• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Tanah merupakan wadah berkembangannya kehidupan manusia, baik secara jasmani maupun rohani. Di atas tanah manusia menjalani fase kehidupan dari kelahiran sampai dengan kematian, berinteraksi dengan sesama serta mengembangkan peradabannya. Dari tanah manusia memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, antara lain flora, fauna, mineral, logam dan kekayaan alam lainnya.

Negara menguasai tanah dan sumber daya alam di Indonesia dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional. Penguasaan oleh negara tersebut diatur di dalam konstitusi dasar negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketentuan Pasal 33 ayat (3) yang menentukan bahwa:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketentuan pasal tersebut memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai tanah dan seluruh sumber daya alam yang terkandung di wilayah Indonesia untuk mencapai kesejahteraan sosial.

(2)

Pelaksanaan dari ketentuan konstitusi tersebut dijabarkan lebih lanjut di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan singkatan resminya UUPA). UUPA ketentuan Pasal 2 yang mengatur tentang Hak Menguasai Negara menentukan bahwa:

(1). Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2). Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3). Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

Ketentuan Pasal 2 menentukan lingkup kewenangan hak menguasai negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat Indonesia berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan perencanaan, pemanfaatan, persediaan dan pemeliharaan tanah serta menentukan pola penguasaan dan pemilikan tanah dan mengatur hubungan antar subjek hukum berkenaan dengan tanah. Berdasarkan ketentuan ayat (3) bahwa pelaksanaan hak menguasai negara tersebut harus diorientasikan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(3)

Pemerintah merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan di segala bidang untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia berdasarkan amanat konstitusi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan landasan hak menguasai negara dalam ketentuan Pasal 2 UUPA. Ketersediaan tanah untuk pembangunan infrastuktur dan fasilitas umum merupakan faktor yang esensial dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. Saat ini, pertumbuhan pembangunan tidak didukung oleh ketersediaan tanah negara yang bebas dari tanah-tanah hak perseorangan. Pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat tidak didukung dengan persediaan sumber daya tanah yang terbatas. Kondisi demikian mengakibatkan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang telah direncanakan oleh pemerintah seringkali berbenturan dengan hak perseorangan atas tanah.

Pada akhirnya, demi memenuhi kebutuhan tanah untuk keperluan pembangunan, pemerintah melakukan pengambilalihan tanah-tanah hak perseorangan. Dasar pengambilalihan tanah hak perseorangan untuk kepentingan umum didasarkan kepada ketentuan Pasal 6 UUPA yang menentukan bahwa:

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Fungsi sosial tanah bermakna bahwa hak atas tanah perseorangan tidak bersifat mutlak. Hak atas tanah tidak dibenarkan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan harus sesuai dengan keadaan dan sifat daripada

(4)

haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUPA tersebut, hak atas perseorangan dapat dicabut demi kepentingan umum. Ketentuan mengenai pencabutan hak diatur dalam ketentuan Pasal 18 UUPA, yang menentukan bahwa:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Walaupun secara yuridis normatif lembaga pencabutan hak memiliki landasan hukum yang sah, dalam tataran empirisnya, lembaga tersebut jarang dipergunakan. Hal tersebut disebabkan pencabutan hak kurang sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan dan kemusyawarakatan bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam sila keempat Pancasila. Berdasarkan sila keempat Pancasila, musyawarah untuk mufakat harus diutamakan dibandingkan cara pemaksaan seperti pencabutan hak.

Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya juga menegaskan bahwa:

Jika di dalam penyelesaian persoalan tersebut di atas dapat dicapai persetujuan jual-beli atau tukar-menukar, maka penyelesaian dengan jalan itulah yang ditempuh, walaupun sudah ada surat keputusan pencabutan hak.

(5)

Berdasarkan ketentuan tersebut, di dalam Penjelasan Umum Bagian II juga ditegaskan bahwa:

Pada azasnya maka jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya.

Apabila tanah hak perseorangan diperlukan untuk pembangunan demi kepentingan umum, maka cara pertama yang harus ditempuh pemerintah adalah bermusyawarah dengan pemegang hak atas tanah dan pihak yang berhak untuk melepaskan tanahnya secara sukarela disertai dengan penggantian kerugian yang telah disepakati. Manakala kesepakatan tersebut tidak tercapai dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, maka mekanisme pencabutan hak dapat ditempuh.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 dan Penjelasan Umum Bagian II Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya maka dibentuklah lembaga pengadaan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Pada tahun berikutnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta untuk mengakomodasi kepentingan swasta dalam memperoleh tanah.

Pada tahun 1985 diberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan untuk mendukung pengadaan tanah bagi

(6)

proyek-proyek pembangunan yang berskala kecil dan tidak memerlukan tanah yang luas, yang dilakukan oleh instansi pemerintah.

Pada tahun 1993 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan pelaksananya dibentuk setahun kemudian yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Ketentuan Pasal 17 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menentukan bahwa:

Dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki bersama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak dapat diketemukan tersebut, dikonsinyasikan di pengadilan negeri setempat oleh Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah.

Ketentuan pasal ini mulai memberlakukan lembaga hukum konsinyasi dalam pelaksanaan pembayaran uang ganti rugi kepada pihak berhak yang tidak diketahui keberadaannya. Sebelumnya, tidak ada pengaturan lembaga hukum konsinyasi dalam peraturan pengadaan tanah. Satu-satunya lembaga hukum konsinyasi yang dikenal dalam hukum nasional adalah lembaga penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsinyasi dalam hukum

(7)

perikatan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 sebagai salah satu cara hapusnya perikatan.

Perkembangan selanjutnya, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dicabut dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian beberapa pasalnya diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Setahun kemudian, dikeluarkan peraturan pelaksana Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menentukan bahwa:

Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musywarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.

Pada dasarnya, hakekat dari pengadaan tanah adalah pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum secara sukarela oleh pemegang hak atas tanah.

(8)

Oleh karena itulah, di dalam kegiatan pengadaan tanah diselenggarakan musyawarah untuk memperoleh kesepakatan mengenai pelepasan hak atas tanah dan bentuk serta jumlah ganti rugi. Ketentuan Pasal 1 angka 10 menegaskan bahwa:

Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.

Ketentuan mengenai jangka waktu musyawarah kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ketentuan jangka waktu musyawarah diperpanjang dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) yang menentukan bahwa:

Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musywarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.

Apabila jangka waktu 120 hari tersebut terlampaui tanpa tercapainya kesepakatan, maka menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) ditentukan bahwa:

Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah.

Ketentuan pasal tersebut pada dasarnya juga tetap mempertahankan pemberlakuan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi. Istilah konsinyasi tidak

(9)

lagi dipergunakan dalam Peraturan Presiden sebagaimana dipergunakan dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Istilah konsinyasi tersebut diganti menjadi menitipkan. Pada dasarnya istilah tersebut adalah sama. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) tersebut memperluas penerapan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi. Lembaga tersebut diberlakukan tidak hanya dalam pembayaran ganti rugi kepada pihak berhak yang tidak diketahui keberadaannya, tetapi juga kepada pihak berhak yang tidak bersepakat mengenai pelepasan hak atas tanah dan ganti rugi yang ditawarkan.

Pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan bahwa:

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

Prinsip ini menuntut bahwa pelaksanaan pengadaan tanah harus didasarkan pada kesepakatan dan kesukarelaan pihak yang berkepentingan untuk melepaskan hak atas tanahnya demi kepentingan umum serta pemberian ganti kerugian yang adil dan layak.

Pada tanggal 14 Januari 2012 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum diberlakukan. Adapun yang menjadi legal spirit dari dibentuknya undang-undang ini adalah untuk meningkatkan jaminan perolehan tanah bagi pembangunan dan perlindungan hak atas tanah. Hak atas tanah merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga substansi dan prosedur pengadaan tanah perlu diatur dalam suatu bentuk undang-undang. Pada tanggal 7 Agustus

(10)

2012 pemerintah memberlakukan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mencantumkan sejumlah asas-asas yang harus melandasi pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah. Pengaturan asas secara eksplisit dalam ketentuan perundangan dimaksudkan untuk lebih menjamin pelaksanaan pengadaan tanah yang mencerminkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Asas-asas hukum yang harus melandasi kegiatan pengadaan tanah, antara lain:

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas: a. kemanusiaan; b. keadilan; c. kemanfaatan; d. kepastian; e. keterbukaan; f. kesepakatan; g. keikutsertaan; h. kesejahteraan; i. keberlanjutan; dan j. keselarasan.

Asas kesepakatan diwujudkan melalui penyelenggaraan konsultasi publik rencana pembangunan dan musyawarah penetapan ganti rugi. Pelaksanaan konsultasi publik diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) yang menentukan bahwa:

(11)

Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak.

Ketentuan mengenai jangka waktu konsultasi publik diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa:

Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja.

Ketentuan Pasal 37 ayat (1) mengatur mengenai jangka waktu musyawarah mengenai penetapan ganti rugi sebagai berikut:

Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, pelaksanaan konsultasi dan musyawarah dibatasi jangka waktunya untuk mencegah proses pengadaan tanah yang berlarut-larut. Walaupun ketentuan Pasal 2 telah mengeksplisitkan asas kesepakatan, jangka waktu kegiatan musyawarah dibatasi dan ketentuan konsinyasi ganti rugi bagi pihak berhak yang tidak sepakat masih dipertahankan dalam undang-undang ini. Lembaga hukum konsinyasi ganti rugi masih diberlakukan dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1).

Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.

Pemberlakuan lembaga hukum konsinyasi dalam peraturan ini masih sama dengan peraturan sebelumnya. Lembaga hukum konsinyasi diberlakukan dalam

(12)

pembayaran ganti rugi kepada pihak berhak yang menolak ganti rugi. Akibat hukum dari dikonsinyasikannya uang ganti rugi diatur dalam ketentuan Pasal 43 sebagai berikut:

Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Keberadaan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dalam peraturan pengadaan tanah disalahgunakan oleh pemerintah untuk menetapkan jumlah ganti rugi secara sepihak dan tidak adil bagi para pemegang hak atas tanah. Ganti rugi merupakan unsur yang terpenting untuk menjamin keadilan dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah. Ganti rugi merupakan unsur yang menjaga keseimbangan kepentingan umum dan kepentingan individu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 UUPA.

Akibat negatif dari diberlakukannya lembaga hukum konsinyasi ganti rugi adalah timbulnya sengketa maupun konflik antara rakyat yang tergusur dengan pihak pemerintah. Sejumlah sengketa atau konflik yang terjadi selama ini, antara lain: kasus pembebasan Lahan Banjir Kanal Timur di Jakarta Timur pada tahun 2008, proyek pembebasan tanah PLTU Rembang pada tahun 2008, proyek pembebasan lahan tol Trans Jawa jalur Kertosono-Mojokerto di Jombang pada tahun 2010, dan kasus lainnya.

Konflik-konflik dalam kegiatan pengadaan tanah yang semakin meningkat menunjukkan bahwa peraturan pengadaan tanah yang berlaku selama ini belum

(13)

memenuhi rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah perseorangan. Menurut Gunanegara pemilik tanah tidak hanya dirugikan oleh tindakan-tindakan pegawai pemerintah yang menjadi anggota panitia pengadaan tanah tetapi sebenarnya sejak awal telah dirugikan oleh aturan hukumnya (Gunanegara, 2008:49).

Keberadaan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi yang terus dipertahankan dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sampai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dapat merugikan kepentingan pemegang hak atas tanah dan menimbulkan konflik pengadaan tanah di masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini difokuskan kepada kajian mengenai Lembaga Hukum Konsinyasi Ganti Rugi dan Asas Kesepakatan Dalam Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam Mewujudkan Keadilan Bagi Pemegang Hak Atas Tanah.

(14)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum?

2. Apakah pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum telah mewujudkan keadilan bagi pemegang hak atas tanah?

3. Bagaimana upaya untuk menyesuaikan asas kesepakatan dengan ketentuan musyawarah terhadap ganti rugi apabila tidak tercapai kata sepakat dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum?

C. Batasan Masalah

Permasalahan penelitian ini dibatasi dalam lingkup pengaturan konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam pengadaan tanah untuk mewujudkan keadilan bagi pemegang hak atas tanah.

(15)

D. Batasan Konsep

Batasan konsep berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Lembaga Hukum Konsinyasi

Istilah lembaga hukum konsinyasi terdiri dari dua padanan kata yang memiliki makna yuridisnya masing-masing. Untuk memahami makna lembaga hukum, maka terlebih dahulu harus didefinisikan makna dari lembaga. Menurut Logemann lembaga adalah hubungan ajeg antara manusia dalam masyarakat, yaitu sekumpulan perbuatan yang berkaitan dengan akibat tertentu yang diterima dan dipatuhi dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Sugeng Istanto, dkk, 2012:37). Berdasarkan definisi maka lembaga hukum dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai sekumpulan perbuatan yang berkaitan dengan akibat hukum tertentu yang diterima dan dipatuhi dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan konsinyasi adalah penitipan di kepaniteraan pengadilan negeri setelah sebelumnya didahului oleh penawaran tentang kesediaan untuk melakukan pembayaran kemudian diikuti dengan pernyataan sah dan berharganya penitipan itu (Setiawan, 1995:118).

Menurut Boedi Harsono konsep dasar konsinyasi ganti rugi dalam hukum pengadaan tanah diadopsi dari lembaga konsinyasi yang diatur dalam hukum perdata (Boedi Harsono, 2008: LXIV). Istilah konsinyasi maupun menitipkan di dalam peraturan pengadaan tanah pada dasarnya

(16)

merujuk kepada ketentuan lembaga penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsinyasi yang diatur dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 KUH Perdata.

2. Ganti Rugi

Menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ketentuan Pasal 1 angka 7 ganti kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan tanah.

Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ketentuan Pasal 1 angka 11 ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Demi Kepentingan Umum dalam ketentuan

(17)

Pasal 1 angka 10 Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.

3. Asas kesepakatan

Asas kesepakatan dirumuskan secara implisit dalam peraturan-peraturan pengadaan tanah sebelumnya melalui pengaturan mekanisme musyawarah. Asas kesepakatan diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ketentuan Pasal 2 mendefinisikan asas kesepakatan sebagai proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

4. Pengadaan Tanah

Pengertian pengadaan tanah menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dalam Pasal 1 angka 1 adalah sebagai berikut:

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut.

Definisi pengadaan tanah dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dalam Pasal 1 angka 3 adalah sebagai berikut:

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.

(18)

Definisi pengadaan tanah dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dalam Pasal 1 angka 3 adalah sebagai berikut:

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Definisi pengadaan tanah menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dalam Pasal 1 angka 2 adalah sebagai berikut:

Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

E. Keaslian Penelitian

Penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan penulis menunjukkan bahwa belum pernah ada penelitian yang mengkaji lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah untuk mewujudkan keadilan bagi pemegang hak atas tanah. Sejumlah tesis yang membahas topik kajian yang sama mengenai pengadaan tanah, antara lain:

1. Nelwan Sagrim, program studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, tahun 2009, meneliti tesis yang berjudul Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Papua Tentang Pengadaan Tanah (Hak Ulayat) Khususnya Pemberian Ganti Rugi Untuk Pembangunan Dalam Mewujudkan Kepastian Dan Perlindungan Hukum Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

(19)

Permasalahan dari penelitian ini adalah: 1). Bagaimanakah kewenangan pemerintah daerah provinsi Papua dalam pengadaan tanah hak ulayat khususnya pemberian ganti rugi bagi pembangunan berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006? 2). apakah kewenangan pemerintah daerah provinsi Papua tentang pengadaan tanah hak ulayat khususnya dalam pemberian ganti rugi bagi pembangunan telah mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat?

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana kewenangan pemerintah daerah provinsi Papua dalam pengadaan tanah hak ulayat khususnya pemberian ganti rugi bagi pembangunan berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan apakah kewenangan pemerintah daerah provinsi Papua tentang pengadaan tanah hak ulayat khususnya dalam pemberian ganti rugi bagi pembangunan telah mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah daerah provinsi Papua dalam pengadaan tanah hak ulayat khususnya pemberian ganti rugi bagi pembangunan berdasarkan kekhususan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 didasarkan atas musyawarah dengan masyarakat hukum adat mengenai penetapan ganti rugi atas tanah. Oleh karena itu, kewenangan pemerintah tentang pemberian ganti rugi telah mewujudkan

(20)

kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya peraturan daerah khusus provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perseorangan Warga masyarakat hukum adat atas tanah.

Pada dasarnya topik permasalahan yang dikaji adalah sama yaitu mengenai pengadaan tanah. Namun terdapat perbedaan permasalahan dalam hal peneliti Nelwan Sagrim meneliti kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan ganti kerugian pengadaan tanah ulayat berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sedangkan, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan kepada pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah. Kajian tersebut akan dilanjutkan dengan analisis untuk mengetahui bagaimana penyelesaian yang menjamin keadilan bagi pemegang hak atas tanah apabila kesepakatan mengenai pelepasan hak dan ganti kerugian tidak tercapai dalam musyawarah pengadaan tanah. Dengan demikian penelitian ini merupakan karya asli bukan plagiat dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

2. Sonny Djoko Marlijanto, program studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2009, meneliti tesis yang berjudul Konsinyasi Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

(21)

Umum (Studi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang-Solo Di Kabupaten Semarang.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) bagiamana mekanisme konsinyasi ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo Di Kabupaten Semarang? 2). Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam mekanisme ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo Di Kabupaten Semarang ? 3). Bagaimana proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam rangka Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo Di Kabupaten Semarang serta pengaruhnya terhadap pemilik hak atas tanah yang terkena proyek tersebut ?

Tujuan penelitian tersebut antara lain adalah untuk mengetahui mekanisme konsinyasi ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo Di Kabupaten Semarang, untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam mekanisme ganti rugi atas tanah dan untuk mengetahui proses serta pengaruhnya terhadap pemilik hak atas tanah yang terkena proyek pengadaan tanah Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo disebabkan tidak adanya titik temu, sehingga proses di pengadilanlah yang dapat menyelesaikan. Kedua, Hambatan-hambatan yang timbul dalam mekanisme konsinyasi ganti rugi

(22)

adalah ketidaksepakatan tentang besaran ganti kerugian karena keterbatasan dana dari Pemerintah. Ketiga, proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo ini sesuai dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007. Pengaruh yang ditimbulkan terhadap pemilik hak atas tanah yang terkena pembangunan jalan tol Semarang – Solo ini diantaranya sebagai berikut : turunnya harga tanah, menghambat Pertumbuhan Ekonomi Warga, dan hilangnya rasa nyaman.

Pada dasarnya topik permasalahan yang dikaji adalah sama yaitu mengenai lembaga hukum konsinyasi dalam pengadaan tanah. Namun terdapat perbedaan permasalahan dalam hal peneliti Sonny Djoko Marlijanto meneliti secara empiris pelaksanaan lembaga konsinyasi ganti kerugian dalam Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo di Kabupaten Semarang. Sedangkan, permasalahan dalam penelitian ini dilakukan secara normatif terhadap lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah untuk mewujudkan keadilan bagi pemegang hak atas tanah.

3. Amgasussari Anugrahni Sangalang, program studi Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, tahun 2012, meneliti tesis yang berjudul Kajian Terhadap Ganti Rugi Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Guna Mewujudkan Kepastian Hukum, Perlindungan Hukum Dan Keadilan.

(23)

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: apakah ketentuan ganti rugi atas tanah dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 telah mewujudkan kepastian hukum, perlindungan hukum dan keadilan?

Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah untuk mengetahui dan menganalisis apakah ketentuan ganti rugi atas tanah dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 telah mewujudkan kepastian hukum, perlindungan hukum dan keadilan.

Dari penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa ganti rugi belum sepenuhnya mewujudkan kepastian hukum, perlindungan hukum dan rasa keadilan bagi bekas pemegang hak atas tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya ketentuan ganti rugi atas tanah yang menimbulkan multitafsir dan bersifat represif.

Pada dasarnya topik permasalahan yang dikaji adalah sama yaitu mengenai pengadaan tanah. Namun terdapat perbedaan permasalahan dalam hal peneliti Amgasussari Anugrahni Sangalang meneliti mengenai pelaksanaan aspek ganti kerugian dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dalam mencapai keadilan dan kepastian hukum. Sedangkan, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada kajian lembaga hukum konsinyasi

(24)

ganti rugi dan asas kesepakatan untuk mewujudkan keadilan bagi pemegang hak atas tanah.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

1. Manfaat teoritis berupa sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pertanahan mengenai lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

2. Manfaat praktis berupa kontribusi bagi pejabat pemerintah, praktisi dan akademisi hukum untuk memahami hakikat pengadaan tanah, asas kesepakatan dan serta meninjau ulang pengaturan lembaga hukum konsinyasi dalam pengaturan pengadaan tanah yang berlaku saat ini.

G. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas

kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

2. Mengetahui apakah pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum telah mewujudkan keadilan bagi pemegang hak atas tanah.

(25)

3. Mengetahui upaya untuk menyesuaikan asas kesepakatan dengan ketentuan musyawarah terhadap ganti rugi apabila tidak tercapai kata sepakat dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, batasan masalah, batasan konsep, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tinjauan tentang pengadaan tanah yang meliputi: pengertian pengadaan tanah, asas-asas pengadaan tanah, kepentingan umum, musyawarah, ganti rugi dan tinjauan tentang lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dalam KUH Perdata maupun peraturan pengadaan tanah. Selanjutnya, landasan teori yang meliputi teori kesepakatan dan keadilan.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang jenis penelitian, pendekatan, bahan hukum dan analisis bahan hukum.

(26)

BAB IV : PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan pembahasan dari permasalahan penelitian ini, yaitu: pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, jaminan keadilan dalam pengaturan lembaga hukum konsinyasi ganti rugi dan asas kesepakatan pada peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dan upaya untuk menyesuaikan asas kesepakatan dengan ketentuan musyawarah terhadap ganti rugi apabila tidak tercapai kata sepakat dalam peraturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

BAB V : PENUTUP

Bab ini menguraikan kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas dalam tesis ini dan saran yang diajukan sebagai tindak lanjut dari temuan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa keunggulan sistem ini adalah berbasis web dan terintegrasi dengan basisdata yang sesuai dengan arsitektur basis data terintegrasi IPB, melengkapi kebutuhan

$EVWUDN 3HQHOLWLDQ WLQGDNDQ LQL EHUWXMXDQ PHQJLPSOHPHQWDVLNDQ PRGHO 6LNOXV %HODMDU XQWXN PHQLQJNDWNDQ NXDOLWDV SURVHV SHPEHODMDUDQ GDQ KDVLO EHODMDU PHQJHODV GHQJDQ JDV PHWDO

Penelitian dengan teknik observasi atau pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan tepatnya di lokasi habitat bertelur burung Mamoa (Eulipoa wallecei) yang berada

Tingginya perban- dingan % radioaktivitas pada sistim ekskresi (ginjal dan kandung kemih) terhadap organ organ lain menunjukkan sifat farmakokinetika yang

Dengan menggunakan benda-benda konkret/gambar, peserta didik dapat mengelompokkan benda sesuai dengan bilangan 11 sampai dengan 20 yang ditentukan, dengan tepat.. Dengan

Whether the distance between destinations is small of long travel by air seems to be the preferred choice among travelers.. Since air travel saves a lot of time and hassles that may

Pelayanan dasar sendiri merupakan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara yang meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan tata ruang, perumahan

Aklimatisasi terhadap suhu tinggi merupakan hasil penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan yang ditandai dengan menurunnya frekuensi denyut nadi dan suhu