• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. STRATEGI DAN OPSI KEBIJAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. STRATEGI DAN OPSI KEBIJAKAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

VI. STRATEGI DAN OPSI KEBIJAKAN

6.1. Eksistensi Lahan Sawah

Lahan sawah memegang peranan sangat penting dalam sistem produksi padi di NTB karena lebih dari 90% produksi padi bersumber dari produksi padi sawah. Luas lahan merupakan determinan utama luas panen dan luas panen adalah determinan utama produksi. Luas panen padi dapat pula ditingkatkan melalui peningkatan IP. Akan tetapi di wilayah beriklim kering seperti NTB yang memiliki keterbatasan sumber daya air dan variabilitas iklim tidak menentu, luas panen sulit ditingkatkan melalui peningkatan IP, sehingga peranan luas lahan dalam peningkatan produksi padi sangat penting.

Luas lahan sawah adalah resultante dari pencetakan sawah baru dan konversi lahan. Pada kondisi dimana potensi sumber daya lahan yang sesuai untuk pencetakan sawah baru sangat terbatas dan laju konversi lahan tidak dikendalikan, maka luas lahan sawah akan terus berkurang. Kebutuhan lahan untuk keperluan non pertanian diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pesatnya pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Konversi lahan sawah aktual periode 2001-2008 di NTB mencapai 4,07% tahun-1. Jika konversi lahan dapat dikendalikan menjadi 3,5% tahun-1 maka pada tahun 2023 luas baku sawah akan berkurang sebanyak 40,21%. Kondisi yang demikian dapat mengancam keberlanjutan kemandirian pangan.

Menjaga eksistensi lahan sawah tidak hanya untuk keberlanjutan sistem produksi yang output langsungnya menyangkut hajat hidup lebih dari 95% penduduk, tetapi usaha tani padi sawah memberikan lapangan kerja dan menjadi sumber pendapatan lebih dari 45% penduduk di perdesaan, menjadi penyangga kestabilan ekonomi dalam keadaan kritis dan berkaitan langsung dengan upaya penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation).

Eksistensi lahan sawah juga berperan sangat penting sebagai stabilisasi kualitas lingkungan (mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat karbon, penyejuk dan penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati). Menurut Agus dan Husein (2005), lahan sawah juga mempunyai fungsi sosial sebagai pemelihara nilai sosial budaya dan daya tarik perdesaan (rural amenity).

(2)

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka pemerintah harus segera menetapkan lahan sawah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah yang menjadi acuan pelaksanaan UU tersebut harus segera dirampungkan. Sebagai langkah awal, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi NTB 2009-2029 yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No.3 Tahun 2010 harus diimplementasikan secara konsisten. Kawasan peruntukan pertanian harus ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan dengan mematuhi ketentuan pelarangan alih fungsi lahan sawah ke non pertanian sesuai arahan peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sesuai dengan Perda No. 3 Tahun 2010 (Pasal 59).

Dengan demikian, implementasi penetapan luas lahan optimum untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum penduduk secara mandiri dan berkelanjutan sejalan dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009 dan Perda tentang RTRW Provinsi NTB 2009-2029, agar kebutuhan dasar yang merupakan hak azasi manusia dapat dijamin ketersediaannya oleh pemerintah bersama masyarakat.

6.2. Strategi Peningkatan Produksi Padi

Sesuai dengan target utama pembangunan pertanian yaitu pencapaian swasembada pangan yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan petani, maka skenario moderat menjadi alternatif yang paling rasional untuk dijalankan. Ada tiga strategi kebijakan yang harus dilaksanakan dalam skenario moderat, yaitu (1) strategi peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum; (2) strategi peningkatan pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani, dan (3) strategi pengendalian konsumsi beras. Ketiga strategi tersebut dilaksanakan melalui intervensi faktor-faktor kunci yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

Strategi peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum penduduk menjadi isu yang sangat penting terkait dengan permasalahan pangan pokok lebih dari 95% penduduk. Langkah-langkah strategis yang harus dilaksanakan antara lain:

6.2.1. Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Konversi lahan sawah ke non pertanian merupakan ancaman bagi kemandirian pangan, karena bersifat permanen dan multiplikasi. Konversi lahan dapat berjalan secara sistematis dan sporadis menuju ke arah land rent yang

(3)

lebih baik. Peralihan secara sistematis memuat karakter perencanaan dan keinginan publik sehingga luasan lahan hasil peralihan lebih terkendali dan terkonsolidasi dalam kerangka perencanaan tata ruang wilayah. Peralihan sporadis memuat karakter lebih individual atau oleh sekelompok masyarakat sehingga luasan hasil peralihan tidak dapat diprediksi dan menyebar tidak terkonsolidasi (Nugroho dan Dahuri, 2004). Oleh karena itu, pengendalian konversi lahan perlu mempertimbangkan kedua karakter tersebut.

Tiga opsi yang dapat dipertimbangkan untuk mengendalikan konversi lahan sawah, yaitu: (1) pengendalian sistematis melalui otoritas sentral yang membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya lahan, melalui instrumen hukum (regulasi) sebagai first order condition; (2) pemberian insentif kepada petani atau pemilik lahan, agar dapat menjalankan fungsi produksi dan konservasi lahan sawah, melalui intrumen ekonomi dan (3) pemberdayaan masyarakat melalui community development sehingga petani mampu melaksanakan pembatasan alih fungsi lahan sawah dan menjaga warisan budayanya. Kedua opsi tersebut sebagai second order condition. Insentif yang dapat diberikan antara lain keringanan pajak bagi pemilik yang menjalankan fungsi produksi padi pada lahan sawahnya dan pengenaan sanksi (disinsentif) bagi pemilik yang membiarkan lahan sawahnya terlantar.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pasandaran (2006) dan beberapa pakar. Instrumen yang dapat digunakan sebagai landasan hukum pengendalian konversi lahan di NTB, antara lain disajikan pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Peraturan perundangan yang dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian konversi lahan sawah

Peraturan dan Perundangan Tentang

1. UU RI No 26 Tahun 2007 Penataan Ruang 2. Perda Provinsi NTB No.

1 Tahun 2009

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTB 2009-2013 3. UU No.41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan 4. Perda Provinsi NTB No.

3 Tahun 2010

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi NTB Tahun 2009-2029

Pentingnya pengendalian konversi lahan sawah adalah terkait dengan besarnya dampak yang ditimbulkan, antara lain potensi ancaman terhadap kecukupan pangan, penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, penghematan devisa, pelestarian lingkungan, dan identitas budaya.

(4)

6.2.2. Perbaikan Kualitas Lahan

Faktor produksi tanah, mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang. Hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaiki atau diperbaharui karena memerlukan waktu yang lama, puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan tanah (Arsyad, 2006).

Degradasi lahan menjadi isu penting terkait dengan terjadinya stagnasi atau pelandaian produktivitas padi sawah. Secara empiris penurunan kualitas lahan disebabkan antara lain oleh kesalahan pengelolaan lahan, intensitas pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan konservasi dan degradasi kapasitas lahan karena kerusakan infrastruktur jaringan irigasi.

Kesalahan pengelolaan lahan dapat menyebabkan terjadinya erosi, hilangnya unsur hara dan bahan organik tanah karena pencucian (leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya (Arsyad, 2006; Sitorus, 2001). Unsur hara yang terdapat dalam tanah selain diserap oleh tanaman dan tanah, juga dapat hilang melalui proses penguapan dan pelindian (leaching). Pelindian dapat berupa peresapan langsung ke dalam profil tanah berupa infiltrasi/perkolasi maupun hara terlarut dalam air drainase. Asdak (1995) dalam Kundarto et al. (2003), menyatakan bahwa proses kehilangan hara dapat disebabkan oleh banyak faktor. Empat faktor utama yang berpengaruh dalam proses kehilangan hara adalah mekanisme yang memungkinkan hara untuk larut yang diperankan oleh air, kontak langsung dengan tanah, gravitasi dan waktu.

Intensitas pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan konservasi dapat menyebabkan terjadinya degradasi lahan. Walaupun hal ini dalam sistem produksi padi sawah dampaknya sangat kecil akan tetapi perlu menjadi perhatian. Unsur hara yang yang terserap oleh tanaman sebagian digunakan untuk proses pertumbuhan dan sisanya tersimpan dalam gabah ataupun jerami padi. Pemindahan yang intensif bahan organik baik dalam bentuk gabah maupun jerami ke luar lahan akan menurunkan kadar organik tanah, apabila tidak dibarengi dengan upaya pengembalian unsur hara tersebut dalam bentuk pemupukan yang tepat. Menurut laporan Puslitbangtan (1999), kehilangan hara akibat pembakaran jerami adalah 94%C, 91%N, 55%P, 79%K, 70%S, 30%Ca

(5)

dan 20%Mg. Meskipun demikian dalam prakteknya masih jarang petani mengembalikan jeraminya ke lahan sawah, terutama pada lahan sawah dengan indeks pertanaman 300% atau lebih.

Sebagian besar lahan sawah di NTB memiliki kandungan C organik kurang dari 1,5%, hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah tergolong sedang hingga rendah. Perbaikan kualitas lahan melalui pengelolaan lahan yang tepat dan memperhatikan konservasi dapat mencegah penurunan kualitas lahan. Pemberian pupuk organik berupa pengembalian jerami dan kotoran sapi dapat memperbaiki kesuburan tanah. Meskipun tanaman padi dapat mengambil unsur C dari udara dalam bentuk CO2, akan tetapi bahan organik dalam tanah sangat penting sebagai sumber energi bagi jasad renik yang berperan dalam penyediaan unsur hara tanaman. Bahan organik juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah lebih mudah diolah. Tanah dengan kandungan organik yang cukup dapat meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga efisiensi pemupukan meningkat. Berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar bahan organik dan produktivitas padi sawah, makin rendah kadar bahan organik, makin rendah produktivitas lahan (Juliardi dan Gani, 2002; Agus et al., 2008).

Salah satu penyebab menurunnya kapasitas lahan sawah saat ini adalah menurunnya kualitas irigasi. Penurunan kualitas irigasi tersebut merupakan akibat dari degradasi kinerja irigasi (Sumaryanto et al., 2006). Secara empiris setiap kilogram padi yang dipanen di wilayah tropika membutuhkan air antara 1900 – 5000 liter (Pimentel et al., 1997; Tuong dan Bhuiyan, 1994 dalam Sumaryanto, 2009b). Tingginya konsumsi air tersebut terkait dengan sifat tanaman padi yang tumbuh lebih baik dan produktif pada lahan tergenang daripada di lahan kering (Bhuiyan et al., 1998 dalam Sumaryanto, 2009b).

Secara faktual pendapatan usaha tani tergantung dari kondisi air. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pendapatan petani pada lahan sawah irigasi teknis adalah satu setengah kali lebih besar dari pendapatan petani pada lahan sawah irigasi setengah teknis dan lima kali lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani pada lahan sawah tadah hujan. Oleh karena itu peningkatan kualitas lahan melalui perluasan jaringan irigasi sangat strategis untuk meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani dari usaha tani padi sawah dapat meningkatkan kualitas hidup petani.

(6)

Beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa peningkatan dana irigasi dan anggaran pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih besar dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya, seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga dasar. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air irigasi bagi pembangunan pertanian. Instrumen yang dapat digunakan dalam pengaturan sumber daya air, disajikan pada Tabel 6.2.

Tabel 6.2. Peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya air

Peraturan dan Perundangan Tentang

1. UU No 7 Tahun 2004 Sumber daya Air 2. PP No. 20 Tahun 2006 Irigasi

3. Permen PU No. 30/PRT/M/ 2007 Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif 4. PP No. 42 Tahun 2008 Pengelolaan Sumber daya Air

5. PP No. 18 Tahun 2010 Usaha Budi daya Tanaman

6.2.3. Peningkatan Produktivitas

Produktivitas padi sawah di NTB dengan kondisi sistem produksi dan varietas yang ada diperkirakan akan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,64% tahun-1 dengan sasaran peningkatan 59,0 kw ha-1 pada tahun 2023. Sedangkan produktivitas padi ladang diperkirakan meningkat menjadi 39 kw ha-1 atau peningkatan rata-rata 0,3% tahun-1. Tingkat produktivitas padi NTB sudah di atas rata-rata nasional, tetapi masih lebih rendah dari pada China dan Jepang, setara dengan petani India, dan lebih tinggi dari pada Thailand dan Vietnam.

Peningkatan produktivitas padi dapat diupayakan melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Penerapan PTT padi sawah didasarkan pada empat prinsip utama yaitu: (1) PTT merupakan suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah, dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu; (2) PTT memanfaatkan teknologi pertanian terbaik dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi; (3) PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat, dan (4) PTT bersifat partisipatif, yang berarti petani berperan serta menguji dan memilih teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapang (Badan Litbang Pertanian, 2007).

(7)

Berdasarkan prinsip utama PTT tersebut, dapat pula dilihat peluang pengembangan teknologi Minapadi (pemeliharaan ikan bersama padi) sebagai salah satu alternatif peningkatan produktivitas sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan petani, terutama pada wilayah yang ketersediaan airnya cukup. Namun demikian penggunaan input teknologi yang tinggi seperti pupuk dan obat-obatan dapat menurunkan kualitas air yang akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Selain itu, pengembangan teknik pengairan berselang (intermittent) pada sistem budidaya padi menjadi kendala utama pengembangan sistem usaha Minapadi di NTB.

Peningkatan produksi padi dengan penerapan PTT di tingkat penelitian, tingkat pengkajian (onfarm), dan tingkat petani, masing-masing mencapai 37%, 27% dan 16%. Komponen budi daya, seperti pengelolaan hama terpadu (PHT) dapat menekan kehilangan hasil rata-rata 2,4% tahun-1. Penerapan panen beregu dapat menekan kehilangan hasil panen sekitar 13,1-18,6% menjadi 3,8% (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Instrumen yang digunakan sebagai dasar intervensi peningkatan produktivitas padi, disajikan pada Tabel 6.3.

Tabel 6.3. Instrumen kebijakan untuk meningkatkan produktivitas padi

Peraturan Tentang

1. Permentan No.

40/Permentan/ Ot.140/4/2007

Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi

2. Permentan No.

72/Permentan/OT.140/11/2007,

Pedoman Umum Bantuan Langsung Benih Unggul TA. 2007

3. Permentan No.

42/Permentan/Ot.140/09/2008

Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2009

4. Peraturan Menteri

Perdagangan RI Nomor 07/M-DAG/PER/2/ 2009

Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian 5. Permentan No 50/Permentan/

Sr.130/9/2010

Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010

6. Inpres No. 5 Tahun 2011 Pengamanan Produksi Beras Nasional dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim

6.2.4. Peningkatan Luas Panen

Peningkatan luas panen sebagai bagian dari peningkatan kapasitas produksi padi dapat ditempuh melalui pencetakan sawah baru, perluasan areal padi ladang dan peningkatan IP padi sawah. Dalam kondisi dimana potensi lahan sawah untuk pencetakan sawah baru di NTB sudah sangat terbatas, maka

(8)

perluasan areal padi ladang dan peningkatan IP padi sawah akan menjadi determinan utama perluasan areal panen pada masa yang akan datang.

Dengan mempertimbangkan kondisi konversi lahan, keterbatasan sumber daya air dan infrastruktur irigasi saat ini, maka untuk mencapai kemandirian pangan diperlukan areal padi ladang seluas 150.000 ha dan peningkatan IP padi sawah minimal 200%. Pencapaian IP dari target yang direncanakan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dan jaringan irigasi serta besarnya insentif yang diterima petani dari usaha tani padi sawah.

Perubahan keuntungan usaha tani padi relatif terhadap komoditas lain yang dirangsang oleh perubahan harga dan perkembangan teknologi dapat menyebabkan alokasi lahan menurut komoditas mengalami perubahan. Akibat harga riil gabah yang diterima petani cenderung menurun ditambah dengan stagnasi produktivitas, diperkirakan sebagai pemicu terjadinya pergeseran dari usaha tani padi ke komoditas lain yang memberikan insentif lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari laju peningkatan luas areal komoditas lain dalam periode 2001-2008 yang mengalami peningkatan 114%. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya pelandaian produksi padi sawah.

6.3. Strategi Peningkatan Pendapatan Petani

Prospek sistem produksi padi sawah sangat ditentukan oleh keberhasilan memberdayakan petani skala kecil karena lebih dari 60% petani menguasai lahan sempit kurang dari 0,4 ha KK-1. Dengan kondisi seperti ini, petani hanya mampu menghasilkan output untuk sekedar dapat bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan fisik minimalnya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak minimalnya, diperlukan strategi peningkatan pendapatan petani yang dapat ditempuh melalui berbagai upaya, antara lain:

6.3.1. Peningkatan Efisiensi Usaha Tani

Peningkatan efisiensi usaha tani dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dan (2) menekan kehilangan hasil. Meningkatkan efisiensi usaha tani melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dapat ditempuh melalui pengurangan penggunaan input yang berasal dari luar usaha tani (off-farm resources), seperti pupuk kimia, obat-obatan dan mengoptimalkan pengelolaan dan input produksi dari dalam usaha tani (on-farm resources) dengan menerapkan sistem pertanian LEISA (Low External Input and Sustainable Agricultura). Dalam sistem ini input

(9)

produksi seperti peningkatan pemanfaatan tenaga kerja keluarga, pergirliran varietas, pendauran ulang limbah pertanian, pemanfaatan pupuk organik dari sisa tanaman dan kotoran ternak. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik atau kompos selain dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia sehingga mampu menekan biaya produksi juga dapat memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas lahan.

Perbaikan teknologi panen dan pasca panen sangat penting untuk menekan kehilangan hasil akibat tercecer. Berdasarkan data BPS (1996) kehilangan hasil panen di Indonesia mencapai 20,42%, dengan rincian: kehilangan saat panen 9,5%, perontokan 4,8%, penggilingan 2,2%, pengeringan 2,1%, penyimpanan 1,6% dan pengangkutan 0,2%. Hasil penelitian Balai Besar Pasca Panen tahun 2006 menunjukkan angka kehilangan hasil pascapanen padi di lahan irigasi dan tadah hujan berkisar 10,93% – 13,04% (Anonim, 2006). Kehilangan hasil panen dapat ditekan melalui penerapan model pengelolaan tanaman padi terpadu (PTT), dapat menekan kehilangan hasil rata-rata 2,4% tahun-1. Sedangkan penerapan panen beregu dapat menekan kehilangan hasil panen sekitar 13,1% - 18,6% menjadi 3,8% (Badan Litbang Pertanian, 2005a).

6.3.2. Pemberian Insentif dan Penguatan Kelembagaan

Pemberian insentif dalam bentuk subsidi, bantuan langsung maupun skim kredit dengan bunga rendah sangat strategis untuk mengurangi beban petani dalam menekan biaya usaha tani. Disamping itu upaya meminimumkan biaya transaksi melalui penguatan kelembagaan tani (kelompok tani). Perubahan pendapatan petani dari berbagai kebijakan insentif memberikan dampak langsung pada kontribusi pendapatan petani terhadap KHLnya, seperti terlihat pada Tabel 6.4.

Tabel 6. 4. Perubahan kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap KHL petani sebagai dampak perubahan kebijakan insentif

Kebijakan insentif dan kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap KHL petani (%) Tipologi Lahan Sawah

Tanpa SP Dengan SP SP+BBL SP+HPP

- Sawah irigasi teknis 63,63 73,49 75,53 85,18

- Sawah irigasi 1/2 teknis 50,29 56,15 58,07 64,29

- Sawah tadah hujan 22,32 26,82 26,82 31,52

Keterangan : SP (subsidi pupuk), BBL (bantuan benih langsung), HPP (harga pembelian pemerintah) dinaikkan 10%

(10)

Tabel 6.4 memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah secara langsung memberpengaruhi besarnya kontribusi pendapatan usaha tani padi terhadap KHLnya. Jika subsidi pupuk dicabut, maka kontribusi pendapatan terhadap KHL akan menurun 13%. Jika bantuan benih disediakan pemerintah, maka kontribusi pendapatan terhadap KHL akan meningkat sekitar 3%. Selanjutnya apabila subsidi pupuk tetap dilanjutkan dan harga gabah dinaikkan 10%, maka kontribusi pendapatan terhadap KHL petani akan meningkat sebesar 16%.

Kebijakan harga dasar (floor price) bertujuan meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani melalui jaminan harga gabah yang wajar. Pendekatan yang demikian juga ditempuh negara-negara lain, termasuk yang sudah maju.

Pemberdayaan pertanian skala kecil sangat membutuhkan adanya pengembangan infrastruktur pertanian dan perdesaan yang kondusif untuk memperlancar arus distribusi, komunikasi, penyebaran informasi, dan akses pasar. Berbagai studi menyatakan bahwa kelemahan utama pertanian skala kecil adalah tingginya biaya transaksi "transaction cost" dalam pemasaran input dan output pertanian. Peningkatan akses petani kecil terhadap lembaga perbankan sangat diperlukan. Selama ini kapasitas petani kecil untuk melakukan inovasi maupun mengadopsi teknologi yang lebih maju sangat rendah disebabkan keterbatasan modal. Stigmatisasi kalangan perbankan komersial terhadap pertanian skala kecil sebagai unit usaha penuh risiko dan kurang layak sebagai nasabah penerima kredit harus diubah dan pemerintah berkewajiban menetapkan kebijakan dan program yang dapat mengubah kondisi tersebut.

6.3.3. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Pertanian

Peningkatan nilai tambah hasil pertanian dalam sistem produksi padi dapat dilakukan antara lain melalui penjualan hasil dalam bentuk beras bukan dalam bentuk gabah, seperti yang banyak dilakukan oleh petani di wilayah Kabupaten Bima. Petani juga dapat melakukan tunda jual, yakni tidak menjual gabah pada saat sedang panen raya untuk menjaga kestabilan harga, sehingga petani dapat memperoleh harga jual yang wajar.

6.3.4. Penciptaan Lapangan Kerja Baru Off Farm

Peluang kerja dan pendapatan dapat pula diciptakan pada aktivitas off farm, antara lain perbenihan, pembuatan pupuk organik atau kompos, jasa penggilingan padi dan tepung beras, penyewaan tenaga ternak sapi, dagang bakulan dan pengolahan makanan berbahan baku produk pertanian, seperti

(11)

jajanan lokal. Banyak produk makanan olahan lokal disukai oleh konsumen dengan perbaikan teknologi dan kemasan.

6.3.5. Penciptaan Lapangan Kerja Baru Pada Kegiatan Non Pertanian

Penciptaan peluang kerja dan pendapatan non pertanian di wilayah perdesaan, selain bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi di perdesaan juga sebagai upaya menghambat laju urbanisasi yang selama ini sering menimbulkan kerawanan sosial di perkotaan. Lapangan kerja baru non farm yang diciptakan harus mendukung eksistensi sistem usaha tani padi sawah. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain bengkel alat-alat pertanian, layanan jasa keuangan mikro, layanan jasa komunikasi, transportasi, dan jasa penyewaan alat-alat pertanian, seperti traktor, pompa air, dan usaha perdagangan/kios sarana produksi dan alat-alat pertanian. Instrumen kebijakan yang menjadi landasan hukum untuk peningkatan pendapatan petani, seperti tertera pada Tabel 6.5.

Tabel 6.5. Peraturan perundangan terkait untuk peningkatan pendapatan petani

Peraturan Tentang

1. Peraturan Menteri Pertanian No. 41/Permentan/OT.140/5/2007

Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat Untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM-KIP),

2. Peraturan Menteri Pertanian No. 46/Permentan/OT.140/5/2007

Pedoman Umum Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP-3) TA. 2007 3. Peraturan Menteri Pertanian No.

57/Permentan/KU.430/7/2007

Pedoman Pelaksanaan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi

4. Peraturan Menteri Pertanian No. 72/Permentan/OT.140/11/2007

Pedoman Umum Bantuan Langsung Benih Unggul TA. 2007

5. Inpres No. 1 Tahun 2008 Kebijakan Perberasan 6. Peraturan Menteri Pertanian

No.12/Permentan/OT.140/2/2008

Pedoman Penyaluran Bantuan Sosial Kepada Petani Tahun Anggaran 2008 7. Peraturan Menteri Pertanian

No.16/Permentan/OT.140/2/2008

Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)

8. Permentan/Ketua Harian Dewan Ketahan Pangan No

24/Permentan/PP.330/4/2008

Pedoman Harga Pembelian Gabah dan Beras oleh Pemerintah

6.4. Strategi Pengendalian Konsumsi Beras

Strategi pengendalian konsumsi beras dapat dilakukan melalui pengendalian pertumbuhan penduduk dan diversifikasi pangan untuk menurunkan konsumsi beras penduduk kapita-1tahun-1.

(12)

6.4.1. Pengendalian Pertumbuhan Penduduk

Pengendalian pertumbuhan penduduk adalah salah satu strategi menurunkan konsumsi beras. Laju pertumbuhan penduduk NTB dalam delapan tahun terakhir tergolong cukup tinggi, yaitu secara agregasi mencapai 1,67% tahun-1. Apabila laju pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan, maka diperkirakan pada tahun 2023 jumlah penduduk NTB mencapai 5,6 juta jiwa dan membutuhkan beras setara GKG sebanyak 1,79 juta ton tahun-1. Dengan kondisi kapasitas produksi padi yang semakin menurun, maka pengendalian pertumbuhan penduduk merupakan langkah strategis yang harus dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan.

Peraturan perundangan yang mengatur tentang masalah kependudukan adalah: UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

6.4.2. Diversifikasi Pangan

Isu strategis dalam pelaksanaan diversifikasi pangan terkait dengan aspek teknis produksi, aspek sosial budaya dan ekonomi. Ketiga aspek tersebut perlu dipadukan secara harmonis dan bermuara ke dalam pengembangan daerah berdasarkan komoditas lokal. Faktor penghambat diversifikasi pangan menurut Syah (2009) antara lain: (a) tidak berkembangnya keterkaitan hulu dan hilir serta sektor ekonomi terkait lainnya; (b) kurang dihargainya pangan pokok setempat; (c) pendapatan dan daya beli yang rendah dan (d) pengembangan kebijakan dan IPTEK terlalu bias pada beras.

Faktor pendorong pelaksanaan diversifikasi pangan pokok adalah (a) sangat back to basic dan based on local resources; (b) gaya hidup modern yang serba praktis, waktu terbatas; (c) hasil-hasil penelitian di bidang budidaya dan pasca panen dan (d) pengembangan agro industri di tingkat lokal (Syah, 2009).

Pengembangan kebijakan dan IPTEK yang terlalu bias pada pada beras menyebabkan sumber daya yang tersedia didayagunakan untuk meningkatkan produksi padi. Akibatnya komoditas lokal sumber karbohidrat alternatif kurang mendapat perhatian, dan hal jelas menghambat diversifikasi pangan.

Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi makanan non beras seperti singkong, jagung, ubi jalar, dan lain-lain yang secara sosial telah berakar di perdesaan seringkali dipersepsikan negatif atau diidentikkan sebagai masyarakat

(13)

rawan pangan dan kurang perhatian pemerintah. Kondisi seperti ini sering dijadikan argumen politis untuk menjatuhkan rezim yang sedang berkuasa. Perubahan persepsi masyarakat untuk mendayagunakan sumber daya lokal harus menjadi perhatian yang serius pemerintah. Beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan antara lain UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan; PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan; PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan dan Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Secara skematis strategi kemandirian pangan berkelanjutan di NTB divisualisasikan pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1. Strategi kemandirian pangan berkelanjutan di NTB

6.5. Prioritas Strategi Implementasi

Guna memudahkan implementasi skenario perlu ditetapkan prioritas wilayah perencanaan terhadap setiap faktor kunci agar dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi petani dalam pengelolaan usaha tani padi sawah, maka Provinsi NTB dibagi dalam tiga wilayah perencanaan, yaitu wilayah yang mewakili karakteristik Pulau Lombok

- Pengendalian konversi lahan

- Perbaikan kualitas lahan dan infrastruktur irigasi - Peningkatan produktivitas

lahan

- Peningkatan luas panen

KEMANDIRIAN PANGAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Model penetapan luas lahan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup

layak petani

Model penetapan luas lahan optimum untuk memenuhi kebutuhan pangan

Peningkatan produksi padi sawah pada lahan irigasi teknis,

semi teknis dan tadah hujan

Peningkatan pendapatan petani pada lahan irigasi teknis, semi

teknis dan tadah hujan

Pengendalian konsumsi beras

- Peningkatan efisiensi usaha tani

- Pemberian insentif - Peningkatan nilai tambah - Pengembangan lapangan

kerja baru off farm - Pengembangan lapangan

kerja baru non pertanian

- Pengendalian pertumbuhan penduduk - Pengendalian

(14)

(wilayah I), wilayah yang mewakili karakteristik Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat (wilayah II) dan wilayah yang mewakili karakteristik Kabupaten Dompu, Bima dan Kota Bima (wilayah III).

Tingkat prioritas intervensi faktor-faktor kunci dikategorikan atas prioritas rendah dengan notasi A, prioritas sedang dengan notasi B dan prioritas tinggi dengan notasi C, disajikan pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6. Wilayah prioritas perencanaan terhadap faktor-faktor kunci sistem produksi padi sawah untuk memenuhi KHL dan kebutuhan pangan penduduk NTB 2023

Wilayah perencanaan Faktor Kunci

Wilayah I Wilayah II Wilayah III

1. Konversi lahan C B B

2. Luas baku sawah/ladang A B C

3. Indeks pertanaman B C C

4. Jaringan irigasi B C C

5. Pertumbuhan penduduk C C C

6. Harga dasar gabah C B B

7. Kebijakan pemerintah C C C

8. Ketersediaan modal B C C

9. Pendapatan petani C B B

Keterangan: A: prioritas rendah B: prioritas sedang C: prioritas tinggi

Tabel 6.6 menjelaskan bahwa secara umum prioritas perencanaan diarahkan ke wilayah III, disusul wilayah I dan II. Faktor-faktor kunci konversi lahan, luas baku sawah, harga dasar gabah dan pendapatan petani perioritas teringgi di wilayah I, sedangkan wilayah lain prioritas sedang. Pengendalian penduduk harus diprioritaskan ke semua wilayah untuk dapat mengendalikan konversi lahan dan permintaan konsumsi. Pencetakan lahan sawah dan ladang diprioritaskan di wilayah perencanaan III, sedangkan wilayah II dan I prioritas sedang dan rendah. Pembangunan Infrastruktur irigasi diprioritaskan di wilayah III dan II karena memiliki dampak terhadap peningkatan IP padi, sedangkan wilayah I prioritas sedang. Peningkatan indeks pertanaman padi diprioritaskan ke wilayah II dan III sedangkan wilayah I prioritas sedang.

Peningkatan harga dasar gabah diarahkan pada wilayah I, karena sebagian besar petani di wilayah tersebut menjual gabah pada saat panen, sedangkan petani di wilayah II dan III biasanya menjual hasil dalam bentuk beras, sehingga harga dasar gabah tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan petani. Prioritas pelayanan modal diarahkan di wilayah II dan III, sedangkan di wilayah I akses petani terhadap skim kredit yang ada relatif lebih baik dibandingkan dengan di wilayah II dan III.

Gambar

Tabel 6.1. Peraturan perundangan yang dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian konversi lahan sawah
Tabel 6.2. Peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya air
Tabel 6.3. Instrumen kebijakan untuk meningkatkan produktivitas padi
Tabel 6. 4. Perubahan kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap KHL petani sebagai dampak perubahan kebijakan insentif
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental dengan jenis pendekatan kuantitatif, Pengujian kekuatan tarik menggunakan 2 posisi pengelasan Flat (1G) dan

CPL 1 Mampu menerapkan matematika, sains, dan prinsip rekayasa (engineering principles) untuk menyelesaikan masalah rekayasa kompleks pada proses, sistem pemrosesan,

Pada contoh sampah tingkat sosial ekonomi atas data pertama diketahui berat cawan awal 1 sebesar 104,36 gram, berat cawan ditambah dengan sampah basah 139,97 gram, sedangkan

Dimana dialog tersebut mengartikan adanya tindakan dari Keuskupan Agung Gereja Katolik dalam membungkam setiap orang terutama jurnalis yang akan mempublikasikan segala hal

As shown in following screenshot, the node displays all the available passes, render layers and scenes present in the current rendered file.. Multiple Render Layers nodes can

[r]

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini pengaturannya itu sudah jelas sekali, subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan lain sebagainya, selama itu Saudara

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat diangkat adalah perbandingan ketepatan klasifikasi pembayaran premi nasabah asuransi AJB Bumiputera Tanjung