• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHUAN. Berdasarkan asal katanya, fosil berasal dari bahasa latin yaitu fossa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHUAN. Berdasarkan asal katanya, fosil berasal dari bahasa latin yaitu fossa"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHUAN

1.1 Latar Belakang

Di bumi ini terdapat banyak jenis makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya. Semua makhluk hidup tersebut pasti akan mengalami kematian baik itu binatang, manusia maupun tumbuhan. Setelah mengalami kematian sebagian dari makhluk itu meninggalkan sisa-sisa kehidupan dalam jangka waktu yang lama dan biasa dikenal dengan istilah fosil.

Berdasarkan asal katanya, fosil berasal dari bahasa latin yaitu “ fossa” yang berarti "galian", adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi batu atau mineral.

Bicara mengenai fosil berarti berbicara mengenai paleontologi, Paleontologi adaah cabang ilmu geologi yang mempelajari fosil. Seluk beluk fosil dipelajari oleh seorang paleontologist.

Fosil terbentuk dari proses penghancuran peninggalan organisme yang pernah hidup. Hal ini sering terjadi ketika tumbuhan atau hewan terkubur dalam kondisi lingkungan yang bebas oksigen. Fosil yang ada jarang terawetkan dalam bentuknya yang asli. Dalam beberapa kasus, kandungan mineralnya berubah secara kimiawi atau sisa-sisanya terlarut semua sehingga digantikan dengan cetakan.

Fieldtrip paleontologi ini bermaksud untuk memberikan pemahaman kepada peserta agar dapat mengetahui dan membedakan fosil ketika di lapangan

(2)

baik itu filum, ciri-ciri, bentuk, proses pemfosilannya serta lingkungan pengendapannya.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari diadakannya fieldtrip paleontologi ini adalah untuk mengetahui mengenai fosil yang berada di daerah penelitian.

Adapun tujuan dari fieldtrip paleontologi ini yaitu:

1. Praktikan diharapkan dapat mengetahui filum dari fosil yang terdapat di daerah penelitian.

2. Praktikan diharapkan dapat mengetahui litologi yang terdapat di daerah penelitian.

1.3 Batasan Masalah

Pada laporan ini membahas tentang filum-filum dari fosil yang terdapat di daerah padanglampe, dan juga membahas tentang data litologi daerah padanglampe.

1.4 Waktu, Letak, dan Kesampaian

Fieldtrip paleontologi ini dilaksanakan pada hari jumat tanggal 8-10 april 2016. Fieldtrip ini dilaksanakan di daerah padanglampe kecamatan taneteriaja kabupaten barru provinsi Sulawesi selatan. Lokasi ini di tempuh sekitar 4 jam dari gowa dan sampai di barru dari jam 10.00 - 14.00 dengan menggunakan bus, jarak yang ditempuh sekitar 100 km.

Secara administratif, daerah penelitian meliputi wilayah Daerah Padanglampe Kecamatan Taneteriaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan dan secara geografis terletak pada koordinat 119041’30” Bujur Timur –

(3)

119043’30” Bujur Timur dan 04029’30” Lintang Selatan – 05031’00” Lintang

Selatan (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi

(4)

1.5.1 Metode Penelitian

Metode penelitian untuk pemetaan geologi ini terdiri dari metode eksplorasi permukaan meliputi kegiatan orientasi lapangan dan pengambilan data lapangan pada lintasan-lintasan yang dilalui pada daerah penelitian. Dalam metode pengambilang data digunakan beberapa metode yang umumnya dilakukan untuk pengambilan data yaitu metode measuring section dan juga metode pengamatan yang mencakup penggambaran keadaan singkapan, deskripsi litologi batuan, sketsa bentang dan pengambilang data foto stasiun. Kemudian dilakukan analisis laboratorium meliputi pencocokan fosil yang didapatkan di lapangan dan di laboratorium dengan metode kesamaan jenis spesies.

1.5.2 Tahapan Penelitian

Kegiatan ini dilakukan dengan lima tahapan penelitian, yaitu tahap persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap pengolahan data lapangan, tahap analisis data lapangan, dan tahap penyusunan laporan.

A. Tahap Persiapan

Tahap ini merupakan tahap persiapan sebelum melakukan penelitian dan pengambilan data di lapangan, meliputi studi regional termasuk studi literatur mengenai karakteristik data geologi secara langsung di lapangan sehingga mempermudah dalam kegiatan penelitian serta penyediaan segala kelengkapan untuk penelitian di lapangan. Dalam tahap ini, juga dilakukan pengurusan administrasi persuratan meliputi surat perizinan kegiatan penelitian yang ditujukan kepada beberapa pihak, yang terdiri atas pengurusan perizinan kepada

(5)

pihak Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Pemerintahan Provinsi Tk. I melalui sub bagian BALITBANGDA Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah Tk. II melalui sub bagian Kesbang Kabupaten Barru, Pemerintah Daerah Tingkat Kecamatan Barru, dan Kepala Desa Anabanua.

Selain itu tahap persiapan ini meliputi tahap pengadaan perlengkapan peralatan dan bahan yang akan digunakan. Dalam hal ini perlengkapan terdiri dari perlengkapan pribadi, kelompok, dan angkatan yang bertujuan untuk mempermudah dan melancarkan kegiatan penelitian tersebut.

B. Tahap Penelitian Lapangan

Pada tahap penelitian lapangan dilakukan proses pengambilan data baik untuk Tabel Measuring Section (MS) ataupun pada buku lapangan, foto singkapan dan sampel pada tiap lapisan.

C. Tahap Pengolahan Data

Tahap pengolahan data ini dilakukan setelah pengambilan data lapangan

dilakukan. Tahapan ini meliputi pengolahan data struktur berupa kedudukan

batuan, jenis litologi batuan, geomorfologi dan lintasan penelitian. Data

geomorfologi meliputi pengolahan data kemiringan lereng dan stratigrafi meliputi

perhitungan ketebalan batuan dan pembuatan tabel measuring section tiap stasiun

(6)

Selain itu juga pengolahan data litologi, yaitu sampel batuan berbeda yang didapatkan di lapangan dan deskripsi fosil yang didapatkan dilapangan kemudian diamati di laboratorium paleontologi.

D. Tahap Analisis Data Lapangan

Data-data lapangan selanjutnya diolah untuk dianalisis dan interpretasi lebih lanjut mencakup aspek geomorfologi, struktur geologi, litologi dan deskripsi fosil. Pengerjaan analisa data lapangan tersebut mencakup :

a. Analisis geomorfologi, mengidentifikasi satuan geomorfologi daerah penelitian yang didasarkan pada pengolahan analisis beda tinggi, pola aliran sungai dan ciri geomorfologi lainnya.

b. Analissi litologi, contoh batuan yang telah diambil dari lapangan selanjutnya diidentifikasi kandungan fosil yang terdapat pada batuan tersebut.

c. Analisis struktur geologi, yaitu pengamatan struktur geologi untuk mengidentifikasi struktur geologi yang nampak, melakukan pencatatan, pengukuran dan perekaman data.

d. Analisis kandungan fosil, yaitu pegamatan kenampakan bentuk fosil yang didapatkan di lapangan kemudian di cocokan dengan sampel fosil yang di laboratorium berdasarkan jenis filum hinggan species.

E. Tahap Penyusunan Laporan

Pengolahan data akhir, yaitu data yang telah diperoleh, dianalisis secara detail dan diinterpretasi serta dilakukan penarikan kesimpulan mengenai kondisi geologi daerah penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan pembuatan peta stasiun

(7)

pengamatan geologi, profil lintasan, peta stasiun, tabel measuring section, serta kolom litologi. Tahapan ini merupakan akhir dari penelitian yang diharapkan dapat memberikan informasi dan penjelasan mengenai tatanan geologi daerah penelitian. Penyajian data dan hasil laporan berupa laporan identifikasi kandungan fosil tersebut disusun secara sistematis dalam bentuk tulisan ilmiah berupa laporan lapangan.

1.6 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan selama di lapangan yaitu: 1. Palu geologi

2. Roll meter 3. Kompas geologi 4. Kamera digital

5. Peta topografi daerah penelitian 6. Alat tulis menulis

7. Clipboard 8. Kantong sampel 9. Karung

10. Lup perbesaran 10x 11. Komparator

12. Busur derajat ( 360˚ dan 180˚) 13. Mistar

14. Pita meter 15. Hekter

16. Topi lapangan

17. Pakaian lapangan dan pakaian ganti 18. Sepatu lapangan

19. Buku lapangan 20. Tas lapangan

21. Global positioning system (GPS) 22. Peta dasar skala 1:25.000

23. Kertas A4 24. Kertas grafik 25. Spidol permanen 26. Laurat HCL (0,1 M) 27. Double tip 1.7 Peneliti Terdahulu

(8)

Beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian di daerah ini baik

secara detail maupun regional antara lain:

1. Sarasin (1901), melakukan penelitian geografi dan geologi di pulau Sulawesi.

2. Van Bemmelen (1949), melakukan penelitian geologi umum di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan.

3. Djuri dan Sujatmiko (1974),meneliti geologi lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat lembar Palopo Sulawesi Sleatan dengan skala 1:250.000

4. Rab Sukamto, (1975) mengadakan penelitian tentang perkembangan tektonik Sulawesi dan sekitarnya, yang merupakan sintesis yang berdasarkan tektonik lempeng.

5. Van Leuwen (1975), meneliti geologi Sulawesi Selatan dengan studi khusus daerah Barru.

6. S. sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti geologi kuarter Sulawesi Selatan dan Tenggara.

7. S. Sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti Geologi Karst Sulawesi Selatan & Sulawesi Tenggara.

8. Rab Sukamto (1982), membuat peta geologi regional lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat, provinsi Sulawesi Selatan.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Geomorfologi Regional

Pada Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat pegunungan bagian barat menempati hampir setengah luas daerah, yang melebar di bagian selatan (50 kilometer) dan menyempit di bagian utara (22 kilometer) dengan puncak tertingginya 1694 m dan ketinggian rata–ratanya 1500 meter dari permukaan laut. Pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Di lereng barat dan di beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi karst yang mencerminkan adanya batugamping. Di antara topografi karst pada lereng barat terdapat perbukitan yang dibentuk oleh batuan pada zaman Pra-Tersier. Pegunungan ini dibatasi oleh dataran Pangkajene – Maros yang luas, dan sebagian merupakan lanjutan di dataran sekitarnya.

Pegunungan yang di timur relatif lebih sempit dan lebih rendah, dengan puncaknya rata–rata setinggi 700 meter dari permukaan air laut, sedangkan yang

(10)

tertinggi adalah 787 meter dimana sebagian besar pegunungan ini tersusun dari batuan gunungapi. Di bagian selatannya selebar 20 kilometer dan lebih tinggi, tetapi ke utara menyempit dan merendah dan akhirnya menunjam ke bawah batas antara lembah Walanae dan dataran Bone. Pada bagian utara pegunungan ini mempunyai topografi karst yang permukaanya sebagian berkerucut. Batasnya pada bagian timurlaut adalah dataran Bone yang luas dan menempati hampir sepertiga bagian timur.

2.1.2 Stratigrafi Regional

Pulau Sulawesi dibagi menjadi tiga Mandala geologi, yang didasarkan pada perbedaan litologi stratigrafi, struktur dan sejarahnya. Ketiga mandala tersebut adalah Mandala Sulawesi bagian barat, Mandala Sulawesi bagian timur, dan Mandala Banggai Sula. Dari ketiga mandala tersebut secara orogen yang paling tua adalah Mandala Sulawesi timur dan yang termuda adalah Mandala Sulawesi bagian barat.

Kelompok batuan tua yang umurnya belum diketahui terdiri dari batuan ultrabasa, batuan malihan dan batuan melange. Batuannya terbreksikan, tergerus dan mendaun dan sentuhannya dengan formasi disekitarnya berupa sesar atau ketidakselarasan. Penarikan radiomteri pada sekis yang menghasilkan 111 juta tahun kemungkinan menunjukkan peristiwa malihan akhir pada tektonik zaman Kapur. Batuan tua ini tertindih tak selaras oleh endapan flysch formasi Balangbaru dan formasi Marada yang tebalnya lebih dari 2000 meter dan berumur Kapur

(11)

Atas. Kegiatan magma mulai pada waktu itu dengan bukti adanya sisipan lava dalam flysch.

Batuan gunungapi berumur Paleosen (58,5 – 63,0 juta tahun yang lalu) dan diendapkan dalam lingkungan laut, menindih tak selaras batuan flysch yang berumur Kapur Atas. Batuan sedimen formasi Mallawa yang sebagian besar dicirikan oleh endapan darat dengan sisipan batubara, menindih tak selaras batuan gunungapi Paleosen dan batuan flysch Kapur Atas. Di atas formasi Malawa ini secara berangsur beralih ke endapan karbonat formasi Tonasa yang terbentuk secara menerus dari Eosen Bawah sampai bagian bawah Miosen Tengah. Tebal formasi Tonasa lebih kurang 3000 meter, dan melampar cukup luas mengalasi batuan gunungapi Miosen Tengah di barat. Sedimen klastik formasi Salo Kalupang yang Eosen sampai Oligosen bersisipan batugamping dan mengalasi batuan gunungapi Kalamiseng Miosen Awal di timur.

Sebagian besar pegunungan, baik yang di barat maupun yang di timur, mempunyai batuan gunungapi. Di pegunungan yang timur, batuan itu diduga berumur Miosen Bawah bagian atas yang membentuk batuan Gunungapi Kalamiseng. Dilereng timur bagian utara pegunungan yang barat , terdapat batuan Gunungapi Soppeng yang juga diduga berumur Miosen Bawah. Batuan sedimen berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah berselingan dengan batuan gunungapi yang berumur antara 8,93 sampai 9,29 juta tahun yang lalu. Secara bersamaan batuan ini menyusun formasi Camba yang tebalnya sekitar 5000 meter. Sebagian besar pegunungan yang barat terbentuk dari formasi Camba ini yang menindih tak selaras dengan formasi Tonasa.

(12)

Selama Miosen Atas sampai Pliosen, di daerah yang sekarang jadi lembah Walanae diendapkan sedimen klastik formasi Walanae. Batuan ini tebalnya sekitar 4500 meter, dengan bioherm batugamping koral tumbuh di beberapa tempat (Batugamping Anggota Tacipi). Formasi Walanae berhubungan menjari dengan bagian atas formasi Camba. Kegiatan gunungapi selama Miosen Atas sampai Pliosen Bawah merupakan sumber bahan bagi formasi Walanae. Kegiatan gunungapi yang masih terjadi di beberapa tempat selama Pliosen, dan menghasilkan batuan gunungapi Parepare (4,25 – 4,95 juta tahun) dan Baturape-Cindako, juga merupakan sumber bagi formasai itu.

Terobosan batuan beku yang terjadi di daerah ini semuanya berkaitan erat dengan kegiatan gunungapi tersebut. Bentuknya berupa stok, sil dan retas bersusun beraneka ragam dari basal, andesit, trakit, diorit dan granodiorit yang berumur berkisar dari 8,3 – 19, 2 juta tahun yang lalu.

Setelah Pliosen Atas, rupanya tidak terjadi pengendapan yang berarti di daerah ini, dan juga tidak ada kegiatan gunungapi. Endapan undak di utara Pangkajene dan di beberapa tempat ditepi sungai Walanae, rupanya terjadi selama Pliosen. Endapan Holosen yang luas berupa aluvium terdapat di sekitar danau Tempe, di dataran Pangkajene-Maros dan di bagian utara dataran Bone.

a. Batuan Sedimen.

1. Formasi Balangbaru

Formasi Balangbaru merupakan formasi batuan sedimen tipe flysch; batupasir berselingan dengan batulanau, batulempung dan serpih, bersisipan

(13)

konglomerat, batupasir konglomeratan, tufa dan lava, batupasirnya bersusunan grewake dan sarkosa, sebagian tufaan dan gampingan. Pada umumnya menunjukkan struktur turbidit, di beberapa tempat ditemukan konglomerat dengan susunan basal, andesit, diorit, serpih, tufa, terkersikkan, sekis, kuarsa, dan bersemen batupasir. Di bawah miskroskop, batupasir dan batulanau terlihat mengandung pecahan batuan beku, metasedimen dan rijang radiolaria.

Formasi ini tebalnya sekitar 2000 meter, tertindih tak selaras batuan formasi Mallawa dan batuan Gunungapi Terpropilitkan, dan menindih tak selaras Komplek tektonika Bantimala.

2. Formasi Mallawa

Formasi Mallawa merupakan batupasir, konglomerat, batulanau, batulempung, dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung, batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, ada pula yang arkosa, grewake, dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda, bersifat rapuh, dan kurang padat. Batulempung dan batugamping umumnya mengandung Mollusca. Dan batubara berupa lensa setebal beberapa sentimeter dan lapisan sampai 1,5 meter. Tebal formasi ini tidak kurang dari 400 meter, tertindih selaras oleh batugamping Temt, dan menindih tak selaras batuan sedimen Kb, dan batuan gunungapi Tpv.

3. Formasi Tonasa

Formasi ini beranggotakan batugamping koral pejal sebagian terhablurkan, berwarna putih dan kelabu muda, batugamping bioklastika dan kalkarenit,

(14)

berwarna putih, coklat muda dan kelabu muda, sebagian berlapis baik, berselingan dengan napal globigerina tufaan, bagian bawahnya mengandung batugamping berbitumen, setempat bersisipan breksi batugamping dan batugamping pasiran; di dekat Malawa daerah Camba terdapat batugamping yang mengandung glaukonit dan di beberapa tempat di daerah Ralla ditemukan batugamping yang mengandung banyak sisipan sekis dan batuan ultramafik, batugamping berlapis sebagian mengandung banyak foraminifera kecil dan beberapa lapisan napal pasiran mengandung banyak kerang (Pelecypoda) dan siput (Gastropoda).

4. Formasi Camba.

Formasi Camba merupakan batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi, batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau, dan batulempung, bersisipan dengan napal, batugamping, konglomerat dan breksi gunungapi. Dan setempat batubara. Pada formasi ini ditemukan fosil-fosil foraminifera, ganggang dan koral. Kemungkinan sebagian dari formasi Camba diendapkan dekat daerah pantai. Satuan ini tebalnya sekitar 5000 meter, menindih tak selaras batugamping dari formasi Tonasa dan batuan dari formasi Mallawa, mendatar berangsur berubah menjadi bagian bawah daripada formasi Walanae, diterobos oleh retas, sil dan stok bersusunan Basal piroksin, Andesit dan Diorit.

b. Batuan Terobosan

1. Granodiorit

Terobosan Granodiorit berwarna kelabu muda, dengan mikroskop batuannya terlihat, mengandung feldspar kuarsa, biotit, sedikit piroksin dan

(15)

hornblende, dengan mineral ikutan zirkon dan apatit, dan magnetit, mengandung xenolit bersusunan Diorit, dan diterobos oleh Aplit.

2. Diorit – Granodiorit

Terobosan Diorit dan Granodiorit, terutama berupa stok dan sebagian berupa retas, kebanyakan bertekstur porfiri, berwarna kelabu muda sampai kelabu. 3. Trakit

Terobosan Trakit berupa stok, sill, dan retas, bertekstur porfiri kasar dengan fenokris sanidin sampai tiga centimeter panjangnya, berwarna putih kelabuan sampai kelabu muda.

4. Basal

Terobosan Basal berupa sill, stok dan retas, kebanyakan bertekstur porfiri, dengan fenokris piroksin kasar sampai ukurannya lebih dari satu centimeter.

c. Kompleks Tektonik Bantimala

Batuan Ultrabasa, peridotit, sebagian besar terserpentinitkan, berwarna hijau tua sampai hijau kehitaman, kebanyakan terbreksikan dan tergerus melalui sesar naik ke arah baratdaya, pada bagian yang pejal terlihat struktur berlapis dan di beberapa tempat mengandung buncak dan lensa kromit, satuan batuan ini tebalnya tidak kurang dari 2500 meter, dan mempunyai sentuhan sesar dengan satuan batuan disekitarnya.

Batuan Malihan, sebagian besar sekis dan sedikit gneiss, secara megaskopis terlihat mineral diantaranya glaukopan, garnet, epidot, mika, dan

(16)

klorit. Batuan malihan ini umumnya berperdaunan miring ke arah timurlaut, sebagian terbreksikan dan tersesarkan naik kearah baratdaya. Satuan ini tebalnya tidak kurang dari 2000 meter dan bersentuhan sesar dengan satuan batuan disekitarnya. Penarikan Kalium/Argom pada sekis di timur Bantimala menghasilkan umur 111 juta tahun .

Kompleks Melange, batuan campur aduk secara tektonik terdiri dari grewake, breksi, konglomerat, batupasir terbreksikan, serpih kelabu, serpih merah, rijang radiolaria merah, batusabak, sekis ultramafik, basal, diorit dan lempung, himpunan batuan ini mendaun, kebanyakan miring ke arah timurlaut, dan tersesarnaikkan ke arah baratdaya, satuan ini tebalnya tidak kurang dari 1750 meter dan mempunyai sentuhan sesar dengan satuan batuan disekitarnya.

2.1.3 Struktur Regional

Lengan selatan pulau Sulawesi secara struktural dibagi atas dua bagian yaitu lengan selatan bagian utara dan lengan selatan bagian selatan yang sangat berbeda struktur geologinya.

Lengan selatan bagian utara berhubungan dengan orogen, sedangkan lengan Selatan bagian Selatan memperlihatkan hubungan kearah jalur orogen yang merupakan sistem pegunungan Sunda.

Perkembangan struktur lengan selatan bagian utara pulau Sulawesi di mulai pada zaman Kapur, yaitu terjadinya perlipatan geosinklin disertai dengan kegiatan vulkanik bawah laut dan intrusi Gabro. Bukti adanya intrusi ini terlihat pada singkapan disepanjang pantai Utara–Selatan Teluk Bone.

(17)

Batuan yang masih dapat diketahui kedudukan struktur stratigrafinya dan tektoniknya adalah sedimen flisch formasi Balangbaru dan formasi Marada, di bagian bawah tidak selaras oleh batuan yang lebih muda. Batuan yang lebih tua merupakan massa yang terimbrikasi melalui sejumlah sesar sungkup, terbreksikan, tergerus dan sebagian tercampur aduk dengan Mélange. Berdasarkan himpunan batuannya diduga formasi Balangbaru dan formasi Marada merupakan endapan lereng di dalam sistem busur palung zaman Kapur Atas dan gejala ini menunjukkan bahwa Mélange di daerah Bantimala terjadi sebelum Kapur Atas.

Pada daerah bagian timur terjadi vulkanisme yang dimulai sejak Miosen Atas dimana hal ini ditunjukkan pada daerah Kalamiseng dan Soppeng. Akhir kegiatan vulkanisme ini diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang kemudian menjadi cekungan tempat pembentukan formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan mengalami penurunan perlahan-lahan selama terjadi proses sedimentasi sampai kala Pliosen, proses penurunan terban Walanae dibatasi oleh dua sistem sesar normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang di timur dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah Barat.

Sejak Miosen Tengah terjadi sesar utama yang berarah utara – baratlaut dan tumbuh setelah Pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan adanya tekanan mendatar yang kira-kira berarah timur-barat sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar lokal yang mengsesarkan batuan Pra Kapur Akhir di lembah

(18)

Walanae dan di bagian barat pegunungan barat, yang berarah baratlaut- tenggara dan merencong, kemungkinan besar terjadi oleh gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar.

2.2 Proses Pemfosilan

2.2.1 Pengertian Fosil dan Fosilisasi a. Pengertian Fosil

Fosil (bahasa Latin: fossa yang berarti "menggali keluar dari dalam tanah") adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi batu atau

mineral. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa hewan atau tanaman ini harus segera tertutup sedimen. Oleh para pakar dibedakan beberapa macam fosil. Ada fosil batu biasa, fosil yang terbentuk dalam batu ambar, fosil ter, seperti yang terbentuk di sumur ter La Brea di Kalifornia.

Hewan atau tumbuhan yang dikira sudah punah tetapi ternyata masih ada disebut fosil hidup. Fosil yang paling umum adalah kerangka yang tersisa seperti cangkang, gigi dan tulang. Fosil jaringan lunak sangat jarang ditemukan.Ilmu yang mempelajari fosil adalah paleontologi, yang juga merupakan cabang ilmu yang direngkuh arkeologi.

b. Pengertian Fosilisasi

Fosilisasi merupakan proses penimbunan sisa-sisa hewan atau tumbuhan yang terakumulasi dalam sedimen atau endapan-endapan baik yang mengalami

(19)

pengawetan secara menyeluruh, sebagian ataupun jejaknya saja. Terdapat beberapa syarat terjadinya pemfosilan yaitu antara lain:

1. Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras 2. Mengalami pengawetan

3. Terbebas dari bakteri pembusuk 4. Terjadi secara alamiah

5. Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit 6. Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.

2.2.2 Proses Pemfosilan

Ada tiga tahap utama dalam pembentukan fosil, yaitu kematian, peristiwa pre-burial (pra-terkubur) dan peristiwa post-burial (pasca-terkubur). Jadi untuk menjadi fosil sebuah organisma harus mengalami kematian terlebih dahulu.

Gambar 2.1 Proses pemfosilan

Kematian bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti usia tua, sakit, dimangsa predator, infeksi parasit, dan terluka (baik karena terjatuh maupun berkelahi). Fosil dinosaurus banyak mengindikasikan bahwa binatang ini rentan terhadap pernyakit radang sendi, sedangkan parasit biasanya menyerang binatang invertebrata dan krinoid. Hal lain yang dapat menyebabkan kematian adalah yang berkaitan dengan kondisi fisikal, kimiawi dan biologikal lingkungan (seperti perubahan iklim).

(20)

Proses yang dialami organisma setelah kematian adalah pembusukan karena bakteri pembusuk, dan yang lebih dahulu mengalami pembusukan adalah jaringan lunak (daging, otot). Jaringan keras seperti tulang dan gigi adalah bagian tubuh yang awet sehingga bagian inilah yang biasanya terfosilkan. Selain karena pembusukan kerusakan jaringan lunak terjadi karena dcabik dan dimakan binatang pemakan bangkai.

Organisma yang terkubur cepat (rapid burial) biasanya akan terfosilkan di tempat dia mati dan dalam posisi awal ketika dia mati. Fosil ini disebut fosil autochtonous. Fosil yang mengalami rapid burial biasanya terawetkan dengan baik karena tidak mengalami gangguan pasca-mati dan struktur anatominya utuh. Sedangkan organisma yang tidak langsung terkubur, biasanya akan mengalami proses-proses alamiah seperti hanyut terbawa arus air, busuk karena angin dan udara, atau dicabik binatang pemakan bangkai sehingga posisinya sudah berpindah dari tempat dia mati, dan susunan tubuhnya sudah tidak anatomis lagi. Fosil seperti ini disebut fosil allochtonous. Maksud tidak anatomis adalah organisma tersebut sudah tercerai-berai tulang-belulangnya sehingga bentuk anatominya tidak seperti bentuk ketika organisma tersebut masih hidup.

Rapid burial biasanya terjadi di lingkungan air atau dekat dengan air, dan organisma yang mengalami fosilisasi seperti ini biasanya adalah binatang air. Untuk binatang yang hidup di daratan, fosilisasi melalui rapid burial sangat jarang terjadi. Biasanya hal tersebut terjadi bila ada gunung meletus sehingga banyak binatang mati seketika di suatu tempat dalam jumlah massal dan langsung terkubur dalam timbunan sedimen material muntahan gunung api.

(21)

2.2.3 Pengawetan Fosil

Proses pengawetan fosil ada beberapa macam antara lain:

1. Penggantian (replacement), penggantian mineral pada bagian yang keras dari organisme seperti cangkang. Misalnya cangkang suatu organisme yang semula terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) digantikan oleh silica.

2. Petrifaction, bagian lunak dari batang tumbuhan diganti oleh presipitasi mineral yang terlarut dalam air sedimen.

3. Karbonisasi, daun atau material tumbuhan yang jatuh ke dalam lumpur rawa, terhindar dari oksidasi. Dan pada saat diagenesa, material itu diubah menjadi cetakan karbon dengan tidak mengubah bentuk asalnya.

4. Pencetakan, pada saat diagenesa, sisa binatang atau tumbuhan terlarut, sehingga terjadilah rongga, seperti cetakan (mold) yang bentuk dan besarnya sesuai atau sama dengan benda salinya. Apabila rongga ini terisi oleh mineral maka terbentuklah hasil cetakan (cast) binatang atau tumbuhan tersebut. 5. Mold dan cast, lubang atau lekukan yang bentuk- nya mirip dengan

organisme aslinya dan ini disebut sebagai mold. Apabila mold kemudian terisi sedimen, maka akan terbentuk apa yang disebut cast

Terdapat beberapa syarat terjadinya pemfosilan yaitu antara lain: 1. Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras

2. Mengalami pengawetan

3. Terbebas dari bakteri pembusuk 4. Terjadi secara alamiah

5. Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit 6. Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.

(22)

Berdasarkan cara pengawetannya, fosil dapat dibedakan menjadi beberapa jenis fossi yaitu :

1. Fosil tidak berubah yaitu semua bagian fosil terawetkan dan tidak berubah baik bagian-bagian yang lunak maupun bagian-bagian yang keras dari fosil trsebut. Contoh: fosil serangga yang trawetkan di dalam getah damar, dan fosil mammoth yang terawetkan di dalam es di Siberia.

2. Fosil yang mengalami perubahan dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

a. Permineralisasi yaitu fosil yang terawetkan karena masuknya mineral sekunder yang mengisi pori-pori atau ruang antar sel pada bagian fosil yang keras. Contoh: Sebagian tulang-tulang vertebrata dan cangkang-cangkang invertebrata terawetkan dalam bentuk permineralisasi.

b. Replacement (Penggantian) yaitu folsil yang terawetkan karena mineral sekunder yang mengganti semua material fosil asli, sehingga bentuknya hampir sempurna seperti jiplakan asli.

c. Rekristalisasi yaitu fosil yang terawetkan karena adanya perubahan di sebagian atau seluruh material fosil akibat tekanan dan suhu yang sangat tinggi, sehingga molekul-molekul dari tubuh fosil (non-kristalin) akan mengikat agregat tubuh fosil itu sendiri menjadi kristalin

3. Fosil yang berupa fragmen yaitu fosil yang berupa fragmen dalam batuan sedimen yang dapat berubah ataupun tidak dapat berubah.

4. Fosil yang berupa jejak atau bekas fosil tidak hanya dianggap sebagai sisa oganisme tetapi juga termasuk dengan adanya jejak organisme sebagai bukti adanya kehidupan. Dalam hal ini, jejak dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

a. Mold, Cast, dan Imprit. Mold adalah bekas organisme yang berupa cetakan dari fosil, kalau yang tercetak adalah bagian luar disebut Eksternal Mold sedangkan kalau yang

(23)

tercetak adalah bagian dalam disebut Internal Mold. Cast adalah Mold yang terisi mineral sekunder membentuk jiplakan fosil aslinya secara kasar, bagian luar disebut Eksternal Cast sedangkan bagian dalam disebut Internal Cast. Imprint adalah jejak dimana suatu organisme terjebak di dalam sedimen halus tapi kemudian organisme tersebut dapat meloloskan diri.

b. Track, Trail dan Burrow. Track merupakan jejak perpindahan organisme di atas permukaan sedimen-sedimen lunak yang berupa tapak (kenanpakan kasar). Trail merupakan jejak perpindahan organisme di atas permukaan sedimen-sedimen lunak yang berupa seretan (kenampakan halus). Burrow adalah jejak yang berupa sisa penggalian lubang suatu organisme.

c. Coprolite adalah jejak berupa berupa kotoran hewan yang telah terfosilkan. Kotoran ini dapat digunakan untuk mengetahui tempat hidupnya, makanannya, dan ukuran relatifnya.

d. Fosil Kimia Fosil kimia merupakan jejak asam organik yang tersimpan didalam batuan prakambium. Zat asam organik ini berasal dari organisme yang terserap oleh batuan tersebut sehingga dapat ditemukan sebuah bukti kehidupan.

(24)

Batuan Beku, pada batuan beku tidak akan dijumpai fosil karena batuan beku terbentuk dari hasil pembekuan magma, sehingga tidak mungkin terdapat fosil.

Batuan Sedimen, batuan sedimen sangat baik untuk pengendapan organisme, sehingga akan banyak terkandung fosil di dalam batuan sedimen.

Batuan Metamorf, pada batuan metamorf, masih mungkin

dijumpai, namun sedikit sekali dan umumnya fosil telah hancur bahkan telah hilang oleh proses metamorfisme.

2.3 Karakteristik Invertebrata Daerah Padang Lampe 2.3.1. Filum Porifera

A. Pengertian Porifera

Porifera atau biasa disebut sebagai hewan berpori berasal dari kata pori yang berarti lubang kecil dan fero yang berarti membawa atau mengandung. Contoh dari porivera adalah sponsa. Sponsa merupakan hawan yang hidup menempel pada suatu substrat di laut. Telah diketahui kira-kira 2500 spesies, ada beberapa yang hidup di air tawar, tetapi sebagian besar hidup di laut. Nama filum ini dari kenyataan bahwa tubuh porifera mempunyai pori-pori. Air beserta makanan masuk melalui pori kedalam rongga di dalam tubuh dari hewan akhirnya keluar melalui oskulum. Air yang telah disaring ini akan dibuang melalui oskulum.

Tubuh sponsa terdiri dari dua lapisan sel, diantara kedua lapisan tersebut terdapat bagian yang tersusun dari bahan yang lunak disebut mesoglea. Sel-sel

(25)

yang membentuk lapisan dalam mempunyai flagea, yang mengatur aliran sel-sel ini dapat ”menangkap” partikel makanan.

Bentuk sponsa ditentukan oleh kerangka tubuh. Kerangka tersusun dari spikula. Spikula tersebut dari sel-sel yang terdapat dalam mesoglea. Spikula tersusun dari silika atau kapur (kalsium karbonat). Beberapa sponsa tidak memiliki serabut-serabut yang lentur dari zat yang disebut spongin. Sponsa terdapat di perairan yang dangkal di daerah tropis. Bila sponsa diolah dapat digunakan untuk bahan atau alat pembersih.

Seperti yang kita ketahui suatu organisme yang melekat pada suatu subsurat, harus mempunyai cara untuk menyebar keturunannya ke tempat lain.

Untuk tujuan itu sponsa menghasilkan larva kecil yang dapat ”berenang” dengan bebas. Larva tersebut memisahkan diri dari induknya dan setelah menemukan tempat hidup yang sesuai larva akan melekat disitu dan berkembang menjadi hewan dewasa.

Berdasar fosil porifera yang ditemukan menunjukkan bahwa sponsa adalah salah satu hewan yang pertama kali muncul di bumi. Tetapi tidak ada bukti bahwa ada hewan yang berkembang dari sponsa. Sponsa seakan-akan menempati suatu tempat yang agak unik dalam dunia hewan, oleh karena itu oleh bebrapa ahli taksonomi, porifera dimasukkan dalam suatu kelompok yang disebut parasoa.

(26)

Dalam membedakan spesies dari filum porifera, maka perlunya anda mengetahui ciri-ciri porifera secara umum. Ciri-ciri porifera adalah sebagai berikut...

Hewan yang bersel banyak (metazoa) yang paling sederhana atau primitive. 1. Sebagian besar hidup di laut dangkal dengan kedalaman sekitar 3,5 meter.

2. Bentuk tubuh porifera menyerupai vas bunga/piala dan melekat pada dasar perairan.

3. Tubuhnya terdiri dua lapisan sel (diploblastik) dengan lapisan luarnya (epidermis) yang tersusun atas sel-sel yang memiliki bentuk pipih, disebut dengan pinakosit.

4. Pada epidermis yang terdapat porus/lubang kecil yang disebut dengan ostia yang dihubungkan oleh saluran ke rongga tubuh (spongocoel)

5. Lapisan dalamnya tersusun dari sel-sel yang berleher dan berflagel yang disebut dengan koanosit yang berfungsi untuk mencernakan makanan

6. Di dalam mesoglea terdapat juga beberapa jenis sel, yaitu sel amubosit, sel skleroblas, sel arkheosit.

7. Di antara epidermis dan koanosit memiliki lapisan tengah yang berupa bahan kental yang disebut dengan mesoglea atau mesenkin

8. Sel amubosit atau amuboid yang berfungsi untuk mengambil makanan yang telah dicerna di dalam koanosit. Sel skleroblasnya berfungsi dengan membentuk duri (spikula) atau spongin. Spikula terbuat dari kalsium karbonat atau silikat.

9. Spongin tersusun dari serabut-serabut spongin yang lunakm berongga dengan membentuk seperti spon.

10. Sel arkheosit berfungsi sebagai sel reproduktif, misalnya pembentuk tunas, pembentukan gamet, pembentukan bagian-bagian yang rusak dan regenerasi. C. Reproduksi

(27)

Porifera melakukan reproduksi secara aseksual maupun seksual. Reproduksi secara aseksual terjadi dengan pembentukan tunas dan gemmule. Gemmule disebut juga tunas internal. Gemmule dihasilkan menjelang musim dingin di dalam tubuh Porifera yang hidup di air tawar. Secara seksual dengan cara peleburan sel sperma dengan sel ovum, pembuahan ini terjadi di luar tubuh porifera.

D. Klasifikasi

Berdasarkan atas kerangka tubuh atau spikulanya, Porifera dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :

1. Kelas Calcarea

Kerangka tubuh pada kelas Calcarea berupa spikula yang mirip dengan duri-duri kecil dari kalsium karbonat. Misalnya Scypha, Leucosolenia, dan Grantia

Ciri-Ciri Calcarea:

a. Rangka tersusun atau kalsium karbonat

b. Tubuhnya berwarna pucat dengan bentuk vas bunga atau silinder c. Tingginya kurang dari 10 cm

d. Hidup di laut

2. Kelas Hexatinellida

Kerangka tubuh kelas Hexatinellida berupa spikula bersilikat atau kersik (SiO2). Umumnya berbentuk silinder atau corong. Misalnya Euplectella

aspergillum.

Ciri-Ciri Hexatinellida: a. Spikula berjumlah enam

b. Tubuhnya berwarna merah pucat dan bentuknya seperti vas c. Hidup di laut pada kedalaman 200-1000 meter

(28)

3. Kelas Demospongia

Kelas tubuh kelas Demospongia terbuat spongin saja, atau campuran dari spongin dan zat kersik. Misalnya Euspongia sp. dan Spongilla sp.

Ciri-Ciri Demospongia: a. Tersusun dari sponging

b. Tubuhnya berwarna merah cerah karena mengandung pigmen yang terdapat pada amoebosit

c. Tinggi dan diameternya menjadi lebih dari 2 meter d. Bentuk tubuhnya tidak beraturan dan bercabang e. Hidup dilaut dan di air tawar

2.3.2. Filum Coelenterata A. Pengertian Coelenterata

Coelenterata atau yang juga biasa disebut dengan Cnidaria adalah filum hewan yang memiliki tubuh sangat sederhana. Kata Coelenterata berasal dari kata coelos yang berarti rongga dan enteron yang berarti usus. Jadi, Coelenterata adalah hewan yang memiliki rongga di dalam tubuhnya yang sekaligus berfungsi sebagai organ pencernaan makanan. Coelenterata disebut sebagai hewan sederhana karena jaringan tubuhnya hanya terdiri dari dua lapis sel, yaitu sel internal dan eksternal.

B. Ciri-ciri

Adapun ciri-ciri dari coelenterate yaitu:

1. Terdapat sekitar 10.000 spesies Coelenterata yang sebagian besar hidup di laut.

2. Sebagian hidup secara soliter, sedangkan sebagian lain hidup berkoloni. 3. Memiliki simetri radial.

(29)

5. Tubuhnya hanya memiliki satu lubang bukaan yanh berfungsi sebagai mulut sekaligus anus.

6. Merupakan hewan diploblastik.

7. Mempunyai tentakel yang berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut.

8. Tentakel dilengkapi dengan sel penyengat yang disebut dengan knidosit (cnidoblast).

9. Memiliki dua bentuk tubuh, yaitu polip dan medusa. C. Struktur Tubuh

Coelenterata merupakan diploblastik, hewan ini mempunyai dua lapis sel yaitu ektoderm yang merupakan lapisan sel luar dan endoderm yang merupakan lapisan dalam. Coelenterata memiliki dua bentuk tubuh, yaitu polip dan medusa. Pada bentuk polip (seperti tabung), coelenterata memiliki mulut di bagian dorsal yang dikelilingi oleh tentakel. Sedangkan pada bentuk medusa yang berbentuk seperti cakram, mulut coelenterata terletak di bagian bawah (oral) dan tubuhnya dikelilingi oleh tentakel.

D. Reproduksi

Coelenterata dapat bereproduksi baik dengan cara generatif (seksual) maupun vegetatif (aseksual). Reproduksi secara generatif terjadi saat sel sperma jantan membuahi sel telur (ovum) betina. Sedangkan perkembangbiakan secara aseksual berlangsung dengan cara pembentukan tunas pada sisi tubuh coelenterata yang akan tumbuh menjadi individu baru setelah lepas dari tubuh induknya.

(30)

Gambar 2.2 Tahap metagenesis pada Obelia sp.

Beberapa jenis coelenterata juga mengalami metagenesis (pergiliran keturunan), yaitu perkembangbiakan seksual yang diikuti oleh perkembangbiakan aseksual pada satu generasi. Pada coelenterata jenis ini, tubuh akan memiliki bentuk polip pada satu fase hidupnya, kemudian berbentuk medusa pada tahap selanjutnya.

E. Klasifikasi

Coelenterata terdiri dari tiga kelas utama, yaitu Hydrozoa, Scypozoa, dan Anthozoa.

1. Hydrozoa

Beberapa jenis hidrozoa mengalami dua siklus hidup yaitu tahap polip yang aseksual dan tahap medusa yang seksual. Contohnya adalah spesies Obelia sp. Ada pula yang selama hidupnya hanya berbentuk polip saja, misalnya Hydra.

Sebagian besar hydra hidup di perairan secara soliter (sendiri-sendiri). Pada ujung tubuh hydra terdapat mulut yang dilengkapi oleh tentakel yang

(31)

berfungsi untuk menangkap makanan. Tentakel-tentakel ini dilengkapi dengan sel knidosit yang mengandung nematosista, yaitu racun berbentuk sengat untuk memburu mangsa. Hydra dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan seksual terjadi saat sel sperma jantan membuahi sel telur betina. Sedangkan perkembangbiakan aseksual terjadi dengan tunas (kuncup) yang tumbuh di sisi tubuh hydra yang nantinya akan tumbuh menjadi individu baru.

Gambar 2.3 Anatomi tubuh Hydra

2. Scyphozoa

Contoh spesies yang termasuk dalam kelas ini adalah Aurelia aurita (ubur-ubur). Hewan ini memiliki bentuk seperti mangkuk, kadang mempunyai tubuh berwarna namun ada beberapa spesies yang tubuhnya transparan. Tubuh

Scyphozoa dilengkapi dengan tentakel yang mempunyai sel penyengat. Seluruh spesies Scyphozoa hidup di perairan, baik tawar maupun laut.

(32)

Memiliki ciri-ciri khusus yaitu tubuh yang menyerupai bunga. Contoh spesies yang termasuk dalam kelas ini adalah Metridium (anemon laut). Anthozoa hidup sebagai polip, salah satu ujung tubuhnya mempunyai mulut yang dikelilingi tentakel lengkap dengan penyengatnya, sedangkan ujung yang lain merupakan bagian tubuh yang berfungsi untuk melekatkan diri pada dasar perairan.

2.3.3. Filum Mollusca A. Pengertian Mollusca

Moluska berasal dari bahasa latin: molluscus yang artinya lunak. Moluska adalah hewan triploblastik slomata yang bertubuh lunak. Mollusca hidup di laut, air tawar, payau, dan darat. Beberapa Mollusca memiliki cangkang. Filum Mollusca merupakan filum terbesar kedua setelah Artropoda.

Mollusca adalah kelompok hewan yang bersifat tripoblastik slomata dan invertebrata yang bertubuh lunak dan multiseluler. Istilah Mollusca berasal dari bahasa Yunani dari kata molluscus yang berarti lunak. Mollusca termasuk dalam hewan yang lunak baik yang dengan cangkang ataupun tanpa cangkang. Seperti dari berbagai jenis kerang-kerangan, siput, kiton, dan cumi-cumi serta kerabatanya. Mollusca merupakan filum yang terbesar kedua dari kerajaan binatang (Animalia) setelah filum Arthropoda. Pada saat ini, diperkirakan terdapat 75 ribu jenis, dengan ditambah 35 ribu jenis yang dalam bentuk posil. Molluska hidup di air laut, air tawar, payau, dan darat. Habitat Mollusca dapat berada di palung benua laut sampai pegunungan yang tinggi, dan bahkan dapat ditemukan

(33)

dengan mudah di sekitar rumah kita. Molluska dipelajari pada cabang zoologi yang disebut dengan malakologi (malacology).

B. Struktur Tubuh Mollusca

Mollusca biasanya memiliki bentuk tubuh simetri bilateral ( bila ditarik garis memotong yang membagi tubuhnya dari depan ke belakang akan didapatkan dua sisi yang sama), tubuhnya relatif bulat dan pendek. Tubuh lunak dari mollusca ini dilindungi oleh cangkang, namun beberapa adapula yang tidak bercangkang. Tubuh Mollusca memiliki 3 struktur utama, yaitu :

1. Kaki, merupakan penjuluran bagian tubuh yang terdiri atas otot – otot. Kaki ini berfungsi untuk bergerak, merayap, atau menggali. Pada beberapa jenis mollusca kaki digantikan dengan tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa.

2. Massa Viseral, merupakan bagian tubuh yang lunak tempat terdapatnya organ-organ tubuh. Massa ini diselubungi jaringan tebal yang disebut mantel. 3. Mantel merupakan bagian yang menyelubungi dan melindungi massa

viseral. Pada mantel terdapat rongga cairan yang merupakan tempat lubang insang, anus dan cairan hasil eksresi. Mantel ini juga dapat mensekresikan komponen yang akan membentuk cangkang.

C. Sistem Organ Mollusca

1. Sistem Peredaran Darah Mollusca, merupakan sistem peredaran darah terbuka, kecuali pada kelas cephalopoda. Artinya darah mengalir dari rongga terbuka pada tubuh dan tidak ada arteri atau vena utama yang dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga tekanan darahnya lambat dan juga organ tergenang oleh darah. Sistem Peredaran darahnya terdiri atas jantung

(34)

dan pembuluh darah, jantung terdiri atas satu atau dua atrium dan satu ventrikel.

2. Sistem Pencernaan Mollusca terdiri dari Mulut, esofagus, lambung, usus dan anus. Pada Jenis Mollusca tertentu, dibagian mulutnya terdapat organ seperti rahang dan lidah yang bergerigi yang dapat bergerak ke depan dan ke belakang.

3. Sistem Saraf dari Mollusca terdiri dari cincin saraf yang mengelilingi esofagus dan serabut saraf lainnya yang menyebar dari cicin tersebut untuk mempersarafi berbagai organ.

4. Sistem Eksresi Mollusca terdiri dari Nefridia yang berperan seperti ginjal, Nefridia ini juga mengeluarkan sisa metabolisme dalam bentuk cairan.

5. Sistem Respirasi Mollusca, apabila hewan hidup di air maka yang berperan adalah insang, sedangkan yang hidup di darat melalui paru-paru namun juga dapat terjadi melalui pertukaran udara pada pembuluh darah yang terdapat di mantel, sistem ini fungsinya seperti paru – paru.

D. Klasifikasi Mollusca 1. Kelas Amphineura

Amphineura adalah kelompok yang memiliki 8 cangkang tersusun seperti atap rumah pada tubuhnya. Cangkang tersebut terbuat dari zat kapur. Hewan ini memiliki tubuh simetri bilateral, tubuhnya bulat seperti telur dan pipih. Hewan ini hanya terdapat di laut dan biasnya menempel pada bebatuan, karena hidup di laut maka ia bernapas dengan insang. Sistem pencernaan berawal dari mulut dan berakhir dengan anus. Ia memiliki kaki berbentuk pipih, dan memiliki struktur lidah parut (Ranula) yang melengkapi struktur mulut di bagian kepala. Ia tidak memiliki tentakel dan tidak mempunyai mata. Anggotannya sekitar 700 spesies dan Setiap larva hasil pembuahan secara seksual disebut trafoko

(35)

2. Kelas Cephalopoda

Cephalopoda adalah kelompok yang memiliki kaki pada bagian kepalanya. Tubuhnya terbagi menjadi bagian kepala, leher , dan badan. Bagian kepalanya relatif besar dan memiliki 2 buah mata. Hewan ini tidak memiliki cangkang. Pada kepalanya terdapat 10 bagian memanjang, 8 diantaranya berfungsi sebagai lengan berukuran panjang yang disebut tentakel. Hewan ini memiliki rongga mantel yang ditutupi oleh mantel khas yang ada padanya. Habitatnya di laut. Hewan ini bernapas dengan insang, memiliki sistem pencernaan yang lengkap, sistem peredaran darah tertutup, dan fertilisasinya terjadi di air laut. Cephalopoda dapat berubah warna dengan cepat karena memiliki otot khusus dan zat kromatofora yang akan melakukan kombinasi perubahan warna tubuhnya. Umumnya ia melarikan diri dari mangsanya dengan menghasilkan sejenis cairan seperti tinta. Anggotanya yang sangat dikenal adalah gurita dan cumi – cumi.

3. Kelas Gastropoda

Gastropoda adalah kelompok yang menggunakan perutnya sebagai kaki untuk bergerak. Kata Gastropoda berasal dari 2 kata, yaitu Gaster yang artinya perut dan Podos yang artinya kaki. Perut hewan ini dapat menghasilkan lendir yang berfungsi untuk melindungi dan mempermudahnya dalam bergerak. Gastropoda memiliki cangkang dan tubuhnya simetri bilateral. Pada bagian kepala terdapat 2 buah tentakel yang berfungsi sebagai indra penglihatan dan penciuman. Hewan ini merupakan hermafrodit (memiliki dua buah alat kelamin dalam 1 tubuh), alat kelaminnya disebut Ovotestis yang dapat menghasilkan sperma dan

(36)

ovum. Sistem pernapasannya dengan menggunakan paru – paru atau insang yang terdapat di dalam rongga mantel. Gastropoda memiliki mulut dengan alat bergerigi seperti penuh gigi yang disebut radula. Ia biasa memakan tumbuhan, namun adapula yang memangsa hewan lainnya. Sistem pencernaannya lengkap dan eksresinya melalui nefridia yang bekerja seperti ginjal. Contoh Hewan ini adalah siput.

4. Kelas Scaphopoda

Scaphopoda adalah kelompok yang memiliki cangkang berbentuk tajam seperti taring atau terompet. Habitatnya pada daerah yang berlumpur atau berpasir, dan hidup dengan menanamkan diri pada daerah tersebut. Pada ujung cangkangnya terdapat lubang yang berfungsi untuk menyesuaikan diri dengan habitatnya. Scaphopoda memiliki kaki kecil yang berfungsi untuk bergerak, pada kepalanya terdapat beberapa tentakel dan tidak mempunyai insang. Contohnya adalah Dentalium.

5. Kelas pelecypoda

Kelas ini adalah kelompok mollusca yang memiliki kaki pipih dan cangkang terdiri atas 3 lapisan. Lapisan – lapisan cangkangnya adalah :

1. Periostrakum, yaitu lapisan paling luar yang terdiri dari zat kitin, berfungsi untuk pelindung tubuh.

2. Prismatic, yaitu lapisan tengah yang terdiri atas kristal CaCo3

3. Nakreas, yaitu lapisan paling akhir yang terdiri atas CaCo3 halus, berfungsi menghasilkan sekret lapisan mutiara.

(37)

4. Kaki dari hewan ini berbentuk seperti kapak yang pipih, dan ia bernapas dengan insang yang berlapis-lapis. Pelecypoda memiliki alat keseimbangan yang disebut statocis yang terletak dekat ganglion pedal. Reproduksi berlangsung secara seksual dan membentuk larva yang disebut glosidium. Sistem peredaran darahnya merupakan sistem peredaran darah tertutup. Anggotanya sekitar 300 spesies.

(38)

BAB III

IDENTIFIKASI KANDUNGAN FOSIL DAERAH PADANGLAMPE

3.1 Stasiun Berjalan 3.1.1 Stasiun 1

Dijumpai singkapan pada daerah panincong dengan dimensi 10x5 m merupakan batuan insitu. Arah penyebaran batuan dari utara barat laut hingga selatan menenggara.

Jenis batuan yang dijumpai merupakan batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-abu kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastik dan struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3 memiliki nama batuan

Batu gamping.

Gambar 3.1 Batugamping yang terdapat pada stasiun 1

Batuan ini memiliki relief terjal dan tipe morfologi perbukitan dengan tingkat pelapukan sedang. Soil berwarna merah kecoklatan, tata guna lahannya sebagai perbukitan.

(39)

Dijumpai kedudukan batuan N 342o E/43o.

3.1.2 Stasiun 2

Dijumpai singkapan pada daerah padanglampe dengan dimensi 60x12 m merupakan batuan insitu. Arah penyebaran batuan dari selatan menenggara hingga barat barat laut.

Jenis batuan yang dijumpai merupakan batuan sedimen dengan warna lapuk nya kuning kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastikdan struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3 memiliki nama

batuan batu pasir.

Batuan ini memiliki relief terjal dan tipe morfologi perbukitan dengan tingkat pelapukan sedang. Soil berwarna merah kecoklatan, tata guna lahannya sebagai perbukitan.

Dijumpai kedudukan batuan N 170o E/61.

3.2 Measuring Section 3.2.1 Batupasir

Dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya kuning kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastikdan struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Dengan arah N247oE dan memiliki ketebalan dari

(40)

Gambar 3.2 Batupasir yang terdapat pada stasiun 2

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Cystiphyllida, family Porpitesidae, genus Porpites, dan dengan nama spesies Porpites Porpita L. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Discoidal, yaitu fosil yang menyerupai cincin. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3),

menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Silur Tengah (± 423 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Euompholina, family Platyschismanidae, genus Platyschisma, dan dengan nama spesies Platyschisma Nontensis KEYS. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Discoidal, yaitu fosil yang menyerupai cincin. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

(41)

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Ammonitida, family Chondrocerasidae, genus Chondroceras, dan dengan nama spesies Chondroceras Geruilla SOW. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Globular, yaitu fosil yang memiliki bentuk melingkar. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Jura Tengah (± 176-160 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia, family Thecosmilianidae, genus Thecosmilia, dan dengan nama spesies Thecosmilia Annularis FLEM. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Tabular, yaitu fosil yang memiliki bentuk tabung. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya

adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Jura Atas (± 160-141 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Neritoidea, family Naticanidae, genus Natica, dan dengan nama spesies Natica Inflata. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Conical, yaitu fosil yang memiliki bentuk kerucut. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa

lingkungan pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

3.2.2 Batugamping

Dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-abu kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastikdan struktur nya berlapis dengan

(42)

komposisi kimia CaCO3. Dengan arah N247oE dan memiliki ketebalan dari

meteran 6-11 m sebesar 15,9 m dan dari meteran 15A-19 sebesar 19,21 m.

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Cystiphyllida, family Porpitesidae, genus Porpites, dan dengan nama spesies Porpites Porpita L. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Discoidal, yaitu fosil yang menyerupai cincin. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3),

menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Silur Tengah (± 423 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Euompholina, family Platyschismanidae, genus Platyschisma, dan dengan nama spesies Platyschisma Nontensis KEYS. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Discoidal, yaitu fosil yang menyerupai cincin. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Ammonitida, family Chondrocerasidae, genus Chondroceras, dan dengan nama spesies Chondroceras Geruilla SOW. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Globular, yaitu fosil yang memiliki bentuk melingkar. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Jura Tengah (± 176-160 juta tahun yang lalu).

(43)

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Mesogastropoda, family Neoproboliumidae, genus Neoprobolium, dan dengan nama spesies Neoprobolium Oklahomae (RICH). Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Conical, yaitu fosil yang memiliki bentuk kerucut. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan

pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Tengah (± 370-360 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia, family Thecosmilianidae, genus Thecosmilia, dan dengan nama spesies Thecosmilia Annularis FLEM. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Tabular, yaitu fosil yang memiliki bentuk tabung. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya

adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Jura Atas (± 160-141 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas pelecypoda, ordo Veneroidei, family Dreissenanidae, genus Dreissena, dan dengan nama spesies Dreissena Spathulata (PARTSCH). Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Conveks, yaitu fosil yang memiliki satu cangkang. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut

dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Pliosen Bawah (± 5-3,2 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Stauriida, family Amplexusidae, genus Amplexus, dan dengan nama spesies Amplexus

(44)

Coralloides SOW. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Conical, yaitu fosil yang memiliki bentuk kerucut. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3),

menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Karbon Bawah (± 345-318 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Architaenioglossa, family Viviparusidae, genus Viviparus, dan dengan nama spesies Viviparus Pachystomus (SANDBG). Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Globular, yaitu fosil yang memiliki bentuk melingkar. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya

adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Oligosen Atas (± 33-22,5 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Neritoidea, family Naticanidae, genus Natica, dan dengan nama spesies Natica Inflata. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Conical, yaitu fosil yang memiliki bentuk kerucut. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa

lingkungan pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas pelecypoda, ordo Spiriferida, family Cyrtospiriferidae, genus Cyrtospirifer, dan dengan nama spesies Cyrtospirifer Verneuili (MURCH). Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Valve, yaitu fosil yang memiliki satu cangkang. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

(45)

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas pelecypoda, ordo Veneroidei, family Cyprinanidae, genus CyprinaCyprina, dan dengan nama spesies Cyprina Rotundata BRAUN. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Bivalve, yaitu fosil yang memiliki dua cangkang. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut

dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Oligosen Atas (± 33-22,5 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas pelecypoda, ordo Spiriferida, family Acrospiriferidae, genus Acrospirifer, dan dengan nama spesies Acrospirifer Speciosus (BRONN). Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Biconveks, yaitu fosil yang memiliki dua cangkang. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya

adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Tengah (± 370-360 juta tahun yang lalu).

3.2.3 Batubara

Dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya acokelat dan warna segar hitam. Memiliki tekstur non klastikdan struktur nya berlapis dengan komposisi kimia C. Dengan arah N247oE dan memiliki ketebalan dari meteran

(46)

Gambar 3.3 Litologi Batubara

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Cystiphyllida, family Porpitesidae, genus Porpites, dan dengan nama spesies Porpites Porpita L. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Discoidal, yaitu fosil yang menyerupai cincin. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3),

menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Silur Tengah (± 423 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Coelenterata, kelas Anthozoa, ordo Euompholina, family Platyschismanidae, genus Platyschisma, dan dengan nama spesies Platyschisma Nontensis KEYS. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Discoidal, yaitu fosil yang menyerupai cincin. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

(47)

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Neritoidea, family Tympanotusidae, genus Tympanotus, dan dengan nama spesies Tympanotus Funans. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Tabular, yaitu fosil yang memiliki bentuk tabung. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut

dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Paleosen Atas (± 58-55 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Porifera, kelas Demospongea, ordo Favosilida, family Favositesidae, genus Favosites, dan dengan nama spesies Favosites Sagiratus LECOMPTE. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Globular, yaitu fosil yang memiliki bentuk melingkar. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut

dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Tengah (± 370-360 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Architaenioglossa, family Viviparusidae, genus Viviparus, dan dengan nama spesies Viviparus Pachystomus (SANDBG). Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Globular, yaitu fosil yang memiliki bentuk melingkar. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya

adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Oligosen Atas (± 33-22,5 juta tahun yang lalu).

(48)

3.2.4 Batulempung

Dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya orange kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastikdan struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Dengan arah N247oE dan memiliki ketebalan dari

meteran 14B-15A m sebesar 1,98 m.

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Neritoidea, family Naticanidae, genus Natica, dan dengan nama spesies Natica Inflata. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Conical, yaitu fosil yang memiliki bentuk kerucut. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa

lingkungan pengendapannya adalah pada laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Sorbeoconcha, family Brotianidae, genus Brotia, dan dengan nama spesies Brotia(Timyea) Inquinata DEFR. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Conical, yaitu fosil yang memiliki bentuk kerucut. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Paleosen Atas (± 58-55 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas pelecypoda, ordo Spiriferida, family Cyrtospiriferidae, genus Cyrtospirifer, dan dengan nama spesies Cyrtospirifer Verneuili (MURCH). Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Valve, yaitu fosil yang memiliki satu cangkang. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada

(49)

laut dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Devon Atas (± 360-345 juta tahun yang lalu).

Fosil ini berasal dari Filum Mollusca, kelas pelecypoda, ordo Veneroidei, family Cyprinanidae, genus CyprinaCyprina, dan dengan nama spesies Cyprina Rotundata BRAUN. Adapun bentuk tubuh fosil ini adalah Bivalve, yaitu fosil yang memiliki dua cangkang. Dengan komposisi kimia kalsium karbonat (CaCO3), menandakan bahwa lingkungan pengendapannya adalah pada laut

dangkal. Berdasarkan skala waktu geologi umur fosil ini adalah Oligosen Atas (± 33-22,5 juta tahun yang lalu).

(50)

Tabel 3.1 Kandungan fosil pada daerah Padanglampe

Filum Spesies No. Stasiun Foto

Coelenterata Porifera Mollusca Porpites porpita L Platyschisma Nohtensis KEYS Thecosmilia annularia FLEM Favosites saginatus LECOMPTE Cyprina rotundata BRAUN 01-18 01-14 1,2,4,5,9,10 ,11 14,16,17 10

(51)

Tympanotonos funatus (SOW.) Chondroceras Geruilla SOW Brotia (timyea) inquinata DEFR Neoprobolium Oklahomae (RICH) Natica inflata Dreissena Spathulata 12,13,17 4, 5, 8, 9, 10 12 9,10,11 3,8

(52)

(PARTSCH) Amplexus Coralloides SOW Viviparus Pachystomus (SANDBG) Cyrtospirifer verneuili (MURCH) Acrospirifer speciosus (BRONN) 6, 15,17 6 7,13 8 11

(53)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari laporan fieldtrip ini yaitu:

1. Kandungan fosil yang terdapat di daerah penilitian yaitu fosil pada filum porifera, filum mollusca dan filum coelenterate.

2. Litologi yang terdapat pada daerah penelitian yaitu batugamping, batupasir, batulempung, dan batubara.

4.2 Saran

Adapun saran saya setelah melakukan fieldtrip paleontologi adalah agar masyarakat dan pemerintah dapat memaksimalkan potensi alam yang terdapat pada daerah penilitian, berupa lahan yang dapat digunakan oleh para mahasiswa geologi seluruh Indonesia untuk melakukan penilitian tentang paleontologi mengenai fosil dan juga litologi yang sangat beragam.

(54)

,DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016.http://biologi.budisma.net/klasifikasi-mollusca-ciri-dan reproduksi.html. Diakses pada Kamis, 19 April 2016 pukul 15.30 wita Anonim. 2012.

http://ceritageologist.blogspot.co.id/2012/03/filum-brachiopoda. html. Diakses pada Kamis 19 april 2016 pada pukul 15.54 wita

Anonim. 2015. http://www.artikelsiana.com/2015/07/arthropoda-pengertian-ciri-klasifikasi-reproduksi-peranan.html. diakses pada Kamis, 18 April 2016 pukul 17.23 WITA

Anonim. 2015. http://www.kelasipa.com/2015/09/penjelasan-klasifikasi-arthropoda-dalam-berbagai-subfilum.html. diakses pada Jumat, 19 April 2016 pukul 20.35 WITA

Asisten Paleontologi. 2016. Penutun Praktikum. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Hayati , Aziza Mir'atil 2014.

http://azizamiratilhayat.blogspot.co.id/2014/04/mata-kuliah-zoologi-invertebarata-abkc.html. dikases pada Sabtu 20 April 2016 pada pukul 06.23 wita

Taufan. 2014. http://taufan-web.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ciri-ciri-dan-klasifikasi.html. diakses pada Sabtu, 2o April 2016 pukul 19.34 WITA

(55)

Warino, Joko. http://jokowarino.id/ciri-dan-klasifikasi-filum-arthropoda/. Diakses pada Senin, 21 April 2016 pukul 14.00 WITA

Gambar

Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi
Gambar 2.1 Proses pemfosilan
Gambar 2.2 Tahap metagenesis pada Obelia sp.
Gambar 2.3 Anatomi tubuh Hydra
+5

Referensi

Dokumen terkait

Buku Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas IX Terbitan Erlangga Buku Bahasa Indonesia untuk SMP kelas IX Terbitan Erlangga merupakan sebuah buku yang mempunyai tema

Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Berdasarkan tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, kelompok

Bagian Wilayah Kota Luas ( Ha ) Rencana