• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XV/2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XV/2017"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

rtin

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 102/PUU-XV/2017

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2017

TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017

TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK

KEPENTINGAN PERPAJAKAN MENJADI

UNDANG-UNDANG

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR

(III)

J A K A R T A

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 102/PUU-XV/2017 PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang [Pasal 1 Sepanjang Frasa Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Perpajakan dan, Pasal 2 Sepanjang Frasa Direktur Jenderal Pajak dan

Pasal 8 Lampiran] Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

PEMOHON

E. Fernando M. Manullang

ACARA

Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III)

Senin, 5 Februari 2018, Pukul 11.20 – 12.12 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Anwar Usman (Anggota)

3) Aswanto (Anggota)

4) Suhartoyo (Anggota)

5) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

6) Maria Farida Indrati (Anggota)

7) Manahan MP Sitompul (Anggota)

8) Wahiduddin Adams (Anggota)

9) Saldi Isra (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir: A. Pemohon:

1. E. Fernando M. Manullang

B. Pemerintah:

1. Ninik Hariwanti (Kementerian Hukum dan HAM)

2. Erwin Fauzi (Kementerian Hukum dan HAM)

3. Hadiyanto (Kementerian Keuangan)

4. Robert Pakpahan (Kementerian Keuangan)

5. Suryo Utomo (Kementerian Keuangan)

6. Tio Serepina Siahaan (Kementerian Keuangan)

(4)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 102/PUU-XV/2017, dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Cek kehadirannya. Pemohon, siapa yang hadir? Silakan.

2. PEMOHON: E. FERNANDO M. MANULLANG

Terima kasih, Yang Mulia. Saya Pemohon dan tidak memberikan

kuasa.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, baik. Namanya?

4. PEMOHON: E. FERNANDO M. MANULLANG

Nama saya E. Fernando M. Manullang.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

6. PEMOHON: E. FERNANDO M. MANULLANG

Bekerja sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Terima kasih.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. DPR tidak hadir, ada surat bertanggal 30 Januari yang ditandatangani oleh Kepala Badan Keahlian DPR yang menyatakan tidak dapat menghadiri persidangan karena bertepatan dengan kegiatan rapat-rapat yang tidak dapat ditinggalkan. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, yang hadir siapa? Silakan.

SIDANG DIBUKA PUKUL 11.20 WIB

(5)

8. PEMERINTAH: ERWIN FAUZI

Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah yang hadir saya sendiri

Erwin Fauzi dari Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian, Ibu Ninik Hariwanti (Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM). Kemudian, Ibu Tio Serepina Siahaan (Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan). Kemudian, Bapak Suryo Utomo (Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan). Kemudian, Bapak Robert Pakpahan (Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan) dan Bapak Hadiyanto (Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan) yang sekaligus akan membacakan Keterangan Presiden. Terima kasih, Yang Mulia.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Pak Dirjen Baru berarti, ya? Ya, selamat

datang, Pak Dirjen. Kalau Pak Sekjen sudah stok lama sekali ini di Kementerian Keuangan. Saya persilakan Pak Sekjen untuk memberikan Keterangan Pemerintah.

10. PEMERINTAH: HADIYANTO

Ringkasan Keterangan Presiden atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk

kita semua. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Saudara Pemohon, dan rekan-rekan dari jajaran Termohon, Pemerintah. Sehubungan dengan Permohonan Pengujian Ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 8 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi undang-undang, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 terhadap Pasal 23A, Pasal 17, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang teregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan Nomor 102/PUU-XV/2017, perkenankan kami menyampaikan secara lisan pokok-pokok atau ringkasan Keterangan Presiden yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan Keterangan Presiden yang lengkap dan menyeluruh yang kami sampaikan dalam bentuk tertulis sebagai berikut.

(6)

Terkait legal standing, Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, terkait dengan legal standing Pemohon, perkenankan kami, Pemerintah, dalam keterangan lisan ini menyampaikan pendapat bahwa Pemohon tidak memenuhi lima syarat kualifikasi secara kumulatif yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan uji materiil undang-undang.

Meskipun Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon tidak

memenuhi persyaratan kedudukan hukum atau legal standing dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini, Pemerintah akan tetap memberikan keterangan mengenai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 yang dimohonkan pengujian.

Yang Mulia, Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia secara merata dan berkeadilan, sesuai dengan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dibutuhkan pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara, terutama yang berasal dari pajak yang pemungutannya diatur dengan undang-undang sebagai perwujudan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Upaya pengumpulan pajak mengalami hambatan dengan maraknya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion) oleh para wajib pajak yang dilakukan dengan cara memanfaatkan kondisi keterbatasan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Hal ini telah menjadi perhatian dunia karena sangat menggerus basis penerimaan pajak hampir di semua negara, padahal penerimaan pajak sangat dibutuhkan dalam mendanai pembangunan. Salah satu modus penghindaran pajak atau pengelakan pajak adalah dengan cara menggeser profit dan menyimpan uang dari

hasil kegiatan tersebut di negara-negara suaka pajak (tax havens) atau

Offshore Financial Centers.

Boston Consulting Group global wealth market sizing database menyebutkan bahwa tahun 2013 terdapat USD 8,5 triliun harta atau aset masyarakat dunia, terutama yang berasal dari Eropa Barat dan Asia Pasifik, disembunyikan di negara-negara seperti Swiss, Hongkong, Singapura, Panama, Luxembourg, dan Uni Emirat Arab. Negara-negara maupun organisasi internasional bahu-membahu mencari cara untuk menangani permasalahan pelik ini, di antaranya dengan mengeluarkan kebijakan untuk mencegah penghindaran pajak dan pengelakan pajak, baik dari sisi peraturan perundang-undangan domestik, maupun melalui perjanjian bilateral atau multilateral untuk secara kolektif bersama menanggulangi permasalahan ini.

Para pemimpin negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia dalam London Summit pada tahun 2009 di London, telah

(7)

mendeklarasikan bahwa era kerahasiaan perbankan telah berakhir untuk kepentingan perpajakan dan bersiap untuk mengambil tindakan terhadap negara yang tidak kooperatif terkait transparansi untuk kepentingan perpajakan, termasuk negara-negara tax havens.

Sebagai tindak lanjut dari deklarasi tersebut, pemerintah Indonesia ikut menandatangani Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters atau konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan pada tahun 2011 yang salah satunya memuat kerja sama pertukaran informasi perpajakan. Salah satu bentuk pertukaran informasi dimaksud adalah melalui pertukaran informasi perpajakan secara otomatis atau lebih dikenal juga sebagai automatic exchange of information yang diatur dalam Pasal 6 Konvensi.

Negara-negara G20, kemudian mendorong Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui Global Forum and Transparation and Exchange of Information for Tax Purpose Global Forum untuk menerbitkan suatu standar pengumpulan data dan pelaporan informasi keuangan untuk dapat dipertukarkan antarnegara. Standar tersebut dikenal Common Reporting Standard (CRS), ini kemudian diselesaikan dan dilaporkan oleh OECD dan Global Forum pada G20 pada tahun 2014.

Pada tanggal 15, 16 November 2014, di Brisbane Summit, negara-negara G20 termasuk Indonesia mendeklarasikan komitmen untuk mulai mengimplementasikan AEOI secara resiprokal berdasarkan CRS tahun ... mulai tahun 2017 atau tahun 2018. Salah satu wujud nyata dari komitmen tersebut adalah dengan ditandatanganinya Multilateral Competent Authority Agreement oleh Indonesia pada tanggal 3 Juni 2015, yang akan digunakan sebagai kerangka hukum multilateral untuk mengimplementasikan AEOI.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Di samping adanya perjanjian internasional, salah satu persyaratan pokok lainnya untuk mengimplementasikan AEOI adalah tersedianya legislasi domestik dalam bentuk legislasi primer setingkat undang-undang dan legislasi sekunder peraturan di bawah undang-undang, yang mewajibkan lembaga keuangan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi keuangan kepada otoritas perpajakan dari negara tempat lembaga keuangan tersebut berada dan memberikan kewenangan kepada otoritas perpajakan untuk pertukarannya dengan negara mitra.

Legislasi primer dan legislasi sekunder tersebut sesuai dengan kesempatan negara-negara anggota Global Forum, pada pertemuan di Georgia bulan November tahun 2016 harus telah tersedia paling lambat pada tanggal 30 Juni 2017. Apabila sampai dengan batas waktu tersebut suatu negara belum memiliki kerangka hukum yang dimaksud, maka negara tersebut akan dikategorikan menjadi negara yang failing to meet their commitments dan akan dianggap tidak berkomitmen untuk mengimplementasikan AEOI.

(8)

Pada saat itu, Indonesia masih belum memiliki legislasi primer yang memuat ketentuan yang mewajibkan lembaga keuangan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi keuangan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku otoritas perpajakan, baik untuk implementasi AEOI maupun kepentingan perpajakan domestik.

Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pasal Modal, Undang-Undang Perdagangan Berjangka Komoditi, dan Undang-Undang KUP telah memberikan pembatasan kepada DJP dalam mengakses informasi keuangan. Ketentuan yang ada hanya memperbolehkan DJP untuk mengakses informasi keuangan melalui permintaan untuk kasus per kasus, serta terdapat prosedur yang panjang dan tidak sesuai dengan standar internasional bagi DJP dalam meminta informasi keuangan, yaitu harus menyebutkan nama pemilik rekening, sehingga akses secara otomatis yang dibutuhkan untuk AEOI tidak dimiliki oleh DJP.

Keterbatasan tersebut dimanfaatkan wajib pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan harta sesuai dengan kondisi sesungguhnya, dengan asumsi bahwa tindakan penyembunyian informasi keuangan tidak akan pernah diketahui oleh DJP. Dengan kata lain, keterbatasan akses data atau informasi keuangan ini akan sangat memengaruhi kemampuan DJP untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sumber pendapatan dalam APBN utamanya berasal dari penerimaan perpajakan. Namun dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir, realisasi penerimaan pajak belum pernah mencapai target penerimaan yang ditetapkan dalam APBN. Berbagai langkah terobosan telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi realisasi penerimaan pajak dalam APBN, sebagaimana langkah pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan melalui program amnesti pajak pada tahun 2016. Namun, hal tersebut belum sepenuhnya memenuhi target penerimaan pajak dalam APBN. Apabila persentase realisasi penerimaan pajak terus menurun dan tidak dilakukan terobosan dalam upaya pengumpulan penerimaan pajak, maka dapat membahayakan kelanjutan pembangunan di Indonesia.

Selama ini, upaya pelaksanaan tugas konstitusional pengumpulan penerimaan pajak yang diemban oleh DJP terhambat dengan terbatasnya akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Padahal, sistem perpajakan yang diterapkan adalah self assessment system yang berarti wajib pajak menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Tanpa informasi dari sumber selain yang disampaikan wajib pajak, DJP tidak bisa melakukan pengawasan kepatuhan, pemeriksaan, dan tindakan penegakan hukum dengan optimal. DJP hanya mampu melakukan pengawasan, kepatuhan kepada wajib pajak yang informasi

(9)

keuangannya telah dilaporkan dalam SPT tahunan. Akibatnya, pengawasan kepatuhan dan penegakan hukum yang dilakukan DJP selama ini terkesan dan sering dikesankan seperti berburu di kebun binatang.

Hal ini bertentangan dengan asas keadilan dalam pemungutan pajak karena pengawasan yang dilakukan oleh DJP terfokus pada wajib pajak yang sudah melaporkan kewajiban perpajakannya, termasuk informasi keuangannya kepada DJP. Wajib pajak yang tidak melaporkan informasi keuangannya dengan benar atau bahkan sama sekali tidak melaporkan informasi tersebut kepada DJP justru sulit untuk diawasi oleh DJP karena DJP tidak mengetahui secara pasti jumlah penghasilan wajib pajak tersebut yang sebenarnya.

Keterbatasan akses informasi keuangan juga memberikan kontribusi terhadap rendahnya tax ratio Indonesia yang dalam tiga tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2014 sebesar 10,8%, tahun 2015 sebesar 10,7%, dan tahun 2016 sebesar 10,3% di mana tax ratio ini lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Permasalahan ini sangat mendesak untuk segera diatasi karena pengumpulan penerimaan pajak yang optimal sangat krusial untuk membiayai pembangunan dan menjaga batasan defisit APBN sesuai ketentuan undang-undang. Terbatasnya akses informasi keuangan yang dimiliki DJP juga dapat diamati dari hasil program amnesti pajak, berdasarkan data yang diperoleh dari program amnesti pajak per Juni 2017 diketahui bahwa jumlah deklarasi aset dan repatriasi adalah sebesar 4.884 triliun yang 21,2%-nya berada di luar negeri. Deklarasi aset didominasi oleh aset keuangan dalam bentuk kas dan setara kas, serta investasi dan surat berharga yang besarnya mencapai 58,7% dari total aset yang dideklarasikan.

Besarnya jumlah aset keuangan wajib pajak Indonesia baru diungkapkan pada program amnesti pajak, baik yang berada di luar negeri dan khususnya yang sudah disimpan di dalam negeri menunjukkan bahwa DJP selama ini masih memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi keuangan milik wajib pajak, bahkan yang disimpan di lembaga keuangan dalam negeri. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan yang besar terkait kemampuan DJP untuk memajaki berbagai wajib pajak individu dengan kekayaan yang sangat besar atau dikenal dengan High Net Worth Individual.

Dari program amnesti pajak yang juga membuktikan bahwa cukup banyak wajib pajak Indonesia menyimpan asetnya di luar negeri. Berdasarkan data yang diperoleh dari program amnesti pajak per Juni 2017, diketahui bahwa aset wajib pajak Indonesia sebagian besar tersimpan di lima negera, yaitu Singapura, British Virgin Islands, Hong Kong, Cayman Islands, dan Australia. Informasi perkembangan dari aset yang terdeklarasi ini sangat penting sebagai basis data perpajakan.

(10)

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dengan pertimbangan kebutuhan yang sangat mendesak agar segera dapat memberikan akses bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi untuk kepentingan perpajakan, Presiden telah menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang diundangkan pada tanggal 8 Mei 2017.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam menyusun perppu dan pembahasan atas implementasi perppu telah dikoordinasikan dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Kementerian Koperasi, dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. Selanjutnya, pada sidang paripurna DPR tanggal 27 Juli 2017, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tersebut disetujui menjadi undang-undang dan ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pada kesempatan ini, perlu kiranya Pemerintah menyampaikan tujuan dan manfaat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017, yaitu:

1. Mendorong penguatan basis data perpajakan dari lembaga keuangan dan negara mitra atau yurisdiksi mitra AEOI.

2. Mendukung upaya pengumpulan penerimaan pajak sehingga tax ratio meningkat.

3. Menciptakan keadilan dalam sistem pemungutan pajak sehingga seluruh wajib pajak dapat berkontribusi melalui pembayaran pajak untuk pembangunan Negara Republik Indonesia.

4. Memenuhi komitmen Indonesia untuk AEOI tahun 2018, sehingga Indonesia tidak dilaporkan sebagai negara yang failing to meet their commitment dan non-cooperative jurisdiction, dan.

5. Untuk menjaga keberlanjutan efektifitas program amnesti pajak sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Karena dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017, DJP dapat memperoleh data atau informasi keuangan wajib pajak, baik yang disimpan di dalam maupun di luar negeri.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Akses informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tidak bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan selaras dengan sistem self assessment yang diatur dalam Undang-Undang KUP.

Pemohon telah salah memahami ketentuan Pasal 1 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 dengan menyatakan bahwa akses informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan harus merujuk kepada ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu

(11)

Undang-Undang KUP. Pemohon hanya memahami secara sempit peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu hanyalah KUP. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan harus dipahami secara luas meliputi seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Pemohon juga telah salah mengartikan informasi keuangan yang diatur dalam Pasal 1 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 dan informasi keuangan yang diatur dalam Pasal 1 angka 29 Undang-Undang KUP, tidak terdapat definisi dari istilah informasi keuangan di dalam Undang-Undang KUP. Frasa yang dianggap sebagai pengertian informasi keuangan oleh Pemohon merupakan bagian dari definisi istilah pembukuan. Pembukuan yang diatur dalam Undang-Undang KUP sebagaimana tersebut di atas merupakan aktivitas yang wajib dilakukan oleh wajib pajak dalam rangka menghitung besarnya pajak yang terutang dan wajib pajak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang KUP. Objek dari laporan yang berisi informasi keuangan yang wajib dilaporkan kepada … wajib dilaporkan lembaga keuangan kepada DJP sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 merupakan rincian dari salah satu jenis harta, yaitu aset keuangan yang dikelola oleh lembaga keuangan, maka objek dari informasi keuangan yang disebut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 telah konsisten dan tidak menyimpang dengan objek informasi keuangan dalam Undang-Undang KUP.

Oleh karenanya pemaknaan informasi keuangan dalam

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 dan Undang-Undang-Undang-Undang KUP tidak saling bertentangan. Wajib pajak menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri, dan pajak yang dibayarkan tersebut dianggap benar sampai pemerintah dapat membuktikan sebaliknya. Oleh karena itu, guna menjaga keseimbangan tersebut, Undang-Undang KUP juga memberikan kewenangan negara untuk melaksanakan pelayanan, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang perpajakan.

Frasa dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 juga dimaknai sebagai bentuk pelaksanaan … juga dimaknai sebagai bentuk pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh DJP dalam rangka menjaga keseimbangan pelaksanaan sistem self assessment. Wajib pajak dengan mendasarkan pada sistem self assessment seharusnya melaporkan data dan informasi keuangan dalam pembukuan dan surat pemberitahuan SPT secara lengkap, benar, dan jelas. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan

(12)

kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment memerlukan data dan informasi yang bersumber dari pihak lain termasuk informasi keuangan dari lembaga keuangan.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pasal 1 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tidak mencampuradukkan yurisdiksi tata hukum nasional dan hukum internasional. Pemohon telah keliru dalam memaknai bagian preambule konvensi sebagai dasar dari pernyataannya dengan menyatakan bahwa informasi yang dipertukarkan hanya informasi keuangan yang diindikasikan menghindari dan penggelapan pajak. Padahal preambule sendiri tidak menyebutkan secara spesifik kategori informasi yang dipertukarkan. Dalam preambule disebutkan , “To combat tax avoidance

and tax evasion.” Yaitu, memerangi penghindaran dan penggelapan

pajak, bukan melakukan pertukaran informasi yang diindikasikan menghindari atau menggelapkan pajak seperti yang dimaksud Pemohon. Bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon sejatinya adalah tidak adanya kriteria tentang penghindaran dan penggelapan … pengelakan pajak dalam konvensi itu sendiri. Oleh karenanya masalah tersebut bukanlah ranah konstitusional dan inkonstitusional suatu undang-undang. Selain itu, kekhawatiran Pemohon yang menyatakan bahwa seluruh informasi keuangan milik seluruh orang dan badan yang berada di Indonesia menjadi objek yang dapat diserahkan kepada pihak asing adalah tidak tepat karena yang dipertukarkan adalah sebatas informasi keuangan milik subjek pajak luar negeri, yaitu nasabah asing yang memiliki aset keuangan di Indonesia saja, dan pertukaran informasi ini dilakukan secara resiprokal sehingga Indonesia juga akan memperoleh informasi keuangan milik wajib pajak Indonesia yang disimpan di negara mitra atau yurisdiksi mitra.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Atribusi pemberian wewenang pada dirjen pajak merupakan legal policy pembentuk undang-undang. Kewenangan yang diberikan kepada dirjen pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan adalah kewenangan atribusi yang langsung diberikan oleh pembentuk undang-undang yang merupakan open legal policy. Terkait dengan open legal policy merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VII/2009.

Selain itu, kewenangan direktur jenderal pajak untuk mendapatkan informasi keuangan dari lembaga keuangan telah sesuai dengan prinsip-prinsip CRS tadi. Aspek penting dari prinsip pelaksanaan CRS yang efektif adalah menerjemahkan ketentuan dalam CRS terkait dengan prosedur identifikasi dan pelaporan ke dalam aturan hukum domestik agar pelaksanaan IOE berlangsung secara efektif. Aturan hukum domestik ini harus mampu memaksa dan mewajibkan lembaga

(13)

keuangan melakukan pengumpulan informasi dan melakukan prosedur identifikasi, dan kemudian melaporkan informasi keuangan atas nasabahnya yang telah diidentifikasi sebagai nasabah yang wajib dilaporkan kepada otoritas perpajakan, dan dalam hal ini di Indonesia adalah direktorat jenderal pajak.

Berdasarkan penjelasan di atas, pemberian wewenang kepada dirjen pajak untuk mendapatkan informasi keuangan adalah kewenangan atribusi yang merupakan open legal policy dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip CRS agar pelaksanaan IOE berdasarkan CRS berlangsung efektif sehingga dalil Pemohon yang menyatakan mandat kewenangan kepada dirjen pajak untuk mendapatkan informasi, tidak sesuai mandat konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 adalah tidak benar.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pemberlakuan Pasal 8 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tetap akan melindungi hak privasi nasabah atau wajib pajak. Dalam Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam Pasal 281 ayat (1) ... Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut.

Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak. Oleh karenanya hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu yang termasuk dalam rumusan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun atau non-derogable rights saja dapat dibatasi. Maka secara primavasi, berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari pasal tersebut, seperti misalnya hak privasi Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang didalilkan Pemohon, sudah pasti dapat pula dibatasi dengan catatan sepanjang pembatasan tersebut telah ditetapkan oleh undang-undang.

Selain itu, Pemohon juga telah keliru memahami dan memaknai Ketentuan Pasal 8 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Bahwa ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan oleh Pemohon, yaitu Pasal 35 ayat (2), Pasal 35A Undang-Undang KUP, Pasal 40, Pasal 41 Undang-Undang Perbankan, Pasal 47 Undang-Undang Pasar Modal, dan Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 Undang-Undang Berjangka Komoditi dikesampingkan terbatas hanya untuk kepentingan perpajakan, tidak untuk kepentingan yang lain sehingga untuk kepentingan di luar perpajakan, ketentuan mengenai kerahasiaan informasi keuangan tersebut masih tetap berlaku.

(14)

Dalam Ketentuan Pasal 2 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 secara jelas membatasi kewenangan DJP, yaitu hanya dapat mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Akses informasi keuangan yang diberikan kepada DJP, bukan berarti DJP secara langsung dapat mengakses sistem informasi keuangan yang dimiliki lembaga keuangan. Akses informasi keuangan diberikan dalam bentuk penyampaian data dan informasi keuangan milik nasabah oleh lembaga keuangan kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Di samping itu, salah satu hal yang dipersyaratkan OECD terkait AEOI adalah kerahasiaan dan perlindungan terhadap informasi keuangan yang dipertukarkan. Sejak Indonesia memenuhi persyaratan dari OECD tersebut, maka setiap informasi yang diperbekalkan dijamin kerahasiaan dan perlindungannya.

Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 ditujukan salah satunya adalah dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis, sehingga setiap informasi keuangan yang diperlukan harus memenuhi standar kerahasiaan yang ditetapkan oleh OECD tersebut. Di samping itu, standar mengenai kerahasiaan dan perlindungan informasi keuangan juga menjamin informasi yang digunakan semata-mata hanya untuk kepentingan perpajakan.

Seluruh informasi keuangan yang diperoleh dari lembaga keuangan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 dapat tetap dilindungi kerahasiaannya, sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang KUP dan standar internasional. Bagi pihak yang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan informasi keuangan nasabah kepada pihak lain yang tidak berwenang akan dikenai sanksi, dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Bagi petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, serta tenaga ahli yang ditunjuk oleh DJP yang melanggar kewajiban menjaga kerahasiaan, baik karena kealpaan maupun kesengajaan akan dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 41 Undang-Undang KUP.

Selanjutnya, Menteri Keuangan berdasarkan Pasal 9 Lampiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK/03/Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Yang salah satu ketentuannya menegaskan bahwa setiap informasi keuangan merupakan informasi yang wajib dijaga kerahasiaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional.

(15)

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 sebagai legislasi primer sesuai Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters. Pemahaman Pemohon bahwa dengan telah disahkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2014, menunjukkan bahwa Indonesia telah selesai dalam memenuhi komitmen untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah tidak benar. Suatu kesepakatan internasional untuk berlaku efektif harus dilakukan pengesahan terlebih dahulu agar Indonesia dapat terikat pada perjanjian tersebut. Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters yang selanjutnya disebut konvensi, yang ditandatangani pada tanggal 3 November 2011 telah dilakukan pengesahan dengan cara ratifikasi melalui Perpres Nomor 159 Tahun 2014 tanggal 17 Oktober 2014, yang berisikan ketentuan mengenai pengesahan konvensi tersebut.

Sebagai tindak lanjut pengesahan konvensi tersebut, maka ketentuan pada pasal-pasal dalam konvensi harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan dengan itikad baik oleh pemerintah. Untuk kerja sama pertukaran informasi perpajakan sebagaimana diatur dalam konvensi, pertukaran informasi perpajakan dapat dilakukan dengan cara permintaan, spontan, dan otomatis.

Pertukaran informasi perpajakan dengan cara permintaan dan spontan dapat seketika dilaksanakan sejak konvensi tersebut disahkan dengan Perpres Nomor 159 Tahun 2014. Namun, untuk kerja sama pertukaran informasi dengan cara otomatis, pejabat yang berwenang (competent authority) dari masing-masing penandatanganan konvensi wajib membuat kesepakatan tentang standar pertukaran informasi dan tata cara pertukarannya.

Selanjutnya, terkait dengan pertukaran informasi keuangan secara otomatis telah dibentuk kesepakatan yang bersifat multilateral, yaitu multilateral competent authority agreement on automatic exchange of financial account information, yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (competent authority) di Indonesia pada tanggal 3 Juni 2015. Yang merupakan kesepakatan multilateral antarpejabat yang berwenang yang menandatangani MCAA tersebut.

Kesepakatan multilateral tersebut untuk melakukan pertukaran informasi keuangan secara otomatis yang disebut sebagai AEOI (Automatic Exchange Of Information on Financial Information). Salah satu persyaratan pokok untuk mengimplementasikan AEOI menjadi efektif adalah tersedianya legislasi domestik dalam bentuk legislasi primer setingkat undang-undang dan legislasi sekunder yang mewajibkan lembaga keuangan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi keuangan kepada otoritas perpajakan dan negara. Atau yurisdiksi, di mana lembaga keuangan tersebut berada dan memberikan

(16)

kewenangan kepada otoritas perpajakan untuk pertukarannya dengan negara atau yurisdiksi mitra.

Pada saat kesepakatan AEOI tersebut ditandatangani, Indonesia belum memiliki legislasi primer untuk mengimplementasikan AEOI tersebut secara efektif, maka untuk memenuhi komitmen pelaksanaan kesepakatan AEOI dan tidak dikategorikan sebagai negara atau yurisdiksi yang gagal memenuhi komitmennya, yang selanjutnya akan dimasukkan ke dalam daftar negara yang tidak kooperatif, serta guna memberikan akses yang luas bagi DJP untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan, termasuk untuk pelaksanakan kesepakatan AEOI, maka dibentuklah Perppu Nomor 1 Tahun 2017 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tidak bertentangan dengan Perpres Nomor 159 Tahun 2014 yang menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Sebagai bahan perbandingan kepada Mahkamah Konstitusi, terdapat beberapa negara yang memberikan kewenangan kepada otoritas perpajakan negaranya untuk mengakses informasi pemban … informasi perbankan. Adapun contoh beberapa negara dimaksud, kami sampaikan dalam Keterangan Presiden yang lengkap dan menyeluruh, yang telah disampaikan dalam bentuk tertulis.

Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian (constitutional review) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut.

Pertama, menerima keterangan Presiden secara keseluruhan. Kedua, menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing).

Ketiga, menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian, kami sampaikan. Atas perhatian dan perkenan Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi, kami ucapkan terima kasih.

Kuasa Substitusi Menteri Keuangan, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Hadiyanto. Terima kasih.

(17)

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Pak Sekjen, yang sudah memberikan keterangan mewakili Pemerintah.

Dari meja Hakim, ada? Tiga orang berurutan dari yang pojok, Prof Saldi dulu, silakan.

12. HAKIM ANGGOTA: SALDI ISRA

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Ini … ini umum sebetulnya permintaan kepada Pemerintah karena ini kan berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Mohon Mahkamah dilengkapi nanti dengan keterangan tambahan atau bahan-bahan tambahan berupa pendapat masing-masing fraksi di DPR ketika pembahasan pemberian persetujuan terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Itu yang pertama.

Yang kedua, lalu kalau bisa sekalian kan pengantar Pemerintah, ya, biasanya kan ada, dan tanggapan Pemerintah terhadap respons-respons tersebut. Itu yang kedua.

Yang ketiga, tadi disebutkan bahwa ini ada korelasinya dengan Undang-Undang tentang Tax Amnesty. Tadi tidak terlalu elaboratif dijelaskan. Dan mungkin kalau bisa ditambahkan nanti, apa implikasinya kalau Undang-Undang Tax Amnesty itu kemudian tidak dapat support dari Undang-Undang Nomor 9 atau Perppu Nomor 1 Tahun 2017, mungkin bisa ditambahkan?

Dan yang terakhir, tadi disebutkan juga oleh Pak Sekjen, perbandingan negara-negara lain yang juga terikat dengan konvensi ini, yang kemudian mengharuskan batas terakhirnya Juli 2017, ya, Pak Sekjen, ya? Mungkin kita bisa … bisa diberi data, negara-negara … dan kira-kira kalau bisa dengan mengajukan satu, dua contoh format hukum primer … apanya … hukum primernya dalam mengadopsi konvensi tersebut? Itu saja, terima kasih.

Terima kasih, Pak Ketua.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Yang Mulia Pak Palguna, silakan.

14. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Ya, ini melengkapi saja. Dari enam poin katakanlah argumentasi Pemohon yang saya catat di sini, misalnya yang pertama … apa … ya, itu ada … ada lima yang … lima yang sudah secara spesifik dijawab oleh … oleh Pemerintah. Satu hal yang … sebenarnya kita bisa simpulkan sih dari itu, tapi kami ingin … itu saya khususnya, ingin memberikan penegasan terhadap satu dalil yang

(18)

belum secara spesifik di … disebutkan dalam jawaban Pemerintah dan mohon nanti ditambahkan dalam jawaban tertulis, yaitu adanya dalil Pemohon bahwa dengan pemberlakuan undang-undang ini, maka … apa namanya … lembaga perbankan dan/atau jasa keuangan bisa sengaja atau tidak sengaja, dan/atau secara langsung, atau pun tidak langsung melepas tanggung jawabnya untuk menjaga rahasia nasabah.

Jadi, dari keterangan tadi secara implisit sih sudah bisa kita simpulkan itu. Tetapi ini ada soal lain, ekornya ini, dengan dalih melaksanakan ketentuan undang-undang yang secara substansial tidak

sesuai dengan Automatic Exchange Of Information atau EI … apa

namanya … AEOI.

Nah, ini ada dua soal di sini yang perlu ditegaskan, yang mungkin nanti perlu jawaban Pemerintah. Pertama, apakah betul ada kemungkinan, langsung atau tidak langsung, lembaga perbankan atau lembaga jasa keuangan itu dapat melepas tanggung jawabnya untuk menjaga rek … rahasia na … nasabah bank? Itu satu soal.

Nah, soal yang kedua. Apakah betul ketentuan undang-undang ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Automatic Exchange Of Information? Jadi, ada dua … dua … dua substansi di situ mungkin yang nanti akan di … diperlu dijawab.

Karena dalil itu juga digunakan untuk … apa namanya … poin argumen yang kedua, ketika … apa namanya … secara langsung atau tidak langsung bisa menyebarluaskan informasi keuangan nasabah. Ya, itu kan … apa namanya … perbankan atau lembaga jasa keuangan. Menurut Pemohon, bisa dikatakan langsung atau tidak langsung bisa menyebarluaskan informasi keuangan. Ini kan sudah dijawab tadi dan … apa namanya … yang mencampuradukkan yurisdiksi tadi, juga sudah dijawab. Tidak merumuskan dengan pasti bahwa hanya informasi keuangan yang terindikasi masalah, itu juga tadi saya dengar sudah dijawab. Lalu, penyerahan mandat, yang tadi terakhir di … di … di anukan, sudah bisa dijawab. Nah, perlindungan privasi juga sudah dijawab. Sehingga satu itu saja nanti yang mungkin nanti kami memerlukan tanggapan dari Pemerintah tentang … terima kasih, Pak Ketua.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Yang Mulia. Silakan, terakhir.

16. HAKIM ANGGOTA: SUHARTOYO

Ya. Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua.

Ya, Pak Sekjen, saya juga ingin minta penjelasan tambahan dari Presiden (Pemerintah). Ada tiga hal, ya. Yang pertama, sebenarnya sejauh mana, ya, kekuatan perjanjian internasional itu? Kemudian, kalau

(19)

ditarik kepada wilayah dari tata urutan perundang-undangan kita, sehingga ada beberapa yang berakibat akhirnya … beberapa undang-undang ... kita menjadi ‘tergusur’ dengan adanya perjanjian internasional ini. Sejauh mana? Karena seperti disampaikan tadi Pak Sekjen bahwa di Undang Perbankan, Undang Pasar Modal, Undang-Undang Perdagangan, jelas, itu strict.

Nanti akan saya kaitkan dengan adanya pacta sunt servanda segala macam bahwa seseorang untuk menyimpan … itu nanti pertanyaan. Saya minta pendapat yang tadi dulu, apakah nanti ditambahkan di dalam keterangannya? Kok sepertinya kemudian karena ini perjanjian internasional yang kemudian akan … meskipun sebenarnya ini kan saling pakai, ini sebenarnya. Kita punya warga negara Indonesia yang ada di asing juga kemudian bisa ter-cover, sebaliknya juga kan begitu.

Itu ada kaitannya dengan pertanyaan saya yang kedua. Itu di mana ya, Pak Sekjen? Bahwa Bapak tadi menjelaskan bahwa ini hanya untuk orang asing yang punya simpanan di Indonesia dan sebaliknya, sebaliknya. Jadi, untuk orang Indonesia yang menyimpan kemudian dana itu di asing. Mungkin kalau itu dengan mudah bisa ditemukan barangkali juga … saya sendiri sebagai Hakim yang menyidangkan di Sidang Pendahuluan belum menemukan. Tapi, nanti mungkin bisa ditambahkan, Pak Sekjen.

Kemudian yang ketiga, saya ... pertanyaan saya adalah bagaimana kalau ini dikaitkan dengan prinsip-prinsip pacta sunt servanda? Jadi, ini artinya apakah ini baru diberlakukan nanti ke depan ataukah kepada … sudah mulai sekarang terhadap orang-orang yang memang sudah mengalami menggunakan jasa keuangan, baik itu orang asing yang berkaitan dengan negara kita atau pun orang Indonesia yang berkaitan dengan negara asing? Karena kan seseorang kalau kemudian ada rambu-rambu seperti itu pasti akan berpikir ulang untuk … nah, untuk menyimpan dananya di … kan beda dengan yang tax amnesti dulu kan memang itu bentuknya adalah sifatnya kan kesadaran masing-masing wajib pajak. Nah, kalau ini karena dorongan perjanjian internasional, apakah kemudian sifatnya lebih memaksa? Bahkan tadi Pasal 23 pun seolah-olah sudah di … sudah bisa kemudian di … di … apa … ‘dikesampingkan’.

Nah, itu tadi. Jadi, ada irisannya juga bahwa ini kemu … kemudian nanti jasa keuangan kan juga akan secara pelan-pelan juga akan di-filter oleh calon-calon-calon para nasabah. Bahwa kalau demikian, bagaimana iklim investasi, kemudian pertumbuhan ekonomi, kalau kemudian ternyata bahwa dari sektor perbankan pun ada pengetatan seperti ini? Orang kemudian jadi ragu-ragu untuk secara terbuka menyimpan uang di dalam jasa keuangan. Mungkin itu, Pak Sekjen.

(20)

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, saya tambahkan sedikit, Pak Sekjen dan teman-teman dari Pemerintah. Di era global ini, memang sudah tidak ada ketertutupan suatu negara. Artinya, sovereignty satu negara menjadi semakin samar. Apalagi, sovereignty negara yang berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi semakin terbuka. Apakah ini ada kaitannya? Saya pengin mendapat penjelasan. Apakah ini ada kaitannya dengan lalu lintas keuangan dalam bisnis untuk menanggulangi bisnis hitam? Misalnya pencucian uang dari produk-produk bisnis hitam di narkoba, terrorism, dan sebagainya, tidak semata-mata dari sisi pajak saja. Saya juga akan lihat ini. Karena apa? Penting sekali karena arus lalu lintas keuangan kalau tidak bisa di-detect dengan informasi keterbukaan perbankan, itu juga sangat berbahaya untuk sovereignty satu negara. Apakah bisa dikaitkan dengan ini? Yang tidak semata-mata juga dari sisi pajak. Tapi dari sisi sovereignty negara.

Teori besarnya mungkin ketahanan nasional di bidang itu bisa diturunkan dari sini dan nanti untuk kepentingan ekonomi juga sebetulnya, tapi juga untuk kepentingan kedaulatan negara. Saya kira minta penjelasan itu saja, tambahan secara spesifik, secara khusus mengenai hal itu.

Baik. Jadi, Pak Sekjen dan Pak Dirjen, serta bapak-bapak yang mewakili Pemerintah, pertanyaan tidak harus dijawab seketika sekarang, tapi tambahan informasi ini akan kita peroleh dan kita manfaatkan, dan sangat bermanfaat bagi kita secara tertulis dan lengkap supaya bisa kita terima pada persidangan yang akan datang, gitu. Kecuali persidangan ini selesai.

Pemohon, mengajukan ahli, atau saksi, atau tidak? Oh, tidak? Berarti ini rangkaian persidangannya sudah selesai, Pak Sekjen. Oh, hadirkan ahli, enggak? Kalau Pemerintah? Ada? Kalau gitu masih ada dari Pihak Pemerintah yang mengajukan ahli. Berapa ahli, Pak Sekjen, atau Pak Dirjen? Lima? Oke. Ini, serius ini Pemerintah ini.

Baik, kalau begitu sidang yang akan datang tiga orang terlebih dahulu, ya. Untuk yang dua orang berikutnya. Mohon untuk bisa keterangan ahlinya dan curriculum vitae-nya bisa diterima di Kepaniteraan dua hari sebelum sidang yang akan datang.

Sidang yang akan datang Senin, 19 Februari 2018 pada pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR kalau DPR hadir dan tiga orang ahli dari Pemerintah. Begitu?

(21)

Pemohon, cukup, ya? Pemohon, cukup, ya? Ya, baik, dari Pemerintah, cukup? Cukup? Baik. Kalau begitu terima kasih atas

perhatiannya, sidang selesai dan ditutup.

Jakarta, 5 Februari 2018

Kepala Bagian Tata Usaha Kepaniteraan dan Risalah,

t.t.d.

Kurniasih Panti Rahayu

NIP. 1967053 199703 2 001

SIDANG DITUTUP PUKUL 12.12 WIB KETUK PALU 3X

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini didapatkan data bahwa dari 84 responden dalam penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Kertosono, sebagian besar dari responden yang

 Oleh karena request antara layer AJAX dan server berupa bagian kecil dari informasi (tidak komplit satu halaman) maka sering digunakan untuk interaksi dengan database

Activity diagram form input data gejala penyakit dapat dilihat pada gambar dibawah ini, sebagai berikut :. Hapus dan edit inputan

Begitu halnya dengan Jovi Adhiguna Hunter yang membawa dirinya kedepan masyarakat luas ( subscriber ) melalui media sosial Youtube, dimana dirinya termasuk dalam seseorang yang

Disiplin terhadap peraturan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pasal 3 Ayat 17 yang berbunyi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) di prediksi akan mengalami kebangkrutan atau tidak

Kotoran kambing dapat digunakan sebagai bahan organik pada pembuatan pupuk kandang karena kandungan unsur haranya relatif tinggi dimana kotoran kambing bercampur dengan air

Dalam proses penelitian ini peneliti berperan langsung, bertindak sekaligus sebagai instrument dalam pengumpulan data, karena penelitian ini dilakukan dengan fokus