• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis

Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas atau tegakan yang telah terganggu. Dengan mengetahui komposisi jenis tersebut, maka dapat diketahui juga perkembangan tegakan yang telah berlangsung pada komunitas yang terganggu tersebut. Apabila komposisi jenis pada tegakan tersebut sudah mendekati kondisi awal, dalam hal ini mendekati kondisi pada hutan primer, maka dapat dikatakan bahwa kondisi tegakan tersebut telah pulih.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di petak GG-39 pada areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah, pada kondisi hutan primer dan bekas tebangan/logged over area (LOA) setelah 2 (dua) tahun dengan teknik silvikultur TPTII yang diukur pada 3 (tiga) kelas kelerengan yang berbeda, maka diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda untuk tiap tingkatan permudaannya. Hasil dari analisis vegetasi untuk komposisi jenis yang terdapat di petak GG-39 dapat dilihat di tabel 8.

Tabel 8 Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan

Kondisi Hutan Kelerengan Jumlah Jenis

Semai Pancang Tiang Pohon

Primer Datar (0-15 %) 25 38 36 47

Sedang (15-25 %) 36 38 43 51 Curam (> 25 %) 38 36 35 47

Rata-rata 33 37 38 48 LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) 16 21 39 48

Sedang (15-25 %) 22 27 41 44 Curam (> 25 %) 24 27 37 52

Rata-rata 21 25 39 48 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam

(2)

Berdasarkan tabel 8, dapat dilihat bahwa komposisi jenis untuk tiap tingkatan permudaan berbeda. Jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pohon, baik itu di hutan primer maupun di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Pada hutan primer, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan curam yaitu sekitar 38 jenis per hektar, kemudian kelas kelerengan sedang yaitu sekitar 36 jenis per hektar dan kelas kelerengan datar yaitu sekitar 25 jenis per hektar. Berbeda dengan jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat pohon. Untuk tingkat pohon, jumlah jenis terbesar dapat ditemukan pada kelerengan sedang yaitu sekitar 51 jenis per hektar, kemudian pada kelerengan datar dan curam terdapat jumlah jenis yang sama yaitu sekitar 47 jenis per hektar. Pada tingkat pohon, jumlah jenis yang ditemukan jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat permudaan lainnya.

Pelaksanaan teknik silvikultur TPTII ternyata menyebabkan terjadinya perubahan dalam komposisi jenis. Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa pada LOA TPTII 2 tahun terjadi penurunan jumlah jenis untuk tingkat semai dan pancang pada semua kelas kelerengan. Penurunan jumlah jenis terbesar terjadi pada tingkat pancang di kelerengan datar, yaitu sekitar 17 jenis. Hal ini dapat terjadi karena ketika proses suksesi berlangsung, terjadi persaingan tumbuh diantara jenis-jenis yang toleran dan intoleran. Sehingga jenis yang lambat tumbuh akan ternaungi dan tertekan.

Kondisi berbeda ditemukan pada tingkatan tiang dan pohon. Pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi peningkatan jumlah jenis pada kelerengan datar dan curam. Jika diperhatikan jumlah jenis yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun hampir mendekati pada kondisi hutan primer. Namun kondisi LOA TPTII 2 (dua) tahun belum dapat dikatakan sudah kembali seperti pada kondisi hutan primer, karena proses suksesi masih terus berlangsung sehingga. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai jumlah jenis yang masih fluktuatif pada tiap tingkatan permudaannya.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan baik di hutan primer maupun LOA TPTII setelah 2 (dua) tahun, menunjukkan bahwa komposisi jenis yang ditemukan di areal penelitian sangat bervariasi pada semua tingkat pertumbuhan. Komposisi jenis yang ditemukan di hutan primer cenderung lebih banyak karena dianggap pada hutan primer tersebut telah terjadi kestabilan

(3)

sehingga jenis-jenis yang ada merupakan jenis-jenis yang telah beradaptasi dan merupakan jenis puncak dalam proses suksesi.

Terjadinya perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan LOA TPTII disebabkan karena terjadinya pemungutan hasil hutan melalui kegiatan pemanenan. Kegiatan pemanenan dapat menyebabkan kerusakan pada tegakan tinggal, sehingga hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis pada LOA TPTII tersebut. Perubahan komposisi jenis yang sedang terjadi di LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan karena proses suksesi yang sedang berlangsung. Kecenderungan jumlah jenis yang menurun pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang cocok untuk mendukung kelangsungan hidup permudaan jenis-jenis tertentu.

5.1.2. Kerapatan dan Frekuensi Kelompok Jenis

Kerapatan merupakan banyaknya individu tumbuhan yang dinyatakan per satuan luas. Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa suatu jenis dengan nilai kerapatan yang tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Sedangkan frekuensi dapat dipakai sebagai parameter yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan. Nilai frekuensi yang diperoleh dapat menggambarkan kapasitas reproduksi dan kemampuan adaptasi serta menunjukkan jumlah unit contoh yang mengandung jenis tertentu (Fachrul 2008).

Pada tabel 9 berikut dapat dilihat komposisi permudaan jenis dilihat dari nilai kerapatan (N/Ha) dan frekuensi yang terdapat pada plot pengamatan di masing-masing kelerengan. Dari tabel tersebut terlihat adanya penurunan nilai kerapatan dan frekuensi apabila dibandingkan antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun.

Tabel 9 Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan dilihat dari kerapatan (N/Ha) serta frekuensi

Kondisi

Hutan Kelerengan

Semai Pancang Tiang Pohon K F K F K F K F 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Primer Datar (0-15 %) 10.467 0,79 1.712 0,73 192 0,77 120 0,69 Sedang (15-25 %) 22.200 0,80 2.043 0,83 313 0,80 132 0,74 Curam (> 25 %) 12.967 0,78 2.693 0,83 249 0,79 114 0,65 Rata-rata 15.211 0,79 2.708 0,80 243 0,79 174 0,69

(4)

T L T K k t r P m m n d t m m h 2 G Tabel 9 (lan 1 LOA TPTII 2 Tahun Keterangan: L Dari ta komersial ji tahun, baik rata-ratanya Pada tingka Sedangkan masing-mas Permu memiliki ke nilai kerapat dapat diseba tebangan ter mengakibatk memiliki nil histogram ya 2 (dua) tahu Gambar 2 K p 500 1000 1500 2000 2500 K er apat an ( N/H a) njutan) 2 Datar (0-15 Sedang (15-2 Curam (> 25 Rata-rata LOA (Logged Indonesia Inte abel 9 dapat ika dibandin dari nilai ke , pada tingk at pancang pada tingk ing adalah 7 udaan jenis erapatan yan tan yang sig abkan karena rsebut. Suks kan kerapata lai yang me ang memban un. Kerapatan j pengamatan. 0 00 00 00 00 00 0-15 %

Ker

3 %) 6.7 25 %) 13.3 5 %) 8.3 9.4 Over Area)/h ensif); K (Kerap t dilihat bah ngkan antar erapatan mau at semai terj penurunan at tiang da 72 ind/ha dan komersial d ng lebih keci gnifikan ditem a proses suk esi sekunder an yang terd endekati kon ndingkan ke jenis komer 15-25 % > 2 Primer K

rapatan Je

4 700 0,94 367 0,81 1 333 0,87 1 467 0,87 1 /hutan bekas t patan); F (Fre hwa terjadi p ra hutan prim upun nilai f jadi penurun kerapatan y an pohon p n 127 ind/ha di LOA TPT il dibandingk mukan hamp ksesi yang m r yang belum dapat di LO ndisi hutan p rapatan pada rsial diteba 25 % 0-15 % LO Kondisi Hutan

enis Kome

5 6 789 0,69 1.072 0,67 1.328 0,79 1.063 0,71 tebangan; TP ekuensi). penurunan ju mer dengan frekuensinya nan kerapata yang terjadi enurunan k a. TII 2 (dua) kan pada hu pir pada seti masih berlang m stabil atau OA TPTII 2 primer. Gam a hutan prim ang yang d % 15-25 % > OA TPTII 2 Tah

ersial Dite

7 8 189 0,80 191 0,84 132 0,84 171 0,82 PTII (Tebang P umlah permu n LOA TPT a. Jika diliha an sekitar 9.1 sekitar 1.6 kerapatan ya tahun pada utan primer. iap kelereng gsung pada a u mencapai k (dua) tahun mbar berikut mer dengan L ditemukan > 25 % hun

ebang

9 10 68 0,84 68 0,81 72 0,79 69 0,81 Pilih Tanam udaan jenis TII 2 (dua) at dari nilai 133 ind/ha. 645 ind/ha. ang terjadi umumnya Penurunan gan. Hal ini areal bekas klimaksnya n ini belum t ini adalah LOA TPTII pada plot Semai Pancang Tiang Pohon g

(5)

T t p 2 t d t p p p n p l k d G p Berbed TPTII 2 (du tingkat perm permudaan b 2 (dua) tahu Jika di tingkat sema dengan kon tingkat panc penyebaran primer. Pen pola penyeb nilai frekue pengamatan lingkungan t Histog komersial d ditunjukkan Gambar 3 F Wyatt permudaan 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 Frekuensi (% ) da dengan k ua) tahun jus mudaan. Pada

berkisar anta un nilai freku iamati dari n ai, tiang dan ndisi hutan cang. Hal in jenis pada L ningkatan ni baran jenis d nsi yang re n tidak mer tempat tumb gram beriku ditebang pad dalamgamb Frekuensi jen -Smith (196 dianggap cu 0-15 % 1 P

Pola Pen

kerapatan, ni tru mengala a hutan prim ara 0,65-0,83 uensinya berk nilai rata-rata n pohon pada primer. Na ni mengindi LOA TPTII lai frekuens dalam plot pe endah menun ata. Hal in buhnya kuran ut menunju da hutan prim bar 3. nis komersia 63) dalam In ukup jika te 5-25 % > 25 Primer Kon

nyebaran J

lai frekuensi ami peningka mer kisaran n 3 atau 65%-kisar antara anya, terjadi a LOA TPT amun terjadi ikasikan bah 2 (dua) tahu si mendekat engamatan h njukkan bah ni dapat dis ng. ukkan pola mer dengan al ditebang p ndrawan (20 erdapat palin % 0-15 % LOA ndisi Hutan

Jenis Kom

i antara huta atan pada be nilai frekuen 83%. Sedan 0,67-0,94 at i peningkata II 2 (dua) ta i penurunan hwa telah t un jika diban ti nilai 100% hampir terseb hwa penyeb ebabkan ka a penyebar n LOA TPT

pada plot pen 000) mengem ng sedikit 1 15-25 % > 2 A TPTII 2 Tahun

mersial Dit

an primer de eberapa keler nsi untuk sem ngkan pada L

tau 67%-94% an nilai freku

ahun jika dib n nilai freku terjadi perub ndingkan den % menandak bar merata. baran jenis d arena adapta ran (frekue TII 2 (dua) t ngamatan. mukakan ba 000 batang/ 25 %

tebang

engan LOA rengan dan mua tingkat LOA TPTII %. uensi untuk bandingkan uensi pada bahan pola ngan hutan kan bahwa Sedangkan dalam plot asi dengan ensi) jenis tahun yang ahwa suatu /ha dengan Semai Pancang Tiang Pohon

(6)

nilai penyebarannya 40% untuk tingkat semai, 240 batang/ha dengan penyebaran 60% untuk tingkat pancang, 75 batang/ha dengan penyebaran 75% untuk tingkat tiang, dan 25 batang/ha dengan penyebaran 25% untuk tingkat pohon.

Berdasarkan uraian tersebut, nilai kerapatan dan frekuensi pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun masih dianggap memenuhi kriteria yang dikemukakan oleh Wyatt-Smith. Hal ini berarti pada areal pengamatan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun masih memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata.

Soerianegara dan Indrawan (1998) juga menegaskan bahwa jenis-jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki jumlah dan penyebaran yang luas. Tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan, dan dominansinya. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan tingginya frekuensi relatif suatu jenis menunjukkan bahwa jenis tersebut tersebar merata hampir di seluruh petak pengamatan.

5.1.3. Dominansi Jenis

Dominansi suatu jenis dapat digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan suatu jenis dalam suatu komunitas atau tegakan. Dominansi dari jenis-jenis yang ada pada suatu tegakan dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP) yang dimiliki jenis-jenis tersebut. Dapat dikatakan bahwa jenis yang memiliki INP tertinggi merupakan jenis paling dominan dalam tegakan tersebut.

Di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat adanya persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) daripada jenis lainnya. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan atau menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara & Indrawan, 1998).

Pada tabel 10 dan 11 berikut disajikan daftar 5 jenis dominan yang ditemukan pada plot pengamatan yang memiliki INP tertinggi.

(7)

Tabel 10 Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada hutan primer

Kondisi hutan Kelerengan Jenis-Jenis Dominan

Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP (%) Pohon INP (%)

Primer Datar Sterculia gilva 24,14 Eugenia sp. 33,15 Eugenia sp. 48,23 Shorea leprosula 40,52

(0-15 %) Shorea beccariana 20,36 Litsea firma 24,41 Dialium sp. 34,12 Eugenia sp. 30,59

Shorea quadrinervis 19,20 Myristica iners 17,18 Litsea firma 19,90 Litsea firma 29,64

Eugenia sp. 19,05 Sterculia gilva 16,36 Myristica iners 17,88 Dialium sp. 22,31

Litsea firma 14,65 Vatica rassak 12,68 Sterculia gilva 17,40 Shorea beccariana 19,66

Sedang Shorea dasyphylla 29,94 Sterculia gilva 20,24 Eugenia sp. 35,64 Shorea leprosula 34,87

(15-25 %) Canarium denticulatum 23,87 Myristica iners 19,59 Dialium sp. 23,02 Shorea beccariana 30,23

Shorea beccariana 21,70 Vatica rassak 18,41 Sterculia gilva 21,02 Eugenia sp. 25,75

Sterculia gilva 17,85 Diospyros malam 15,45 Litsea firma 20,50 Dialium sp. 15,85

Litsea firma 13,64 Litsea firma 13,01 Pithecellobium sp. 16,14 Pithecellobium sp. 15,24

Curam Shorea beccariana 24,47 Litsea firma 25,20 Litsea firma 29,43 Shorea leprosula 24,52

(> 25 %) Shorea leprosula 23,38 Eugenia sp. 20,14 Eugenia sp. 24,95 Eugenia sp. 22,44

Eugenia sp. 17,38 Myristica iners 15,34 Pithecellobium sp. 20,42 Dialium sp. 20,41

Litsea firma 15,58 Sterculia gilva 14,91 Dialium sp. 18,57 Shorea beccariana 18,80

(8)

Tabel 11 Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada LOA TPTII 2 tahun

Kondisi hutan Kelerengan Jenis-Jenis Dominan

Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP (%) Pohon INP (%)

LOA TPTII Datar Litsea firma 47,03 Macaranga conifera 63,43 Litsea firma 63,19 Eugenia sp. 50,77

2 Tahun (0-15 %) Eugenia sp. 44,86 Litsea firma 45,44 Eugenia sp. 39,47 Litsea firma 39,34

Shorea leprosula 35,33 Shorea leprosula 18,42 Vatica rassak 26,26 Shorea beccariana 16,67

Dipterocarpus sp. 21,07 Eugenia sp. 10,96 Pithecellobium sp. 14,33 Shorea leprosula 16,58

Shorea beccariana 17,60 Shorea beccariana 10,29 Nephelium sp. 11,36 Vatica rassak 16,16

Sedang Eugenia sp. 34,91 Macaranga conifera 54,58 Litsea firma 49,40 Shorea beccariana 40,37

(15-25 %) Shorea dasyphylla 32,09 Litsea firma 43,04 Eugenia sp. 40,37 Eugenia sp. 36,76

Litsea firma 30,44 Shorea leprosula 22,53 Myristica iners 22,26 Litsea firma 24,44

Dipterocarpus sp. 21,06 Shorea beccariana 19,68 Sterculia gilva 20,27 Shorea leprosula 19,77

Shorea quadrinervis 15,86 Sterculia gilva 4,93 Pithecellobium sp. 17,43 Pithecellobium sp. 15,25

Curam Litsea firma 51,98 Litsea firma 42,04 Litsea firma 39,89 Eugenia sp. 40,28

(> 25 %) Eugenia sp. 34,52 Eugenia sp. 28,44 Eugenia sp. 35,59 Litsea firma 35,93

Shorea quadrinervis 22,84 Shorea leprosula 26,22 Vatica rassak 27,72 Eusideroxylon zwageri. 22,85

Shorea beccariana 13,43 Macaranga conifera 24,75 Shorea leprosula 26,09 Pithecellobium sp. 15,98

(9)

Dari tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa jenis-jenis yang mendominasi baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun adalah jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae. Sedangkan jenis lainnya yang termasuk ke dalam famili non Dipterocarpaceae yang banyak mendominasi adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.), banitan (Sterculia gilva), medang (Litsea firma), kayu arang (Diospyros malam), girik (Pithecellobium sp.), dan lampung/garung (Macaranga conifera).

Berdasarkan data yang terdapat pada tabel 10 dan 11 dapat dilihat lima jenis yang mendominasi pada tiap tingkatan permudaan untuk masing-masing kondisi hutan dan kelerengan sangat bervariasi dilihat berdasarkan INP. Pada hutan primer, jenis yang memiliki INP terbesar untuk tingkat semai pada kelerengan datar adalah banitan (Sterculia gilva) yaitu sebesar 24,14%. Untuk tingkat pancang dan tiang adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 33,15% dan 48,23%. Sedangkan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 40,52%.

Pada kelerengan sedang, jenis yang memiliki INP terbesar untuk tingkat semai adalah meranti bukit (Shorea dasyphylla) sebesar 29,94%. Tingkat pancang didominasi oleh banitan (Sterculia gilva) dengan INP sebesar 20,24%. Untuk tingkat tiang dan pohon jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) dan lempung (Shorea leprosula) dengan INP masing-masing sebesar 35,64% dan 34,87%. Sedangkan pada kelerengan curam, jenis-jenis yang mendominasi untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon adalah tengkawang rambut (Shorea beccariana) sebesar 24,47%, medang (Litsea firma) sebesar 25,20% dan 29,43%, serta (Shorea leprosula) sebesar 24,52%.

Adanya kegiatan penebangan dan penjaluran sebelumnya ternyata menyebabkan terjadinya perubahan jenis-jenis dominan pada areal penelitian. Berdasarkan tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa terjadi perubahan yang nyata terhadap jenis-jenis yang mendominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun. Jenis yang banyak mendominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun baik di kelerengan datar, sedang maupun curam adalah medang (Litsea firma). Berbeda dengan jenis yang banyak ditemukan pada hutan primer, yaitu jenis lempung (Shorea leprosula).

Pada kelerengan datar di LOA TPTII 2 (dua) tahun, jenis medang (Litsea firma) banyak mendominasi untuk vegetasi tingkat semai dan tiang dengan INP

(10)

masing-masing sebesar 47,03% dan 63,19%. Sedangkan tingkat pancang banyak didominasi oleh jenis lampung/garung (Macaranga conifera) dengan INP sebesar 63,43%. Pada tingkat pohon, jenis yang memiliki nilai INP tertinggi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) dengan INP sebsesar 50,77%.

Pada kelerengan sedang, jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) untuk tingkat semai dengan INP sebesar 34,91%. Untuk tingkat pancang didominasi oleh lampung/garung (Macaranga conifera) dengan INP sebesar 54,58. Tingkat tiang dan pohon didominasi oleh jenis medang (Litsea firma) sebesar 49,40% dan tengkawang rambut (Shorea beccariana) sebesar 40,37%. Sedangkan pada kelerengan curam hanya jenis medang (Litsea firma) yang mendominasi pada tingkat semai, pancang, dan tiang dengan INP masing-masing 51,98%, 42,04%, dan 39,89%, serta jambu-jambu (Eugenia sp.) pada tingkat pohon dengan INP sebesar 40,28%.

Berdasarkan tabel 10 dan 11 juga dapat dilihat bahwa terdapat beberapa jenis yang terdapat di hutan primer masih ditemukan juga di LOA TPTII 2 (dua) tahun meskipun telah terjadi kegiatan penebangan dan penjaluran pada dua tahun sebelumnya. Jenis-jenis tersebut tetap ada dalam plot pengamatan meskipun tingkat dominasi dari jenis tersebut mengalami penurunan. Seperti yang terjadi pada jenis lempung (Shorea leprosula) pada tingkat pohon di kelerengan datar dan sedang. Jenis ini mengalami penurunan nilai INP karena jenis ini termasuk ke dalam jenis komersial ditebang (KD). Sehingga kemungkinan besar ketika kegiatan penebangan berlangsung banyak dari jenis ini yang ditebang. Namun terdapat juga beberapa jenis yang ternyata lebih mendominasi di LOA TPTII 2 (dua) tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran berlangsung, jika dibandingkan dengan hutan primer. Jenis-jenis tersebut diantaranya adalah jambu-jambu (Euginia sp.) dan medang (Litsea firma).

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa untuk kondisi hutan setelah kegiatan penebangan, jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkatan permudaan mengalami perubahan. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kegiatan penebangan yang mengakibatkan adanya jenis-jenis tertentu yang rusak, hilang, bahkan mati. Namun pada beberapa jenis justru terlihat lebih banyak mendominasi setelah kegiatan penebangan dilakukan. Hal ini

(11)

menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kesesuaian terhadap tempat tumbuh yang lebih baik dibandingkan jenis lainnya.

Tabel 12 berikut ini juga menunjukkan dominansi jenis yang terdapat di plot penelitian berdasarkan INP yang dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar yaitu jenis Komersial Ditebang, jenis Komersial Tidak Ditebang, dan Jenis Lain. Tabel 12 Indeks Nilai Penting (INP) berdasarkan kelompok jenis pada plot

pengamatan

Kondisi Hutan Kelerengan Kelompok Jenis Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) KD 156,55 146,29 232,25 214,59 KTD 16,94 50,24 56,99 53,67 JL 26,51 3,47 10,76 31,74 Sedang (15-25 %) KD 167,59 167,33 239,48 216,87 KTD 6,27 18,71 49,50 40,72 JL 26,13 13,97 11,02 42,41 Curam (> 25 %) KD 154,90 163,37 235,72 185,44 KTD 13,96 17,43 47,04 56,75 JL 31,13 19,20 17,23 57,80

LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) KD 179,81 118,58 246,09 239.28

KTD 1,30 70,17 37,25 26.03 JL 18,89 11,25 16,65 34.70 Sedang (15-25 %) KD 172,18 118,47 253,30 224.15 KTD 11,23 61,84 43,12 22.12 JL 16,59 19,68 3,57 53.73 Curam (> 25 %) KD 174,06 155,65 249,49 229.02 KTD 10,35 38,59 38,86 32.19 JL 15,58 5,77 11,66 38.79

Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif); KD (Komersial Ditebang); KTD (Komersial Tidak ditebang); JL (Jenis Lain).

Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa jenis-jenis dari kelompok komersial ditebang paling mendominasi hampir di setiap kelerengan dan tingkatan permudaan. Hal ini ditunjukkan dengan INP untuk vegetasi tingkat semai dan pancang yang nilainya > 150%. Hal yang sama juga dapat dilihat pada vegetasi tingkat tiang dan pohon dimana INP yang dimiliki kelompok jenis ini memiliki nilai > 200% di semua kelas kelerengan.

Menurut Budiansyah (2006), peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang

(12)

m m l 5 b b b p m a p G mempunyai menunjukka lingkungan y 5.1.4. Stru Struktu baik secara bahwa stuktu berbagai lap pohon per s merupakan antara jumla primer dan L Gambar 4 S 0 20 40 60 80 100 Ju ml ah Pohon (N/Ha) nilai INP an bahwa j yang lebih ti ktur Tegak ur tegakan h vertikal ma ur tegakan v pisan tajuk. satuan luas histogram s ah pohon p LOA TPTII Struktur tega 78 4 8681 20-29

Struktur

P tertinggi enis tersebu inggi diband kan hutan diseba aupun horizo vertikal dide Sedangkan pada setiap struktur tega er hektar de 2 (dua) tahu akan pada ko 48 13 49 1 52 30-39 40 Kelas Diam

r Tegakan

merupakan ut mempun dingkan jenis abkan oleh se ontal. Davis finisikan seb struktur tega kelas diam akan horizon engan kelas un. ondisi hutan 12 1111 101 0-49 50-60 meter (cm)

(N/Ha) pa

jenis yan nyai tingkat s lainnya. ebaran poho s dan Jhonso bagai sebara akan horizon meternya. Ga ntal yang m diameter y primer. 1523 10 20 0 >60

ada Hutan

ng dominan t kesesuaian on dalam sua on (1987) m an individu p ntal adalah ambar 4 dan menunjukkan yang terdapa

n Primer

Datar ( Sedang Curam n. Hal ini n terhadap atu tegakan menyatakan pohon pada banyaknya n 5 berikut n hubungan at di hutan (0-15 %) g (15-25 %) (> 25 %)

(13)

G b T s s ( T p t d 2 B t d m m k S Gambar 5 S te Berdas bahwa perba TPTII 2 (d sebelumnya semua kela (1963) dala TPTII 2 (du pada masing Begitu 1994 tentan tersebut, hut dengan salah 20 cm kura Berdasarkan terdapat pad dapat dikata masih produ Struktu menunjukka kelas diame Secara umum 0 10 20 30 40 50 Juml ah Pohon (N /Ha)

Stru

Struktur tega eknik silviku sarkan histog andingan jum dua) tahun j sudah pasti s diameter m Indrawan ua) tahun ma g-masing kel u juga menu ng kriteria h tan produks h satu kriter ang dari 25 n kriteria ter da LOA TPT akan areal p uktif. ur tegakan b an jumlah po eter besar, s m, struktur t 38 25 4346 20-29 3

uktur Teg

akan pada k ultur TPTII s gram yang d mlah pohon jauh berbed i akan meng di berbaga n (2000) jum asih tergolon lerengannya urut Kepme hutan produk si alam yang ria teknis, ya batang/ha, rsebut, juml TII 2 (dua) ta penelitian in baik pada hu ohon yang se ehingga kur tegakan pad 5 9 22 9 19 30-39 40 Kelas Diam

gakan (N/H

kondisi huta setelah 2 (du ditunjukkan p n per hektar da. Kegiatan gakibatkan p ai kelerengan mlah pohon ng cukup kar . enhut No. 2 ksi alam tid g tidak prod aitu (1) poho (2) pohon lah pohon d ahun adalah ni masih terg utan primer m emakin berk rva yang dih da plot penga 4 9 4 13 -49 50-60 meter (cm)

Ha) pada L

an bekas teb ua) tahun. pada gamba antara hutan n pemanena penurunan k n. Namun per hektar y rena jumlahn 00/Kpts-II/1 dak produkt duktif adalah on inti yang induk kuran dengan diam h lebih dari 2 golong huta maupun LOA kurang dari k hasilkan me amatan men 4 6 4 8 0 >60

LOA TPTI

bangan (LO ar 4 dan 5, da n primer de an yang dil kerapatan ha menurut W yang terdap nya > 25 bat 1994 tangga tif. Dalam K h areal huta berdiameter ng dari 10 meter 20 cm 25 batang/ha an alam prod A TPTII 2 ( kelas diamet enyerupai “J nunjukkan ka

II 2 Tahun

Datar ( Sedang Curam A) dengan apat dilihat engan LOA laksanakan ampir pada Wyatt-Smith pat di LOA tang/hektar al 26 April Kepmenhut n produksi r minimum batang/ha. m up yang a. Sehingga duksi yang (dua) tahun ter kecil ke J” terbalik. arakteristik

n

(0-15 %) g (15-25 %) m (> 25 %)

(14)

yang demikian, sehingga dapat dikatakan kondisi kedua hutan tersebut masih normal meskipun terjadi penurunan jumlah pohon antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun akibat kegiatan penebangan.

5.2. Indeks Dominansi

Nilai indeks dominansi dapat digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas. Nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada banyak jenis, sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu), yang menunjukkan bahwa komunitas tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis (Indrawan, 2000).

Berdasarkan analisis vegetasi yang telah dilakukan, diperoleh nilai indeks dominansi yang dapat dilihat pada tabel 14 berikut.

Tabel 13 Nilai Indeks Dominansi (C) pada kondisi hutan primer, LOA TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkatan pertumbuhan

Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 0,08 0,08 0,06 0,06

Sedang (15-25 %) 0,12 0,06 0,05 0,05 Curam (> 25 %) 0,09 0,07 0,05 0,05 LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) 0,16 0,24 0,09 0,07 Sedang (15-25 %) 0,16 0,19 0,07 0,05 Curam (> 25 %) 0,13 0,12 0,06 0,06 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam

Indonesia Intensif)

Menurut Kasraji (1996) nilai indeks dominansi semakin mendekati nilai 1 (satu) berarti dominansi pada komunitas tersebut relatif dipusatkan pada sedikit atau satu jenis saja, sementara jika nilai dominansi semakin mendekati nol, maka dominansi pada komunitas tersebut tersebar merata pada semua jenis. Jika nilai dominansi suatu komunitas lebih tinggi terhadap nilai dominansi pada kondisi hutan primer, maka dominansi cenderung dipusatkan pada sedikit jenis. Sedangkan jika nilai dominansi suatu komunitas lebih rendah terhadap nilai

(15)

dominansi pada hutan primer, maka nilai dominansi jenis relatif tersebar pada beberapa jenis.

Dari tabel 13 dapat terlihat kecenderungan peningkatan nilai dominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan nilai dominasi pada hutan primer. Peningkatan nilai ini terjadi hampir di tiap tingkatan permudaan pada berbagai kelas kelerengan. Pada tingkat semai kenaikan nilai dominasi terjadi berkisar antara 0,04-0,08. Kemudian di tingkat pancang kenaikan indeks dominansinya berkisar antara 0,05-0,16. Pada tingkat tiang terjadi juga kenaikan nilai dominasi yang berkisar antara 0,01-0,03. Sedangkan pada tingkat pohon kenaikan yang terjadi tidak terlalu besar hanya sekitar 0,01.

Hasil penelitian yang terdapat pada tabel 13 juga menunjukkan bahwa indeks dominansi tertinggi pada hutan primer dapat ditemukan pada tingkat semai di kelerengan sedang dengan nilai indeks sebesar 0,12. Sedangkan nilai indeks dominansi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun mengalami peningkatan dengan nilai indeks tertinggi sebesar 0,24 yang ditemukan pada tingkat pancang di kelerengan datar.

Berdasarkan uraian tersebut, dari ketiga kondisi hutan yang diteliti nilai indeks dominansi yang ditemukan hampir semuanya rendah. Nilai indeks dominansi yang ditemukan hanya berkisar antara 0,05-0,24 dan tidak ada yang mendekati nilai 1 (satu). Hal ini menunjukkan bahwa jenis yang mendominasi baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak terpusat pada satu jenis melainkan pada beberapa jenis.

5.3. Indeks Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis merupakan parameter vegetasi yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan, terutama untuk mempelajari pengaruh faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas dan untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunitas (Fachrul, 2008).

Keanekaragaman jenis tersusun atas dua buah komponen. Komponen pertama adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas, yang mana para ekologis menyebutnya species richness (kekayaan jenis) dan komponen yang kedua adalah species evenness (kemerataan jenis). Penentuan besarnya tingkat keanekaragaman

(16)

jenis dilakukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Indeks tersebut membandingkan antar kondisi hutan yang diamati, sehingga nantinya dapat dijadikan salah satu variabel yang diperhitungkan dalam menentukan status perkembangan suksesi yang sedang berlangsung (Kent & Cooker, 1992)

Dalam menentukan tingkat keanekaragaman yang terdapat di areal pengamatan digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mengetahui keberlangsungan suksesi atau kestabilan dalam suatu komunitas hutan.

Besarnya nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) yang terdapat di plot pengamatan dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 14 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya

Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Keanekaragaman Jenis (H')

Semai Pancang Tiang Pohon

Primer Datar (0-15 %) 2,78 2,94 3,10 3,17

Sedang (15-25 %) 2,61 3,06 3,27 3,37 Curam (> 25 %) 2,85 2,97 3,23 3,35 LOA 2 tahun Datar (0-15 %) 2,11 2,24 3,03 3,21 Sedang (15-25 %) 2,45 2,41 3,12 3,25 Curam (> 25 %) 2,46 2,59 3,13 3,35 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam

Indonesia Intensif)

Berdasarkan tabel 14, nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) yang terdapat pada hutan primer berkisar antara 2,61-3,37. Indeks keanekaragaman terkecil terdapat pada tingkat semai sedangkan indeks tertinggi terdapat pada tingkat pohon. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun indeks keanekaragaman jenisnya mengalami penurunan dengan nilai berkisar antara 2,11-3,35.

Menurut Magurran (1988) besaran H’ dengan nilai < 1,5 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong rendah. Sedangkan jika nilai H’ = 1,5-3,5 maka tingkat keanekaragamannya tergolong sedang. Apabila besaran H’ memiliki nilai > 3,5, maka tingkat keanekaragamannya dianggap tinggi.

Berdasarkan kriteria tersebut, keanekaragaman jenis yang terdapat pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong sedang. Kegiatan

(17)

pemanenan yang dilaksanakan dua tahun sebelumnya ternyata mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Namun, penurunan tingkat keanekaragaman jenis yang terjadi tidak terlalu besar. Karena setelah dua tahun, tingkat keanekaragaman yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak berbeda jauh nilainya dengan hutan primer dan indeks keanekaragaman jenis (H’) tersebut menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong sedang. Keanekaragaman jenis yang tinggi memang menjadi karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh hutan hujan tropika selain lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim dan siklus hara tertutup (Mulyana et al. 2005).

Soerianegara (1996) mengemukakan bahwa sering dinyatakan tentang menurunnya indeks keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini belum ada ukuran mengenai tinggi rendahnya indeks keanekaragaman jenis di suatu daerah. Untuk Indonesia, dari perhitungan untuk berbagai tipe hutan, dapat dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis 3,5 ke atas dapat dikatakan tinggi.

5.4. Indeks Kekayaan Jenis

Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman suatu komunitas adalah kekayaan jenis. Dalam penelitian ini untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada areal pengamatan digunakan Indeks Kekayaan Margallef (R1). Marpaung (2009) menyebutkan bahwa Indeks Kekayaan Margallef (R1) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas dan besarnya indeks kekayaan ini dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang ada pada areal tersebut.

Besarnya nilai R1 yang terdapat di hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat dilihat pada tabel 15 berikut.

Tabel 15 Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya

Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Kekayaan Jenis (R1)

Semai Pancang Tiang Pohon

1 2 3 4 5 6

Primer Datar (0-15 %) 4,00 6,08 6,69 7,40 Sedang (15-25 %) 5,27 6,05 7,41 7,95 Curam (> 25 %) 5,94 5,43 6,23 7,34

(18)

Tabel 15 (lanjutan)

1 2 3 4 5 6

LOA TPTII 2 tahun Datar (0-15 %) 2,75 3,51 7,39 8,58 Sedang (15-25 %) 3,45 4,36 7,80 7,79 Curam (> 25 %) 4,06 4,50 7,55 9,11 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam

Indonesia Intensif)

Magurran (1988) menyatakan bahwa nilai R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah. Sedangkan nilai R1 = 3,5-5,0 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong sedang. Apabila diperoleh nilai R1 > 5,0 maka kekayaan jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat dalam tabel 16, dapat diketahui bahwa nilai indeks kekayaan Margallef (R1) pada kondisi hutan primer secara umum memiliki nilai diatas 5,00, kecuali pada vegetasi tingkat semai di kelerengan datar dimana nilainya adalah 4,00. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kekayaan jenis yang terdapat di hutan primer tergolong tinggi (lihat tabel 8). Hutan primer dianggap memiliki keadaan yang stabil atau klimaks, sehingga diasumsikan memiliki tingkat kekayaan jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang terdapat di hutan primer untuk tiap tingkatan vegetasi pada berbagai kelerengan berkisar antara 25-47 jenis.

Keadaan yang berbeda ditunjukkan di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dari tabel 15 dapat terlihat bahwa pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi penurunan nilai indeks kekayaan Margallef (R1) untuk tingkat semai dan pancang di berbagai kelerengan. Nilainya hanya berkisar 2,75-4,50, sehingga tingkat kekayaan jenisnya tergolong kedalam kriteria rendah-sedang. Namun pada tingkat tiang dan pohon justru terjadi peningkatan nilai R1 jika dibandingkan pada hutan primer. Indeks kekayaan Margallef yang ditunjukkan hampir semuanya memiliki nilai diatas 5,00 baik untuk tingkat tiang maupun pohon di berbagai kelerengan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kekayaan Margallef (R1) untuk tingkat tiang dan pohon di LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong tinggi.

5.5. Indeks Kemerataan Jenis

Kemerataan jenis merupakan parameter lainnya yang juga mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis suatu komunitas. Nilainya dapat diperoleh dengan

(19)

menghitung indeks kemerataan (E). Indeks kemerataan adalah indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal pengamatan. Apabila nilai indeks semakin besar maka dapat dikatakan bahwa komposisi jenis semakin merata (tidak didominasi oleh satu jenis saja).

Menurut Magurran (1988), besaran nilai E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah. Apabila nilai E berkisar antara 0,3 sampai dengan 0,6 maka kemerataan jenis tergolong sedang. Sedangkan jika nilai E > 0,6 maka kemerataan jenis dalam komunitas tersebut dapat dikatakan tinggi.

Berdasarkan hasil pengolahan data dapat dilihat besarnya nilai indeks kemerataan (E) yang terdapat di plot pengamatan pada tabel 16.

Tabel 16 Indeks Kemerataan Jenis (E) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya

Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Kemerataan Jenis (E) Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 0,86 0,81 0,87 0,82 Sedang (15-25 %) 0,73 0,84 0,87 0,86 Curam (> 25 %) 0,78 0,83 0,91 0,87 LOA TPTII 2 tahun Datar (0-15 %) 0,76 0,74 0,83 0,83 Sedang (15-25 %) 0,79 0,73 0,84 0,86 Curam (> 25 %) 0,77 0,79 0,87 0,85 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam

Indonesia Intensif)

Dari tabel 16 dapat terlihat bahwa indeks kemerataan jenis (E) baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai diatas 0,60. Indeks kemerataan tertinggi pada hutan primer terdapat pada tingkat vegetasi tiang di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,91. Begitu juga pada LOA TPTII 2 (dua) tahun, nilai indeks kemerataan untuk tingkat pohon pada kelerengan sedang mengalami penurunan nilai menjadi 0,86. Sedangkan indeks kemerataan tertinggi di LOA TPTII 2 (dua) tahun terdapat pada tingkat vegetasi tiang di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,87. Meskipun terjadi penurunan nilai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun, namun perubahannya tidak terlalu besar karena selisih nilainya hanya berkisar 0,01-0,10.

Berdasarkan uraian data tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat kemerataan jenis baik di hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong tinggi. Karena baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun rata-rata

(20)

memiliki nilai indeks kemerataan diatas 0,60 hampir di semua kelerengan dan tingkat vegetasi. Tingginya nilai indeks kemerataan jenis ini mengindikasikan bahwa komposisi jenis pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tersebar merata. Artinya, pada kedua kondisi hutan ini tidak hanya di dominasi oleh satu jenis, namun tersebar pada banyak jenis.

5.6. Kesamaan Komunitas

Untuk mengetahui tingkat kesamaan suatu komunitas dapat dicari dengan menghitung nilai Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity). Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Komunitas yang dibandingkan pada penelitian ini adalah hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dua komunitas ini dibandingkan berdasarkan tingkat vegetasi pada tiap kelerengannya. Besarnya nilai indeks kesamaan dapat dilihat pada tabel 17 berikut.

Tabel 17 Indeks Kesamaan Komunitas (IS) antara hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun

Komunitas Hutan Kelerengan Tingkat Pertumbuhan Pohon Semai Pancang Tiang Pohon

Primer vs LOA TPTII 2 tahun

Datar (0 % - 15 %) 42,09 41,80 60,00 62,75 Sedang (15 % - 25 %) 51,97 30,24 51,01 62,58 Curam (> 25 %) 47,48 51,55 58,66 59,69 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam

Indonesia Intensif)

Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai kesamaan komunitas pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai yang bervariasi pada tiap tingkatan vegetasi dan kelerengannya. Nilai indeks kesamaan (IS) tertinggi pada tingkat semai adalah 51,97%. Sedangkan pada tingkat pancang nilai IS tertinggi adalah 51,55%. Untuk tingkat tiang nilai IS tertinggi adalah 60,00%. Pada tingkat pohon nilai IS tertinggi adalah 62,75%.

Nilai Indeks Kesamaan (IS) berkisar antara 0-100%. Nilai 0% menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan antar jenis yang terdapat pada kedua komunitas yang dibandingkan. Sedangkan nilai 100% menunjukkan bahwa dua komunitas yang dibandingkan adalah sama. Kusmana dan Istomo (2005) menyatakan bahwa nilai

(21)

IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya 0% dan umumnya dua komunitas dianggap relatif sama apabila mempunyai IS ≥ 75%. Namun menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) dua komunitas dianggap sama apabila nilai IS-nya mendekati 100%.

Berdasarkan uraian tersebut dan jika melihat data yang terdapat dalam tabel 17 dapat terlihat bahwa nilai IS yang ditunjukkan hampir semuanya jauh dari 100% bahkan kurang dari 75%. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi pada masing-masing komunitas yang dibandingkan tidak sama. Karena pada beberapa tingkatan vegetasi ditemukan perbedaan baik komposisi jenis maupun jumlah individu antara ketiga komunitas tersebut. Selain itu, rendahnya nilai IS yang dihasilkan dapat disebabkan karena berubahnya komposisi dan struktur tegakan akibat pemungutan hasil kayu dan kerusakan tegakan tinggal yang terjadi setelah kegiatan pemanenan. Oleh karena itu, daopat dikatakan bahwa kondisi di LOA TPTII 2 (dua) tahun belum sepenuhnya kembali ke kondisi seperti pada hutan primer.

5.7. Pertumbuhan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam 5.7.1. Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam

Dalam teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), pada Logged Over Area (LOA) hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 (tiga) meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis unggulan dengan jarak tanam 2,5 m sehingga jarak tanam menjadi 20 x 2,5 m2 (Indrawan, 2008).

Dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran terhadap jalur tanam yang berukuran panjang 100 m, dimana dalam satu jalur tersebut terdapat 40 tanaman. Sehingga dalam 1 (satu) hektar plot pengamatan terdapat 5 (lima) jalur tanam dengan total tanaman 200 buah. Pengambilan data persentase hidup tanaman pada jalur tanam dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan dalam tiap kelerengannya. Jenis yang di tanam dalam jalur penelitian ini adalah Shorea leprosula Miq.

(22)

Data tanaman yang diambil dalam penelitian ini adalah data tanaman dengan umur tanam 2 (dua) tahun. Persentase hidup tanaman S. leprosula pada jalur tanam ditunjukkan pada tabel 18 berikut.

Tabel 18 Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun

Kelerengan Ulangan Total Hidup Total Mati Total Tanam % Hidup

Datar (0-15%) 1 153 30 183 83,61 2 108 33 141 76,60 3 153 40 193 79,27 Rata-rata 138 34 172 80,08 Sedang (15-25%) 1 146 43 189 77,25 2 141 48 189 74,60 3 92 26 118 77,97 Rata-rata 126 39 165 76,41 Curam (> 25%) 1 138 32 170 81,18 2 113 41 154 73,38 3 163 30 193 84,46 Rata-rata 138 34 172 80,08 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif).

Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa jumlah total tanaman yang ditanam pada jalur tanam TPTII berbeda-beda. Jumlah tanaman yang terdapat dalam jalur plot pengamatan tersebut kurang dari jumlah seharusnya yaitu 200 tanaman tiap kelerengan. Jumlah total seluruh tanaman yang ditanam dalam jalur pengamatan adalah 1.530 tanaman. Jumlah ini masih kurang dari jumlah tanaman yang seharusnya ditanam. Hal ini disebabkan karena kondisi umum yang terdapat di plot pengamatan. Sehingga terdapat beberapa titik yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman. Titik-titik tersebut adalah rawa dan tumpukan ranting yang cukup dalam, mengingat areal penelitian ini merupakan areal bekas tebangan.

Persentase hidup dari tanaman S. leprosula dalam jalur tanam pada tahun kedua cukup baik. Hal ini ditunjukkan dari nilai persentase hidup yang terdapat dalam tabel 18 dimana nilainya di atas 50%. Persentase hidup tanaman S. leprosula tertinggi terdapat pada jalur pengamatan di kelerengan datar dan curam, dimana nilai persentase hidup rata-ratanya masing-masing adalah 80,08%.

(23)

Sedangkan pada kelerengan sedang persentase hidup rata-rata tanaman S. leprosula hanya 76,41%.

Berdasarkan data yang tersaji dalam tabel 18 dapat diketahui bahwa tingkat mortalitas pada tanaman S. leprosula yang terdapat pada jalur tanam sekitar 21%. Nilai ini dapat dikatakan cenderung sedang karena dari total 1.530 tanaman yang ditanam terdapat 323 tanaman yang mati. Hal ini dapat disebabkan karena persaingan unsur hara yang terjadi antara tanaman yang terdapat di jalur tanam dengan tanaman lain berada di luar jalur tanam tersebut.

Selain itu, penyebab cukup besarnya jumlah tanaman yang mati pada jalur tanam ini adalah karena tanaman kurang mendapatkan cahaya matahari. Mengingat bahwa pada lokasi penelitian belum adanya atau belum dilaksanakannya kegiatan pemeliharaan, maka intensitas cahaya matahari yang masuk juga berkurang. Hal ini menyebabkan tanaman kurang memperoleh cahaya matahari mati untuk proses fotosintesis dan respirasi sehingga pada akhirnya tanaman tersebut mati.

Gambar 6 Kondisi jalur tanam pada pengukuran tahun kedua

Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan tanaman-tanaman berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya

(24)

naungan, evaporasi dari tanaman dapat dikurangi (Suhardi 1995 dalam Putri 2009).

5.7.2. Perbandingan Rata-Rata Diameter dan Tinggi Shorea leprosula Miq. Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas. Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter. Disamping karena mudah pelaksanaanya, juga memiliki keakuratan dan konsistensi cukup tinggi. Oleh karena itu, pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (Pamoengkas 2006).

Pengambilan data pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman S. leprosula yang dilakukan di jalur tanam TPTII menunjukkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 19.

Tabel 19 Perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun Kelerengan Ulangan Total Hidup Rata-rata Diameter

(cm) Rata-rata Tinggi (cm) Datar (0-15%) 1 153 1,53 275,19 2 108 1,54 225,24 3 153 2,12 325,20 Sedang (15-25%) 1 146 1,31 214,62 2 141 1,82 238,99 3 92 1,82 274,69 Curam (> 25%) 1 138 1,34 248,27 2 113 1,79 255,10 3 163 2,03 302,55

Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif)

Dari tabel 19 dapat diketahui rata-rata diameter tanaman S. leprosula tertinggi terdapat pada kelerengan datar dengan diameter sebesar 2,12 cm. Sedangkan rata-rata diameter terendah terdapat pada kelerengan sedang, yaitu sebesar 1,31 cm. Hal yang sama juga dapat dilihat pada rataan tinggi tanaman S. leprosula yang terdapat dalam jalur tanam. Rata-rata tinggi tanaman tertinggi juga terdapat pada jalur tanam dengan kelerengan datar dengan tinggi tanaman 275,19 cm. Sedangkan rata-rata tinggi tanaman yang paling rendah terdapat dalam jalur tanam dengan kelerengan sedang dengan tinggi rata-rata 214,62 cm.

(25)

Tanaman akan menunjukkan pertumbuhan yang baik apabila tanaman tersebut mampu beradaptasi dengan sempurna di tempat tumbuhnya. Fluktuasi pertumbuhan diameter dan tinggi yang terjadi diduga akibat kondisi lingkungan yang kurang mendukung, salah satunya tingkat kesuburan tanah yang kurang. Selain itu disebabkan oleh keterbukaan tajuk akibat adanya perlakuan pemeliharaan lanjutan, yaitu pembebasan tajuk dalam jalur tanam hingga lebar jalur tanam menjadi lebih lebar dari sebelumnya sampai batas maksimal 10 m (Pamoengkas 2006).

5.8. Analisis Tanah 5.8.1. Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah merupakan sifat yang bertanggung jawab atas peredaran udara serta ketersediaan air dan zat terlarut melalui tanah. Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar, retensi air, drainase, aerasi, dan nutrisi tanaman sehingga pengaruhnya sangat besar terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman hutan. Hasil analisis sifat fisik tanah yang dilakukan di plot penelitian dapat dilihat pada tabel 20 berikut.

Tabel 20 Hasil pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Kondisi Hutan Lokasi Kedalaman Tanah Kelerengan Bobot isi (g/cm3) Air Tersedia (%) Permeabilitas (cm/jam) Primer - 0-20 cm - 0,93 10,41 2,74 LOA TPTII 2 Tahun Jalur Tanam 0-10 cm Datar (0-15 %) 1,28 12,34 1,78 Sedang (15-25 %) 1,11 13,17 2,14 Curam (> 25 %) 1,21 6,13 1,35 10-20 cm Datar (0-15 %) 0,89 15,52 5,81 Sedang (15-25 %) 0,89 15,65 7,16 Curam (> 25 %) 1,02 12,05 6,27 Bawah Tegakan 0-10 cm Datar (0-15 %) 1,27 9,56 1,89 Sedang (15-25 %) 1,28 7,50 1,89 Curam (> 25 %) 1,08 11,82 4,43 10-20 cm Datar (0-15 %) 0,84 14,49 10,40 Sedang (15-25 %) 1,01 14,98 3,11 Curam (> 25 %) 0,98 14,68 9,21 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif)

(26)

Dari tabel 20 tersebut dapat diketahui sifat fisik tanah yang terdapat pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Lebih spesifik lagi, pada LOA TPTII 2 (dua) tahun pengamatan sifat fisik tanah dilakukan di jalur tanam dan di bawah tegakan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm. Jika mengacu pada hasil analisis sifat fisik tanah dalam tabel 20 dapat dilihat bahwa nilai yang terdapat di hutan primer tidak jauh berbeda dengan nilai yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun untuk masing-masing parameter.

Bobot isi (bulkdensity) dapat menjadi suatu petunjuk tidak langsung kepadatan tanah, udara, air, dan penerobosan akar tumbuhan ke dalam tubuh tanah. Keadaan tanah yang padat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman karena akar-akarnya tidak berkembang dengan baik (Baver et al. 1987 dalam Poerwowidodo 2004). Pengukuran nilai bobot isi yang terdapat pada hutan primer adalah 0,93 g/cm3. Sedangkan nilai bobot isi yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun berkisar antara 0,84-1,28 g/cm3. Nilai bobot isi yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman 10-20 cm cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan kedalaman 0-10 cm, baik itu pada jalur tanam maupun dibawah tegakan. Hal ini diduga akibat adanya aktivitas alat berat pada saat kegiatan penebangan dua tahun sebelumnya. Masuknya alat berat ke dalam plot penelitian dapat menyebabkan pemadatan tanah, sehingga menyebabkan kenaikan nilai bobot isi pada tanah lapisan atas (0-10 cm).

Menurut Hardjowigeno (2003) bobot isi merupakan petunjuk kepadatan tanah. Pada umumnya bobot isi tanah di daerah tropis berkisar dari 1,1-1,6 g/cm3. Dari hasil penelitian ini, bobot isi tanah pada plot penelitian bisa dikatakan cukup rendah dan masih berada dalam selang kategori normal karena nilai yang diperoleh berada diantara kriteria tersebut. Meskipun terjadi kenaikan nilai bobot isi dari kondisi hutan primer ke LOA TPTII 2 (dua) tahun, namun kenaikan nilai bobot isi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak terlalu besar. Makin padat suatu tanah makin tinggi bobot isi tanah yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Begitu pula sebaliknya, tanah dengan bobot isi rendah akan menyebabkan akar tanaman lebih mudah berkembang.

Selain bobot isi, sifat fisik tanah lainnya yang diamati adalah air tersedia dan permeabilitas. Air tersedia merupakan air yang terdapat antara kapasitas

(27)

lapang dan koefisien layu (Soepardi, 1983). Sedangkan permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk mentransfer air atau udara, serta biasanya diukur dengan istilah jumlah air yang mengalir melalui tanah dalam waktu yang tertentu dan ditetapkan sebagai inchi/jam (Hakim 1986).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa air tersedia yang terdapat di plot penelitian pada kondisi hutan primer adalah 10,41%. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun air tersedia pada kedalaman 0-10 cm berkisar antara 6,13%-13,17% dan pada kedalaman 10-20 cm berkisar antara 12,05%-15,65%. Jika mengacu pada tabel 20, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan nilai kadar air tersedia di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Nilai air tersedia terbesar terdapat di jalur tanam pada kedalaman 10-20 cm. Hal ini diduga karena akar tanaman yang terdapat di jalur tanam dianggap sudah mampu menyimpan air secara optimal sehingga menyebabkan nilai air tersedia pada jalur tanam lebih tinggi.

Begitu juga dengan nilai permeabilitas tanah. Jika diamati, nilai permeabilitas yang terdapat pada tabel 20 sangat bervariasi. Nilai permeabilitas tanah pada hutan primer adalah 2,74 cm/jam. Sedangkan nilai permeabilitas tanah di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman 10-20 cm cenderung lebih besar dibandingkan pada kedalaman 0-10 cm, baik yang terdapat di jalur tanam maupun dibawah tegakan. Pada kedalaman 0-10 cm nilai permeabilitasnya berkisar antara 1,35-4,43 cm/jam. Sedangkan pada kedalaman 10-20 cm nilai permeabilitasnya berkisar antara 3,11-10,40 cm/jam.

Menurut Hardjowigeno (2003) permeabilitas tanah dikatakan sangat cepat apabila nilainya > 25,0 cm/jam, cepat apabila nilainya 12,5-25,0 cm/jam, agak cepat apabila nilainya 6,5-12,5 cm/jam, sedang apabila nilainya 2,0-6,5 cm/jam, agak lambat apabila nilainya 0,5-2,0 cm/jam, lambat apabila nilainya 0,1-0,5 cm/jam, dan dikatakan sangat lambat jika nilainya <0,1 cm/jam. Berdasarkan pernyataan tersebut, nilai permeabilitas yang terdapat di plot pengamatan pada hutan primer cenderung sedang. Di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman 0-10 cm, baik di jalur tanam maupun di bawah tegakan, permeabilitas tanahnya dapat dikatakan agak lambat-sedang. Sedangkan pada kedalaman 10-20 cm nilai permeabilitasnya cenderung sedang-agak cepat. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah pada kedalaman 0-10 cm di lokasi penelitian untuk meloloskan

(28)

air ke lapisan dibawah cenderung lambat. Namun apabila air tersebut sudah berada di lapisan pada kedalaman 10-20 cm, maka air tersebut cenderung dengan mudah diloloskan oleh tanah.

Syarief (1985) diacu dalam Musthofa (2007) menyatakan bahwa permeabilitas dapat menghilangkan daya air untuk mengerosi tanah, sedangkan drainase mempengaruhi baik buruknya pertukaran udara. Selanjutnya faktor tersebut mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dan perakaran dalam tanah. 5.8.2. Sifat Kimia Tanah

Poerwowidodo (2004) menyatakan bahwa tingkat kesuburan tanah dapat diukur berdasarkan gatra kimiawinya. Dalam penelitian ini, dilakukan juga analisis terhadap sifat kimia tanah dengan tujuan untuk mengetahui kadar hara yang terdapat pada tanah terutama yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman. Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah pH dan Kapastas Tukar Kation (KTK). Berdasarkan analisis kimia tanah yang dilakukan, maka diperoleh hasil seperti pada tabel 21 berikut

Tabel 21 Hasil pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun

Kondisi Hutan Lokasi Kelerengan pH 1:1 KTK

H2O KCl (me/100 g)

Primer - - 4,80 4,00 8,58

LOA TPTII 2 Tahun

Jalur Tanam Datar (0-15 %) 4,20 3,50 5,63 Sedang (15-25 %) 4,30 3,40 7,80 Curam (> 25 %) 4,50 3,50 9,83 Bawah Tegakan Datar (0-15 %) 4,10 3,20 10,50

Sedang (15-25 %) 4,30 3,40 7,88 Curam (> 25 %) 4,40 3,40 9,00 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif)

Tabel 21 menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai pH antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Hutan primer memiliki pH (H2O) 4,80. Sedangkan di LOA TPTII 2 (dua) tahun, pH tanah di semua kelerengan berkisar antara 4,10-4,50. Hal ini menunjukkan bahwa pH di areal penelitian termasuk sangat masam, baik di hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun (Olson 1981 dalam Poerwowidodo 2004).

(29)

Derajat kemasaman tanah menunjukkan banyaknya konsentrasi ion H+ di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ didalam tanah, semakin masam tanah tersebut (Hardjowigeno, 2003). Reaksi tanah (pH) menjadi asam disebabkan karena tingginya curah hujan yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci dan adanya dekomposisi mineral alumunium silikat akan membebaskan ion aluminium (Al3+), Ion tersebut akan dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila di hidrolisis akan menyumbangkan ion H+, akibatnya tanah menjadi masam (Nyakpa et al. 1988).

Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g). Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. KTK merupakan sifat kimia tanah yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah (Hardjowigeno, 2003).

Berdasarkan hasil analisis kimia tanah, maka diperoleh nilai KTK di hutan primer sebesar 8,58 me/100 g. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun nilai KTK-nya berkisar antara 5,63-10,50 me/100 g. Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Perdana (2009), nilai KTK yang terdapat pada kedua kondisi hutan tersebut tergolong rendah karena berkisar diantara 5,0-16,00 me/100 g.

KTK merupakan sifat kimia tanah yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan cirri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan pengapuran, serta pemupukan. Tanah dengan KTK tinggi dapat menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno, 2003).

5.9. Hubungan Antara Kondisi Tanah dengan Perkembangan Tegakan di Jalur antara dan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam

Tanah merupakan suatu tubuh alam, disintesakan dalam bentuk penampang dari berbagai campuran hancuran mineral dan bahan organic. Bila mengandung cukup air dan udara akan menjadi tunjangan mekanik dan makanan bagi tumbuhan (Buckman dan Brady 1974).

(30)

Kerusakan tanah dapat terjadi oleh beberapa hal, antara lain kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinasi), terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air, dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Riquier 1977 dalam Arsyad 1989)

Kegiatan penebangan yang dilaksanakan tentu saja menimbulkan dampak yang nyata pada kondisi tanah yang terdapat di suatu areal bekas tebangan. Pemadatan tanah secara otomatis akan terjadi akibat masuknya alat berat ke dalam hutan yang pada akhirnya akan mengganggu sistem perakaran tanaman, dalam hal ini tingkat semai dan tiang, dimana kedalaman efektif untuk pertumbuhan akar pada tingkat tersebut adalah 0-20 cm. Dan dampak nyata dari pemadatan tanah akibat masuknya alat berat tersbut terjadi setidaknya pada tanah lapisan atas (0-20 cm).

Terbentuknya celah (gap) di areal bekas tebangan akibat terbukanya tajuk setelah kegiatan penebangan tentunya juga mempengaruhi sifat kimia tanah yang terdapat di areal tersebut. Mengingat bahwa pada kondisi hutan sebelum adanya kegiatan penebangan merupakan hutan primer dimana siklus hara yang terjadi adalah siklus hara tertutup, maka dengan adanya celah tersebut akan memungkinkan terjadinya pencucian hara yang lebih cepat. Sehingga dapat menurunkan kualitas kimia tanah tersebut.

Kegiatan penebangan yang dilaksanakan dua tahun sebelumnya pada areal pengamatan tentu saja juga menimbulkan efek terhadap sifat fisik dan sifat kimia pada areal pengamatan. Efek yang ditimbulkan pada tanah tersebut secara tidak langsung juga berdampak terhadap pertumbuhan tegakan baik yang berada di jalur antara maupun tanaman Shorea leprosula Miq. yang terdapat di jalur tanam.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang komposisi jenis dan kerapatan, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan nilai komposisi jenis dan kerapatan yang tinggi untuk tingkat semai dan pancang di LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan keadaan pada hutan primer. Sementara itu, nilai komposisi jenis maupun kerapatan untuk tingkat tiang dan pohon cenderung stabil

(31)

atau tidak berkurang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan adaptasi semai dan pancang terhadap sifat fisik dan sifat kimia tanah yang berubah setelah kegiatan penebangan masih kurang. Sementara kemampuan adaptasi untuk tingkat tiang dan pohon sudah lebih baik sehingga perubahan sifat fisik dan sifat kimia tanah tidak terlalu berpengaruh.

Oliver dan Larson (1983) menyatakan bahwa tempat tumbuh dapat berubah seperti juga halnya dengan perkembangan hutan. Perkembangan tegakan akan meningkatkan kelembaban yang memungkinkan akar untuk melakukan penetrasi dalam menyerap mineral tanah dan akan meningkatkan ruang pori untuk menyimpan kelembaban. Oksigen tanah dan nutrisi akan meningkat seperti juga dengan peningkatan ruang pori. Sehingga akar dan mikroorganisme dapat mengambilnya dari bahan induk tanah dan mengedarkannya ke tanah dan akhirnya ke pohon.

Sementara itu, untuk tanaman yang berada dalam jalur tanam dapat dikatakan memiliki pertumbuhan yang cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai diameter rata-rata dan tinggi rata-rata pada pengukuran di tahun kedua. Selain dari perlakuan awal dalam penanaman tanaman S. leprosula, keadaan ini juga tidak terlepas dari kondisi tanah tempat tanaman tersebut tumbuh yang secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman S. leprosula tersebut.

Jika dilihat dari sifat kimia yang diamati, tanah pada jalur tanam dapat dikatakan kurang subur menurut kriteria lahan pertanian secara umum. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH yang cenderung kecil dan KTK yang tergolong rendah. Keterbukaan tanah dengan lebar 3 (tiga) meter untuk jalur tanam menyebabkan pencucian hara oleh air hujan lebih cepat terjadi. Hal ini dikarenakan tutupan vegetasi yang hilang akibat kegiatan pembersihan jalur tanam untuk kegiatan penanaman. Akibatnya, tanah pada lapisan atas yang merupakan top soil akan dengan mudah hilang sehingga menyebabkan tingkat kesesuaian untuk pertumbuhan tanaman berkurang. Oleh karena itu, pada awal kegiatan penanaman tanaman S.leprosula dilakukan tindakan pemberian top soil pada lubang tanam untuk mengantisipasi kondisi tanah yang telah mengalami pencucian akibat keterbukaan tajuk.

(32)

Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman hutan di lapangan dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan yang terdiri dari faktor genetis dan faktor lingkungan. Pengendalian faktor genetis dimunculkan oleh gen-gen kromosom yang mempengaruhi proses-proses fisiologis melalui pengendalian pada sintesis enzim-enzim yang berperan ganda pada aneka reaksi fisiologis. Sedangkan pengendalian faktor lingkungan dimunculkan oleh peran aneka keadaan di luar tubuh suatu tanaman yang mempengaruhi proses-proses fisiologis (Poerwowidodo, 2000).

Gambar

Tabel 8   Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII  2 (dua) tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan
Tabel 9  Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan  dilihat dari kerapatan (N/Ha) serta frekuensi
Tabel 10  Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada hutan primer
Tabel 11  Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada LOA TPTII 2 tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Električna pećnica: 180-200° C (prethodno zagrijana) Pećnica na vrući zrak: 160– 180° C (prethodno zagrijana) Pećnica na plin: stupanj 3 (prethodno zagrijana) Vrijeme pečenja:

Seperti halnya pada balok lentur, pada Gambar 5.43 tidak ada perbedaan yang signifikan antara balok G-SCC (a) dan balok G-HSC (b) pada pola retak yang dihasilkan dari analisis

Penjadawalan CPU dan I/O pada lingkungan suatu kinerja virtualisasi, terutama dalam sistem virtualisasi berdasarkan xen hypervisor. Informasi di bawah ini semua

Sebagai tindak lanjut penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAK) Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Tahun 2012 adalah penyusunan Rencana Kinerja Tahunan agar

1 Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam tifoid, untuk pengobatan pasien segera dapat digunakan pemeriksaan serologis antibodi terhadap antibody

a) Kontrak kuliah dilakukan di awal kuliah, dengan cara kesediaan mengikuti aturan perkuliahan di FIB, sekaligus dosen yang bersangkutan mendapatkan jadwal kuliah yang

kebersihan, dan kualitas hasil kerja mereka dalam bertugas, menunjukkan hasil yang positif, sehingga sekolah maupun pihak CV Bintang Karya Putera merasa nyaman