• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengertian Gender dan Tri Peranan (Tripple Roles)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengertian Gender dan Tri Peranan (Tripple Roles)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Gender dan Tri Peranan (Tripple Roles)

Sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2005), konsep gender -dibaca jender- dalam Kamus Oxford diartikan sebagai fakta menjadi laki-laki dan perempuan serta isu-isu yang berhubungan dengan perbedaan relasi dan peranan gender. Menurut Wood (2001), Mary Wollstonecraft diakui sebagai orang pertama (1792) yang menyatakan gender sebagai suatu karakteristik sosial.

Berbeda dari konsep seks atau jenis kelamin, gender diperoleh individu melalui proses interaksi dalam dunia sosial. Banyak ahli mengemukakan bahwa gender itu dikonstruksikan, karena gender bukanlah suatu fakta alamiah, akan tetapi mengambil bentuk kongkrit yang secara historis mengubah hubungan sosial. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebagai sebuah istilah atau konsep, gender berasal dari Barat, namun sebagai suatu fakta sosial, gender merupakan fenomena yang ditemukan pada hampir semua masyarakat di dunia (Mugniesyah, 2005). Selain definisi yang telah dikemukakan di depan, pemerintah Indonesia melalui Kantor Meneg PP (2001) mengartikan gender sebagai pandangan masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Moser (1993) dalam Mugniesyah (2005) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender (triple

(2)

roles) yang mencakup peranan produktif, reproduktif dan pengelolaan masyarakat. Adapun pengertian masing-masing sebagai berikut:

1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya (natura). 2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung

jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga.

3. Peranan Pengelolaan Masyarakat dan Politik, dibedakan ke dalam dua kategori :

a. Peranan Pengelolaan Masyarakat (Kegiatan Sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunter dan tanpa upah.

b.Peranan Pengelolaan Politik (Kegiatan Politik), yakni peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status.

2.1.2 Pengertian dan Pembentukan Persepsi Identitas Gender

Menurut Verderber (1981) dalam Mugniesyah (2000), persepsi adalah proses memberikan makna terhadap informasi yang diperoleh indera kita, atau dapat dikatakan sebagai apa yang dikerjakan otak dengan informasi yang diperolehnya. Adapun menurut Applbaum dkk (1973) dan Louisser dan Poulos (1997), persepsi mengacu pada interpretasi seseorang terhadap kenyataan

(3)

(Mugniesyah, 2000). Ahli komunikasi lain (DeVito, 1997) mendefinisikan persepsi sebagai proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Mugniesyah, para ahli memandang persepsi adalah proses yang dialami atau digunakan setiap individu untuk mencoba mengetahui dan memahami orang lain.

Sandra Bem (1974) dalam Mugniesyah (2005) mengidentifikasikan identitas gender, diantaranya mencakup identitas maskulin, feminin, dan androgini. Identitas gender adalah sejumlah aspek penampilan dan perilaku personal yang secara budaya diatributkan menjadi maskulin dan feminin (Children’s Health Encyclopedia, 2008). Persepsi atas gender individu dipengaruhi oleh sosialisasi identitas jenis kelamin yang dimiliki individu sejak kecil dan peran yang dimainkan orang tua sesuai dengan kebudayaannya, sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi identitas gender bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin dan sistem kekerabatan dimana keluarga dari setiap individu menjadi anggotanya (Wood, 2001 dalam Mugniesyah, 2005).

Louisser dan Poulos (1997) dalam Mugniesyah (2000) mengemukakan lima tipe/jenis bias yang mempengaruhi persepsi, dua diantaranya adalah stereotipe dan harapan. Stereotipe diartikan sebagai suatu proses penyederhanaan dan generalisasi perilaku individu-individu dari anggota kelompok tertentu (etnis, agama, suku bangsa, bangsa, jenis kelamin, gender, pekerjaan, dan lain sebagainya). Stereotipe digunakan pada saat kita sedang menilai seseorang, juga digunakan oleh individu dalam berkomunikasi dengan maksud untuk humor, perlakuan diskriminatif bahkan pelecehan, yang seluruhnya akan menghasilkan pengaruh negatif terhadap hubungan antar manusia (komunikasi interpersonal).

(4)

Adapun harapan dipandang sebagai kunci untuk mengerti penilaian negatif individu terhadap orang lain dan emosi negatif yang menyertainya (Cohen, 1981). Dalam hal ini, setiap individu mencoba untuk menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi informasi sesuai dengan harapannya.

2.1.3 Teori-teori Pembentukan Identitas Gender

Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan pembentukan identitas gender pada setiap individu, diantaranya adalah teori pembelajaran sosial dan teori perkembangan kognitif. Menurut teori pembelajaran sosial, anak-anak belajar perilaku yang dihubungkan dengan orangtuanya melalui observasi dan komunikasi. Anak-anak -laki-laki dan perempuan- belajar perilaku hubungan gender (gender-related behavior) dari kontak sosial, terutama dengan orangtua mereka dan teman sebayanya. Dengan perkataan lain, peranan yang dikembangkan oleh anak laki-laki atau anak perempuan diperolehnya melalui proses belajar dari lingkungannya.

Setiap individu, sejak masa anak-anak, meniru dan mengambil peran dari orang-orang yang ada di sekitarnya, mulai dari keluarga inti, keluarga besar (keluarga luas, sistem kekerabatan), hingga kemudian dalam lingkungan masyarakat dimana dia menjadi dewasa. Selanjutnya Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005) menyatakan bahwa menurut teori belajar sosial individu-individu belajar menjadi maskulin dan feminim melalui komunikasi dan observasi. Melalui proses komunikasi, orang lain mengajarkan kepada setiap individu perilaku gender yang pantas baginya. Teori perkembangan kognitif memfokuskan pada bagaimana individu-individu belajar dari interaksi dengan

(5)

orang lain untuk mendefinisikan diri mereka sendiri termasuk gender mereka. Namun demikian, berbeda dari teori pembelajaran sosial, teori ini beranggapan bahwa anak-anak memainkan peranan aktif dalam mengembangkan identitas mereka sendiri. Setiap individu juga menggunakan orang lain untuk mendefinisikan identitas gender dan konsep diri gender mereka sendiri karena mereka dimotivasi oleh keinginan internal untuk menjadi kompeten -sesuai identitas dan konsep dirinya- sesuai budayanya.

2.1.4 Pengertian dan Pembentukan Konsep Diri Peranan Gender

Konsep diri merupakan kebutuhan individu untuk mendefinisikan dirinya sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang lain dimana mereka terlibat didalamnya (Johnson, 1986). Individu tidak dilahirkan dengan suatu konsep diri, karena konsep diri diperoleh individu secara bertahap dalam interaksinya dengan orang lain. Menurut Johnson (1986), pada dasarnya, konsep diri merupakan jawaban individu atas pertanyaan “Siapa Aku?”.

Mead (1977) dalam Pearson (1985) dan Johnson (1986) menyatakan bahwa konsep diri merupakan kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung atau dalam suatu komunitas yang terorganisasi. Berdasarkan teori empati yang dikemukakan Berlo (1960), seseorang membentuk konsep diri oleh dirinya sendiri, berdasarkan observasi dan interpretasi perilaku dengan berkomunikasi dengan orang lain.

Terkait dengan konsep diri peranan gender, Mead dalam Johnson (1986) membedakan tiga fase dalam suatu proses dimana individu belajar mengambil perspektif orang lain dan melihat dirinya sebagai objek yang meliputi:

(6)

1. Tahap bermain, yaitu tahap dimana anak-anak “memainkan” peran sosial dari orang lain.

2. Tahap pertandingan (games), yaitu tahap dimana anak-anak mampu menjalankan peran dari beberapa orang lain secara serentak dan mengorganisasinya dalam suatu keseluruhan yang lebih besar. Pada tahap ini, konsep diri individu terdiri dari kesadaran subjektif individu terhadap peranan khusus dalam kegiatan bersama itu, termasuk persepsi-persepsi mengenai harapan dan respon dari orang lain.

3. Tahap dimana anak-anak mengambil peran dari apa yang disebut generalized other, anak-anak mampu mengontrol dirinya sendiri menurut peran-peran umum yang bersifat impersonal. Generalized other terdiri dari harapan-harapan dan standar-standar umum yang dipertentangkan dengan harapan-harapan individu secara khusus, menurut harapan-harapan umum ini individu merencanakan dan melaksanakan berbagai tindakan.

Melalui tahapan-tahapan tersebut, anak-anak belajar mengenai melihat dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai dan harapan-harapan dari masyarakat.

2.1.5 Konsep Psikologi Androgini

Sandra Bem (1974) mempopulerkan suatu konsep psychology androginy yang beranggapan bahwa seseorang dapat mengombinasikan atau “melumatkan“ kedua identitas psikologis yang maskulin dan feminin. Menurut Bem,

sebagaimana dikutip Mugniesyah (2005), terminologi androgini berasal dari bahasa Yunani, yaitu andros yang berarti laki-laki dan gyne berarti perempuan. Istilah androgini digunakan untuk merepresentasikan seseorang yang mempunyai sifat-sifat asertif, mandiri serta juga memiliki sifat hangat dan lemah-lembut.

(7)

Selanjutnya Bem menyatakan bahwa maskulinitas dan femininitas tidak

menggambarkan suatu konstruk yang bipolar, akan tetapi membangun konstruk yang memungkinkan seseorang bisa menunjukkan/menampilkan karakteristik yang secara stereotipe bersifat maskulin maupun feminin.

Terdapat 3 asumsi yang mendasari Teori Androgini Bem, yaitu : (1) Androgini memungkinkan seseorang untuk berperilaku lebih fleksibel

(2) Fleksibilitas tersebut memungkinkan seseorang dapat beradaptasi lebih baik dalam beragam situasi sosial, dan

(3) Keduanya, baik laki-laki maupun perempuan dapat mencapai fleksibilitas situasional tersebut.

Selanjutnya Bem mengidentifikasi adanya empat orientasi psikologis individu, tiga diantaranya yang dominan berada pada psikologis seseorang :

(a) Androgynous, berarti seseorang berasosiasi tinggi dengan kedua karakteristik stereotipe, maskulin dan feminin, seperti seseorang yang mempunyai kepemimpinan tinggi tapi dia juga sensitif terhadap kebutuhan orang lain. (b) Masculine, seseorang berasosiasi tinggi dengan karakteristik stereotipe

maskulin dan berasosiasi rendah dengan karakteristik stereoripe feminin; seperti orang yang mempunyai kepribadian tinggi dan tidak memiliki sifat iba atau kasihan pada orang lain.

(c) Feminine, berarti seseorang berasosiasi tinggi dengan karakteristik stereotipe feminin dan berasosiasi rendah dengan karakteristik stereoripe maskulin; seperti seseorang yang sangat penolong tapi tidak mandiri.

Bem juga mengemukakan bahwa konsep androgini menawarkan suatu orientasi hidup yang lebih sehat dibandingkan dengan orientasi gender yang

(8)

terpolarisasi secara tradisional, karena individu yang androgini mempunyai karakteristik yang lebih luas, dan karenanya dapat beradaptasi lebih efektif terhadap lebih banyak situasi.

2.1.6 Pelaku Sosialisasi Gender (Significant Others)

Sebagaimana dikemukakan di depan, terdapat sejumlah aktor atau agen sosialisasi yang mendukung konstruksi sosial budaya gender dalam masyarakat. Di bawah ini dikemukakan secara rinci masing-masing agen sosialisasi tersebut : 1. Keluarga / Rumahtangga

Keluarga dianggap sebagai arena relasi gender yang utama dan dalam keluarga pula sejak masa kanak-kanak, individu disosialisasikan kepada berbagai konsep yang menunjuk pada betapa kuat dan berkuasanya laki-laki dibanding perempuan. Keluarga merupakan agen sosialisasi utama yang mempengaruhi identitas gender individu. Anak-anak belajar peran gender yang diperoleh dari beragam perilaku dan melalui pengamatan serta pemodelan lainnya. Secara tipikal, anak perempuan didorong untuk memperkuat kerjasama, tolong-menolong, pengasuhan dan perilaku-perilaku lain yang konsisten dengan makna sosial kefemininan. Pada anak laki-laki, cenderung didorong untuk berperilaku secara kompetitif, mandiri, dan asertif. Orang tua mengkomunikasikan gender melalui permainan yang diberikan kepada anak-anak. Pada saat menginjak umur enam tahun, sosialisasi ketenagakerjaan dimulai. Anak perempuan membantu ibunya dalam peran reproduktif, sedangkan anak laki-laki pada peranan produktif dan kemasyarakatan. Cara lain dalam mengkomunikasikan gender adalah melalui pemodelan orangtua, tetapi cara ini sangat bergantung dengan struktur keluarga

(9)

yang ada, apakah keberadaan orang tua lengkap, single parent perempuan atau laki-laki atau individu berada di lingkungan lain seperti panti asuhan (Mugniesyah, 2005).

2. Sekolah

Sekolah memainkan peran yang memperkuat apa yang sudah diperoleh dari lingkungan keluarga. Di sekolah terjadi sosialisasi yang bias gender yang memandang bahwa mata ajaran ilmu-ilmu dasar hanya pantas untuk laki-laki (mata ajaran maskulin) sebaliknya ilmu-ilmu sosial termasuk bahasa dianggap pantas untuk perempuan (mata ajaran feminin). Buku-buku pelajaran sekolah dasar memuat pembagian peran yang memuat stereotipe pria dan wanita.

Sekolah mempunyai kontribusi besar dalam proses pengenderan individu-individu, mulai dari kelompok bermain (playgroup) atau Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Komunikasi dalam kelembagaan pendidikan mereproduksi pandangan-pandangan budaya mengenai perempuan sebagai subordinat, pasif, berbeda, dan kurang berprestasi, sedangkan laki-laki dominan, bebas, dan berprestasi. Proses komunikasi yang terjadi di sekolah menyebabkan menguatnya stereotipe gender dalam pendidikan merupakan suatu proses yang tidak disadari oleh kebanyakan pendidik.

Terdapat kurikulum tersembunyi yang memperkuat atau mengekalkan konsepsi seksisme -tentang perempuan dan laki-laki- mencakup organisasi kelembagaan, materi bahan ajar dan gaya mengajar yang merefleksikan stereotipe gender dan berpengaruh dalam melestarikan ketidakadilan gender (Wood dalam Mugniesyah, 2005). Wood mengemukakan bahwa sistem pendidikan (kurikulum tersembunyi) telah menjadikan siswa perempuan kurang mampu menemukan

(10)

potensi dirinya daripada laki-laki. Guru/dosen cenderung melanjutkan sosialisasi stereotipe gender dalam kurikulum sekolah/perguruan tinggi.

3. Grup sebaya (Peer group)

Pada tingkat masyarakat, kelompok sebaya turut berperan melembagakan perilaku gender. Hasil observasi menunjukkan bahwa stereotipe gender yang dihubungkan dengan komunikasi persahabatan antara laki-laki dan perempuan relatif konsisten. Perempuan dipandang relatif lebih terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang cenderung fasilitatif dan ekspresif, sebaliknya laki-laki kurang terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang mengontrol dan instrumental.

Teman sebaya merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembentukan perilaku individu sesuai dengan jenis kelamin. Ketika anak perempuan dan anak laki-laki mulai bermain dan membentuk persahabatan dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, dimulailah pembelajaran tentang jenis kelamin dan tingkah laku tertentu yang berlaku dan diharapkan oleh kelompoknya. Menurut Rawlins (1992), dalam persahabatan antara perempuan dan laki-laki, terdapat harapan-harapan budaya tentang maskulin dan feminin yang sangat menonjol. Kebanyakan perempuan dan laki-laki berlanjut memelihara peranan-peranan gender tradisional mereka terutama berhubungan dengan gaya komunikasi antara keduanya, perempuan relatif lebih terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang cenderung fasilitatif dan ekspresif, sedangkan laki-laki kurang terbuka dan dianggap menggunakan gaya komunikator yang cenderung mengontrol dan instrumental (Mugniesyah, 2005).

(11)

4. Organisasi

Jumlah pemimpin dan politisi perempuan lebih rendah dibanding pria. Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif sangat rendah. Menurut Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005), karena laki-laki mendominasi kehidupan kelembagaan maka bentuk-bentuk maskulin dalam berkomunikasi merupakan standar atau baku dalam kebanyakan lingkungan kerja. Tempat kerja mempunyai pengaruh tergantung dari pandangan manajer di tempat individu bekerja. Pekerjaan dapat membuat individu lebih aktif, fleksibel, terbuka dan demokratis, jika manajer mempunyai pandang yang modern. Jika perempuan memiliki status yang lebih rendah daripada laki-laki dalam pekerjaan, hal ini lebih disebabkan karena kurangnya kesempatan, akibat pandangan manajer yang tradisional.

5. Media massa

Media massa, baik radio, surat kabar, dan televisi gencar mempromosikan acara dan iklan yang memperkuat idiologi gender. Sebagai contoh, iklan reproduktif selalu mengambil model perempuan dan sebaliknya peran produktif dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, iklan sering menggambarkan bahwa wanita selalu menjadi objek seksual laki-laki.

Stewart dkk (1996) dan Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005) sependapat bahwa media massa mengkomunikasikan imej/citra gender, yang banyak diantaranya justru mengekalkan persepsi stereotipe dan terbatas pada citra perempuan yang tidak realistik. Secara umum, media merepresentasikan stereotipe laki-laki dan perempuan yang membatasi persepsi individu. Media memperkuat stereotipe maskulinitas laki-laki dengan menampilkan laki-laki

(12)

sebagai sosok yang kuat, aktif, petualang, agresif secara seksual, dan kurang terlibat dalam hubungan atau urusan kemanusiaan. Sebaliknya, perempuan digambarkan sebagai objek seksual yang selalu tampil muda, ramping, jelita, cantik, pasif, tergantung/tidak mandiri, dan sering kali tidak kompeten dan bodoh.

2.1.7 Pengertian dan Teori-teori Sistem Kekerabatan

Kekerabatan mengacu pada hubungan diantara orang tua dan anak, baik anak perempuan maupun laki-laki, dan pada jaringan-jaringan hubungan yang terbentuk dari hubungan orang tua dan anak tersebut (Keesing, 1975 dalam Tampubolon, 1985). Menurut Djojodigoeno4 (1959) sistem kekerabatan dapat ditelaah dari segi batas lingkungan pergaulan yang dilacak secara parental (hubungan baik melalui bapak atau ibu), dan adat menetap dari individu-individu anggota kerabat setelah perkawinan (bilokal, patrilokal, matrilokal, dan sebagainya) yang berkaitan dengan usaha untuk memelihara kelangsungan hak dan kewajiban tertentu pada suatu golongan kerabat terbatas (adat penggantian kedudukan/status dalam golongan itu, adat waris, dan lain sebagainya).

Sependapat dengan Djojodigoeno, Koentjaraningrat (1981) menyatakan bahwa sistem kekerabatan terbentuk berdasar perkawinan dan garis keturunan. Selanjutnya, Koentjaraningrat membedakan sistem kekerabatan menurut garis keturunan ke dalam empat tipe, yaitu: patrilineal, matrilineal, bilineal, dan bilateral. Sistem kekerabatan patrilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja, oleh karena itu mengakibatkan kaum kerabat ayah masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibu berada di

(13)

luar batas tersebut. Sebaliknya, sistem matrilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui perempuan saja, sehingga kaum kerabat ibu masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ayah berada di luar batas tersebut. Sistem kekerabatan bilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu, dan melalui perempuan saja untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain. Sebaliknya, sistem kekerabatan bilateral menghitung hubungan-hubungan kekerabatan melalui laki-laki maupun perempuan.

Levy (1949)5 menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan ketika menelaah sistem kekerabatan, diantaranya adalah :

1. Diferensiasi peranan, yaitu cara mendudukan anggota-anggota kerabat pada berbagai posisi dalam sistem kekerabatan menurut fungsinya masing-masing atas pertimbangan perbedaan umur, jenis kelamin, generasi, posisi ekonomi, dan pembagian kekuasaan.

2. Alokasi atau penempatan fungsi solidaritas, yaitu perbedaan tingkat solidaritas yang didudukan dalam berbagai hubungan antara anggota-anggota kerabat menurut makna dan kuatnya hubungan tersebut dan daya tarik timbal-balik serta sampai berapa dalam orang terlibat didalamnya. 3. Alokasi kekuasaan/kewibawaan dengan memberi kekuasaan dan tanggung

jawab kepada tokoh-tokoh tertentu untuk mengontrol tindakan anggota-anggotanya.

Menurut Jenkins (1997) dalam Harmita (2006), etnisitas memiliki karakteristik yang mencakup: (1) diferensiasi kultural, (2) berkaitan dengan

(14)

budaya -berbagai pemaknaan- yang berakar dari dan merupakan hasil interaksi sosial, (3) merupakan budaya dengan komponen atau situasi yang diproduksi dan direproduksi, (4) Etnisitas mencakup tindakan kolektif dalam interaksi sosial dan individu. Berikut pemaparan contoh kelompok etnis dengan tipe sistem kekerabatannya.

Masyarakat Batak tergolong sistem kekerabatan patrilineal, dimana prinsip keturunannya disebut marga (Toba) atau merga (Karo). Dalam hal perjodohan, berlaku exogami, dimana perjodohan menjadi suatu unsur dalam perhubungan satu marga dan marga lainnya. Ketunggalan silsilah dan marga atau merga yang patrilineal berarti ketunggalan laki-laki terhadap perempuan, dimana istri akan berpindah ke dalam marga suami dan anak-anak menjadi anggota marga bapak, dan laki-laki berkuasa dan mendominasi (Djojodigoeno, 1959).

Masyarakat Minangkabau merupakan contoh sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Dalam masyarakat ini perempuan berfungsi sebagai penerus keturunan, baik dalam paruik (satu perut) maupun suku, karena anak akan mewarisi suku ibunya. Perempuan menjadi inti keluarga, dan dianggap sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (tiang keluarga dan sebagai pendidik anak-anak) yang merupakan lambang penerus keturunan (Rasjid Manggis, 1971 dalam Tampubolon 1985). Dalam sistem hak waris, harta keluarga berbentuk tanah/sawah dan rumah tetap berada dalam lingkungan garis keturunan ibu secara turun menurun; sementara suami (urang sumado) tidak mempunyai otoritas di rumah gadang isterinya, tetapi ia berkuasa di rumah gadang milik saudara perempuannya. Dalam masyarakat ini, perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan mamaknya atau

(15)

antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayah (Tampubolon, 1985).

Masyarakat Jawa dan Sunda tergolong sistem kekerabatan bilateral. Djojodigoeno (1959) menjelaskan bahwa pada masyarakat bilateral, status suami dan istri sama dan masing-masing dapat bertindak. Kekuasaan atas anak dan harta diurus dan dikelola bersama-sama sesuai dengan kesepakatan. Dalam sistem pewarisannya, anak-anak -laki-laki dan perempuan- menerima waris dari ayah dan ibu serta dari kerabat bapak dan kerabat ibu, bahkan suami-istri saling waris-mewaris. Pada masyarakat Jawa dan Sunda juga terdapat solidaritas yang kuat dan luas pada kerabat inti. Dalam kebudayaan Jawa, sebagai kelanjutan dari perkawinan terbentuk beberapa macam kelompok-kelompok kekerabatan, seperti keluarga batih dan keluarga luas, sanak-sadulur, dan alurwaris. Tidak berbeda jauh dengan masyarakat Jawa, masyarakat Sunda juga mempunyai beberapa istilah dalam jaringan hubungan kekerabatan, yaitu kulawarga (keluarga), warga, dulur (saudara), baraya (saudara), saderek (saudara), kulawedet, bondoroyot, golongan (Ekadjati, 1995).

2.2. Kerangka Pemikiran

Penelitian berjudul Persepsi Identitas dan Konsep Diri Tentang Peranan Gender di kalangan Mahasiswa TPB IPB ini mengacu pada hasil sintesis beragam konsep dan teori yang telah dikemukakan di depan. Dengan mengacu pada pengertian, teori persepsi dan teori pembentukan identitas gender, serta konsep Sandra Bem, persepsi identitas gender mahasiswa TPB diukur dengan variabel Kategori Psikologi Androgini (Y1). Selain itu, dalam konteks pendidikan tinggi,

(16)

dimana ada gender dalam konteks bidang-bidang ilmu, persepsi identitas gender tersebut juga diukur melalui variabel Persepsi Mahasiswa TPB IPB tentang domain program-program studi di lingkungan IPB (Y2).

Dalam penelitian ini, identitas gender itu melekat pada diri individu mahasiswa TPB dianggap akan digunakan oleh individu mahasiswa tersebut dalam berkomunikasi interpersonal untuk mengembangkan konsep dirinya, khususnya berkenaan peranan gender mereka. Selanjutnya, konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB tersebut akan diukur dengan peranan dan relasi gender yang dikembangkan mahasiswa dalam konteks tri peranan (triple roles) yang dikemukakan Moser (1993). Terdapat lima variabel yang diukur, yaitu variabel-variabel Konsep Diri Dalam Peranan Reproduktif (Y3), Konsep Diri Dalam Peranan Produktif (Y4), Konsep Diri Dalam Peranan Berorganisasi (Y5), Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Reproduktif (Y7), Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Produktif dan Pola Relasi Kekuasaan dalam Kegiatan Berorganisasi (Y8). Dalam penelitian ini, semua variabel yang mengukur persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender tersebut merupakan variabel-variabel tidak bebas (dependent variables).

Mengacu pada teori perkembangan kognitif dari Wood (2001) dalam Mugniesyah (2005), setiap individu mahasiswa TPB dipandang aktif mengembangkan persepsi identitas gendernya sejalan dengan perkembangan kognitif mereka sejak kanak-kanak hingga menjadi dewasa dan menjadi mahasiswa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, karakteristik individu mahasiswa TPB IPB diduga mempengaruhi variabel-varibel tidak bebas di atas. Lebih lanjut, mengingat persepsi atas identitas gender individu dipengaruhi oleh

(17)

sosialisasi berkenan identitas jenis kelamin dan peran yang dimainkan orang tua sesuai dengan kebudayaannya, maka karakteristik individu yang diduga mempengaruhi identitas dan konsep peranan gender adalah variabel-variabel Orientasi Jenis Kelamin (X1) dan Suku Bangsa (X2) dari mahasiswa TPB IPB.

Selanjutnya, mengacu pada pendapat Louisser dan Poulos (1997) dalam Mugniesyah (2000), variabel-variabel persepsi identitas gender juga dipengaruhi oleh stereotipe, pengalaman, harapan individu atas identitas gender mereka. Oleh karena itu, variabel-variabel tidak bebas tersebut di atas diduga dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terdiri atas: Stereotipe Gender (X3), Keragaman Lingkungan Pergaulan Menurut Etnik (X4), dan Preferensi Teman Menurut Jenis Kelamin (X5). Adapun persepsi identitas gender terhadap domain program studi, diduga dipengaruhi oleh variabel Motivasi Mahasiswa dalam memilih program studi Mayor-Minor di IPB (X6).

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya gender merupakan hasil konstrusi sosial budaya, yang diperoleh individu melalui proses sosialisasi. Mengacu pada pendapat para ahli, dalam penelitian ini keluarga dan sistem kekerabatan merupakan agen sosialisasi atau significant others yang dipandang dominan mempengaruhi persepsi dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPP IPB, Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini variabel-variabel pada keluarga dan sistem kekerabatan yang diduga berpengaruh adalah Tingkat Pendidikan Orangtua (X7), Tipe Sistem Kekerabatan (X8), Status Bekerja Orangtua (X9), Status Perkawinan (X10), Pola Sub-Struktur dalam Keluarga (X11), Tokoh Dominan Dalam Keluarga (X12) dan Pola Pembagian Kerja (X13), serta Spesifikasi Jenis Permainan (X14).

(18)

Selain orang tua, lembaga pendidikan mempunyai kontribusi dalam pembentukan identitas dan konsep diri gender. Secara umum Lembaga pendidikan mereproduksi dan mengekalkan pandangan-pandangan budaya mengenai perempuan sebagai subordinat, pasif, berbeda, dan kurang berprestasi, sedangkan laki-laki dominan, bebas, dan berprestasi; serta cenderung mengekalkan ketimpangan gender, khususnya dalam menduduki posisi pemimpin dalam organisasi. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini variabel-variabel pada lembaga pendidikan yang diduga berpengaruh adalah: Tokoh Dominan di Sekolah TK-SMU (X15), Gaya kepemimpinan Guru Laki-Laki (X16), dan Gaya Kepemimpinan Guru Perempuan (X17).

Dengan mempertimbangkan bahwa setiap individu mahasiswa TPB IPB juga menjadi anggota dari beragam kelompok/organisasi sosial. Sehubungan dengan itu, variabel-variabel bebas dari karakteristik organisasi yang diduga berpengaruh terhadap persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender adalah Tokoh Dominan dalam Organisasi (X18), Gaya Kepemimpinan Tokoh Laki-laki dalam Organisasi (X19), dan Gaya Kepemimpinan Tokoh Perempuan dalam Organisasi (X20). Lebih lanjut, dengan mempertimbangkan bahwa media massa juga berperan sebagai agen sosialisasi gender, dalam penelitian ini variabel Penilaian Muatan Nilai Gender dalam Media Massa (X21) juga diduga berpengaruh terhadap persepsi identitas gender dan konsep diri gender.

Berdasar pada penjelasan tersebut di atas, hubungan antar variabel-variabel bebas dengan tidak bebas dalam penelitian ini dituangkan ke dalam suatu diagram sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

Karakteristik Lembaga Pendidikan X15. Tokoh Dominan di Sekolah TK-SMU

X16. Gaya Kepemimpinan Guru Laki-laki

X17. Gaya Kepemimpinan Guru Perempuan

Persepsi Identitas Gender Y1. Kategori Psikologi Androgini

Y2. Persepsi Mahasiswa TPB IPB Tentang Domain Program Studi Mayor-Minor IPB Konsep Diri Tentang Peranan Gender Y3. Peranan Dalam Kegiatan Reproduktif Y4. Peranan Dan Kegiatan Produktif Y5. Peranan Dan Kegiatan Berorganisasi Y6. Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Reproduktif

Y7. Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Produktif

Y8. Pola Relasi Kekuasaan Dalam Kegiatan Berorganisasi

Karakteristik Organisasi X18. Tokoh Dominan Dalam Organisasi

X19. Gaya Kepemimpinan Tokoh Laki-laki Dalam Organisasi X20. Gaya Kepemimpinan Tokoh

Perempuan Dalam Organisasi Peranan Media Massa X21. Penilaian Muatan

Gender Dalam Media Massa

Gambar 1. Diagram Hubungan Antara Variabel Bebas dengan Variabel Tidak Bebas dalam Penelitian

Karakteristik Keluarga X7. Tingkat Pendidikan Orang Tua X8. Tipe Sistem Kekerabatan X9. Status Bekerja Orang Tua X10. Status Perkawinan

X11. Pola Sub-struktur Dalam Keluarga X12. Tokoh Dominan Dalam Keluarga X13. Pola Pembagian Kerja

X14. Spesifikasi Jenis Permainan Karakteristik Individu X1. Jenis Kelamin

X2. Suku Bangsa X3. Stereotipe Gender

X4. Keragaman Lingkungan Pergaulan Menurut Etnik

X5. Preferensi Teman Menurut Jenis Kelamin

(20)

2.3 Hipotesa Penelitian

1) Karakteristik individu berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB.

2) Karakteristik Keluarga berhubungan positif dengan pembentukan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB.

3) Karakteristik lembaga pendidikan berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB.

4) Karakteristik organisasi berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan dan relasi gender mahasiswa TPB IPB.

5) Media massa berhubungan positif dengan persepsi identitas gender dan konsep diri peranan gender mahasiswa TPB IPB.

2.9 Definisi Operasional

Definisi operasional variabel-variabel pada penelitian ini sebagai berikut : 1) Kategori psikologi androgini (Y1) adalah preferensi sifat-sifat psikologi

gender di kalangan mahasiswa, yang dibedakan ke dalam tiga kategori: maskulin, feminin, dan androgini berdasar hasil pengukuran skor Bem dengan menggunakan rumus tes androgini menurut Bem, dimana :

sifat maskulin-sifat feminin= skor Bem

Berdasarkan hasil skor Bem yang diperoleh mahasiswa, identitas gender mahasiswa dibedakan ke dalam (1) feminin, jika nilai skor Bem ≤-20, (2) androgini, jika skornya antara -9 sampai dengan +9, dan (3) maskulin jika mencapai skor Bem ≥ +20.

(21)

2) Persepsi Mahasiswa TPB IPB tentang domain program studi di IPB (Y2) adalah preferensi mahasiswa TPB IPB dalam menentukan kepantasan mahasiswa untuk memasuki program studi di lingkungan menurut jenis kelaminnya; dibedakan ke dalam tiga kategori dengan memodifikasi konsep Bem : (1) maskulin, jika mahasiswa cenderung menilai program studi tertentu sebagai lebih pantas bagi laki-laki dari pada perempuan, (2) feminin, jika mahasiswa cenderung menilai program studi tertentu sebagai lebih pantas bagi perempuan dari pada laki-laki, dan (3) androgini, jika mahasiswa cenderung menilai program studi tertentu sebagai pantas bagi perempuan dan laki-laki.

3) Peranan dalam kegiatan reproduktif (Y3) adalah aktivitas yang dikerjakan individu laki-laki dan perempuan dalam domain domestik (kegiatan rumahtangga), dengan pemberian skor satu untuk setiap aktivitas; dibedakan ke dalam tiga kategori : (a) rendah, untuk total skor 1- 8; (b) sedang jika skor 9-17, (c) tinggi, untuk total skor 18-25.

4) Peranan dalam kegiatan produktif (Y4) adalah aktivitas yang dikerjakan mahasiswa (laki-laki dan perempuan) dalam kegiatan-kegitan di sektor publik yang menghasilkan pendapatan (upah/bayaran) , dengan pemberian skor satu untuk setiap aktivitas; dibedakan ke dalam tiga kategori : (a) rendah, untuk total skor 1- 5; (b) sedang jika skor 6-10, (c) tinggi, untuk total skor 11-15. 5) Peranan dalam kegiatan berorganisasi (Y5) adalah aktivitas yang dikerjakan

mahasiswa (laki-laki dan perempuan) dalam kegiatan-kegitan organisasi dan kelembagan masyarakat, dengan pemberian skor satu untuk setiap aktivitas;

(22)

dibedakan ke dalam tiga kategori : (a) rendah, untuk total skor 1-15, (b) sedang jika skor 16-30, (c) tinggi, untuk total skor 31-45.

6) Pola relasi kekuasaan dalam kegiatan reproduktif (Y6) adalah kewenangan yang dimiliki anggota keluarga mahasiswa TPB IPB, laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan yang menentukan partisipasi individu mahasiswa dalam melakukan kegiatan domestik; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah jika hanya melibatkan tokoh laki-laki atau perempuan saja, (b) sedang, jika melibatkan tokoh laki-laki dan perempuan, namun ada dominasi dari salah satunya, dan (c) tinggi, jika melibatkan laki-laki dan perempuan secara setara.

7) Pola relasi kekuasaan dalam kegiatan produktif (Y7) adalah pengambilan keputusan dominan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga untuk menentukan/mengikuti kegiatan yang menghasilkan upah/bayaran; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah jika hanya melibatkan tokoh laki-laki atau perempuan saja, (b) sedang, jika melibatkan tokoh laki-laki dan perempuan, namun ada dominasi dari salah satunya, dan (c) tinggi, jika melibatkan laki-laki dan perempuan secara setara.

8) Pola relasi dalam kegiatan berorganisasi (Y8) adalah pengambilan keputusan dominan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga untuk menentukan/mengikuti/menjadi bagian dari kelembagaan masyarakat; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah jika hanya melibatkan tokoh laki-laki atau perempuan saja, (b) sedang, jika melibatkan tokoh laki-laki dan perempuan, namun ada dominasi dari salah satunya, dan (c) tinggi, jika melibatkan laki-laki dan perempuan secara setara

(23)

9) Jenis kelamin (X1) adalah karakteristik biologis individu berdasar genital eksternal, yang dibedakan ke dalam (a) laki-laki dan (b) perempuan.

10) Suku bangsa (X2) adalah preferensi etnik mahasiswa TPB IPB yang “diwarisi” dari etnik dari salah satu atau kedua orangtuanya, dibedakan ke dalam kategori: Batak, Minangkabau, Jawa, Sunda, Tionghoa, dan etnik lainnya.

11) Stereotipe gender (X3) adalah generalisasi yang dilakukan mahasiswa TPB IPB dalam menilai karakteristik identitas gender individu dengan kategori etnik yang berbeda dari mereka dan dibedakan ke dalam: feminin, maskulin dan androgini.

12) Keragaman lingkungan pergaulan menurut etnik (X4) adalah preferensi individu mahasiswa dalam memilih teman bergaul interaksi dengan individu lain di luar etniknya sendiri. Pengukuran terlihat dari nilai skor tertinggi yang diperoleh dari kumulatif jawaban responden mengenai sifat yang diangap khas yang dimiliki oleh suatu etnis tertentu.

13) Preferensi teman menurut jenis kelamin (X5) adalah kecenderungan yang dilakukan mahasiswa TPB IP dalam memilih individu lain , baik laki-laki dan/atau perempuan sebagai sahabat dan ”tempat” berbagi perasaan; dibedakan kedalam tiga kategori (a) tinggi, jika responden bermain dengan teman sesama jenis, (b) rendah jika responden bermain dengan teman berbeda jenis dan bermain dengan kedua jenis kelamin.

14) Motivasi (X6) adalah alasan yang melatarbelakangi responden memilih program studi mayor-minor di IPB.

(24)

15) Tingkat pendidikan orang tua (X7) adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh kedua orang tua responden; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah, SD/setara), (b) sedang (SLTP/setara, SMU/setara), dan (c) tinggi (Diploma, dan Sarjana).

16) Tipe sistem kekerabatan (X8) mengacu pada kategori hubungan baik secara parental (suami-isteri), hubungan orang tua dan anak, dan hubungan saudara yang menghubungkan darah mereka; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) patrilineal, (b) matrilineal, dan (c) bilateral.

17) Status bekerja orang tua (X9) adalah kondisi bekerja yang dilakukan ayah dan atau ibu yang dikategorikan menjadi (a) rendah, jika baik ayah maupun ibu tidak bekerja, (b) sedang, jika diantara ayah atau ibu saja yang bekerja tetapi dominan salah satunya, dan (c) tinggi, jika baik ayah maupun ibu, keduanya bekerja.

18) Status perkawinan orang tua (X10) adalah kondisi individu dalam perkawinan yang dilihat dari bentuk dan pengalaman perkawinannya. Bentuk perkawinan, dibedakan menjadi monogami dan poligami, sedangkan pengalaman perkawinan dikategorikan menjadi 4 kategori : (a) bercerai, (b) tidak cerai, (c) single parent perempuan, dan (d) single parent laki-laki.

19) Pola sub-struktur dalam keluarga (X11) mengacu pada tipe keluarga dimana individu dominan dibesarkan pada kategori (a) keluarga inti, (b) keluarga inti dan kakek-nenek, dan (c) keluarga inti dan kerabat dari pihak orang tua. Keberadaan saudara kandung, dikategorikan menjadi (a) hanya laki-laki saja, (b) hanya perempuan saja, (c) terdapat saudara dari kedua jenis kelamin, dan (d) anak tunggal.

(25)

20) Tokoh dominan dalam keluarga (X12) adalah aktor agen sosialisasi dalam dalam lingkungan keluarga menurut jenis kelaminnya, dikategorikan ke dalam (a) dominan laki-laki, (b) dominan perempuan, dan (c) dominan laki-laki dan perempuan keduanya.

21) Pola pembagian kerja (X13) adalah aktivitas yang dilakukan oleh anggota keluarga, terdiri dari pekerjaan domestik, produktif, organisasi, dan kursus yang dikategorikan menjadi : (a) tinggi, jika pekerjaan domestik, produktif, organisasi dilakukan oleh laki dan perempuan setara, (b) sedang jika laki-laki dan perempuan tetapi salah satu diantaranya dominan, dan (c) rendah jika laki-laki dan perempuan saja yang melakukan.

22) Spesifikasi jenis permainan (X14) adalah pengalaman responden dalam melakukan aktivitas-aktivitas yang meliputi kegiatan bermain, kelompok belajar, dan kegiatan olahraga. Pengukuran spesifikasi jenis permainan menjadi : (a) tinggi, jika responden melakukan <4 aktivitas pada masing-masing kategori, (b) sedang jika responden melakukan 4-8 aktivitas pada masing-masing kategori, dan (c) rendah jika responden hanya melakukan >8 aktivitas.

23) Tokoh dominan di sekolah SD-SMU (X15) adalah individu antara perempuan dan laki-laki yang menduduki posisi/jabatan tertentu di sekolah yang menjadi favorit dan mempengaruhi responden, dikategorikan menjadi (a) dominasi laki-laki dan (b) dominasi perempuan.

24) Gaya kepemimpinan guru laki-laki (X16) adalah peranan guru laki-laki dalam mempengaruhi perilaku responden. Pengukuran dikategorikan menjadi (a)

(26)

gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas.

25) Gaya kepemimpinan guru perempuan (X17) adalah peranan guru perempuan dalam mempengaruhi perilaku responden. Pengukuran dikategorikan menjadi (a) gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas.

26) Tokoh dominan dalam organisasi (X18) adalah individu antara perempuan dan laki-laki yang menduduki posisi/jabatan tertentu dalam organisasi, dikategorikan menjadi (a) dominasi laki-laki, (b) dominasi perempuan.

27) Gaya kepemimpinan tokoh laki-laki dalam organisasi (X19) adalah peranan tokoh laki-laki dalam mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam suatu organisasi, dikatgorika menjadi (a) gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas. 28) Gaya kepemimpinan tokoh perempuan dalam organisasi (X20) adalah

kecenderungan perilaku tokoh perempuan dalam mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam suatu organisasi. Pengukuran dikategorikan menjadi (a) gaya kepemimpinan otoriter, (b) gaya kepemimpinan demokratis, dan (c) gaya kepemimpinan masa bodoh/bebas.

29) Penilaian muatan nilai gender dalam media massa (X21) dikategorikan menjadi (a) menyukai acara yang mengandung nilai maskulin saja, (b) menyukai acara yang mengandung nilai feminin saja, (c) menyukai acara yang mengandung nilai gender, maskulin dan feminin.

Gambar

Gambar 1. Diagram Hubungan Antara Variabel Bebas dengan Variabel Tidak Bebas dalam Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil persentase luas area fraksi menunjukkan kadar DAG lebih tinggi pada suhu 160°C, hasil tersebut berhubungan dengan hasil kadar ALB yang menunjukkan bahwa asam lemak

Sudah sejak lama diketahui bahwa pengkulturan E. histolytica dari tinja atau abses liver kurang memberikan manfaat sebagai alat diagnostik, karena teknik ini lebih umum

Manfaat yang diharapkan dari penelitian eksperimen tentang efektivitas penggunaan media gambar seri untukmeningkatkan keterampilan bercerita siswa pada pembelajaran Tematik

selaku dosen pembimbing dan Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan

Permasalahan selanjutnya adalah tidak semua guru di sekolah terutama guru di tingkat Sekolah Dasar mampu membuat atau merancang alat peraga pembelajaran sebagai alat bantu

Berdasarkan beberapa definisi diatas, diharapkan dapat memperjelas arah pembahasan tentang masalah pembagian waris yang terjadi di Desa Kramat Jegu Kecamatan Taman

Larutan baku nitrit konsentrasi 1,4 ppm diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi Griess selanjutnya dibaca absorbansinya

keyakinan seseorang tentang tugas yang diberikan. Seluruh siswa mengatakan jika hanya mengandalkan kemampuan sendiri mereka merasa tidak yakin mampu memnyelesaikan