Setelah pengomposan, masing-masing kompos diukur nilai pH dan kadar airnya. Sebelum kompos dicampur untuk membuat media produksi, masing-masing kompos diambil sampel 100 g untuk pengukuran nilai rasio C/N (Lampiran 3). Kadar C-organik total dan N-total kompos ditentukan berdasarkan Horwitz (2005). Kemudian masing-masing kompos dicampur sesuai perlakuan dan setiap 3000 g media produksi ditempatkan pada kotak-kotak kayu berukuran 45 x 25 x 10 cm (Lampiran 5c). Selanjutnya dari setiap perlakuan diambil sampel untuk penentuan kadar air media produksi sebelum media dipasteurisasi. Kadar air ditentukan berdasarkan AOAC (1980) (Lampiran 2). Untuk setiap sampel dibuat duplo.
Pasteurisasi media produksi dan penanaman bibit jamur merang
Media produksi ditempatkan pada rak pasteurisasi yang terdiri atas dua tingkat, sehingga hanya memuat empat kotak kayu untuk satu kali pasteurisasi (Lampiran 5a). Kemudian rak ditutup rapat dengan plastik bening lembaran tahan panas dan diberi lubang (diameter ± 2 cm) pada salah satu bagian samping untuk memasukkan selang tempat mengalirkan uap panas. Pasteurisasi dilakukan dengan cara mengalirkan uap panas (suhu ± 60°C) melalui selang tersebut dan dipertahankan selama 6 jam (Lampiran 5b). Setelah itu suhu media dibiarkan turun hingga mencapai 34 – 38 °C (Chang & Miles 2004). Selanjutnya media produksi diinokulasi dengan 2.5% (g/g bobot media produksi) bibit produksi (Noviawati 1990), kemudian media ditutup plastik bahan kursi (Sudirman LI 2008, komunikasi pribadi) berwarna hitam steril (Lampiran 5d) dan ditempatkan pada rak pemeliharaan jamur (Lampiran 5e) untuk diinkubasi dengan tujuan merangsang pertumbuhan miselium.
Pemeliharaan dan pemanenan jamur merang
Plastik penutup kotak kayu dibuka setelah miselium memenuhi media produksi (Oei 1996). Kemudian media disemprot air leding dari botol semprot supaya tetap lembab dan ditempatkan kembali pada rak pemeliharaan untuk dipelihara hingga masa panen selesai. Rak jamur ditutup rapat dengan plastik bening lembaran dan dibuat jendela di bagian depan dan samping rak supaya memudahkan penyiraman sewaktu pemeliharaan (Lampiran 5e). Basidioma jamur dipanen pada tingkat primordium telur. Masa panen berhenti ketika
media tidak menghasilkan basidioma jamur lagi.
Peubah yang diamati yaitu bobot basah, jumlah, tinggi, dan diameter basidioma jamur merang selama produksi. Selain itu diamati pula suhu dan kelembaban relatif di dalam rak pemeliharaan, suhu dan pH media produksi, serta organisme kontaminan yang tumbuh pada media produksi selama pemeliharaan. Pengamatan suhu dan kelembaban relatif dilakukan pada waktu pagi, siang dan sore hari masing-masing pada pukul 06.00 – 08.00, 11.00 – 13.00, dan 16.00 – 18.00 WIB. Menurut Chang dan Miles (2004), pencegahan kontaminan dapat menggunakan 0.5% air kapur yang disemprotkan pada media produksi. Pada penelitian ini, kontaminan
Trichoderma pada media produksi dihambat
pertumbuhannya dengan cara menyemprotkan air kapur 2% (2 g/100 ml) pada koloni
Trichoderma. Kontaminan Coprinus
dihilangkan dengan cara mengambilnya secara manual, kemudian dibuang supaya tidak mengganggu perkembangan basidioma jamur merang.
Efisiensi biologi jamur merang
Efisiensi biologi (EB) jamur ditentukan dengan rumus (Chang & Miles 2004) : EB = substrat kering Bobot panen semua basidioma total BB x100%
Ket : BB = bobot basah
Penentuan kadar air jamur merang
Kadar air basidioma jamur yang telah dipanen ditentukan berdasarkan AOAC (1980) (Lampiran 2). Untuk setiap basidioma dibuat duplo.
HASIL
Pembuatan Bibit Induk dan Bibit Produksi Pertumbuhan miselium jamur merang pada media kultur tidak diukur, namun hanya dilihat secara visual. Miselium memenuhi media ASK di dalam cawan Petri (diameter 9 cm) setelah 9 hari (Gambar 2a). Sementara itu miselium memenuhi bibit induk di dalam botol (volume ± 330 mL) pada penelitian A dan B masing-masing setelah 17 dan 14 hari (Gambar 2b). Baik penelitian A maupun B, Inokulum dari bibit induk memenuhi permukaan media bibit produksi setelah 6 – 7 hari dan segera diinokulasikan ke media produksi (Gambar 2c).
a b c Gambar 2 Biakan murni (a), bibit induk (b),
dan bibit produksi (c) jamur merang. Pengomposan
Kadar air masing-masing bahan kompos sebelum (setelah direndam) dan setelah pengomposan dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Setelah pengomposan, kadar air kapas trash menurun dari 80.63% menjadi 74.20% (penelitian A) dan dari 76.44 menjadi 68.30% (penelitian B), kapas debu menurun dari 78.37% menjadi 49.04% (penelitian A) dan dari 72.88% menjadi 71.51% (penelitian B). Sedangkan untuk jerami, kadar air meningkat dari 67.80% menjadi 73.78% (penelitian A) dan menurun dari 81.18% menjadi 69.03% (penelitian B). Baik penelitian A maupun B, pH bahan kompos setelah pengomposan yaitu 6.9. Nilai C-organik total, N-total, dan nilai rasio C/N bahan kompos setelah pengomposan pada penelitian B dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 3 Kadar air bahan kompos setelah direndam air leding (sebelum pengomposan)
Jenis Kadar air (%)A Kadar air (%)B Kapas trash 80.63 76.44 Kapas debu 78.37 72.88
Jerami 67.80 81.18 Ket : A = penelitian A, B = penelitian B.
Tabel 4 Kadar air dan pH bahan kompos setelah pengomposan
Jenis Kadar air (%)A pH A Kadar air (%)B pH B Kapas trash 74.20 6.9 68.30 6.9 Kapas debu 49.04 6.9 71.51 6.9 Jerami 73.78 6.9 69.03 6.9 Ket : A = penelitian A, B = penelitian B.
Tabel 5 Nilai C-organik total, N-total, dan rasio C/N bahan kompos setelah pengomposan (penelitian B) Jenis C-organik total N-total (%) Rasio C/N Kapas trash 35.57 1.82 19.50 Kapas debu 27.07 0.78 34.70 Jerami 31.93 1.02 31.30
Tabel 6 memperlihatkan hasil analisis kadar air untuk setiap media perlakuan yang telah mengandung semua bahan media produksi dan sebelum dipasteurisasi (penelitian B).
Tabel 6 Kadar air media perlakuan sebelum pasteurisasi (penelitian B)
Perlakuan Kadar air (%)
T2J1 71.64
T1J1 69.12
D2J1 66.60
D1J1 67.34
Baik penelitian A maupun B, pada hari ke-10 pengomposan terdapat miselium berwarna putih memenuhi permukaan masing-masing bahan kompos (Gambar 3). Warna kompos pada kapas trash dan kapas debu sedikit kehitaman dengan struktur kompos cukup remah (Gambar 3a dan 3b), sedangkan kompos jerami berwarna kecoklatan dengan struktur kompos remah (Gambar 3c).
a b c
Gambar 3 Kompos kapas trash (a), kapas debu (b), dan jerami berumur 10 hari.
Pemeliharaan dan Pemanenan
Fase vegetatif jamur merang
Pada penelitian A, fase vegetatif (miselium) jamur merang memenuhi media T2J1, T1J1, D2J1, dan D1J1 masing-masing pada
kisaran hari ke-8 – 13, hari ke-7, hari ke-7, dan kisaran hari ke-7 – 11 setelah inokulasi (SI) (Lampiran 6). Akan tetapi plastik penutup kotak dibuka secara bersamaan pada hari ke-7 dan hampir semua permukaan media D2J1 dan
D1J1 terlihat basidioma Coprinus. Pada hari
ke-13, salah satu ulangan dari perlakuan T2J1
dipenuhi miselium disebabkan oleh banyak terdapat cendawan kontaminan Trichoderma pada permukaan media (Lampiran 25a).
Pada penelitian B, miselium memenuhi media T2J1, T1J1, D2J1, dan D1J1
masing-masing pada hari ke-11, hari ke-8, hari ke-8, dan kisaran hari ke-10 – 20 SI (Lampiran 6).
Akan tetapi plastik penutup kotak dibuka secara bersamaan pada hari ke-8 dan media T2J1 terlihat basidioma Coprinus. Media T2J1
dipenuhi miselium pada hari ke-11, namun tipis dan tidak menyebar (Lampiran 30a).
Fase reproduktif jamur merang
Miselium kemudian berkembang memasuki fase reproduktif yang terdiri atas tingkat primordium (pentul, kancing, dan telur), tingkat pemanjangan, dan tingkat dewasa (Gambar 4b, c, dan d).
a b
c d
Gambar 4 Fase vegetatif pada media D2J1 (a),
fase reproduktif (tingkat primordium pentul) pada media T1J1 (b), tingkat primordium
kancing dan telur pada media D1J1
(c), tingkat pemanjangan dan dewasa pada media D1J1 (d).
Pada penelitian A dan B, basidioma tingkat primordium kancing terbentuk masing-masing pada hari ke-11 – 16 dan hari ke-10 – 24 SI (Lampiran 7). Pada penelitian A dan B, tingkat primordium telur terbentuk masing-masing pada hari ke-13 – 18 dan hari ke-13 – 26 SI (Lampiran 8). Pada penelitian A dan B, periode panen berlangsung masing-masing selama 14 – 23 hari dan 13 – 29 hari.
Bobot basah jamur merang hasil panen
Pada penelitian A dan B, bobot basah total jamur merang hasil panen selama pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 9 – 13. Pada penelitian A, media produksi tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap bobot basah jamur merang (Lampiran 18).
Media D2J1 menghasilkan bobot basah
tertinggi dibandingkan dengan ketiga media lainnya (Gambar 5).
Ket : Nilai bobot basah merupakan rata-rata dari 3 ulangan; angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Gambar 5 Rata-rata bobot basah total basidioma jamur merang dari awal sampai akhir panen pada penelitian A.
Pada penelitian B, media produksi memberikan perbedaan yang nyata terhadap bobot basah jamur merang (Lampiran 19).
Bobot basah tertinggi dihasilkan oleh media D2J1 yang berbeda nyata dengan T2J1, tetapi
tidak berbeda nyata dengan T1J1 dan D1J1.
Ket : Nilai bobot basah merupakan rata-rata dari 3 ulangan; angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Gambar 6 Rata-rata bobot basah total basidioma jamur merang dari awal sampai akhir panen pada penelitian B. pemanjangan dewasa telur kancing 153.11 212.63 155.29 87.18 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 T2J1 T1J1 D2J1 D1J1 Perlakuan Bo b o t b asah ( g )
Bobot bas ah total pene litian A
b ab a ab 122.00 230.75 54.12 1.83 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 T2J1 T1J1 D2J1 D1J1 Perlakuan B obot b asah ( g )
Bobot basah total penelitian B
b ab
a
a
Jumlah, tinggi, dan diameter basidioma jamur merang hasil panen
Pada penelitian A, media produksi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah basidioma jamur merang (Lampiran 20). Media D2J1 menghasilkan jumlah
basidioma tertinggi dibandingkan dengan ketiga media lainnya (Lampiran 14, Tabel 7). Pada penelitian B, media produksi memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah basidioma jamur merang (Lampiran 21). Media D2J1 menghasilkan jumlah
basidioma tertinggi yang berbeda nyata dengan T2J1, tetapi tidak berbeda nyata
dengan T1J1 dan D1J1 (Lampiran 15, Tabel 7).
Tabel 7 Jumlah basidioma jamur hasil panen Perlakuan Jumlah
basidiomaA basidiomaJumlah B
T2J1 15b 2b *
T1J1 29ab 13ab
D2J1 45a 31a
D1J1 35ab 13ab
Ket : A = penelitian A, B = penelitian B; jumlah basidioma merupakan rata-rata dari 3 ulangan; angka di dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
* = diperoleh dari 1 ulangan saja.
Pada penelitian A, tinggi dan diameter basidioma jamur masing-masing berkisar 1.7 – 4.2 cm dan 1.6 – 3.6 cm (Tabel 8). Pada penelitian B, tinggi dan diameter basidioma jamur masing-masing berkisar 1.6 – 4.5 cm dan 1.5 – 3.2 cm (Tabel 9). Baik penelitian A maupun B, media D2J1 menghasilkan
basidioma jamur dengan tinggi dan diameter yang relatif lebih besar dibandingkan dengan media T2J1, T1J1, dan D1J1.
Tabel 8 Kisaran tinggi dan diameter basidioma jamur pada penelitian A Perlakuan Tinggi (cm) Diameter (cm)
T2J1 1.8 – 3.5 1.8 – 3.6
T1J1 1.8 – 3.7 1.7 – 2.8
D2J1 2.0 – 4.0 1.6 – 3.0
D1J1 1.7 – 4.2 1.6 – 3.2 Ket : pengukuran basidioma dilakukan setiap kali panen.
Tabel 9 Kisaran tinggi dan diameter basidioma jamur pada penelitian B Perlakuan Tinggi (cm) Diameter (cm)
T2J1 1.2 – 2.2* 1.3 – 1.5*
T1J1 1.7 – 4.3 1.8 – 3.0
D2J1 2.0 – 4.5 1.7 – 3.2
D1J1 1.6 – 4.0 1.5 – 3.2 Ket : pengukuran basidioma dilakukan setiap kali panen.
* = diperoleh hanya dari 1 ulangan.
Suhu dan kelembaban relatif di dalam rak pemeliharaan, serta suhu dan pH media produksi
Pada penelitian A, suhu yang teramati di dalam rak pemeliharaan pada pagi, siang, dan sore hari masing-masing berkisar 22 – 28°C, 32 – 37°C, dan 28 – 35°C dengan kelembaban relatif pada pagi, siang, dan sore hari masing-masing 100%, 61 – 87%, dan 64 – 100% (Lampiran 22). Pada penelitian B, suhu di dalam rak pemeliharaan pada pagi, siang, dan sore hari masing-masing berkisar 24 – 37°C, 31 – 42°C, dan 28 – 38°C dengan kelembaban relatif pagi, siang, dan sore hari masing-masing 68 – 100%, 53 – 98%, dan 78 – 100% (Lampiran 23). Data curah hujan di Darmaga, Bogor pada tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 24. Berdasarkan curah hujan (Lampiran 24), secara umum hasil pada penelitian A lebih baik daripada penelitian B karena pada penelitian B, curah hujan total (September – Oktober 2008) sebesar 654 mm dan pada penelitian A, curah hujan total (Juni – Agustus 2008) sebesar 506 mm.
Saat plastik penutup kotak dibuka di pagi hari ke-7 pada penelitian A dan hari ke-8 pada penelitian B, suhu media produksi pada penelitian A dan B masing-masing berkisar31 – 33°C dan 32 – 35°C. Selanjutnya kisaran suhu media produksi untuk masing-masing perlakuan di pagi hari selama pemeliharaan lebih rendah dengan pH media produksi pada penelitian A dan B masing-masing berkisar 6.6 – 7.0 dan 6.5 – 7.0 (Tabel 10 dan 11).
Tabel 10 Kisaran suhu dan pH media produksi pada penelitian A
Suhu (°C) Perlakuan
Pagi Siang Sore pH T2J1 23 – 27 28 – 32 29 – 32 6.6 – 7.0
T1J1 23 – 27 28 – 33 29 – 33 6.7 – 7.0
D2J1 23 – 27 27 – 33 29 – 33 6.8 – 7.0
D1J1 23 – 27 28 – 32 28 – 32 6.8 – 7.0 Tabel 11 Kisaran suhu dan pH media
produksi pada penelitian B
Suhu (°C) Perlakuan
Pagi Siang Sore pH T2J1 24 – 30 31 – 36 31 – 37 6.5 – 7.0
T1J1 25 – 30 31 – 38 32 – 38 6.8 – 7.0
D2J1 24 – 30 30 – 36 31 – 36 6.8 – 7.0
Cendawan kontaminan selama pemeliharaan jamur merang
Pemeliharaan jamur merang berhenti pada hari ke-39 SI karena media produksi sudah tidak menghasilkan basidioma jamur merang. Baik penelitian A maupun B, cendawan yang mengkontaminasi media produksi dan dapat dilihat secara visual dari awal sampai akhir pemeliharaan, ialah
Trichoderma, Coprinus, Peziza, dan Stemonitis (Lampiran 25). Trichoderma lebih
banyak terdapat pada kayu kotak dibandingkan dengan pada permukaan media. Basidioma Coprinus muncul setelah fase vegetatif jamur merang. Peziza diikuti
Stemonitis ditemukan saat media produksi
sudah tidak menghasilkan basidioma jamur. Efisiensi Biologi Jamur Merang
Pada penelitian A, media produksi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai EB jamur merang (Lampiran 26). Akan tetapi nilai EB pada media D2J1 cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai EB pada media T2J1, T1J1, dan D1J1 (Gambar 7).
Ket: Nilai EB merupakan rata-rata dari 3 ulangan; angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Gambar 7 Nilai rata-rata efisiensi biologi (EB) jamur merang pada penelitian A.
Pada penelitian B, media produksi memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai EB jamur merang (Lampiran 27). Media D2J1 mempunyai nilai EB tertinggi yang
berbeda nyata dengan T2J1, tetapi tidak
berbeda nyata dengan T1J1 dan D1J1 (Gambar
8).
Ket : Nilai EB merupakan rata-rata dari 3 ulangan; angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Gambar 8 Nilai rata-rata efisiensi biologi (EB) jamur merang pada penelitian B.
Kadar Air Jamur Merang
Kadar air jamur merang pada penelitian A dan B masing-masing berkisar 92.02 –93.36% dan 89.23 – 91.35% pada (Tabel 12). Baik pada penelitian A maupun B, media produksi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar air jamur merang (Lampiran 28 dan 29).
Tabel 12 Kadar air basidioma jamur merang hasil panen
Perlakuan Kadar air (%)A Kadar air (%)B
T2J1 92.02ª 89.23a *
T1J1 92.44ª 90.17a
D2J1 92.86ª 91.35a
D1J1 93.36ª 60.20a
Ket : A = penelitian A, B = penelitian B; nilai kadar air merupakan rata-rata dari 3 ulangan; angka di dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
* = diperoleh dari 1 ulangan saja.
15.63 21.22 16.76 10.25 0 5 10 15 20 25 30 T2J1 T1J1 D2J1 D1J1 Perlakuan N ila i E B ( % ) EB penelitian A b ab a ab 12.45 5.84 0.22 23.03 0 5 10 15 20 25 30 T2J1 T1J1 D2J1 D1J1 Perlakuan N ila i EB (% ) EB penelitian B a b ab ab
PEMBAHASAN
Basidioma jamur merang yang dihasilkan oleh media produksi berasal dari bibit produksi yang ditanam pada media tersebut. Pada penelitian ini, miselium yang tumbuh pada media ASK di dalam cawan Petri (9 hari) lebih lambat dibandingkan dengan pada media agar-agar dekstrosa kentang (ADK) hasil penelitian Dambut (1992) yaitu 4 hari pada kondisi yang sama. Hal ini disebabkan sumber karbon yang digunakan berbeda, yaitu pada penelitian ini digunakan sukrosa, sedangkan pada penelitian Dambut (1992) digunakan dekstrosa. Menurut Chang dan Quimio (1989), dekstrin adalah sumber karbon paling baik untuk pertumbuhan miselium jamur merang dibandingkan dengan sukrosa.
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, pada penelitian A dan B miselium jamur merang memenuhi media bibit induk yang terdiri atas merang padi, bekatul, dan kapur di dalam botol (volume 330 mL) masing-masing setelah 17 dan 14 hari. Menurut Chang dan Miles (2004), miselium dari biakan murni akan memenuhi media bibit induk berkisar 10 – 18 hari bergantung pada jenis bahan dan kemasan media bibit. Pada penelitian A dan B, inokulum dari bibit induk memenuhi media bibit produksi yang terdiri atas merang padi, jerami, bekatul, dan kapur masing-masing setelah 6 – 7 hari.
Substrat untuk pertumbuhan jamur merang harus mengandung berbagai unsur, diantaranya karbon, nitrogen, mineral, dan vitamin, serta telah mengalami pengomposan (Anke 1997; Kaul 1997). Pada penelitian ini, sumber karbon, nitrogen, dan mineral didapatkan dari kompos kapas trash, kapas debu, dan jerami. Bekatul yang ditambahkan pada masing-masing bahan kompos merupakan sumber nitrogen dan vitamin. Substrat kompos untuk pertumbuhan jamur merang dengan kualitas baik harus didukung oleh kadar air dan rasio C/N bahan yang sesuai selama pengomposan berlangsung.
Selama pengomposan, mikrob memecah senyawa karbon sebagai sumber energi dan menggunakan nitrogen untuk sintesis protein. Ryckeboer et al. (2003) menyatakan bahwa nitrogen berlebih akan menjadi amonia, namun adanya aktinomiset dapat mereasimilasi amonia.
Kadar air merupakan faktor penting karena mikrob yang membantu proses pengomposan di awal memanfaatkan bahan organik yang larut dalam air. Menurut
Ryckeboer et al. (2003), apabila pada awal pengomposan kadar air bahan kompos lebih dari 65%, sebagian nutrisi mungkin telah hilang karena tercuci, sebaliknya bila kadar air terlalu rendah (< 30%) dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas mikrob yang membantu proses pengomposan, bahkan mikrob dapat menjadi dorman. Pada penelitian A dan B, kadar air kapas trash, kapas debu, dan jerami di awal pengomposan (setelah perendaman) masing-masing berkisar 67.80% – 80.63% dan 72 – 81.18%, sedikit lebih tinggi dari batas kadar air untuk proses pengomposan (65%), namun cukup mendukung proses pengomposan. Chang dan Miles (2004) menyatakan bahwa kisaran kadar air maksimum pada substrat yang mendukung pertumbuhan jamur sebagian besar basidiomiset ialah 50 – 75% dan kisaran kadar air yang baik untuk pertumbuhan jamur merang ialah 60 – 65%. Pada penelitian B, kisaran kadar air setiap perlakuan media produksi sebelum dipasteurisasi ialah 66.60 – 71.64%. Kisaran kadar air tersebut berada pada kisaran kadar air maksimum yang mendukung pertumbuhan sebagian besar basidiomiset dan mendekati kisaran kadar air yang baik untuk pertumbuhan jamur merang. Pada penelitian A, kadar air setiap perlakuan media produksi tidak diukur, namun kadar air kapas trash, kapas debu, dan jerami setelah pengomposan yaitu masing-masing sebesar 74.20%, 49.04%, dan 73.78%. Kadar air tersebut sudah cukup untuk pertumbuhan jamur merang.
Menurut Chang dan Miles (2004), rasio C/N optimum substrat kompos untuk pertumbuhan jamur merang berkisar 40 – 60. Pada penelitian B, rasio C/N kompos kapas debu dan kompos jerami berumur 10 hari masing-masing sebesar 34.70 dan 31.30. Nilai tersebut mendekati kisaran rasio C/N optimum substrat kompos untuk pertumbuhan jamur merang. Rasio C/N kompos kapas trash sebesar 19.50, lebih rendah dari rasio C/N optimum sehingga diduga kapas trash sudah sangat terdegradasi. Pada penelitian A, rasio C/N masing-masing kompos tidak diukur, namun diperkirakan rasio C/N kompos kapas
trash, kapas debu, dan jerami tidak berbeda
dengan rasio C/N penelitian B karena lamanya pengomposan sama yaitu 10 hari. Sebaiknya dilakukan pengukuran rasio C/N dan kadar air setiap media perlakuan (rasio C/N dan kadar air media campuran) untuk mengetahui rasio C/N dan kadar air yang sebenarnya.
Pada penelitian A dan B, warna kompos kehitaman pada kapas trash dan kapas debu,
serta kecoklatan pada jerami dengan struktur kompos yang remah di akhir pengomposan menunjukkan bahwa ketiga bahan kompos tersebut telah mengalami dekomposisi, sehingga dapat dijadikan substrat produksi jamur merang. Chang dan Miles (2004) menyatakan bahwa warna kompos coklat kehitaman disebabkan oleh meningkatnya residu karbon sebagai akibat dari pemecahan senyawa karbohidrat kompleks seperti lignin dan selulosa oleh mikrob selama pengomposan.
Nutrisi utama untuk pertumbuhan jamur merang adalah selulosa (Chang & Miles 2004). Pertumbuhan dan perkembangan jamur ini dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, cahaya, aerasi, kandungan nutrisi dan pH substrat, serta kehadiran mikrob lain pada substrat (Kaul 1997). Berdasarkan hasil analisis kimia, kapas trash dan kapas debu tunggal masing-masing mengandung selulosa sebesar 43.93% dan 77.34% (Bagian Ilmu Nutrisi, FAPET IPB) (Lampiran 4). Hasil tersebut menunjukkan bahwa media D2J1 dan
D1J1 mengandung selulosa lebih tinggi
dibandingkan dengan media T2J1 dan T1J1.
Hal ini mendukung bobot basah jamur merang lebih tinggi pada media D2J1 dan D1J1
dibandingkan dengan media T2J1 dan T1J1.
Selain itu media D2J1 dan D1J1 juga
menghasilkan basidioma dengan jumlah, tinggi, dan diameter yang relatif lebih besar dibandingkan dengan media T2J1 dan T1J1.
Menurut Chang dan Hayes (1978), standar lokal diameter basidioma jamur merang tingkat primordium telur yang dapat diterima berkisar 2.5 – 3.5 cm. Pada penelitian A dan B, diameter basidioma jamur merang tingkat primordium telur masing-masing berkisar 1.6 – 3.6 cm dan 1.3 – 3.2 cm. Kisaran diameter basidioma jamur merang tersebut sudah mendekati dan termasuk kisaran standar, namun masih ada basidioma jamur merang yang memiliki diameter lebih rendah dari kisaran standar.
Pada penelitian A, rendahnya bobot basah jamur merang pada media T2J1 disebabkan
oleh adanya kontaminan Trichoderma pada permukaan media dan kayu kotak yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan basidioma jamur merang (Lampiran 25a). Dharmaputra et al. (1999) melaporkan bahwa
T. aureoviride yang diuji interaksinya secara in vitro dengan jamur merang menunjukkan
persentase hambatan sebesar 100%. Selain itu, berdasarkan pengamatan secara mikroskopis hifa jamur merang dibelit secara intensif oleh
T. aureoviride dan menyebabkan hifa jamur di
daerah kontak mengalami pembesaran, lisis, kemudian mati. Pada penelitian A, selain
Trichoderma, pembukaan plastik penutup
kotak media T2J1 yang terlalu awal (hari ke-7)
diduga mengakibatkan fase vegetatif belum sempurna sehingga terjadi keterlambatan pembentukan primordium jamur. Hal tersebut mempengaruhi produksi jamur. Saat plastik penutup kotak dibuka, kisaran suhu media T2J1 yaitu 31 – 33°C dan turun secara
perlahan. Menurut Chang dan Miles (2004), perkembangan fase vegetatif (miselium) jamur merang pada media produksi memerlukan kisaran suhu 32 – 34°C. Suhu yang mulai menurun dan lebih rendah dari suhu substrat untuk perkembangan miselium jamur merang tersebut dapat menghambat perkembangan miselium pada media. Sementara itu, pembukaan plastik penutup kotak yang terlalu awal (hari ke-7) pada salah satu ulangan media D1J1 tidak berpengaruh
pada hasil bobot basah jamur, terlihat dari hasil bobot basah jamur pada media ini cenderung tidak berbeda dengan media T1J1
dan D2J1 (Gambar 5).
Chang dan Miles (2004) menyatakan bahwa suhu optimum untuk perkembangan basidioma jamur merang berkisar 28 – 32oC.
Suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu optimum dapat menghambat perkembangan basidioma jamur. Pada penelitian B, rendahnya produksi jamur pada media T2J1 diduga disebabkan perkembangan
fase vegetatif belum sempurna, disamping oleh suhu media T2J1 (24 – 38oC) cenderung
lebih tinggi dari kisaran suhu optimum. Selain itu didukung juga oleh miselium yang tumbuh sangat tipis serta terjadi dekomposisi media yang lebih cepat (hari ke-20 SI) (Lampiran 30). Pada penelitian A dan B, nilai pH pada media produksi berkisar 6.6 – 7.0 dan 6.5 – 7.0. Kisaran nilai pH tersebut mendukung pertumbuhan jamur merang. Menurut Chang dan Miles (2004), jamur merang tumbuh optimum pada pH 7.0. Kelembaban relatif terendah di dalam rak pemeliharaan mencapai 53% dan tertinggi mencapai 100%, sedangkan menurut Chang dan Miles (2004), kelembaban relatif optimum rumah jamur berkisar 80 – 85%. Pada penelitian B, suhu di dalam rak pemeliharaan (24 – 42oC) dan media produksi
(24 – 38oC) cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu di dalam rak pemeliharaan (22 – 37oC) dan media produksi
(23 – 33oC) pada penelitian A. Hal tersebut
diduga mengakibatkan produksi jamur merang pada penelitian B cenderung lebih rendah dibandingkan dengan penelitian A.
Efisiensi biologi (EB) jamur merupakan kemampuan jamur untuk mengubah substrat menjadi tubuh buah jamur atau basidioma (Chang & Miles 2004). Pada penelitian A dan B, media D2J1 mempunyai nilai EB
masing-masing sebesar 21.22% dan 23.03%, nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai EB media T2J1, T1J1, dan D1J1. Nilai EB media
T1J1 (16.76%) dan D1J1 (15.63%; 12.45%)
pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai EB dari penelitian yang dilakukan oleh Dusuqi (1991) sebesar 12.20% pada substrat yang sama, kecuali nilai EB pada media T1J1 di penelitian B yang
hanya sebesar 5.84%.
Berdasarkan informasi dari petani jamur merang, media kapas trash memproduksi jamur merang lebih tinggi bila dibandingkan dengan media kapas AC, kapas debu, dan kapas tanpa debu (Sudirman LI 2008, komunikasi pribadi). Pada penelitian ini, media yang mengandung kapas debu memproduksi jamur merang lebih tinggi bila dibandingkan dengan media yang mengandung kapas trash.
Baik pada penelitian A maupun B, adanya kontaminan Trichoderma selama pemeliharaan didukung oleh suhu media di pagi hari masing-masing berkisar 23 – 27°C dan 24 – 32°C yang memberi peluang
Trichoderma tumbuh (Lampiran 25a).
Menurut Fletcher et al. (1989), suhu optimum untuk pertumbuhan Trichoderma berkisar 22 – 26°C, dan cendawan ini lebih banyak mengkolonisasi kayu kotak media, terutama setelah diberi perlakuan panas. Menurut Gao
et al. (2007) dan Sun et al. (2009), rasio C/N
optimum substrat untuk pertumbuhan T. viride adalah 10:1 – 40:1 dengan sporulasi optimum pada rasio C/N 10:1.Pada penelitian B,rasio C/N kompos kapas trash dan kompos jerami tunggal berumur 10 hari masing-masing sebesar 19.50 dan 31.30. Berdasarkan nilai rasio C/N tersebut memungkinkan
Trichoderma untuk tumbuh pada media T2J1
karena media tersebut merupakan campuran kompos kapas trash dengan kompos jerami. Pada penelitian A, adanya Trichoderma pada media T2J1 juga diduga oleh rasio C/N media
yang mendukung pertumbuhan Trichoderma. Pada penelitian ini, Coprinus banyak terdapat pada media sebelum masa panen dan semakin berkurang selama masa pemeliharaan (Lampiran 25b). Fletcher et al. (1989) menyatakan bahwa Coprinus merupakan
cendawan yang umum dijumpai pada bedengan jamur merang dan biasanya terdapat dalam jumlah besar sebelum flush (periode
panen) pertama. Peziza merupakan cendawan saprob yang tumbuh pada tanah yang lembab atau kayu yang membusuk, dan beberapa spesies memiliki tubuh buah dengan warna mencolok (Alexopoulos et al. 1996). Pada penelitian ini, Peziza ditemukan pada media produksi yang lembab dan mulai membusuk di akhir pemeliharaan jamur merang dengan tubuh buah berwarna jingga (Lampiran 25c).
Stemonitis merupakan cendawan cendawan
(kelompok) miksomiset dengan sprorangium mengelompok membentuk struktur seperti rambut dan dapat dilihat oleh mata telanjang (Alexopoulos et al. 1996).Pada penelitian ini,
Stemonitis mempunyai struktur seperti rambut
yang memadat dan ditemukan baik pada kotak kayu maupun media produksi di akhir pemeliharaan jamur merang (Lampiran 25d).
Menurut Li dan Chang (1989), kadar air basidioma jamur merang tingkat primordium telur berkisar 88.28 – 90.06%. Pada penelitian A dan B, kadar air basidioma jamur merang tingkat primordium telur hasil panen masing-masing berkisar 92.02 – 93.36% dan 89.23 – 91.35%.
SIMPULAN
Pada penelitian A dan B, media kombinasi kapas debu dan jerami padi dengan perbandingan 2:1 (D2J1) menghasilkan jamur
merang yang lebih tinggi dalam hal bobot basah, jumlah basidioma, tinggi basidioma, diameter basidioma, dan nilai EB dibandingkan baik dengan media kombinasi kapas trash dan jerami dengan perbandingan 2:1 (T2J1) dan 1:1(T1J1), maupun dengan
media kombinasi kapas debu dan jerami dengan perbandingan 1:1 (D1J1).
SARAN
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan cara membuka plastik penutup kotak media produksi saat fase vegetatif jamur merang benar-benar telah memenuhi media. Saran lain yang bisa disampaikan ialah meneliti produksi jamur merang pada media campuran baik yang mengandung jenis limbah kapas AC maupun limbah kapas tanpa debu.