• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI KONSEP DAN BATASAN KONSEP 1. Waria

Waria atau banci adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan berpenampilan seperti wanita. Waria atau banci benar-benar pria yang menunjukkan dirinya sebagai wanita. Pada dasarnya orientasi seksual waria ini tidak banyak berbeda, mereka tertarik pada sesama jenis. Hanya ada beberapa hal yang membuat waria atau banci berbeda satu sama lain, yaitu :

a. Banci, mereka berpenampilan fisik sama seperti pria, secara psikologis mereka mengidentifikasi dirinya sebagai pria.

b. Waria, secara fisik ingin berpenampilan seperti wanita dan secara psikologis mereka mengidentifikasi dirinya sebagai wanita. Secara biologis, para waria adalah pria dengan organ reproduksi pria meski ada beberapa waria yang kemudian berganti kelamin melalui operasi. Namun demikian, organ reproduksi yang baru tersebut tidak bisa haid seperti organ reproduksi wanita. Misalnya, tidak bisa haid dan tidak bisa hamil karena tidak punya sel telur dan rahim. Perlu diketahui bahwa seorang pria yang berperilaku mirip perempuan, belum tentu memiliki orientasi seksual homoseks. Banyak juga pria dengan perilaku seperti itu yang orientasi seksualnya heteroseks (Junaidi, 2012: 43-44).

Terdapat kemungkinan bahwa kelompok waria dapat disebut sebagai kelompok transgenderis. Mereka memenuhi ciri-ciri kelompok tersebut yakni bahwa mereka secara tipikal menginginkan untuk hidup sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin berdasarkan genital mereka, namun tanpa menjalani operasi secara lengkap. Kelompok ini dapat dianggap sebagai sebuah titik tengah antara gender motivated

(2)

transvesit dan transeksual. Ciri lain kelompok waria adalah bahwa mereka lebih menginginkan dianggap sebagai waria dan bukan perempuan. Bahkan dalam kartu identitas mereka menginginkan untuk dicantumkan berjenis kelamin waria. Hal ini juga sesuai dengan ciri kelompok transgender yang menginginkan adanya jenis kelamin ketiga. Berbeda dengan transeksual yang jelas merasa bahwa diri mereka anggota salah satu gender yang ada, yakni laki-laki, atau perempuan, dan bukan yang lain. Karena alasan-alasan tersebut, tampaknya tidak semua waria dapat dimasukkan dalam kelompok transeksual sejati. Paling tidak dapat dikatakan bahwa tidak semua waria adalah transeksual, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan individu-individu transeksual terdapat di dalam komunitas kelompok waria ini (Yash, 2003: 36-37).

2. Transseksual

Transeksualiseme merupakan suatu kelainan identitas jenis kelamin yang nyata. Penderita merasa terpenjara di dalam tubuh jenis kelamin yang tidak sesuai dengan identitas jenis kelamin mereka yang sebenarnya. Umumnya seorang transseksual adalah laki-laki yang mengenali dirinya sebagai wanita, yang biasanya timbul pada awal masa kanak-kanak dan melihat alat kelamin (penisnya) dengan perasaaan geli atau jijik. Ia menolak dan tidak menghendaki (Junaidi, 2012:32). Sedangkan Kartono (1989:226) mengatakan bahwa transseksual ialah gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Koeswinarno (2005:12) mengatakan bahwa seorang transseksual secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaian atau atribut lain dari jenis kelamin yang lain.

Transeksualisme berbeda dengan penyimpangan orientasi jenis kelamin atau interseks. Penyimpangan orientasi jenis kelamin terjadi karena perkembangan fisik yang tidak sesuai dengan bawaan gen atu kromosomnya. Transseksual merupakan perkembangan fisik yang tidak

(3)

sesuai dengan keadaaan psikisnya. Dari segi genetik dan fisik, sebenarnya para transeksual tidak mengalami masalah, semua sesuai dan tidak ada yang salah, hanya kejiwaannya yang menolak atau tidak menerima tampilan fisiknya. Transeksual umumnya dialami kaum pria, jarang terjadi pada wanita.

Gejala transseksual adalah perilaku seorang pria yang lebih suka mengenakan pakaian wanita atau seorang wanita yang lebih suka mengenakan pakaian pria. Gejala lain adalah pria maupun wanita, yang keinginan untuk mengubah jenis kelamin sesuai dorongan psikisnya sangat kuat, sekalipun kelamin fisik tampak baik dan berfungsi dengan normal. Penderita mengenakan pakaian lawan jenisnya untuk alasan lainya, tapi terkadanag digunakan untuk rangsangan seksual dan untuk mengurangi kecemasan, untuk santai, atau sebagai suatu eksperimen (percobaan) dengan sisi feminin yang mereka miliki (Junaidi, 2012:32-33)

3. HIWASO

Himpunan Waria Solo (HIWASO), sebuah organisasi yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat urban Kota Solo. HIWASO ada untuk mewadahi komunitas waria Solo agar tidak dipandang sebelah mata dan termarjinalkan dari kerasnya kehidupan Kota Solo.

Keberadaan Waria di Kota Solo tidak luput dari berbagai macam aksi kekerasan dan tindakan diskriminatif yang dilakukan baik oleh perorangan, masyarakat, komunitas tertentu bahkan instansi pemerintahan. Atas dasar itulah HIWASO hadir, untuk menyadarkan kembali keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat. Bahwa waria juga sama halnya dengan warga masyarakat lain, yanng keberadaannya butuh diapresiasi, mampu berkarya dan bukan merupakan "sampah masyarakat" (http://hiwasolo. blogspot.co.id/).

(4)

4. ODHA

Menurut Kristina (2005) yang dikutip Syaiful (2000) mengatakan bahwa dalam bahasa inggris orang yang terinfeksi HIV/AIDS itu disebut PLWHA (People Living with HIV/AIDS), sedangkan di Indonesia kategori ini diberi nama ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan OHIDA (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) baik keluarga serta lingkungannya.

a. Dampak Sikap Negatif Pada ODHA

Pada kenyataannya sikap masyarakat yang memberikan sikap negatif terhadap ODHA hanya menambah tingkat permasalahan yang menimbulkan efek psikologi yang berat terhadap ODHA. Hal ini bisa mendorong dalam beberapa kasus, seperti terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. ODHA yang seharusnya memperoleh dukungan dari semua pihak khususnya dukungan emosional sehingga permasalahan yang dialami ODHA tidak meluas tapi sebaliknya orang yang memiliki sikap negatif terhadap ODHA cenderung malah menolak kehadiran ODHA. Sikap negatif ini juga dapat menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Akhirnya, ODHA dilihat sebagai suatu masalah, bukan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi masalah ini. sebuah proses yang seharusnya mendorong penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA sebagai warga masyarakat kelas dua atau inferior, yang dapat menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.

Masyarakat seharusnya memberikan dukungan, yang khususnya dukungan emosional pada ODHA sehingga permasalahan yang dialami oleh ODHA tidak meluas. Ketika ODHA sudah mencapai masa AIDS, keluarga dan teman serta lingkungannya diharapkan memberikan dukungan yang positif agar semangat hidupnya tetap tinggi. Masyarakat mempunyai beberapa tanggung jawab yang sangat penting untuk penanggulangan HIV/AIDS, yaitu: mencari dan memberikan

(5)

informasi yang jelas dan benar kepada orang yang memerlukannya tentang penularan HIV/AIDS, bersikap bersahabat, tidak menggosipkan, dan meremehkan ODHA, mendukung dan membantu program pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS, membantu ODHA menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya, dan membantu ODHA membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam kehidupan lainnya.

b. Psikoneuroimunologi Pada Pasien HIV/AIDS

Psikoneuroimmunologi pada awal perkembangannya dipahami sebagai field of study. Pemahaman ini didasarkan keterlibatan tiga bidang kajian; (1) Psikologi, (2) Neurologi, dan (3) Imunologi. Secara historis, konsep psikoneuroimmunologi muncul sekitar tahun 1975, oleh R. Ader dan C. Holder. Psikoneuroimmunologi muncul setelah munculnya konsep pemikiran imunopatobiologik dan imunopatologik. Fakta imunopatobiologik menunjukkan bahwa kerentanan infeksi dan metastasis pada individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan ketahanan imunologik. Sedangkan kelainan mukosal yang memunculkan pemikiran respons imun yang melukai merupakan fakta imunopatologik. Karena kedua pendekatan model berpikir tersebut dalam mengungkap patogenesis dianggap kurang holistik, maka munculah ilmu baru yang sekarang dikenal dengan psikoneuroimmunologi, yang dikembangkan atas dasar keterkaitan antara tiga konsep, yaitu behaviour, neuroendokrin dan konsep imunologik.

Pertama kali efek stresor terhadap imunitas telah dibuktikan Ader dan Friedman pada tahun 1964. Penelitian tersebut telah membuka jendela hubungan antara psikologi perkembangan dan respons sistem imun terhadap stresor. Seperti telah dijelaskan terdahulu, bahwa stresor

(6)

adalah stimuli yang menimbulkan stres, dan stres mempunyai triad, yaitu aktivasi, resisten (adaptasi), dan ekshausi. Stres psikososial pasien terinfeksi HIV berlanjut, akan mempercepat kejadian AIDS dan bahkan meningkatkan angka kematian. Jika stres mencapai tingkat exhausted stage dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun, yang memperparah keadaan pasien dan mempercepat kejadian AIDS. Modulasi respons imun akan menurun secara signifikan, seperti aktivitas APC (makrofag); Th1 (CD4); IFNg; IL-2; Imunoglobulin A, G, E dan Anti-HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap penurunan jumlah CD4 hingga mencapai 180 cells/mL per tahun. Pasien yang mengalami stres yang berkepanjangan, berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada sistem limbik berefek pada hipotalamus. Kemudian hipofisis akan menghasilkan CRF, yaitu pada sel basofilik. Sel basofilik tersebut akan mengekspresikan ACTH (adrenal cortico tropic hormone) yang akhirnya dapat mempengaruhi kelenjar kortek adrenal pada sel zona fasiculata, kelenjar ini akan menghasilkan cortisol yang bersifat immunosupressive. Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan cortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun yang meliputi aktivitas APC (makrofag); Th-1 (CD4); dan sel plasma: IFNg; IL-2; IgM – IgG dan Antibodi-HIV (Nursalam, 2007).

5. HIV/ AIDS

Infeksi virus mematikan ini sebenarnya sudah dijelaskan sejak tahun 1981. Penelitian retrospektif munujukkan bahwa kasus-kasus awal telah ada dari tahun 1978. Para peneliti menemukan salah satu tipe kanker kulit yang dikenal dengan nama sarcoma kaposi, suatu penyakit yang sangat jarang di belahan bumi barat. Mereka mengenali infeksi serta kanker itu sebagai manifestasi dari suatu defisiensi pada sistem kekebalan,

(7)

dengan istilah AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) (Pasuhuk, 2000: 23-28).

Menurut Maryunani. A (2009: 23 ) AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Aquired artinya didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir. Jelasnya AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya system kekebalan tubuh manusia yang didapat (bukan karena keturunan), tetapi di sebabkan oleh virus HIV.

a. Epidemiologi AIDS

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan frekuensi masalah kesehatan serta faktor-faktor yang berkaitan (determinan) pada kelompok masyarakat tertentu. Yang dimaksud dengan determinan ialah faktor-faktor yang mempengaruhi atau berasosiasi dengan distribusi/ frekuensi masalah kesehatan tersebut.

AIDS sendiri sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai macam mikroorganisme serta keganasan lain akibat menurunnya daya tahan/ kekebalan tubuh penderita. HIV menyerang dan merusak sel-sel limfosit T yang mempunyai peranan penting dalam sistem kekebalan seluler. Dengan rusaknya sistem kekebalan, penderita menjadi peka (rentan) terhadap infeksi termasuk infeksi mikroorganisme yang sebenarnya tidak berbahaya dalam keadaan normal (opportunistic infections). Infeksi HIV pada mausia mempunyai masa inkubasi yang lama (5-10 tahun).

Gejala yang ditimbulkan bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai gejala berat yang dapat menyebabkan kematian. Pengidap HIV mampu menularkan virus seumur hidup dan hampir dapat dipastikan suatu saat

(8)

akan berkembang menjadi AIDS. Dalam waktu 5-7 tahun, 10-30 % dari serepositif HIV menjadi AIDS, 20-50% menjadi ARC (AIDS related complex) dimana 90% diantaranya akan mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium (Irianto, 2014: 463-464).

b. Etiologi AIDS (Agent)

Walaupun sudah jelas dikatakan bahwa HIV sebagai penyebab AIDS, tetapi asal-usul virus ini masih belum diketahui secara pasti. Mula-mula dinamakan LAV (lymphadenopathy associated virus). Virus ini ditemukan oleh ilmuan institut pasteur paris, Dr. L. Montagnier pada tahun 1983, dari seorang penderita dengan gejala lymphadenopathy syndrome. Sedangkan HTLV-111 di temukan oleh Gallo di amerika serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak di temukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau Afrika,70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tampa menimbulkan penyakit. Nama lain virus tersebut ialah HIV.

Virus AIDS bersifat limpotropik khas dan mempunyai kemampuan untuk merusak sel darah putih spesifik yang di sebut limposit T-helper atau limposit pembawa factor T4 (CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah limposit T-helper secara progresif dan menimbulkan imunodefisiensi serta untuk selanjutnya terjadi infeksi sekunder atau oportunistik oleh kuman,jamur, virus dan parasit serta neoplasma. Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang, maka virus tersebut akan berada dalam tubuh korban untuk seumur hidup. Badan penderita akan mengadakan reaksi terhapat invasi virus AIDS dengan jalan membentuk antibodi spesifik, yaitu antibodi HIV, yang agaknya tidak dapat menetralisasi virus tersebut dengan cara-cara yang biasa sehingga penderita tetap akan merupakan individu yang infektif dan merupakan bahaya yang dapat menularkan virusnya pada orang lain di sekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus AIDS hanya sedikit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan

(9)

tetapi pada beberapa orang perjalanan sakit dapat berlangsung dan berkembang menjadi AIDS yang full-blown.

HIV mempunyai tendensi spesifik, yaitu menyerang dan merusak limfosit T yang mempunyai peranan penting dalam sistem kekebalan seluler tubuh. Virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap “infectious” yang dapat aktif kembali dan dapat ditularkan selama hidup pengidap HIV (Irianto, 2014: 464-465)

c. Cara Penularan HIV

Cara penularan HIV yang diketahui hingga saat ini adalah melalui hubungan seksual (homo maupun heteroseksual), darah (termasuk penggunaan jarum suntik) dan transplasental (dari ibu ke anak yang akan lahir) (Irianto, 2014: 465). Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).

Menurut Maryunani. A (2009: 53 ) HIV tidak ditularkan melalui: hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubungan seksual), makan, minum bersama dengan penderita dan peralatan makan seperti piring, sendok, garpu, gelas, sumpit dan lain-lain yang dipakai bersama dengan pengidap HIV, bersentuhan dengan pakaian dan barang-barang lain bekas penderita AIDS seperti handuk, saputangan, sisir rambut, sprei dan kakus/WC, meraba, memeluk, bersalaman, menangis, duduk berdekatan atau berpegangan sama penderita dengan cara biasa, berpelukan atau berciuman dengan orang yang terinfeksi HIV (kalau sedang menderita sariawan atau luka lain dimulut, disarankan tidak berciuman dengan mulut), penderita AIDS bersin atau batuk di dekat kita, bersama-sama renang di kolam

(10)

renang, gigitan serangga seperti nyamuk, kupu-kupu, tawon, kunang-kunang, dan lain-lain yang menyentuh orang yang terinfeksi HIV, kemudian hinggap pada orang lain tidak akan menularkan HIV, Penggunaan telepon dan lain-lain.

d. Pencegahan Penularan HIV

Menjaga agar jangan sampai cairan tubuh yang telah tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. Cara pencegahannya tergantung dari cara penularannya: Mencegah penularan HIV lewat hubungan seks dengan cara Berpantang seks (tidak melakukan hubungan seks), Melakukan prinsip monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya, Penggunaan kondom pria atau kondom wanita secara konsisten dan benar, Mencegah penularan lewat alat-alat yang tercemar darah HIV.

B. PENELITIAN TERDAHULU

Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rotua Suriany Simamora (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra Indonesia) yang berjudul “Alternatif Kebijakan Perilaku Penggunaan Kondom Untuk Pencegahan Hiv Pada Pekerja Seks Waria Di Lokalisasi Gor Kota Bekasi Tahun 2014” yang lebih menekankan untuk membahas masalah prevalensi HIV dan mencari alternatif kebijakan dalam meningkatkan perilaku penggunaan kondom dalam rangka pencegahan HIV pada pekerja seks waria. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor: pada level individual (internal): pengetahuan, motivasi dan kesiapan mengubah perilaku dan niat mendukung perilaku penggunaan kondom tetapi tidak konsisten, lemah dan sebagian besar tidak langsung. Pada level interpersonal: pengaruh pasangan tetap, teman sebaya dan senior dan klien umumnya mendukung dan sebaliknya tidak mendukung pada perilaku penggunaan kondom dalam setiap hubungan seksual. (3) pada level kebijakan publik terutama kebijakan publik di Kota Bekasi masih lemah dan ditemukan mendukung sekaligus menghambat

(11)

perilaku penggunaan kondom. (4) Kebijakan yang ada saat ini kontennya masih relatif dan hanya mengenai sebagian aspek penting dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. (5) Diusulkan alternatif kebijakan berupa TOR untuk perbaikan program, kegiatan, anggaran pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bekasi.

Penelitian lain yang berhubungan adalah penelitian yang dilakukan “Nikodemus Niko (Prodi Sosiologi FISIP Universitas Tanjungpura) yang berjudul “Peranan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Dalam Upaya Mengurangi Stigma Sosial Bagi Orang Dengan HIV Dan AIDS (ODHA) di Kota Pontianak”. Penelitian ini lebih menekankan peran Komisi Penanggulangan AIDS Kota Pontianak dalam upaya mengurangi Stigma Sosial pada ODHA di Kota Pontianak serta mengetahui stigma-stigma yang cenderung melekat pada diri seorang ODHA. Hasil penelitian ini diperoleh stigma yang terdapat pada ODHA dari kalangan pengguna narkoba jarum suntik dan ODHA dari kalangan Gay, Waria dan LSL. Sedangkan upaya yang dilakukan Komisi Penanggulangan AIDS Kota Pontianak yaitu mengadakan program-program untuk ODHA seperti Pencegahan Melalui Transmisi Seksual (PMTS), Pengurangan Dampak Buruk Narkoba (Harm Reduction)dan Pemberdayaan Masyarakat (Warga Peduli AIDS).

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Suwarti (Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto ) yang berjudul “Strategi Coping Waria Dalam Menghadapi Kecemasan Terjangkit Hiv /Aids Di Purwokerto” Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkap kecemasan yang dialami waria terhadap kemungkinan terjangkit HIV/AIDS serta mengkaji strategi coping yang dilakukannya untuk menanggulangi kecemasan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan mengalami kecemasan cukup tinggi yang ditunjukkan gejala-gejala: sering sakit-sakitan, badan sering meriang, kepala sering merasa pusing-pusing, keluar keringat dingin, mengalami gangguan tidur, adanya ketakutan ketika ada informasi pemeriksaan VCT, ada ketakutan setiap kali akan melakukan hubungan seksual, banyak mengkonsumsi suplemen untuk stamina, bahkan ada yang kadang-kadang

(12)

mimpi buruk terhadap kemungkinan terjangkit HIV/AIDS. Strategi coping yang dilakukan lebih mengarah pada problem solving focus coping, yaitu waria secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan situasi yang menimbulkan kecemasan tersebut. Perilaku yang ditampilkan dalam mendukung strategi coping tersebut adalah dengan: mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang HIV/AIDS, memberanikan diri untuk memeriksakan diri ke klinik VCT, mengurangi kuantitas hubungan seksual, menggunakan kondom ketika melakukan relasi seksual, serta memiliki ”pacar” yang relatif tetap, aktif bersosialisasi dalam kegiatan kemasyarakatan misalnya dengan mengikuti pengajian dan penyuluhan, serta memiliki pekerjaan sampingan yang menghasilkan uang selain berprofesi sebagai pekerja seks komersial.

Penelitian lain yang juga membahas mengenai waria juga dilakukan oleh Sara Ruhghea, Mirza, risana, dan rahmatan dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dengan judul “Studi Kualitatif Kepuasan Hidup Pria Transgender (Waria) Di Banda Aceh”. Penelitian ini lebih menekankan mengenai gambaran kepuasan hidup waria yang ada di Aceh. Hasil analisis dari penelitian tersebut menunjukan bahwa kepuasan hidup pria transgender tercapai ketika mereka menerima kehidupannya, baik kondisinya saat ini maupun keberhasilannya dalam mengubah penampilan fisiknya menjadi wanita. Sumber kepuasan hidupnya berasal dari dukungan sosial yang diperoleh dari sesama pria transgender serta dari pasangan hidupnya; karena terpenuhinya kebutuhan untuk mencintai dan dicintai. Hambatan terbesar yang mereka hadapi adalah penolakan masyarakat yang meningkatkan kecemasan mereka karena mereka merasa tidak dapat berperan sesuai dengan gendernya. Menghadapi kesulitan ini, strategi coping yang digunakan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Pria transgender memiliki kepuasan hidup yang tinggi ketika ia dapat menerima hidupnya dan mendapat dukungan dari masyarakat.

Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Dewi Rokhmah (Kesehatan Masyarakat/ Universitas Jember) yang berjudul “Pola Asuh Dan Pembentukan

(13)

Perilaku Seksual Berisiko Terhadap Hiv/Aids Pada Waria”. Ketidakharmonisan hubungan antara anak dan orang tua yang tidak harmonis, bertentangan, kejam, penuh dengan tekanan serta mengakibatkan kondisi patologis di keluarga. Hal Ini menjadi faktor pendorong dalam pembentukan perilaku seksual yang menyimpang yang mengarah pada risiko penularan HIV/AIDS. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjadi waria karena pola asuh yang koersif (keras). Sebagian Kecil responden menjadi waria karena pola asuh orang tua dimana peran ibu sangat dominan (kehilangan figureayah) dan pola asuh orang tua yang permisif. Dimana Kondisi ini mengakibatkan eksistensi dan identitas sebagai waria menjadi lebih kuat, serta mempengaruhi perilaku seksual mereka pada saat memasuki usia remaja dan dewasa yang sangat rentan terhadap penularan HIV/AIDS, seperti Melakukann oral dan anal seks dengan bergonta-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom atau pelicin. Dibutuhkan Upaya yang komprehensive antara pemerintah dan masyarakat dalam melakukan promosi kesehatan.

Adapaun jurnal internasional yang serupa adalah penelitian yang dilakukan oleh Kathryn E. Muessig, Nina B. Baltierra,Emily C. Pike, Sara Legrand And Lisa B. Hightow Weidman, yang berjudul “Achieving Hiv Risk Reduction Through Healthmpowerment.Org, A User-Driven Ehealth Intervention For Young Black Men Who Have Sex With Men And Transgender Women Who Have Sex With Men”. Penelitian ini menekankan penggunaaan teknologi untuk menurangi perilaku seksual, yakni HealthMpowerment. org di (HMP) adalah ponsel berbasis online yang berisi perubahan perilaku dan teori-teori permainan dengan tujuan mengurangi perilaku seksual. Hasil menunjukkan HMP diterima dengan baik dan menunjukkan virtual intervensi keterlibatan keperilaku aktual perubahan untuk mengurangi risiko perilaku HIV.

Penelitian mengenai transgender juga pernah dilakukan oleh Nada Chaiyajit berjudul “Using Information And Communication Technologies (Icts) To Get To Zero Hiv Infections Among Thai Transgender People”. Penelitian tersebut mengidentifikasi kesenjangan dan tantangan dalam layanan

(14)

waria ODHA yang tinggal di Thailand. Antara lain rekomendasi dan pengakuan kebutuhan layanan transgender dari orang-orang yang berhubungan seks dengan pria.

C. LANDASAN TEORI 1. Teori Tindakan Sosial

Max Weber adalah salah satu ahli sosiologi dan sejarah bangsa Jerman, lahir di Erfurt, 21 April 1864 dan meninggal dunia di Munchen, 14 Juni 1920. Weber adalah guru besar di Freiburg (1894-1897), Heidelberg (sejak 1897), dan Munchen (1919-1920). Weber melihat sosiologi sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial; dan itulah yang dimaksudkan dengan pengertian paradigma definisi atau ilmu sosial itu (Ritzer 1975).

Weber mendefinisikan sosiologi adalah ilmu yang bertujuan untuk memahami perikelakuan sosial melalui penafsiranya, dan dengan itu menerangkan jalan perkembanganya dan akibat-akibatnya menurut sebab-sebab nya. Kata “perikelakuan” dipakai oleh weber untuk perbuatan-perbuatan yang bagi si pelaku mempunyai arti subyektif (gemeinter sinn). Maksudnya, pelaku hendak mencapai suatu tujuan atau ia didorong oleh motivasi. Entah kelakuan itu bersifat lahiriah atau batiniah berupa perenungan, perencanaan , pengambilan keputusan, dan sebagainya, entah kelakuan itu terdiri dari intervensi positif ke dalam suatu situasi atau sikap pasif yang sengaja tidak mau terlibat kemudian memakai kata “kelakuan” itu hanya untuk perbuatan manusia yang mempunyai arti bagi dia (sinnhaft, sinnvoll). Kesadaran akan arti dari apa yang dibuat itulah ciri hakiki manusia. Tanpa kesadarn itu suatu perbuatan tidak dapat disebut kelakuan manusia. Walaupun banyak tinak manusia bercorak rutin saja dan konformistis, namun suatu kesadaran minimal akan arti dari hal yang dibuat harus ada supaya mereka dapat disebut kelakuan (Veeger, 1990: 171).

(15)

Kajian mengenai tindakan manusia menujukkan makan hanyalah salah satu dari elemen kausa aksi/tindakan. Dua pertanyaan fundamental menegenai berbagai makna merupakan hal penting bagi weber. Pertama, seseorang haruslah menyadari tentang fakta bahwa perilaku bermakna samar dalam bentuk-bentuk yang tidak bermakna. Banyak tindakan tradisional begitu biasa seakan-akan hampir tidak bermakna. Di sisi lain banyak pengalaman magis tampak begitu sulit untuk dapat dikomunikasikan. Weber menyadari permasalahan ini sebagai sebuah penafsiran. Akan halnya tingkatan bahwa suatu tindakan adalah rasional menurut ukuran logika atau sains atau menurut standar logika ilmiah. Dalam analisanya Weber kemudian memandang bahwa makna subjektif yang diinginkan merupakan komponen kausal tindak-tanduk (Bachtiar, 2006: 268-271 ).

Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain. Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan social ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000). Ada 5 ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber sebagai berikut:

a. Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata.

(16)

c. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak manapun.

d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu

e. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Selain kelima ciri pokok tersebut, menurut Weber tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang.

Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi. Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan sosial tersebut. Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti, dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-masing pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan. Dalam tindakan ini tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti, dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan berlangsungnya perilaku.

Karena orientasi subjektif individu mencakup kesadaran (tepat atau tidak) akan tindakan yang mungkin dan reaksi-reaksi yang mungkin dari orang lain, maka probabilita-probabilita ini mempunyai pengaruh yang benar-benar terhadap tindakan sosial, baik sebagai sesuatu yang bersifat

(17)

memaksa maupun sebagai satu alat untuk mempermudah satu jenis tindakan dari pada yang lainnya (Doyle, 1998).

1) Tindakan Sosial dari Pemahaman Subyektif

Perikelakuan menjadi sosial hanya apabila dan sejauh mana arti maksud subyektif dari tingkah laku membuat individu memikirkan dan memperhitungkan kelakuan orang-orang lain dan mengarahkanya kepada itu. Oleh orientasi itulah perikelakuan memperoleh suatu kemantapan sosial dan menunjukkan suatu keseragaman yang kurang lebih tetap. Perilaku individual mengarahkan kelakuanya kepada penetapan-penetapan atau harapan-harapan tertentu yang berupa kebiasaan umum atau dituntut dengan tegas (Veeger, 1990:1771).

Weber membedakan tinakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatis yang tidak melibatkan proses pemikiran. Stimulus datang dan pemikiran terjadi, dengan sedikit saja jeda antara stimulus dengan respons. Perilaku semacam itu tidak menjadi minat sosiologi weber. Ia memusatkan perhatianya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus dan respons. Secara agak berbeda, tindakan dikatakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka (Ritzer,2010:136).

2) Tipe-tipe Tindakan Sosial

Weber membuat klasifikasi tindakan sosial menjadi empat tipe, yakni: a. Tindakan rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)

Tindakan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan. Baik tujuan itu sendiri maupun segala tindak yang diambil dalam rangka tujuan itu, dan akibat-akibat sampingan yang akan timbul dipertimbangkan dengan otak dingin (Veeger, 1990: 172-173). Atau aksi/tindakan adalah zweckrational (berguna secara rasional) manakala ia diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu pluralitas

(18)

cara dan tujuan-tujuan dimana si pelaku bebas memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi (Bachtiar, 2006: 273).

Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Contohnya : Seorang siswa yang sering terlambat dikarenakan tidak memiliki alat transportasi, akhirnya ia membeli sepeda motor agar ia datang kesekolah lebih awal dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan tertentu. Dengan perkataan lain menilai dan menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain.

b. Tindakan rasional nilai (Werk Rational)

Tipe kedua adalah tindakan yang berorientasi kepada suatu nilai, seperti nilai keindahan (nilai estetis), kemerdekaan (nilai politik), persaudaraan (nilai keagamaan), dsb.orang mengatur hidup mereka demi nilai itu sendiri, tidak ada tujuan atau motivasi lain (Veeger, 1990: 173). Tipe ini bisa juga disebut wertirational, yang artinya rasional dalam arti kaitanya dengan nilai-nilai, yaitu manakala cara-cara diplih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuanya pasti yaitu keunggulan (Bachtiar, 2006: 273).

Tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan orang yang lebih tua ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki.

c. Tindakan afektif/Tindakan yang dipengaruhi emosi (Affectual Action)

(19)

Tipe ketiga adalah tindakan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang, dan karena itu disebut kelakuan afektif atau emosional (Veeger, 1990: 173-174). Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu.

d. Tindakan tradisional/Tindakan karena kebiasaan (Traditional Action)

Tipe terakhir adalah tindakan yang menerima arahnya dari tradisi, sehingga disebut tindakan tradisional. Banyak hal yang kita lakukan setiap hari tanpa memikirkan tujuan atau latar belakang motivasional mereka. Seandainya perbuatan-perbuatan ini merosot sampai menjadi reaksi otomatis atas perangsang-perangsang yang bersifat kebiasaan, mereka bukan kelakuan sosial lagi (Veeger, 1990: 174). Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampong disaat lebaran atau Idul Fitri.

D. KERANGKA BERPIKIR

Dalam kerangka berpikir ini dijelaskan mengenai cara berpikir peneliti dalam rangka mengadakan penelitian tentang strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh waria ODHA yang ada di Solo, tepatnya waria yang menjadi anggota HIWASO.

Waria tentu memiliki resiko atau masalah yang tidak sederhana terlebih jika waria tersebut menjadi waria ODHA, tentu banyak masalah baru yang harus dihadapi seperti respon masyarakat, tekanan dari lingkungan sekitar, keberlangsungan pekerjaan, biaya pengobatan rutin, dan lain-lain. Dalam menghadapi masalah tersebut tentu saja waria memiliki strategi untuk keberlangsungan hidup mereka. Strategi tersebut bisa berupa tindakan-tindakan khusus yang akan peneliti kaitkan dengan teori Tindakan Sosial Max Weber.

(20)

Strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh waria tentu mengacu pada sebuah tindakan-tindakan sehingga mereka dapat mencapai tujuan.

Bagan 2.1. Kerangka Berpikir

Aspek-aspek tujuan, nilai, Instrumental,afeksi dan kebiasaan PERAWATAN KELUARGA PENGOBATAN HIWASO Masalah-masalah sosial, ekonomi, dan kesehatan Waria ODHA KEMANDIRIAN KDS PEMERINTAH

Referensi

Dokumen terkait

Zn dalam tanah dikelompokkan dalam bentuk-bentuk kelompok mudah tersedia sampai tidak tersedia bagi tanaman, yaitu bentuk terlarut dalam air, dapat dipertukarkan (terikat

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Sungai Raya mengalami kesulitan koneksi

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Pada kawasan tersebut terjadi genangan setinggi sekitar 40–60 cm dengan lama genangan 4-8 jam yang diakibatkan air dari saluran

Pelaksanaan kegiatan keaksaraan (keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri) dilaksanakan pada tahun anggaran 2012. Agar pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik, lancar

::luas kelainan yang di lihat bisa dimana saja dalam luas kelainan yang di lihat bisa dimana saja dalam paru,luas kelainan tidak melebihi satu lobus,bisa paru,luas kelainan

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan (1) pilihan kata yang terdapat dalam kegiatan panjat dinding di

Logo dapat membedakan perusahaan yang satu dengan yang lain, produk yang satu dengan yang lain...

PERANAN DAN PEMANFAATAN MODAL SOSIA DALAM PENGEMBANGAN KLASTER STUDI PADA KLASTER COR LOGAM CEPER-KLATEN JAWA TENGAH..