`18
A. Penyesuaian Diri
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah adjustment. Menurut Davidoff (dalam Idi, 2011), adjustment merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri dan tuntutan lingkungan. Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus menerus menyesuaikan diri. Dengan demikian, penyesuaian diri merupakan suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungannya.
Schneiders (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan satu proses yang mecakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustasi yang dialami dalam dirinya. Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antar tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Scheniders juga mengatakan bahwa individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah individu dengan keterbatasan yang ada
pada dirinya, belajar untuk bereaksi terhadap dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta dapat menyelesaikan konflik, frustasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku.
Menurut Chaplin (dalam Indrawati dan Fauziah, 2012) berpendapat penyesuaian diri adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan serta menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial. Misalnya kebutuhan untuk diterima orang lain maka individu berusaha menjalin relasi sesuai dengan norma masyarakat, mengurangi perilaku seperti mudah marah, agresif. Bila individu dapat menyelaraskan kebutuhannya dengan tuntutan lingkungan yaitu orang lain maka akan tercipta penyesuaian diri yang baik
Menurut W.A. Gerungan (2002), bahwa menyesuaikan diri diartikan dalam arti yang luas dan dapat berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Penyesuaian diri dalam arti yang pertama disebut juga penyesuaian diri yang autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua juga disebut penyesuaian diri yang aloplastis (alo = yang lain). Jadi, penyesuaian diri ada artinya “pasif”, di mana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan dan artinya yang “aktif”, di mana kita pengaruhi lingkungan.
Semiun (2006) memberi pengertian bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang
menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh dunia dimana ia hidup.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan penyesuaian diri adalah usaha membuat hubungan yang memuaskan antara individu dengan perubahan di lingkungannya agar mampu mengatasi konflik, frustrasi, perasaan tidak nyaman yang timbul sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dan lingkungan.
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan, terdapat beberapa aspek didalamnya. Menurut Schneiders (dalam Agustiani, 2006) aspek-aspek penyesuaian diri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ketiadaan emosi yang berlebihan
Penyesuaian yang normal dapat diidentifikasi dengan tidak ditemukannya emosi yang berlebihan. Individu yang merespon masalah dengan ketenangan dan kontrol emosi memungkinkan individu untuk memecahkan kesulitan secara inteligen. Adanya kontrol emosi membuat individu mampu berpikir jernih terhadap masalah yang dihadapinya dan memecahan masalah dengan cara yang sesuai. Ketiadaan emosi tidak berarti mengindikasikan abnormalitas tapi merupakan kontrol dari emosi.
b. Ketiadaan mekanisme psikologis
Penyesuaian normal dikarakteristikkan dengan tidak ditemukannya mekanisme psikologis. Ketika usaha yang dilakukan gagal, individu mengakui kegagalannya dan berusaha mendapatkannya lagi merupakan penyesuaian diri yang baik dibandingkan melakukan mekanisme seperti rasionalisasi, proyeksi, kompensasi. Individu dengan penyesuaian diri yang buruk berusaha melakukan rasionalisasi dengan menimpakan kesalahan pada orang lain.
c. Ketiadaan perasaan frustrasi pribadi
Penyesuaian yang baik terbebas dari perasaan frustrasi pribadi. Perasaan frustrasi membuat sulit bereaksi normal terhadap masalah. Misalnya, seorang siswa yang merasa frustrasi dengan hasil akademiknya yang terus merosot menjadi sulit untuk mengorganisasikan pikiran, perasa-an, tingkah laku efisien pada situasi dimana ia merasa frustrasi. Individu yang merasa frustrasi akan mengganti reaksi normal dengan mekanisme psikologis atau reaksi lain yang sulit dalam menyesuaikan diri seperti sering marah tanpa sebab ketika bergaul dengan orang lain.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri (self-direction) Karakteristik menonjol dari penyesuaian normal adalah pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Karakteristik ini dipakai dalam tingkahlaku sehari-hari untuk mengatasi masalah ekonomi, hubungan sosial, kesulitan perkawinan. Kemampuan individu meng-hadapi masalah, konflik, frustrasi meng-gunakan kemampuan berpikir secara
rasional dan mampu mengarahkan diri dalam tingkah laku yang sesuai mengakibatkan penyesuaian normal.
e. Kemampuan untuk belajar
Penyesuaian normal dikarakteristikkan dengan belajar terus-menerus dalam memecahkan masalah yang penuh dengan konflik, frustrasi atau stress. Misalnya orang yang belajar menghindari sikap egois agar terjadi keharmonisan dalam keluarga.
f. Kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu
Kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu merupakan usaha individu untuk belajar dalam menghadapi masalah. Penyesuaian normal membutuhkan peng-gunaan pengalaman masa lalu. Penga-laman masa lampau yang menguntungkan seperti belajar berkebun diperlukan agar individu dapat menggunakannya untuk pengalaman sekarang ketika menghadapi kesulitan keuangan dengan membuka usaha menjual tanaman. g. Sikap realistik dan objektif
Penyesuaian yang normal berkaitan dengan sikap yang realistik dan objektif. Sikap realistik dan objektif berkenaan dengan orientasi individu terhadap kenyataaan, mampu menerima kenyataan yang dialami tanpa konflik dan melihatnya secara objektif. Sikap realistik dan objektif berdasarkan pada belajar, pengalaman masa lalu, pertimbangan rasional, dapat menghargai situasi dan masalah. Sikap realistik dan objektif digunakan untuk menghadapi peristiwa penting seperti orang yang
kehilangan pekerjaan tetap memiliki motivasi sehingga dapat menerima situasi dan berhubungan secara baik dengan orang lain.
Albert dan Emmons (Kumalasari & Ahyani, 2012) juga mengungkapkan beberapa aspek dalam penyesuaian diri, yakni sebagai berikut:
a. Self knowledge dan self insight
Self knowledge dan self insight yaitu kemampuan mengenal kelebihan dan kekurangan diri. kemampuan ini harus ditunjukkan dengan emosional insight, yaitu kesadaran diri akan kelemahan yang didukung oleh sikap yang sehat terhadap kelemahan tersebut.
b. Self objectivity dan self acceptance
Self objectivity dan self acceptance yaitu apabila individu telah mengenal dirinya, ia bersikap realistik yang kemudian mengarah pada penerimaan diri.
c. Self development dan self control
Self development dan self control yaitu kendali diri yang berarti mengarahkan diri, regulasi pada impuls-impuls, pemikiran-pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku yang sesuai. Kendali diri bisa mengembangkan kepribadian kearah kematangan, sehingga kegagalan dapat diatasi dengan matang.
d. Satisfaction
Satisfaction adanya rasa puas terhadap segala sesuatu yang telah dilakukan, menganggap segala sesuatu yang telah dilakukan, menganggp
suatu pengalaman dan bila keinginannya terpenuhi maka ia akan merasakan suatu kepuasan dalam dirinya.
Berdasarkan gambaran aspek-aspek penyesuaian diri di atas, penelitian ini menggunakan aspek penyesuaian diri Schneiders yang terdiri dari ketiadaan emosi yang berlebihan, ketiadaan mekanisme psikologis, ketiadaan perasaan frustrasi pribadi, pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar, kemampuan menggunakan masa lalu, dan sikap realistik dan objektif.
Peneliti memilih aspek-aspek penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders karena konsepnya lebih komprehensif dibandingkan dengan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Albert dan Emmons. Aspek-aspek-aspek penyesuaian diri dari Schneiders lebih terperinci untuk menjelaskan permasalahan dalam penelitian. Sedangkan aspek penyesuain diri Albert dan Emmons lebih terlihat general.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Dalam proses penyesuaian diri, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses didalamnya. Menurut Mohammad (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kondisi Jasmaniah
Struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku, maka dari itu dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan-gangguan dalam sistem saraf, kelenjar dan
otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan kepribadian. Dengan demikian, kondisi sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi tercapainya proses penyesuaian diri yang baik begitu pula sebaliknya.
b. Perkembangan, Kematangan, dan Penyesuaian Diri
Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang bersifat instinktif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman. Dengan pertambahnya usia, kematangan untuk melakukan respon yang menjadi lebih baik dalam proses penyesuaian diri. Dengan kata lain, pola penyesuaian diri akan bervariasi tiap individu sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya.
c. Penentu Psikologis terhadap Penyesuaian Diri
Dalam penentu psikologis terhadap penyesuaian diri, terdapat faktor yang mempengaruhi didalamnya, yakni:
1) Pengalaman
Dalam kehidupan manusia, pengalaman memiliki peranan penting dalam pembentukan penyesuaian diri sebagai bahan acuan untuk kehidupan selanjutnya.
2) Belajar
Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam proses penyesuaian diri karena melalui belajar ini akan berkembang pola-pola respon yang akan membentuk kepribadian.
3) Determinasi Diri
Determinasi diri merupakan faktor-faktor kekuatan yang mendorong seseorang untuk mencapai sesuatu yang baik atau buruk dalam mencapai taraf penyesuaian yang tinggi atau bahkan merusak dirinya. Determinasi mempunyai peranan penting karena keberhasilan dan kegagalan penyesuaian diri akan banyak ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya.
4) Konflik dan Penyesuaian
Tidak semua konflik itu bersifat menganggu atau merugikan, konflik juga memiliki manfaat memotivasi seseorang untuk meningkatkan kegiatan. Dengan adanya konflik, membuat individu lebih bijaksana dan ahli dalam memecahkan suatu masalah atau mungkin sebaliknya membuat individu itu melarikan diri pada penyesuian diri yang salah. 5) Lingkungan sebagai penentu penyesuaian diri
Lingkungan memiliki pengaruh yang kuat dalam proses penyesuaian diri. Individu memerlukan hubungan dengan lingkungannya yang mengaitkannya, merangsang perkembangannya atau yang memberikannya sesuatu yang ia perlukan. Tanpa hubungan ini, individu bukanlah individu lagi.
B. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial Rekan Kerja
Pengertian dukungan sosial bisa diketahui berdasarkan asal-usul kata (etimology). Menurut Chaplin (1999), dukungan sosial dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan social support. Sosial artinya menyinggung relasi di antara dua atau lebih individu. Support memiliki dua arti, yakni mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan memberikan dorongan atau pengobaran semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuatan keputusan.
Secara umum, Sarafino (dalam Smet, 1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang menerima dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Pengertian senda juga dikemukakan oleh Menurut Johnson dan Jhonson (dalam Saputri, 2011), bahwa dukungan sosial merupakan keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan.
Pendapat lain mengenai pengertian dukungan sosial dijelaskan oleh Laura A. King (2012), dimana dukungan sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik.
Fass et al. (2000) (dalam Ariani, 2013) menyebut dukungan sosial rekan kerja dengan istilah Perceived Coworker Support yang dimaknai sebagai pengaruh positif yang membuat interaksi sosial terjadi berulang-ulang sebagai hasil dari helping activity. Sejalan dengan definisi tersebut, dukungan sosial rekan kerja (coworker support) dapat didefinisikan sebagai bantuan emosional dan instrumental yang diperoleh individu dari hubungan interpersonal dengan rekan kerja. Definisi tersebut mengacu pada definisi work support yang tertulis dalam disertasi Lane (dalam Ariani, 2013) sebagai berikut: “Work support is defined as the emotional and instrumental assistance one receives through his or her interpersonal relationships at work”.
Beberapa pengertian di atas memberikan gambaran bahwa dukungan sosial rekan kerja merupakan dukungan yang diterima oleh individu dari rekan kerja berupa bantuan emosional ataupun instrumental yang mampu membuat individu merasa nyaman, dihargai dan dicintai.
2. Aspek-Aspek Dukungan Sosial
Persoalan dukungan sosial bisa digambarkan melalui berbagai aspek. Menurut House (dalam Smet, 1994) aspek-aspek dukungan sosial adalah sebagai berikut:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan ini dapat memberikan rasa aman dan nyaman, perasaan dimiliki dan dicintai dalam
situasi-situasi stress yang dirasakan. Indikator dukungan emosional antara lain: merasakan empati, perhatian dan kepedulian dari rekan kerja.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif bagi orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain. Dalam lingkungan pekerjaan, indikator dukungan penghargaan antara lain berupa: penghargaan positif yang dirasakan dari rekan kerja, mendapatkan persetujuan atas ide dan pendapat atau mendapatkan dorongan semangat dari rekan kerja.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental yaitu mencakup bantuan langsung untuk mempermudah perilaku yang secara langsung menolong individu. Misalnya bantuan benda, pekerjaan, dan waktu. Dukungan ini disebut juga sebagai dukungan pertolongan, dukungan nyata atau dukungan material. Indikator dukungan instrumental ialah mendapatkan bantuan langsung berupa tindakan dari rekan kerja, baik materil maupun fasilitas.
d. Dukungan informatif
Dukungan informatif mencakup pemberian nasehat, saran-saran, atau umpan balik. Melalui dukungan ini, individu mampu mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah melalui pemberian saran, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan. Indikator dukungan informasi antara lain: mendapatkan nasehat atau saran dari
rekan kerja dan mendapatkan pengarahan atau petunjuk dari rekan kerja tersebut.
3. Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial berasal dari berbagai sumber. Mennurut Wentzel (dalam Apollo dan Cahyadi, 2012), bahwa sumber-sumber dukungan sosial adalah orang-orang yang memiliki hubungan yang berarti bagi individu, seperti keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan kerja, saudara dan tetangga, teman-teman dan guru di sekolah.
Penelitian empiris dalam literatur dukungan sosial di lingkungan kerja, terdapat sumber dukungan sosial tersendiri. Lane (dalam Ariani, 2013) membagi dukungan sosial tersebut ke dalam dua sumber, yakni:
a. Work Support
Merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari dalam (internal) dunia kerja, yaitu: dukungan dari atasan (supervisor support) dan dukungan dari rekan kerja (coworker support).
b. Non-Work Support
Merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari luar (eksternal) dunia kerja, seperti: dukungan dari keluarga, teman, dan sebagainya.
C. Hubungan Antara Dukungan Sosial Rekan Kerja dan Penyesuain Diri Pada Perawat di Rumah Sakit X Kota Tasikmalaya
House (Smet, 1994) membagi dukungan sosial kedalam empat aspek atau empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan instrumental, dukungan emosional, dukungan penghargaan dan dukungan informasi. Menurut House (Smet, 1994) dukungan instrumental misalnya memberikan bantuan finansial, benda, maupun dalam bentuk pekerjaan. Sedangkan dukungan emosional mencangkup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap individu yang bersangkutan, misalnya umpan balik.
Menurut Sari (Utami, 2013) dukungan dalam bentuk penghargaan dapat berupa pemberiaan apresiasi ketika individu mencapai suatu keberhasilan, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu dan perbandingan positif dengan individu lain dapat membuat individu merasa nyaman dan dihargai. Memberikan dukungan penghargaan berpengaruh pada pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, sehingga perawat dapat menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dan dapat menyesuaikan diri dengan normal.
Aspek dukungan informatif merupakan dukungan yang diberikan kepada individu dapat berupa pemberian informasi, nasehat, pengarahan, saran atau pertimbangan, mengenai apa yang harus dilakukan seseorang, terutama dalam mengatasi persoalan yang sedang dihadapi. Dukungan informasi akan membantu individu memahami situasi dan mencari alternatif pemecahan masalah atau tindakan yang akan diambil.
Dukungan sosial secara psikologis dipandang sebagai hal yang kompleks. Wortman dan Dunkell-Scheffer (dikutip dalam Abraham, 1997) mengidentifikasi beberapa jenis dukungan yang meliputi ekspresi perasaan positif, termasuk menunjukkan bahwa seseorang diperlakukan dengan rasa penghargaan yang tinggi, ekspresi persetujuan dengan atau pemberitahuan tentang keyakinan dan perasaan sesorang. Ajakan untuk membuka diri dan mendiskusikan keyakinan dan sumber-sumber juga merupakan bentuk dukungan sosial. Jenis dukungan ini dapat menjadi hal utama bagi pembentukan hubungan saling membantu apakah itu sebagai hubungan persahabatan.
Berdasarkan pendapat Lane (dalam Ariani, 2013), maka konsep dukungan sosial rekan kerja atau coworker support yang dimaksudkan dalam penelitian ini berasal dari konsep dukungan sosial yang dipandang dari perspektif “fungsional”, yaitu perceived social support yang menjelaskan mengenai ketersediaan dukungan dari rekan kerja yang dirasakan individu saat membutuhkan. Dukungan sosial rekan kerja merupakan salah satu jenis dukungan sosial yang bersumber dari internal dunia kerja individu.
Dampak dari dukungan sosial salah satunya dikemukakan oleh Morgan, dkk (dalam Abraham, 1997) bahwa hubungan saling percaya yang kuat penting untuk melindungi orang dari depresi setelah suatu kejadian hidup yang berat, dan bentuk dukungan sosial lain penting untuk kepentingan jangka panjang. Dalam kontek hubungan dukungan sosial dan penyesuaian diri.
Dalam lingkungan kerja, penyesuaian diri menjadi faktor penting bagi tenaga kerja baru untuk bisa cepat beradaptasi dan memaksimalkan tugas pekerjaannya. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri sebagai suatu proses dimana individu berusaha keras untuk mengatasi atau menguasai kebutuhan dalam individu yang bertujuan untuk mendapatkan keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana dia tinggal dengan tuntutan didalam dirinya. Schneiders membagi penyesuaian diri ke dalam 7 aspek.
Pertama, ketiadaan emosi belebih. Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan dan memiliki kontrol emosi untuk menghadapi permasalahan secara cermat. Kedua, ketiadaan mekanisme psikologis. Individu dengan penyesuaian diri yang normal bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Ketiga, perasaan frustrasi pribadi. Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian. Keempat, Berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri. Penyesuaian normal ditandai dengan adanya kemampuan individu dalam menghadapi masalah, konflik, dan frustrasi dengan menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dan mampu mengarahkan tingkah laku yang sesuai.
Kelima, kemampuan untuk belajar. Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu diperoleh dari proses belajar yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga dari proses belajar tersebut individu memperoleh berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Keenam, memanfaatkan pengalaman masa lalu. Kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Ketujuh, sikap realistis dan objektif. Sikap ini berkenaan dengan orientasi individu terhadap kenyataaan, mampu menerima kenyataan yang dialami tanpa konflik dan melihatnya secara objektif.
Dalam beberapa penelitian sebelumnya, dukungan sosial dan penyesuaian diri memiliki hubungan yang kuat dan berhubungan. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Fani Kumalasari dan Latifah Nurahyani (2012), dukungan sosial memiliki hubungan dengan penyesuaian diri terhadap remaja di panti asuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial berpengaruh terhadap penyesuaian diri pada remaja panti asuhan meskipun dengan angka yang cukup kecil, yakni 11,5%.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dian Isnawati dan Fendi Suhariadi (2013) dengan subjek karyawan PT Pupuk Kaltim. Hasil penelitian ini menunjukkan arah hubungan yang positif antara dukungan sosial dan penyesuaian diri. Artinya semakin tinggi dukungan sosial semakin tinggi pula penyesuaian diri, begitu juga sebaliknya semakin rendahnya dukungan sosial semakin rendah pula penyesuaian diri.
Kesimpulan yang sama pengaruh hubungan antara dukungan sosial dan penyesuaian diri juga terdapat dalam penelitian Oki Tri Handono dan Khaerudin Basori (2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dan penyesuaian diri terhadap stress lingkungan santri tersebut Hasil analisis penelitian menunjukkan adanya ada hubungan negatif antara penyesuaian diri dan dukungan sosial dengan stres lingkungan. Semakin tinggi penyesuaian diri dan dukungan sosial maka semakin rendah stres lingkungan dan semakin rendah penyesuaian diri dan dukungan sosial maka semakin tinggi stres lingkungan.
Berdasarkan gambaran penjelasan di atas, hubungan antara dukungan sosial rekan kerja dan penyesuian diri pada perawat baru memiliki kaitan yang erat. Penyesuaian diri yang baik pada perawat akan berdampak signifikan bukan hanya pada dirinya sendiri akan tetapi pada keberlangsungan pasien. Sebagai garda terdepan dalam peningkatan kesehatan di masyarakat, perawat dituntut untuk cepat menyesuaikan diri di tempat kerja sehingga tidak membebani pasien. Oleh karena itu, dukungan sosial dari rekan kerja menjadi salah satu bagian atau faktor penting dalam melakukan proses penyesuaian diri yang baik pada perawat di rumah sakit.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara dukungan sosial rekan kerja dan penyesuaian diri pada perawat di Rumah Sakit X Kota Tasikmalaya. Semakin tinggi dukungan sosial rekan kerja,
maka semakin tinggi penyesuaian diri positif yang dilakukan. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial rekan kerja, maka semakin rendah penyesuaian diri positif yang dilakukan.