• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF. Available online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSPEKTIF. Available online"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Motif Aktor Lokal dalam Kuota Pencalonan 120 Persen

Partai Politik Lokal pada Pemilu 2019

Motive of Local Actors in Nominating Quota of 120 Percent of

Local Political Parties in the 2019 Election

Nurlaina, Muryanto Amin*

& Warjio

Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Diterima: 15 Desember 2020; Direview: 15 Desember 2020; Dipublish: 10 Mei 2021

Abstrak

Penelitian ini menjelaskan perubahan kuota pencalonan anggota DPRD tingkat Provinsi (DPRA) dan DPRD tingkat kabupaten/kota (DPRK) untuk partai politik lokal pada Pemilu 2019 di Provinsi Aceh dari kuota 100 persen menjadi 120 persen berdasarkan jumlah kursi yang telah ditetapkan pada setiap Dapil, karena ketentuan UUPA yang diatur dalam Qanun Aceh yang berbeda dari ketentuan nasional. Perubahan kuota tersebut tidak terlepas dari pengaruh permintaan yang dilakukan oleh anggota DPRA yang merupakan kader salah satu partai politik lokal. Sebagai aktor politik di aras lokal, permintaan tersebut dilator belakangi berbagai motif. Untuk menganalisis motif, peneliti melihat dari alasan aktor lokal meminta perubahan kuota pencalonan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara, observasi dan data pustaka, kemudian data yang sudah diperoleh dianalisis secara konten. Temuan penelitian menunjukkan bahwa aktor menggunakan model integratif untuk mendapatkan perlakuan khusus bagi partai politik lokal pada pemilu 2019, tindakan aktor dalam pencapaian preferensi, interaksi antar lembaga dan intrumen atau aturan lembaga ditemukan bahwa selain sebagai upaya mempertahankan kekhususan Aceh, permintaanpemberlakuan kuota 120 persen untuk partai politik lokal juga dilatar belakangi oleh motif kepentingan aktor dan kelompoknya yaitu menjadi caleg incumben dan menampung banyak bakal calon anggota DPRA dan DPRK dari Partai Aceh.

Kata Kunci: Motif; Kuota Caleg; Partai Lokal.

Abstract

This research explains the change in the nomination quota for members of the Provincial DPRD (DPRA) and Regency / City DPRD (DPRK) members for local political parties in the 2019 Election in Aceh Province from a quota of 100 percent to 120 percent based on the number of seats that have been assigned to each electoral district, because the provisions of the LoGA stipulated in the Aceh Qanun are different from the national provisions. The change in the quota cannot be separated from the influence of requests made by DPRA members who are cadres of one of the local political parties. As a political actor at the local level, this request is supported by various motives. To analyze motives, the researchers looked at the reasons local actors asked for changes in nomination quotas. This research is a type of qualitative research by collecting data through interviews, observation and library data, then the data that has been obtained is analyzed by content. Research findings show that actors use an integrative model to get special treatment for local political parties in the 2019 elections, actor actions in achieving preferences, interactions between institutions and instruments or institutional rules, it is found that apart from maintaining the specificity of Aceh, the request for a 120 percent quota for political parties is found. The local background is also motivated by the motive of the interests of actors and their groups, namely becoming incumbent candidates and accommodating many candidates for DPRA and DPRK candidates from the Aceh Party.

Keywords: Motive; Legislative Quota; Local Party.

How to Cite: Nurlaina, Amin, M. & Warjio, (2021). Motif Aktor Lokal dalam Kuota Pencalonan 120

Persen Partai Politik Lokal pada Pemilu 2019. PERSPEKTIF, 10(2): 441-449

*Corresponding author:

(2)

PENDAHULUAN

Aceh memiliki catatan sejarah tersendiri dalam perjalanan perjuangan politik demokrasi di Indonesia dengan sejarah konflik bersenjata yang berkepanjangan, menjadikan Aceh kerap disebut daerah spesial dengan pengaturan khusus. Sejak tumbangnya Orde Baru, setidaknya sudah terbit 3 (tiga) Undang-undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Aceh, yakni pada tahun 1999 melalui Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, seterusnya berlaku Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian dicabut pasca ditandatanganinya MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanggal 15 Agustus 2005 setelah melewati negosiasi panjang yang kemudian sebagai cikal bakal lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Berlakunya UUPA menandai babak baru tata kelola pemerintahan sebagai sebuah upaya rehabilitasi Aceh yang jauh tertinggal dari daerah lainnya. Undang-undang tersebut menjadi lex specialist yang diberikan kewenangan di berbagai sektor pengelolaan pemerintahan di Aceh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, tanpa kecuali terhadap pengaturan tata cara demokrasi memilih pemimpin dan memilih wakil rakyat ditingkat provinsi dan kabupaten/kota (Rasida, 2016). Perbedaan terlihat dari aturan pelaksanaan yang digunakan oleh penyelenggara tidak hanya mengacu pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tetapi juga merujuk pada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang diatur lebih lanjut dalam sejenis peraturan daerah yang disebut Qanun. Hal ini berdampak pada istilah yang digunakan untuk penyelenggara pemilu di Aceh disebut Komisi Independen Pemilihan (KIP).

Ragam lain dari UUPA yaitu hadirnya partai politik lokal sebagai sebuah saluran demokrasi bagi kelompok mantan kombantan untuk ikut berpartisipasi secara politik di Aceh, partai politik lokal diberikan hak dalam pemilu hanya pada tingkatan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) (Amirulkamar, 2019). Sedangkan untuk level DPR RI hanya boleh diikuti oleh partai politik

nasional (Kadir, 2013; Pasaribu, 2017; Ekawati, 2019). Kemenangan partai politik lokal dalam pemilu melahirkan tokoh-tokoh yang menguasai ranah lokal dan menjadi aktor dalam berbagai formulasi kebijakan di Aceh. Menurut Nordholt dan Klinken, akumulasi kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai dengan mekanisme demokrasi yang ditetapkan (Nordholt, 2007).

Pemilu 2019 yang diikuti oleh 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal yaitu Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Daerah Aceh dan Partai Nanggroe Aceh menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pelaksanaan tahapan pencalonan di Aceh. hal ini terjadi karena adanya pembedaan antara kewenangan yang dimiliki oleh partai politik nasional dengan partai politik lokal dalam hal pengajuan bakal calon anggota legislatif. Dalam pelaksanaannya, partai politik lokal diberikan kewenangan untuk mengajukan bakal calon sebanyak 120 persen dari total alokasi kursi yang tersedia pada tiap daerah pemilihan, sedangkan partai politik nasional peserta pemilu di Aceh hanya diperbolehkan mengajukan sebanyak 100 persen. Pada Pemilu 2019, Permasalahan kuota pencalonan legislatif muncul dengan berlakunya pasal 244 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 243 memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan”. Ketentuan ini diperjelas dengan Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 dan surat KPU perihal syarat calon anggota DPRA dan DPRK di Aceh yang ditujukan kepada ketua KIP Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Aceh (Surat KPU Nomor: 608/PL.01.4-SD/06/KPU/VI/2018).

Aturan kuota pencalonan 100 persen memicu respons dari aktor lokal di Aceh, actor lokal disini adalah anggota legislatif yang mendominasi DPRA dan pihak-pihak yang menginginkan kuota 120 persen yaitu pimpinan partai politik lokal dan calon legislatif. Maraknya pemberitaan terkait protes akan kuota pencalonan memantik DPRA untuk mengembalikan ruh Qanun Aceh dalam kewenangan pengajuan calon bagi partai politik peserta pemilu di Aceh layaknya pemilu 2009 dan 2014. Melalui surat nomor 160/1506 tanggal 2 Juli 2018 DPRA menyurati KPU

(3)

Perihal Pendapat DPRA tentang Kuota Caleg DPRA/DPRK di Provinsi Aceh, pada pokoknya meminta penjelasan mengenai pengajuan bakal calon Anggota DPRA dan DPRK untuk partai politik lokal. Selain itu Ketua DPRA juga meminta KPU RI mencabut dan membatalkan surat keputusan yang mengatur kuota pencalonan legislatif 100 persen, yang disampaikan langsung ke komisioner KPU di Jakarta (Serambinews.com., 2018). Menanggapi hal tersebut, KPU menerbitkan surat yang yang ditujukan kepada DPRA yang intinya menyetujui pendapat DPRA dan menjelaskan bahwa partai politik lokal dapat memuat jumlah bakal calon paling banyak 120 persen pada setiap daerah pemilihan yang ditetapkan oleh KPU. Lebih lanjut KIP Aceh menerbitkan Keputusan Nomor: 21/PL.01.4-Kpt/11/Prov/VII/2018 tanggal 28 Juli 2018 tentang Petunjuk Teknis Penambahan Pengajuan 120% bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dari Partai politik lokal Peserta Pemilihan Umum tahun 2019.

Kuota 120 persen menuai protes dari politisi partai politik nasional di Aceh, kuota yang berbeda dianggap tidak adil karena pada pemilu legislatif sebelumnya yaitu tahun 2009 dan 2014, partai politik nasional juga berhak mengajukan kuota yang sama dengan partai politik lokal. Sejumlah partai politik nasional menganggap perlakuan ini menciderai demokrasi serta berdampak pada lebih besarnya peluang bagi partai politik lokal dalam meraup suara pemilih. Akibat perubahan kuota juga berdampak pada ketua KPU RI diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh salah satu calon legislatif DPRA dari partai politik nasional (PDI Perjuangan). Dasar dan alasan Pengaduan bermula dari terbitnya Surat KPU mengenai jumlah pengajuan calon. DKPP menyatakan terdapat sikap inkonsistensi Ketua KPU RI dalam menetapkan Jumlah bakal calon anggota DPRA dan DPRK di Provinsi Aceh (Keputusan DKPP Nomor: 227/DKPP-PKE-VII/2018). Dikarenakan sebelumnya KPU RI juga telah mengeluarkan surat dengan perihal yang sama. Lebih lanjut DKPP juga menganggap ketua KPU RI Sebagai penyelenggara yang profesional seharusnya dapat mengelola sistem regulasi administrasi kepemiluan yang lebih konsisten dan dapat menjalankannya dengan cermat

berdasarkan aturan, baik itu yang bersifat umum maupun yang khusus tentang Pengajuan Bakal Calon Anggota DPRA dan DPRK di Provinsi Aceh. Meskipun terjadi polemik perubahan kuota pencalonan, namun tahapan pengajuan bakal calon oleh partai politik peserta Pemilu 2019 di Aceh tetap berlangsung dengan formulasi yang berbeda untuk daftar calon partai politik lokal lebih banyak dari partai politik nasional, setelah melalui tahap verifikasi yang dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh atau KIP Kabupaten/Kota seterusnya ditetapkan dalam Daftar Calon Sementara Anggota DPRA dan DPRK pada pemilu 2019.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjawab bagaimana motif para aktor lokal mempengaruhi aturan pemilu tentang kuota pencalonan yang berlaku untuk semua partai politik di Indonesia untuk diubah menjadi aturan yang memberikan formasi lebih besar bagi partai politik lokal di Aceh. Dengan jenis penelitian ini penulis juga dapat memperoleh informasi lebih detail secara langsung dengan menggali berbagai alasan-alasan aktor meminta perubahan ketentuan dalam kuota pencalonan anggota DPRA dan DPRK pada pemilu 2019 dari hasil wawancara dan observasi dengan informan dalam penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu:

Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan karena penelitian ini akan menggali berbagai macam alasan aktor lokal menginginkan kuota pencalonan 120 persen. Dalam proses wawancara dilakukan face-to-face interview (Creswell, 2014). Dengan pendekatan semi terstruktur sehingga peneliti dapat melakukan observasi dengan cara memperhatikan mimik wajah informan, respons informan saat ditanya, dan keadaan informan sebelum dan setelah melakukan wawancara untuk mendapatkan kedalaman penggalian informasi. Untuk mendapatkan informasi yang spesifik dan akurat, maka kelompok informan dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan penetapan kuota caleg 120 persen di Aceh yang digolongkan dalam informan kunci

(4)

yaitu individu dalam instansi yang terlibat dalam perubahan kebijakan kuota pencalonan yaitu DPRA, KIP Aceh, dan KPU RI, informan yang diwawancarai adalah ketua ataupun anggota. Kedua, informan yang terlibat secara tidak langsung dalam proses perubahan aturan kuota pencalonan, yaitu pihak yang membantu dan yang menentang proses kuota caleg 120 persen digolongkan sebagai informan utama. Sedangkan yang ketiga adalah informan tambahan merupakan pihak yang dapat memberikan keterangan, baik itu pendapat, pandangan, atau komentar terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan kuota caleg 120 persen untuk partai politik lokal pada pemilu 2019 di Provinsi Aceh yaitu Tim Perumus UUPA, akademisi, pengamat politik dan tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh paling luas dalam kegiatan politik lokal.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah: 1) Iskandar Usman Al-Farlaky: Anggota Komisi I DPRA Periode 2014-2019, dan periode 2019-sekarang dari Partai Aceh, yang menyurati dan menemui KPU RI terkait kuota 120 persen dalam pencalonan Anggota DPRA dan DPRK di Aceh; 2) Azhari: Ketua Komisi I DPRA Periode 2014-2019 dari Partai Aceh, yang menyurati dan menemui KPU RI terkait kuota 120 persen dalam pencalonan Anggota DPRA dan DPRK di Aceh.

Informan Utama dalam penelitian ini adalah: 1) Munawarsyah: Anggota KIP Aceh Periode 2018-2023 Devisi Pencalonan, bertanggung jawab dalam pelaksanaan tahapan pencalonan; 2) Ilham Saputra: Anggota KPU RI Periode 2017-2022, mengetahui kronologis pertemuan Anggota Komisi I DPRA dengan KPU RI terkait perubahan kuota pencalonan 120 persen; 3) Syukri Rahmat: Sekretaris Golkar/Caleg, Juru bicara partai politik nasional tentang penolakan kuota 120%. 4) Jamaluddin T. Muku: Anggota DPRA Komisi I periode 2014-2019 dari partai politik nasional; 5) Muhibussabri: Ketua Partai PD-Aceh, anggota DPRA periode 2014-2019. Informan Tambahan dalam penelitian ini adalah: Amrizal J. Prang: Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, tim perumus UUPA dan konsentrasi penelitian tentang kekhususan Aceh.

Data Sekunder yang penulis kumpulkan berupa dokumen Undang-undang, UUPA, Qanun yang berkaitan dengan pemilu. Data lainnya yaitu PKPU, Keputusan KPU, Keputusan KIP Aceh, surat-surat yang terkait dengan

tahapan pencalonan legislatif, dan informasi dari berbagai media cetak dan media elektronik, serta hasil studi dari berbagai literatur dan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian.

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis konten, yang di analisis berdasarkan isi pembicaraan individu-individu yang secara langsung terlibat dalam proses permintaan kuota pencalonan 120 persen. Menurut Nawawi dan Hadari, Manusia dikatagorikan sebagai sumber informasi (Hadari, 2006). Maka informasi yang diberikan oleh narasumber/individu yang terlibat berdasarkan fakta dan peristiwa yang terjadi di lapangan menjadi tambahan informasi yang dapat dianalisis dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Motif Kekhasan Aceh

Jika melihat rujukan pembahasan sebelumnya ditemukan bahwa pilihan aktor memperjuangkan perubahan kuota pencalonan dari 100 persen menjadi 120 persen adalah untuk mengembalikan perlakuan khusus bagi partai politik local sebagaimana diatur dalam UUPA dan Qanun pada pencalonan anggota DPRA dan DPRK Pemilu 2019. Temuan ini mengingatkan tentang tulisan Warjio (Warjio, 2016) bahwa dorongan aktor untuk mendapat kuota 120 persen bagi partai politik lokal didasari oleh aturan khusus untuk Aceh dengan adanya UUPA beserta turunannya Qanun Aceh yang harus diakui dan dihargai sebagai suatu identitas kedaerahan. Permintaan kuota 120 persen hanya untuk partai politik lokal sangatlah berasalasan, karena partai politik lokal merupakan klausul yang disepakati dalam MoU Helsinky yang ditegaskan dalam UUPA. Salah satu tokoh GAM Zaini Abdullah mengatakan bahwa pembentukan partai politik local merupakan hak politik GAM dan hak dasar warga Aceh yang termarjinalkan pada masa konflik, keberadaan partai politik lokal sebagai kompensasi akibat konflik yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Oleh karenanya partai politik lokal diharapkan mampu menjadi oase ditengah gurundan menjadi alternatif pilihan demokrasi di negara kesatuan. Pengaturan partai politik lokal dalam regulasi pemerintah pusat dan regulasi pemerintah daerah menunjukkan eksistensi

(5)

partai politik lokal dalam tata hukum Indonesia (Ansari, 2017).

Ketentuan parliamentarythreshold untuk partai politik lokal yang harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% dari total jumlah kursi DPRA atau DPRK yang tersebar minimal di 4 kabupaten/kota di Aceh, menjadi persyaratan berat bagi partai politik lokal untuk bertahan dalam pemilu, terbukti pada awal pertarungan pemilu 2009 yang diikuti oleh 6 (enam)partai politik lokal hanya menyisakan 3 (tiga) partai yang lulus seleksi untuk mengikuti pemilu 2014 dan 4 (empat) partai pada pemilu 2019. Dari sekian banyak partai politik lokal yang mengikuti pemilu, hanya Partai Aceh yang menjadi satu-satunya partai yang mampu mempertahankan eksistensi dalam tiga periode pemilu, sedangkan partai politik lokal lainnya harus ‘berganti baju’ untuk mengikuti pemilu kembali. Melihat hasil perolehan kursi Partai Aceh yang terus merosot di setiap pemilu legislatif,tidak menutup kemungkinan partai yang dibentuk mantan GAM ini suatu saat ‘gulung tikar’ dan mengalami nasib yang sama. Pertanyaannya, jika tidak ada partai politik lokal yang mampu memenuhi

parliamentarythreshold sedangkan ruang

lingkup berkompetisi hanya di Aceh, kemanakah mantan kombantan GAM memperjuangkan kepentingan politiknya. Akankah timbul gelolak baru di Aceh atau terulangnya konflik kembali. Tindakan aktor meminta pemberlakuan kuota pencalonan 120 persen bagi partai politik lokal sesuai dengan model integrasi dalam affirmative action yang mengupayakan promosi kelompok-kelompok yang inklusif untuk menjadi prasyarat demokrasi, integrasi, dan pluralisme, serta digunakan sebagai upaya kesetaraan atas dasar pengklasifikasian identitas yaitu ras, gender, etnisitas, orientasi seksual, dan sebagainya (Lihat Anderson, 2002). Terori yang ditawarkan ES Anderso ini bermakna dimana model ini digunakan oleh anggota kelompok yang kurang terwakili di masa lalu menjadi agen integrasi untuk membangun masa depan lebih baik bagi mantan kombantan dan masyarakat Aceh korban konflik, hal ini terdeteksi dalam upaya aktor mendapatkan perlakuan khusus hanya untuk partai politik lokal, aktor dianggap sebagai agen dimana kuota pencalonan 120 persen dijadikan salah satu cara menghilangkan hambatan untuk mengikuti pemilu 2019.

Dalam keikutsertaannya sebagai peserta pemilu, partai politik lokal dan partai politik nasional diberikan hak yang sama oleh negara untuk mengirimkan kadernya menduduki parlemen ditingkat lokal. Namun ketentuan kuota 120 persen yang telah dituangkan secara resmi dalam Qanun Aceh menjadi hak khusus yang melekat pada partai politik lokal sejauh ketentuan tersebut belum direvisi atau dicabut. Ketentuan yang dianggap telah berlaku khusus untuk Aceh, menuai reaksi keras ketika tidak diakomodir oleh penyelenggara pemilu, sehingga sangatlah wajar apabila kader Partai Aceh yang juga mantan GAM bereaksi cepat meminta pengembalian pemberlakuan kuota 120 persen dalam pemilu legislatif 2019. Usaha permintaan kuota pencalonan oleh kader Partai Aceh di DPRA adalah bagian dari ikhtiar politik untuk menegur pemerintah pusat melalui KPU RI agar menjalankan kebijakan afirmasi sebagaimana cita-cita perdamaian. Hal ini dilakukan agar partai politik lokal mempunyai keistimewaan yang diberikan oleh negara dapat bersaing dengan partai politik nasional dalam pemilu.

Hasil wawancara menjelaskan adanya benih-benih potensi konflik yang terjadi apabila KPU tidak mengakomodir permintaan aktor lokal yaitu upaya jalur hukum yang akan ditempuh oleh aktor untuk memperjuangkan kewenangan Aceh yang telah diberikan melalui UUPA dan Qanun Aceh yang berimbas pada berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah pusat yang telah mengabaikan perjanjian damai dengan pihak GAM yang teranulir dalam ketentuan khusus untuk partai politik lokal. Dalam salah satu wawancara disebutkan jika kekhususan Aceh semakin terabaikan dan lambat laun menghilang, maka tidak ada yang tersisa dari MoU Helsinki yang patut untuk dipertahankan dalam perdamaian Aceh. Sehingga permintaan kuota 120 persen menjadi salah satu bentuk upaya menimalisir terjadinya benih-benih gejolak yang berpotensi terjadi saat pemilu dan pengembalian kekhususan Aceh menjadi hal yang mutlak harus dikabulkan oleh KPU dan dipertahankan di Aceh, dimana penegasan pemerintah pusat terhadap Aceh sebagai daerah khusus dan istimewa yang memiliki hubungan asimetris dengan Pemerintah Indonesia, seterusnya perwujudan partisipasi politik seluas-luasnya bagi Rakyat Aceh dalam demokrasi langsung

(6)

yang mengakomodir kepentingan dari semua kelompok di Aceh.

Dalam hal ini, terjadinya pertarungan antara kebijakan nasional versus isu lokal yang terjadi pada pencalonan pemilu legislatif di Aceh, akhirnya memenangkan isu lokal dengan alasan kekhususan dan afirmasi. Sehingga kekhawatiran akan terganggunya stabilitas politik dan keberlangsungan perdamaian di Aceh dapat dihindari. Kuota 120 persen yang menjadi kebijakan afirmasi yang diberikan kepada partai politik lokal bukan hanya dianggap sebagai sebuah aspirasi partai, namun dipandang sebagai keseriusan sikap pemerintah pusat melalui lembaga penyelenggara pemilu terhadap keberlangsungan perdamaian di Aceh dalam bingkai kekhususan. Sehingga kuota 120 persen menjadi pilihan yang rasional bagi aktor dan penyelenggara pemilu untuk menetapkan perubahan kuota pencalonan khusus bagi partai politik lokal pada Pemilu 2019.

Analisis Motif Kepentingan Partai

Keterlibatan aktor yang merupakan anggota komisi I DPRA memperjuangkan perubahan kuota pencalonan anggota DPRA dan DPRK pada pemilu 2019 ke KPU RI juga merupakan amanah dari partai. Keberhasilan Partai Aceh pada dua periode pemilu mengantarkan eksistensinya menguasai jabatan-jabatan publik yang memberikan kontribusi terhadap proses negosiasi. Dengan dukungan partai dan kewenangan DPRA yang dimiliki, tawar menawar aktor semakin kuat dengan penyelenggara pemilu. Berdasarkan teori institusionalisme pilihan rasional Hall & Taylor menegaskan bahwa aktor dalam lembaga berperan dan merespon perubahan-perubahan yang menuntut peran mereka. Keberadaan partai politik lokal bukan sesuatu yang baru di Indonesia, kehadiran partai politik lokal dapat mendorong proses demokratisasi internal partai politik (AW, 2009).

Pimpinan Partai Aceh berusaha mendapatkan kuota 120 persen dengan berbagai instrument yang dimilikinya diantaranya menginstruksikan kadernya di DPRA sebagai lembaga yang masih dikuasainya (paska kekalahan dalam Pilkada 2017) untuk melobi dan menjalin hubungan negosiasi dengan KPU RI sebagai penyelenggara pemilu agar memperhatikan kekhususan Aceh. Jargon kekhususan Aceh itu kemudian dijadikan aktor

sebagai live service untuk diketahui oleh masyarakat Aceh bahwa hanya ‘Partai Aceh-lah’ yang gigih berjuang mempertahankan kekhususan yang telah diberikan Indonesia melalui UUPA. Padahal mesin politik mereka sedang bekerja maksimal untuk kepentingan Pemilu 2019. Salah satu cara adalah mendapatkan kekhususan mengajukan calon lebih banyak dari partai politik nasional.

Tindakan yang dilakukan oleh aktor terbukti berhasil, berkat menjaga isu kekhususan Aceh yang harus diperjuangkan, aktor mampu membangun komunikasi yang intern dengan penyelenggara pemilu, mendapat dukungan KIP Aceh untuk mengusulkan pendapat mengenai kuota pencalonan DPRA dan DPRK kepada KPU RI dan fasilitasi pertemuan dengan komisioner KPU di Jakarta. Dukungan lain terlihat dari keikutsertaan Kepala Biro Hukum mewakili Pemerintah Aceh sebagai tokoh intelektual yang mampu meyakinkan KPU tentang keberadaan UUPA dan Qanun Aceh. seperti yang dikatakan dalam wawancara bahwa tindakan aktor secara maksimal membuahkan pencapaian sesuai harapan, sekalipun menuai protes oleh pimpinan partai politik nasional, hingga KPU RI diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), akan tetapi tidak menghambat proses pencalonan partai politik lokal khusus mendapatkan kuota 120 persen.

Kerja keras aktor dalam memperjuangkan kuota pencalonan 120 persen dalam pemilu 2019 dapat diindikasikan sebagai suatu keresahan Partai Aceh akan ketidak setujuan KPU dalam pemberlakuan kuota 120 persen. Keresahan ini beralasan dikarenakan daftar bakal calon legislatif hingga 120 persen telah diseleksi dan dipersiapkan oleh Partai Aceh. Apabila kemungkinan KPU tidak menyetujui kuota 120 persen, maka Partai Aceh harus mengurangi daftar bakal calon legislatif menjadi 100 persen dari jumlah kursi di setiap Dapil dan mengeliminasi 20 persen berkas bakal calon yang akan diajukan pimpinan partai ke KIP. Kondisi ini akan menimbulkan kegaduhan baru yang berpotensi terjadinya konflik internal yang tidak terelakkan dalam tubuh Partai Aceh disebabkan banyaknya kader dan simpatisan Partai Aceh yang berminatmenjadi calon legislatif.

(7)

Situasi ini menunjukkan bahwa kepentingan partai politik lokal dalam keikut sertaannya pada pemilu legislatif periode ketiga tahun 2019 ini mengandalkan aktor di lembaga DPRA dengan memanfaatkan kewenangan DPRA. Potensi yang terdapat di Komisi I DPRA sukses dioptimalkan oleh Partai Aceh dengan cara memberikan peran kepada anggotanya yang dominan, mempengaruhi kebijakan KPU serta menggiring isu melalui pemberitaan media agar kekhususan Aceh yang diberikan oleh Republik Indonesia dapat dipertahankan, sekalipun terselubung kepentingan Partai Aceh dalam pencalonan pemilu 2019. Upaya yang dilakukan actor lokal akhirnya membuahkan hasil keputusan KPU yang mengakomodir permintaan aktor yaitu KIP Provinsi dan KIP Kabupaten/Kota di Aceh menerima berkas pendaftaran calon terhadap partai politik lokal sebanyak-banyaknya 120 persendari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan ditandai dengan banyaknya jumlah calon dari partai politik lokal yang terlihat di Daftar Calon Tetap, Dari Data Calon Tetap yang dipublikasikan KPU menunjukkan bahwa Partai Aceh mendaftarkan calon paling banyak pada pemilu legislatif 2019. Dari situasi ini terlihat fenomena yang disebut oleh (Hall, 1996) dalam teori Rasional Choice Institusionalisme bahwa upaya mendapatkan kuota pencalonan 120 persen memberi keuntungan sebagian pihak saja yakni partai politik lokal dalam hal ini Partai Aceh.

Analisis Motif Kepentingan Aktor

Berita mengenai kuota 100 persen yang dimuat di media pada masa tahapan pencalonan dihiasi oleh opini dari politisi dan tokoh lokal yang berlomba-lomba memberikan argumen mengenai kuota pencalonan di Aceh. Pemberitaan yang mengandung unsur ketidak keseimbangan diantara peserta pemilu dimana sebagian besar berita dikuasai oleh sekelompok partai dan juga bakal calon anggota legislatif yang berlaga di pemilu 2019. Sehingga opini tentang penolakan kuota pencalonan akhirnya tidak diperbolehkan berpolemik dimedia. Diantara pemberitaan tersebut, pernyataan aktor terlihat dimuat berulangkali, bahkan setelah persetujuan KPU terhadap kuota 120 persen. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai curi start kampanye sebelum jadwalnya sebagai upya meningkatkan popularitas di media.

Rekam jejak aktor menunjukkan bahwa aktor adalah politisi yang berpengaruh terhadap pemetaan isu yang kursial di Aceh dan memiliki kekuatan negosiasi yang mapan sehingga intruksi Partai Aceh kepada kedua aktor tersebut untuk memperjuangkan kuota 120 persen telah membuahkan hasil. Dalam hitungan 14 hari dari terbitnya surat KPU mengenai kuota pencalonan 100 persen tanggal 25 juni 2018 aktor memaksimalkan stateginya dengan penggiringan isu di media, penggalangan dukungan DPRA, mengintruksikan KIP Aceh, bekerjasama dengan pemerintah Aceh dan menjalin interaksi yang kondusif dengan komisioner KPU RI. Tepat pada hari ke enam masa pendaftaran bakal calon tanggal 9 Juli 2018 aktor berhasil menunjukkan hasil kinerjanya.

Penetapan Daftar Calon Tetap yang dipublikasikan KIP Aceh pada tahun 2018 ditemukan adanya nama aktor dalam daftar calon anggota legislatif tahun 2019. Cagee mendapat restu menjadi calon legislatif DPR RI melalui Partai Bulan Bintang, sementara Iskandar berkesempatan kembali menjadi calon legislatif DPRA melalui Partai Aceh dengan perolehan nomor urut 6 di dapil 6. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan aktor mengembalikan kewenangan partai politik lokal memberikan kontribusi langsung bagi kepentingan aktor. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perjuangan aktor dalam mewujudkan perubahan kuota pencalonan bagi partai politik lokal menjadi 120 persen juga dilatarbelakangi oleh motif aktor untuk kepentingan Pemilu 2019

Analisis Implementasi Perubahan Kuota Pencalonan 100 Persen Menjadi 120 Persen

Terjadinya perubahan kuota pencalonan anggota DPRA dan DPRK pada pemilu 2019 sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor lokal di Aceh, mereka terorganisir dan memiliki simbol kultural lokal yang berada pada panggung politik di Aceh. Berbekal jabatan politik di parlemen lokal, mereka menjelma menjadi kekuatan baru mempengaruhi kebijakan pelaksanaan tahapan Pemilu di Aceh. Fakta membuktikan bahwa setelah penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang merupakan simbol dari perdamaian akibat konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang disepakati pada tanggal

(8)

15 Agustus 2005 di Helsinki, dinamika politik di Aceh memasuki era baru dengan munculnya aktor-aktor lokal yang memainkan peran di pentas politik. Partai politik lokal yang dibentuk dengan semangat lokal ditambah euphoria perdamaian bermetamorfosa menjadi kekuatan baru dalam memenangkan pilihan rakyat Aceh, sehinggaberhasil menguasai institusi pemerintahan lokal seperti DPRK, DPRA dan menjadi kepala daerah serta menguasai jabatan publik lainnya. Partai politik lokal tidak hanya dipandang sebagai sebuah aksesoris demokrasi, namun juga berfungsi menjaga dan mempertahankan perdamaian di Aceh.

Eksistensi aktor yang tadinya dibatasi oleh situasi konflik di Aceh, sekarang berpindah orientasi demi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan politik. Perdamaian membuka jalan bagi aktor lokal untuk terlibat secara aktif di berbagai sektor termasuk di lembaga pemerintahan lokal. Mereka memetakan berbagai isu-isu yang berkembang di daerah, umumnya yang menjadi perhatian terutama isu-isu politik yang sering berhubungan dengan kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Kehadiran mereka memberikan kontribusi terhadap perubahan-perubahan iklim politik, terutama dalam perawatan perdamaian yang dicita-citakan masyarakat Aceh sehingga mendapat tempat di hati masyarakat dan mampu mempertahankan kepopulerannya.

Kuota 120 persen pada pemilu 2019 tidak akan terwujud tanpa perjuangan dari aktor lokal yang terus menerus berupaya mendistribusikan pengaruhnya baik di media maupun ruang publik lainnya terhadap penyelenggara pemilu dan politisi partai. Tindakan aktor terlihat sangat mahir dalam mengumpulkan dukungan dari berbagai pihak, hal ini tidak terlepas dari track record aktor yang sangat berpengalaman memetakan isu kewenangan Aceh dalam lobi politik disamping sebagian mereka merupakan mantan kombatan yang dahulunya terlibat aktif dalam pusaran konflik di Aceh.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa keberhasilan aktor memainkan peran di DPRA juga dipengaruhi oleh kekuatan koordinasi yang dimiliki pimpinan Partai Aceh, melalui Fraksi Partai Aceh di DPRA mempercayakan aktor untuk memperjuangkan pemberlakuan kuota 120 persen untuk partai

politik lokal, dan mengintruksikan politisi Partai Aceh lainnya agar mendukung usaha aktor melalui penggiringan isu di media massa lokal dan mengkomunikasikasikan kepihak penyelenggara untuk bersikeras mengajukan bakal calon dengan kuota 120 persen. Partai dengan pemilih terbanyak ini jelas mempunyai kekuatan politik untuk mempengaruhi kebijakan pelaksanaan pemilu di Aceh. Tuntutan aktor ini semakin kuat dengan memobilisasi dukungan dari anggota legislatif dan politisi Partai Aceh di kabupaten/kota.

SIMPULAN

Regulasi pencalonan anggota DPRA dan DPRK yang tidak mengakomodir aturan khusus yang berlaku di Aceh memancing legislator DPRA menjadi aktor lokal dalam permintaan perubahan kuota pencalonan ke KPU RI. Sebagai legislator yang diusung oleh Partai Aceh, Tindakan para aktor lokal yang bernegosiasi dengan KPU RI bukan hanya atas rekomendasi DPRA sebagaimana diberlakukan pada pemilu 2014, akan tetapi juga merupakan intruksi partai pengusungnya. Adanya perbedaan preferensi diantara anggota DPRA menyebabkan aktor memaksimalkan utilitasnya dilembaga DPRA untuk mempengaruhi perubahan keputusan KPU dengan pertimbangan untung rugi aktor dan kelompoknya. Permintaan kuota pencalonan 120 persen tidak hanya semata-mata sebagai upaya mempertahankan kekhususan Aceh dengan adanya UUPA dan Qanun Aceh, namun juga mengandung motif politik aktor, aktor yang gigih memperjuangkan kuota 120 persen tersebut disebabkan karena diantara mereka merupakan calon incumbent dalam daftar calon legislatif yang diajukan oleh partai. Sehingga pemberlakuan kuota 120 persen memenuhi kepentingan aktor untuk mendapatkan nomor urut dalam daftar bakal calon anggota DPRA yang akan diajukan oleh pimpinan partai politik ke KIP Aceh. Kepentingan partai juga merupakan salah satu motif yang teridentifikasi dalam penelitian ini yaitu banyaknya kader dan simpatisan partai yang berminat mencalonkan diri dari Partai Aceh sehingga pilihan kuota 120 persen merupakan ikhtiar Partai Aceh untuk mengakomodir keinginan tersebut dan jumlah daftar calon legislatif dapat tertampung secara maksimal dan ditetapkan oleh KIP dalam Daftar

(9)

Calon Tetap anggota DPRA dan DPRK di seluruh kabupaten/ kota dan Provinsi di Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

Amirulkamar, I. (2019). The Domination of the Local Party of Aceh Parliament in Responding the Aspiration of Community. Aceh: Universitas Iskandar Muda . BIRCI-Journal , 2 (2).

Anderson, E. S. 2002. Integration, affirmative action, and strict scrutiny. NYU Law Review. Vol.77, 1195

Ansari, M.I., (2017). Partai Politik Lokal dalam Tata Hukum Indonesia. Tanjungpura Law Journal, Vol. 1, Issue 2.

Creswell, J. W. (2014). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (edisi ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ekawati, E. (2019) Peta Koalisi Partai Politik di Indonesia pada Pemilihan Presiden Era Reformasi. JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA (Journal of Governance and Political Social UMA), 7 (2): 162-174

Hadari, N. d. (2006). Intrumen penelitian bidang sosial. Yogyakarta.

Hall, P. A. (1996). Political Science and the Three New Institutionalisms. Germany: MPIFG Discussion Paper.

Henk Schutle Nordholt, G. v.-H. (2007). Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kadir, A., (2013). Peranan Partai Politik dalam Menanggulangi Golongan Putih (Golput) pada Pemilihan Legislatif 2009, JPPUMA: Jurnal

Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA (Journal of Governance and Political UMA), 1 (1): 65-75.

Muhammad Jafar. AW. (2009). Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Semarang: Universitas Diponegoro.

Pasaribu, P., (2017). Peranan Partai Politik dalam Melaksanakan Pendidikan Politik. JPPUMA: JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA (Journal of Governance and Political UMA), 5 (1): 51-59

Rasida, A. (2016). Partai Politik Lokal Aceh dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Varia Justicia , 12 (1).

Warjio. (2016). Politik Pembangunan: Paradoks, Teori, Aktor, dan Ideologi. Jakarta: Kencana.

Peraturan Hukum

Keputusan KPU RI Nomor: 876/PL.014-Kpt/06/KPU/VII/2018 tanggal 6 juli 2018 Tentang Pedoman Teknis Pengajuan Dan Verifikasi Anggota Legislatif.

Putusan DKPP No 227/DKPP-PKE-VII/2018 Tentang Putusan Pelanggaran Kode Etik Arief Budiman

Website

Serambinews.com. (2018, Juli 2018). https://aceh.tribunnews.com. Retrieved Juni 26, 2019, from https://aceh.tribunnews.com/2018/07/04/ dpra-minta-kpu-cabut-surat-keputusan-kuota-caleg-100:

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan kinerja mereka juga merupakan wujud dari stigma masyarakat yang memandang bahwa penyandang tuna rungu akan menghambat proses dalam bekerja.Karena asumsi inilah

Pada saat sebuah motor dilakukan perawatan keadaan cincin-cincin pelumas harus diperhatikan, sebab bila terjadi kebocoran akan menyebabkan bahan pelumas lolos

Metoda Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) digunakan untuk mengekstraksi faktor. Pengumpulan data opini responden, tabulasi data dan analisa

Perbandingan konsentrasi nitrat tereduksi, nitrit terakumulasi, amonium dan estimasi gas N 2 O yang dihasilkan dari setiap isolat pada kondisi saturasi udara berbeda setelah

Pada aktifitas pengecekan dan pengolahan nilai siswa ini terdapat 3 macam, yang pertama yaitu user super admin dalam hal ini staf administrasi yang nantinya membuat account

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa terdapat hubungan positif antara pelaksanaan supervisi kepala sekolah dengan profesional guru ekonomi SMA Negeri di Wilayah Jakarta

Bahwa variabel physical evidence dan gaya hidup memiliki pengaruh secara parsial terhadap loyalitas pelanggan pada Chanel Distro Di Tenggarong.. Bahwa variabel