• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komodifikasi esetetika tubuh perempuan d (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komodifikasi esetetika tubuh perempuan d (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KOMODIFIKASI ESTETIKA TUBUH PEREMPUAN DALAM IKLAN Ditinjau dari Perspektif Komodifikasi Estetika Theodor Adorno

Disusun Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Teori Kritis

Habiibati Bestari

Abstrak

Aesthetic is not only about beautiful or visually pleasure. Aesthetic is about what being important and valuables, thus the meaning of aesthetic in every object will be different for everyone. Adorno says that aesthetic is something that express freedom and reflection of the self. Aesthetic is something that would refract and being refracted. In the world of cultural industry nowadays, aesthetic is strart to be a comodity and comodified as a trade goods. It sets standard for aesthetic in order to fulfill market’s taste. The body aesthetic of women is one kind of aesthetic that being comodified. The market set standard on a perfect image of body for the women. This, makes women trying to fulfill the standard and life in stereotype of that standard.

Keywords: Aesthetic, Commodification, Women’s body, Standard, Stereotype

Pendahuluan

Seni, estetika, dan budaya telah menjadi barang yang diperjualbelikan, menjadi komoditi,

dan memasuki industri. Estetika, bukan lagi menjadi barang bebas yang mampu

merefleksikan pemikiran pelakunya, namun telah menjadi komoditas yang terstandar,

memasuki industri budaya (Adorno, 1997). Estetika dalam berbagai bentuk, telah

terkomodifikasi melalui caranya masing-masing. Studi Adorno mendalami permasalahan

komodifikasi musik pada zamannya. Estetika lain yang telah lama dikomodifikasi dan akan

menjadi bahan utama dalam pembahasan ini adalah estetika tubuh perempuan.

Perempuan, sebagaimana yang seringkali ditegaskan oleh aktivis feminis, adalah

masyarakat sosial yang seringkali diobjektifikasi, dijadikan sasaran dalam berbagai bentuk.

Penggunaan tubuh perempuan dalam iklan merupakan salah satu bentuk komodifikasi

(2)

Komodifikasi ini merupakan salah satu bentuk komodifikasi estetika yang mendasari

pemikiran Adorno.

Pembahasan ini lebih lanjut akan memaparkan mengenai komodifikasi estetika tubuh

perempuan dan akibatnya dalam masyarakat sosial serta perempuan itu sendiri. Pembahasan

akan didasarkan pada tinjauan pustaka dengan studi kasus pada iklan-iklan tertentu sebagai

bahan pendukung.

Estetika

Dalam konteks studi komunikasi, estetika dapat didefinisikan sebagai usaha untuk

memahami kebahagiaan orang-orang dalam berbagai bentuk komunikasi tertentu

(Ensiklopedi Komunikasi Internasional, 2008). Studi estetika pada akhirnya akan

menghadapi dua pertanyaan besar, apa yang orang-orang suka atau tidak suka ketika

menghadapi suatu kebahagiaan dan kenapa.

Menurut Feagin dan Maynard, estetika bukanlah melulu mengenai hal-hal yang indah,

menyenangkan dilihat mata, dan selalu bersangkutan dengan seni rupa. Estetika pada

dasarnya adalah segala hal yang dianggap penting dan bernilai bagi orang-orang yang

menciptakannya dan yang menikmatinya (Feagin dan Maynard, 1997). Karena itulah, estetika

yang hakiki menurut Feagin dan Maynard bukan hanya terletak pada karya seni. Namun

sesungguhnya, estetika dapat ditemukan dalam semua hal dan tidak semua orang akan

menemukan estetika yang sama. Karena setiap orang memiliki nilai dan penilaian yang

berbeda satu sama lain, maka penilaian terhadap apa yang penting dan apa yang bernilai akan

berbeda pada setiap orang. Estetika ini pulalah yang dimaksudkan oleh Adorno dalam

kajiannya mengenai teori estetika.

Perempuan

Secara epistemologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang merupakan gelar

kehormatan atau orang ahli. Karena itulah, aktivis feminis di Indonesia lebih senang

menggunakan diksi ini untuk menyebut female dibandingkan dengan diksi wanita.

(3)

Sementara wanita dianggap hanya mencerminkan profesi, tanpa otoritas lebih terhadap

dirinya sendiri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perempuan diterjemahkan sebagai orang (manusia)

yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita.

Definisi perempuan terbatas pada ciri fisiknya dan bukan pada peran sosialnya. Sementara

menurut Giddens, perempuan adalah individu dengan ciri fisik tertentu, memiliki orientasi

seksual yang jelas, dan juga sadar akan peranan-peranan sosial yang harus diembannya sesuai

dengan kondisi sosial masyarakatnya (Giddens, 2009).

Estetika Tubuh Perempuan

Estetika tubuh pada dasarnya merupakan penjara yang menjebak pikiran manusia dalam

bentuk tubuh yang telah terlempar kepadanya sedari awal (Foucault, 1978). Kesadaran

manusia akan selalu memaksa manusia melakukan represi dalam memahami tubuhnya.

Represi ini menjadikan tubuh hanya sebagai objek pengawasan. Tubuh bukan lagi hak

individu, melainkan milik sosial yang berujung pada pengekangan terhadap kebebasan

manusia menggunakan tubuhnya.

Basoeki Abdullah pernah menyatakan bahwa perempuan itu lebih cocok dilukis daripada

sebagai pelukis (Saras Dewi, 2012). Hal ini menegaskan bahwa sesungguhnya, perempuan—

terutama tubuhnya—dianggap sebagai simbol yang utuh dari keindahan. Tubuh perempuan

adalah keindahan, perempuan itu sendiri adalah keindahan. Hal ini terwujud dalam banyak

catatan sejarah estetika yang menjadikan perempuan sebagai objeknya. Lukisan Monalisa

yang terkenal, dewi kecantikan dalam mitologi Romawi dan Yunani, bahkan propaganda

perang Amerika Serikat. Keindahan adalah kewajiban bagi setiap perempuan, seperti yang

ditegaskan Saras Dewi dalam tulisannya, Tubuh Perempuan; Suatu Resistensi terhadap

Metanarasi berikut ini:

Rekognisi keindahan semacam ini, meski terlihat indah serta memikat diatas

kanvas, namun sesungguhnya menyiratkan bentuk represi yang subtil. Bahwa

tubuh perempuan sela lu diburu konsep kecantikannya, tubuhnya selalu

kontroversial. Apa yang indah juga apa yang buruk dalam perempuan memang

(4)

berharga karena ia indah dan rapuh, bukan karena ia perempuan yang memiliki

berbagai partikularitas diluar dari apa yang nampak dipermukaan kulitnya.

Di dalam realitas patriarki, keindahan dan kecantikan adalah terminologi yang

diasosiasikan dengan perempuan. Perempuan dituntut untuk menjadi indah,

meski keindahan itu harus ia lalui dengan kesengsaraan. Menjadi indah tidak lagi

aksiden bagi si perempuan, tetapi menjadi indah adalah totalitas dari

eksistensinya. Sosok indah, mengharuskannya bersikap benar, santun, pantas,

dalam bertutur dan bersikap. Dalam pengertian ini, tubuh menjadi penjara

senyap bagi perempuan, tubuhnya sudah dikonstruksikan, memanipulasi apa yang

harus ia katakan dan pikirkan. (Saras Dewi, 2012)

Komodifikasi

Dalam pemikirannya mengenai seni modern, Adorno menemukan dua poin refleksi bagi

perkembangan seni, apakah seni dapat bertahan pada dunia kapitalis akhir dan apakah seni

dapat berkontribusi terhadap transformasi dunia. Adorno menyatakan bahwa memasuki masa

imperialisme, seni akan masuk dalam industri budaya. Seni akan berkembang namun dalam

batasan-batasa standar tertentu. Seni akan dimaknai sebagi barang yang harus dijual dan

menghasilkan profit, bukan lagi sevagai sarana refleksi dan ekspresi diri. Inilah yang

dinamakan dengan komodifikasi.

Komodifikasi merupakan perilaku memperjualbelikan barang-barang sebagai cara mencari

keuntungan. Komoditas pada dasarnya merupakan benda niaga—benda yang diperjualbelikan.

Maka komodifikasi merupakan suatu kegiatan memperjualbelikan barang atau jasa yang pada

dasarnya bukanlah barang niaga.

Iklan

Iklan merupakan segala bentuk pembayaran dari komunikasi nonpersonal tentang

organisasi, produk tertentu, pelayanan, atau ide oleh pihak sponsor (Alexander dalam

(5)

Periklanan telah mulai berjalan sejak 2000 tahun lalu ketika seorang Romawi

mengiklankan kereta pertempuran. Agensi periklanan juga telah tumbuh semenjak abad

kedelapan belas.

Iklan adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat

melalui suatu media. Usaha untuk membujuk orang agar sukarela menghasilkan pola perilaku

(seperti pembelian produk) dengan menghadirkan pesan terbuka yang disponsori, biasanya

disampaikan melalui televisi secara berkala atau pada media massa lainnya (Gerintya, 2013).

Dalam iklan seharusnya terdapat sebuah brand yang dikomunikasikan oleh pengiklan dalam

perspektif konsumen (Hakim dalam Gerintya, 2013). Karena itulah, iklan, hari-hari ini harus

menggunakan pencitraan yang tepat dengan sasaran audiens yang telah tersegmentasi.

Branding suatu produk, ide, maupun jasa merupakan suatu syarat mutlak sebelum

memasarkan komoditas tersebut. Maka dari itu, pencitraan dan bra nding dari produk

dibangun melalui iklan. Satu produk bahkan dapat memiliki lebih dari satu citra yang

diwujudkan melalui lebih dari satu iklan.

Dalam industri televisi, iklan merupakan sumber pemasukan finansial terbesar yang dapat

diperoleh oleh televisi. Maka tidak akan heran bila televisi di Indonesia pada akhirnya

memberikan ruang dan waktu yang berlebih bagi iklan. Repetisi iklan dalam televisi, radio,

dan media massa lain bukan lagi menjadi hal yang dipertanyakan oleh masyarakat media.

Standardisasi

Standardisasi adalah proses terukurnya sesuatu. Penerapan garis standar, berarti

memberikan batasan-batasan yang jelas sehingga dapat memberikan pengukuran yang jelas

akan sesuatu. Standar dapat memudahkan evaluasi maupun penyalinan karya. Akan tetapi di

lain pihak, penerapan standar dapat menghalangi kebebasan berekspresi dan refleksi dari

pelaku karya.

Terciptanya suatu standar secara tidak langsung berarti memaksa karya seni dan estetika

mengikuti aturan tertentu. Standar yang ditetapkan merupakan suara sebagian masyarakat

sosial. Hal ini berarti bahwa standar mulanya ditetapkan sebagai akibat dari terjadinya

komodifikasi. Namun yang juga terjadi adalah standar yang telah tercipta akan mengantarkan

(6)

Objektifikasi

Frederickson dan Roberts dalam jurnalnya yang berjudul Objectification Theory

menyatakan bahwa tubuh perempuan adalah untuk dilihat, dievaluasi, dan selalu berpotensi

untuk diobjektifikasi. (Frederickson dan Roberts, 1997).

Always present in context of sexualized gazing is the potential for sexual objectification. Sexual objectification occurs whenever a woman’s body, body parts, or sexual functions are separated out from her person, reduced to the status

of mere instruments, or regarded as if they were capable of representing her. In

other words, when objectificatified, women treated as bodiesand in particular,

as bodies that exist for the use and pleasure of others. (Fredericson dan Roberts,

1997)

Sejarah perempuan selama ini merupakan sejarah objektifikasi. Perempuan, yang hidup

terhegemoni dalam dunia patriarki menjadi budak yang terjebak dalam wujudnya sendiri.

Perempaun kin tak lebih hanya menjadi objek yang memusakan banyak pihak—pihak-pihak

yang menilai perempuan hanya berdasarkan bentuk fisiknya semata. Hal ini ditegaskan oleh

Berberick dalam jurnalnya;

The representation of women in the media has always been exploitative. It has,

throughout the years, reduced women to being nothing more than objects to be won,

prizes to be shown off, and playthings to be abused. It has also created a definition of

beauty that women compare themself to. Also, men compare the women in their lives to

what they see on television screens, in magazines, and on billboards. Both the self and

society has suffered because of the objectification, sexism, exploitation and assessment. In 2010, following a set of three studies that “examined the associations among sexist beliefs, objectification of others, media exposure and three distinct beauty ideals and practices,” researcher Viren Swami and collegues, found that sexism exists where beautyideals and practices are rigidly consumed and followed (Berberick, 2010)

(7)

Perempuan merupakan anggota masyarakat sosial yang memiliki peranan tertentu. Akan

tetapi, keterlemparan perempuan ke dalam wujud dan bentuk fisiknya serta psikologi bawaan

gennya yang cenderung mudah mengalah dan emosional mengakibatkan perempuan menjadi

anggota masyarakat yang terhegemoni. Perempuan terhegemoni dalam dunia laki-laki, dalam

dunia patriarkis yang selalu bisa memverbalkan emosinya sementara perempuan tidak.

Perempuan dengan bentuk fisiknya, dengan figur-figur wajahnya yang lembut dianggap

sebagai lambang keindahan yang sesugguhnya. Perempuan menyimpan tubuh yang indah

sebagai konsekuensi peran sosial yang harus ia terima sejak lahir. Foucault megatakan bahwa

perempuan pada dasarnya terpenjara dalam tubuhnya sendiri (Foucault, 1978).

Namun, bahkan dalam kondisi sebagai objek akan estetika tubuhnya sendiri, setiap

perempuan memiliki ciri yang berbeda-beda dan tidak dapat disamakan satu sama lain. Cara

untuk menunjukkan kefemininan beragam. Wanita di pegunungan Himalaya berbadan besar

dan gemuk karena semakin gemuk wanita disana akan semakin dihormati. Hal ini terjadi

karena kegemukan seorang perempuan akan dianggap sebagai kemampuan suaminya untuk

memberikan nafkah (Lips, 2003). Sementara suku Dayak mengukur kecantikan berdasarkan

panjang telinga perempuan.

Kecantikan, keindahan tubuh yang dimiliki oleh perempuan, dengan konsep ini,

seharusnya tidak dapat disamaratakan karena setiap daerah pada dasarnya memiliki tradisi

yang berbeda. Tubuh perempuan, pada dasarnya merupakan estetika yang tidak terikat bentuk,

tidak memiliki ukuran karena letak estetika sesungguhnya berada dalam persepsi setiap

individu.

Sementara itu iklan, merupakan sebuah media yang repetitif dan sarat akan pesan

tersembunyi. Satu iklan dapat ditayangkan lima kali dalam satu segmen acara yang akan

menyebabkan iklan ini meninggalkan efek mendalam pada diri audiens. Penanaman nilai

melalui iklan merupakan sarana yang sangat mudah dilakukan karena stigma bahwa audiens

biasanya mengabaikan iklan. Efek ini, yang biasa disebut dengan third person effect1, yang

membawa audiens mudah sekali terjebak pada agenda-agenda setting dan stereotyping yang

dibawa oleh iklan.

1

(8)

Iklan pada dasarnya adalah suatu produk komersil. Produksi iklan menandai bahwa

sesuatu sedang ditawarkan kepada audiens melalui iklan. Namun, sebagian besar audiens

media mainstream (televisi, radio, dan koran) tidak pernah sadar bahwa yang sedang

ditawarkan oleh iklan bukan hanya produk yang diperjualbelikan, namun juga segala unsur

yang terdapat dalam iklan itu sendiri, salah satunya adalah pemeran utama perempuan dalam

iklan. Perempuan dalam iklan dapat dikategorisasikan menjadi lima kategori yaitu;

1. Netral

2. Kekeluargaan/kerumahtanggan

3. Karir

4. Wanita sebagai objek keindahan

5. Wanita sebagai objek seks (Wortzel dan Friesbie dalam Gerintya, 2013)

Banyak iklan di Indonesia menggunakan perempuan sebagai objek keindahannya. Akan

tetapi apabila kita perhatikan iklan-iklan yang dijajakan hari-hari ini memiliki banyak

kekurangan dalam memandang permpuan sebagai objek keindahan:

Gambar 1.1 Iklan Garnier

Gambar 1.2 Iklan WRP

Gambar 1.3 Iklan UC 1000 vitamin C

(9)

Dalam keempat contoh iklan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat persamaan ciri bintang

iklan. Bintang iklan yang dipilih merupakan bintang iklan dengan badan yang ramping/kecil.

Bintang iklan tersebut dipilih untuk merepresentasikan kecantikan dan keindahan tubuh

perempuan. Akan tetapi hal yang kerap tidak disadari adalah bahwa estetika bukanlah sesuatu

yang sama bagi setiap orang. Estetika direpresentasikan secara berbeda oleh orang-orang.

Dalam Dialecticof Enlightment, Adorno menegaskan bahwa manusia telah memasuki masa

industrialisasi budaya, dimana manusia telah lebih mementingkan nilai jual dibandingkan

kebebasan berekspresi dan refleksi sebagai bentuk kesadaran kritis manusia. Industri budaya

ini menyebabkan terjadinya perubahan karakter dalam seni, yang tidak lagi dipandang

sebagai high culture melainkan sebagai low culture karena nilai artistik yang direduksi

menjadi nilai komerisil (Horkheimer dan Adorno, 2002). Maka dari itu kenyataan adanya

pemilihan bintang iklan yang setipe memperkuat teori Adorno bahwa terdapat standardisasi

dalam setiap estetika yang dikomodifikasikan.

Estetika tubuh perempuan, dalam konteks seni, merupakan hal yang seharusnya tidak

sama artinya bagis setiap orang. Namun memasuki industriaisasi budaya menyebabkan

terciptanya standar, memaksa masyarakat dunia berpikir bahwa perempuan yang cantik

adalah yang ditampilkan dalam televisi, baik melalui film maupun iklan.

Dari empat contoh iklan sebelumnya, ciri fisik yang sama berupa badan ramping, rambut

panjang, dan kulit yang bersih menjadikan garis standar terbentang pada kualifikasi tersebut

untuk menjadikan tubuh perempuan dikatakan indah.

Standardisasi ini menjadi lingkaran setan yang akan terus berkejaran dengan kenyataan

bahwa tubuh perempuan menjadi komodifikasi. Foucault pernah menyebutkan bahwa tubuh

sesungguhnya hanyalah penjara bagi pemikiran yang bebas. Karenanya, tubuh dapat menjadi

indah karena pemikiran kita dan juga sebaliknya. Komodifikasi estetika tubuh perempuan

menunjukkan bahwa tubuh perempuan dipandang tak lebih hanya sebagai barang bernilai

komersil saja. Dengan standar yang telah tercipta, maka komodifikasi akan terus berlaku.

Dan dengan komodifikasi yang berjalan, standar-standar baru akan terus tercipta. Hal ini akan

terjadi terus menerus bagai menebak telur dan ayam yang lebih dulu muncul.

Perempuan merupakan bagian dari masyarakat modern, yang dalam bukunya disebut

(10)

akhirnya perempuan hanya akan merasa terjebak dengan bentuk fisiknya. Kemampuannya

untuk menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui—yang memang adalah kodrat. Karena

ingin kabur dari keterasingan ini, perempuan merasa aman ketika terciptalah standar dalam

estetika tubuhnya. Perempuan yang awalnya merasa terjebak dengan kondisi tubuhnyamerasa

mendapatkan tujuan baru dengan adanya standardisasi tubuh ini. Pada akhirnya, komodifikasi

yubuh perempuan menciptakan standardisasi dan berujung pada tumbuhnya stereotype

mengenai keindahan tubuh perempuan.

Stereotip adalah hal yang kerap menimpa masyarakat minoritas dalam struktur sosial.

Dalam dunia patriarki ini, perempuan merupakan minoritas. Perempuan diletakkan di bawah

laki-laki dalam stratifikasi gender dan karenanya perempuan didera banyak kejahatan.

Objektifikasi perempuan adalah salah satu kejahatan yang paling sering terjadi.

Digunakannya perempuan sebagai objek dalam segala tindakan sosial, dan tidak

diperhitungkan sebagai subjek adalah hal yang biasa menimpa perempuan. Stereotip tertentu

juga bermunculan. Perempuan yang telah hidup dalam hegemoni laki-laki telah memiliki

banyak stereotip, mulai dari peran domestik perempuan, cara bertingkah yang sebenarnya dan

pembatasan-pembatasan lain yang mengatasnamakan norma dan agama.

Adanya komodifikasi atas estetika tubuh menyebabkan munculnya stereotip bahwa tubuh

perempuan yang indah adalah perempuan yang sesuai dengan standar. Standar ini terpeta

melalui frekuensi munculnya perempuan-perempuan dalam iklan pada media mainstream.

Pada akhirnya, estetika yang berupa kebebasan berpikir dan refleksi diri berubah menjadi

barang niaga yang diperjualbelikan, diarahkan, terpeta standarnya, dan standar ini yang

mengukuhkan stereotip bahkan membentuk stereotip—terutama menyangkut estetika tubuh

perempuan dalam masyarakat.

Kesimpulan

Estetika bukan sekadar mengenai keindahan, kecantikan, dan kebahagiaan yang

bersangkutan dengan visual. Estetika adalah segala hal yang penting dan bernilai bagi setiap

orang. Maka dari itu, estetik bagi setiap orang akan berbeda. Dan setiap orang akan menilai

estetik dengan berbeda-beda pula. Estetika tubuh perempuan kini telah terkomodifikasi dalam

iklan. Hal ini terjadi karena tubuh perempuan yang digunakan dalam iklan memiliki ciri yang

(11)

ditampilkan dalam iklan. Komodifikasi ini akan menimbulkan stereotip yang mengukuhkan

hegomoni laki-laki atas perempuan.

Daftar Pustaka

Adorno, T. (1997). Aesthetic Theory. New York: MPG Books.

Berberick, S. N. (2010). The Objectification of Women in Mass Media. The New York Sociologist Vol. 5 , 1-15.

Dewi, S. (2012, Januari 23). Post Saras Dewi. Dipetik Juni 11, 2014, dari Saras Dewi Blog: http://sarasdewi.blog.com/2012/01/23/tubuh-perempuan-suatu-resistensi-terhadap-metanarasi/

Donsbach, W. (2008). The International Encyclopedia of Communication. Singapore: C.O.S. Printers.

Feagin, S., & Maynard, P. (1997). Aesthetics. Berlin: Oxford university Press.

Foucault, M. (1978). The History of Sexuality Volume 1: An Introduction. New York: Patheon Book.

Fredickson, B., & Roberts, T.-A. (1997). Objectification Theory. Psychology of Women Quarterly , 173-206.

Gerintya, S. (2013, Juni 27). Post Eka Wenats. Dipetik Juni 6, 2014, dari Eka Wenats Blog: http://www.scribd.com/fullscreen/150325252?access_key=key-2fwlneryp4kpn2d7yskz&allow_share=true&escape=false&view_mode=scroll

Giddens, A. (2009). Sociology. Cambridge: Polity Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. (2002). Dialectic of Enlightment. California: Stanford university Press.

Lips, H. M. (2003). A New Psychology of Women. New York: Ken King.

Macionis, J. J. (2008). Sociology. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Rush, F. (2004). The Cambridge Companion to Critical Theory. Cambridge: Cambridge University Press.

Seppa, A. (2003). The Aesthetic Subject. Helsinki: Helsinki University Printing House.

Gambar

Gambar 1.1 Iklan Garnier

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kali elementer A  hasilkali n buah unsur A tanpa ada pengambilan unsur dari baris/kolom yang sama...

Keenam, model teoretik yang dikembangkan dalam penelitian ini temyata tidak sepenuhnya teruji secara empiris pada sub rayon SMPN 41 Medan namun masih dalam taraf

23 Panel menolak argumentasi Pemerintah Kanada dengan menegaskan bahwa tindakan Pemerintah Kanada mempengaruhi pilihan investor untuk menggunakan produk impor, bahkan jika

Berdasarkan kepada perkembangan tersebut, peranan pertubuhan peladang akan menjadi lebih penting bagi merealisasikan Koridor Ekonomi yang dibangunkan melalui penglibatan

Dengan adanya Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Cipta Karya diharapkan Kabupaten dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk

Tetapi sekali lagi di lapangan ketentuan ini mengalami penyimpangan oleh koperasi tertentu artinya penyimpan atau peminjam belum tentu diangkat menjadi anggota,

Salah satu sumber Nairn, Kivlan Zein menuturkan bahwa pensiunan jenderal maupun yang masih aktif setuju dengan FPI—dan gelombang Aksi Bela Islam yang digelar kelompok Islamis..

Dalam tahap analisa, konsep tata ruang, gubahan massa, dan bentuk bangunan penekanan pada konsep arsitektur tradisional Sasak yang merupakan wujud ekspresi masyarakat Sasak