• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Neraca sumberdaya alam dan lingkungan telah dikembangkan sejak tahun 1970-an namun masing-masing Negara memiliki kerangka dan metodologi yang berbeda. Sejak tahun 1980-an telah disetujui kerangka dan metodologi yang distandarisasi oleh the United Nations Statistics Division, Eurostat, OECD, World Bank, dan organisasi lain. The United Nations mempublikasikan buku pedoman neraca sumberdaya dan lingkungan pada tahun 1993 dan telah direvisi menjadi the System of Integrated Economic and Environmental Accounting 2003.

Pendekatan dalam neraca sumberdaya di Negara berkembang didasarkan pada empat prinsip. Pertama, secara keseluruhan tujuan dari sistem neraca adalah untuk memperbaiki kualitas dalam pengambilan kebijakan dimana tujuannya adalah pembangunan. Pendekatan ini melihat bahwa lingkungan memerankan peran yang penting terhadap kesejahteraan banyak orang di Negara berkembang. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan aset dan jasa lingkungan non pasar ke dalam sistem neraca sehingga dapat secara penuh dinilai.

Kedua, neraca ini lebih merupakan neraca ekonomi bukan neraca ekologi. Perbedaannya terletak pada nilai dalam neraca dimana jika aset atau jasa tersebut ketersediaannya langka, maka akan ada opportunity cost yang positif yang dihubungkan dengan penggunaannya. Jadi, sumberdaya dalam kondisi penawaran yang berlebih, untuk konsumsi oleh satu pengguna tidak akan membebankan biaya ke yang lain dan tidak akan dimasukkan ke dalam neraca. Sebagai contoh, di sebuah pulau tropis dengan pantai yang luas. Dengan populasi penduduk asli yang sedikit, mungkin pantai tersebut lebih dijadikan solitary beach dibandingkan resident buse, sehingga penggunaan masing-masing orang tidak akan mengurangi akses terhadap orang lain karena supply melebihi demand. Dalam kasus ini nilai ekonomi dari sumberdaya adalah nol dan tidak akan muncul dalam neraca. Akan tetapi jika sebuah hotel dibangun dan banyak pengunjung yang datang, maka akan dengan sangat cepat pengunjung mengurangi akses penduduk asli maupun yang lain dan permintaan akan melebihi supply. Apakah akses terhadap pantai dijual dalam bentuk uang atau tidak, pantai tersebut akan memiliki nilai ekonomi dan

(2)

akan dimasukkan ke dalam neraca. Peran supply dan demand dalam penentuan nilai merupakan pendekatan neo klasik dalam neraca. Ketiga, pendekatan ini berorientasi pada pengelolaan.

Tujuan dari neraca sumberdaya dan lingkungan adalah sebagai mekanisme untuk mengembangkan data yang akan memperbaiki keputusan mengenai aktivitas makroekonomi dengan memasukkan aset dan jasa lingkungan yang sebelumya diabaikan. Neraca sumberdaya harus memasukkan aset dan jasa lingkungan baik yang memiliki pasar maupun yang tidak memiliki pasar (marketed and non-marketed assets and environmental services). Jika neraca adalah untuk analysis permit trade off dari beberapa pilihan keputusan, maka neraca harus dimonetarisasikan dibandingkan hanya memasukkan data fisik. 2.2 Kerangka SEEA (Satellite System for Integrated Environmental and

Economic Accounting)

Sebagai neraca satelit, SEEA memiliki struktur yang sama dengan SNA (System National Account). SEEA terdiri dari stock dan flow dari barang-barang dan jasa-jasa lingkungan. SEEA menggambarkan indikator agregat untuk memantau performance ekonomi dan lingkungan pada setiap sektor dan tingkatan makroekonomi juga sebagai statistik untuk memandu pengelola sumberdaya dalam keputusan kebijakan yang akan memperbaiki performance ekonomi lingkungan di masa yang akan datang. Definisi barang-barang dan jasa-jasa lingkungan di dalam SEEA lebih luas dibandingkan SNA, dimana SEEA secara prinsip berusaha mengukur nilai ekonomi total tidak hanya transaksi pasar saja.

SEEA memiliki empat komponen utama :

1. Asset account yaitu melihat stock dan perubahan dalam stock sumberdaya alam sepanjang waktu.

2. Flow account atau production account untuk melihat informasi material, energi dan polusi pada tingkat industri mengenai penggunaan energi dan material sebagai input untuk produksi dan permintaan akhir.

3. Environmental protection and resource management expenditure accounts mengidentifikasi pengeluaran sektor publik dan swasta untuk mengelola sumberdaya dan melindungi lingkungan.

(3)

4. Environmentally-adjusted macroeconomic aggregates termasuk indikator yang digunakan dalam melihat performance makroekonomi yang telah disesuaikan untuk menggambarkan keberlanjutan secara lebih baik, seperti environmentally-adjusted gross domestic product (GDP), net domestic product (NDP), national savings atau national wealth.

SEEA memasukkan physical accounts dan monetary accounts. Valuasi beberapa barang-barang dan jasa-jasa dapat menjadi sulit. Sehingga, ada beberapa teknik valuasi yang mungkin akan diaplikasikan. Perbedaan dengan database lingkungan yang lain, tujuan dari SEEA adalah untuk menghubungkan data lingkungan secara langsung ke dalam neraca ekonomi. Kontribusi dari SEEA untuk analisis kebijakan sangat penting pada tingkat sektoral maupun tingkat makroekonomi. Pada tingkat makroekonomi, SEEA berguna sebagai alat perencanaan untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan di kementerian yang berbeda dan menilai dampak antar sektor, menimbang alternatif-alternatif dan trade off di antara sektor-sektor. Adapun kerangka SEEA dapat dilihat pada Tabel berikut.

(4)

2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan dapat dinilai secara moneter. Barang dan jasa yang dihasilkan bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai rupiah atau nilai ekonominya karena kita asumsikan bahwa pasar itu eksis (market based) sehingga transaksi barang dari sumberdaya alam tersebut dapat dilakukan. Akan tetapi, selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi langsung, sumberdaya juga dapat menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain seperti manfaat amenity. Manfaat tersebut merupakan manfaat fungsi ekologis (ecological function) sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan

Tabel 4. Kerangka SEEA

(5)

menyeluruh terhadap nilai dari sumberdaya. Pentingnya fungsi-fungsi ekonomi dan non-ekonomi dari sumberdaya alam menyebabkan perlunya memberikan nilai yang komprehensif terhadap sumberdaya alam itu, tidak hanya nilai pasar barang yang dihasilkan melainkan juga nilai jasa lingkungan dari sumberdaya tersebut.

Permasalahan di atas tidak mampu terjawab oleh metode analisis biaya dan manfaat (cost benefit analysis / CBA) yang konvensional karena konsep CBA konvensional tidak memasukkan manfaat ekologis dalam analisisnya. Permasalahan ini menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi khususnya valuasi non-pasar.

Konsep nilai dalam ekonomi yaitu pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Konsep ini merupakan keinginan membayar (willingness to pay / WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan WTP nilai ekologis ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Fauzi, 2006). Konsep WTP ini terkait dengan konsep Compensating Variation dan Equivalent Variation dalam teori permintaan. Pengukuran nilai ekonomi dari sisi lain yaitu willingness to accept (WTA). WTA merupakan jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Akan tetapi, dalam praktiknya, WTP lebih sering dipakai karena WTA bukan pengukuran berdasarkan insentif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi berbasis perilaku manusia.

Teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dikelompokkan menjadi dua yaitu revealed WTP (tidak langsung) dan expressed WTP (langsung / survey). Beberapa teknik yang termasuk kelompok revealed WTP yaitu hedonic pricing, travel cost, dan random utility model. Sementara yang termasuk kelompok expressed WTP yaitu contingent valuation dan discrete choice method.

(6)

2.4 Konsep Contingent Choice Modelling (CCM)

CCM adalah teknik preferensi yang dinyatakan (stated preference technique) dimana responden memilih pilihan penggunaan sumberdaya yang paling disukai dari sejumlah alternatif. Dalam CCM, individu diberikan suatu hipotesis dan diminta untuk memilih alternatif yang disukai di antara beberapa alternatif dalam suatu sekumpulan pilihan dan mereka biasanya diminta juga untuk memilih beberapa sekumpulan pilihan. Masing-masing alternatif dijelaskan melalui sejumlah atribut dimana subjek analisis termasuk atribut moneter. Responden membuat trade off di antara tingkat suatu atribut dan tingkat atribut lain secara implisit menimbang dan menilai atribut-atribut dalam sekumpulan pilihan. CCM memberikan pemahaman dan model bagaimana individu-individu mengevaluasi atribut-atribut produk dan memilih di antara penawaran yang bersaing.

Atribut-atribut dan tingkatan atribut untuk model CCM dikembangkan dengan menggunakan hasil dari dua hal yaitu focus group discussions dan menguji sampel. Fokus grup digunakan untuk menentukan atribut-atribut yang menunjukan isu-isu, definisi atribut, jumlah tingkatan atribut, tingkat atribut moneter, susunan kata, dan dampak foto.

Tujuan CCM yaitu mengestimasi nilai ekonomi untuk jasa lingkungan dan ekosistem. Diperoleh dengan menanyakan orang untuk membuat trade off di antara sekumpulan jasa atau karakteristik lingkungan dan ekosistem, namun tidak ditanyakan secara langsung menanyakan kesediaan untuk membayar akan tetapi dengan diduga dari trade off yang juga memasukkan biaya sebagai sebuah atribut.

2.4.1 Aplikasi Contingent Choice Modelling (CCM)

Ada berbagai macam format untuk mengaplikasikan CCM yaitu :

• Contingent Ranking yaitu menanyakan kepada individu untuk membandingkan dan merangking alternatif program outcomes dengan berbagai karakteristik termasuk biaya. Singkatnya, orang diminta untuk membandingkan dan merangking beberapa program perbaikan lingkungan.

(7)

Responden diminta untuk merangking alternatif-alternatif berdasarkan preferensi mereka.

Discrete Choice yaitu responden secara simultan menunjukkan dua atau lebih alternatif-alternatif yang berbeda dan karakteristiknya dan diminta untuk mengidentifikasi alternatif dalam pilihan yang paling disukai.

Paired Rating yaitu variasi dari format pilihan diskret, dimana responden diminta untuk membandingkan dua alternatif situasi dan diminta untuk me-rating preferensinya. Singkatnya, orang diminta untuk membandingkan dua program perbaikan lingkungan dan hasilnya, dan menyatakan mana yang paling disukai dan apakah strongly, moderately, atau slightly preferred dibandingkan program lain.

2.4.2 Kelebihan dari CCM

1. CCM dapat digunakan untuk menilai hasil dari suatu tindakan secara keseluruhan, juga berbagai macam atribut atau efek dari suatu tindakan. 2. Metode ini mengizinkan responden untuk memikirkan trade off, yang

mungkin lebih mudah daripada secara langsung menyatakan dalam nilai uang. Proses trade off mungkin mendorong responden untuk introspeksi dan membuat lebih mudah untuk mengecek konsistensi dari tanggapannya. Selain itu, responden mungkin dapat memberikan jawaban yang lebih memiliki arti untuk menjawab pertanyaan mengenai perilaku mereka (mereka lebih memilih suatu alternatif dibandingkan yang lain), dibandingkan dengan pertanyaan yang menanyakan mereka secara langsung mengenai nilai uang dari suatu barang atau jasa atau nilai dari perubahan kualitas lingkungan.

3. Responden secara umum lebih nyaman memberikan ranking atau rating secara kualitatif dari atribut yang termasuk harga

4. Metode survey mungkin lebih baik dalam mengestimasi nilai relatif dibandingkan nilai absolut. Jadi, jika estimasi nilai dolar absolute tidak tepat, nilai relatif atau prioritas yang diperoleh dari survey CCM menjadi valid dan berguna untuk keputusan kebijakan.

(8)

5. Metode ini meminimisasi banyak bias yang dapat meningkat dalam CVM dimana responden dihadapkan pada kenyamanan yang tidak memiliki pasar dan tidak familiar.

6. Metode ini memiliki potensi untuk mengurangi permasalahan seperti pernyataan nilai simbolis, protest bids, dan potensi bias lain dalam CVM. 2.4.3 Isu-Isu dan Keterbatasan CCM

1. Responden mungkin menemukan beberapa kesulitan dalam mengevaluasi trade off karena mereka tidak familiar.

2. Perilaku responden dalam hasil pokok dari CCM tidak dipahami dengan baik. Responden mungkin terpaksa menyederhanakan aturan keputusan jika pilihan terlalu rumit, yang dapat menjadi bias dalam hasil analisis statistika.

3. Jika jumlah atribut atau tingkatan atribut meningkat, ukuran sampel dan atau jumlah perbandingan masing-masing responden juga harus meningkat.

4. Ketika dihadapkan pada sejumlah pertanyaan trade off yang banyak, responden mungkin akan kehilangan minat atau menjadi pusing.

5. CCM mungkin mengambil preferensi dalam bentuk sikap daripada tujuan perilaku.

6. Dengan hanya menyediakan jumlah pilihan yang terbatas, itu mungkin membuat responden membuat pilihan yang mungkin mereka buat secara terpaksa.

7. Contingent ranking membutuhkan lebih banyak teknik statistika untuk mengestimasi kesediaan membayar.

8. Penerjemahan jawaban ke dalam nilai uang, mungkin menyebabkan ketidakpastian yang lebih besar dalam nilai barang atau jasa.

9. Walaupun CCM telah digunakan dalam penelitian, tapi validitas dan realibilitas untuk menilai komoditas non market sebagian besar belum teruji.

(9)

2.5 Biaya Transaksi

2.5.1 Definisi Biaya Transaksi

Biaya transaksi memiliki definisi yang berbeda berdasakan dua golongan utama yaitu golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan. Golongan neoklasik mendefinisikan biaya transaksi yaitu biaya yang ditimbulkan oleh transfer hak kepemilikan. Definisi ini merujuk pada hak kepemilikan namun biaya transaksi hanya muncul pada saat transfer terjadi (Allen, 1999). Biaya transaksi juga dapat dikatakan sebagai biaya untuk melaksanakan transaksi (cost of transacting) atau biaya yang muncul pada saat melakukan pertukaran (costs that arise in an exchange).

Sementara itu, menurut golongan hak kepemilikan yang digagas oleh Allen (1991), biaya transaksi adalah segala sumberdaya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak-hak kepemilikan (resources used to establish and maintain property rights). Definisi ini secara tegas menyatakan hubungan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan. Implikasi dari definisi ini yaitu biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan yang lengkap adalah dua situasi yang sama.

Biaya transaksi sama dengan nol adalah sama dengan situasi ketika hak kepemilikan terdefinisikan dengan sempurna (perfectly defined property rights). Jika hak kepemilikan tidak terdefinisikan dengan sempurna, maka usaha akan dilakukan untuk menyempurnakannya. Biaya atas usaha yang dilakukan ini disebut sebagai biaya transaksi. Oleh karena itu, biaya transaksi adalah sumber bagi segala penjelasan mengenai distribusi hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1991). Pembeda lain antara golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan adalah jenis biaya penegakan (enforcement-type cost) di dalam perusahaan bukanlah biaya transaksi. Hal ini disebabkan biaya transaksi hanya muncul antar perusahaan atau individu pada saat proses pertukaran terjadi (Allen 1999).

(10)

2.5.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi

Menurut Allen (1991), biaya transaksi akan muncul pada tiga situasi. Pertama, biaya transaksi akan muncul pada situasi pertukaran yang dipaksakan (coerced exchange) seperti pencurian. Biaya tas kunci pengaman, anjing penjaga, dan senjata api yang digunakan untuk mencegah perampokan adalah biaya transaksi. Kedua, biaya transaksi akan muncul pada usaha-usaha untuk mencegah atau mengambil keuntungan melalui free riding pada barang-barang publik (public goods). Ketiga, biaya transaksi muncul pada semua jenis transaksi lainnya. Pada setiap pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchanges), biaya transaksi muncul sebagai usaha yang dilakukan untuk menangkap kesejahteraan (wealth) orang lain sekaligus mencegah kesejahteraannya sendiri diambil orang lain.

Biaya transaksi memang tidak dapat dihilangkan dan biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata. Hal ini disebabkan hak kepemilikan tidak pernah lengkap dan tidak pernah sempurna (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumberdaya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak akan suatu barang/sumberdaya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005).

Penyebab munculnya biaya transaksi adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal. Biaya transaksi juga terkait dengan informasi yang tidak gratis. Implikasinya yaitu bahwa biaya informasi adalah syarat perlu (necessary condition) bagi permasalahan biaya transaksi. Namun, biaya informasi tidak selalu menjadi biaya transaksi. Biaya yang muncul atas pengumpulan informasi yang independen terhadap suatu pertukaran, dalam arti biaya ini ada meskipun tanpa terjadinya sebuah pertukaran, adalah biaya informasi dan bukan biaya transaksi.

Cordella (2001) menyatakan bahwa biaya transaksi timbul dikarenakan kompleksitas (complexity) dan ketidakpastian (uncertainty) dari sistem ekonomi sehingga biaya transaksi didefinisikan sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat efisiensi dalam mengelola ketidakpastian. Knight (1971 dalam Allen 1991) menambahkan bahwa ketidakpastian adalah situasi dimana distribusi probabilitas tidak diketahui (unknown probability distributions).

(11)

McManus (1975 dalam Allen 1991) menyatakan bahwa ketidakpastian yang disampaikan oleh Knight tersebut disebabkan oleh perilaku oportunistik. Sama halnya dengan McManus, Cordella (2001) menyatakan bahwa kompleksitas dan ketidakpastian tersebut terkait dengan perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events). Perilaku oportunistik tentunya hanya dapat terjadi pada kasus dimana barang yang ditransaksikan bersifat dapat berubah karena alam (variable) dan oleh manusia (alterable).

Perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events) adalah hasil dari distribusi informasi yang timpang (unequal distribution of information) di antara para aktor yang terlibat di dalam transaksi. Ackerlof (1970 dalam Allen 1991) menyatakannya dengan istilah lain yaitu informasi asimetris (asymetric information). Adanya informasi yang asimetris menyebabkan informasi bukan hanya tidak gratis, tetapi juga lebih mahal (more costly) bagi satu pihak untuk mendapatkannya dibandingkan pihak yang lain. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memanfaatkan keuntungan dari informasi yang timpang akan mengakibatkan munculnya biaya transaksi.

Biaya transaksi juga muncul akibat adanya spesifisitas aset (asset specificity). Spesifisitas aset adalah keterbatasan aset untuk dialihkan (lack of transferability) penggunaannya ke penggunaan lain yang berbeda dari yang dimaksudkan pada awalnya. Menard (2004, diacu dalam Poel 2005) mendefinisikan spesifisitas aset sebagai nilai dari investasi yang akan hilang jika aset digunakan secara berbeda dibanding penggunaan yang dimaksudkan di awal. Aset dengan spesifisitas yang tinggi membutuhkan kontrak yang kuat atau internalisasi untuk mengantisipasi ancaman perilaku oportunistik.

2.5.3 Penggolongan Biaya Transaksi

Williamson (1996) menggolongkan biaya transaksi ke dalam dua jenis yaitu (i) ex ante costs, dan (ii) ex post costs. Ex ante costs adalah biaya yang meliputi perancangan, negosiasi, dan rencana pengamanan (safeguarding) sebuah

(12)

kesepakatan. Di dalam sebuah kemitraan, ex ante costs akan meningkat pada proses-proses awal.

Ex ante costs dapat digolongkan kembali menjadi biaya pencarian (search costs) dan biaya pembuatan kesepakatan (contracting costs). Biaya pencarian meliputi biaya identifikasi dan evaluasi mitra potensial, sedangkan biaya pembuatan kontrak meliputi negosiasi dan penyusunan kesepakatan antara mitra. Ex ante costs seringkali muncul pada saat sebelum kemitraan secara resmi dimulai (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005).

Ex post costs dibedakan atas biaya pengawasan (monitoring costs) dan biaya penegakan (enforcement costs). Biaya pengawasan muncul pada saat dilakukannya pengawasan untuk memastikan bahwa setiap mitra memenuhi segala ketentuan yang tertuang dalam kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Biaya penegakan meliputi negosiasi ulang (renegotiation atau ex post bargaining) dan pemberian sangsi kepada mitra yang tidak dapat memenuhi kesepakatan yang dibuat.

North & Thomas (1973) diacu dalam Rodrik (1999) membagi biaya transaksi ke dalam tiga tipe yaitu (i) biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapat informasi mengenai keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi (costs of negotiating the terms of the exchange), dan (iii) biaya penegakan (enforcement cost) yaitu biaya untuk menegakan suatu kontrak atau transaksi. Furubotn & Richter (1997) diacu dalam benham & Benham (2001) mendefinisikan dua varian dalam setiap tipe biaya transaksi yaitu (i) biaya transaksi tetap (fixed transaction cost), yaitu investasi khusus dan (ii) biaya transaksi peubah (variable transaction cost), yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Cordella (2001) melakukan pemodelan yaitu biaya transaksi (TC) sebagai dependent variable dipengaruhi independent variable meliputi biaya infrastruktur (CI) dan biaya koordinasi (CC). Biaya infrastruktur adalah fixed cost sedangkan biaya koordinasi adalah variable cost.

De Soto (1989) dalam Anggraini (2005) menyatakan bahwa biaya transaksi juga muncul dari aspek-aspek non-pasar (non-marketed transaction cost). Biaya transaksi non-pasar tersebut diantaranya adalah sumberdaya yang dikeluarkan/dihabiskan dalam situasi menunggu (resource spent in waiting),

(13)

mendapatkan izin usaha, upacara peresmian (cutting through red tapes), dan menyuap pejabat (bribing officials).

Menurut mahzab hak kepemilikan, biaya transaksi tidak hanya muncul ketika ada transfer hak kepemilikan pada situasi pertukaran sukarela, tetapi juga muncul pada upaya-upaya untuk mencegah atau mengambil keuntungan dari pertukaran yang dipaksakan. Mahzab hak kepemilikan menyatakan bahwa biaya transaksi tidak hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar (across market). Berdasarkan mahzab tersebut, biaya transaksi tidak hanya muncul ketika ada transfer hak kepemilikan pada situasi pertukaran sukarela, tetapi juga muncul pada upaya-upaya untuk mencegah atau mengambil keuntungan dari pertukaran yang dipaksakan.

2.6 Penelitian Terdahulu 2.6.1 Penelitian tentang hutan

Hutajulu, Halomoan (2010) melakukan penelitian tentang Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar Dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Terhadap Masyarakat Di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura. Tujuan penelitian tersebut yaitu (1) mendeskripsikan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan masyarakat, (2) memperkirakan dampak ekonomi penebangan liar dan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat, (3) merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah kerusakan CAPC dan merekomendasikan pengembangan CAPC yang baik agar dapat mengurangi kerusakan CAPC. Metode analisis yang digunakan yaitu pendekatan perubahan produktivitas, pendekatan cost of illness, pendekatan deskriptif kualitatif, pendekatan transfer benefit, pendekatan nilai ekonomi total (TEV) dan pendekatan analisis hirarki proses (AHP).

Hasil analisis menunjukkan bahwa total kerugian Negara akibat penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat adalah Rp 1.942.866.894.272 yang berasal dari potensi kehilangan kayu, iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dan iuran Dana Reboisasi (DR). Sementara total kerugian masyarakat akibat banjir/longsor Cycloops yaitu Rp 53.854.755.600 yang terdiri dari penurunan produktivitas pertanian, peternakan, dan perikanan, meningkatnya

(14)

volume penyakit, kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu, kerusakan sarana dan prasarana umum, dan kerusakan perumahan. Kebijakan yang tepat adalah berupa Hutan Lestari dan Ramah Lingkungan. Kebijakan pengembangan kawasan Cycloops adalah kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Hutan.

Pada tahun 2005, penelitian mengenai nilai hasil hutan bukan kayu di Amazon dilakukan oleh Shone, Bryan M. dan Jill L. Caviglia-Harris dalam paper

Quantifying and comparing the value of non-timber forest products in the Amazon. Paper ini menguji manfaat dari mengumpulkan dan memanen hasil hutan

bukan kayu di hutan tropis dengan menggunakan berbagai metode dengan menggunakan data panel rumahtangga yang dikumpulkan pada tahun 1996 dan 2000 di Ouro Preto do Oeste, kawasan Rondo di Brazil. Paper ini juga mengestimasi nilai guna dari lahan hutan, pertanian, penggembalaan dan melengkapi estimasi dengan data sensus dan analisis regresi.

Estimasi ini menyatakan bahwa praktek rumahtangga dalam pemanfaatan berkelanjutan yaitu dalam bentuk agroforestry dan mengumpulkan hasil hutan bukan kayu dengan tingkat diversifikasi yang tinggi. Disimpulkan bahwa kebijakan secara langsung menuju strategi win-win mungkin tidak diinginkan untuk mengurangi kemiskinan maupun deforestasi di daerah ini karena tidak ditemukan bukti yang jelas. Kebijakan pengembangan berkelanjutan seharusnya fokus dalam peningkatan nilai hutan atau mengurangi biaya oportunitas dari meninggalkan hutan.

2.6.2 Penelitian tentang neraca sumberdaya

Tahun 2000, Harapriya, G.S meneliti tentang neraca sumberdaya hutan di

India dengan paper “Integrated Environmental and Economic Accounting: An

Application to the Forest Resources in India”. Penelitian ini membahas physical account untuk masing-masing strata dan agregasi volume account dari berbagai macam strata ke dalam 5 zona yang berbeda : Utara, Pusat, Barat, Selatan, dan Timur Laut. Selain itu juga dibahas mengenai monetery account. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai deplesi yaitu Rs 101,980 juta dengan menggunakan metode net price. Akumulasi lain bertanda negatif yang berarti bahwa terjadi konversi hutan untuk penggunaan ekonomi. Adanya gap antara NDP dengan EDP

(15)

menunjukkan adanya deplesi dan degradasi yang menjadi sinyal pentingnya berbagai efek lingkungan. Komposisi gap tersebut dapat digunakan untuk melihat permasalahan lingkungan yang harus diprioritaskan.

Penelitian mengenai neraca sumberdaya perikanan dilakukan oleh Fauzi, dan Anna (2002). Dalam penelitian yang berjudul Natural Resource Accounting Melalui Penilaian Depresiasi : Aplikasi Pada Sumberdaya Perikanan bertujuan untuk mengembangkan metode resource accounting dengan pendekatan depresiasi sumberdaya melalui pemodelan bioekonomi. Resource accounting dihitung berdasarkan depresiasi sumberdaya yang didasarkan pada foregone benefit serta perbedaan antara level pada tingkat sustainable, optimal dan aktual baik untuk input maupun output. Selanjutnya penelitian ini juga menganalisis depresiasi sumberdaya ikan akibat pencemaran.

Hasil penelitian menunjukkan perlu memperhatikan aspek depresiasi baik yang diakibatkan oleh kegiatan ekonomi (penangkapan) maupun non-ekonomi (dalam hal ini pencemaran) sehingga diperoleh gambaran yang utuh mengenai kemampuan sumberdaya untuk menghasilkan rente ekonomi yang sustainable. Selain itu, jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal, depresiasi sumberdaya akan dapat diminimisasi sehingga akan diperoleh potential rent yang maksimum dalam jangka panjang.

Pada tahun 2002, penelitian mengenai neraca sumberdaya lahan tandus untuk tanaman penghijauan dilakukan oleh Suwondo, Siti Imami. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kemungkinan pemanfaatan lahan tandus desa Larete, Kecamatan Poleang Timur Provinsi Sulawesi ditinjau dari segi ekonomi lingkungan; selain itu mengkoordinasikan antara ekonomi dan lingkungan sumberdaya lahan agar tetap lestari dan bermanfaat untuk masyarakat. Metode yang digunakan adalah metode penilaian dampak lingkungan yang analisisnya dinyatakan dalam nilai uang atau dirupiahkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan Delphi dengan kegiatan utama wawancara langsung dengan masyarakat desa Larete.

Hasil analisis menunjukkan neraca sumberdaya lahan bahwa tanah terbuka atau tandus di Desa Larete apabila dihijaukan dengan tanaman jambu mete dan sengon ternyata masih mempunyai prospek atau kelayakan dengan keuntungan

(16)

selain menahan erosi, juga menahan air tanah dan menambah pendapatan masyarakat baik dari tanaman utamanya maupun tanaman sela.

Purwanto, Arief dan Surna pada tahun 1998 melakukan penelitian mengenai perhitungan neraca fisik dan neraca moneter sumberdaya ikan tuna dan udang laut. Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan udang dan tuna merupakan komoditi hasil laut hayati yang telah berkontribusi dalam perolehan devisa Negara. Dari pengamatan terhadap data beberapa tahun terkahir yaitu tahun 1993 telah terjadi eksploitasi sumberdaya ikan tuna yang terus meningkat. Sementara itu untuk udang laut terjadi fluktuasi eksploitasi. Hasil perhitungan neraca fisik ikan tuna dan udang memperlihatkan bahwa kedua jenis komoditi ini belum mengalami deplesi. Namun demikian diperlukan perhitungan ulang berdasarkan atas data-data yang lebih lengkap meliputi data mengenai stok awal, angka pertumbuhan dan kematian alami serta hasil eksploitasi atau penangkapan yang lebih detail.                          

Gambar

Tabel 4. Kerangka SEEA

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak etanol jahe merah pada penelitian ini diformulasikan dalam bentuk krim untuk meningkatkan kemudahan penggunaannya dan efektivitasnya terhadap penurunan intensitas

Dalam keberhasilan induksi pembelahan sporofitik ditunjukkan dengan parameter pengamatan yang dilakukan pada induksi pembelahan sporofitik mikrospora dengan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Dalam setiap pelayanan di Bank Darah mulai dari pengambilan sempel darah sampai dengan pemberian darah kepada pasien dilakukan pencatatan..

Penyampaian materi sistem pernapasan manusia menggunakan metode Blended learning dengan bantuan video conference dan google classroom dalam penelitian ini memiliki

Kelayakan media pembelajaran ini diperoleh berdasarkan hasil pengujian data, yang didapat dari hasil pengisian angket kelayakan media pembelajaran proses

Salah satu strategi penting dalam rangka penanggulangan flu burung adalah pelaksanaan surveilans epidemiologi dan dengan adanya aspek zoonosis pada penyakit flu burung ini

Setelah kita menelusuri secara singkat sejarah praktek perbankan yang dilakukan oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fikih Islam