• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kedelai"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Tanaman kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penghasil protein nabati yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sejalan dengan perkembangan tanaman kedelai, maka industri pangan berbahan baku kedelai akan terus berkembang. Kebutuhan akan protein hewani telah mendorong berkembangnya industri peternakan, sehingga memacu pertumbuhan industri pakan ternak. Komponen terpenting kedua dari pakan konsentrat setelah jagung adalah bungkil kedelai (Tangendjaja et al. 2003). Berdasarkan kondisi tersebut, maka perkembangan industri pangan berbahan baku kedelai dan industri pakan ternak di Indonesia telah menyebabkan permintaan kedelai akan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan pada tahun 2004, memperkirakan bahwa konsumsi kedelai adalah sekitar 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sekitar 1,1 juta ton. Hal ini diperkuat oleh data statistik dari Food Association Organisation (FAO) dan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa konsumsi kedelai pada tahun 2004 sebesar 1,84 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 0,72 ton. Kekurangannya diimpor terutama dari negara Amerika sebesar 1,2 juta ton atau sekitar 61% dari total kebutuhan (Sejati et al. 2009).

Periode 1970-1992 produksi kedelai nasional masih tumbuh meyakinkan yaitu dari sekitar 0,50 juta ton pada tahun 1970 menjadi sekitar 0,65 juta ton pada tahun 1980 dan pada tahun 1990 meningkat lagi menjadi 1,49 juta ton serta mencapai puncaknya pada tahun 1992 yaitu 1,53 juta ton. Tingginya tingkat pertumbuhan ini sebagian lagi karena perkembangan teknologi budidaya kedelai. Periode 1970-1992, dimana pada tahun 1970 areal panen sekitar 0,69 juta hektar, meningkat menjadi 1,33 juta hektar pada tahun 1990 dan mencapai puncaknya pada tahun 1992 yaitu 1,66 juta hektar. Produktivitas kedelaipun secara perlahan menunjukkan peningkatan, yaitu dari 0,72 ton per hektar pada tahun 1970 menjadi 1,11 ton per hektar pada tahun 1990. Tahun 2000 meningkat lagi menjadi 1,23 ton per hektar dan menjadi sekitar 1,28 ton per hektar pada tahun 2004. Produktivitas kedelai meningkat rata-rata 1,70% per tahun selama periode

(2)

1970-2004, sehingga terjadinya peningkatan produktiviats kedelai merupakan cerminan adanya kemajuan dalam penerapan teknologi budidaya kedelai. Pertumbuhan produktivitas masih jauh di bawah laju penurunan areal panen, sehingga produksi kedelai menurun dengan tajam (Sejati et al. 2009)

Berdasarkan data Ditjentan (2004), kendala yang menyebabkan terus menurunnya areal panen kedelai antara lain adalah : (1) produktivitas yang relatif masih rendah, sehingga kurang menguntungkan dibandingkan komoditas pesaing lainnya, (2) belum berkembangnya industri perbenihan, (3) keterampilan petani yang masih rendah, (4) rentan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT), (5) belum berkembangnya pola kemitraan, karena sektor swasta belum tertarik untuk melakukan agribisnis kedelai, dan (6) kebijakan perdagangan bebas (bebas tarif impor), sehingga harga kedelai impor lebih murah dibanding kedelai dalam negeri. Kendala tersebut menyebabkan banyak petani yang beralih dari kedelai ke tanaman lain, seperti jagung hibrida yang lebih menguntungkan.

Seiring dengan rencana pembangunan pertanian jangka menengah, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa sasaran pengembangan kedelai adalah meningkatkan produksi nasional dengan pertumbuhan sebesar 7% per tahun. Pencapaian sasaran tersebut maka diperlukan upaya keras dan konsisten melalui berbagai strategi, terutama peningkatan areal panen, produktivitas dan mutu, kebijakan pengadaan sarana produksi, dan pemasaran (Sejati et al. 2009).

Perluasan areal panen dapat ditempuh melalui berbagai strategi, antara lain : perluasan areal tanam. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui introduksi teknologi inovatif. Salah satu komponen teknologi yang paling mudah dan cepat menyebar adalah penggunaan varietas unggul baru (VUB) seperti varietas Grobogan, Baluran, dan varietas-varietas unggul lainnya yang berdaya hasil tinggi. Varietas unggul kedelai tersebut merupakan komponen teknologi yang penting diterapkan untuk meningkatkan produktivitas, karena mempunyai potensi hasil rata-rata 2,5 ton per hektar. Masalah pada saat ini baru 10% petani yang menggunakan benih bermutu dari varietas unggul tersebut (DITJENTAN 2004), sedangkan menurut data Litbang Pertanian penggunaan benih bermutu dari varietas unggul kedelai secara nasional masih dibawah 15% (BADAN LITBANG 2010).

(3)

Benih Bermutu

Benih bermutu merupakan syarat utama dalam mendukung keberhasilan usahatani kedelai. Menurut Sadjad (1993) mutu benih meliputi mutu fisik, fisiologis, dan mutu genetik. Mutu fisik meliputi : (1) kebersihan benih dari kotoran fisik dan campuran biji-biji pecah atau biji tanaman lain, (2) penampilan benih (ukuran benih) dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam kondisi yang serba normal pula. Sedangkan mutu genetik yaitu benih yang jelas dan benar identitas genetiknya, serta tidak terdapat campuran varietas lain.

Secara spesifik, penggunaan benih bermutu tinggi berdampak pada pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil panen yang tinggi. Syarat benih bermutu adalah : (1) murni dan diketahui nama varietasnya; (2) daya tumbuh tinggi (minimal 80%) dan vigornya baik; (3) biji sehat, bernas, tidak keriput, dipanen pada saat biji telah matang; (4) dipanen dari tanaman yang sehat, tidak terinfeksi penyakit (cendawan, bakteri, dan virus); dan (5) benih tidak tercampur biji tanaman lain atau biji rerumputan (Wirawan & Wahyuni 2002).

Benih dianggap bermutu tinggi jika memiliki daya tumbuh (daya berkecambah) ≥80 % (bergantung pada jenis dan kelas benih) dan nilai kadar air di bawah 13 % (bergantung pada jenis benih). Pengendalian mutu dalam industri benih memiliki tiga aspek penting yaitu :

1. Penetapan standar minimum mutu benih yang dapat diterima

2. Perumusan dan implementasi sistem dan prosedur untuk mencapai dan mempertahankan standar mutu yang telah ditetapkan.

3. Pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya masalah dalam mutu dan cara mengatasinya.

Benih berdasarkan kelas adalah sebagai berikut :

1. Benih penjenis, BS (Breeder Seed) yaitu benih yang diproduksi dan diawasi oleh pemulia tanaman dan atau instansi yang menanganinya, sebagai sumber untuk perbanyakan benih dasar

2. Benih dasar, BD (Foundation Seed) yaitu benih yang diproduksi dan diawasi secara ketat oleh BBI dan instansi lainnya yang telah mendapat isin untuk

(4)

mengolah benih BD (UPBS lingkup badan litbang pertanian) sehingga kemurniannya tetap terjaga

3. Benih pokok, BP (Stock Seed) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih atau pihak swasta yang terdaftar

4. Benih sebar, BR (Extension Seed) yaitu benih yang diproduksi oleh Balai Benih dan penangkar benih dengan bimbingan dan pengawasan dari BPSB.

Benih bermutu dapat diperoleh dengan melakukan sertifikasi benih, yaitu dengan memberikan persyaratan khusus atau standarisasi pada kelas-kelas benih tersebut dengan pemberian standar di lapang dan standar di laboratorium (Mugnisjah & Setiawan 1995).

Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat pada kelas Benih Dasar dan Benih Pokok memiliki kadar air maksimum 11 %, benih murni minimum 98%, kotoran benih maksimum 2%, campuran varietas lain maksimum 0,1 dan 0,2%, serta daya tumbuh minimum 80%. Benih sebar label biru dan label hijau memiliki kadar air maksimum 11 %, benih murni minimum 97%, kotoran benih maksimum 3%, campuran varietas lain maksimum 0,5 dan 0,7%, serta daya tumbuh minimum 80% dan 70%. Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Standar pengujian laboratorium benih kedelai bersertifikat Kelas Benih Kadar Air Maks (%) Benih Murni Min (%) Kotoran Benih Maks (%) Benih Varietas Lain Maks (%) Daya Tumbuh Min (%) Benih Dasar 11 98 2 0.1 80 Benih Pokok 11 98 2 0.2 80 Benih Sebar - Label bir (BR) - Label hijau (BR1 dan BR2) 11 11 97 97 3 3 0.5 0.7 80 70 Sumber : Litbang Deptan, 2007

Penyediaan Benih Kedelai Bermutu

Benih bermutu dihasilkan oleh produsen melalui prosedur produksi benih yang berawal dari persiapan lahan yang menjamin bebas dari kontaminasi genetik, penyediaan benih sumber yang dijamin mutunya (di lapangan dan pengujian

(5)

laboratorium), sampai dengan pengolahan benih setelah dipanen, dan penanganannya (handling) hingga di tangan konsumen (Sadjad 1994).

Lembaga atau perusahaan yang terlibat dalam pengadaan benih bermutu harus mampu memproduksi benih tersebut dengan menggunakan teknik produksi, penanganan (handling), dan pengendalian mutu yang dapat menjamin bahwa benih yang dihasilkannya benar-benar lebih baik daripada benih yang dihasilkan petani dan mendistribusikan benih tersebut hingga ke tingkat petani yang membutuhkan sebelum waktu tanam (Mugnisjah & Setiawan 1990). Benih unggul yang dihasilkan oleh industri benih jika tidak sampai ke petani maka benih itu tidak tersedia dan petani akan mencari benih alternatif yang tersedia tanpa menangguhkan penanamannya.

Wirawan & Wahyuni (2002) berpendapat bahwa permasalahan pengadaan benih kedelai yang bermutu dan benar secara berkelanjutan disebabkan kurang tertariknya para investor untuk memproduksi benih kedelai dengan alasan sebagai berikut : (1) produktivitas tanaman kedelai masih rendah sehingga secara usahatani kurang menguntungkan, (2) harga kedelai konsumsi nasional rendah sehingga petani kurang tertarik mengusahakannya, (3) masa edar (waktu pemasaran) benih kedelai sangat singkat karena daya simpannya yang sangat singkat, dan (4) harga kedelai impor yang lebih murah dari harga kedelai lokal semakin mengecilkan minat petani untuk menanam kedelai dan penangkar benih kedelai juga kurang berminat. Dengan demikian maka diperlukan strategi untuk mengatasi masalah tersebut.

Sebelum benih kedelai varietas unggul dilepas dan disebarkan ke konsumen, benih kedelai yang diproduksi tersebut harus melalui tahapan sertifikasi benih yaitu untuk menguji viabilitas dan vigor benih seperti : (1) benihnya matang dan kering dengan kadar air maksimum 11%, (2) daya

berkecambahnya lebih dari 80%, (3) murni, yaitu tidak tercampur varietas lain atau bila tercampur varietas lain tidak melampaui batas toleransi, maksimum 3%, (4) asli yang mencerminkan sifat unggul varietas, (5) mempunyai vigor yang cukup baik sehingga mampu tumbuh serempak, (6) bersih, yaitu tidak tercampur biji rerumputan/gulma, biji tanaman kacang-kacangan, atau biji tanaman lain, (7) sehat, tidak ada bibit virus dan tidak terinfeksi cendawan, dan (8) bernas, tidak

(6)

keriput, mulus, dan tidak ada bekas gigitan hama serangga (Wirawan & Wahyuni 2002).

Sistem Perbenihan

Sistem perbenihan dapat diartikan sebagai peraturan yang harus diikuti dan program yang harus dilaksanakan untuk mencapai produksi dan distribusi benih dengan kualitas dan kuantitas yang direncanakan (Douglas 1980). Dalam sistem perbenihan tercakup peran semua subsistem, seperti pemuliaan tanaman, perusahaan benih (BUMN atau swasta), pengawas mutu (BPSB), penangkar benih sebar, pengelolaan benih, dan pemasaran benih. Douglas (1980) membagi perkembangan sistem perbenihan menjadi empat tahap, yaitu :

Tahap I : Petani masih menggunakan benih sendiri, varietas lokal, dan mutu benih tidak terjamin serta cara budidayanya yang tradisional Tahap II : Beberapa petani menggunakan benih bermutu, mulai terdapat

pengusaha benih secara komersial, varietas unggul mulai menggantikan varietas lokal

Tahap III : Beberapa komponen sistem perbenihan telah dilaksanakan, penyediaan benih bermutu hampir cukup, varietas unggul dengan cepat mengganti varietas lokal, tetapi petani belum semuanya menggunakan benih bermutu. Tingkat penggantian benih per musim tanam atau seed replacement rate berkisar antara 30-60%, sedang sisanya masih dipenuhi oleh benih yang diperoleh dari hasil panen petani sendiri (saved seeds).

Tahap IV : Pada tahap ini sistem perbenihan sudah sangat maju dan berjalan lancar. Peraturan perbenihan telah dijalankan, kebijakan dalam perbenihan jelas dan umumnya mendukung perkembangan produksi dan pemasaran benih secara komersial. Pada tahap ini usahatani bersifat komersial penuh, budidaya menerapkan teknik maju yang baku, dan terdapat deferensiasi fungsi komponen usahatani.

Hubungan antara tahap perkembangan perbenihan dengan tingkat usahatani adalah bersifat timbal balik, bukan yang satu menentukan yang lain. Berdasarkan tahapan tersebut, menurut Sumarno (1998) bahwa sistem perbenihan

(7)

kedelai di Indonesia baru mencapai tahap II, dan pada saat ini sistem perbenihan kedelai nampaknya sudah mengarah ke tahap III.

Penyebab lambatnya perkembangan benih kedelai, antara lain : (1) usahatani kedelai bersifat sampingan, bukan utama sehingga petani belum

memikirkan penggunaan benih bermutu sebagai komponen utama, (2) usahatani pada setiap petani skalanya sempit, tersebar dalam areal yang terpencar, musim tanam terbagi dan tidak serempak sehingga tidak kondusif untuk pasar industri benih kedelai, (3) musim tanam kedelai, utamanya MH I (awal musim hujan) berbarengan dengan musim paceklik, petani tidak memiliki modal untuk membeli benih kedelai, sehingga lebih suka menggunakan benih sendiri, (4) benih kedelai yang diproduksi oleh pengusaha benih formal dinilai mahal oleh petani, dan (5) jaminan mutu benih bersertifikat dalam hal daya tumbuh, vigor, kemurnian, dan kesehatan benih belum dapat meyakinkan petani.

Upaya untuk mengatasi masalah lambatnya perkembangan benih kedelai, pada prinsipnya adalah penumbuhan usaha perbenihan yang disesuaikan dengan perkembangan usahatani kedelai. Strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut : (1) mendorong terbentuknya penangkar benih informal di sentra produksi kedelai, (2) memberdayakan kelompok tani di sentra produksi kedelai melalui pelatihan, magang, dan sekolah lapang teknis produksi kedelai, (3) mendorong salah satu anggota kelompok tani di sentra produksi kedelai menjadi penangkar benih, pada tahap awal menyediakan benih untuk kelompoknya, selanjutnya berkembang untuk petani lain di wilayahnya, (4) membimbing penangkar benih informal untuk menjadi perusahaan benih formal skala kecil, berbasis modal anggota kelompok atau koperasi, (5) menjadikan perusahaan benih formal kecil di sentra produksi kedelai sebagai kekuatan sistem perbenihan kedelai nasional, (6) membentuk Asosiasi Perusahaan Benih dan mengusahakan kemitraan antara perusahaan benih berskala kecil dengan berskala besar seperti PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Pioneer, dan sebagainya, serta (7) menjadikan usaha perbenihan sebagai bagian integral dari agribisnis di pedesaan.

Tahapan perkembangan sistem perbenihan sudah mencapai tahap III, pengadaan benih kedelai yang dekat dengan petani dan memenuhi persyaratan enam tepat akan dapat dicapai (Sumarno 1998).

(8)

Kebijakan Perbenihan

Legislasi pengembangan perbenihan tidak terlepas dari UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman. UU dan PP tersebut merupakan tonggak arahan yang oleh semua industri benih harus diacu (Sadjad 1997). UU dan PP tersebut bersifat mendorong produsen dan melindungi konsumen. Perlindungan ini diwujudkan bagi para konsumen benih berupa persyaratan mutu benih yang harus dipenuhi oleh industri benih. Pelanggaran karena kelalaian apalagi kesengajaan dalam mengedarkan benih yang mutunya tidak sesuai dengan label dapat dipidana dengan ancaman hukuman penjara dan atau denda yang cukup berat. Berdasarkan UU dan PP tersebut benih seharusnya merupakan komoditas yang bernilai tinggi mengingat sanksi hukum atas pelanggarannya yang cukup berat. UU tersebut juga memberi perlindungan pada produsen benih yang benar.

UU No. 12 tahun 1992 terdapat pasal-pasal yang bersifat melindungi misalnya pasal 8 yang berbunyi : “Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budidaya tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri“. Menurut Sadjad (1997), bahwa dengan adanya pasal 8 tersebut maka yang dikatakan sebagai produsen benih bermutu adalah produsen yang menghasilkan benih melalui penemuan varietas unggul atau introduksi dari luar negeri dan konsumen benih hanya akan mendapatkan benih yang bermutu. Pasal ini merupakan perlindungan terhadap produsen dan konsumen benih. Pada pasal 9 ayat 1 adapatokan untuk penemuan varietas unggul yang harus dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Pasal ini berbunyi :

“Penemuan varietas unggul dilakukan melalui pemuliaan tanaman”. Perundangan ini secara spesifik lebih membatasi pengertian benih bermutu yang lebih menekankan pada batasan mutu genetik. Untuk itu pemerintah harus terus menerus mendorong agar industri benih meningkatkan teknologinya sehingga produksinya dapat digolongkan benih bermutu.

Perkembangan awal pembangunan kelembagaan perbenihan pada era Orde Baru dimulai tahun 1971. Tahun tersebut pemerintah membuat berbagai keputusan yang berkaitan langsung dengan pembangunan bidang perbenihan seperti :

(9)

1. Pendirian Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi untuk bidang penelitian dan pengembangan, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan varietas unggul dan benih sumber

2. Pendirian Perum Sang Hyang Seri untuk perbanyakan benih agar tersedia bagi petani

3. Pembentukan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) untuk mengawasi produksi dan pemasaran benih

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 tahun 1971, dibentuk Badan Benih Nasional (BBN), dan lima bulan kemudian yaitu pada bulan Oktober 1971 dikeluarkan Kepres No. 72 tahun 1971 tentang Pembinaan, Pengawasan Pemasaran, dan Sertifikasi Benih.

Sistem pengadaan benih nasional didukung oleh kelembagaan perbenihan, mulai dari penciptaan varietas, seleksi varietas sampai dengan perbanyakan dan penyaluran benih. Keterlibatan pemerintah dalam sistem produksi benih adalah mendukung petani dengan tidak sepenuhnya menyerahkan produksi benih pada produsen benih swasta. Produksi Benih Penjenis dan Benih Dasar merupakan tanggung jawab pemerintah.

Lembaga Perbenihan yang ada di daerah diklasifikasi dalam 3 level yang berbeda yaitu Balai Benih Induk (BBI), Balai Benih Utama (BBU) dan Balai Benih Pembantu (BBP).

a). BBI dibentuk berdasarkan SK Dirjen Tanaman Pangan No. SK.I.A5.82.6 yang tugas utamanya adalah : i). Memperbanyak Benih Dasar dan Benih Pokok dan; ii). Memberikan informasi, pelatihan dan melakukan pertemuan dengan penyuluh pertanian, penangkar benih, petugas serta ahli benih.

b). BBU dan BBP tugasnya memproduksi Benih Pokok dan Benih Sebar. Benih Pokok yang dihasilkan akan didistribusikan kepada penangkar benih untuk diperbanyak menjadi Benih Sebar. Pada kondisi tertentu BBU hanya memproduksi Benih Sebar.

c). Perusahaan Umum (Perum) Nasional Sang Hyang Seri. Upaya dalam rangka menunjang program peningkatan produksi pangan, khususnya melalui penyediaan dan penggunaan benih varietas unggul bermutu tinggi, maka Pemerintah melalui PP No. 22 Tahun 1971 mendirikan Perum Sang Hyang

(10)

Seri, yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 44 Tahun 1985. Upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha perbenihan pertanian, Perum Sang Hyang Seri diubah statusnya menjadi perusahaan Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan PP No. 18 Tahun 1995.

Metode Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat (SWOT)

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan.

Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti 2002). Analisis ini bila diterapkan secara akurat, asumsi sederhana ini mempunyai kekuatan yang sangat besar atas rancangan suatu strategi yang berhasil. Penjabaran dari komponen analisis SWOT adalah sebagai berikut :

Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan lembaga/sistem. Kecendrungan-kecendrungan penting merupakan salah satu sumber peluang. Identifikasi sumber terbaik, perubahan pada situasi regulasi, perubahan teknologi dan memberikan peluang bagi lembaga. Ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan lembaga. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi keadaan sekarang dan keadaan yang diinginkan di masa mendatang.

Kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan, atau keunggulan-keunggulan lain. Kekuatan dapat terkandung pada sumberdaya keuangan, citra, dan faktor-faktor lainnya. Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya, keterampilan dan kapabilitas yang secara serius menghambat kinerja efektif suatu organisasi.

Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk membantu analisis strategis. Cara yang paling baik adalah memanfaatkannya sebagai

(11)

kerangka acuan logis yang memedomani perubahan sistematik tentang situasi lembaga dan alternatif-alternatif pokok yang mungkin dipertimbangkan. Sebagai hasilnya, analisis ini memberikan kerangka yang dinamik dan bermanfaat untuk analisis strategik. Secara keseluruhan, analisis SWOT menunjukkan peran penting dari identifikasi kekuatan dan kelemahan intern dalam pencarian strategi efektif oleh pemegang keputusan. Pencocokan yang cermat antar kekuatan dan kelemahan merupakan inti dari formulasi strategi yang tepat.

Lingkungan internal dan eksternal pada dasarnya terdapat 4 unsur yang selalu dimiliki dan dihadapi yakni secara internal memiliki sejumlah kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan secara eksternal akan berhadapan dengan berbagai peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

Fokus analisis berorientasi pada posisi masa depan. Menganalisis berbagai kemungkinan yang dapat terjadi termasuk peluang ataupun ancaman dengan melihat alasan-alasan terjadinya sesuatu permasalahan.

Rangkuti (2002) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities). Secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan.

Empat strategi yang dihasilkan dari hasil analisis SWOT yaitu strategis Strength-Opportunities (SO) bertujuan untuk menarik keuntungan dari peluang yang tersedia dari lingkungan eksternal. Strategi Weaknesses-Opportunities (WO) bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Strategi Strengths-Threats (ST) bertujuan untuk menghindari atau memperkecil dampak ancaman dari luar. Strategi Weaknesses-Threats (WT) bertujuan untuk memperkecil kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.

Referensi

Dokumen terkait

Obyek animasi yang dipakai dalam jenis film animasi ini adalah boneka dan figur lainnya, merupakan penyederhanaan dari bentuk alam benda yang ada, terbuat dari bahan-bahan

Di Indonesia tidak ada organisasi khusus yang dibentuk untuk menangani ILM. Pada umumnya ILM dibuat secara sendiri-sendiri oleh biro iklan yang bekerja sama dengan media dan

 Dalam animasi sprite yang dapat kita edit adalah animasi dari layar yang mengandung sprite, kita tidak dapat mengedit bagian dalam yang ditampilkan oleh

Metode penelitian yang digunakan adalah metod eeksperimental menggunakan RancanganAcak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3 kali ulangan, yakni P0 (kontrol),

Kaitannya pada investasi berbasis hobi memelihara hewan adalah investor sangat percaya diri dengan pilihan hewan yang dipeliharanya mampu akan menghasilkan

Pekanbaru, 17 November 2017 Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah. (BAP-S/M)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) formula pupuk NPK majemuk berbasis amonium nitrat relatif lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman kentang dan meningkatkan produktivitas

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis proyek pada materi harga jual,