• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP. Penelitian tentang sastra lisan yang dilakukan selama ini, cenderung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PENUTUP. Penelitian tentang sastra lisan yang dilakukan selama ini, cenderung"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

495 6.1 Kesimpulan

Penelitian tentang sastra lisan yang dilakukan selama ini, cenderung berangkat dari pemikiran bahwa sastra yang tumbuh dalam masyarakat tradisi merupakan artefak kebudayaan. Ia diperlakukan sebagai sumber pengetahuan tentang masa lalu yang jauh dan kehilangan fungsi secara sosial maupun estetik, berjarak dengan kekinian. Penelitian ini menunjukkan perbedaan dengan kecenderungan terdahulu. Pidato adat dipandang sebagai kebudayaan yang hidup. Pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala menunjukkan bahwa ragam sastra lisan Minangkabau ini bukan hanya merepresentasikan pandangan dunia masyarakat Minangkabau di masa lalu, tetapi juga merupakan strategi kebudayaan yang membuat pandangan dunia itu dapat bertahan hingga kini dan berlanjut di masa depan.

Tradisi Malewakan Gala sebagai salah satu bagian dari khasanah budaya Minangkabau yang keberlangsungannya diwariskan melalui penurunan dari generasi ke generasi hingga saat kini, merupakan suatu tradisi amat penting yang telah memotret masyarakat Minangkabau dengan aneka macam peristiwa, pertarungan, dan persesuaian yang dilakoni sebagai sebuah solusi yang terjadi dalam masyarakat itu. Masyarakat Minangkabau yang memiliki adat dan struktur kekerbatan yang bersifat matrilineal sejak dahulu hingga kini, tampak hidup serasi, seiya sekata dengan aturan Islam yang bersifat patrilineal. Bahkan kini,

(2)

lebih dipujikan dan dibesarkan gaungnya melalui mamangan adat yang berbunyi “Adat Basandi Syarak, dan Syarak Basandi Kitabullah” (Adat bersendi Syark, dan Syarak Bersendi Kitabullah). Artinya, adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan Kitabullah. Mamangan adat ini betapa memperlihatkan kepada kita bahwa telah dilakukannya suatu persesuaian, jalan tengah, solusi dari suatu keadaan yang pada awalnya tentu belum sesuai, berbeda jalur, dan bertikai. Sesungguhnya, mamangan adat itu merupakan hasil konsensus adat yang bersifat matrilineal dengan agama yang patrilineal. Konsensus demikian berlangsung di sepanjang perjalanan sejarah yang kadang berlangsung keras, tragis, dan tak jarang berujung pada pertempuran fisik

Bentuk-bentuk konsensus seperti itu membayang dengan sangat lembut dan manis dalam konstruksi wacana-wacana adat. Pidato adat Malewakan Gala adalah salah satu bentuk dari wacana adat tersebut. Berdasarkan penelitian terhadap struktur, makna, dan fungsi keempat teks pidato adat Malewakan Gala , yaitu Malewakan Gala Pangulu (MGP) dan Malewakan Gala Marapulai (MGM) yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat dikemukakan tiga aspek penting. Pertama, berdasarkan aspek struktur, terdapat dua klasifikasi, yaitu struktur teks dan struktur isi. Struktur teks pidato adat MGP dan MGM terdiri atas empat: (1) Bagian Pembukaan; (2) Bagian Sirih Pinang; (3) Bagian Pidato Adat; dan (4) bagian Penutup. Sementara itu, struktur isi terbagi atas dua bagian: (1) Bungo Pidato; dan (2) Batang Pidato. Teks pidato adat yang terdiri atas ratusan dan bahkan ribuan baris itu, digubah dalam kalimat-kalimat yang mengandung formula-formula khas. Ada dua belas macam pola formula utama yang bersifat

(3)

tetap yang membangun sebuah teks pidato adat Malewakan Gala. Kedua belas macam pola formula itu dirumuskan dengan simbol ma, na, lo, ka, li, tas, mi, nang, Ka, bau, ku, no. Pola formula yang bersifat tetap ini dapat diperkaya dengan kemunculan pola formula yang bersifat khusus. Pola yang bersifat tetap dan yang bersifat khusus ini bertugas membangun struktur teks dan struktur isi pidato adat Malewakan Gala yang sangat kaya dengan pernyataan untuk memuliakan kaum ninik mamak, penghulu, dan mempelai laki-laki. Pernyataan ini dibangun melalui aneka macam konstruksi kalimat yang mengindikasikan makna bahwa kaum laki-laki yang sedang melaksanakan tradisi Malewakan Gala itu adalah orang-orang yang terpandang, mulia, dibesarkan, dan ditinggikan dalam adat Minangkabau. Secara implisit hal ini membayangkan struktur berpikir masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Kedua, berdasarkan aspek makna, penuturan teks pidato adat Malewakan Gala secara berulang-ulang dalam berbagai kesempatan adat, merupakan mitos kolektif. Pengulangan penuturan mitos kolektif ini mengukuhkan gagasan bahwa betapa sangat penting melakukan pewarisan gelar adat untuk memuliakan ninik mamak, penghulu, mempelai laki-laki di dalam masyarakat Minangkabau yang menganut struktur kekerabatan yang bersifat matrilineal, yang mana dalam struktur kekerabatan seperti itu, kaum laki-laki sesunguhnya bertugas hanya sebagai penjaga, pemelihara harta pusaka saja, bukan sebagai pemakai atau penikmat. Sementara gelar adat (sako) adalah salah satu bentuk dari harta pusaka itu sendiri. Berdasarkan perspektif pemaknaan, tampak bahwa wacana adat, dalam hal ini teks pidato Malewakan Gala merupakan sebuah cermin terbalik dalam

(4)

masyarakat Minangkabau. Ia tampak seakan sangat bernuansa budaya yang berkarakteristik matrilineal, padahal konstruksi bahasa yang terbangun di dalamnya sangat bernuansa patrilineal. Bahkan tak satupun konstruksi kalimat yang dibangun untuk mencitraan secara simbolik tentang perempuan dalam teks pidato adat tersebut.

Ketiga, wacana adat yang demikian berdasarkan aspek fungsi berguna sebagai alat untuk pelegitimasi gagasan pewarisan gelar adat kepada kaum laki-laki di Minangkabau. Pidato adat sebagai pelegitimasi gagasan tentang pewarisan gelar adat ini didukung dan diperkuat juga oleh fungsinya sebagai pemaksa dan pengawas pemberlakuan norma masyarakat. Fungsi kedua ini berjalan dengan baik karena teks pidato dapat dipandang sebagai sebuah ‘kitab besar’ adat Minangkabau. Dikatakan demikian karena sangat banyak aturan dan ketentuan adat dikandung oleh teks pidato adat Malewakan Gala tersebut. Oleh karena itu, fungsi ketiga dari pidato adat Malewakan Gala tersebut adalah sebagai alat untuk pewarisan budaya Minangkabau itu sendiri dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Berdasarkan telaah atas ketiga aspek tersebut, yaitu struktur, makna dan fungsi pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala yang terdapat dalam masyarakat Minangkabau, ternyata dapat disimpulkan bahwa dalam teks pidato adat yang dilaksanakan dalam tradisi Malewakan Gala pun tampak suatu bias gender. Tanpa disadari telah terjadi suatu manipulasi simbolik dalam sebuah wacana adat, dalam hal ini teks pidato Malewakan Gala. Tidak satu pun pencitraan tentang perempuan sebagai tokoh penting dalam masyarakat yang berstruktur

(5)

kekerabatan matrilineal, dibangun dalam konstruksi kalimat teks pidato adat Malewakan Gala. Teks pidato adat hanya amat kaya dengan pernyataan yang mengagungkan dan memuliakan kaum ninik mamak, para datuk, penghulu, urang sumando (orang semenda), dan marapulai (mempelai laki-laki). Namun, luput dari konstruksi kalimat yang memuliakan, mengagungkan, dan membesarkan kaum perempuan, dalam hal ini bundo kanduang.

Kenyataan tekstual ini mengindikasikan bahwa konstruksi bahasa yang dipakai dalam teks pidato adat Malewakan Gala memperlihatkan fakta betapa dalam masyarakat matrilinieal-pun bias patriarki itu tidak bisa hilang. Bias gender itu tampak dari konstruksi kalimat dan ungkapan yang terkandung dalam teks pidato adat Malewakan Gala tersebut. Konstruksi kalimat yang demikian memberikan bukti bahwa bahasa Minagkabau sebagai refleksi dari struktur sosial Minangkabau tidaklah bersifat netral. Bahasa Minangkabau yang dipakai dalam teks pidato adat seharusnya memberikan ruang simbolik untuk perempuan, Akan tetapi, ternyata konstruksi kalimat dalam Bahasa Minangkabau yang dipakai dalam teks pidato adat tidak memberikan bukti bahwa bahasa Minangkabau adalah bahasa yang bersifat eguality, yaitu memberikan ruang simbolik untuk perempuan.

Berdasarkan persepketif demikian dapat dinyatakan bahwa dalam masyarakat Minangkabau yang berstruktur kekerabatan matrilinealpun, bias patriarki itu tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Walaupun masyarakat Minangkabau mengklaim memuliakan kaum perempuan dalam struktur kekerabatannya, khususnya dalam aturan yang berkaitan dengan sistem pewarisan

(6)

harato pusako (harta pusaka), yang mana harato pusako (harta pusaka) itu diturunkan untuk kaum perempuan, untuk memuliakan perempuan, dan tidak mengizinkan kaum laki-laki memiliki harato pusako (harta pusaka) tersebut, namun kaum laki-laki tetap mencari jalan untuk memasuki aturan sistem pewarisan harato pusako (harta pusaka) Minangkabau itu. Pintu masuk yang dibuka secara perlahan dan tersamar ini - padahal sebenarnya berlangsung keras dan tajam - oleh kaum laki-laki adalah berlindung di balik aturan agama, yaitu Islam yang masuk melalui gerakan kaum ,modernis di Minangkabau, yakni cara dengan membangun gagasan atau ide tentang pewarisan gelar adat (sako) sebagai salah satu bagian dari harato pusako (harta pusaka) di Minangkabau.

Di dalam pidato adat terkandung mitos tentang nenek moyang dan adat Minangkabau sebagai sesuatu yang kudus, sakral. Oleh karena itu, segala sesuatu yang bermula dan berasal dari yang kudus dan sakral dipilih menjadi pedoman hidup dalam masyarakat Minangkabau. Penguatan mitos dilakukan melalui bungo-bungo pidato, menceritaan kembali Tambo sebagai sumber sejarah asal-usul sedemikian rupa, sehingga mitos itu dipandang diakronis, sebagai rentang sejarah yang berlangsung hingga kini,dan sinkronis bagaimana tradisi itu hadir dalam locus kekinian, dan dipandang pankronis, terinternalisasi di dalam aras kesadaran.

Kemunculan ungkapan-ungkapan yang formulaik tentang kebesaran ninik mamak terjadi berulang-ulang disepanjang penuturan teks pidato adat. Dari perbandingan yang dilakukan pada keempat jenis teks juga ditemukan bahwa frasa Ketek Banamo Gadang Bagala (kecil punya nama besar punya gelar)

(7)

digunakan sebagai landasan, dan sekaligus memperkuat gagasan pewarisan gelar adat kepada laki-laki dalam pandangan adat dan budaya Minangkabau. Pengulangan bukan hanya dapat dilihat dalam teks dalaman yang terkandung dalam pidato adat, akan tetapi juga terlihat dalam ketetapan persayaratan kedewasan semua laki-laki Minangkabau yang ditandai dengan pemberian gelar adat. Artinya seremonial adat ini akan dialami oleh setiap laki-laki dalam tradisi adat Minangkabau.

Masuknya pengaruh agama dan peradaban Islam membuat kesakralan adat menjadi terbelah, tetapi kemudian melalui asimilasi kekuatannya ditopang oleh agama. Pergulatan panjang di antara kedua kekuatan itu, kemudian melahirkan konsensus antara adat dengan agama bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi syarak, dan syarak bersendi kitabullah). Kitabullah yang menjadi sandinya itu adalah Al Quran. Syariat Islam yang mensyaratkan laki-laki sebagai pemimpin menguatkan poisi laki-laki. Bertolak dari hasil konsensus ini, maka terjadi proses negosiasi dalam sistem pewarisan harta pusaka di Minangkabau. Laki-laki akhirnya memperoleh hak waris, khususnya memakai hak waris gelar sako adat untuk menjadi modal kepemimpinan dirinya di masa depan.

Penyampaian pidato adat merupakan keharusan kultural dalam mendukung gagasan, ide, dan nilai-nilai tentang pewarisan gelar adat Minangkabau. Hal ini memperlihatkan bahwa laki-laki berhak mendapatkan hak waris harta pusaka tinggi yang peruntukkan bagi kaum perempuan, terutama dalam hal gelar sako adat. memperkuat gagasan pewarisan gelar adat kepada laki-laki dalam pandangan

(8)

adat dan budaya Minangkabau. hak waris gelar sako adat untuk menjadi modal kepemimpinan laki-laki.

Bermodalkan hak waris gelar sako adat ini, akhirnya laki-laki muncul sebagai pemimpin masyarakat (penghulu) adat di Minangkabau. Peran dan fungsi kepenghuluan tersebut otomatis menyelamatkan laki-laki dari derita displace oriented (ketidakjelasan tempat bernaung) yang tak terlerai dalam struktur kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minangkabau. Dengan demikian tercipta keseimbangan dalam posisi dan fungsi bagi keberlanjutan tradisi budaya.

Pidato adat memenuhi fungsi sebagai pelegitimasi pranata budaya, pengawas pemberlakuan norma masyarakat, dan media pewarisan budaya Minangkabau. Ketiga fungsi khusus yang dimiliki pidato adat dalam pelaksanaan tradisi MG, memperlihatkan proses penyerapan unsur budaya laki-laki yang khas ke dalam budaya matriliniel berlangsung secara hegemonik, perlahan dan lunak, sehingga dirasakan sebagai bagian dari adat dan budaya matrilineal itu sendiri. Lama-kelamaan unsur budaya serapan itu dipandang penting untuk disetujui/ditetapkan (afirmasi) sebagai bagian dari budaya matrilineal. Pada tahap inilah fungsi afirmasi yang diusung oleh pidato adat menjadi signifikan dan urgen. Pewarisan gelar sako adat melalui tradisi pidato adat MGP dan MGM mengusung pranata budaya Minangkabau yang kompleks, menjadi strategi yang jitu untuk mempertahankan kebudayaan. Gelar menjadi kebangggaan dan marwah yang kemudian sering dimanfaatkan sebagai cara memperoleh eksistensi dan citra diri. Meskipun demikian, melalui pidato adat yang mengandung sumber informasi yang kaya tentang tradisi, disampaikan dengan kata-kata yang bernuansa sastra,

(9)

mampu menginternalisaikan pesan ke dalam diri pendengarnya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra yang merupakan seperangkat ide dan ekspresi estetik kolektif memiliki fungsi kekinian, menjadi alat bagi transformasi nilai-nilai budaya.

6.2 Saran

Berkaca pada hasil penelitian ini yang masih menyisakan sebuah ruang yang bias gender di dalam masyarakat Minangkabau yang menganut struktur kekerabatan matrilineal, bahkan juga belum sepenuhnya menjadi ruang budaya yang egaliter, bahkan emansipatif mainstream. Bertolak pada keadaan yang demikian barangkali perlu suatu pemikiran tentang bagaimana agar ruang demokrasi di Minangkabau itu tetap berimbang antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Apakah tindakan revitalisasi terhadap adat matrilineal perlu dilakukan dalam bentuk kelembagaan adat. Agar supaya jangan terjadi manipulasi simbolik dalam adat dan tradisi matrilineal itu. Bahkan, jangan-jangan sudah terjadi yang demikian.

Tradisi matrilineal dilaksanakan ada, namun telah mengalami pendangkalan makna kematriliniannya. Kekhawatiran ini patut ditindaklanjuti, baik oleh peneliti sendiri maupun oleh peneliti lain yang sensitif terhadap masalah ini. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan objek yang sama akan dapat diteliti dengan perspektif yang berbeda baik oleh peneliti sendiri maupun para peneliti lain.

Referensi

Dokumen terkait

Beban yang bekerja pada struktur seperti beban mati (dead load), beban hidup (live load), beban gempa (earthquake), dan beban angin (wind load) menjadi bahan

KelengkapanSertifikatMedis PenyebabKematian * KetepatanKodeDiagnosaPe nyebabKematian 74 100.0% 0 0.0% 74 100.0% KelengkapanSertifikatMedisPenyebabKematian *

Untuk mengetahui presentase kejadian dari masing-masing kategori DRPs meliputi obat salah, ketidaktepatan dosis yaitu dosis kurang dan dosis lebih serta potensial interaksi obat

Hanya pengetahuan yang diperoleh dengan disiplin berpikir dan bekerja yang sesuai dengan standar akademik dapat digolongkan sebagai teori yang menjadi bagian suatu bidang

 Konsep rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya melakukan dan bertanggungjawab dalam kegiatan pembudidayaan,

Makalah ini akan membahas konsentrasi medium asam sulfat yang paling baik untuk melakukan reduksi U(VI) menjadi U(IV), karena kalau konsentrasi sulfat yang digunakan

Pn.Hjh.Ni Shafiah Bt Abdul Moin(Pengetua ) Pn.Norizan Binti Hamdan ( PK HEM ) Tn.Hj.Wan Ahmad Ridzuan Azwa Bin Wan Abdul Jalil ( PK Pentadbiran) Tn.Hj.Mohd Ariffin Bin Zainal (

Larva udang merupakan organisme yang bersifat planktonik, hidupnya mengapung atau melayang yang pergerakannya dipengaruhi oleh arus. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga