presidential

elections, but in fact they seemingly nothing yet solely

as objects of democracy. Their involvement was not

because of their consciousness but because of

"mobilized" or "instructed". At this point, the election

failed to be understood as a democratic process to

reinforce "sovereignty".

Nowadays, Some people seem to understand and

familiar with the electoral contestants and political

issues. In fact, their understanding was mostly resulted

from media mass consumption. Every time each day,

some audiovisual media as well as social media

proclaimed the issues of democracy including the

election news. But - once again - it does not reflects or

shows the strength of consciousness / reasoning on

democratic of the people; The grass root understanding

of presidential election contestants resulted from

massive exposed to the medias, and not because of the

success of political parties at building awareness of

democracy. The TV indeed has successfully shaping

people's mind with a timeless broadcasting of the

dynamic of presidential election just like how an

infotainment ever played on TV.

Threats to Diversity

(7)

Sementara kubu Prabowo-Hatta Radjasa diserang dengan

kampanye hitam (

Kompas.com, 23/7/2014

).

Temuan

matamassa.org

mungkin tidak seberapa

bila dibandingkan dengan fakta yang terjadi sebenarnya.

Intinya, penggunaan isu SARA dalam pilpres lalu

memang secara kuantitatif tidak nampak dengan mata

telanjang. Namun, desas-desus isu itu senantiasa

terhembus di ruang-ruang sosial masyarakat.

Dalam sebuah kesempatan, di kota Makassar, saya

mendengar desas-desus isu SARA dalam momentum

kampanye pilpres lalu. Di atas kursi antrian tukang cukur,

siang itu datang seorang lelaki paruh baya mengenakan

songkok haji berbincang dengan sang tukang cukur. Ia

seolah membawa berita penting. “Kalau Jokowi-JK yang

terpilih jadi presiden, maka posisi menteri agama akan

diduduki oleh kelompok Syi'ah”, katanya pada sang

tukang cukur. Mendengar itu, sang tukang cukur hanya

tersenyum kecut, entah masuk di akalnya atau tidak.

Di kesempatan lain, seorang rekan tim sukses

Prabowo-Hatta tingkat kecamatan bercerita. Ia

menceritakan kedatangan seorang tamu yang merupakan

pengurus salah satu Ormas Islam di kota Makassar yang

menemuinya di sekretariat pemenangan Prabowo-Hatta.

“Saya datang bukan hendak menjadi pengurus parpol

anda, tetapi saya datang untuk menyatakan dukungan

politik untuk pasangan Parabowo-Hatta. Kami akan

mendukung keduanya. Alasannya, sebab bila Jokowi-JK

menang maka Islam akan rusak”, kata sang tamu.

Desas-desus dan kejadian kecil seperti itu

menunjukkan bahwa dalam momentum politik, isu

SARA senantiasa digunakan untuk kepentingan

kekuasaan. Kendatipun secara makro isu SARA tak

nyaring bunyinya, tetapi di lapis sosial bawah, isu SARA

senantiasa berhembus di telinga masyarakat. Kita

khawatir bila hembusan isu SARA seperti itu

menggerakkan masyarakat ke arah tindakan destruktif

dan anarkis hingga menyerang kelompok-kelompok

sosial lainnya yang kebetulan berbeda identitas agama

dan etniknya. Ini yang berbahaya.

***

Narasi di atas bisa kita letakkan sebagai cermin

dalam Pilpres kali ini. Setidaknya dapat kita maknai

bahwa pilpres yang berlangsung damai tahun ini, berjalan

sesuai prosedur formalnya—bukanlah petunjuk dasar

bahwa demokrasi di negeri ini berpores dalam situasi

terang benderang. Melainkan, sisi-sisi gelap demokrasi

tetap saja hadir—termasuk di dalamnya adalah ancaman

terhadap 'kebhinekaan' kita yang diserang dengan

menggunakan isu SARA.

®

side occurred 69 times. While Prabowo -Hatta Rajasa

side attacked with black campaigns (

Kompas.com,

07.23.2014

).

Matamassa.org

findings may be nothing

compared to the facts that actually happened. In reality,

the use of racial issues in the last election could not be

quantitatively seen with the naked eyes. However,

some rumors were there, blown through the social

spaces.

In one occasion, in the city of Makassar, I heard

rumors of racial issues in the last momentum of

election campaign. That afternoon, at the top of the

queue barber chair, came a middle-aged man wearing a

skullcap Hajj spoke to the barber. He seemed to bring

important news. "If Jokowi - JK were elected as

President, the position of minister of religion will be

occupied by the Shiite group", he said to the barber.

Hearing that, the barber just smiled wryly, I had no clue

how the information perceived.

On another occasion, a fellow of a district level

team of Prabowo-Hatta's campaign told a story. He said

about the arrival of a guest who is an Islamic

Organizations board in Makassar whom he met at the

secretariat winning Prabowo - Hatta. "I came not for

asking a position in your political party, but I came to

express my political support for Parabowo - Hatta

couple. We will support both of them. The reason is, if

Jokowi - JK win then Islam will be ruined," said the

guest.

Rumors and fishy smell events like that shows that

in the political momentum, racial issues had been

constantly used for the benefit of power. Although

racial issues were not clearly exposed in a macro level,

yet in the lower social layers, racial issues had been

constantly blown through the people's ears. It will be

horrible if the racial issues campaign drive people

toward destructive and anarchic actions to attack other

social groups who happen to embrace different

religious and ethnic identities. This is dangerous.

(8)

BADUNSANAK

AND

BASIARAK

” IN

THE GENERAL ELECTION:

BUILDING HARMONY IN A

RIVALRY

by Muhammad Taufik

Lecture of Sociology in IAIN Imam Bonjol Padang

Research Director of Revolt Institute

Research Director of the Center of Ethnicity and

Conflict,Padang State University

Activist of Inter Religion Network

T

he general election is over. The

2014 democracy parade has

ended its journey,resulting the

elected legislative members and

president. The dynamics of the 2014's

legislative and presidential election

shows how the competition has gone

with so much heat, yet it was not

enough to cause disintegration. The

maturity of society's political culture

and the political contestants' urge

which were under control became the

one of the keys for such an inhibited

process. As in any other places, West

Sumatra also underwent this political

event in peace, without any harmful

conflict. The friction between

advocatesand groups was not so

obvious or critical, it had no chance to

result in anarchy. This leads to a

question about the reason behind the peaceful process of

election in West Sumatra. The analysis below will answer

the question by providing details about the nonviolence

election, with no discrimination and full of tolerance,in West

Sumatra,and how the people of West Sumatra (Minang)

comprehend the politics of rivalry which is in progress at the

moment.

“Seeking for the Root?”

The majority of West Sumatrans is the Minangkabau

ethnicity. In this context, the writer intends to emphasize on

the political interpretation of Minangkabau society from the

cultural point of view, since the interpretation of political

behavior is not always limited to the an sich politics

approach. Cultural, sociological, and antropological

approaches are also important to explore how people live

alongsidea foreign structure – in this case, politics. This

PEMILU “

BADUNSANAK

DAN

BASIARAK

”:

MEMBANGUN HARMONISASI DI

TENGAH KONTESTASI

Oleh: Muhammad Taufik

Pengajar Sosiologi di IAIN Imam Bonjol Padang

Direktur Riset Revolt Institute

Direktur Riset Pusat Kajian Etnisitas dan Konflik

Universitas Negeri Padang

Pegiat Jaringan Antar Iman

G

elanggang pemilu telah usai. Parade kontestasi periode 2014 sudah menemukan muaranya dengan telah terpilihnya anggota legislatif dan presiden. Dinamika pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2014 ini menunjukan frekuensi yang cukup tajam, namun hal ini tidak sampai pada disintegrasi bangsa, meskipun i n d i k a s i n ya s un g g u h t e r l i ha t . Kematangan budaya politik masyarakat dan ter(di)kendalinya hasrat para politisi menjadi salah satu kunci kedamaian tersebut. Sama halnya dengan beberapa daerah lain, di Sumatera Barat, juga melalui perhelatan akbar politik ini dengan damai, nyaris tanpa konflik yang berarti. Gesekan antar pendukung dan kelompok tidak begitu kentara dan meruncing apalagi berujung kepada tindakan anarkis. Pertanyaannya apa yang melatar belakangi damainya pemilu di Sumatera Barat (Sumbar)?

Tulisan dibawah ini akan berusaha unuk menjawab beberapa pertanyaan diatas, terutama bagaimana pemilu di Sumatera Barat berjalan dengan damai, tanpa diskriminasi dan toleran? Kemudian bagaimana masyarakat Sumbar (Minang) dalam memahami politik kontestasi yang sedang berlangsung saat sekarang?

“Mencari Akar?”

(9)

point of view is expected to present a new meaning. The

cultural aspect is believed to have a specific characteristic

which is the mankind's fulfilment toward their environment

as well as their effort to sustain their viability in accordance

to the circumstance they think as best (Susanto, 1999: 123).

It is what we call as an innate moral authority. This moral

authority presupposes that everyone in a society has

something called the “innate morality” far before they are

affected by other social influences, including religion that

came afterward. In comply with Hikam (1999 chapter 7), it

means that there are some moral preferences outside the

social traditions and customs.

This kind of morality should encourage the

development of moral regulations. To be precise, this moral

authority takes part in the realms of belief where there are

certain applicable ethical norms in a society that work as the

legitimate foundation for a social process. That element does

not only expose the symbolic aspect but deep inside there is

also an evident cultural rationalization. In brief, it is the

moral authority that is related to the ideas or values

embraced by the society in their world view. In turns, such

moral authority will affect the political behavior in West

Sumatra (Minangkabau), since ignoring one's cultural

identity means obliterating their origin. Whether it is

realized or not, the modernization approach and the presence

of country in the development process is feared to generate

dependent mankinds who abandon their cultural creativity

and wisdom in conservatism. Such beings are those who

celebrate superficiality, yet eluding profundity.

The absence of patron-client politics

Patron-client relationship is understood as an alliance

between two individuals with different status of power and

resources who find each other beneficial. In short, this

relationship occurs when an individual with a higher social

economical status, the patron, uses his influence and

resource to provide protection, profit, or both for other

individual with a lower status, the client. This client, in

return, offers support and assistance including personal

service to that person. The absence of patron-client

relationship in Minangkabau is displayed from the Minang's

comprehension about leader, power, truth, and opposition

that synergize in contradiction and balance.

Firstly

, for a Minang, the position of a leader is within a

reachable distance from his follower. This construction is

unlike other cultures which interpret a leader as someone

who is untouchable. A proverb says that a leader is only one

step ahead and one level above. It demonstrates the

adjacency of a leader and his followers. When a leader is one

level above, he is still within reach. When he is one step

ahead, he is not hard to confront. For Minangkabausociety, a

leader is not sacred nor absolute, yet approachable. This

understanding highlights that a leader or an entity of power

cannot necessarily make use of his people for his own

purpose nor for absolut obedience and fanatism toward

ini politik. Penghampiran ini diharapkan mampu memberikan resonansi baru. Hal ini diyakini bahwa Unsur kultur memiliki ciri yang khas yaitu penyelesaian manusia terhadap lingkungan hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai dengan keadaan yang menurut pengelamannya adalah yang terbaik (Susanto, 1999:123). Itulah yang dimaksud dengan otoritas moral alamiah. Otoritas moral ini menganadaikan bahwa setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang bisa disebut sebagai "moralitas alamiah," yang sudah ada jauh sebelum adanya pengaruh-pengaruh sosial lainya, termasuk agama yang faktanya datang kemudian. Artinya, mengikuti arus Hikam (1999 bab 7), menjelaskan bahwa di sini ada beberapa preferensi moral tidak semata-mata merupakan konsekuensi dari kebiasaan dan kondisi sosial.

Moralitas semacam ini sebaliknya memberikan dorongan bagi terjadinya perkembangan aturan-aturan moral. Lebih tepatnya, otoritas moral ini bermain dalam ruang-ruang keyakinan bahwa terdapat norma etik tertentu yang berlaku dalam suatu masyarakat yang digunakan sebagai landasan legitimasi untuk dilakukannya proses sosial. Unsur terebut bukan hanya sekedar menunjukan aspek simbolik, namun didalamnya memiliki rasionalisasi budaya yang jelas. Ikhitisarnya, itulah otoritas moral yang berkait dengan ide-ide atau nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dalam world viewnya. Pada gilirannya otoritas moral itu akan mempengaruhi tindakannya realitas alam politik di Sumbar (Minangkabau). Karena mengabaikan identitas kultural berarti menghilangkan keasalian. Disadari atau tidak pendekatan modernisasi dan Negara dalam pembangunan dikhawatirkan tetap menyisakan manusia-manusia yang tergantung, dan mencampakan kearifan dan kreatifitas kultural dalam kekolotan. Itulah manusia yang merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman.

Tidak adanya politik patron-klien

Patron-klien bisa difahami, mengkitu Lande dan Scott adalah hubungan aliansi dua pribadi yang tidak sama, kekuasaan status atau sumber daya yang masing-masing menemukan suatu hal yang berguna sebagai anggota unggul seperti aliansi yang disebut pelindung dan kliennya disebut inferior. Artinya bahwa hubungan dimana seorang individu yang lebih tinggi sosial ekonomis statusnya menggunakan pengaruh sendiri dan sumber daya untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan atau keduanya untuk orang dari status yang lebih rendah atau klien yang pada bagiannya membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk layanan pribadi kepada orang tersebut. Tidak adanya politik patron-klien ini bisa dilacak bagaimana orang minangkabau dalam memahami yaitu pemimpin, kekuasaan, kebenaran dan oposisi yang bergumul antara pertentangan dan perimbangan.

(10)

himself. Even so, this leniency has a an impact toward social

stability in the society because anarchy commonly happens

in the presence of friction between the followers or the

clients of each leader or patron. In Minangkabau, the term

for power is

'gadang'

(the posession of power). However,

people with

gadang

are powerful because they are given the

power:

pangulu itu gadangnyodilambuak

– a leader is strong

because his people choose him, –

tumbuahnya ditanam

– a

leader is strong because his people nurture him. When the

leader is unjust, there is another local proverb that describes

that:

Ingek-ingek, kok nan dibawah nan ka maimpok, kok

tirih datang dari bawah

– keep in mind, if a pressure comes

from under, that's where thedestruction comes from.

Therefore, to survive, Nasroen (1957:148) says that the

leader and the people must live based on reason, sense,

tenggang-manenggang

(tolerance), acknowledging that

there is a mutual interest and that they need to be sensitive to

others. In his own language, Idrus Hakimi (1978:34) refers

this as a society with morality. Furthermore, the saying

Kuaik rumah karano sandi, Rusak sandi rumah binaso,

Kuaik bangso karano budi, Budi rusak hancualah bangso

(the house is strong because of its joints, when the joints

break, the house breaks, the nation is strong because of its

moral, when the moral is corrupted, the nation is destroyed)

– the great strength is accumulated from the strength of its

smaller parts.

Secondly

, it is about how a Minang relates the truth and

power, and where they have to put their feet when they do not

meet a certain agreement. In many literatures, an absolute

power is never a Minangkabau custom. The highest law for

Minangkabausociety is the truth. Repressive despotic power

is unacceptablehere because the strength of a leader comes

when the society chooses him, supports him for his

eminence, and nurtures him for his grandeur. So there is no

dictatorship or feodalistic system in Minangkabau

community. A leader will be positioned as a decision maker

who uses clarity and reason, not with absoluteness:

tak ado

kusuik nan tak salasai, tak ado karuah nan tak janiah

(there

is no wrinkles that cannot be smoothened, there is no cloudy

water that cannot be cleared up) – there is no problem that

cannot be solved.

It is obvious that the position of a leader or power is

significant and meaningful in Minangkabau. It is a being that

reacts in the name of harmony and justice. By so, no one will

ever feel discriminated or wronged:

tapuang jan taserak,

rambuik jan putuih, kok gadang jan malendo, kok cadiak jan

manjua

(there should not be scattered flour, there should not

be breaking hair, you should not be arrogant if you are great,

and you should not be deceitful if you are smart) – put

yourself together, do not let the situation controls you.In

Minangkabau, power is centralized on justice, not on the

entity who holds the power:

kamanakan barajo kamamak,

mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo patuik,

alua jo patuik barajo ka nan bana, kabanaran badiri

sandirinyo

(a nephew obeys his aunt and uncle, the aunt

seranting. Kalau pun ia didahulukan selangkah berarti masih bisa ditackling. tegasnya bagi masyarakat Minang pemimpin tidaklah sesuatu yang sakral, absolut dan tidak tergapai. Pemahaman ini mentasrihkan bahwa pemimpin atau kekuasaan tidak serta merta bisa memanfaatkan rakyatnya untuk kepentingan mereka sendiri atau kepatuhan absolut dan fanatisme terhadap diri mereka. Kelonggaran ini berkonsekuensi pada stabilitas sosial dalam masyarakat karena disadari prilaku politik anarkis jamak terjadi karena adanya gese ka n antara pe ngikut/ kl ien ma sing-masing patron/pemimpin. Artinya kekuasaan difahami orang 'gadang' (memiliki kekuasaan), tetapi orang gadang itu besarnya karena dibesarkan: pangulu itu gadangnyo dilambuak/besar penghulu itu karena dibesarkan, tumbuahnya ditanam/tumbuhnya karena ditanam karena kalau pemimpinya zalim makan pepatah adata mengatakan Ingek-ingek, kok nan dibawah nan ka maimpok, kok tirih datang dari bawah/ingat-ingat, jikalau yang dibawah akan menghimpit, jika bocor dari bawah. Oleh sebab itu agar bisa bertahan, lanjut Nasroen (1957:148) pemimpin dan masyarakat itu mesti hidup berdasarkan budi, serasa, tenggang-manenggang, mengakui adanya kepentingan bersama, dapat merasakan perasaan orang lain atau dalam bahasa Idrus Hakimi (1978:34) masyarakat yang bermoral. Kuaik rumah karano sandi, Rusak sandi rumah binaso, Kuaik bangso karano budi, Budi rusak hancualah bangso/ kuat rumah karena sendi, rusak sendi rumah binasa, kuat bangsa karena budi, budi rusak hancurlah bangsa.

Kedua, bagaimana orang Minangkabau memandang kebenaran dan kekuasaan. Dan bagaimana posisi yang diambil ketika tidak bertemunya kemufakatan (konflik)? Dalam banyak literatur diungkapkan bahwasanya kekuasaan yang mutlak tidak pernah ditemukan dalam tradisi Minangkabau. Hukum yang tertinggi bagi orang Minangkabau adalah kebenaran. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ditemukan dan tidak menerima kekuasan yang represif dan menindas atau kekuasaan yang berbuat sewenang-wenangnya. Karena pemimpin bagi masyarakat Minangkabau adalah tumbuhnya ditanam, tingginya disokong, besarnya dipelihara. Jadi tidak ada sistem yang diktator atau feodalistik tumbuh dalam masyarakat Minangkabau. Karena pemimpin akan diposisikan sebagai pengambil keputusan dengan kejernihan dan penjelasan bukan keputusan yang menukik: tak ado kusuik nan tak salasai, tak ado karuah nan tak janiah/tak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan, tak keruh yang tidak bisa dijernihkan

Jelaslah bahwa posisi pemimpin atau kekuasan cukup penting dan sangat berarti bagi orang Minangkabau. Ia akan bertindak atas nama keseimbangan dan keadilan; tidak ada merasa diskiriminatif atau dirugikan: tapuang jan taserak, rambuik jan putuih, kok gadang jan malendo, kok cadiak jan manjua/tepung jangan terserak, rambut jangan putus, kalau besar jangan melenda,kalau cerdik jangan menjual. Karena kekuasaan berpusat pada suatu kebenaran, tidak berpusat pada diri yang memiliki kekuasaan: kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, kabanaran badiri sandirinyo/ keponakan tunduk pada mamak (paman), mamak tunduk pada penghulu, penghulu tunduk pada alur dan patut, alur dan patut tunduk kepada yang kebenaran,kebenaran berdiri sendiri

(11)

obeys the leader, the leader obeys the rules and regulations,

the rules and regulations obeys the truth, the truth stands by

itself) – power has hierarchy, but the truth does not since it

stands by itself.

Based on the explanation above, the form of power in

Minangkabau is proved to be abstract, not concrete. A policy

made by a ruler will be obeyed as long as it can present peace

for the society. Consequently, a Minangkabau leader is

worthy of his value of truth because he will always be put in a

position which they call as one step ahead and one level

above. The nature of power for Minangkabau society is

dispersed, heterogeneous, and abstract, on the opposite side

of other ethnicity groups which are homegeneous and

concrete as Javanese tradition for instance. Anderson notes

that in Javanese culture, power is a concrete object, limited

but never swell nor subside. That's why every man with

power wants to have as much power for his own sanctuary.

The power residing outside himself, as posessed by the

opposition party, would impact on the decreasing portion of

power (Benedict Anderson in Budiardjo, ed, 1986). Junus

(1999) also argues that the leadership in Minangkabau is

pragmatical. Power is essentially a non existence being.

Everything can be pursued by using persuasive ways. As an

example, someone will not dare to defy his parents' decision,

not because of the fear of the power they possess, but the fear

of being sinful since a child is regarded insubordinate toward

his parents. This kind of power is borrowed from the

religion. In conclusion, a kind of power will be adhered

when it roots from the truth. The truth here means the facts

which are reflected in the tradition and religion.

Thirdly

is the opposition. From the concept of how

power roots from the truth and not from physical or

materialistic form, people would have the opportunity to be

in the opposite side of where the leader and power reside.

There is a proverb which people uphold: Rajo alim rajo di

sambah.

Rajo lalim rajo disanggah

(Wise king is a

worshiped king. Despotic king is a refuted king). The

meaning of opposition is not only in the broad context of

leader-people relationship but also in the narrow sense of it.

As a proverb says,

lawan mamak jo kabanaran, lawan guru

dengan pituah

(oppose your uncle with the truth, withstand

your teacher with wise words). A leader is commonly

reminded that his people will rise as an opposition if he is not

wise and fair in being a ruler as embodied in a proverb

“ingat-ingat yang diatas, jikalau yang dibawah akan

menghimpit, jika bocor dari bawah”

(keep in mind for the

leader, if pressure comes from under, that's where the

destruction comes from). Such representation strengthen the

understanding that Minangkabau society does not have a

patron-client relationship.

“The General Election: between

Badunsanak Basiarak

,

,

and

Garetak

The

badunsanak

election was firstly introduced by the

kekuasan bagi orang Minangkabau sangat abstrak; tidak kongkrit. Maka kebijakan seorang penguasa akan diikuti manakala kebijakan itu membawa kesejahteraan bagi orang banyak. Oleh sebab itu penguasa dalam konteks berpikir orang Minangkabau selalu di awasi dan dinilai kebenarannya karena mereka hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. Kekuasaan dalam pikir orang Minangkabau bersifat terpencar, heterogen dan abstrak. Artinya tidak homogen, sejenis, konkrit dan terpusat sebagaimana suku lain. Berbeda dengan pemaham kekuasaan dalam traisi Jawa, Anderson, menyatakan bahwa dalam budaya Jawa, kekuasaan merupakan sebuah benda yang konkret, yang jumlahnya terbatas dan tetap, tidak pernah bertambah ataupun berkurang. Karena itu, setiap penguasa ingin memiliki kekuasaan sebanyak-banyaknya, supaya aman. Kekuasaan yang ada di luar dirinya, misal yang terdapat pada kelompok oposisi, mengakibatkan berkurangnya porsi kekuasaan yang ada di tangannya, (Benedict Anderson dalam Budiardjo, ed, 1986) .Bahkan Junus (1999) berpendapat, kepemimpinan di Minangkabau bersifat pragmatis. Kekuasaan adalah pada hakekatnya tidak ada, segala sesuatunya akan bisa dilaksanakan melalui jalan meyakinkan orang yang bersangkutan. Seperti, orang tidak akan berani melawan keputusan orang tua, bukan karena takut pada kekuasaan yang mereka milki, akan tetapi karena takut akan berdosa lantaran durhaka pada orang tuanya, yaitu dengan meminjam kekuasaan yang diberikan oleh agama. Kesimpulannya kekuasan akan dipatuhi apabila dia bersampan dalam sungai kebenaran. Benar dalam pengeartian bercermin pada alur dan putut menurut adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.

Ketiga, opisisi. Dari pemahaman diatas bahwa kekuasaan perpusat pada kebenaran, bukan pada tubuh dan materi, maka ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan opisisi terhadap pemimpin dan kekuasaan. Pepatah yang paling popular yang selalu dipegang teguh: Rajo alim rajo di sambah Rajo lalim rajo disanggah/raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah. Opisisional ini tidak hanya dalam kontek relasi dengan pemimpin dalam artian luas, namun juga dalam artian sempitpun. Hal ini termaktup dalam pepatah lawan mamak jo kabanaran, lawan guru dengan pituah/lawan paman dengan kebenaran, lawan guru dengan petuah. Bahkan bagi seorang pemimpin jamak diingatkan akan muncul tindak-tindakan oposisi dari rakyatnya jika ia tidak berlaku adil atau zalim sebagaimana yang termaktub dalam pepatah “ingat-ingat yang diatas, jikalau yang dibawah akan menghimpit, jika bocor dari bawah”. Gambaran diatas, sekali lagi, membuhulkan bahwa orang Minangkabau tidak memiliki pola kehidupan yang patron-klien.

“Pemilu antara Badunsanak Basiarak, dan Garetak?”

(12)

regent of Tanah Datar, Masdar Saisa, in the general election

in the beginning of reformation era. It was formally declared

in the 2004 general election. This jargon is even still used in

2014 general election.

Badunsanak

, or brotherhood,

contains a deeper value than its literal meaning.

Philosophcally, the use of the word

badunsanak

for Minang

society implies the meaning of brotherhood in

communalism sense. This is in accordance to the Minangese

proverb:

adaik badunsanak , dunsanak dipatahankan adaik

basuku, suku dipatahankan, adaik bakampuang, kampuang

dipatahankan, adaik banagar, nagari dipatahankan, adaik

banagara, nagara dipatahankan

(brotherhoodculture for a

strong brotherhood, ethnical culture for a strong ethnicity

group, village culture for a strong village, state culture for a

strong country).

That belief, in one hand, contradicts the phylosophy of

western democracy,presently adopted by Indonesia,which is

based on individualism. Minangkabau political system does

not admit voting procedure. Yet, only deliberation is

acknowledged in determining a decision although it would

take longer time:

“siang bahabih ari, malam bahabih

minyak”

(in day time will be spent, at night oil will be

consumed). However, the deliberation has to result a

decision, either unanimous or not. As another proverb tells:

k

alau bulat sudah bisa digulingkan, kalau pipih sudah boleh

dilayangkan

. For them, deliberation is not a process to seek

for what majority wants but the right decision by considering

the proper path and religious values.

Interestingly, although the signification of

Badunsanak

philosophy is not analogous with the philosophy of

democracy, the symbolism of

Badunsanak

in election is

similar with the signification of the other social structure.

Here, the meaning of

Badunsanak

can have its own

respectful place. In a broader context,

Badunsanak

can be

understood as politics.

Basiarak

is a local term used to describe the

disagreement between individuals or groups when they meet

in discrepancy.

Basiarak

is a Minangkabau tradition

expressed when there is a conflict of interest. However, in

many cases,

Basiarak

is usually solved using the

mechanisms arranged in Minang's local wisdom itself. For

Minangkabau,

tidak ada kusut yang tak selesai, tak ada

keruh yang tak jernih.

If the tangled one

(conflict/basiarak)resembles tangled thread, then the

solution comes from the end of the base. If the tangled one

resembles tangled feather, then the beak is the solution. If the

tangled one resembles tangled hair, then the comb is the

solution. Then again, if the tangled one is like Tampuo bird's

nest (bird nest on the coconut tree), then the water is the

solution. In other words,

“kalau tersesat diujung jalan maka

kembalilah kepangkal jalan”

(If you find yourself lost at the

end of the path, go back to where you start). Conflict

resolution must uphold this kind of principle,

“ketika dimata

tidak dipicingkan, ketika diperut tidak dikempeskan”

. It

means that anyone must be fair in resolving conflicts. Some

badunsanak yang dalam masyarakat Minang mengandung makna persaudaraan dalam makna komunalisme. Hal ini sejalan dengan pepatah Minang :adaik badunsanak , dunsanak dipatahankan adaik basuku, suku dipatahankan, adaik bakampuang, kampuang dipatahankan, adaik banagar, nagari dipatahankan, adaik banagara, nagara dipatahankan/adat bersaudara, saudara dipertahankan, adat bersuku suku dipertahankan, adat berkampung kampung dipertahankan,adat bernagari nagari dipertahankan,adat bernegara, negara dipertahankan

Hal ini, satu sisi, bertentangan dengan filosofi demokrasi barat yang diyakini oleh Indonesia sekarang, yang berbasis pada ruang individualisme. Karena dalam sistem Minangkabau tidak mengenal dengan mekanisme voting. Yang dikenal hanya sistem musyawarah meski itu akan menghabiskan durasi waktu dalam memutuskan sesuatu “siang bahabih ari, malam bahabih minyak” (siang akan membuang waktu, malam menghabiskan minyak). Bagaimanapun musyawarah ini harus menghasilkan keputusan, baik keputusan itu bulat atau tidak, sebagaimana dalam pepatah lain menjelaskan, kalau bulat sudah bisa digulingkan, kalau pipih sudah boleh dilayangkan. Bagi mereka musyawarah bukan bermakna mencari keputusan mayoritas, tetapi keputusan yang benar sesuai dengan alur nan patut tanpa meninggalkan prinsip-prinsip agama.

Menariknya meski pemaknaan filosofis badunsanak ini bertentangan dengan filosofi berdemokrasi, namun penarikkan simbol badunsanak dalam wilayah pemilu ini mengandung bahwa badunsanak dalam pemaknaan struktur sosial dengan yang lain. Nah dalam ranah ini, makna badunsankan bisa mendapat tempat. Jadi badunsanak dalam aras ini dimaknai dalam kontek makna yang “diluaskan” yaitu politik.

(13)

things mentioned previously are the conflict resolution

mechanisms. This confirms what Taufik Abdullah (1987)

said about the conflict in Minangkabau as a process to

integration:

bersilang kayu di tungku, disitulah api akan

menyala.

Commonly, the practice of

basiarak

, based on the

experience of local politics, will not end in a physical clash,

but

garetak

(threat)may rise as a form of opposing reactions.

Garetak

is a local custom in expressing dislikes toward an

individual or group through gestures or speech. However,

Garetak

is not meant to bedone offensively and frontally. It

is merely an expression of threatening symbolically using

physique without any tendency to performviolence. In

Minangkabau tradition, the mechanism to oppose and make

a stand is in a defensive way as seen in Minangkabau's silat

movements.

Badunsanak

in general election

Badunsanak basiarak

,

, and

garetak

are given concepts

in Minangkabau's social, politics, and any other sphere of

daily life. No matter how the mechanism of general election

constructed by the state, the response and action for it will

appear naturally because of the macrocosmos, world view,

and paradigm of Minangkabau has rooted so deeply in the

society's mind. When they have a certain political way in

seeing something, such point of view will adapt with the

surrounding environment.

It is undeniable that legislative or presidential election

will bring out exceptional dinamics in the society. The

change of general election system also carry people away to

a new, different dynamics as well. The characteristics of the

society will be in line with the political dynamics, either at

the national or local level. Hence, the transformation of

general election legislation affects the patterns and forms of

the friction. Unlike Mojokerto, Sibolga, and other regions

where anarchy occured when the provincial general election

was held, West Sumatra was relatively more under control

compared to those places. This calm situation did not

originate only from the serious commitment of political

elites in the form of

badunsanak

declaration, where they

were ready to be either a modest victor or a gentle lose, but

also from the elegant, open, non-revolutionary life of

Minangkabau people who also took part in eliminating

discrimination and anrchism in general election. In this

context, the strong bond between the declaration of

Badunsanak

by the political elites and the behavior of

society is not really well-observed.

Badunsanak

is

considered to be taken away inducingly to the political

territory for the sake of general election while that concept is

already converged in Minangkabau existence.

On the other hand, the legislative and presidential

elections in the local context do not involve any excessive

emotion if compared to the provincial general election in

which the candidates can get in touch openly with their

supporters without having to be segmented by the

Biasanya praktek basiarak, dalam pengelaman politik lokal, tidak meruncing sampai bentrokan fisik, namun garetak/gertak adalah juga bagian dari mekanisme menyatakan sikap menentang. Geretak adalah juga sebuah tradisi lokal yang juga menggambarkan ekspresi tidak senang pada seseorang atau kelompok yang ditunjukan dengan bahasa tubuh atau tutur kata. Namun gertak tidak dimaknai dalam artian frontal dan opensif, ia hanya bentuk ekspresi pengancaman secara simbolik dengan tubuh tanpa tendensi langsung melakukan anarkisme. Karena dalam tradisi Minangkabau mekanisme untuk melawan dan bertahan adalah defensive sebagaimana yang bisa dilihat dalam gerak silat Minangkabau.

Praktek Badunsanak dalam Pemilu

Badunsanak basiarak , dan garetak merupakan sesuatu yang given dalam kehidupan masyarakat Minangkabau baik dalam ranah sosial, politik dan lain-lain. Jadi bagaiamanapun mekanisme pemilu yang dikonstruksikan oleh negara , maka mekanisme respon an tindakan akan muncul dalam kealamiahannya. Kenapa? Karena akar yang terbangun dalam makrokosmosnya, world view dan paradigma Minangkabau tersebut sudah berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari. Meski gincu kehidupan politik masuk dalam aranah kehidupan mereka, makan cara pandang itu akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Tidak dapat dibantah, pemilu legislatif atau presiden memunculkan dinamika yang luar biasa dalam masyarakat. Perubahan sistem pemilu juga menyeret masyarakat dalam dinamikan yang berbeda pula. Wajah masyarakat akan sejalan dengan dinamika politik yang terjadi baik ditingkat nasional ataupun lokal. Oleh sebab itu perubahan mekanisme UU Pemilu berdampak pada pola dan bentuk pergesekan yang terjadi. Meski tidak seperti daerah-daerah lain di Indonesia yang melakukakn tindakan anarkisme sebagaimana yang pernah terjadi di Mojokerto dan Kota Sibolga dan daerah-daerah lain pada saat pelaksanaan pemilukada, di Sumatera Barat relatif lebih damai dibandingkan dengan daerah lain. Suasana damai ini tercipta bukan hanya tingginya komitmen elite dalam bentuk deklarasi pemilu badunsanak dengan siap menjadi pemenang dan pecundang yang baik tetapi bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau yang elegan, terbuka, dan tidak fanatik menjadi kata kunci dalam mengeeleminir diskrimininasi dan anarkisme dalam pemilu. Artinya dalam kontek ini kurang dilihat relevansi yang kuat antara deklarasi pamilu badunsanak oleh elit dengan perilaku masyarakat. Karena dirasakan sekali konsep pemilu badunsanak dipaksa ditarik kewilayah politik untuk kepentingan pemilu, padahal konsep badunsanak merupakan sesuatu yang sudah membumi dalam kehidupan mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan small sided games dapat dilaksanakan dalam sekolah dengan kondisi lahan yang sempit, dapat diterapkan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan

EL65 Guru Sistem dapat menampilkan data siswa wali kelas EL66 Guru Sistem dapat menampilkan pengumuman wali kelas EL67 Guru Sistem dapat menambah pengumuman wali kelas EL68

dampak negatif dari kegiatan industri terhadap perubahan yang terjadi.. dimasyarakat ataupun lingkungan

Torque dapat dihitung dengan Equation (12-3)... Arus rotor meningkat dengan proporsi yang sama dengan slip. Perubahan torque terhadap slip menunjukkan bahwa begitu slip naik dari

Dikarenakan Iklan dan Promo Banyak sekali informan yang pada awalnya tidak sedang membutuhkan suatu barang, akan tetapi setelah melihat tulisan “ hot promo ” atau

Dalam konteks narasi besar sufistik, syair Hamzah dan dangding Mustapa mewakili ekspresi tafsir sufistik yang diungkapkan dengan rasa bahasa dan sastra Nusantara. Sebagaimana

Kecerdasan didapatkan dari ketekunan. Santri yang senantiasa rajin melalar hafalan, maka tidak akan merasa terbebani dengan hafalan, bahkan merasakan kenikmatan

Mengajukan PERUBAHAN DATA RINCI saya sebagi PTK sesuai dengan kondisi terbaru dan berdasarkan dokumen legal yang benar. Dan saya juga bersedia menyediakan dokumen pendukung