HUBUNGAN GETARAN MEKANIS MESIN GERINDA DENGAN GEJALA CARPAL TUNNEL SYNDROME (CTS) PADA PEKERJA BENGKEL LAS DI JALAN MAHKAMAH
KECAMATAN MEDAN KOTA TAHUN 2017
SKRIPSI
OLEH
MARNATAL LEO VAKUM SALOM SIHOMBING NIM : 131000204
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
HUBUNGAN GETARAN MEKANIS MESIN GERINDA DENGAN GEJALA CARPAL TUNNEL SYNDROME (CTS) PADA PEKERJA BENGKEL LAS DI JALAN MAHKAMAH
KECAMATAN MEDAN KOTA TAHUN 2017
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH
MARNATAL LEO VAKUM SALOM SIHOMBING NIM : 131000204
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
GETARAN MEKANIS MESIN GERINDA DENGAN GEJALA CARPAL TUNNEL SYNDROME (CTS) PADA PEKERJA BENGKEL LAS DI JALAN MAHKAMAH KECAMATAN MEDAN KOTA TAHUN 2017” ini
beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri, dan saya tidak
melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuaan. Atas
pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada
saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan
dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, Oktober 2017 Yang membuat pernyataan,
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan pada pekerja Bengkel Las di Jalan Mahkamah Kecamatan Medan Kota tahun 2017 dengan tujuan untuk mengetahui hubungan intensitas getaran mekanis mesin gerinda dengan gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
Jenis penelitian ini bersifat survei analitik dengan menggunakan desain
cross sectional. Sampel yang diambil sebanyak 25 orang pekerja dengan metode
pengambilan sampel menggunakan proporsive sampling. Gejala Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) diperiksa dengan menggunakan tes pemeriksaan fisik yaitu
dengan Phalen Tes. Sedangkan untuk mengukur intensitas getaran mekanis mesin gerinda dengan menggunakan Vibration Meter. Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dilakukan uji statistik menggunakan uji Chi Square dengan pilihan exact fisher.
Hasil dari penelitian menunujukkan bahwa dari 21 pekerja, ada sebanyak 84,0% positif dengan gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dengan diperoleh nilai P = 0,020 dimana P ≤ 0,05 yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas getaran mesin gerinda dengan gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
Kepada para pemilik Bengkel Las Medan khususnya di Jalan Mahkamah Kecamatan Medan Kota saran untuk selalu menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa sarung tangan berbahan dari kulit sehingga dapat meredam getaran dengan maksimal.
Kata Kunci : Getaran Mekanis, Mesin Gerinda, Bengkel Las, Carpal Tunnel
ABSTRACT
This research was conducted on Welding Workshop workers at Mahkamah Street Medan Kota Subdistrict in 2017 with the aim to know the relation of mechanical vibration of grinding machine with Carpal Tunnel Syndrome (CTS) symptom.
This type of research is an analytic survey using cross sectional design. Samples taken as many as 25 workers with sampling method using proportional sampling. Symptoms of Carpal Tunnel Syndrome (CTS) are examined using a physical examination test with Phalen Tests. While to measure the relation of mechanical vibration of grinding machine by using Vibration Meter. To know the correlation between independent variable with dependent variable statistical test using Chi Square test with fisher exact option.
The results of the study showed that of 21 workers, there were as many as 84.0% positive with the symptoms of Carpal Tunnel Syndrome (CTS) with a value of P = 0.020 where P ≤ 0.05 indicating there is a significant relationship between mechanical vibration of the grinding machine with symptoms Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
To the owner of Medan Welding Workshop, especially at Mahkamah Street Medan Kota Subdistrict, the suggestion is to always use Personal Protective Equipment (APD) gloves made from leather so that can dampen vibration with the maximum.
Keywords: Mechanical Vibration, Grinding Machine, Welding Workshop, Carpal Tunnel Syndrome
rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul: “Hubungan Getaran
Mekanis Mesin Gerinda dengan Gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada
Pekerja Bengkel Las di Jalan Mahkamah Kecamatan Medan Kota Tahun 2017”.
Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan penulisan ini banyak
mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan dan
arahan dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan
masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan
dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan
4. dr. Mhd. Makmur Sinaga, MS, sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih
atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama penulisan
skripsi.
5. Isyatun Mardhiyah Syahri, SKM, M.Kes, sebagai Dosen Pembimbing II,
terima kasih atas bimbingan dan dukungan Ibu kepada penulis selama
penulisan skripsi.
6. Ir. Kalsum, M. Kes, sebagai Dosen Penguji I, terima kasih atas bimbingan
dan dukungan Ibu kepada penulis selama penulisan skripsi.
7. Umi Salmah, SKM, M. Kes, sebagai Dosen Penguji II, terima kasih atas
bimbingan dan dukungan Ibu kepada penulis selama penulisan skripsi.
8. drh. Hiswani, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis
menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.
9. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat
USU.
10. dr. Richard Harinjda dengan segenap pegawai Balai Keselamatan &
Kesehatan Kerja Medan, terima kasih atas bimbingan dan bantuan bapak
dan ibu yang sudah terlibat secara langsung dalam pengukuran dilapangan
dan selama penulisan skripsi.
11. Kedua orang tua tercinta Maruduk Sihombing dan Rosinta Manalu, yang
Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangannya penulis mohon maaf sebesar-besarnya.
Medan, Oktober 2017 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.3.1 Tujuan Umum ... 7 1.3.2 Tujuan Khusus ... 7 1.4 Hipotesis ... 8 1.5 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Getaran ... 9 2.1.1 Definisi Getaran ... 9 2.1.2 Jenis Getaran ... 9 2.1.2.1 Getaran Udara ... 9 2.1.2.2 Getaran Mekanis ... 10 2.1.3 Sumber Getaran ... 10 2.1.4 Efek Getaran ... 11
2.1.4.1 Getaran Seluruh Tubuh ... 11
2.1.4.2 Getaran Lengan Tangan... 12
2.1.5 Parameter Getaran ... 12
2.1.6 Pengukuran Getaran ... 13
2.1.7 NAB Getaran Mekanis ... 14
2.1.8 Pengendalian Paparan Getaran ... 15
2.2 Mesin Gerinda ... 17
2.3 Carpal Tunnel Syndrome ... 18
2.3.1 Defenisi Carpal Tunnel Syndrome ... 18
2.3.3 Klasifikasi ... 21
2.3.4 Patofisiologi ... 22
2.3.5 Etiologi ... 23
2.3.6 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi CTS ... 25
2.3.7 Gejala Klinis ... 29 2.3.8 Faktor Resiko ... 29 2.3.9 Diagnosis ... 30 2.3.10 Pencegahan ... 33 2.4 Pekerja ... 35 2.4.1 Defenisi Pekerja ... 35 2.4.2 Pekerja Las ... 35 2.5 Kerangka Konsep ... 36
BAB III METODE PENELITIAN ... 37
3.1 Jenis Penelitian ... 37
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 37
3.2.2 Waktu Penelitiian ... 37
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 37
3.3.1 Populasi Penelitian ... 37
3.3.2 Sampel Penelitian ... 38
3.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 38
3.3.2.2 Kriteria Eksklusi ... 38
3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 38
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 38
3.5.1 Data Primer ... 38
3.5.2 Data Sekunder ... 39
3.6 Variabel dan Definisi Operasional... 39
3.6.1 Variabel... 39 3.6.2 Definisi Operasional ... 40 3.7 Instrumen Penelitian ... 41 3.8 Prosedur Penelitian ... 41 3.7.1 Persiapan Penelitian ... 41 3.7.2 Pelaksanaan Penelitian ... 41
3.9 Teknik Pengolahan Data ... 43
3.10 Metode Analisis Data ... 44
3.10.1 Analisis Univariat ... 44
3.10.2 Analisis Bivariat ... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 45
4.1 Gambaran umum dan lokasi Bengkel Las ... 45
4.2 Analisis Univariat ... 47
4.2.1.2 Masa Kerja ... 47
4.2.1.3 Lama Kerja ... 48
4.2.1.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) ... 48
4.2.2 Intensitas Getaran ... 49
4.2.2.1 Besar Paparan Intensitas Getaran ... 49
4.2.2.2 Kategori Intensitas Getaran ... 51
4.2.3 Distribusi Gejala Carpal Tunnel Syndome (CTS) ... 51
4.2.3.1 Gejala CTS pada Pekerja ... 51
4.2.3.2 Kategori Gejala Carpal Tunnel Syndome (CTS) ... 53
4.3 Analisis Bivariat ... 53
4.3.1 Hubungan Intensitas Getaran dengan Gejala CTS ... 54
BAB V PEMBAHASAN ... 55
5.1 Analisis Univariat ... 55
5.1.1 Karakteristik Responden ... 55
5.1.2 Intensitas Getaran dengan Vibration Meter ... 59
5.1.3 Gejala Carpal Tunnel Syndome (CTS) ... 60
5.2 Analisis Bivariat ... 61
5.2.1 Hubungan Intensitas Getaran dengan Gejala CTS ... 61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
6.1 Kesimpulan ... 64
6.2 Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sumber Getaran ... 11
Tabel 2.2 NAB Getaran Mekanis ... 15
Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel ... 40
Tabel 4.1 Distribusi Pekerja Bengkel Las Berdasarkan Umur ... 47
Tabel 4.2 Distribusi Pekerja Bengkel Las Berdasarkan Masa Kerja... 47
Tabel 4.3 Distribusi Pekerja Bengkel Las Berdasarkan Lama Kerja ... 48
Tabel 4.4 Distribusi Pekerja Bengkel Las Berdasarkan Penggunaan APD... 48
Tabel 4.5 Distribusi Intensias Getaran Berdasarkan Titik Pengukuran ... 50
Tabel 4.6 Kategori Intensias Getaran ... 51
Tabel 4.7 Distribusi Gejala CTS Berdasarkan Titik Pemeriksaan ... 52
Tabel 4.8 Kategori Gejala CTS ... 53
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mesin Gerinda ... 17
Gambar 2.2 Anatomi Nervus Medianus ... 20
Gambar 2.3 Phalent Test ... 30
Gambar 2.4 Tinel’s Sign ... 31
Gambar 2.5 Kerangka Konsep ... 36
Gambar 3.1 Vibration Meter ... 42
Lampiran 2 Surat Selesai melaksanakan Penelitian ...70
Lampiran 3 Master Data ...71
Lampiran 4 Ouput SPSS ...72
Lampiran 5 Hasil Pengukuran Intensitas Getaran ...80
Lampiran 6 Hasil Pemeriksaan Gejala CTS ...82
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Marnatal Leo Vakum Salom Sihombing, lahir pada
tanggal 14 Desember 1994 di Kota Gunungsitoli, Provinsi Sumatera Utara.
Beragama Kristen Protestan, bertempat tinggal di Jalan Bajak V, Gg. Bahagia No.
4, Kecamatan Medan Amplas. Penulis merupakan anak kelima dari enam
bersaudara pasangan Ayahanda Maruduk Sihombing dan Ibunda Rosinta Manalu.
Pendidikan formal penulis dimulai di Taman Kanak-Kanak Katolik Asisi,
Fodo pada tahun 2000 dan selesai tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di
Sekolah Dasar Negeri 070981 Fodo, pada tahun 2001 dan selesai pada tahun
2007, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Swasta
Pembda 2 Gunungsitoli pada tahun 2007 dan selesai pada tahun 2010, kemudian
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Gunungsitoli pada
tahun 2010 dan selesai pada tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan
pendidikan di Program Studi S-1 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
1.1 Latar Belakang
Pembangunan Nasional Indonesia dalam bidang industri telah mengalami
perkembangan yang pesat sejalan dengan maraknya permintaan pasar terhadap
barang atau produk yang ada di masyarakat terus-menerus mengalami
peningkatan yang signifikan. Oleh karena itu, sangat perlu diimbangi dengan
pendirian berbagai jenis industri yang menyerap banyak tenaga kerja dalam
mengoperasikan peralatan kerja industri sehari-hari. Hal ini sangat didukung oleh
adanya perkembangan teknologi yang melaju dengan pesat dan terbaru setiap saat.
Perkembangan teknologi ini akan mempengaruhi banyak bidang, salah satunya
adalah bidang pembangunan kesehatan masyarakat khususnya dibidang
keselamatan dan kesehatan kerja yang lebih baik.
Pendirian sebuah indutsri akan berdampak pada banyaknya penggunaan
mesin atau alat kerja. Pada dasarnya penggunaan mesin atau alat kerja sangat
bermanfaat dalam hal membantu kegiatan atau proses kerja industri agar dapat
berjalan dengan baik, tepat dan cepat. Penggunaan mesin atau alat kerja pada
sebuah industri dapat memberikan pengaruh yang positif dan pengaruh yang
negatif. Pengaruh positif dengan penggunaan mesin atau alat kerja dapat
memberikan banyak keuntungan bagi penggunanya, utamanya adalah dalam hal
efisiensi dan efektivitas melakukan pekerjaan. Sementara pengaruh negatif dalam
sebuah industri adalah mesin atau alat kerja tidak selamanya akan membawa
atau alat kerja dapat mengakibatkan berbagai musibah seperti meningkatnya kasus
penyakit akibat kerja, penyakit akibat hubungan pekerjaan, kecelakaan kerja yang
sampai menyebabkan kematian.
Peralatan kerja pada industri identik dengan mesin-mesin atau alat-alat
mekanis yang saat ini kian bertambah banyak dengan cepat, baik dari segi jenis
maupun dari segi jumlah. Penggunaan beragam mesin atau peralatan kerja
mekanis tersebut yang dijalankan oleh suatu mesin penggerak akan menghasilkan
kekuatan atau energi mekanis. Mesin atau peralatan kerja mekanis ini
menimbulkan getaran yaitu suatu gerakan yang teratur dari suatu benda atau
media dengan arah bolak balik dari kedudukan keseimbangannya (Suma’mur,
2009).
Sebagian dari kekuatan mekanis pada mesin gerinda ini akan disalurkan
kebagian tubuh tenaga kerja dalam bentuk getaran mekanis. Pada umumnya
getaran mekanis ini tidak dikehendaki atau disukai oleh para tenaga kerja kecuali
dengan getaran pneumatik, oleh sebab itu perlu diketahui lebih lanjut dampak
buruk yang mengganggu kesehatan tenaga kerja dan batasan-batasan paparan
getaran yang aman bagi tenaga kerja (Suma’mur, 2009).
Ketika mesin atau benda yang bergerak dirancang oleh penciptanya,
biasanya telah memperkirakan sejauh mana mesin atau benda bergerak tersebut
menimbulkan getaran mekanis. Sebuah mesin akan menghasilkan getaran
mekanis dengan ciri fisik den efek merugikan manusia berbeda-beda. Gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh paparan getaran dapat muncul dalam waktu yang
timbul dalam beberapa bulan setelah paparan yang berat. Perubahan rangka
biasanya timbul tidak lebih awal dari 10 tahun atau lebih (Wijaya, C 1995).
Batasan getaran yang aman bagi tenaga kerja sudah diatur di Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Bab II
Pasal 6 Point 1 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan
Faktor Kimia di Tempat Kerja. Peraturan Menteri tersebut menyebutkan bahwa
Nilai Ambang Batas (NAB) getaran alat kerja yang kontak langsung maupun
tidak langsung pada lengan dan tangan tenaga kerja ditetapkan sebesar 4 meter per
detik kuadrat (m/s2).
Lebih dari 540.000 pekerja konstruksi terkena paparan getaran lebih dari
Nilai Ambang Batas (Kittusamy, dkk., 2004). Salah satu jenis peralatan kerja
yang menghasilkan getaran diatas NAB adalah mesin gerinda dengan
menggunakan bantuan tangan yang memilki intensitas getaran sebesar 8–12 m/s2 (Pangestuti, dkk., 2014). Mesin gerinda merupakan sebuah mesin perkakas yang
dipergunakan dalam kegiatan memotong, meratakan, menghaluskan,
mengkilatkan, membelah, dan membentuk benda kerja seperti merapikan hasil
pemotongan yang biasanya selalu dimiliki oleh bengkel las (Candra, 2016).
Menurut catatan dari Bureau of Labor Statistics (BLS) pada tahun 1992,
menunjukkan bahwa dari seluruh kasus CTDs, separuhnya dilaporkan dengan
diagnosis CTS yaitu sekitar 480.000 kasus (Kurniawan, dkk., 2008). Sebagai
salah satu dari 3 jenis penyakit tersering dalam golongan CTDs pada ekstremitas
pada kasus Trigger Finger 32%, De Quervan’s Syndrome 12% dan Epicondilitis
20% (Ibrahim, dkk., 2012).
Di Inggris, dalam rentang waktu antara tahun 1992 hingga tahun 2001
didapatkan laporan dari sebuah penelitian yaitu terdapat 11.233 pasien yang
diduga memiliki keluhan gejala yang mirip dengan CTS atau yang dicurigai
mengalami gangguan pada saraf tepi dibagian lengan. Setelah dilakukan hasil
pemeriksaan lebih lanjut, maka didapatkan 6.245 pasien (55,6%) terbukti
menderita CTS (Jagga, dkk., 2011).
Penelitian pada tahun 1995 melaporkan bahwa sekitar 50% lebih dari
seluruh penyakit akibat kerja di USA adalah CTDs, yang didapatkan bahwa CTS
termasuk didalamnya (Dale, dkk. 2013). American Academy of Family
Physicians (AAFP) melaporkan bahwa prevalensi CTS pada populasi dewasa
adalah sebesar 2,7% sampai 5,8%. National Health Interview Study (NHIS)
melaporkan bahwa prevalensi CTS sebesar 1,55 % (Aroori, dkk., 2008).
Di Indonesia, prevalensi CTS karena faktor pekerjaan masih belum dapat
diketahui secara pasti. Pada sebuah penelitian pada pekerja garmen di Jakarta
Utara yang menggunakan kriteria diagnosis dari The National Institute for
Occupational Safety and Health (NIOSH) didapatkan bahwa prevalensi CTS
cukup tinggi yaitu 20,3%. Pada tahun 2001 di Jakarta, terdapat 238 pasien
menderita CTS dan mengalami penurunan angka kejadian pada tahun 2002 yaitu
menjadi 149 pasien (Tana, dkk., 2004).
Bengkel las adalah sebuah tempat yang mempunyai kemampuan khusus
besi yang terpisah sebelumnya. Bengkel las memiliki banyak jenis-jenis perkakas dalam melaksanakan kegiatan pekerjanya setiap hari. Salah satu jenis dari
perkakas yang dimiliki oleh bengkel las adalah mesin gerinda. Mesin gerinda
merupakan salah satu alat yang menghasilkan getaran mekanis melebihi Nilai
Ambang Batas dengan intensitas geteran sekitar 8-12 m/s2. Getaran mekanis yang melebihi NAB atau lama kerja getaran lebih dari 4-8 jam per hari dapat
mengganggu kesehatan seperti menimbulkan kelainan-kelainan pada tubuh,
seperti kelainan otot, saraf, tulang dan persendian (Wijaya, C 1995).
Mesin gerinda pada dasarnya merupakan sebuah alat umum, yang dapat
pula dikatakan sebagai alat utama yang harus dimiliki oleh sebuah bengkel las.
Tanpa adanya mesin gerinda pekerjaan pada bengkel las tidak akan berjalan
dengan lancar. Kegunaan mesin gerinda pada bengkel las adalah untuk
memudahkan proses pekerjaan, namun mesin gerinda memiliki kelemahan
sebagai alat kerja. Mesin gerinda yang digunakan dengan bantuan tangan akan
menghasilkan getaran-getaran pada lengan dan tangan yang dapat mempercepat
kelelahan, menimbulkan gangguan kesehatan, dan menurunkan kualitas hidup
tenaga kerja. Salah satu dampak buruk dari getaran melebihi NAB yang
dihasilkan mesin gerinda adalah gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) (Pransky,
dkk., 1997).
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan kumpulan gejala neuropati
kompresi dari Nervus Medianus didaerah pergelangan tangan, ditandai dengan
adanya peningkatan tekanan dalam carpal tunnel atau terowongan karpal dan
dapat menyebabkan seperti mati rasa, kesemutan, dan rasa nyeri di tangan, lengan
dan jari (Viera, 2003). Akibat penekanan saraf medianus secara terus menerus,
penderita akan merasakan nyeri yang hebat terutama pada malam hari, kelemahan
pada daerah tangan dan yang paling parah dapat menimbulkan ganguan fisik.
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dapat terjadi karena adanya hubungan
dengan pekerjaan yang menggunakan kombinasi antara kekuatan dan
pengulangan gerakan secara terus-menerus pada jari-jari selama periode yang
lama. CTS juga dapat tercetus akibat paparan terhadap vibrasi dan akibat
kesalahan posisi yang terjadi dalam jangka waktu yang lama (Bahrudin, 2011).
Saat peneliti melakukan survei pendahuluan di bengkel las yang berlokasi
di Jalan Mahkmah Kecamatan Medan Kota sekitar awal Oktober 2016 yang lalu,
peneliti melihat secara langsung berbagai kegiatan kerja yang dilakukan oleh para
pekerja bengkel las seiap harinya. Salah satu jenis kegiatan kerja yang paling
banyak dilakukan oleh pekerja adalah menggunakan mesin gerinda dengan
bantuan tangan. Banyaknya pembangunan konstruksi di Kota Medan
mengharuskan pekerja bengkel las sering menggunakan mesin gerinda. Umumnya
pekerja bengkel las yang menggunakan mesin gerinda akan merasakan gejala
Carpal Tunnel Sydrome. Pekerjaan dengan menggunakan mesin gerinda akan
terus-menerus dilakukan selama orderan dari pelanggan-pelanggan semakin
bertambah banyak setiap harinya (Candra, 2016).
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti
Gerinda dengan Gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada Pekerja Bengkel Las
di Jalan Mahkmah Kecamatan Medan Kota Tahun 2017.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan Getaran Mekanis Mesin Gerinda
dengan Gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada Pekerja Bengkel Las di
Jalan Mahkmah Kecamatan Medan Kota Tahun 2017.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui “Hubungan Getaran Mekanis Mesin Gerinda dengan
Gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada Pekerja Bengkel Las di Jalan
Mahkmah Kecamatan Medan Kota Tahun 2017”.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui besar intensitas getaran mekanis mesin gerinda pada
pekerja bengkel las di Jalan Mahkmah Kecamatan Medan Kota.
2. Mengetahui karakteristik individu dari pekerja yaitu umur, masa keja,
lama kerja, dan penggunaan alat pelindung diri (APD).
3. Mengetahui gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada pekerja bengkel
1.4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka didapatkan hipotesis
penelitian sebagai berikut bahwa ada “Hubungan antara Getaran Mekanis Mesin
Gerinda dengan Gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada Pekerja Bengkel Las
di Jalan Mahkmah Kecamatan Medan Kota Tahun 2017”.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Untuk memberikan rekomendasi pengendalian dengan cara
meminimalisir efek yang dapat ditimbulkan dari paparan getaran mesin
gerinda.
2. Memberi masukan kepada pekerja terkait efek dari paparan yang
diterima saat menggunakan mesin gerinda sehingga terhindar dari
gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
3. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman khusus
dalam melakukan penelitian ilmiah.
4. Bagi pemberi kerja diharapkan dapat memberi informasi kepada
pekerja tentang hubungan getaran mekanis mesin gerinda dengan
gejala carpal tunnel syndrome (CTS) pada para pekerja sehingga dapat
mengurangi biaya pengeluaran industri.
5. Dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya demi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Getaran
2.1.1 Definisi Getaran
Getaran adalah suatu gerakan yang teratur dari benda atau media dengan
arah bolak balik dari kedudukan keseimbangannya. Getaran terjadi saat mesin
atau alat dijalankan oleh penggerak, sehingga pengaruhnya bersifat mekanis
(Budiono, 2003). Hal ini dapat disebabkan oleh getaran udara atau getaran
mekanis, misalnya mesin atau alat-alat mekanis lainnya (Gabriel, 1996).
Getaran adalah suatu faktor fisik yang menjalar ke tubuh manusia, mulai
dari tangan sampai keseluruh tubuh turut bergetar (osilasi pada satu titik) akibat
getaran peralatan mekanis yang di pergunakan dalam tempat kerja (Salim, 2002).
2.1.2 Jenis Getaran 2.1.2.1 Getaran Udara
Menurut Gierke dan Nixon dalam Gabriel (1996), getaran udara juga
disebabkan oleh benda bergetar dan diteruskan melalui udara sehingga akan
mencapai telinga. Pengaruhnya terutama pada akustik. Getaran dengan frekuensi
1-20 Hz tidak akan menyebabkan gangguan vestibular seperti gangguan orientasi,
kehilangan keseimbangan, dan mual-mual. Akan tetapi dapat menimbulkan nyeri
2.1.2.2 Getaran Mekanis
Menurut Wignjosoebroto (2000) dalam Budiono (2005), getaran mekanis
dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis
yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh dan mengakibatkan resonansi atau
turut bergetarnya tubuh.
2.1.3 Sumber Getaran
Perkakas atau alat yang bergetar secara luas dipergunakan dalam industri
logam, perakitan kapal, dan otomotif, juga dipertambangan, kehutanan, dan
pekerjaan konstruksi. Perkakas yang paling banyak digunakan adalah bor
pneumatik. Alat ini menghasilkan getaran mekanis dengan ciri fisik dan efeknya
merugikan yang berbeda (Wijaya, 1995). Tabel berikut menyebutkan beberapa alat
Tabel 2.1 Sumber dan Tipe Getaran Berdasarkan Jenis Industri
Industry Type of vibration Common vibration
source
Agriculture Whole body Tractor operation
Boiler making Segmental Pneumatic tools
Construction Whole body / Segmental Heavy equipment
vehicles, pneumatic drills, jackhammers. Etc
Diamond cutting Segmental Vibrating tools
Forestry Whole body / Segmental Tracktors operator /
Chain saw
Furniture Segmental Pneumatic chisel
Iron & Steel Segmental Vibrating hand tool
Lumber Segmental Chain saw
Machine tools Segmental Brating hand tools
Mining Whole body Vehicle operators rock
drills
Riveting Segmental Hand tools
Rubber Segmental Pneumatic stripping
tools
Sheet metal Segmental Stamping tools
Shipyards Segmental Pneumatic hand tools
Stone dressing Segmental Pneumatic hand tools
Textile Segmental Sewing machine looms
Transportation Whole body Vehicle operation
Sumber : https://www.slideshare.net/befridita/getaran
2.1.4 Efek Getaran
2.1.4.1 Getaran Seluruh Tubuh (Whole Body Vibration)
Getaran pada seluruh tubuh atau umum (whole body vibration) yaitu
terjadi getaran pada tubuh pekerja yang bekerja dengan posisi duduk atau berdiri
dimana landasannya yang menimbulkan getaran. Biasanya frekuensi getaran ini
adalah 5 – 20 Hz (Salim, 2002). Getaran seperti ini biasanya dialami oleh
Gangguan kesehatan yang ditimbulkan Whole Body Vibration yaitu
gangguan aliran darah, gangguan syaraf pusat menyebabkan kelemahan
degeneratif syaraf, gangguan metabolisme atau pertukaran oksigen dalam
paru-paru, gangguan pada otot atau persendian (Rohmansyah, dkk., 2013).
Suma’mur (1996) mengatakan bahwa efek dari paparan whole body
vibration berbeda-beda tergantung pada tingkatan akselerasi, frekuensi, dan cara
pemaparan keseluruh tubuh. Secara umum, whole body vibration dapat
menyebabkan nyeri, penglihatan kabur dan gemetaran (shakeness), kerusakan
organ bagian dalam serta nyeri pada tulang belakang.
2.1.4.2 Getaran Lengan Tangan (Hand Arm Vibration)
Getaran lengan tangan atau hand arm vibration adalah getaran yang
merambat melalui tangan akibat pemakaian peralatan yang bergetar, frekuensi
berkisar 20 – 500 Hz (Salim, 2002). Frekuensi dapat dikatakan berbahaya apabila
sudah mencapai 128 Hz, karena tubuh manusia sangat peka pada frekuensi ini.
Getaran ini berbahaya pada pekerjaan seperti supir bajaj, operator gergaji rantai,
tukang potong rumput, pekerja gerinda dan penempa palu.
2.1.5 Parameter Getaran
Pada getaran ada 4 parameter utama, yaitu : Frekuensi, Akselerasi atau
Percepatan (Acceleration), Kecepatan (Velocity), dan Simpangan (Displacement).
a) Frekuensi adalah jumlah suatu getaran yang dihasilkan perdetik.
b) Simpangan (Displacement) diukur dalam satuan meter (m).
c) Kecepatan (Velocity) adalah laju perubahan diplacement dalam satuan waktu.
d) Akselerasi (Percepatan) adalah laju perubahan velocity dalam satuan waktu.
Satuan akselerasi adalah (m/det2).
Parameter yang menyebabkan gangguan kesehatan tubuh akibat terpapar
getaran adalah sebagai berikut :
a. Lamanya Waktu Pemaparan
Bila tubuh pekerja terpapar oleh getaran dalam waktu lama, maka gangguan
kesehatan yang ditimbulkan akan semakin parah.
b. Frekuensi Getaran, satuannya Hertz (Hz)
Efek vibrasi dalam tubuh akan berbeda pada frekuensi yang berbeda.
Umumnya frekuensi yang sering dijumpai di tempat kerja adalah 1 Hz-5000
Hz atau 10.000 Hz.
c. Amplitudo Getaran
Diukur dalam kecepatan (m/det) atau percepatan (m/det2).
2.1.6 Pengukuran Getaran
Komponen-komponen dari suatu sistem pengukuran getaran terdiri dari
elemen-elemen mekanik, atau kombinasi elemen mekanik, elektrik dan optik.
Sistem yang biasa dipergunakan memakai vibration pick-up untuk mentransformasikan gerakan mekanik menjadi suatu signal elektrik, kemudian
signal tersebut diperkuat menggunakan amplifier dan untuk menseleksi dan
mengukur getaran dalam spesifik range-frekuensi mempergunakan Vibration
Meter with Analyzer, dengan Merk Svantek Seri SV 106 (Depkes, 1991). Teknik
ini dilakukan untuk mengambil data-data mengenai tingkat paparan getaran pada
a) Periksa bagian vibration meter. Pastikan alat siap digunakan dengan
memeriksa bagian sensor getaran, kabel sensor, power ON/OFF baterai dan
display/LCD.
b) Hidupkan vibration meter dengan menekan tombol power ON/OFF.
c) Pasangkan kabel sensor ke telapak tangan sampel dengan cara
mengeratkannya.
d) Setting vibration meter dengan pilih menu hand arm.
e) Sampel diminta bekerja menggunakan mesin gerinda selama satu menit.
f) Catat angka hasil pengukuran yang muncul pada layar.
g) Matikan vibration meter dengan menekan tombol power ON/OFF.
Secara lebih menndalam Vibration Meter ini dapat melihat range untuk
pengukuran:
Velocity: 10 Hz sampai 1 kHz
Acceleration: 10 Hz sampai 1 kHz pada mode 1
Frekuensi: 10 Hz sampai 1 kHz
2.1.7 Nilai Ambang Batas Getaran Mekanis
Vibration meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur getaran.
Pengukuran getaran yang ada dibandingkan dengan NAB yang tercantum pada
keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP. 51/MEN/1999, mengenai Nilai
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Getaran untuk Pemajanan Lengan dan Tangan
Jumlah Waktu Pemajanan per Hari Kerja
Nilai Percepetan Pada Frekuensi Dominan
m/detik2 Gram
4 jam dan kurang dari 8 jam 4 0,40
2 jam dan kurang dari 4 jam 6 0,61
1 jam dan kurang dari 2 jam 8 0,81
Kurang dari 1 jam 12 1,22
Sumber : Menteri Tenaga Kerja nomor :KEP.51/MEN/1999 2.1.8 Pengendalian Paparan Getaran
Getaran tentu saja memiliki efek-efek berbahaya dari paparan kerja jika getaran tersebut melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang di tentukan, salah satunya dengan pemakaian sarung tangan pelindung anti getaran. Selain itu dapat juga di hindari dengan memperpendek waktu paparan atau memberikan shift-shift pada setiap pekerja. Pemeriksaan berkala dapat mempermudah pengenalan dini pada pekerja yang terpajan getaran dari mesin dan dapat menghindari atau mengurangi efek dari getaran mesin tersebut.
Menurut Budiono (2003), pengendalian getaran adalah sebagai berikut : A. Pengendalian Secara Teknis
1. Mengunakan peralatan kerja yang rendah intensitas getarannya (dilengkapi dengan damping/peredam).
2. Menambah atau menyisipkan damping diantara tangan dan alat, misalnya membalut pegangan alat dengan karet.
3. Memelihara/merawat peralatan dengan baik. Dengan mengganti bagian-bagian yang aus atau memberikan pelumasan.
4. Meletakan peralatan dengan teratur. Alat yang diletakan diatas meja yang tidak stabil dan kuat dapat menimbulkan getaran di sekelilingnya.
5. Menggunakan remote kontrol. Tenaga kerja tidak terkena paparan getaran, karena dikendalikan dari jauh.
B. Pengendalian Secara Administratif
Yaitu dengan cara mengatur waktu kerja, misalkan:
1. Merotasi pekerjaan. Apabila terdapat suatu pekerjaan yang dilakukan oleh 3 orang, maka dengan mengacu pada NAB yang ada, paparan getaran tidak sepenuhnya mengenai salah seseorang, akan tetapi bergantian, dari A, B dan kemudian C. ABC ABC ABC
2. Mengurangi jam kerja, sehingga sesuai dengan NAB yang berlaku. C. Pengendalian Secara Medis
Pada saat awal, dan kemudian pemeriksaan berkala setiap 5 tahun sekali. Sedangkan untuk kasus yang berlanjut, maka interval yang diambil adalah 2-3 tahun sekali.
D. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pengurangan paparan dapat dilakukan dengan menggunakan sarung tangan yang telah dilengkapi peredam getar (busa). Efek-efek berbahaya dari paparan kerja terhadap getaran paling baik dicegah dengan memperbaiki desain alat-alat yang bergetar tersebut, dan pemakaian sarung tangan pelindung, Resiko dapat juga dikurangi dengan memperpendek waktu paparan. Pemeriksaan sebelum penempatan dan pemeriksaan berkala mempermudah pengenalan dini individu-individu yang terutama rentan dan membantu mengurangi meluasnya masalah (Wijaya C, 1995).
2.2 Mesin Gerinda
Mesin gerinda merupakan sebuah alat yang digunakan dalam proses
memotong, meratakan, menghaluskan, mengkilatkan dan membelah benda kerja
(Candra, 2016). Proses menggerinda merupakan tahap finishing dari sebuah
proses konstruksi.
Bekerja dengan mesin gerinda prinsipnya sama dengan proses pemotongan
benda kerja. Pisau atau alat potong gerinda adalah ribuan keping berbentuk pasir
gerinda yang melekat menjadi keping roda gerinda. Proses penggerindaan
dilakukan oleh keping roda gerinda yang berputar menggesek permukaan benda
kerja (Paryanto, 2004). Berdasarkan penelitian Pangestuti, dkk (2014),
pengukuran intensitas getaran dengan menggunakan vibration meter pada mesin
gerinda adalah sebesar 8 – 12 m/s2.
Gambar 2.1 Mesin Gerinda sumber: www.makitatools.com
Keuntungan dari proses menggerinda adalah sebagai berikut (Paryanto, 2004) :
1. Merupakan metode yang umum dari pemotongan bahan seperti baja yang
dikeraskan. Besarnya kelegaan tergantung pada ukuran, bentuk, dan
kecenderungan suku cadang untuk melengkung selama operasi perlakuan
panas.
2. Disebabkan banyaknya mata potong kecil pada roda, maka menimbulkan
penyelesaian yang sangat halus dan memuaskan pada permukaan singgung
dan permukaan bantalan. Kekasaran permukaan yang dicapai adalah 0,4
sampai 2200 µm.
3. Penggerindaan dapat menyelesaikan pekerjaan sampai ukuran teliti dalam
waktu singkat. Mesin gerinda perlu pengaturan roda halus, sebab hanya
jumlah kecil bahan yang dilepas, sampai ± 0,005 mm. Tekanan pelepasan
logam dalam proses ini kecil, sehingga memperbolehkan untuk menggerinda
benda kerja yang mudah pecah dan benda kerja yang cenderung untuk
melenting menjauhi perkakas. Sifat ini memungkinkan memakai pencekam
magnetis untuk memegang benda kerja dalam operasi penggerindaan.
2.3 Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
2.3.1 Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) atau disebut juga Sindrom Terowongan
Karpal (STK) adalah kumpulan gejala akibat terjadi penekanan pada saraf nervus
medianus ketika melalui terowongan karpal di pergelangan tangan. Manifestasi
klinis dari sindroma ini adalah rasa nyeri dan kesemutan (paraesthesia) (Sidharta,
CTS merupakan entrapment neuropathy yang terjadi akibat adanya penekanan
nervus medianus pada saat melalui terowongan karpal di pergelangan tangan
tepatnya di bawah fleksor retinaculum (Rambe, 2004).
Terowongan karpal berada di bagian sentral dari pergelangan tangan di
mana berbagai komponen tulang dan ligamen membentuk suatu terowongan
sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus (Samuel, 1999).
Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan
kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal
ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas
tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini
akan menyebabkan tekanan pada nervus medianus.
2.3.2 Anatomi dan Biomekanika
Pergelangan tangan disusun oleh 3 tulang yaitu tulang radius, ulna dan
karpal. Dimana terowongan karpal terletak di pergelangan tangan yang
kerangkanya di bentuk oleh 8 tulang carpal yang tersusun atas 2 bagian. Bagian
proximal terdiri dari lateral dan medial yaitu tulang navicular, lunatum,
triquertum, dan pisiformis.
Bagian distal yaitu tulang trapezium, trapezoideum, capitatum dan
hamatum. Tulang-tulang karpal tangan susunannya membusur dengan bagian
konkaf menghadap ke arah telapak tangan. Ruangan ini tertutup oleh ligamentum
karpi transversum sehingga terbentuk suatu terusan yang sempit yang disebut
Gambar 2.2 Anatomi Nervus Medianus
Sumber: Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. Fourth edition. Saunders: Elsevier (2006)
Terowongan karpal tersusun secara rapat Musculi antebrachium palmares
superficial (m. pronator teres, m. flexor carpi radialis, m. palmaris longus, m. flexor carpi ulnaris, m. flexor digitorum superficialis), Musculi antebrachium palmares profunda (m. flexor digitorum profunda, m. flexor digitorum longus, m. pronator quadratus), Flexor digitorum longus dan nervus medianus (Wichaksana,
dkk., 2002)
Nervus medianus terbentuk dari fasikulus lateralis asal radiks C5, C6, C7
dan fasikulus medialis C8 dan T1. Saraf medianus di atas siku tidak mempunyai
cabang-cabang artikuler menuju sendi siku cabang muskuler mempersarafi
pollicis longus, pronator quadratus. Setelah memberi cabang pada otot-otot lengan
bawah untuk berbagai gerakan lengan dan jari-jari tangan di bawah ligamentum
carpi transversal syaraf medianus bercabang dua, yang lateral (motorik)
brevis, otot oponen pollicis dan otot adductor pollicis. Percabangan medial
(sensorik) mempersyarafi otot antara ossa metacarpalia yaitu lumbricales,
interossei palmaris dan interossei dorsalis bagian polar jari-jari 1, 2, 3 dan ½ jari
ke 4 (sisi lateral) serta bagian tengah sampai sisi radial juga dipersyarafi oleh n.
Medianus (Sloane, 1994).
2.3.3 Klasifikasi
Menurut Katz, dkk (2002), kriteria diagnostik dibuat berdasarkan
pengalaman klinis para peneliti, banyak gejala pasien ditemukan pada perbatasan
dari kelas klasifikasi yang satu dengan yang lainnya. Pada derajat 0 atau disebut
juga dengan derajat Asimtomatik yaitu tidak ada gejala dan tanda CTS, namun
apabila dilakukan pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin
ditemukan kelainan pada sekitar 20% populasi. Pada kondisi ini tidak perlu
dilakukan terapi.
Derajat 1 atau disebut juga derajat Simtomatik Intermiten terdapat
parastesia tangan (kesemutan) intermiten, namun tidak terdapat defisit neurologis.
Apabila dilakukan tes provokasi dan pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan
motorik mungkin ditemukan kelainan. Pada derajat 1 sudah dapat dilakukan terapi
konservatif.
Pada CTS derajat 2 atau disebut juga dengan Simtomatik Persisten
terdapat defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus dan bila
dilakukan tes provokasi akan didapatkan hasil yang positif serta pada pemeriksaan
konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal. Penanganan yang dapat
Derajat tertinggi yaitu derajat 3 disebut juga dengan derajat Berat. Kondisi CTS
derajat berat adalah terdapat atrofi otot thenaris. Apabila dilakukan pemeriksaan
dengan elektromiografis terdapat fibrilasi atau neuropati unit motorik. Tindakan
yang dapat dilakukan pada derajat ini dengan melakukan terapi operatif.
Komplikasi yang mungkin timbul pada CTS oleh karena kompresi antara
lain atrofi otot thenaris, gangguan sensorik yang mengenai bagian radial telapak
tangan dan sisi palmar dari tiga jari tangan yang pertama, serta terdapat deformitas
“ape hand”, tidak mampu memfleksikan jari tangan, gengggaman tangan melemah, terutama ibu jari dan telunjuk, dan jari-jari ini cenderung mengadakan
hiperekstensi dan ibu jari abduksi.
2.3.4 Patofisiologi
CTS terjadi apabila saraf nervus medianus mengalami tekanan dalam
struktur anatomis terowongan karpal. Tekanan dapat disebabkan oleh
meningkatnya volume dalam terowongan karpal, pembesaran saraf medianus, atau
berkurangnya area cross-sectional dalam terowongan karpal. Dari ketiga
penyebab ini, yang menjadi penyebab terbanyak adalah meningkatnya volume
terowongan karpal.
Meningkatnya volume terowongan karpal dipengaruhi oleh gerakan yang
berulang dengan kontraksi sangat kuat, tekanan mekanis, sikap kerja kaku dan
aneh, getaran setempat dan penggunaan sarung tangan sempit dingin. Hal ini akan
menyebabkan peradangan tendon pada sendi dan bursa yang akan menekan N.
Medianus dan menimbulkan manifestasi klinis seperti nyeri, terdapat kelemahan
Teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan
jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di terowongan karpal.
Menurut Lunborg dalam Tana (2004) mencatat edema epineural pada saraf nervus
medianus dalam beberapa hari terkena paparan alat getar genggam. Edema
epineural diakibatkan adanya peningkatan tekanan intrafasikuler yang
menyebabkan aliran darah vena melambat sehingga endotel menjadi rusak dan
kebocoran protein. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik,
iskemik, dan trauma kimia.
Getaran ini merangsang kontraksi tendon, mengurangi kelenturan,
mencederai saraf perifer, menyebabkan mati rasa jari-jari atau mengurangi sensasi
tangan sebagai akibat konstriksi vaskuler atau vasospasme mikrosirkulasi ke saraf
perifer. Cedera mikroskopik, mikrosirkulasi, arteriosklerosis lokal yang
menyebabkan pembengkakan lokal berisi cairan dan fibrin yang menekan nervus
medianus.
2.3.5 Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalaui oleh nervus medianus juga
dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin
padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus
medianus sehingga menimbulkan STK. Beberapa penyebab (etiologi) dan
faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
1. Herediter : Neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure plays,
misalnya HMSN (hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III
2. Trauma : Dislokasi, fraktur atau hematon pada lengan bawah, pergelangan
tangan dan tangan, trauma langsung terhadapa pergelangan tangan.
3. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
yang berulang-ulang dan pengagangkat beban berat.
4. Inveksi : tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
5. Metabolik : amiloidosis, gout, hipotiroid-neuropati fokal taken, khususnya
syndrome carpal tunnel juga terjadi karena penebalan ligamen, dan tendon dari
simpanan zat yang disebut mukopolisakarida.
6. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau ansdrogen, diabetes mellitus,
hipotiroidi dan kehamilan.
7. Neoplasma : kista ganglion, lipoma, infiltrasinmetatase, mieloma.
8. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumathoid, polimialgia reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
9. Degeneratif : osteoartritis.
10. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis,
hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
11. Faktror Stress.
12. Inflamasi : infklamasi dari membran mukosa yang mengelilingi tendon
menyebabkan nervus medianus tertekan dan menyebabkan carpal tunnel
2.3.6 Faktor - Faktor yang dapat mempengaruhi Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
1. Jenis Kelamin
National Women’s Health Information Centre (2008) dalam Tirsa Iriani (2010) menyebutkan bahwa tulang pergelangan tangan pada wanita secara alami
lebih kecil, sehingga menciptakan ruang yang lebih ketat untuk dilalui saraf dan
tendon. Wanita juga menghadapi perubahan hormonal yang kuat selama
kehamilan dan menopause yang membuat wanita lebih mungkin untuk menderita
carpal tunnel syndrome. Secara umum, wanita lebih berisiko terhadap Carpal
Tunnel Syndrome (CTS) antara usia 45 – 54 tahun.
2. Umur
Pertambahan usia dapat memperbesar risiko terjadinya carpal tunnel
syndrome (CTS), dimana usia terjadinya penyakit ini berkisar antara 29 - 62
tahun. Dengan bertambahnya umur dapat dipastikan bahwa paparan dengan alat
kerja tangan makin lama pula karena penggunaan tiap hari pada waktu kerja dan
kemampuan elastisitas tulang, otot ataupun urat semakin berkurang sebagai
peredam dari getaran yang dirambatkan ke tubuh (Syaiful Saanin, 2009).
3. Masa kerja
Gangguan yang disebabkan oleh getaran dapat muncul dalam waktu yang
berbeda-beda sejak pertama terpapar, tetapi kadang-kadang gejala ini timbul
dalam beberapa bulan setelah paparan berat. Perubahan rangka biasanya timbul
tidak lebih awal dari 10 tahun atau lebih. Dengan masa kerja yang lama maka
pekerja terkena Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dimana efek yang ditimbulkan
getaran dalam jangka waktu lama (Syaiful Saanin, 2009).
4. Riwayat Pekerjaan
Penyakit Carpal Tunnel Syndrome (CTS) erat kaitannya dengan ketiga
faktor penyebab utama yaitu :
1. Kompresi berulang yang menyebabkan iskemia, pembentukan edema
pada ruang subendoneurial dan sinovium yang akhirnya menjadi
fibrosis.
2. Perlekatan saraf yang disebabkan oleh jaringan parut berakibat pada
menurunnya hantaran saraf dan iskemia.
3. Tekanan mekanis setempat dari struktur-struktur seperti misalnya FR
yang menyebabkan kerusakan saraf setempat. Teori ini dapat
tumpang-tindih, contohnya suatu peningkatan tekanan ekstra neurial dapat
mendorong saraf melawan jaringan yang kaku dan menyebabkan suatu
cedera setempat disebabkan karena tekanan mekanis (PT Kalbe Farma,
2003).
5. Penyakit-Penyakit Degeneratif.
Menurut Ronald E. Pakasi (2007), carpal tunnel syndrom dapat terjadi
akibat adanya penyakit lain yang memicunya. Berbagai penyakit degeneratif dapat
menyebabkan munculnya carpal tunnel syndrome sebagai salah satu bentuk
Kondisi-kondisi medis penyebab carpal tunnel syndrome diantaranya :
1. Arthritis Reumatoid
Gejala di terowongan carpal ini juga umum terjadi pada lansia penderita
reumatik. Dalam hal ini, saraf terjepit bukan akibat pembesaran otot melainkan
sendi di pergelangan tangan berubah bentuk. Reumatik juga menimbulkan
kesemutan, biasanya gejala terjadi pada pagi hari dan menghilang pada siang hari.
Gejala kesemutan karena reumatik hilang sendiri bila reumatiknya sembuh (Lily
Wibisono, 2007).
2. Fraktur/Dislokasi
Keadaan lokal lainnya seperti inflamasi sinovial serta fibrosis (seperti pada
tenosinivitis), fraktur tulang carpal, dan cedera termal pada tangan atau lengan
bawah bisa berhubungan dengan Carpal Tunnel Syndrome (Syaiful Saanin, 2009).
3. Diabetus Mellitus
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) ini juga sering terjadi berkaitan dengan
kelainan yang menimbulkan demielinasi atau kelainan saraf iskemik seperti
diabetes mellitus (Syaiful Saanin, 2009). Timbulnya neuropati pada penderita
diabetes tidak tergantung pada kadar gula darah, tetapi pada lamanya si penderita
mengidap diabetes. Semakin lama menderita diabetes maka semakin tinggi pula
rasa kesemutan itu muncul. Jadi bisa saja seorang penderita merasakan kesemutan
meskipun diabetesnya sendiri terkontrol dengan baik, yang dirasakan biasanya
kesemutan pada ujung jari terus-menerus, kemudian disertai rasa nyeri yang
menikam seperti tertusuk-tusuk diujung telapak kaki atau tangan terutama pada
4. Hipertensi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) juga dapat terjadi akibat penyakit lain
sebagai salah satu bentuk komplikasi. Orang yang tidak teratur olahraga juga
terancam penyakit ini karena tubuh yang kurang terlatih menyebabkan sirkulasi
darah dan otot kurang bisa bertoleransi dengan stress, serta kebiasaan merokok
dan mengkonsumsi kopi memicu timbulnya hipertensi sebagai faktor resiko
terjadinya penyakit carpal tunnel syndrome (Daryono Soemitro, 1992).
5. Tumor
Semua lessi masa didalam terowongan karpal mungkin mengganggu saraf
median seperti neurofibroma, ganglion, dan tumor jinak lainnya. Ada pula
kesemutan yang tidak bisa hilang sendiri, gejala awal yaitu kesemutan di telapak
kaki, lambat laun telapak kaki terasa tebal. Rasa tebal itu manjalar ke betis lalu ke
lutut. Setelah beberapa waktu kaki yang terasa terganggu mulai lemah dan sukar
berjalan. Gejala di perparah dengan sakit kepala yang hebat dan saat batuk pun
kepalanya terasa sakit. Lambat laun, kedua kakinya terasa lumpuh dan
penglihatan jadi kabur. Ternyata hal tersebut di karenakan ada tumor pada bagian
kepala depan otak. Sebuah penyakit serius dengan gejala awal sepele (Lily
Wibisono, 2007).
6. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Alat pelindung diri yang cocok untuk getaran yang dirambatkan melalui
alat kerja tangan adalah sarung tangan dengan bahan busa dan pemberian damping
atau peredam dari karet pada alat yang berhubungan langsung dengan tangan
hingga dibawah nilai ambang batas yang ditetapkan yaitu 4 m/s2 (Tarwaka, 2008).
2.3.7 Gejala Klinis
Gejala awal biasanya berupa parestesia yang terjadi dalam distribusi saraf
medianus tangan, tiap malam pasien terbangun pada jam-jam awal dengan rasa
nyeri yang panas membakar, perasaan geli, dan mati rasa (Bahrudin, 2011).
Gejala-gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) sebagai berikut:
1. Sakit tangan dan mati rasa, terutama pada waktu malam hari.
2. Nyeri, kesemutan, mati rasa pada jari-jari tangan, terutama ibu jari,
telunjuk dan jari tengah.
3. Waktu pagi atau siang hari perasaan pembengkakan terasa ketika
menggerakkan tangan dengan cepat.
4. Rasa sakit menjalar ke atas hingga lengan atas sampai dengan pundak.
5. Terkadang tangan terasa lemas dan hilang keseimbangan terutama di pagi
hari.
Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya
kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai
atrofi otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis). dan
otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus (Bahrudin, 2011).
2.3.8 Faktor Resiko
Faktor resiko dari Carpal Tunnel Syndrome (CTS) terdiri dari okupasi dan
non okupasi faktor yang berhubungan dengan gejala CTS pada pekerja industri.
Faktor risiko okupasi yaitu bekerja dengan cepat, gerakan berulang, pekerjaan
okupasi yaitu jenis kelamin, umur, indeks massa tubuh, merokok, status
kehamilan (Maghsoudipour, 2008).
2.3.9 Dignosis
Diagnosis CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala klinis seperti
di atas dan perkuat dengan pemeriksaan yaitu:
1) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita
dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan.
Menurut Katz, dkk (2002) beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosis CTS adalah:
a) Phalen test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila
dalam waktu 60 detik timbul nyeri, tes positif CTS. Sensitivitas dan
spesifisitas tes Phalen dalam mendiagnosis CTS secara berurutan adalah 82%
dan 100% (Widodo, 2014).
b) Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan
sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosis.
c) Tinel sign : Tes ini mendukung diagnosis bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
Gambar 2.4 Tinel’s Sign
Sumber: Sawaya, Raja A. Journal of Clinical Neurophysiology (2009)
d) Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau
menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosis CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai
pada penyakit Raynaud.
e) Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi
otot-otot thenar.
f) Menilai kekuatan dan keterampilan serta kekuatan otot secara manual maupun
g) Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes
ini menyokong diagnosis CTS.
h) Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala
seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.
i) Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari
telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnosis CTS.
j) Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosis.
k) Pemeriksaan Fungsi Otonom : Pada penderita diperhatikan apakah ada
perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah
inervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosis CTS.
Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel sign adalah tes
yang tepat untuk CTS (Tana, dkk., 2004).
2) Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat menunjukkan adanya fibrilasi,
otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot-otot-otot
lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS.
Kecepatan Hantar Saraf (KHS) pada 15-25% kasus, bisa normal. Pada
yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)
memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di
pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik
(Sidharta, 2004).
3) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu
melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher
berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG,
CT-scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan
dioperasi. USG dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median
di carpal tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel
syndrome (Wilkinson, 2001).
4) Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa
adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan
seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (Rambe,
2004).
2.3.10 Pencegahan
Berbagai pekerjaan yang banyak menggunakan tangan dalam jangka
dimaksud umumnya menggunakan kombinasi antara kekuatan dan pengulangan
gerakan yang sama pada jari-jari dan tangan, selama periode waktu yang lama.
Sindroma terowongan karpal dapat pula tercetus akibat paparan terhadap
getaran atau vibration (misalnya pekerjaan pengeboran), atau akibat kesalahan
posisi tangan yang tidak ergonomis (misalnya pekerjaan dengan komputer), yang
terjadi dalam jangka waktu lama (Astaqaulia, 2010).
Panduan yang telah dibuat Silverstein, dkk (2000) mengenai pencegahan
untuk mengendalikan risiko penyebab CTS akibat gerakan berulang (repetitive)
adalah dengan mengurangi penggunaan gerakan tangan berulang dengan bantuan
mesin otomatis dan lakukan rotasi pekerjaan dengan gerakan yang berbeda.
Gerakan yang sangat kuat (forceful) dapat dicegah dengan pengurangan berat atau
ukuran perkakas yang digunakan disesuaikan dengan kekuatan normal tangan.
Pada sikap tubuh yang kaku atau tidak ergonomis dapat dicegah dengan
menyesuaikan jenis pekerjaan dengan pekerja dan usahakan posisi pergelangan
tangan harus selalu netral dengan membuat pekerjaan lebih mudah dijangkau.
Tekanan mekanis dapat dicegah dengan memberi bantalan pada pegangan
perkakas yang digunakan atau dengan penggunaan sarung tangan. Untuk
mengendalikan efek getaran dapat menggunakan isolator (alat peredam) vibrator
dan hindari penggunaan perkakas pemutar yang kuat (Silverstein, dkk., 1987).
Menurut NIOSH (1997), pencegahan ergonomi yang terpenting untuk
mengindari CTS adalah dengan pengendalian sikap tubuh dengan memelihara
meredam getaran dan melakukan rotasi pekerja untuk meningkatkan kewaspadaan
pekerja.
2.4 Pekerja 2.4.1 Definisi Pekerja
Pekerja adalah penduduk yang melakukan kegiatan bekerja. Penduduk
dibagi menjadi 3 yaitu penduduk usia kerja, penduduk yang termasuk angkatan
kerja dan penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja. Penduduk yang
termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (≤ 15 tahun) yang bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.
Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan
maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan,
paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut
termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha
atau kegiatan ekonomi (BPS, 2000).
2.4.2 Pekerja Las
Pekerja las merupakan pekerja yang bekerja di lapangan usaha bidang
konstruksi. Pekerjaan yang dilakukan berupa kegiatan memotong, meratakan,
menghaluskan, mengkilatkan, membelah benda kerja, dan membentuk benda
kerja seperti merapikan hasil pemotongan (Candra, 2016). Ketika melakukan
pekerjaan las, pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi tidak ergonomis,
seperti mengelas dengan membungkuk, berjongkok, dan posisi kepala mendongak
ke atas. Keadaan seperti itu dapat mempengaruhi posisi kerja tangan saat
Menggerinda adalah bagian dari pekerjaan pengelasan yang menggunakan
mesin gerinda (Fatmawati, dkk. 2009). Posisi tangan saat menggunakan mesin
gerinda yang tidak sesuai juga akan berisiko menyebabkan terjadinya Penyakit
Akibat Kerja (PAK) yaitu Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
Berdasarkan penelitian Pangestusi, dkk., (2014), posisi kerja tangan
responden saat menggunakan mesin gerinda sebagian besar dengan lateral pinch.
Sedangkan menurut Vienza (2011), posisi lateral pinch merupakan posisi yang
tidak normal dan tidak ergonomis karena jari-jari tangan tidak menggenggam
sempurna sehingga berpotensi menyebabkan cedera pada tangan.
2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.5 Kerangka Konsep
Intensitas Getaran
Gejala Carpal Tunnel
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan rancangan
cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan getaran
mekanis mesin gerinda dengan Gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada
Pekerja Bengkel Las di Jalan Mahkmah Kecamatan Medan Kota Tahun 2017
(Notoadmodjo, 2010).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bengkel las yang berada di Jalan Mahkmah
Kecamatan Medan Kota Tahun 2017. Adapun alasan pemilihan lokasi ini sebagai
tempat penelitian, karena lokasi ini merupakan salah satu bengkel las terbesar
yang berada pusat kota Medan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juli 2017.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generaliasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja dari 22 bengkel las yang berjumlah 63