• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATALYTIC CRACKING MINYAK NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) MENJADI BIOFUEL MENGGUNAKAN KATALIS NiCr/ZEOLIT HIERARKI SKRIPSI RAIHAN HILMY ALIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CATALYTIC CRACKING MINYAK NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) MENJADI BIOFUEL MENGGUNAKAN KATALIS NiCr/ZEOLIT HIERARKI SKRIPSI RAIHAN HILMY ALIM"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

CATALYTIC CRACKING MINYAK NYAMPLUNG

(

Calophyllum inophyllum L.)

MENJADI BIOFUEL

MENGGUNAKAN KATALIS NiCr/ZEOLIT HIERARKI

SKRIPSI

RAIHAN HILMY ALIM

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

CATALYTIC CRACKING MINYAK NYAMPLUNG

(

Calophyllum inophyllum L.)

MENJADI BIOFUEL

MENGGUNAKAN KATALIS NiCr/ZEOLIT HIERARKI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh

RAIHAN HILMY ALIM

NIM : 11170960000042

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

ii

CATALYTIC CRACKING MINYAK NYAMPLUNG

(

Calophyllum inophyllum L.)

MENJADI BIOFUEL

MENGGUNAKAN KATALIS NiCr/ZEOLIT HIERARKI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh

RAIHAN HILMY ALIM

NIM : 11170960000042

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Isalmi Aziz M.T. Nanda Saridewi, M.Si

NIP. 19751110 200604 2 001 NIP. 19841021 200912 2 004

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kimia

Dr. La Ode Sumarlin,M.Si NIP. 19750918 200801 1 007

(4)

iii

Ketua Program Studi Kimia

Dr. La Ode Sumarlin, M.Si. NIP. 19750918 200801 1 007 PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “Catalytic Cracking Minyak Nyamplung (Calophyllum Inophyllum L.) menjadi Biofuel menggunakan Katalis NiCr/Zeolit Hierarki” yang ditulis oleh RAIHAN HILMY ALIM, NIM 11170960000042 telah diuji dan dinyatakan LULUS pada Sidang Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, 22 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S1) Program Studi Kimia.

Menyetujui, Mengetahui, Penguji I

Drs. Dede Sukandar, M.Si. NIP. 19740721 200212 2 002

Penguji II

Dr. Siti Nurbayti, M.Si. NIP. 19740721 200212 2 002 Pembimbing I Isalmi Aziz, MT. NIP. 19751110 200604 2 001 Pembimbing II

Nanda Saridewi, M.Si. NIP.19841021 200912 2 004

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

Ir. Nashrul Hakiem, Ph.D NIP. 19710608 200501 1 005

(5)
(6)

v ABSTRAK

RAIHAN HILMY ALIM. Catalytic Cracking Minyak Nyamplung (Calophyllum Inophyllum L.) menjadi Biofuel menggunakan Katalis NiCr/Zeolit Hierarki. Dibimbing oleh ISALMI AZIZ dan NANDA SARIDEWI

Minyak nyamplung dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel karena memiliki kadar minyak yang tinggi pada bijinya dan bersifat non edible oil sehingga tidak bersaing dengan kebutuhan pangan. Konversi minyak nyamplung menjadi biofuel dilakukan dengan proses catalytic cracking. Zeolit alam yang dikonversi menjadi bentuk hierarki (ZH) dapat digunakan sebagai penyangga katalis pada catalytic

cracking minyak nyamplung. Untuk meningkatkan kemampuan katalitiknya dapat

diimpregnasikan logam Ni dan Cr. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan karakteristik katalis NiCr/ZH dan kondisi optimum catalytic cracking minyak nyamplung meliputi waktu dan suhu. Zeolit hierarki disintesis melalui proses desilikasi dengan NaOH 0,5 M dan aktivasi dengan CH3COONH4 1 M. Kemudian dilakukan impregnasi dengan logam NiCr dan dikarakterisasi menggunakan instrumentasi XRD dan SAA. Proses catalytic cracking minyak nyamplung dilakukan dengan memvariasikan suhu (325, 350, dan 375oC) dan waktu (1, 2, dan 3 jam). Produk dianalisis kandungan senyawanya menggunakan instrumentasi GCMS. Hasil XRD katalis NiCr/ZH menunjukan munculnya puncak logam Ni dan Cr pada 2θ: 27,73 dan 28,4o. Hasil karakterisasi SAA menunjukkan luas permukaan, total volume pori, dan rata-rata diameter pori katalis NiCr/ZH sebesar 85,5232 m2/g, 0,1023 cc/g, dan 4,7869 nm. Kondisi proses catalytic cracking minyak nyamplung yang terbaik didapatkan pada suhu 375oC dan waktu 3 jam dengan selektivitas gasolin sebesar 30,87 %; kerosin 32,76 %; dan diesel 34,62 %.

(7)

vi ABSTRACT

RAIHAN HILMY ALIM. Catalytic Cracking of Nyamplung Oil (Calophyllum Inophyllum L.)into Biofuel using a NiCr / Zeolite Hierarchy Catalyst. Supervised by ISALMI AZIZ and NANDA SARIDEWI

Nyamplung oil can be used as a raw material for biofuel because it has a high oil content in the seeds and is non-edible oil so that it does not compete with food needs. The conversion of nyamplung oil into biofuel is carried out by a catalytic cracking process. Natural zeolite which is converted into hierarchical form (ZH) can be used as a catalyst buffer in the catalytic cracking of nyamplung oil. To increase its catalytic capability, Ni and Cr metals can be impregnated. The purpose of this study was to determine the characteristics of the NiCr/ZH catalyst and the optimum conditions for the catalytic cracking of nyamplung oil including time and temperature. Hierarchical zeolite was synthesized through a desilication process with 0.5 M NaOH and activation with 1 M CH3COONH4. Then impregnation with NiCr metal was carried out and characterized using XRD and SAA instrumentation. The catalytic cracking process of nyamplung oil was carried out by varying the temperature (325, 350, and 375oC) and time (1, 2, and 3 hours). The products were analyzed for their compound content using GCMS instrumentation. XRD results for NiCr/ZH catalysts showed the appearance of the peaks of Ni and Cr metals at 2θ: 27,73 and 28,4o. The results of SAA characterization showed that the surface area, total pore volume, and mean pore diameter of the NiCr/ZH catalyst were 85.5232 m2/g, 0.1023 cc/g, and 4.7869 nm. The best conditions for the catalytic cracking process of nyamplung oil were obtained at a temperature of 375oC and a time of 3 hours with a gasoline selectivity of 30.87%; kerosene 32.76%; and diesel 34.62%.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirohmaanirohiim

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Catalytic Cracking Minyak Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) menjadi Biofuel menggunakan Katalis NiCr/Zeolit Hierarki”. Pelaksanaan penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung baik moril maupun materil sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.

1. Isalmi Aziz M.T selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Nanda Saridewi M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini.

3. Drs Dede Sukandar, M.Si selaku dosen penguji I yang telah memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini

4. Dr Siti Nurbayti M.Si selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini

5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

viii

6. Nashrul Hakiem, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Keluarga tercinta yang telah membantu penulis dengan do’a, materil maupun moril.

8. Pak wahyu, kak adaw, kak pipit, dan kak nita yang telah banyak membantu di laboratorium.

9. Arian Rizki Wardana dan Muhammad Ihsan Maulana yang telah membantu selama kegiatan penelitian ini.

10. Teman-Teman angkatan 2017 yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang kimia serta dapat bermanfaat untuk masyarakat secara umum.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 22 Juli 2021

(10)

ix DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Hipotesis Penelitian ... 5 1.4 Tujuan Penelitian ... 6 1.5 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Katalis ... 7

2.2 Zeolit ... 9

2.3 Aktivasi Zeolit ... 12

2.4 Impregnasi ... 12

2.5 Logam Nikel (Ni) ... 14

2.6 Logam Kromium (Cr) ... 15

(11)

x

2.8 Perengkahan (Cracking) ... 19

2.8.1 Perengkahan Katalitik (Catalytic Cracking) ... 19

2.8.2 Perengkahan Termal (Thermal Cracking) ... 21

2.8.3 Hydrocracking... 22 2.9 Biofuel ... 23 2.9.1 Green Diesel... 23 2.9.2 Kerosen ... 24 2.9.3 Gasolin ... 25 2.10 Instrumentasi ... 25 2.10.1 X-Ray Diffraction (XRD) ... 25

2.10.2 Surface Area Analyzer (SAA) ... 27

2.10.3 Gas Cromatography Mass Spectrometry (GCMS) ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 36

3.2.1 Alat ... 36

3.2.2 Bahan... 36

3.3 Diagram Alir ... 37

3.4 Prosedur Kerja ... 38

3.4.1 Sintesis Zeolit Hierarki ... 38

(12)

xi

3.5 Karakterisasi Katalis ... 39

3.5.1 Karakterisasi menggunakan XRD ... 39

3.5.2 Karakterisasi menggunakan SAA ... 39

3.6 Uji Aktivitas Katalis ... 40

3.7 Analisis Senyawa Kimia menggunakan GCMS ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined. 4.1 Karakteristik Katalis NiCr/ZH ... Error! Bookmark not defined. 4.1.1 Hasil Analisis XRD ... Error! Bookmark not defined. 4.1.2 Hasil Analisis SAA ... Error! Bookmark not defined. 4.2 Hasil Uji Aktivitas Katalis ... Error! Bookmark not defined. BAB V PENUTUP ... 63

5.1 Simpulan ... 63

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1. Klasifikasi tanaman nyamplung ... 16 Tabel 2. Komposisi minyak nyamplung ... 19 Tabel 3. Ukuran kristal zeolit dan katalis ... Error! Bookmark not defined. Tabel 4. Hasil analisis SAA pada zeolit dan katalisError! Bookmark not defined.

Tabel 5. Komposisi asam lemak minyak nyamplungError! Bookmark not defined.

Tabel 6. Selektivitas produk catalytic cracking minyak nyamplung pada variasi waktu ... Error! Bookmark not defined. Tabel 7. Selektivitas produk catalytic cracking minyak nyamplung pada variasi suhu ... Error! Bookmark not defined.

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Tetrahedral silika dan alumina pada struktur zeolit ... 10

Gambar 2. Visualisasi pembentukan zeolit hierarki ... 11

Gambar 3. Mekanisme pertukaran ion zeolit ... 12

Gambar 4. Tanaman nyamplung ... 17

Gambar 5. Difraksi sinar-X pada kisi kristal ... 26

Gambar 6. Klasifikasi isoterm fisisorpsi. ... 29

Gambar 7. Jenis loop histeresis. ... 31

Gambar 8. Skema instrumen GCMS ... 33

Gambar 9. Skema kerja penelitian ... 37 Gambar 10. Pola difraktogram zeolit alam, zeolit hierarki (ZH), dan katalis

NiCr/ZH ... Error! Bookmark not defined. Gambar 11. Grafik Isoterm adsorpsi dan desorpsi (A) zeolit alam; (B) zeolit

hierarki; (C) NiCr/ZH ... Error! Bookmark not defined. Gambar 12. Distribusi ukuran pori (A) zeolit alam; (B) zeolit hierarki; (C)

NiCr/ZH ... Error! Bookmark not defined. Gambar 13. Jalur reaksi pembentukan biofuel pada proses catalytic cracking

minyak nyamplung ... Error! Bookmark not defined. Gambar 14. Dekomposisi molekul trigliserida ... Error! Bookmark not defined. Gambar 15. Reaksi penghilangan ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh ... Error! Bookmark not defined. Gambar 16. Reaksi deoksigenasi dan dehidrasi pada pembentukan hidrokarbon

dari asam lemak ... Error! Bookmark not defined. Gambar 17. Contoh reaksi oligomerisasi hidrokarbon rantai pendek menjadi

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Perhitungan sintesis katalis NiCr/ZH ... 73

Lampiran 2. Perhitungan ukuran kristal zeolit ... 74

Lampiran 3. Hasil XRD ... 75

Lampiran 4. Hasil SAA ... 78

Lampiran 5. Hasil analisis produk GCMS ... 81

Lampiran 6. Perhitungan selektivitas biofuel ... 88

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia namun hingga saat ini minyak bumi yang dapat diproduksi tidak mampu memenuhi kebutuhan yang ada di dalam negeri. Pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang mengamanatkan kebijakan diversifikasi energi nasional. Keputusan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menyatakan bahwa pemerintah harus mempercepat pelaksanaan penggunaan energi alternatif atau substitusi bahan bakar guna mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) (Agus et al., 2014). Salah satu bahan bakar alternatif terbarukan yang dikembangkan dalam menghadapi krisis kebutuhan BBM adalah biofuel (Abimanyu H dan Hendrana S, 2014).

Biofuel merupakan bahan bakar alternatif dalam bentuk padat, cair atau

gas yang berasal dari hewan, tumbuhan, ataupun sisa-sisa hasil pertanian (Supraniningsih, 2012). Pada penelitian ini biofuel yang diperoleh berasal dari tumbuhan yaitu minyak nyamplung yang dihasilkan dari biji pada buah nyamplung. Minyak nyamplung dapat digunakan sebagai bahan baku biofuel dikarenakan biji nyamplung memiliki kadar minyak yang tinggi serta nonedibble

oil sehingga dalam pemanfaatannya tidak bersaing dengan kebutuhan pangan

(Susila, 2018). Biofuel dapat dihasilkan dari reaksi perengkahan minyak nyamplung menggunakan katalis melalui proses dekomposisi molekul trigliserida.

(17)

2 Proses pembuatan biofuel dapat dilakukan dengan thermal cracking,

hydrocracking, dan catalytic cracking. Thermal cracking membutuhkan tekanan

dan suhu yang tinggi yaitu 700 KPa dan suhu 455-800°C. Sedangkan pada

hydrocracking membutuhkan gas H2 dalam prosesnya sehingga dibutuhkan peralatan khusus yang dapat meningkatkan biaya. Oleh karena itu saat ini banyak dikembangkan proses catalytic cracking dengan kondisi suhu yang lebih rendah dibanding dengan thermal cracking dan peralatan yang lebih sederhana dibanding

hydrocracking (Rodrigues et al., 2014).

Catalytic cracking (perengkahan katalitik) merupakan suatu proses

pemecahan molekul hidrokarbon rantai panjang dengan menggunakan bantuan katalis. Katalis umumnya terdiri dari komponen aktif, promotor, dan penyangga (support), dimana komponen aktif dan promotor pada katalis dapat berupa logam transisi (Oxtoby et al., 2003). Logam yang digunakan adalah Ni dan Cr. Logam Ni dan Cr dipilih karena keduanya mempunyai orbital d belum penuh yang dapat meningkatkan situs aktif pada katalis (Evans, 1987). Peningkatan situs aktif katalis ini akan meningkatkan aktivitas perengkahan minyak nyamplung. Nindita (2015) menggunakan katalis zeolit alam dengan paduan logam Ni sebagai komponen aktif dan logam Cr sebagai promotornya dalam pembuatan BBM dari sampah plastik dengan metode thermal dan catalytic cracking. Penggunaan logam NiCr pada zeolit dapat meningkatkan konversi dan selektivitas fraksi gasolin.

Adapun keunggulan logam Ni sebagai komponen aktif pada katalis yaitu ikatan yang dibentuk antara logam Ni dengan reaktan cenderung lemah sehingga produk reaksi dapat mudah terlepas dari permukaan katalis. Proses reaksi dapat berjalan lebih cepat, meskipun produk mempunyai panjang (range) rantai karbon

(18)

3 yang cukup besar (Sterrfield, 1991). Penggunaan logam Ni sebagai katalis juga diketahui memiliki efisiensi yang baik dalam membentuk paduan (alloy) dengan logam mulia maupun dengan logam transisi lainnya, paduan ini membuat nikel lebih mudah untuk mengembangkan berbagai sistem bimetalik pada aplikasi katalitik (Sudipta et al., 2016).

Penyangga yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam. Kelebihan zeolit alam sebagai penyangga pada katalis yaitu memiliki struktur yang berpori sehingga memperbesar luas permukaan, mempunyai situs asam Bronstead dan Lewis dan ketersediaanya melimpah. Zeolit alam umumnya digunakan untuk penjernihan air, pupuk, adsorben dan katalis (Margeta et al., 2013). Banyaknya pemanfaatan zeolit ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu ciptaan Allah SWT yang terdapat di langit dan di bumi ini tidak lain agar manusia berfikir. Hal ini difirmankan Allah SWT dalam surat Al- Baqarah ayat 29 :

Artinya : Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi

untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia

menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Tafsir (Quraish Shihab, 2002), semua itu adalah karunia Allah yang dianugerahkan kepada manusia sebagai tanda kemurahan-Nya, agar dengan demikian manusia dapat mensyukurinya. Amat banyak lagi karunia Allah yang lain yang belum ditemukan manusia, karena itu hendaklah manusia berusaha dan berpikir bagaimana menemukannya. Berdasarkan tafsir (Quraish Shihab, 2002)

(19)

4 kita sebagai manusia harus memanfaatkan sebaik mungkin hal yang dapat diambil dan dimanfaatkan dari segala ciptaan Allah yang ada di bumi ini salah satu contohnya pada penelitian ini yaitu zeolit.

Zeolit alam memiliki ukuran pori yang hanya satu jenis yaitu mikropori. Ukuran pori tersebut menyebabkan terjadinya hambatan difusi pada molekul-molekul yang akan bereaksi sehingga relatif sulit untuk menuju situs aktif yang terdapat dalam pori, hal ini menyebabkan reaksi yang berlangsung sebagian besar terjadi pada permukaan luar zeolit (Wang et al., 2013). Untuk mengatasi hal tersebut, maka zeolit dimodifikasi kedalam bentuk hierarki agar memiliki ukuran pori yang lebih besar. Song et al., (2018) menyatakan bahwa ZSM-5 dalam bentuk hierarki meningkatkan sifat katalitik dari katalis sehingga lebih aktif pada proses perengkahan katalitik 1,3,5-tri-isopropilbenzena dibandingkan dengan ZSM-5 konvensional.

Agus et al.,(2014) melakukan catalytic cracking minyak nyamplung menjadi biofuel dengan menggunakan katalis Zn-HZSM-5 dan didapatkan rendemen biofuel dengan komposisi solar tertinggi pada suhu 400°C sebesar 60%. Rasyid et al.,(2014) melakukan hydrocracking minyak nyamplung menggunakan katalis CoMo/alumina non sulfida pada suhu 350oC, diperoleh hasil biofuel terbaik pada konsentrasi katalis 10% dengan selektivitas gasolin sebesar 25,63%, kerosin 17,31%, dan gasoil 38,59%. Febriyani (2019) melakukan catalytic

cracking crude biodiesel menggunakan katalis Cr2O3/zeolit menghasilkan selektivitas gasolin sebesar 7,23%. Aziz et al.,(2019) menggunakan zeolit alam Lampung yang diaktivasi pada catalytic cracking minyak jarak pagar menjadi

(20)

5 375oC), didapatkan kondisi terbaik pada waktu 2 jam dan suhu 375oC dengan yield 47,20%. Ghustama (2020) melakukan sintesis dan karakterisasi zeolit hierarki terimpreg logam NiCo untuk catalytic cracking minyak jarak pagar, didapatkan katalis dengan selektivitas terbaik pada perbandingan logam 8:2 dengan hasil gasolin sebesar 59,47%; kerosin 10,15%; dan diesel 7,83%. Oleh sebab itu digunakan juga perbandingan logam 8:2 pada penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka pada penelitian ini dilakukan

catalytic cracking minyak nyamplung menggunakan katalis NiCr/Zeolit hierarki.

Konsentrasi logam yang diimpregnasi ke zeolit hierarki sebanyak 10 % dengan ratio logam Ni:Cr sebesar 8:2, Katalis yang digunakan diuji karakteristiknya meliputi kristalinitas (XRD), luas permukaan, volume pori dan diameter pori (SAA). Selanjutnya katalis diuji aktivitasnya pada perengkahan katalitik minyak nyamplung dengan memvariasikan waktu (1, 2 dan 3 jam) dan suhu (325, 350 dan 375oC). Kondisi optimum katalis pada proses catalytic cracking minyak nyamplung ditentukan berdasarkan selektivitas fraksi gasolin terbesar.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana karakteristik dari katalis NiCr/zeolit hierarki yang dihasilkan ? 2. Bagaimana pengaruh waktu dan suhu terhadap selektivitas biofuel yang

dihasilkan dari catalytic cracking minyak nyamplung menggunakan katalis NiCr/zeolit hierarki ?

1.3 Hipotesis Penelitian

(21)

6 1. Katalis NiCr/zeolit hierarki memiliki karakteristik yang baik untuk

digunakan sebagai catalytic cracking.

2. Waktu dan suhu memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap selektivitas

biofuel yang dihasilkan dari catalytic cracking minyak nyamplung

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan karakteristik katalis NiCr/zeolit hierarki meliputi kristalinitas, luas permukaan, volume pori, dan diameter pori

2. Menentukan kondisi optimum catalytic cracking minyak nyamplung menggunakan katalis NiCr/zeolit hierarki meliputi waktu dan suhu reaksi. 1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik katalis NiCr/zeolit hierarki dan aplikasinya pada perengkahan katalitik minyak nyamplung menjadi biofuel.

(22)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katalis

Katalis merupakan zat yang dapat meningkatkan laju reaksi tanpa ikut terlibat dalam suatu reaksi tetapi pada hasil reaksi akan terpisah kembali, sehingga nantinya akan didapatkan kembali. Katalis berfungsi dalam menurunkan energi aktivasi pada suatu reaksi. Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi (Thomas dan Thomas, 1997).

Katalis terbagi menjadi 3 jenis yaitu sebagai berikut : 1. Katalis Homogen

Katalis homogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang sama dengan reaktannya. Reaksi yang terjadi pada katalis jenis ini bersifat sangat spesifik dan dapat menghasilkan selektivitas yang tinggi dan biasanya dilakukan pada kondisi operasi yang tidak terlalu sulit. Beberapa contoh reaksi katalis homogen yaitu dekomposisi potasium klorat dengan NO2, hidrolisis ester dengan katalis asam (cair-cair), dan oksidasi SO2 dengan NO2 (uap-uap)(Thomas dan Thomas, 1997).

Walaupun secara operasional reaksi katalis homogen lebih mudah, namun dalam industri katalis homogen jarang digunakan. Hal ini disebabkan perlu adanya peralatan tambahan dalam memurnikan produk dari katalis homogen. Sulitnya memisahkan katalis dari sistem reaksinya menjadi salah satu kelemahan utama dari penggunaan katalis homogen (Thomas dan Thomas, 1997).

(23)

8 2. Katalis Heterogen

Katalis heterogen adalah katalis yang memiliki fasa yang berbeda dengan reaktan. Misalnya katalis pendukung (supported catalyst) dan katalis bulk (bulk

catalyst). Katalis pendukung dapat dibedakan menjadi oksida, sulfide, supported

logam, dan supported basa. Sedangkan katalis bulk sebagian besar terdiri dari material yang aktif, seperti alumina, silika, besi molibdat, dan katalis Zn-Cr oksida (Whyman, 1994). Katalis heterogen memiliki kelebihan mudah dipisahkan dari produknya namun yield yang diperoleh terkadang tidak terlalu besar. Mekanisme yang terjadi pada katalis heterogen yaitu melibatkan proses adsorpsi dan desorpsi. Proses adsorpsi akan membawa molekul reaktan ke tempat sisi aktif dari katalis yang akan mengubah sifat dari reaktan, membentuk senyawa

intermediet tertentu, kemudian produk akan dilepaskan dari permukaan melalui

proses desorpsi (Whyman, 1994).

Katalis heterogen tersusun dari komponen yang dapat menunjang fungsi dan sifat katalis yang diinginkan. Komponen-komponen tersebut meliputi (Nasikin dan Susanto, 2010) :

a. Komponen aktif

Merupakan bagian yang bertugas mengarahkan dan mempercepat reaksi. Oleh sebab itu, komponen aktif harus dapat secara aktif mengkonversi reaktan dan selektif dalam pembuatan produk.

b. Penyangga

Penyangga berfungsi sebagai tempat distribusi fasa aktif dengan tujuan memperluas permukaan kontak antara fasa aktif dengan reaktan, tanpa mengurangi aktivitas fasa aktif itu sendiri. Selain itu, fungsi lainnya adalah

(24)

9 sebagai permukaan yang stabil dimana inti aktif terdistribusi sedemikian rupa sehingga sintering dapat dikurangi. Penyangga harus tahan terhadap pertumbuhan kristal yang disebabkan oleh panas. Pertimbangan untuk mendapatkan penyangga yang optimal terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu bentuk fisik, porositas, luas permukaan, sifat adsorpsi, kestabilan kimia, dan ketahanan terhadap suhu.

c. Promotor

Promotor ditambahkan dalam jumlah kecil untuk meningkatkan kinerja katalis pada saat pembuatan katalis dalam bentuk aktivitas, selektivitas, dan stabilitas yang diinginkan. Selain itu promotor digunakan untuk mencegah aktivitas yang tidak diinginkan seperti pembentukan deposit karbon.

3. Biokatalis

Biokatalis adalah katalis yang terdapat pada suatu mahluk hidup, misalnya enzim, immobilized enzim dan proses bio katalitik pada sel (Thomas dan Thomas, 1997).

2.2 Zeolit

Zeolit merupakan mineral alumina silikat terhidrat yang tersusun dari tetrahedral alumina (AlO45-) dan silika (SiO44-) yang membentuk struktur bermuatan negatif dan berongga terbuka/berpori. Muatan negatif pada kerangka zeolit dinetralkan oleh kation yang terikat lemah sehingga dapat ditukar dengan kation lain. Rumus umum zeolit : Mx/n [(AlO2)x(SiO2)y].mH2O, dimana M adalah kation bervalensi n, (AlO2)x(SiO2)y adalah kerangka zeolit yang bermuatan negatif, dan H2O adalah molekul air yang terhidrat dalam kerangka zeolit (Nindita, 2015).

(25)

10 Gambar 1. Tetrahedral silika dan alumina pada struktur zeolit (Las, 2004)

Zeolit merupakan suatu kristal berongga yang terbentuk oleh jaringan silika alumina tetrahedral tiga dimensi seperti pada Gambar 1. Selain itu zeolit memiliki struktur yang relatif teratur dengan adanya kation penyeimbang muatan kerangka yang terletak di dalam ruang pori yaitu ion-ion logam berupa alkali atau alkali tanah serta molekul air yang dapat bergerak bebas. Kerangka dasar struktur zeolit tersusun dari unit-unit tetrahedral (AlO4)5- dan (SiO4)4- yang saling berhubungan melalui ikatan antar atom oksigen dan di dalam struktur tersebut Si4+ dapat diganti Al3+ dengan substitusi isoformik (Martinez dan Pariente, 2011).

Zeolit hierarki merupakan zeolit yang dimodifikasi sehingga mempunyai dua ukuran pori yaitu mikro (< 2 nm) dan mesopori (2-50 nm). Kelebihan dari zeolit hierarki ini yaitu memberikan penambahan akses reaktan yang disebabkan oleh terbentuknya mesopori sehingga memungkinkan reaktan dapat mencapai sisi aktif pada bagian dalam dengan lebih baik. Hal ini menyebabkan peningkatan aktifitas katalitik dan waktu pakai dari katalis. Zeolit hierarki dapat disintesis dengan berbagai metode diantaranya dengan penghilangan penyusun kerangka zeolit seperti desilikasi, dealuminasi, demetalasi, dan iradiasi (Feliczak-Guzik, 2018).

(26)

11

Gambar 2. Visualisasi pembentukan zeolit hierarki (Wei et al., 2015) Gambar 2 menunjukan pembentukan mesopori pada zeolit dengan menggunakan metode desilikasi. Desilikasi merupakan salah satu metode yang digunakan untuk membentuk mesopori pada suatu zeolit. Metode ini didasarkan pada penghilangan kerangka material zeolit dengan prinsip yang digunakan yaitu ekstraksi selektif terhadap atom silika (Si). Pembentukan sistem pori tambahan pada zeolit setelah melalui proses desilikasi akan mempengaruhi sifat-sifat struktural seperti aktivitas, selektivitas, dan kestabilan zeolit. Perlakuan desilikasi biasanya disebut sebagai alkali treatment karena dalam prosesnya menggunakan larutan alkali dan biasanya basa kuat seperti NaOH dan KOH. Zeolit hasil dari desilikasi memiliki tingkat rasio Si/Al yang rendah dan memiliki perubahan sifat asam yang kecil (Wei et al., 2015).

(27)

12 2.3 Aktivasi Zeolit

Aktivasi zeolit merupakan suatu perlakuan yang bertujuan untuk memperoleh zeolit dengan daya guna tinggi dengan cara menghilangkan pengotor-pengotor organik maupun anorganik yang menutupi pori-pori pada zeolit. Proses aktivasi zeolit dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara fisika dan kimia. Secara fisika aktivasi zeolit dilakukan dengan cara pemanasan yang bertujuan menguapkan air yang terperangkap pada pori-pori zeolit. Secara kimia aktivasi zeolit dilakukan dengan larutan Na2EDTA maupun dengan asam-asam anorganik seperti HF, H2SO4, dan HCl untuk menghilangkan oksida-oksida pengotor yang menutupi permukaan pori (Weitkamp,1999).

Gambar 3. Mekanisme pertukaran ion zeolit (Szerement et al., 2014) Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa zeolit memiliki kation logam sebagai penyeimbang muatan. Untuk meningkatkan sifat katalisator dari zeolit dapat dilakukan dengan mengganti ion logam dengan ion hidrogen. Penambahan ion ammonium akan menyebabkan terjadinya pertukaran kation antara ion logam alkali dengan ion ammonium. Proses kalsinasi menyebabkan ion ammonium terurai dan melepaskan molekul amoniak, sehingga permukaan zeolit dipenuhi oleh ion-ion hidrogen (Szerement et al., 2014).

2.4 Impregnasi

Impregnasi merupakan proses preparasi katalis dengan cara mengadsorpsikan garam prekursor yang mengandung komponen aktif logam di

(28)

13 dalam larutan kepada padatan pengemban. Impregnasi bertujuan untuk menyisipkan larutan logam aktif ke dalam pori-pori suatu penyangga melalui proses adsorpsi logam, yaitu dengan cara merendam suatu penyangga ke dalam larutan yang mengandung logam aktif yang disertai pemanasan. Pembuatannya dilakukan dengan mengontakkan padatan penyangga katalis dengan larutan logam aktif yang mengandung senyawa terlarut dalam air atau pelarut lainnya (Taufiq, 1995).

Metode impregnasi terbagi jadi 2 jenis yang didasarkan pada volume larutan prekursor yang digunakan, antara perbandingan volume prekursor yang akan diimpregnasikan dengan volume pori support. Metode ini yaitu (Taufiq, 1995):

a. Impregnasi Kering

Pada metode impregnasi ini, material yang diimpreg harus dijaga tetap dalam kondisi kering. Volume larutan fasa aktif dibuat sebanding dengan volume pada pori penyangga, yaitu berkisar 1-1,2 kali dengan volume pori penyangga. Perbandingan ini dilakukan agar nantinya jumlah antara larutan prekursor dengan pori yang tersedia pada pengemban adalah sama, untuk itu maka volume pori penyangga perlu diketahui untuk menentukan volume larutan prekursor yang dapat digunakan.

b. Impregnasi Basah

Pada metode impregnasi ini prekursor berupa larutan yang mengisi pori dari penyangga. Volume larutan prekursor fasa aktif lebih besar dari 1,5 kali volume pori penyangga. Penggunaan pelarut pada impregnasi basah ini lebih banyak dibandingkan dengan metode pada impregnasi kering. Pada impregnasi

(29)

14 basah, penyangga dilarutkan dengan larutan prekursor yang mengandung senyawa logam, dengan perbandingan volume larutan prekursor lebih banyak dibandingkan pori-pori penyangga, setelah itu dikeringkan. Tujuan dikeringkan adalah untuk menghilangkan sisa air. Selanjutnya, dikalsinasi bertujuan untuk mendekomposisi garam logam menjadi oksida logam dan meningkatkan stabilitas katalis terhadap perubahan temperatur.

Kelebihan dengan impregnasi basah, yaitu pembuatannya sederhana, murah, dan pembuatan logam dapat dilakukan berulang kali. Selain itu, kekurangan dari impregnasi basah, yaitu jumlah logam yang terimpregnasi sangat bergantung pada kelarutan senyawa logam tersebut (Taufiq, 1995).

2.5 Logam Nikel (Ni)

Logam Ni banyak dipergunakan secara luas pada industri petroleum. Logam ini selain memiliki harga yang relatif terjangkau, juga mempunyai daya adsorpsi yang kuat terhadap reaktan. Katalis Ni dapat mengadsorpsi gas hidrogen pada daerah permukaannya dan mengaktifkan ikatan hidrogen, sehingga nantinya gas hidrogen dapat menjadi lebih mudah bereaksi. Semakin luas permukaan pada logam katalis, maka semakin banyak gas hidrogen yang dapat diserap. Demikian pula hal nya dengan semakin besar luas permukaan, maka kontak yang terjadi antara zat yang bereaksi juga bertambah banyak, sehingga kecepatan reaksi juga bertambah besar (Hart, 2004).

Logam Ni memiliki nomor atom 28 dengan konfigurasi elektron [18Ar] 3d8 4s2 (Genchi et al.,2020). Konfigurasi elektron tersebut memperlihatkan bahwa Ni mempunyai orbital atom 3d yang belum terisi penuh. Adanya orbital d yang belum terisi penuh ini menyebabkan logam Ni mempunyai sifat katalitik aktif

(30)

15 serta daya adsorpsi yang kuat terhadap reaktan sehingga akan terbentuk suatu senyawa intermediet antar reaktan dengan meningkatkan laju reaksi dan menurunkan energi aktivasi reaksi (Campbell, 1988). Sifat logam juga dapat ditentukan oleh elektron yang mengisi orbital d yang kosong ini. Keadaan ini akan menentukan sifat nikel, seperti sifat magnetik, struktur padatan, dan kemampuannya dalam membentuk senyawa kompleks (Augustine, 1996).

Nikel merupakan logam transisi yang bersifat ulet, keras, mudah ditempa, sedikit ferromagnetis, dan memiliki jari-jari atom 124 ppm dengan parameter kisi 0,352 nm yang berbentuk kubus. Komponen aktif logam disisipkan ke dalam sistem pori pengemban dengan menggunakan garam logamnya, seperti nitrat, sulfat, klorida, atau oksalat. Pada logam nikel garam yang biasa digunakan adalah garam nitrat yaitu Ni(NO3)2.6H2O (Augustine, 1996).

2.6 Logam Kromium (Cr)

Kromium (Cr) merupakan logam transisi yang memiliki konfigurasi elektron [18Ar] 4s1 3d5 dengan nomor atom 24 dan massa atom relatif 51,996 gram/mol, titik leleh 1875oC, titik didih 2665oC, dan jari-jari atom 128 pm (Sugiyarto, 2012). Logam krom di alam, tidak ditemukan dalam keadaan murni tetapi ditemukan dalam bentuk persenyawaan padat atau mineral dengan unsur-unsur lain. Sifat kimia logam krom mempunyai bilangan oksida +2, +3, dan +6 (Cotton, 1989).

Logam kromium memiliki aktivitas katalitik karena dipengaruhi oleh keberadaan elektron pada orbital 3d yang berbaur dengan keadaan elektronik orbital s dan p terdekat yang terdegenerasi. Akibatnya akan terbentuk keadaan elektronik berenergi rendah dalam jumlah besar dan adanya orbital kosong yang

(31)

16 dapat digunakan sebagai situs katalitik logam. Permukaan logam Cr baik dalam bentuk logam murni maupun oksidanya pada reaksi katalitik, dapat membentuk dan memutuskan ikatan rangkap atau mengatomkan molekul diatomik seperti H2 (Dewi dan Novriyansyah, 2016). Peranan logam Cr dalam mekanisme reaksi perengkahan hidrokarbon, cenderung berperan dalam proses dehidrogenasi dan membantu dalam meningkatkan hasil perengkahan karena pada mekanisme dehidrogenasi dimungkinkan terjadinya pemutusan pada ikatan C-C (Sibarani, 2012).

2.7 Minyak Nyamplung

Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam marga Callophylum yang penyebarannya cukup luas di dunia yaitu mulai dari Amerika Selatan, Asia Tenggara dan Selatan, Hindia Barat, Kepulauan Pasifik, Madagaskar, dan Afrika Timur. Nyamplung pada taksonomi diklasifikasikan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi tanaman nyamplung (Susila, 2018)

Kingdom Plantae

Divisi Magnoliophyta

Kelas Magnoliopsida

Ordo L Malpighiales

Family Clusiaceae (Guttiferae)

Genus Calophyllum

Spesies Calophyllum inophyllum L.

Tanaman nyamplung adalah genus dari ± 200 spesies tumbuhan hijau yang berasal dari suku Clusiaceae. Tinggi tanaman nyamplung mencapai 30 meter dengan ukuran diameter yang mencapai 0,8 meter. Tanaman nyamplung memiliki daun yang mengkilap, batang pohon nya berwarna putih hingga abu-abu. Warna kayu pada pohon ini memiliki berbagai variasi tergantung dari spesiesnya. Tumbuhan ini dapat membesar dengan ketinggian sampai 40 feet (kaki). Batang

(32)

17 pada pohon ini berwarna kelabu pada bagian luar tetapi berwarna merah muda pada bagian dalamnya. Daun tanaman ini berukuran 3-5 inci yang berwarna hijau, bulat memanjang, berujung tumpul, pangkal berbentuk bulat, tepi rata dengan daun yang memiliki bentuk tulang menyirip. Tanaman ini memiliki buah yang lebat, berwarna kuning keperakan dengan biji yang terselimuti tempurung. Biji tanaman ini memiliki produktivitas per hektar yaitu sebesar 10 ton atau total produksinya sebesar 500 ribu ton (Susila, 2018).

Gambar 4. Tanaman nyamplung (Susila, 2018)

Nyamplung (Calophyllum Inophyllum L.) (Gambar 4) merupakan jenis tanaman yang memiliki dayaguna yang cukup luas. Di samping kayunya dapat digunakan baik sebagai bahan konstruksi bangunan dan meubelair, buahnya juga dapat digunakan untuk kesehatan dan penghasil minyak (biofuel) yang kadar

(33)

18 oktan-nya cukup tinggi. Kelebihan buah nyamplung sebagai bahan baku biofuel adalah bijinya memiliki rendemen minyak yang cukup tinggi (bisa mencapai 74%), dan dalam pemanfaatannya buah nyamplung tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Beberapa keunggulan tanaman nyamplung ditinjau dari prospek pemanfaatan dan pengembangannya sebagai bahan baku biofuel, antara lain ; tanaman nyamplung tersebar merata dan tumbuh secara alami di Indonesia; regenerasi mudah dan berbuah sepanjang tahun sehingga menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan; tanaman relatif mudah dibudidayakan baik tanaman sejenis (monoculture) atau hutan campuran (mixed-forest) dan cocok di daerah beriklim kering (Susila, 2018).

Distribusi tanaman nyamplung di Indonesia tersebar di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Jawa, Sulawesi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, hingga Nusa Tenggara Timur dan Papua. Di daerah jawa terdapat luas lahan tanaman nyamplung yang seluas 165,7 Ha yang memiliki potensi buah sebesar 791,5 ton/tahun (Balitbanghut, 2008). Hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan dapat menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi; dan pemanfaatan biofuel dengan tanaman nyamplung dapat menekan laju penebangan pohon hutan sebagai kayu bakar; serta memiliki produktivitas biji yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya, jarak pagar 5 ton/ha; sawit 6 ton/ha; nyamplung 20 ton/ha, (Susila, 2018).

(34)

19 Tabel 2. Komposisi minyak nyamplung (Susila, 2018)

No. Jenis Asam Lemak Kadar (%)

1.

2.

Asam Lemak Jenuh -Asam Palmitat (C16:0)

-Asam Stearat (C18:0) Asam Lemak Tidak Jenuh

-Asam Oleat (C18:1) -Asam Linoleat (C18:2) -Asam Linoleat (C18:3) 28,33 15,97 12,36 67,72 42,67 23,66 1,39

Pada Tabel 2 dijelaskan bahwasanya komposisi minyak nyamplung sebagian besar didominasi oleh asam lemak tak jenuh dengan kadar hingga 67,72 % dengan beberapa jenis asam lemak yang dikandungnya, seperti asam palmitoleat (C16:1), oleat (C18:1), linoleat (C18:2) serta linoleat (C18:3).

2.8 Perengkahan (Cracking)

Perengkahan atau cracking merupakan proses konversi molekul organik kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang disebabkan oleh putusnya rantai karbon dalam rantai molekul tersebut. Mekanisme yang terjadi pada reaksi perengkahan pada dasarnya bukan hanya mekanisme pemecahan rantai hidrokarbon panjang menjadi pendek, namun juga dapat terjadi reaksi isomerisasi, siklikasi, dan polimerisasi. Laju perengkahan dan produk akhirnya bergantung pada beberapa faktor antara lain temperatur dan keberadaan katalis. Jenis perengkahan yang sering digunakan pada industri umumnya ada tiga macam yakni perengkahan katalitik, perengkahan termal, dan hydrocracking (Fessenden & Fessenden, 1981).

2.8.1 Perengkahan Katalitik (Catalytic Cracking)

Perengkahan katalitik merupakan proses konversi fraksi berat menjadi fraksi rantai pendek yang lebih sederhana dengan menggunakan bantuan katalis. Konsep perengkahan katalitik pada dasarnya sama dengan perengkahan termal.

(35)

20 Proses dasar perengkahan termal adalah pemecahan atau dekomposisi fraksi berat seperti minyak bumi menjadi fraksi ringan dengan bantuan panas, namun perengkahan katalitik dengan bantuan katalis memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan perengkahan termal. Gasolin yang diproduksi dari hasil perengkahan katalitik memiliki angka oktan lebih tinggi dan jumlah yang dihasilkan lebih besar dibandingkan perengkahan termal (Speight, 2010).

Perengkahan katalitik akan menyebabkan terjadinya interaksi antara katalis dengan reaktan sehingga menghasilkan senyawa yang lebih aktif serta mampu meningkatkan kecepatan dan laju reaksi terhadap reaktan. Penggunaan katalis logam pengemban digunakan untuk mengarahkan dua macam reaksi, yaitu adisi dan perengkahan (Gates, 1992). Metode perengkahan katalitik terjadi melalui pembentukan ion karbonium. Ion karbonium atau karbokation ini dapat terbentuk melalui berbagai jalan, diantaranya melalui interaksi antara asam kuat dengan olefin (Gates, 1992) seperti pada persamaan reaksi 1 berikut:

R1-CH=CH-R2 + H+ (1) Ion karbonium yang sudah terbentuk dapat mengalami pemutusan rantai pada posisi beta (pemutusan ikatan C-C pada lokasi β) untuk membentuk rantai hidrokarbon baru (persamaan 2).

R1 + CH2=CH-R2 (2) Reaksi perengkahan menyebabkan ion karbonium juga mengalami reaksi isomerisasi. Kestabilan karbonium mengalami peningkatan seiring dengan urutan bentuk yaitu karbonium tersier > sekunder > primer > metil. Karbonium primer mempunyai kecenderungan untuk mengalami isomerisasi menjadi karbonium

(36)

21 sekunder atau tersier melalui penataan ulang yang melibatkan baik pergeseran metil maupun pergeseran hidrogen (Gates, 1992).

2.8.2 Perengkahan Termal (Thermal Cracking)

Perengkahan termal reaksinya menggunakan temperatur yang tinggi yaitu pada rentang 425–650°C tanpa menggunakan katalis sehingga menghasilkan fragmen radikal bebas yang cenderung akan mengalami oligomerisasi. Mekanisme yang terjadi perengkahan termal yakni hidrokarbon akan mengalami perengkahan termal melalui pembentukan radikal bebas pada temperatur tinggi (Sadeghbeigi, 2000). Awalnya terjadi pemecahan homo pada ikatan C-C pada persamaan 3.

R1 — CH2 — CH2 — R2 (3) Radikal-radikal tersebut dapat membentuk etilena dan radikal primer selanjutnya. Menurut aturan β empiris, pemutusan ikatan terjadi pada ikatan C-C yang posisinya β terhadap atom C yang memiliki elektron tidak berpasangan. Reaksi pada persamaan 4 memperlihatkan terjadinya pemutusan ikatan C-C.

R — CH2 — CH2 — CH3 (4)

Radikal primer yang baru terbentuk mengalami pemutusan β sehingga menghasilkan etilena dan radikal dengan jumlah atom C yang lebih kecil sampai radikal metil terbentuk. Radikal metil selanjutnya mengambil radikal hidrogen sehingga terbentuk metana dan radikal sekunder. Radikal sekunder ini mengahasilkan olefin dan radikal primer yang dapat dilihat pada persamaan 5.

(37)

22 CH3 — RCH2(CH2)5CH3 (5) (Sadeghbeigi, 2000). 2.8.3 Hydrocracking

Hydrocracking merupakan salah satu metode pemutusan rantai panjang

hidrokarbon menjadi rantai pendek yang terjadi dengan bantuan katalis bifungsional dan hidrogen. Proses hydrocracking ini mengkonsumsi sedikit energi termal dan adanya gas hidrogen mampu meminimalkan pembentukan coke sehingga memperlambat deaktivasi katalis oleh pore blockage (Sotelo-Boyas et al., 2012). Mekanisme proses konversi trigliserida diawali dengan proses penjenuhan ikatan rangkap trigliserida. Selanjutnya terjadi proses reaksi pemotongan ikatan yang mengarah ke pembentukan produk antara diglycerides,

monoglycerides, asam karboksilat, dan wax. Produk antara tersebut akhirnya

ditransformasi menjadi hidrokarbon dengan 3 (tiga) cara yaitu: dekarboksilasi, dekarbonilasi, hidrodeoksigenasi. Produk samping proses hydrocracking ini adalah CO, CO2 dan H2O. Adapun uraian lengkap reaksi utama hydrocracking minyak nabati adalah sebagai berikut (Sotelo-Boyas et al., 2012) :

1. Reaksi dekarboksilasi, reaksi ini bertanggung jawab pada proses pembentukkan CO2.

(38)

23 2. Reaksi dekarbonilasi, reaksi-reaksi ini menghasilkan hidrokarbon utama dengan bilangan karbon yang ganjil. Sebagai byproduct adalah H2O dan CO C17H35COOH +H2 C17H36 +H2O +CO (catalytic reaction) C17H35COOH C15H31CH=CH2 + H2O +CO (thermal

reaction)

3. Reaksi reduksi (hidrodeoksigenasi), Tidak seperti reaksi dekarbonilasi, reduksi minyak nabati menghasilkan hidrokarbon utama dengan bilangan karbon yang genap dan air.

C17H35COOH +3H2 C18H38 + 2H2O 2.9 Biofuel

Biofuel merupakan bahan bakar yang bersumber dari bahan organik yang

juga dinamakan non-fosil energi. Saat ini, biofuel ditemukan dalam bentuk padatan, cair, dan gas yang diperoleh dari material organik baik secara langsung dari tanaman ataupun secara tidak langsung dari proses industri, domestik, komersial atau limbah hasil pengolahan budidaya pertanian. Biofuel yang sumbernya berasal dari tumbuhan biasanya disebut dengan bahan bakar nabati. Bahan bakar nabati (BBN) yaitu semua bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. BBN dapat terbagi menjadi fraksi green diesel, kerosen, dan gasolin (Supraniningsih, 2012).

2.9.1 Green Diesel

Green diesel adalah bahan bakar transportasi generasi terbaru yang

muncul karena kebutuhan bahan bakar alternatif yang kompatibel dengan otomotif. Green diesel adalah campuran hidrokarbon dengan rantai C16-C20 seperti diesel yang diproduksi melalui suatu reaksi katalitik yang melibatkan proses

(39)

24 hidroprosesor dan dekarboksilasi atau dekarbonilasi trigliserida dari berbagai bahan baku yang diperoleh dari hasil pertanian atau perkebunan (Sari, 2013).

Green diesel merupakan produk diesel yang memiliki fungsi yang sama

dengan biodiesel. Kedua biofuel ini merupakan bahan bakar transportasi cair yang diturunkan dari senyawa lemak. Perbedaan antara green diesel dan biodiesel adalah struktur molekul dari kedua bahan bakar, dimana green diesel terdiri dari hidrokarbon sedangkan biodiesel terdiri dari molekul alkil ester (Sari, 2013).

Keunggulan lain dari green diesel yaitu cetane number (C16) yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan biodiesel dimana green diesel sebesar 80-90 sedangkan biodiesel pada angka 50, serta emisi NOx yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan biodiesel. Sehingga green diesel menjadi produk bahan bakar alternatif selain biodiesel (Sari, 2013).

2.9.2 Kerosen

Kerosen atau minyak tanah adalah produk minyak bumi yang terdiri dari campuran alkana dengan rantai C12-C15. Kerosen merupakan cairan hidrokabon yang tidak berwarna dan mudah terbakar yang diperoleh dari hasil distilasi bertingkat dan petroleum pada 150 dan 275oC. Kerosen memiliki titik didih 145-300oC, titik nyala 30-40oC, dan memiliki berat jenis antara 0,79-0,83 g/cm3 pada 60oF (Nicholas et al., 2012).

Komponen utama kerosen adalah senyawa hidrokarbon jenuh (paraffin),

cycloalkanes (naphtha), dan senyawa aromatik, dimana paraffin adalah komposisi

terbesar. Kerosen biasa digunakan sebagai minyak lampu namun sekarang banyak digunakan sebagai bahan bakar mesin jet (Avtur) (Nicholas et al., 2012).

(40)

25 2.9.3 Gasolin

Gasolin atau yang sering disebut bensin secara sederhana terdiri dari hidrokarbon rantai lurus dengan rumus kimia CnH2n+2, mulai dari C5 sampai dengan C11 (Prihandana et al., 2007). Biogasolin merupakan jenis gasolin yang sumbernya berasal dari sumber daya alam hayati yang kualitasnya dapat diukur dengan angka oktan. Angka oktan pada bahan bakar digunakan sebagai pedoman untuk mengatur periode penundaan (delay period) waktu nyala api busi untuk merambat ke bagian yang paling jauh dari busi. Bensin yang mempunyai angka oktan yang tinggi memiliki periode penundaan yang panjang (Budiharto dan Priangkoso, 2013).

Jenis bensin di Indonesia memiliki nilai mutu yang ditentukan berdasarkan nilai RON (research octane number), diantaranya ada premium memiliki nilai RON sebesar 88, pertalite 90, dan pertamax 92 (Ningrat et al., 2016). Bensin memiliki komposisi kimia yang tersusun dari senyawa hidrokarbon jenuh (parafin), hidrokarbon tak jenuh (olefin), dan hidrokarbon siklik atau hidrokarbon aromatik (Saleh et al., 2011).

2.10 Instrumentasi

2.10.1 X-Ray Diffraction (XRD)

XRD atau X-Ray Diffractometer adalah instrumen yang umumnya digunakan untuk menentukan struktur kristal dari suatu padatan serta mengidentifikasi fasa kristalin dalam material, dengan cara menentukan parameter struktur kisidari hamburan sinar-X. Sinar-X adalah suatu radiasi elektromagnetik berenergi tinggi yang mempunyai kisaran energi antara 200 eV sampai 1 MeV.

(41)

26 Sinar-X dapat diperoleh dari interaksi antara pancaran elektron eksternal dengan elektron yang berada di dalam kulit suatu atom (Sihite dan Budiarto, 2019).

Prinsip yang mendasari XRD yaitu adanya hamburan elektron yang mengenai permukaan kristal. Apabila sinar dilewatkan pada permukaan kristal, maka sebagian sinar nya akan dihamburkan dan sebagian sinar lagi akan diteruskan ke lapisan yang berikutnya. Sinar yang dihamburkan akan berinterferansi secara destruktif (melemahkan) dan konstruktif (menguatkan). Hamburan sinar yang berinterferensi konstruktif inilah yang akan digunakan untuk analisis (Sihite dan Budiarto, 2019).

Gambar 5. Difraksi sinar-X pada kisi kristal (Moore dan Reynolds, 1997) Proses difraksi sinar-X yang terjadi pada kisi kristal seperti yang disajikan pada Gambar 5 yaitu sinar-X dibiaskan dan ditangkap oleh detektor yang kemudian akan ditejemahkan sebagai puncak-puncak difraksi. Semakin banyak bidang-bidang kristal yang terdapat pada suatu sampel, maka akan semakin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkan. Pada pola difraktogram, tiap puncak (peak) yang muncul akan mewakili satu bidang kristal yang mempunyai orientasi tertentu pada sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang nantinya diperoleh dari data hasil pengukuran kemudian dapat dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X pada semua jenis material (Moore dan Reynolds, 1997).

(42)

27 2.10.2 Surface Area Analyzer (SAA)

SAA atau Surface Area Analyzer merupakan salah satu alat yang umumnya digunakan dalam karakterisasi suatu material katalis. Alat ini biasanya digunakan untuk menentukan distribusi pori, luas permukaan, dan isoterm adsorpsi suatu gas pada suatu material. Prinsip kerja dari SAA ini adalah berdasarkan pada siklus adsorpsi dan desorpsi isoterm gas N2 oleh sampel yang berbentuk serbuk. Gas nitrogen yang telah diketahui jumlah volumenya dimasukkan ke dalam tabung sampel, nantinya sensor tekanan akan mendapatkan data tekanan proses yang bervariasi. Selanjutnya dibuat persamaan teori BET (Brunauer, Emmet, and Teller) terhadap data volume gas yang dimasukkan dengan jumlah telah diketahui dengan data hasil kenaikan tekanan (Rosyid et al., 2012).

Tan et al., (2012) menjelaskan terdapat 2 metode analisis pada analisis SAA yaitu metode BET (Brunauer, Emmett, dan Teller) dan BJH (Barret, Joyner, Halneda). Metode BET digunakan untuk mengetahui luas permukaan dan isoterm adsorpsi/desorpsi suatu sampel penelitian. Sedangkan metode BJH digunakan untuk mengetahui distribusi ukuran pori.

Teori BET merupakan teori yang dikenalkan oleh Stephen Brunauer, Paul Hugh Emmet, dan Edward Teller sejak tahun 1938. Teori BET ini menjelaskan tentang fenomena adsorpsi molekul gas yang terjadi di permukaan zat padat. Teori BET umumnya digunakan dalam menentukan porositas suatu zat padat yang berpori (Rosyid et al., 2012). Pada teori ini, luas permukaan total, S total, dan luas permukaan spesifik dinyatakan dengan persamaan :

(43)

28 (6)

(7)

Keterangan :

N = Bilangan Avogadro (6,02 x 1023) s = Penampang adsorpsi (cross section) V = Volume molar gas adsorben

m = Massa molar dari spesies yang teradsorp St = Luas Permukaan total

Luas permukaan yang dihasilkan pada instrumen ini didasarkan pada data adsorpsi-desorpsi isoterm gas N2. Banyaknya molekul gas yang diadsorpsi berbanding lurus dengan luas permukaan yang dimiliki oleh suatu zat padat. Isoterm BET adalah metode yang digunakan dalam penentuan luas permukaan suatu padatan dengan cara adsorpsi molekul gas pada permukaan zat padat. Isoterm BET merupakan metode yang memberikan informasi dasar untuk teknik analisis penentuan luas permukaan spesifik suatu material (Rosyid et al., 2012).

Kriteria luas permukaan yang dapat ditentukan menggunakan metode analisis isoterm BET adalah (Gregg dan Sing, 1982) :

1. Luas Rendah (Low Surface area) yaitu kurang dari 10 m2/g, 2. Sedang (Moderate surface area) yaitu 50-100 m2/g,

3. Tinggi (High surface area) yaitu 200-500 m2/g,

4. Sangat tinggi (Very high surface area) yaitu lebih dari 800 m2/g. Distribusi pori diklasifikasikan menjadi:

1. Mikropori (berpori kecil) yaitu < 2 nm, 2. Messopori (berpori sedang) yaitu 2-50 nm, 3. Makropori (berpori besar) yaitu > 50 nm.

(44)

29 Konsep dari teori BET ini merupakan lanjutan dari teori isoterm Langmuir, dimana teori adsorpsi monolayer molekul ke adsorpsi multilayer dengan diikuti hipotesis: (a) molekul gas yang teradsorp pada permukaan padatan dapat membentuk lapisan tak berhingga, (b) tiap layer harus memenuhi teori isoterm Langmuir, (c) tidak adanya interaksi antar masing-masing layer (Gregg dan Sing, 1982).

Grafik isoterm adsorpsi dan desorpsi penting diketahui untuk dapat mengetahui jenis pori pada sampel. IUPAC pada tahun 2015 telah mengklasifikasan jenis isoterm fisisorbsi yang dapat dilihat pada Gambar 6.

(45)

30 Menurut Cychosz et al., (2017) terdapat 8 jenis isoterm, seperti yang terlihat pada Gambar 6.

1. Isoterm tipe I (a) dan I (b) ditemukan untuk bahan berpori mikro. Perbedaan antara keduanya adalah ukuran mikropori, yaitu isoterm tipe I (a) dimiliki dengan bahan dengan ukuran ultra mikropori (pori-pori dengan lebar <0,7 nm), sedangkan isoterm tipe I (b) dimiliki dengan bahan dengan ukuran mikropori (pori-pori lebar 0,7–2 nm).

2. Isoterm tipe II biasanya merupakan isoterm yang diperoleh oleh material non-porous atau makroporous.

3. Isoterm tipe III dan tipe V merupakan isoterm yang menunjukkan jumlah teradsorpsi yang sangat kecil pada tekanan rendah. Pada isoterm ini interaksi antara adsorbat dan adsorben relatif lemah yaitu adsorbat tidak sepenuhnya membasahi permukaan. Jenis isoterm ini sering terlihat untuk adsorpsi air.

4. Isoterm tipe IV(a) dan IV(b) khas untuk bahan mesopori, di mana perbedaan antara keduanya terkait dengan ukuran mesopori. Dalam kasus isoterm tipe IV(a) terjadi untuk pori-pori yang lebih lebar dari 4 nm atau adsorben yang memiliki mesopori. Pada isoterm tipe IV(b) dimiliki oleh mesopori berbentuk kerucut dan silinder yang ditutup pada ujung yang meruncing.

5. Isoterm tipe VI merupakan isoterm yang langka, dimana isoterm ini menunjukkan pembentukan lapisan baru adsorbat pada permukaan yang halus dan tidak berpori.

(46)

31 Sementara untuk untuk loop histeresis diklasifikasikan menjadi 6 jenis yaitu seperti pada Gambar 7 (Cychosz et al., 2017).

Gambar 7. Jenis loop histeresis (Cychosz et al., 2017).

1. Tipe H1 merupakan tipe yang menunjukan bahan mesopori teratur dengan seragam pori-pori silinder (misalnya, MCM-41, SBA-15 silika), tiga jaringan pori dimensional (seperti silika MCM-48 dan KIT-6), dan bahkan beberapa kaca pori terkontrol (CPG).

2. Tipe H2 merupakan tipe untuk beberapa bahan yang tidak teratur, tipe H2 (a) dapat dikaitkan baik dengan pemblokiran/perkolasi pori dalam kisaran sempit pori pori atau penguapan yang diinduksi kavitasi (contoh: Vycor) sedangkan tipe H2(b) dikaitkan dengan pemblokiran pori, tetapi distribusi ukuran lebar leher jauh lebih besar. Contoh dari jenis histeresis ini yaitu pada busa silika mesoseluler

3. Tipe H3 merupakan tipe untuk agregat partikel seperti pelat, tetapi juga dalam sistem yang terdiri dari makropori yang tidak terisi penuh dengan adsorbat pada tekanan atmosfer.

(47)

32 4. Tipe H4 merupakan tipe yang serupa dengan tipe H3, tetapi disebabkan oleh bahan yang mengandung mikro dan meso- atau makroporositas seperti karbon hierarkis atau zeolit mesopori.

5. Tipe H5 merupakan tipe untuk bahan yang terdiri dari mesoporositas terbuka dan tersumbat sebagian seperti Silika templated heksagonal terpasang.

2.10.3 Gas Cromatography Mass Spectrometry (GCMS)

Kromatografi gas merupakan instrumen yang umumnya digunakan untuk memisahkan suatu komponen dari campuran senyawa dan juga sering digunakan dalam identifikasi, pengumpulan, dan penentuan kuantitas senyawa yang telah dipisahkan tersebut. Sedangkan spektrofotometri massa digunakan untuk membantu dalam identifikasi struktur masing-masing komponen serta memberikan informasi massa molekul relatif (Mr) dari setiap puncak kromatogram (McNairn dan Bonelli, 1998).

Prinsip pemisahan yang terjadi pada kromatografi gas yaitu didasarkan pada penyebaran cuplikan diantara 2 fasa. Pemisahan dapat tercapai dengan terjadinya partisi sampel antara fasa bergerak berupa gas dan fasa diam berupa cairan yang memiliki titik didih tinggi, tidak mudah menguap yang terikat pada zat padat penunjangnya. Kelebihan yang dimiliki kromatografi gas yaitu digunakan kolom yang lebih panjang sehingga menghasilkan efisiensi pemisahan yang tinggi, sensitivitas tinggi, dan keseimbangan partisi yang terjadi antara gas dan cair berlangsung cepat sehingga analisis relatif lebih cepat. Fasa cair pada kromatografi gas tidak boleh bersifat reaktif terhadap fasa diam dan zat – zat

(48)

33 terlarut. Kelemahan dari kromatografi gas yaitu metode ini terbatas untuk zat yang mudah menguap (McNairn dan Bonelli, 1998).

Gambar 8. Skema instrumen GCMS (Emwas et al., 2015)

Komponen utama instrumen GCMS ditunjukkan pada Gambar 8. Instrumen GCMS terdiri dari gabungan dua sistem dan dua prinsip dasar yang berbeda yang dihubungkan dengan interfase. Komponen pertama adalah kromatografi gas (GC) yang terdiri dari tempat injeksi dan kolom. Komponen selanjutnya adalah spektroskopi massa (MS) yaitu ruang ionisasi dan detektor dengan tekanan vakum tinggi. Fungsi ruang ionisiasi adalah untuk menghasilkan ion dari sampel yang diidentifikasi dan detektor menentukan menilai m/z dari muatan ion yang selanjutnya ditentukan kelimpahan relatif setiap jenis ion (Emwas et al., 2015).

Kromatografi gas selain digunakan dalam pemisahan senyawa juga dapat digunakan dalam analisis kuantitatif untuk memberikan informasi kuantitatif. Pada kromatografi gas terdapat 3 macam metode analisis kuantitatif yang dapat digunakan yaitu metode standar kalibrasi, metode normalisasi area, dan metode standar internal (Handayana, 2006).

(49)

34 1. Metode standar kalibrasi

Pada metode analisis ini, diawali dengan mempersiapkan larutan standar yang komposisisnya sama dengan analit. Selanjutnya diukur tiap larutan standar dengan menggunakan kromatografi gas sehingga dihasilkan kromatogram pada tiap-tiap larutan standar. Kemudian diplotkan tinggi puncak atau area puncak yang dihasilkan sebagai fungsi konsentrasi larutan standar (Handayana, 2006). 2. Metode normalisasi area

Metode analisis ini merupakan metode yang bertujuan dalam mengurangi besar kesalahan yang berhubungan dengan injeksi cuplikan. Pada metode ini dibutuhkan hasil elusi yang sempurna, semua komponen campuran senyawa harus didapatkan keluar dari kolom. Besar area tiap puncak yang dihasilkan di hitung, kemudian dikoreksi area – area puncak tersebut terhadap respon detektor untuk jenis senyawa yang berbeda. Selanjutnya ditentukan konsentrasi analit dengan cara membandingkan suatu area puncak dengan total area semua komponen diperoleh (Handayana, 2006).

3. Metode standar internal

Metode standar internal merupakan metode yang paling baik dalam menperoleh hasil yang akurat. Pada metode ini, diawali dengan menambahkan senyawa standar yang beratnya telah diketahui ke dalam cuplikan. Senyawa standar yang ditambahkan tersebut harus senyawa yang tidak berada dalam cuplikan. Dalam menghitung berat masing – masing komponen dalam cuplikan, digunakan luas puncak (peak) dari senyawa standar sebagai pembanding. Syarat utama dalam pemilihan senyawa standar yaitu senyawa standar harus terelusi secara terpisah dari tiap-tiap komponen penyusun cuplikan, namun letak

(50)

35 puncaknya tidak berbeda jauh dari puncak komponen cuplikan dan sebaiknya berada diantaranya. Senyawa standar juga harus memiliki gugus fungsional (merupakan senyawa) yang serupa dengan komponen yang berada di dalam cuplikan. Selain itu senyawa standar harus bersifat inert (tidak bereaksi) dengan cuplikan yang dianalisis dan stabil pada kondisi analisis (Handayana, 2006).

(51)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspitek Serpong pada bulan September hingga Desember 2020.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set reaktor

catalytic cracking, Gas Cromatography Mass Spectroscopy (GCMS) Shimadzu

QP 2010, X-Ray Difraction (XRD) Rigaku MiniFlex 600, Surface Area Analyzer (SAA) Quantachrome NovaWin, oven, furnace, termometer, hot plate, dan alat-alat gelas.

3.2.2 Bahan

Bahan-Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam yang didapatkan dari CV. Minatama Lampung, minyak nyamplung yang didapatkan dari Cv. Akuna Jaya Sejahtera (warna : hijau kekuningan, densitas : 0,91-0,96 g/mL, angka peroksida : < 2 meq/kg), akuades, natrium hidroksida p.a (NaOH, Merck), nikel nitrat tetrahidrat (Ni(NO3)2.6H2O, Merck), krom nitrat tertrahidrat (Cr(NO3)2.6H2O, Merck), ammonium asetat (CH3COONH4, Merck).

(52)

37 3.3 Diagram Alir

Gambar 9. Skema kerja penelitian Kalsinasi t= 3 jam, T=450 oC Reduksi gas H2 T=500 oC, t= 2 jam Zeolit alam Aktivasi Zeolit Hierarki 1. Dipanaskan dalam NaOH 0,5 M 2 jam, T= 75 oC 2. Penetralan zeolit dengan akuades Desilikasi Ni(NO3)2.6H2O Impregnasi Uji Karakterisasi XRD dan SAA Cr(NO3)2.6H2O Kalsinasi T=450 oC, t= 5 jam NiCr/Zeolit Hierarki Minyak Nyamplung

Produk di uji dengan GCMS

variasi suhu (325, 350, dan 375 ℃) dengan variasi waktu terbaik

1. Direfluks dengan CH3COONH4 selama 5 jam ,T=90 oC

2. Dikeringkan Overnight pada suhu 100°C.

Variasi waktu (1, 2, dan 3 jam) dengan suhu 350oC Cracking didalam reaktor

konsentrasi katalis 5%

Dihaluskan, direndam dalam aquadest, dan dikeringkan

(53)

38 3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Sintesis Zeolit Hierarki

Zeolit alam dihaluskan dan direndam dalam akuades sambil diaduk selama 3 hari (tiap hari selama 8 jam) pada suhu kamar. Selanjutnya, disaring dan endapan yang bersih dikeringkan dalam oven selama satu malam (overnight) pada temperatur 100 ℃. Zeolit alam selanjutnya dilakukan proses desilikasi. Zeolit sebanyak 10 gram ditambahkan kedalam 200 mL NaOH 0,5 M dan dilakukan pengadukan pada temperatur 75 oC selama 2 jam. Selanjutnya zeolit disaring dan didinginkan pada suhu kamar. Kemudian dilakukan pencucian dengan air suling sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 100 oC selama satu malam (Xiao et al., 2015).

Zeolit yang telah kering selanjutnya dilakukan proses aktivasi. Zeolit direfluks dalam larutan CH3COONH4 1 M selama 5 jam pada temperatur 90 °C. Kemudian dibilas dengan menggunakan akuades sebanyak 3 kali sampai pH netral. Zeolit lalu dikeringkan dalam oven pada temperatur 100 oC selama satu malam (overnight). Selanjutnya, zeolit dikalsinasi selama 3 jam pada temperatur 450 ℃ dalam furnace (Dyer et al., 2000). Zeolit yang telah di furnace diayak menggunakan ayakan no 0,063 mm, diperoleh katalis zeolit hierarki berukuran 80 mesh dan diuji karakeristiknya menggunakan instrumen XRD dan SAA.

3.4.2 Sintesis Katalis NiCr/Zeolit Hierarki (Estephane et al., 2015)

Impregnasi logam Ni dan Cr pada zeolit hierarki dilakukan dengan cara impregnasi basah. Logam nikel nitrat dan krom nitrat disiapkan secara terpisah dengan total logam sebanyak 10% dari jumlah katalis yang digunakan.

Gambar

Tabel 4. Hasil analisis SAA pada zeolit dan katalisError!  Bookmark  not  defined.
Gambar 2. Visualisasi pembentukan zeolit hierarki (Wei et al., 2015)  Gambar  2  menunjukan  pembentukan  mesopori  pada  zeolit  dengan  menggunakan  metode  desilikasi
Gambar 3. Mekanisme pertukaran ion zeolit (Szerement et al., 2014)  Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa zeolit memiliki kation logam sebagai  penyeimbang  muatan
Tabel 1. Klasifikasi tanaman nyamplung (Susila, 2018)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Biodegradasi oli bekas pada suatu lokasi dapat terjadi karena bantuan berbagai kelompok mikroorganisme, terutama bakteri yang berasal lokasi yang tercemar. Mikro-organisme

Berdasarkan wawancara dengan kepala sekolah dan guru TK Dharma Wanita diketahui bahwa penggunaan APE Alat Permainan Edukatif pada TK tersebut masih belum dilakukan secara

“ TASIFETO BARAT DALAM ANGKA 2014 “ merupakan publikasi lanjutan dari publikasi sebelumnya yang diterbitkan secara berkala oleh Koordinator Statistik

Setelah dilaksanakan peningkatan status dari Kopeta dan perwakilan kecamatan menjadi kecamatan dan pemekaran kecamatan, maka terdapat 24 (dua puluh empat) kecamatan yaitu

Pembatasan dari penelitian ini adalah subyek penelitian berupa kulit pisang ambon, buah kersen, bunga rosella, Obyek penelitian berupa selai kulit pisang ambon dengan

Menurut informan dalam wawancara bokor dipakai dalam upacara ngidak endhog sebagai tempat air bunga setaman.Bokor terbuat dari tembaga atau logam kuat.Bokor dipilih karena

Tingginya nilai persentase aktivitas memperhatikan penjelasan guru di kelas eksperimen terjadi pada tahap kegiatan kelompok dalam pembagian tugas. Pada tahap ini

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun diantara kedua bangsa mempunyai pola pertumbuhan yang relatif sama, namun pada estimasi geometri terdapat perbedaan pada kedua spesifikasi