• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA MENUJU UNIVERSALITAS ILMU PENGETAHUAN ERA POSMODERN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POSKOLONIALISME DAN SPIRITUALISME TIMUR: UPAYA MENUJU UNIVERSALITAS ILMU PENGETAHUAN ERA POSMODERN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TIMUR: UPAYA MENUJU UNIVERSALITAS

ILMU PENGETAHUAN ERA POSMODERN

Mahmudi

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep

mahmudiganding@gmail.com

Abstrak

Saat ini kita sampai pada era baru yaitu posmodern. Lembaran ini sekaligus menutup modern dengan kekuatannya yang hegemonik yaitu berupa arus logosentrisme dari ilmu pengetahuan. Ilmu pada saat modern haruslah berparadigma positivistik. Artinya yang menjadi pijakan dalam ilmu tersebut adalah logika rasionalisme serta logika empirisme. Fakta tersebut berarti bahwa pengalaman manusia itu dijadikan sebagai tolak ukur dari ilmu pengetahuan. Hal ini berawal dari pemikir Perancis, Rene Descartes, awalnya ia meragukan secara metodis tentang sesuatu yang ada, akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa yang berpikirlah yang ada dengan sebenarnya. Ia mengatakan cogito ergo sum, dengan pikirannyalah manusia dapat berpijak. Babak ini berawal sejak abad ke 15 hingga penghujung abad 20. Ini merupakan era keemasan dari modernisme. Nah hingga pada akhirnya modernisme ini digeser oleh posmodern yang mengkritiknya. Ilmu pengetahuan ternyata “melingkar”. Ia bisa berada dimana saja. Seperti juga yang diungkap oleh Derrida, sang raja dekonstruksi, bahwa segalanya adalah teks. Tak ada sesuatu di luar teks. Alam semesta merupakan teks yang selalu melingkar. Tak ada kebenaran hakiki yang ada hanyalah interpretasi. Selain itu ada bahasa oposisi biner dalam modernitas. Sesuatu itu berlawanan secara pasti; kaya-miskin, penguasa-rakyat jelata, hitam-putih, dan sebagainya. Dari itu, maka ada sebuah teori dalam posmodern yaitu poskolonialisme. Paham ini hendak mengkritik bahwa ideologi pengetahuan adalah berakar dari kekuasaan. Namun bukan demikian adanya tetapi masalah pengetahuan adalah masalah sumber mengetahui itu sendiri.

(2)

Pendahuluan

Kehidupan modern merupakan abad yang sangat mendewakan rasionalitas. Sesuatu yang tidak bersifat rasional tidak mendapatkan perhatian bagi mansia modern. Memang abad ini cenderung sekuler dan materialistis, seakan-akan meninggalkan tradisi keagamaan. Abad baru telah dibuka oleh lembaran baru yaitu Cartesian. Rene Descarteslah yang telah membuka lembaran baru tersebut dengan kata-kata yang didengungkannya, cogito ergo sum, I think therefore I am (saya berpikir maka saya ada).

Dengan adanya hal itu, dunia mengalami pergeseran paradigma, dari yang percaya mitos bergeser menjadi kepercayaan terhadap akal manusia. Mitos telah menjadi anomali dan terjadi krisis hingga pada akhirnya akal menjadi pusat peradaban manusia. Dunia modern merupakan awal dari perkembangan sains dan teknologi. Pesatnya kemajuan teknologi ditandai dengan gedung-gedung pencakar langit dan mesin-mesin mekanik.

Tetapi saat ini abad baru telah dimulai. Modern(isme) yang mendengung-dengungkan akal itu telah mendapatkan banyak kritik. Nietzsche dan Heidegger lah yang telah menutupnya sekaligus membuka lembaran baru yaitu Postmodern. Post-modern juga dikatakan sebagai post-Cartesian yang mana menurut James, adalah “critical modernisme”, dimulai dari Descartes dilanjutkan oleh Kant dan Hegel.1

Abad baru yang besar ini pada akhirnya mencita-citakan sebuah “kebudayaan universal” (universal culture), yang bisa dibangun dari

1 James L. Marsh, Modernity and its Discontents (New York: Fordham

(3)

unsur-unsur parokial yang mempunyai identitas material, kognitif, dan imajinatif. Sedangkan salah satu term dari “kebudayaan universal”, menurut Huntington, berisi tentang asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan doktrin dalam masyarakat.2 Karena dengan adanya

hegemoni modern yang didengung-dengungkan Barat melalui superioritas akalnya manusia mengalami keterasingannya sendiri, meminjam Karl Marx, sebetulnya siapakah manusia terakbar dalam sejarah? Dalam pandangannya, merekalah yang berkerja untuk alam semesta.

Poskolonialisme berangkat dari sebuah keprihatinan akan pelampauan diri yang tidak mempunyai akar-akar sejarah, sehingga tidak ada kontinuitas ataupun identitas diri yang kokoh. Maka, kegagalan sebuah usaha konstruksi sosial atau kultural adalah menghilangkan masa lalu. Yang lalu bukanlah untuk dilupakan atau dikenang secara berlebih-lebihan sehingga meninabobokan, namun kita harus bisa membuat struktur atau formasi kaidah objektif yang diskursif terhadapnya. Dimana, struktur atau formasi ini tidak hegemonik ataupun monolitik, namun mampu mengakomodasi dialektika sejarah yang sering merepresi sisi-sisi yang terpinggirkan. Imajinasi yang tenggelam, materi teks yang tersingkir, atau pemikiran asing yang terbuang, adalah khazanah artefak yang dokumenter, sehingga harus dilakukan upaya rekonstruksi-genealogis dan dekonstruksi formasi-formasi yang menstrukturkannya. Akhirnya jadilah struktur yang baru yang lebih genuine dan penuh dengan daya hidup.

2 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, (London: Simon and Schuster Ltd, 1996), 57.

(4)

Poskolonialisme ingin membongkar persemayaman mitos-mitos. Mitos biasanya bekerja dengan cara membuat sesuatu yang sesungguhnya berdasar pada ideologi tertentu, kemudian lewat perjalanan sejarah hal itu dibuat tampak dan tampil seolah-oleh sesuatu yang alamiah, kodrati dan tak terbantahkan dalam sebuah masyarakat. Mitos selalu mengajak kita untuk berfantasi dan inilah yang senantiasa direproduksi kolonialisme baru, baik kolonialis lokal maupun internasional. Poskolonialisme mengajak kita agar tidak mudah menerima usaha pihak lain yang suka mengingatkan untuk melestarikan sesuatu dari masa silam. Namun demikian, dengan adanya lembaran baru modern maka diisilah dengan proyek modernitas, modernisasi, dan modernisme.3

Bagaimanapun nostalgia yang dikonsumsi secara berlebihan sangat membahayakan dan akan menumpulkan kesadaran kritis serta akan melepaskan diri dari tugas yang seharusnya diemban dalam kehidupan ini.

Terminologi poskolonial dipahami sebagai sikap dan gerakan resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer, politik dan rezim-rezim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa kolonial. Pemaknaan ini memperlihatkan pengaruh kuat teori (linguistik) post-strukturalisme yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh tiga tokoh kritik poskolonial berpengaruh, yaitu Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha. Studi poskolonial bukan dimaksudkan sebagai studi mengenai bekas-bekas wilayah koloni (ex-colonies), konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan

3 Mike Featherstone, Consumer Culture and Postmodernisme, (London:

(5)

pada “analisa dan pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan karakteristik suatu politik. Studi poskolonial menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan poskolonial juga men-tidakstabil-kan wacana mengenai relasi “the West and the Rest” (dunia maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori oposisi biner.

Negara Dunia Ketiga sebagai kesatuan poskolonial memiliki luka atau trauma penjajahan yang terus ikut serta dalam setiap proses pembentukan jati diri kebangsaan. Menurut Leela Gandhi, negara-bangsa poskolonial cenderung berusaha lepas dari luka tersebut dengan mengupayakan sebentuk diskontinuitas terhadap masa lalu yang menyakitkan itu. Hal ini menyuburkan tumbuhnya amnesia sejarah yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tidak pernah bisa kembali pada identitasnya semula, yakni identitas sebelum mengalami penjajahan. Sedemikian besar pengaruh penjajahan, sehingga memengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan yang jelas sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.

Ketergantungan sebagai konsekuensi logis dari efek lanjutan kolonialisme ini kita temui di dalam globalisasi. Globalisasi juga melahirkan formasi identitas politik yang karakteristiknya dapat kita kenali melalui praktek dan struktur “dominasi serta resistensi”. Tetapi Soroush menganggap ideologi Islam sebagai isu sentral dalam

(6)

dunia muslim modern. Ia mendefinisikan ideologi sebagai instrumen politik dan sosial yang biasa digunakan dalam tindakan publik.4

Kajian Teks Timur

Sebuah formasi teks yang sehat dan diskursif, harus memahami kaidah-kaidah objektif yang berjalan dalam dirinya. Kaidah ini sering membuat relasi-relasi yang sistemik ataupun melingkar-lingkar. Keduanya secara konsensus sering tidak terlihat dan bersifat laten. Namun, secara fungsional ia memperlihatkan diri melalui pengaruh dan signifikansinya dalam fakta sosial, baik secara teoritis maupun praktis.

Oposisi biner yang diilmiahkan oleh Edward Said dalam bukunya “Orientalism”, cukup deskriptif dalam memaparkan proses berjalannya kaidah relasi ini. Dengan menggunakan pisau analisa mazhab Foucauldian, ia menemukan sebuah usaha pencitraan atau konstruksi sosial dan kultural dari dunia Barat terhadap Timur, baik secara imajinatif, kognitif, ataupun material.

Pada waktu itu, Timur memang belum mampu untuk menceritakan tentang diri mereka sendiri. Sehingga, Baratlah layaknya seorang psikiater, membantu Timur si pasiennya, untuk menemukan dirinya yang hilang karena khazanahnya yang kaya terepresi ke dalam ketidaksadarannya. Orang manakah yang begitu cerdasnya bisa mengungkap imajinasi Ibnu ‘Arabi yang kaya namun terasingkan? Layaknya seorang psikiater, Henry Corbin menganalisa dan mengangkat sisi material, imajinasi, dan kognisi Ibnu ‘Arabi

4 John L. Esposito, Makers of Contemporary Islam (New York: Oxford

(7)

yang lama mengendap dalam tumpukan sejarah deskripsi Spiritualisme Timur (mystic east). Disinilah, ternyata “Kebijaksanaan Timur” belum mampu menyadari akan kekayaan khazanahnya.

Ketika sang “psikiater” telah berhasil menelusuri, menyelami dan mengangkat ketidaksadaran Timur ke sebuah dunia realitas, si pasien akan terstrukturkan oleh ekses metode “hipnosa-suggestif” yang digunakan oleh psikiater tersebut. Si pasien hanya bisa pasrah dan tunduk akan arah-arahan sang dokter.

Demikianlah Timur dihadapan superioritas Barat. Teks Timur sedang mengalami krisis identitas, baik subyek, materi, ataupun intensi teks. Ada dua peradaban besar yang saling menunjukkan jati dirinya yaitu peradaban modern Barat dan Islam.5

Studi Humanitas

Sosiologi poskolonial adalah sebuah studi kemanusiaan yang mengarahkan dirinya ke dalam relasi-relasi dunia yang terpinggirkan. Materi maupun bentuk studi ini banyak meramu unsur-unsur yang sudah klasik maupun kontemporer. Ia berusaha mengangkat harkat kemanusiaan dan bersifat emansipatoris. Humanitas yang ada dalam studi ini tidaklah narsistik, namun ia berkaitan erat dengan ekologi global dan habitat makhluk Tuhan yang lain. Studi poskolonial sering dihubungkan dengan negara-negara Dunia Ketiga (third world), dimana realitas ekonomi, politik, ataupun budayanya mengalami keterpinggiran. Ada dua paradigma teori besar yang menjelaskan

5 Arnold J. Toynbee, Civilization on Trial (New York: Oxford University

(8)

bagaimana keterpinggiran ini terjadi. Yaitu, teori modernisasi dan teori ketergantungan.

Yang pertama adalah teori modernisasi, dimana yang dinamakan peradaban Barat adalah sebuah tahap kebudayaan maju yang mesti dilalui oleh negara-negara lain. Kebudayaan universal ini dihasilkan oleh semangat dari dalam manusia yang beradab- dalam kategori Weberian dan Norbert Elias- contoh studi klasik itu adalah pada Philosophy of History dari Hegel, Protestan Ethic dari Weber, atau Rise of Capitalism-nya R.H. Tawney, dan studi-studi klasik ini telah berkembang menjadi mazhab ekonomi-politik ketika para sarjana modernis dari Harry S. Truman mulai menganalisa sisi Dunia Timur sebagai sebuah proyek modernitas. Kita telah mengenal studi korelasi antara “kemakmuran ekonomi dan demokrasinya” Lipset, atau Passing of Traditional Society-nya Learner. Dan yang tidak kalah penting adalah teori Take Off-nya W.W. Rostow.

Yang kedua adalah teori tentang ketergantungan pada sistem dunia. Teori ini memang sarat akan uraian-uraian ekonomi yang melingkar. Diantaranya, Dependencists Theory dari A.G. Frank, The World System ala Wallersten, atau Asian Drama milik Gunnar Myrdal. Semua studi ini bisa ditelusuri asal-asulnya pada aliran Marxian yang emansipatoris, yang melihat sisi realitas dari oposisi biner, kaya-miskin, borjuis-proletar, pusat pinggiran, dan sebagainya. Teori peradaban, bisa dikatakan demikian, untuk mengidentikkan paradigma teori-teori modernisasi, secara fungsional lebih bisa menjelaskan kenapa bentuk produksi teks Dunia Timur (mode of text production), tidak bisa menggambarkan diri mereka sendiri dalam analisis fakta sosial, malahan melarutkan dirinya dalam

(9)

keterpurukan ekonomi-politik, ataupun budaya. Five stage Economic Growth-nya Rostow, jelas berparadigma historis, sehingga usaha pertumbuhan ekonomi yang melompat secara ahistoris dari akar-akar identitas ekonomi-genealogis, mengakibatkan tercerabutnya akar-akar ekonomi sejarah yang fundamental. Hal tersebut memunculkan ruang kosong yang menggelembung, yang kemudian suatu waktu meledak secara eksplotif ketika terjadi sebuah malaise atau disfungionalitas sistem.

Akar-akar identitas sejarah lokal, dibangun oleh individu-individu daerah yang membentuk komunitas-komunitas permanen maupun kontraktual. Mereka mempunyai modal semangat dan strategi kebudayaan yang masih genuine dan orisinil. Hanya saja, ketika terjadi penetrasi yang terlalu hegemonik dari struktur Negara Bangsa (nation-state), sering menjadikan individu ini termistifikasi oleh patologi modernitas yang memang, itu dimulai sejak abad 16 sampai 17 sedangkan dalam seni kebudayaan terdapat pergeseran paradigma dalam arus modernisme tersebut.6

Karakter dan patologi modernitas, bisa ditanggulangi dengan individuasi yang integral dan holistik. Demistifikasi kesadaran dalam penyejarahan individu yang lahir dalam realitas sosial merupakan langkah awal dekonstruksi identitas diri yang historis. Kembalinya individu pada sejarah aslinya, atau dalam bahasa Rousseau, kembali pada alam, yaitu dunia yang dulu tercerabut kekhasannya, merupakan usaha pembersihan diri. Merekonstruksi masa lampau yang diskursif, yaitu bagaimana sejarah asli berinteraksi secara dialektis dan rasional

6 Barry Smart, Modern Conditions, Postmodern Controversies (London and

(10)

dengan Kebudayaan Universal dari luar dirinya. Individu yang sehat, terbuka, dan mempunyai identitas sejarah yang kokoh, merupakan modal terpenting bagi munculnya peradaban kosmopolit. Dan pergerakan sosial itu membutuhkan uang dalam segala hal.7

Kebijaksanaan Timur

Poskolonialisme yang mengembangkan visi kritis, transformatif, dan emansipatoris, belum berdiri kokoh tanpa ditopang oleh individuasi yang utuh dan penuh kebijaksanaan. Menciptakan sebuah sistem tanpa mau memperhatikan siapakah yang akan menjalankan sistem tersebut sama saja dengan mustahil dan absurd. Sistem tidak akan mempunyai ruh kalau hanya bentuk saja tanpa adanya individu-individu yang arif dan tegas. Kebijaksanaan Timur (oriental wisdom) mengisi akan tugas ini. Ia diramu dari “akar-akar hati semesta” ke-Timuran yang ingin menyejarah tanpa kehilangan identitas diri. Bukankah Agama-agama dunia berasal dari Timur? Timur adalah sumber agama-agama dunia (source of world religion). Kebijaksanaan Timur adalah milik individu-individu yang berpengatahuan mendalam dan pemegang kekuasaan yang adil (fairness power).

Kebijaksanaan Timur berkaitan erat dengan inti Spiritualisme Universal yang lintas agama, yaitu daya hidup (elan vital). Manusia dinamis yang digambarkan oleh Bergson, adalah manusia religius yang memiliki daya semangat hidup tinggi. Salah satu spiritualisme tertinggi adalah kebijaksanaan untuk menghargai kehidupan. Ia bisa

7 James L. Wood, Social Movements: Development, Participation, and Dynamics, (California: Wadsworth Publishing Company, 1982), 186.

(11)

menghidupkan dan meramaikan semesta dengan kebajikan. Individu yang mempunyai semgangat dan daya hidup tinggi, dapat mengakselerasikan seluruh potensi-potensi sejarah manusia yang ada sebelumnya. Ia mempunyai “arketipe” kemanusiaan dari alam. Elan vital ini diabdikan untuk menghidupi semesta. Ia merupakan energi kosmis yang diselubungi ketidaksadaran. Individu ini menganggap seluruh organ alam adalah hidup dan mempunyai jiwa-jiwa damai.

Kebijaksanaan Timur diciptakan dari anugerah alam. Karena alam ini distrukturkan oleh ruang semesta, yaitu waktu, maka “jiwa kebijaksanaan timur” selalu berpindah-pindah dari waktu ke waktu. Ia menelusuri rentang sejarah dan memasuki individu-individu yang mau menyedekahkan hatinya untuk semesta, yaitu orang yang cinta akan kebajikan universal, kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Ia adalah sahabat alam dan mempunyai “hati semesta”.

Studi Wong Cilik (Subaltern Studies)

Benda-benda penghias kehidupan manusia, ternyata lebih kuat mempengaruhi dan mengkooptasi kesadaran manusia, dari pada manusia itu sendiri yang mengolah, memanfaatkannya, dan melestarikannya. Studi wong cilik adalah keharusan yang layak dimiliki para akademisi kita yang sombong akan keberadaannya dan tidak mau menyejarah secara material ataupun imajinasinya dengan

kawulo alit, dimana mereka telah mengalami "mistifikasi kesadaran". Kesombongan itu terwujud dalam bentuk gengsi berkelas dan keengganan untuk menyedekahkan hati dan jiwanya bagi penderitaan mereka. Marx menyebutnya, "pekerja semesta". Para kaum elit

(12)

"intelektual" lebih menidurkan diri oleh ranjang mereka yang hangat dan perut yang dimanjakan prestasi kerja. Mereka terkungkung oleh dunia intelektual mereka sendiri. Studi wong cilik lebih berpusat pada psikologi yang hermeneutis.

Memang, membangun formasi sebuah peradaban sering mengorbankan kehidupan manusia. Bagaimana Borobudur terbangun dengan peras keringat kuli-kuli miskin, atau Piramida Mesir yang menelan ribuan darah kaum papa, telah tercatat dalam lembaran sejarah yang terpinggir dan tak terpikirkan. Kini, modernitas pun telah menjadi lintah yang membutuhkan sesajen manusia, sehingga Berger menyebutnya “Pyramid of Sacrifice”. Parameter peradaban yang maju bukanlah hanya dilihat dari “proyek mercusuarnya” saja, namun yang lebih penting dari itu, yaitu “pemanusiaan manusia” bersama alam yang terjaga keseimbangan dan kontinuitasnya dalam sejarah. Sejarah tak akan bisa berbalik, dan akan tetap melaju pelan namun pasti. Alam adalah anugerah bagi penghuninya tanpa adanya dominasi, penguasaan pribadi, atau pemilikan yang bersifat pengelompokan. Salah satu yang penting dalam masyarakat adalah kesejahteraan individu. Dalam masyarakat yang memiliki kepentingan-kepentingan tergantung dari posisi mereka dalam produksi. Kelas sosial masyarakat menentukan kesejahteraan dalam ekonominya.8

Negara investasi sosial harus mengarahkan dirinya demi kebebasan akan kesempatan dan keadilan atas perbedaan. Di dalamnya ada sebuah kompetisi yang fair, tidak ada dominasi, dan

8 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (USA:

(13)

membagi secara adil bagi mereka yang memiliki potensi dan kecakapan berbeda. Rawls menyebutnya, principle of greatest equal liberty dan principle of differnce.

Ketika sebuah negara bermodelkan “nation-state” dikuasai, dihiasi, dan diatur oleh prinsip “sirkulasi elit”, tentu terjadilah ketidakadilan secara politis maupun ekonomi bagi seluruh warganya. Mosca menyebutnya kelas pengatur. Kelas pengatur percaya akan paradigma demokrasi mayoritas, bahwa masyarakat adalah bodoh dan meyebalkan. Sehingga mendeklarasikan diri, bahwa merekalah orang-orang bijak, berpengetahuan, dan berkesadaran tinggi. Hal ini mendapatkan kekuatan penyokong dari kaum menengah (middle class), yaitu organisasi-organisasi sosial berbasiskan agama dan ekonomi. Akhirnya, terjadilah apa yang dinamakan Michels hukum besi oligarki. Singkatnya, demokrasi adalah kebodohan, kebusukan, dan kebebalan.

Sejarah telah banyak mengungkapakan kepada kita, bagaimana proses cerita munculnya perubahan-perubahan besar di belahan Timur maupun Barat, yang digerakkan oleh pemikir-pemikir alienatif atau segelintir orang yang berparadigmakan penderitaan masyarakat bawah (subaltern society).

Mereka bukanlah orang yang melakukan "mistifikasi kesadaran" dengan indoktrinasi yang agitatif atau provokatif, namun mereka melakukan sesbuah pembelajaran yang mendewasakan diri masyarakat dan dunia. Rata-rata, mereka adalah pemikir-pemikir besar penentu gerak zaman, yang dianugerahi oleh alam, potensi-potensi unik dan berkepribadian yang lain dari biasanya. Ketika kaum subaltern, didefinisikan sebagai "civil society" yang pesakitan dan

(14)

"uncivilized", tentu mereka membutuhkan "dokter" yang bisa meraba bagian mana yang mereka anggap sakit. Namun, dokter terbaik adalah diri sendiri.

Studi wong cilik merupakan analisa diri (self-analysis) para akademisi terhadap daya-daya potensial mereka selama ini yang terpinggirkan oleh arus besar kesadaran mistifikasi yang dilazimkan dan pemikiran-pemikiran yang terasingkan, karena tak bisa dipikirkan atau tak sempat terpikirkan sama sekali.

Sosiologi mempertanyakan persoalan sosial yang muncul sebagai akibat dari kolonialisme. Pengembalian sosilogi kepada publik dalam kerangka poskolonialisme, adalah mengembalikan fungsi sosiologi untuk membela subaltern. Sosiologi bertugas membebaskan mereka yang lemah dan terpinggirkan. Dalam teori sosial, setiap organisme yang berevolusi memiliki fungsinya masing-masing dalam kehidupan dasn itu sudah terstruktur dalam kenyataan itu sendiri.9

Arketipe, sebagaimana didefinsikan oleh Jung, adalah pola dasar yang menggambarkan proses-proses ketidaksadaran manusia dari alur sejarah manusia awal sampai kini. Dimana, imajinasi dan kognisi manusia adalah bagian penting dari ketidaksadaran tersebut. Keduanya sambung-menyambung membentuk mata rantai sejarah dan susun menyusun layaknya kerangka manusia universal yang dapat diputar dan direkonstruksi secara arkeologis ataupun geneologis.

9 Percy S. Cohen, Modern Social Theory (London: Heinemann Educational

(15)

Manusia dewasa yang otonom dan melampaui zamannya adalah tanda adanya arketipe ini. Karena elan vital diatas berdaya fluktuatif, tentu spirit kemanusiaanlah yang menjadi basis fundamental bagi segala usaha pemberdayaan diri (self-empowerment). Spirit kemanusiaan selalu mengarahkan diri secara kognitif maupun material, langsung dengan penderitaan masyarakat dan dunia. Pekerja semesta adalah kuli bangsa. Namun, di punggungnya lah bangsa besar dilahirkan.

Manusia intelektual yang bergelut dengan keilmuan-keilmuan empiris hegemonik, tidak akan mencampurkan identitas dirinya sendiri dengan watak yang lain. Artinya, belenggu sirkulasi elit bisa diputuskan dengan memunculkan elit yang dipungut dari anak kaum subaltern yang tahu arketipe dirinya dan mampu menjaga tapal batas eksistensi kesadarannya secara tegas.

Postmodern: Globalisasi Dan Glokalisasi

Kenyataan simbol merupakan permainan modifikasi. Seperti yang diungkap oleh Baudrillard sebagaimana juga dikutip oleh Muzakki, bahwa simbol saat ini telah menjadi “raja”. Ia adalah pengatur segala urusan dalam dunia ini melalui komoditas simbol.10

Kita bisa melihat Mcdonalisasi, misalnya, ia telah membumi dan dimana-mana kita bisa melihat dan menikmatinya. Hal itu merupakan bahasa lain dari imperialisme kultural dimana Amerikalah yang menjadi dominan. Kita sebut globalisasi tersebut dengan Amerikanisasi. Mcdonald hanya sedikit contoh dari simbol kaum

10 Akh. Muzakki, “Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam Pilpres

(16)

hedonis, yang telah berubah. Banyak aspek lain selain itu. Namun semuanya mengacu pada satu hal yang mendasar dalam kehidupan umat manusia, yakni gaya hidup itu sendiri.

Posmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, milik dan realisasi asumsi-asumsi modernisme. Kegairahan untuk meperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni modern. Wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara masssif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiper-realits dan simulasi, serta tumbangnya nilai guna dan nilai tukar oleh tanda dan nilai simbol. Dan serangkaian kesadaran dan keyakinan ini mencakup berbagai bidang kehidupaan.

Menurut Baudrillard, kebudayaan posmodern mempunyai ciri-ciri, yaitu kebudayaaan uang sehingga uang mendapatkan peranan penting dalam masyarakat posmodern dan bukan sebagai fungsi atau makna uang sebagai alat tukar, tetapi sebagai simbol. Ada kesatuan tanda dan penanda dalam hiper realitas posmodern.

Umat manusia telah terbentuk sebagaimana produk industri itu sendiri, tak ada lagi keunikan, yang ada hanyalah kekakuan yang seragam, Sehingga secara sadar atau tidak sadar manusia berangsur-angsur kehilangan asas kemerdekaannya, pada itulah yang dijadikan tumpuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu iktikad dikembangakannya ilmu pengetahuan dan teknlogi sebagai pembebasan keterbatasan manusia, justru menghadirkan kerumitan hidup dan kegelapan ruang spiritual. Waktu yang berjalan telah dianggap terlampau cepat berlalu tanpa makna. Tanpa membawa penyelesaian masalah hidup yang direncanakan. Manusia terpacu oleh

(17)

situasi mekanistik yang telah diciptakannya sendiri, sehingga kehilangan waktu untuk merenungkan ayat-ayat Allah dan makna hidup. Manusia telah kehilangan kontak dengan alam, dan oleh karena itu kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dalam kehidupan modern. Manusia telah kehilangan kemampuan kontak hubungan dengan dimensi transendentalnya. Ketika manusia telah kehilangan orientasi tidak tahu kemana arah hidup tertuju, disinilah manusia telah kehilangan segala-galanya.

Menjelang berakhirnya abad 20, terjadi perkembangan pemikiran baru yang mulai meyadari bahwa manusia selama ini telah salah dalam menjalani kehidupannya. Manusia mulai merindukan dimensi spiritual yang "hilang" dari kehidupannya. Di dunia ilmu pengetahuan muncul pandangan-pandangan yang menggugat paradigma postivisme. Tokoh seperti Thomas Kuhn, dalam buku

”The Structure of Scientific Revolution” mengisyaratkan adanya upaya pendobrakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang mempunyai kebenaran sui generis atau objektif. Kuhn menyerang paham positivistik dan menyerang pendekatan rasionalistik, karena ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan mempunyai kuasa mutlak. Kendati dalam masyarakat sesorang boleh memilih agama atau tidak, tetapi ia tetap mau tidak mau harus memilih ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahua tidak lagi berfungsi membebaskan manusia tetapi justru memperbudaknya. Capra dalam buku “The Turning Point” menulis bahwa manusia dihadapkan pada krisis global yang menyentuh seluruh aspek kehidupan. Sedangkan perbedaan antara hubungan tertutup dan terbuka dalaml masyarakat adalah sebuah usaha untuk

(18)

memaksimalkan keuntungan dan keanggotaan sosial di dalam solidaritas masyarakat. Ada hubungan komunal yang diasosiasikan dalam hubungan pedesaan (rural) dan partai politik.11

Fenomena budaya saat ini adalah budaya dominasi. Dalam hal ini Barat telah menjadi cerminan. Ada yang mengatakan bahwa budaya Timur merupakan “cetak biru” dari peradaban Barat. Timur harus melalui tahap yang telah dijalani oleh Barat berupa modernisasi. Kritikus budaya dan filsuf, Thodore Adorno dan Max Horkheimer pernah menyinggung dengan istilah cultural industry

yang berperan penting dalam reproduksi kapitalisme sehingga menghasilkan mass culture. Ada juga yang menyebut bahwa meskipun sudah tidak tinggal dalam negara yang dijajah namun kita masih berada dalam kondisi pasca penjajahan atau postcolonial condition.12

Benturan adalah satu dari sejumlah kemungkinan yang terjadi saat kontak antar budaya berlangsung. Bila sejarah dan peradaban dibagi dalam term modernis dan posmodernis, kita memang bisa melihat adanya benturan-benturan, perlawanan, resistensi bahkan penolakan. Kebudayaan modernis memberi prioritas pada tatanan (order), keseluruhan (totalitiy) dan kesatuan (unity) yang terobsesi pada, “controlling, regulating dan classifying”. Hasilnya adalah sebuah masyarakat yang tipikal berupaya menciptakan tatanan atau ketertiban lewat pengadaan peraturan, lembaga, hukum dan kode-kode moral. Kebudayaan yang dituliskan oleh kaum posmodernis

11 Bryan S. Turner, Status (Minneapolis: University of Minnesota Press,

1988), 24-25.

12 Stephen Slemon, “Post-colonial Critical Theories”, dalam Gregory Castle

(19)

adalah budaya perayaan: perayaan atas kosmopolitanisme, diversitas dan konsumsi. Dalam model pemahaman kaum posmodernis seperti ini, memang bisa dilihat adanya benturan antara kebudayaan modernis dengan kebudayaan posmodernis karena perbedaan persepsi dan prioritas yang pada gilirannya menghasilkan perilaku dan tindakan yang juga berbeda. Ilmu pengetahuan posmodern ditandai dengan tidak adanya stabilitas dalam penelitian. Hal ini terkait dengan legetimasi dalam ranah pengetahuan itu sendiri.13

Ada kompleksitas permainan di antara yang global dan yang lokal. Meskipun penggunaan kedua istilah ini begitu elusif, dan cenderung mempertentangkan dalam model oposisi biner, namun diakui bahwa “yang global” disini mau mengacu pada daya-daya sosial dan kultural yang identik dengan globalisasi (seperti konsumerisme, komunikasi via satelit, industri budaya, migrasi) yang mengalami perluasan secara spasial. Sementara, “yang local” mau mengacu pada tradisi dan cara hidup yang berskala kecil dan terbatas secara geografis (sepeti tradisi kesukuan, bahasa, agama). Para ahli dalam model kedua ini melihat bahwa “yang global dan local” tidak secara niscaya berkonlik, melainkan berkontak dan menghasilkan sejumlah kemungkinan yang kompleks dan tidak bisa diramalkan, seperti hibridisasi (yang lahir dari percampuran aneka macam budaya dan gaya hidup), politik perbedaan (yang bisa dilihat sebagian reaksi defensif terhadap globalisasi, seperti nampak dalam fundamentalisme religius, kebangkitan cinta etnis, perjuangan penegakan hak-hak).

13 Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (London: Manchester University Press, 1979), 53.

(20)

Spiritualisme Islam: Sebuah Tawaran

Menurut Seyyed Hossein Nasr, masyarakat Islam merupakan kumpulan-kumpulan individu yang menemukan makna dan dorongan hidup dalam eksistensinya. Masyarakat Islam didasarkan atas pribadi-pribadinya yang terkumpul dalam sistem sosial14 Perkembangan

modern yang telah melahirkan diskriminasi dan industrialisasi buta telah merusak struktur atau tatanan masyarakat tradisional. Itu juga sangat berdampak sekali terhadap lingkungan. Modern bukanlah hal yang memiliki segala kemajuan di segala lini, tetapi lebih kepada realisasi pengembangan pribadi manusia di dalam beradaptasi di dunia ini sesuai standar apa yang telah diberikan oleh Tuhan terlepas di abad modern umat Islam mengalami stagnasi pemikiran atau tidak.15

Paradigma modern yang dibangun atas premis-premis rasionalisme, empirisme dan postivisme tidak akan mampu menyikapi kesemestaan kehidupan karena sejak awal menolak atau mendekonstruksi realitas yang berada di luar jangkauan indera dan rasio manusia.16 Karena indera kita ini semua menipu. Paradigma ini

sudah barang tentu bertolak belakang dengan pandangan orang yang beriman yang berkeyakinan bahwa realitas indrawi merupakan derivasi dari realitas yang lebih tinggi.

14 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World (London

and New York: Kegan Paul Ltd, 1987), 117.

15 Muhtar Solihin, “Epistemologi Keilmuan Kontemporer dalam Perspektif

Sufistik”, Jurnal al Afkar, Edisi XIII, Tahun ke 11 (Januari-Juni, 2006), 3.

16 Karena indera kita ini semua menipu. Misal ketika melihat sedotan yang

diletakkan di air. Kelihatannya sedotan itu bengkok, namun akal kita tidak menerima begitu saja bahwa sedotan itu betul- betul bengkok. Pada hakikatnya sedotan tersebut lurus. Akal kita yang bilang seperti itu.

(21)

Pengalaman manusia modern tidaklah selalu rasional adakalanya mereka juga mengalami pengalaman mistik yang berada diluar jangkauan rasional manusia. Alasan manusia modern saat ini mulai tertarik terhadap spiritual pada dasarnya ingi mencari keseimbagnan baru dalam hidupnya, dan dalam pandangan yang agak eksistensialis, ia ingin kembali kepada kemerkdekaan manusia yang telah mengalami reduksioalisasi dalam kehidupan modern. Kehidupan dengan perspektif tersebut dapat dicapai apabila manusia senantiasa mengalami transendensi terus menerus.

Dalam proses transendensi ini, hidup kemudian tidak hanya berhenti pada realitas yang profan (keduniawian) dalam konteks ruang dan waktu yang amat terbatas, tetapi ditransendensikan kepada realita yang mutlak (ultimaterealitty). Keseimbangan yang sempurna serta kemerdekaan yang hakiki, terletak dalam proses transendensi tersebut.

Munculnya sufi modern atau neo sufisme yang diawali oleh Ibn Taimiyah, dan yang terpenting dari neo-sufisme adalah dimensi eksoterisnya yang menghantarkan seorang pada ekstase keberagamaan yang menyejukkan dan memberikan kedamaian (peaceful). Karena dimensi esoteris tidak berhenti dan terbatas pada aktifitas keagamaan agama yang formal dan simbolik, maka efek dari penghayatan esoterik ini akan muncul menjadi sikap hidup yang signifikan dan fungsional. Manusia yang sudah sampai pada penghayatan esoteris, ia menjadikan agama sebagai suatu wacana yang terbuka, yang terlihat dialektik dengan kompleksitas kehidupan ini.

(22)

Simpulan

Universalitas kebudayaan sangat signifikan untuk diwacanakan saat ini. Sudah saatnya Barat tidak menghegemoni lagi dalam bentuk wacana semacam Westernisasi, Amerikanisasi, maupun McDonalisasi dan sebagainya. Budaya sejatinya bersifat universal di satu sisi dan beragam di sisi yang lain. Inilah idealisme dari poskolonialisme.

Di era posmodern saat ini dimana logosentrisme telah mengalami kritikan yang tajam terutama dari dunia Timur, maka tawaran spiritualitas dari dunia Timur akan mendapatkan tempat yang dominan. Hal itu akan menjadi tambahan “nutrisi” yang selama ini seakan “terlupakan” dari “dunia” Barat yang bak menjadi “psikiater”/dokter dari Timur yang mengalami pesakit.

Kaum intelektual atau kalangan akademisi yang elitis tidak lagi menjadi hal yang superior dalam realita oposisi biner yang saat ini memang hendak di lawan oleh kalangan posmodern. Kaum

subaltern atau kita sebut orang “terpinggirkan” dalam pergumulan arus modern(isme) pada saat ini, mendapatkan “porsi” sama dalam mencapai ilmu pengetahuan yang holistik. Meminjam Karl Marx, siapakah pejuang semesta yang sebenarnya? Jawabannya merekalah yang berdiri kokoh dan memikirkan tentang semesta, dalam arti tidak hanya berpikir tetapi bekerja untuk semesta.

Daftar Pustaka

Cohen, Percy S. Modern Social Theory, London: Heinemann Educational Books Ltd, 1968.

Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society, USA: Stanford University Press, 1959.

(23)

Esposito, John L. Makers of Contemporary Islam, New York: Oxford University Press, 2001

Featherstone, Mike Consumer Culture and Postmodernisme, London: Sage Publications Ltd, 1991.

Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, London: Simon and Schuster Ltd, 1996. Lyotard, Jean Francois. The Postmodern Condition: A Report on

Knowledge, London: Manchester University Press, 1979. Marsh, James L. Modernity and its Discontents, New York: Fordham

University Press, 1992.

Muzakki, Akh. “Islamisme dan Politisasi Agama Model PKS dalam Pilpres 2009”, Jurnal Islamica, Volume 5, Nomor 1 (September 2010).

Nasr, Hossein, Seyyed Traditional Islam in The Modern World,

London and New York: Kegan Paul Ltd, 1987.

Slemon, Stephen “Post-Colonial Critical Theories”, dalam Gregory Castle (ed), Postcolonial Discourse: An Anthology, Massachusetts: Blackwell, 2001.

Smart, Barry. Modern Conditions, Postmodern Controversies, London and New York: Routledge, 1992.

Solihin, Muhtar. “Epistemologi Keilmuan Kontemporer dalam Perspektif Sufistik”, Jurnal al Afkar, Edisi XIII, Tahun ke 11 (Januari-Juni, 2006).

Toynbee, Arnold J. Civilization on Trial, New York: Oxford University Press, 1948.

Turner, Bryan S. Status, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988.

Wood, James L. Social Movements: Development, Participation, and Dynamics, California: Wadsworth Publishing Company, 1982.

Referensi

Dokumen terkait

tersebut. Guru mendemonstrasikan kepada peserta didik untuk melakukan diskusi dengan mengulas kembali apa isi materi tadi scara kritis dengan masing- masing kelompoknya, tujuan

13 Saya tidak mau membantu teman yang mengalami kesulitan pelajaran matematika 14 Ketika ulangan, matematika saya membantu. teman yang kesulitan mengerjakan soal 15 Guru

di'eri tiga -ontoh teks tulis untuk meres#on ungka#an mem'eri saran dan ta(aran, sis(a mam#u men)usun lima teks lisan dan lima teks tulis, enam di antaran)a 'enar  d. di'eri satu

Pembiayaan Non Lancar Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah berdasarkan Sektor Ekonomi (Non Performing Financing of Islamic Commercial Bank and Islamic Business Unit based

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan membaca pema- haman melalui strategi True Or False siswa kelas VA SD Negeri Pucangan 03

Data Kualitatif yaitu data yang bukan dalam bentuk angka-angka atau tidak dapat dihitung dan diperoleh dari hasil wawancara dengan pimpinan perusahaan dan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi dampak bencana erupsi Merapi tahun 2010 terhadap perubahan penghidupan masyarakat tani Desa Ngargomulyo; (2)

- Jumlah (mgl) NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam Jumlah (mgl) NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak yang menguap & tidak larut air tapi larut alkohol yang