• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Pendahuluan. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Pendahuluan. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mensejahterakan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sesuai sebagaimana yang diarahkan dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bahwa pembangunan nasional merupakan suatu usaha bersama antara masyarakat dan pemerintah.1

Masyarakat adalah pelaku utama pembagunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional, khususnya dibidang ekonomi yang pelakunya meliputi semua unsur kehidupan ekonomi, baik pemerintah, swasta, badan hukum, maupun perseorangan, guna meningkatkan kegiatan pembangunan, yang sebagian besar diperoleh melalaui kegiatan perkreditan.

Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu “credere” yang berarti kepercayaan.2 Dasar dari kredit adalah kepercayaan atau keyakinan dari kreditor bahwa pihak lain pada masa yang akan datang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Mengingat pentingnya dana perkreditan tersebut sudah

1Husni Hasbullah, Frieda, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, Jilid

2, Ind Hill-Co, Jakarta, 2009, hal. 136

(2)

semestinya para pihak yang terkait mendapat perlindungan dalam suatu lembaga hak jaminan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.

Dalam Bahasa Belanda, hukum jaminan dapat diterjemahkan dengan “Zekerheidrechten”, yang dimana kata recht disini diartikan hak bukan hukum. A.Pitlo, menyatakan rumusan bahwa : “Zekerheidrechten” adalah hak yang memberikan kreditur kedudukan yang lebih baik daripada kreditur-kreditur lain.3

Di Indonesia lembaga hak Jaminan diatur dalam suatu lembaga yang disebut Lembaga Hak Tanggungan. Lembaga Hak Tanggungan diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Lembaga Hak Tanggungan ini sebenarnya telah lama diamanatkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, akan tetapi baru tanggal 9 April 1996, Lembaga Hak Tanggungan ini baru terwujud, maka ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan Crediet verband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.4

Hak Tanggungan, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, adalah :

3Pitlo, Dalam tulisannya Tahir Kamil, Hukum dan Lembaga Jaminan, Media Notariat Juli –

September 2003.

4

Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang ,2000. hal.52

(3)

“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”.

Adapun 4 (empat) hal yang menjadi pertimbangan dibentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu:5

1. Bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga dibutuhkan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;

2. Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai saat ini, ketentuan lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;

3. Bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang hak tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia ;

4. Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak selain hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peratura Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan;

5

H. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. 2007. hal.100.

(4)

Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.6

Sedangkan dalam proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap kegiatan, yaitu :

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin.

2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.7

Prosedur pembebanan Hak Tanggungan adalah menyangkut pendaftarannya, dalam Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”.

Secara sistematis tata cara pendaftaran Hak Tanggungan dikemukakan sebagai berikut :8

1. Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan ;

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam waktu 7 hari setelah penandatanganan pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan yaitu :

6 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Tanggungan,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2005, hal. 13.

7 Habib Adjie, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju,

Bandung, 2000. hal. 8.

(5)

a. Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dibuat rangkap 2 dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan ;

b. Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan;

c. Fotokopi surat identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan ; Sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek Hak Tanggungan.

d. Lembar ke dua Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ;

e. Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertifikat hak tanggungan ;

f. Bukti pelunasan biaya pendaftaran hak tanggungan.

3. Kantor Pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

4. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Surat-surat yang diperlukan bagi tanah yang sudah bersertifikat atas nama Pemberi Hak Tanggungan adalah :

a. Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan. b. Asli sertifikat hak atas tanah.

c. Asli Akta Pemberian Hak Tanggungan. d. Pelunasan biaya pendaftaran hak tanggungan.

e. Bukti dipenuhinya persyaratan administrative yang didasarkan pada minimal peraturan tertulis tingkat menteri atau disetujui menteri.

5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan. 6. Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan, dimana mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan

Jadi pada azasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan, dan apabila Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maka di dalam kebutuhannya wajib menunjuk pihak lain dalam hal ini Kreditur sebagai kuasanya.

Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada perjanjian yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena

(6)

bermacam-macam alasan, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang demikian kompleks, sehingga sering dilakukan dengan pemberian kuasa dengan cara surat kuasa.9

Pengertian surat kuasa secara umum, dapat dirujuk dari Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pemberian kuasa dapat berlaku sebagai kuasa umum dan/atau sebagai kuasa khusus. Kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan pemberi kuasa. Sedangkan yang dimaksud dengan surat kuasa khusus hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas. perbuatan meletakkan atau membebankan hak atas barang bergerak seperti hipotek atau hak tanggungan, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik.10

Salah satu kuasa yang bersifat khusus adalah kuasa dalam pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dikenal dengan nama Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah Surat atau Akta yang mempunyai isi tentang pemberian kuasa yang diberikan oleh pemberi

9 Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Alulia, Bandung, 2008, hal. 1.

(7)

agunan/pemilik tanah (pemberi kuasa pada masa sekarang familiar dengan istilah debitur) kepada Pihak Penerima Kuasa untuk mewakili Pemberi Kuasa guna melakukan pemberian Hak Tanggungan kepada Kreditor atas tanah milik Pemberi Kuasa. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan SKMHT. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan SKMHT:11

1. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;

2. tidak memuat kuasa substitusi;

3. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

M. Yahya Harahap memasukkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai kuasa istimewa, sebagai dijelaskan berikut ini:12

Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa. Untuk menghilangkan ketidak bolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, di antaranya kuasa untuk memindahkan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut.

Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh Kreditur, disebabkan oleh debitur dan/atau pemberi kuasa tidak dapat hadir dalam melakukan penandatangganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) pada saat jaminan telah dapat dipasang hak tanggungan. Akta Pemberian Hak Tanggungan

11Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan 12

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 6.

(8)

(APHT) tidak dapat ditandatanggani oleh pemilik jaminan dan atau debitur karena jaminan tersebut dalam proses pendaftaran dan atau berada diluar kewenangan Notaris dan atau Notaris/PPAT. Perlu diketahu jaminan yang dapat dipasang hak tanggungan adalah jaminan yang telah terdaftar seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan serata hak milik atas satuan rumah susun. Selain hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan serta hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana yang telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peratura Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Rumah Susun, maka prosesnya adalah dengan cara penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sampai jaminan tersebut didaftarkan sesuai alas hak sebagaiman disebutkan di atas.

Undang-Undang Hak Tanggungan secara tegas menyatakan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya.13

Jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dalam Pasal 15 ayat (3) dan (4) adalah 1 (satu) bulan untuk tanah yang sudah terdaftar dan 3 (tiga) bulan untuk tanah yang belum terdaftar bila tidak diikuti dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan akan batal demi hukum.14

13 Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah pada

Seminar Nasional Sehati tentang “Periapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 25 Juli 1996, hal. 45.

(9)

Dalam Prakteknya, kegiatan pendaftaran tanah menimbulakan banyak persepsi sehingga menyulitkan Notaris/PPAT dan Badan Pertanahan dalam menetapkan jangka waktu dari SKMHT. Hal ini menyebakan penafsiran berbeda-beda antara para Notaris/PPAT dan Notaris/PPAT dengan Badan Pertanahan dalam hal jangka waktu. Sehingga diperlukan kajian mengenai pendaftaran tanah tersebut. Antara lain perbedan penafsiran jangka waktu seperti sertipikat dalam proses Roya (penghapusan hutang lama), Balik Nama, Pemasangan Hak Tanggungan, penggabungan, pemecahan, dan peningkatan maupun penurunan memiliki jangka waktu 1 (satu) bulan dan ada berpendapat jangka waktunya 3 (tiga) bulan dan permohonan hak memiliki jangka waktu 3 (tiga) bulan.

Sedengkan penjelasan pendaftaran tanah sebagaimana penjelasan umum UUPA, bahwa tujuan pendaftaran tanah untuk kepastian hukum. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agaria yang menetapkan pasal 19 ayat 1 sebagai dasar pelaksana pendaftaran tanah di Indonesia.

Pendaftaran tanah dilaksanakan dalam satu rangkaian kegiatan meliputi pengukuran, perpetaan, pembukuan dan pendaftaran hak-hak atas tanah serta pendaftaran peralihan dan pembebanan hak atas tanah, serta pemberian surat tanda bukti hak atas tanah yaitu sertipikat yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Selanjutnya oleh pasal 23, 32, dan 38 UUPA mengharuskan kepada pemegang hak yang bersangkutan untuk mendaftarkan tanahnya agar memperoleh kepastian hak.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan

(10)

Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit tertentu jo Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 (Sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4 April 1997, dan diubah lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998), berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya Perjanjian Pokok.

Bila jangka waktu perjanjian pokok dari fasilitas kredit telah berakhir, maka berakhir pulalah SKMHT dan bila kredit belum lunas sebaiknya bank menindak lanjuti SKMHT dimaksud dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dan selanjutnya menadftarkannya ke BPN setempat. Setelah APHT didaftarkan, terbitlah Setifikat Hak Tanggungan (SHT) dan bank dapat melaksanakan eksekusi terhadap Hak Tanggungan tersebut.

Penetapan jangka waktu yang terlalu pendek itu dapat membahayakan kepentingan kreditur, karena tidak mustahil, yaitu sebagaimana beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang demikian itu, bahwa kredit sudah menjadi macet sekalipun kredit baru diberikan dalam 3 (tiga) bulan. Kemacetan ini dapat terjadi bukan oleh karena analisis bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit itu tidak baik, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi, baik diluar negeri maupun di dalam Negeri.15

Akan tetapi menindak lanjuti SKMHT dengan APHT untuk pendaftaran Hak Tanggungan ke Badan Pertanahan Nasional setempat terkendala akibat lamanya proses di Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sehingga pihak Kreditur akan

(11)

melakukan penandatangganan ulang atas SKMHT ke II (baru) untuk melanjutkan SKMHT I (Pertama) yang telah berakhir.

Dalam prakteknya penandatanggannya ini ada beberapa cara yang dipergunakan seperti penandatangganan SKMHT ke II (baru) diantaranya adalah penandatangganan SKMHT ke II (baru) yang dilakukan sebelum SKMHT Pertama berakhir, penandatangganan SKMHT ke II (baru) yang dilakukan pada saat SKMHT Pertama saat berakhir, penandatangganan SKMHT ke II (baru) yang dilakukan lewat waktu berakhirnya SKMHT dan ada juga ditandatanggani waktu pertama kali ditandatangani Perjanjian Kredit yang sering disebut SKMHT Cadangan.

Penandatangganan SKMHT yang dilakukan diawal untuk mengantisipasi akan terjadinya debitur yang tidak mau atau tidak sempat untuk melakukan tandatanggan ulang atas berakhirnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang ditandatangani pada saat penandatangganan Perjanjian Kredit.

Kemacetan kredit karena perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi tersebut, sudah barang tentu mengakibatkan debitur enggan untuk memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk dapat mengelak dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali utangnya atau berusaha mengulur-ulur waktu dalam pembebanan Hak Tanggungan atas tanah debitur tersebut.

Hal ini merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah sehingga sangat merugikan Notaris atau PPAT. Kerugian yang timbul bersifat materi dan waktu dari notaris atau PPAT tersebut atas

(12)

berlakunya jangka waktu Surat Kuasa Membeban kan Hak Tanggungan. Akan tetapi kerugian terbesar ada pada pihak Kreditur. Dimana Pihak Kreditur tidak dapat melaksanakan haknya atas jaminan Debitur (dalam hal hak priferenya) untuk pelunasan hutang debitur apabila debitur wanprestasi dalam pelunasan hutangnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian dengan judul “Kajian Yuridis Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Kedua (II) dan Berikutnya Sebagai Perpanjangan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pertama (I) Yang Telah Berakhir Jangka Waktu”

B. Perumusan Masalah.

Ada beberapa pokok permasalahan hukum yang akan dibahas dalam penyusunan penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana kedudukan hukum atas Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ke-dua (II) dan berikutnya sebagai perpanjangan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pertama (I) Yang Telah Berakhir Jangka Waktu?

2. Bagaimana Upaya Kreditur dalam menyelesaikan Debitur “Kredit Macet” yang tidak mau menandatanggani perpanjanggan SKMHT yang telah berakhir jangka waktu?

3. Bagaimana sanksi terhadap Notaris yang membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang tidak sesuai dengan ketentuan UUJN?

C. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan Penelitian ini adalah :

(13)

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum atas Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ke-II dan berikutnya sebagai perpanjangan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pertama Yang Telah Berakhir Jangka Waktu. 2. Untuk mengetahui upaya kreditur dalam menyelesaikan debitur “kredit macet”

yang tidak mau menandatanggani perpanjanggan SKMHT yang telah berakhir jangka waktunya.

3. Untuk mengetahui sanksi terhadap Notaris yang menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang tidak sesuai dengan ketentuan UUJN.

D. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

a. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum baik oleh para praktisi yang bergerak dalam kenotariatan maupun dalam pembiayaan perbankan;

b. Bagi para akademis dan dunia pendidikan hasil penelitian ini juga diharapkan menambah khasanah keilmuan dan pengembangan ilmu hukum.

(14)

a. Sebagai bahan masukan bagi praktisi yang terlibat langsung dalam pengunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan;

b. Sebagai bahan masukan untuk pembuat undang-undang (legislatif) tentang perlindungan hukum terhadap Kriditur dan Debitur.

E. Keaslian Penelitian.

Berdasarkan Penelitian dan Penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap hasil-hasil yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan khususnya pada perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, mengenai penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ke II dan Berikutnya Sebagai Perpanjangan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pertama Yang Telah Berakhir Jangka Waktu” belum pernah dilakukan.

Menurut hasil penelusuran di perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara pernah ada penelitian yang juga membahas mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, antara lain:

1. Nama penulis GABRIEL A. BRAHMANA, Nomor Induk Mahasiswa 070200360, Sarjana Hukum, Universitas Sumatera Utara, dengan Judul “Tinjauan Hukum Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Yang Termuat Dalam Pasal 15 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan”. Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai :

(15)

a. Bentuk SKMHT berupa surat kuasa yang bersifat khusus.

b. Larangan Kuasa Substitusi dalam Pembuatan SKMHT terhadap Pemegang Hak Tanggungan

c. Aspek Hukum dari SKMHT terhadap UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

2. Nama penulis JUMALA HASAN, Nomor Induk Mahasiswa 097011169, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, dengan Judul “Pelaksanaan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana Dengan Pengikatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996”. Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai; a. Pelaksanaan kredit pemilikan rumah sederhana dengan pengikatan Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ditinjau dari PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996.

b. Fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) terkait dengan pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah sederhana.

c. Perlindungan hukum bagi pihak bank dalam hal debitur wanprestasi, dan bank hanya sebagai pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

(SKMHT).

3. Nama penulis KIKI RIARAHMA, Nomor Induk Mahasiswa 002111044, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, dengan Judul “Fungsi Dan

(16)

Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit (suatu penelitian di PT. Bank Bukopin Cabang Medan). Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai ;

a. Pelaksanaan fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.

b. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sesudah dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan c. Akibat hukum terjadinya kredit macet sebelum jangka waktu Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan Berakhir.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori.

Teori menurut Fred N. Kerlinger dalam Buku Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad adalah “seperangkat konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variabel dengan merinci hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”.16

Menurut Soerjono Soekanto, teori adalah suatu sistim yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk menjelaskan aneka macam

16

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

(17)

gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian yang dijalankan serta memberikan taraf pemahaman tertentu.17

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori hukum positif dari Menurut ajaran Yuridis Dogmatis bahwa : ”Tujuan Hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaaan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian”.19 Adapun teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah adalah teori Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), yaitu teori yang menjelaskan bahwa hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.20

17Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hal.6. 18M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

19 Achmad Ali, Menguak Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung,

Jakarta, 2002, hal. 83.

20

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 1.

(18)

Hal ini sebagaimana dalam penerpanan Jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dalam Pasal 15 ayat (3) dan (4). SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) adalah Surat atau Akta yang mempunyai isi tentang pemberian kuasa yang diberikan oleh pemberi agunan/pemilik tanah (pemberi kuasa pada masa sekarang familiar dengan istilah debitur) kepada Pihak Penerima Kuasa untuk mewakili Pemberi Kuasa guna melakukan pemberian Hak Tanggungan kepada Kreditor atas tanah milik Pemberi Kuasa.

Kepastian hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dibatasi jangka waktu berlakunya. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib segera diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan. Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi maka Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi “batal demi hukum” (Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang Hak Tanggungan.

Namun dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan membantu kepentingan golongan ekonomi lemah, Pemerintah melakukan intervensi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 8 Mei 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat

(19)

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu, dimana dalam Pasal 1 disebutkan : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 tersebut dibawah ini berlaku sampai saat ini berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan :

1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi : a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;

b. Kredit Usaha Tani;

c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya.

2. Kredit Pemilikan Rumah yang diadakan untuk pengadaan perumahan, yaitu: a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah

sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter persegi);

b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yangdiberikan untuk membiayai bangunannya.

c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b;.

3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafond kredit tidak melebihi Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain :

a. Kredit Umum Pedesaan;

b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah);

Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT wajib (dan dapat) dibuat bukan saja dengan akta PPAT, tetapi juga dengan akta notaris. Dan dipertegas lagi dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agaria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

(20)

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 96 ayat (1) mengenai bentuk Akta dan pembuatan SKMHT sehingga dapat diketahui bahwa hanya ada satu saja bentuk SKMHT, baik yang dibuat oleh PPAT maupun oleh notaris.

Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu:

a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.

b. tidak memuat kuasa substitusi.

c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa Latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan21. Kata “akta” dalam pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan, melainkan “perbuatan hukum”, yang berasal dari bahasa Perancis yaitu “acte” yang artinya perbuatan.22 Menurut Soedikno Mertukusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan-perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.23

21R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Penerbit Pradnya, Jakarta, 1980, hal. 9. 22

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 29.

23

(21)

Pada Pasal 40 Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan tentang saksi dalam akta, yaitu paling sedikit 2 (dua) orang saksi dengan kriteria paling rendah berumur 18 tahun atau sebelumnya telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf. Pada Pasal 44 mengenai tanda tangan, dimana setelah akta dibacakan oleh Notaris, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan.

Pasal 48 menyebutkan akta dilarang untuk diubah dengan diganti, ditambah, dicoret, disisipkan, dihapus, ditulis tindih. Perubahan tersebut dapat dilakukan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Pada Pasal 49 mengatur tentang perubahan atas akta yang dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat disis kiri akta apabila karena hal suatu perubahan tidak dapat dibuat disisi kiri, perubahan tersebut dapat dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.

Pada Pasal 50 mengatur tentang pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri akta. Pencoretan tersebut sah setelah diberi paraf atau tanda pengesahan lain dari para penghadap, saksi, dan Notaris.

Beberapa ketentuan inilah yang apabila tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi

(22)

alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.24Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.25 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta Autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN atau berdasarkan Undang-Undang lainnya.26

b. Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.27

c. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda

24Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

25 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35.

26

Pasal 1 angka 1 UUJN

(23)

lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.28

d. Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.29

e. Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.30

f. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.31

g. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.32

h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah suatu kuasa yang diberikan debitur (pemilik barang jaminan) untuk hadir di hadapan PPAT dalam pembuatan APHT dalam rangka pembebanan hak tanggungan kepada kreditur (pihak lain) yang berbentuk akta otentik.

28Pasal 1 angka 1 UUHT 29Pasal 1 angka 2 UUHT 30Pasal 1 angka 3 UUHT 31

Pasal 1 angka 4 UUHT

(24)

i. Perjanjian Kredit adalah persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara bank dengan debitur atas sejumlah kredit33.

j. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak34.

k. Hukum Jaminan menurut Rachmadi Usman adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur) sebagai akibat pembebanan suatu utang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu)35.

l. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah36.

m. Ingkar janji (wanprestasi)

Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu : 1) Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan,

2) Debitur terlambat memenuhi perikatan,

3) Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan37.

33

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. Ke-3, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 385.

34 Pasal 1 angka 2 Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

35Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.1-2. 36

Pasal 1 angka 23 Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

(25)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif yuridis, yaitu suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis empiris yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data sekunder terhadap data primer di lapangan, karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat.38

Dalam penelitian ilmu hukum empiris merupakan penelitian atau pengkajian yang sistematis, terkontrol, kritis dan empiris terhadap dugaan-dugaan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku hukum masyarakat yang merupakan fakta sosial.

Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif, tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam peraturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat. Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action).39

37 Mariam Darus Badrulzaman et al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001, hal.18-19.

38

Mukti Fajar Nurdewata Op.Cit., hal. 43.

(26)

2. Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku sampai dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.40

Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan, yaitu:

a. Bahan-bahan hukum primer, yaitu berhubungan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan jabatan notaris.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian, artikel, buku-buku referensi, media informasi lainnya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi pentunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus umum, dan jurnal.

3. Alat Pengumpul Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpul data dengan cara sebagai berikut:

40

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 23.

(27)

a. Studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

b. Melakukan Penelitian terhadap pengunaan SKMHT yang dilakukan oleh Notaris di Kota Medan.

4. Analisis Data

Setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila harga transaksi dalam suatu pasar yang tidak aktif berbeda dengan nilai wajar instrumen sejenis pada transaksi pasar terkini yang dapat diobservasi atau berbeda dengan

Bila tidak terjadi pembuahan/ implantasi maka korpus luteum akan artrofi, sehingga kadar estrogen ↓ dan progesteron ↓, arteri spiralis

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Besarnya biaya, penerimaan, dan pendapatan pada agroindustri

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk memperoleh gambaran bagaimana bauran komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh BMT ISRA Yogyakarta sebagai strategi komunikasi pemasaran

Untuk kasus Indonesia, tampaknya penempatan calon perempuan dalam daftar calon harus diatur secara lebih detil agar tidak menimbulkan beragam penafsiran dari partai politik yang

Manajer perusahaan akan mengalami kesulitan untuk menyembunyikan informasi dari para kreditor sehingga manajer akan berhati-hati dalam mengatur tingkat konservatisma agar

Untuk menguji valid atau tidaknya suatu alat ukur digunakan pendekatan secara statistika, yaitu melalui nilai koefisien korelasi skor butir pernyataan dengan

Naiknya Indeks Konsumsi Rumah Tangga pada bulan November 2015 dibandingkan Oktober 2015 juga menunjukkan terjadinya Inflasi perdesaan pada bulan November 2015,