• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi yang Efektif Meningkatkan Hubungan yang Positif antara Orang Tua dan Anak Oleh Siti Nurhidayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Komunikasi yang Efektif Meningkatkan Hubungan yang Positif antara Orang Tua dan Anak Oleh Siti Nurhidayah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008

1

Komunikasi yang Efektif Meningkatkan

Hubungan yang Positif antara Orang Tua dan

Anak

Oleh Siti Nurhidayah

Abstract

This paper studies on effective communication between parent and children. Language of acceptance is very important to create effective communication. Language of acceptance makes open and free communication between parent and children. In this type of communication parents should be “door-opener” or “invitation to say more” to his children.

Siti Nurhidayah, lahir di Semarang, 12

Februari 1971, menyelesaikan S1 di Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Psikologi. Saat ini sebagai Dosen Tetap Universitas Islam ”45” Bekasi. Pernah menjabat sebagai Ketua Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi. Kini sebagai Ketua Program Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unisma Bekasi. Aktif sebagai psikolog di Lembaga Konseling & Pengembangan Masyarakat (LKPM), pernah menjadi staf Psychologist Mutiara Consultat Jakarta. .

alam pengalaman saya berpraktek sebagai seorang psikolog, tidak jarang saya menemukan pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh klien atau anak, yang tidak mereka ungkapkan kepada orangtuanya. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh anak adalah bahwa orangtua acapkali marah terhadap “keterusterangan” mereka. Hal itu membuat mereka pada akhirnya enggan untuk berbicara secara terbuka kepada orangtua. Mengapa demikian?

Gordon (1975) menyebutkan bahwa penolakan anak untuk berbagi tentang apa yang mereka pikirkan dan rasakan kepada orangtua tidak terlepas dari respons yang disampaikan oleh orangtua terhadap

(2)

pernyataan anak. Anak menemukan bahwa berbicara dengan orangtua malah tidak menolong mereka mengatasi permasalahan dan lebih sering menimbulkan perasaan tidak aman. Hal itu sangat disayangkan mengingat banyaknya kesempatan orangtua yang hilang dalam upaya mengatasi masalah yang sedang dihadapi anak.

Di sisi lain, tak jarang orangtua mengeluh mengenai perilaku anak. Berdasarkan pengalaman, saya sering menjumpai orangtua yang merasa

cukup kewalahan untuk

mengendalikan perilaku anak-anaknya. Sebagai akibatnya, orangtua lebih sering mengambil tindakan memarahi atau menghukum anak. Anak pun cenderung menjadi defensif terhadap sikap dan tindakan orangtua. Keadaan seperti itu tentu membawa dampak yang buruk dalam hubungan orangtua dan anak.

Berdasarkan uraian di atas kita dapat melihat bahwa hubungan yang terbentuk antara orangtua dan anak tidak terlepas dari bagaimana komunikasi yang berlangsung di antara keduanya. Untuk membentuk hubungan yang efektif dengan anak, tentu diperlukan komunikasi yang efektif pula; dan untuk membentuk komunikasi yang efektif dibutuhkan

“language of acceptance” (Gordon, 1975).

Penerimaan terhadap orang lain, tak terkecuali anak, merupakan faktor penting dalam meningkatkan hubungan. Dengan penerimaan, anak dapat tumbuh, berkembang, dan membuat perubahan yang konstruktif untuk dirinya. Anak juga belajar

memecahkan sendiri masalahnya, menjadi lebih produktif dan kreatif, serta mampu mengaktualisasikan dirinya secara penuh. Sayangnya, saat ini orangtua umumnya masih banyak yang menggunakan “language of unacceptance” dalam pengasuhan anak,

yang sering diyakini sebagai cara yang paling baik untuk membantu anak. Dengan cara ini, komunikasi yang disampaikan oleh orangtua lebih banyak berisi tentang evaluasi, kritik, nasihat, benar-salah, peringatan, dan perintah. Bentuk-bentuk seperti itulah yang sebenarnya membuat anak menjadi bersikap defensif, melawan, takut, dan tidak terbuka kepada orangtua. Sebaliknya,

“language of acceptance” membuat anak

menjadi terbuka dan lebih bebas untuk berbagi perasaan dan masalah dengan orangtua (Gordon, 1975).

Penerimaan bukanlah sesuatu yang yang bersifat pasif tetapi harus ditunjukkan dan dikomunikasikan secara aktif sehingga anak dapat merasakannya. Dalam hal ini penerimaan dapat dikomunikasikan secara nonverbal maupun verbal. Penerimaan secara nonverbal dapat ditunjukkan melalui bahasa tubuh, sikap, dan ekspresi wajah. Sebagai contoh, orangtua dapat menunjukkan penerimaan dengan cara tidak mengganggu kegiatan yang sedang dilakukan anak. Sikap diam mendengarkan (passive listening) juga merupakan komunikasi nonverbal yang dapat digunakan secara efektif untuk membuat anak merasa bahwa ia benar-benar didengarkan dan diterima namun hal ini tentu tidak dapat dilakukan dalam waktu yang

(3)

lama. Bagaimanapun orangtua dan anak butuh untuk saling bicara dan bagaimana cara orangtua berbicara kepada anak merupakan satu hal yang mendasar (Gordon, 1975).

Gordon (1975) mengemukakan bahwa ada setidaknya dua belas kategori respons yang biasa ditampilkan oleh orangtua, yaitu:

1. menyuruh, mengarahkan, memerintahkan; 2. memperingatkan, mengancam; 3. mendesak, mengatakan benar-salah, men-ceramahi; 4. menasihati, memberi solusi

dan usulan;

5. mengajari, memberi argumen yang logis;

6. menilai, mengkritik, menyatakan tidak setuju, menyalahkan;

7. memuji, menyatakan setuju; 8. memberi nama panggilan,

mengolok-olok, mempermalukan; 9. memberi makna, menganalisis, mendiagnosis; 10. menentramkan, memberi simpati; 11. menggali, menanyakan, menginterogasi; 12. mengalihkan, menghibur, menyenangkan hati anak. Kedua belas respons tersebut sebaiknya dihindari karena akan berdampak secara destruktif dalam hubungan orangtua dan anak. Sebagai alternatif, terdapat cara-cara yang lebih efektif dan konstruktif untuk berespons terhadap apa yang disampaikan anak, yaitu dengan

“door-opener” atau “invitation to say more” dan

mendengar aktif (Gordon, 1975).

“Door opener” atau “invitation to say more” adalah respons-respons yang

tidak mengkomunikasikan penilaian atau pendapat pendengarnya, seperti “Oh …”, “Hmm …,”Oh ya?” . Dengan demikian anak diundang untuk bicara, membagi ide dan perasaannya kepada orangtua. Bentuk lain dari respons bersifat lebih eksplisit, seperti “Coba ceritain sama Bunda”.

Untuk ‘mempertahankan pintu agar tetap terbuka’, diperlukan kemampuan untuk mendengar secara aktif. Mendengar aktif melibatkan orang yang berbicara (selanjutnya disebut sebagai pengirim pesan) dan

orang yang mendengarkan

(selanjutnya disebut sebagai penerima

pesan). Skema berikut

menggambarkan proses mendengar aktif. Pengirim pesan Penerima pesan Kode Umpan balik Ketika seorang anak merasa

mengalami kesulitan untuh

memahami penjelasan ayahnya mengenai cara penyelesaian soal cerita matematika, ia akan mengkomunikasikan hal tersebut dengan cara memilih sebuah kode

yang dapat mewakili

Pikiran

Pera-saan

Proses

(4)

permasalahannya, misalnya dengan berkata kepada ayahnya “Jelasin sekali lagi dong, yah”. Proses encoding dari anak tersebut kemudian diterima dan oleh ayah melalui proses decoding sehingga ayah dapat memahami makna yang berkaitan dengan apa yang terjadi dalam diri anak. Jika proses decoding berlangsung secara tepat maka ayah akan memahami bahwa anaknya masih mengalami kebingungan (“Anakku masih bingung”). Jika proses decoding

ditangkap secara berbeda, misalnya “Anakku mengantuk” maka akan terjadi salah pengertian dan proses komunikasi akan berantakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengecekan keakuratan proses

decoding dengan cara menceritakan apa

yang ayah pikirkan kepada anak (“Kamu masih bingung?”). Dengan umpan balik tersebut, anak dapat mengatakan kepada ayahnya apakah pesan yang ditangkap oleh ayah benar atau salah. Pemberian umpan balik itu menunjukkan bahwa ayah terlibat dalam mendengar aktif.

Dalam mendengar aktif,

orangtua secara akurat membuat kode kembali tentang apa yang ada dalam diri anak atau perasaan anak.

Anak pun akan memperkuat keakuratan decoding orangtua dengan beberapa ekspresi yang menunjukkan bahwa orangtua mendengar kata-katanya dengan baik. Yang penting untuk diingat dalam pemberian umpan balik adalah bahwa penerima pesan tidak mengirim pesannya sendiri, misalnya menyampaikan evaluasi, pendapat, atau nasihat. Penerima pesan hanya memberi umpan balik terhadap apa yang ia rasakan dimaksud oleh pesan pengirim. Dengan perkataan lain, orangtua hanya melakukan refleksi terhadap apa yang dikemukakan anak .

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari mendengar aktif (Gordon, 1975; Brooks, 1991). Dengan mendengar aktif, anak menjadi tidak terlalu takut lagi dengan perasaan-perasaan negatif yang dimilikinya, anak dan orangtua akan memiliki hubungan yang lebih hangat, anak akan merasa dicintai, anak lebih mau mendengarkan pikiran dan ide orangtua, serta anak mulai menganalisis masalahnya sendiri, dan bahkan mengembangkan sejumlah solusi yang konstruktif.

Ada sejumlah kualitas yang dibutuhkan untuk dapat menjadi pendengar aktif (Gordon, 1975). Sebagai pendengar aktif, orangtua harus mau mendengar apa yang dikatakan anak dan membantu anak dengan sungguh-sungguh, benar-benar dapat menerima perasaan anak apa pun bentuknya, memiliki perasaan percaya bahwa anak mampu mengatasai perasaan dan menemukan solusi sendiri sesuai kapasitasnya, Proses

decoding

Kesim- pulan

(5)

memahami bahwa perasaan yang dialami anak hanya bersifat sementara, harus dapat melihat anak sebagai individu yang terpisah dari orangtua. Brooks menambahkan

bahwa mendengar aktif

membutuhkan komitmen yang kuat, kesabaran, dan dilakukan dengan tekun. Dibutuhkan pula waktu yang cukup banyak untuk melakukannya, oleh karena itu orangtua sedang terburu-buru atau sedang terpusat pada suatu kegiatan tertentu, sebaiknya jangan dulu melakukannya. Jika uraian di atas lebih banyak membahas tentang cara berespons yang efektif terhadap apa yang disampaikan oleh anak, berikut ini adalah cara yang efektif bagi orangtua untuk menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan tentang anak. Cara tersebut dikenal dengan istilah “I”-message. Budaya di Indonesia yang tampaknya jarang menggunakan kata ganti orang pertama dalam percakapan antara

orangtua dan anak memang

membuat istilah tersebut dirasakan kurang tepat. Namun demikian kita akan tetap menggunakan istilah tersebut dalam uraian di bawah ini.

“I”-message berisi tiga bagian

penting, yaitu (1) pernyataan yang jelas tentang bagaimana perasaan orangtua; (2) pernyataan tentang perilaku anak yang membuat orangtua merasa demikian; (3)

mengapa tingkahlaku anak

menimbulkan kekecewaan bagi orangtua. Agar “I”-message menjadi efektif, orangtua harus yakin bahwa anak benar-benar memperhatikan pesan tersebut. Jika anak

mengabaikan pesan tersebut, orangtua dapat menyampaikan pesan lain yang lebih kuat disertai dengan nada suara yang mewakili perasaan orangtua. ”I”-message dicontohkan pada kalimat berikut, “Ibu sedih

karena kamu tidak mau

membereskan kembali mainanmu setelah bermain dan ibu pulang dalam keadaan rumah sangat berantakan”. Dalam hal ini, orangtua perlu menganalisis perasannya dan benar-benar sadar tentang apa yang sedang dirasakan karena seringkali

orangtua mengkomunikasikan

kemarahannya kepada anak, yang sebenarnya merupakan perwujudan dari rasa takut, kecewa, atau frustrasi yang dialaminya.

“I”-message digunakan untuk membuat anak mendengar apa yang

dikatakan orangtua,

mengkomunikasikan fakta kepada anak, serta membantu anak mengubah perilakunya yang tidak dapat diterima. Dengan “I”-message, anak tidak lagi menjadi resisten dan memberontak. Ia belajar memahami reaksi orangtua yang mungkin tidak ia pahami sebelumnya hingga ada

“I”-message. Anak pun memiliki kesempatan untuk terikat dalam pemecahan masalah dalam berespons terhadap “I”-message

“I”-message tidak hanya diperuntukkan bagi interaksi yang melibatkan konflik. Orangtua dapat pula mengirimkan appreciative

message kepada anak. Appreciative “I”-message terdiri dari pernyataan tentang

bagaimana orangtua merasa bahwa apa yang anak lakukan membuat orangtua merasa demikian dan

(6)

dampak khusus dari perilaku tersebut terhadap orangtua. Sebagai contoh, “Ibu merasa lega dan tidak lagi khawatir sewaktu menerima teleponmu”. Appreciative “I”-message dapat meningkatkan kualitas hidup keluarga.

Akhirnya, berkaitan dengan terjadinya konflik antara anak dan orangtua, Gordon (Bigner, 1994) mengusulkan agar orangtua menggunakan metode “no lose” atau

“win-win solution” dalam resolusi

konflik. Metode ini didasarkan pada kompromi agar semua pihak merasa puas. Langkah-langkah dari metode ini meliputi: (1) mengidentifikasi dan mendefinisikan konflik; (2) membangkitkan solusi yang mungkin; (3) menilai solusi; (4) memutuskan solusi terbaik untuk kedua belah pihak; dan (5) menilai seberapa baik solusi yang telah dipilih.

Ada sejumlah keuntungan dari metode “win-win solution”. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab pemecahan konflik sebagian ada di pundak anak, keterampilan kognitif anak dalam mencari solusi berkembang, komunikasi antara orangtua dan anak meningkat, dampak gangguan emosional untuk orangtua dan anak tidak ada, kekuasaan orangtua tidak melebihi anak melainkan setara, serta tingkahlaku anak yang mandiri dikembangkan.

Sebagai kesimpulan, komunikasi yang efektif penting untuk membentuk hubungan yang positif antara orangtua dan anak. Untuk membentuk komunikasi yang efektif dibutuhkan penerimaan dari

orangtua. Adapun bentuknya dapat berupa penerimaan secara nonverbal,

“door opener”, mendengar aktif, “I”-message, dan metode “win-win solution”

dalam situasi konflik. Seni Mendengarkan Anak

Komunikasi sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks: bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan

kata-kata. Seni mendengarkan,

membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, dalam komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi serta yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal. Lantas, bagaimana cara mendengarkan anak yang baik?

Memang tidak ada orangtua sempurna, karena setiap orangtua memiliki masalahnya masing-masing hingga seringkali memblokir hubungan positif yang seharusnya terjalin antara mereka dengan anak-anak. Tapi, bukan berarti hal itu dapat selalu dimaklumi. Bagaimana pun, setiap orangtua perlu diingatkan

kembali, bagaimana cara

"mendengarkan" anak mereka. Berikut beberapa hal atau tips yang perlu diperhatikan, sebagaimana ditulis situs e-psikologi.com belum lama ini.

(7)

1. Fokuskan perhatian pada anak. Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian sepenuhnya pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengalihkan perhatian sejenak dari film atau sinetron yang sedang ditonton, majalah, koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi. Tataplah langsung mata anak sambil memberi kesan bahwa kita benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita.

2. Ulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian. Tahanlah diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sampai anak selesai bercerita. Ketika anak selesai bercerita, cobalah memberikan kesimpulan berdasarkan hasil tangkapan kita terhadap ceritanya. Pola ini, memberikan feedback bagi orangtua dan anak, apakah kita benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh anak.

3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi. Kita boleh bertanya pada mereka, "Bagaimana perasaan adik waktu itu?" Cara ini jauh lebih baik ketimbang menjatuhkan penilaian subjektif, "Ah, kamu pasti takut! Kamu kan penakut." Penilaian bisa membuat anak frustrasi karena mereka mengharap orangtua bisa mengerti perasaan mereka, bukan menilai sikap dan perasaan mereka. Selain itu, penilaian subjektif orangtua yang datang terlalu cepat bisa membuat anak menarik diri untuk tidak lebih lanjut menceritakan

perasaan yang sebenarnya, karena orangtua sudah punya anggapan tertentu.

4. Bantu anak mendifinisikan perasaan. Mendengarkan sepenuhnya cerita pengalaman anak --menyedihkan atau menyenangkan, membuat kedua pihak (orangtua dan anak) dapat berbagi rasa dan anak

pun akan merasa orangtua

menghargainya. Anak akan biasa bersikap terbuka karena yakin

orangtua pasti bersedia

mendengarkan mereka. Jika anak masih sulit mengidentifikasi perasaannya, bantulah dengan mendengarkan cerita mereka sungguh-sungguh, dan melontarkan kesan seperti "Wah, adik sepertinya sedih sekali" atau "Kamu kelihatan sangat marah..." Anak akan sangat lega ketika orangtua bisa menangkap perasaan mereka. Interaksi demikian, melatih anak mengidentifikasikan perasaan mereka secara tepat.

5. Bertanya. Hindari sikap memaksakan pendapat, cara, penilaian orangtua. Alangkah lebih baik jika orangtua membimbing

mereka dengan

pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap-tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.

6. Dorong semangat anak untuk bercerita. Hanya dengan memberi respons "Oh.... ya?...Wow!..." sudah menjadi stimulasi bagi mereka untuk makin giat bercerita. Pola ini dapat membuat anak tenang dan nyaman

(8)

karena merasa orangtua memahami apa yang mereka ungkapkan.

7. Dorong anak mengambil keputusan yang tepat. Jika orangtua ingin membantu anak menghadapi masalahnya, sebaiknya kita tidak mengambil alih keputusan ("Ya sudah, besok kamu tidak usah masuk sekolah!") atau tindakan ("Biar mama yang hadapi temanmu yang nakal itu!"). Sebaliknya, hadirkan beberapa alternatif yang membuat mereka berpikir dan memilih manakah solusi terbaik sambil membicarakan akibat-akibat yang bisa dirasakan oleh anak maupun orang lain. 8. Tunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif. Jika anak masih diliputi emosi yang memuncak hingga membuatnya sulit berbicara, orangtua jangan memaksakan anak untuk segera bicara. Kita tidak akan berhasil membuatnya bercerita dan kita pun makin tidak sabar untuk tidak memberikan opini kita padanya. Konflik sering terjadi dan ini

menyebabkan memburuknya

hubungan orangtua anak. Berikan waktu untuk menyendiri sampai intensitas perasaannya mereda. Ketika emosinya mereda, anak akan lebih siap untuk diajak bicara.

Manfaat mendengarkan. Bagi seorang anak, komunikasi bukan hanya bertujuan membuat orang dewasa atau orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya. Dari komunikasi itulah, anak dapat menarik kesimpulan, bagaimana orang dewasa memandang dirinya; dan dari kesan inilah anak membangun rasa percaya diri. Anak akan merasa dihargai, merasa percaya

diri dan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya, ketika orangtua menaruh perhatian tidak hanya pada ceritanya, tapi juga pada pendapat, keyakinan, kesimpulan, ide-ide, perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat orang tua. Sikap orangtua yang "mendengarkan" anak, membuat anak berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda, tanpa takut dihukum, dilecehkan atau ditertawakan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan keberanian dan keinginan anak, untuk menjadi diri sendiri apa adanya.

Dari tanggapan-tanggapan orangtua, anak akan belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang lain, dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya. Proses

saling mendengarkan dan

didengarkan, mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orangtua terdapat jalur dua arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi, pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling mengenal dan semakin memahami.

Mendengarkan anak secara sungguh-sungguh, membuat anak percaya pada orangtua. Hubungan ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orangtua, lebih memilih curhat dengan orangtua dan

(9)

siap menjadi partner ketika orangtua yang giliran butuh didengarkan. Mendengarkan dan didengarkan adalah kunci hubungan orangtua-anak yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional, kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak.

Referensi

Brooks, J.B. 1991. The Process of Parenting. London: Mayfield Publishing Company. Daniel Goleman, 2002, Melejitkan

Kepekaan Emosional Anak, Kaifa,Bandung

Gordon, T. 1975. Parent

Effectiveness Training: The Tested New Way to Raise Responsible Children. New York: A Plume Book, New American Library.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan atau mengembangkan variabel lain selain dari variabel yang digunakan pada penelitian ini yang diduga mempengaruhi

Konsep desain yang akan di buat yaitu dengan membuat permainan yang simple yaitu user friendly atau mudah digunakan oleh pengguna baik itu dari segi design

Pada hasil partisipasi aktif siswa, siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran dan keaktifan siswa pada proses pembelajan berlangsung dapat dilihat

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan terima kasih kepada Master Cheng Yen dan kepada semua relawan Tzu Chi Indonesia, ke depan kita akan terus bersama demi

Frasa kerja pasif diri pertama ialah frasa yang terdiri daripada kata kerja yang tidak berawalan men- tetapi didahului oleh kata ganti diri pertama aku, kami, kita, saya

Ajaran Buhdisme yang disusun melalui proses kontemplasi dan perenungan yang cukup dalam ini, secara objektif menyadari keterbatasan akal manusia itu

OVARIUM (INDUNG TELUR).. ORGAN YANG TERLIBAT DALAM SIKLUS HAID ) KORTERKS SEREBRI ) HIPOTALAMUS ) HIPOFISA ANTERIOR ) HIPOFISA ANTERIOR ) OVARIUM ) ENDOMETRIUM (UTERUS)... SIKLUS

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah berupa skripsi berjudul Evaluasi