261 ©2019 Kandai, ISSN 2527-5968 (online), 1907-204X (print)
http://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kandai K A N D A I
PERJUANGAN KESETARAAN GENDER TOKOH INTAN DALAM NOVEL
ALUN SAMUDRA RASA KARYA ARDINI PANGASTUTI BN
(Struggle of Intan Character for Gender Equality in Novel Alun Samudra Rasa by Ardini Pangastuti Bn)
Sa’adatun Nuril Hidayah, Slamet Subiyantoro, & Nugraheni Eko Wardani Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Pascasarjana,
Universitas Sebelas Maret
Jalan Ir. Sutami No. 36 A, Surakarta 57126, Indonesia Pos-el: saadatun46@gmail.com
(Diterima 28 Maret 2019; Direvisi 17 Oktober 2019; Disetujui 18 Oktober 2019)
Abstract
Women's problems are caused by various things such as rights in decision making, showing their existence in the public sphere, the right to get the opportunity to work, the right to education, and many things that limit women's movement to show their existence. This study aims to reveal the struggle for gender equality experienced by women illustrated in literary works, Novel Alun Samudra Rasa about the struggle for gender equality between female and male leaders. This research uses the theory of feminism. The theory of feminism is used to examine the form of the struggle for gender equality of the main female characters in the novel. The method used in this study is qualitative descriptive analysis. The research data source was Alun Samudra Rasa novel by Ardini Pangastuti Bn. Research data in the form of words, phrases, sentences and discourses. The results of this study indicate that the form of gender equality struggle found in the novel is the role of public and productive, freedom for women in making choices, determination in facing life problems, and struggle in demanding justice for women's rights.
Keywords: gender equality, feminism, novel Abstrak
Permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh berbagai hal seperti hak dalam pengambilan keputusan, menunjukkan eksistensinya di ruang publik, hak memperoleh kesempatan bekerja, hak memperoleh pendidikan, serta masih banyak hal-hal yang membatasi ruang gerak perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan Perjuangan kesetaraan gender yang dialami oleh perempuan tergambar dalam karya sastra, Novel Alun Samudra Rasa mengangkat tentang perjuangan kesetaraan gender antara tokoh perempuan dan laki-laki. Penelitian ini menggunakan teori Feminisme. Teori Feminisme digunakan untuk mengkaji bagaimana bentuk perjuangan kesetaraan gender tokoh utama perempuan dalam novel tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif analisis. Sumber data penelitain berupa novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn. Data penelitian berupa kata, frasa, kalimat dan wacana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk perjuangan kesetaraan gender yang ditemukan dalam novel yaitu peran publik dan produktif, kebebasan bagi perempuan dalam menentukan pilihan, ketegaran dalam menghadapi permasalahan hidup, dan perjuangan dalam menuntut keadilan hak-hak perempuan.
Kata-kata kunci: kesetaraan gender, feminisme, novel DOI: 10.26499/jk.v15i1.1364
How to cite: Hidayah, S.N., Subiyantoro, S., & Wardani, N.E. (2019). Perjuangan kesetaraan gender tokoh Intan dalan novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn. Kandai, 15(2), 261-276 (DOI: 10.26499/jk.v15i1.1364) Volume 15 No. 2, November 2019 Halaman 261-276
PENDAHULUAN
Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Pekerjaan wanita selama ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik), walaupun kini wanita mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis
pekerjaaan inipun merupakan
perpanjangan dari pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukankeahlian manual (Wibowo, 2011). Sebagai isu global yang memerlukan penanganan khusus, deklarasi PBB telah menetapkan kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan gender yang telah menyebabkan penderitaan fisik, psikis, dan seksual terhadap perempuan, termasuk ancaman bagi kemerdekaannya baik di dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat (Kapoor, 2000).
Gender adalah identitas yang melekat pada pria dan wanita karena konstruksi sosial-budaya masyarakat (Jozkowski & Wiersma‐Mosley, 2017). Masalah gender muncul karena ketidakadilan peran antara laki-laki dan perempuan. Masalah gender muncul karena ketidakadilan peran antara laki-laki danperempuan. Gender muncul sebagai masalah bagi perempuan sebagai akibat adanya anggapan bahwa inferioritas perempuan merupakan keturunan yang ditandai oleh fisik yang lemah, keterbatasan intelektual, dan kecenderungan pada emosi (Madsen, 2000). Anggapan inilah yang kemudian menimbulkan masyarakat menempatkan laki-laki sebagai pihak yang berkuasa dan menempatkan perempuan di kelas yang sering diabaikan keberadaanya.
Fakta membuktikan bahwa di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara, perempuan secara
umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Latar belakang seseorang mampu mempengaruhi tingkah seseorang dalam kehidupannya. Perbedaan pola pikir, sistem sosial, kepercayaan, genetik, bahkan aspek geografis memiliki efek pembentukan budaya (Setyawan & Saddhono, 2018, hlm. 67). Sejalan dengan Hardiningtyas (2016) Persoalan perempuan dan alam pun menjadi fenomena yang digambarkan dengan jelas dalam sastra.
Perjuangan kesetaraan gender yang terjadi pada perempuan cukup menarik perhatian khalayak umum, salah satunya adalah karya sastra. Sebuah karya sastra merupakan sebuah kebulatan yang utuh, khas, dan berdiri sendiri, serta merupakan dunia keindahan dalam wujud bahasa yang telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas (Windiyarti, 2008, hlm. 286). Karya sastra lahir disebabkan adanya manusia sebagai pencipta dan kehidupan manusia itu sendiri sebagai sumber inspirasi (Pratama, Suwandi, & Wardani, 2017, hlm. 221). Sastra mencerminkan
pengalaman manusia dan
menggambarkan fenomena tertentu dalam masyarakat (Rorintulus, 2018, hlm. 139). Pengarang pada umumnya menulis karya-karya berdasarkan pengalaman hidupnya sebagai sumber inspirasinya (Adnani, Udasmoro, & Noviani, 2016, hlm. 145). Sastra sebagai sebuah teks tidak dapat melepaskan diri dari peran pengarang dan lingkungan terciptanya karya sastra (Saddhono, Waluyo, & Raharjo, 2017, hlm. 17).
Melalui karya sastra novel dapat kita lihat kondisi sosial masyarakat,
khususnya masyarakat Jawa. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, karena para proses penciptaan karya sastra tidak terlepas dari ideologi dan latar belakang sosial pengarang yang merupakan anggota dari suatu sistem sosial atau anggota masyarakat (Setyawan, Saddhono, & Rakhmawati, 2018, hlm. 207). Segala kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat dikemas begitu detail dan unik untuk menggambarkan segala peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat dengan berbagai macam permasalahan, salah satunya adalah permasalahan yang menimpa kaum perempuan.
Salah satu novel yang mengangka tema permasalahan gender dan menarika dalah novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn yang diterbitkan pada bulan Mei 2015. Novel ini dipilih sebagai objek kajian dalam penelitian dikarenakan pertama, novel Alun
Samudra Rasa ini telah meraih
penghargaan rancage sastra Jawa. Kedua, berdasarkan tinjauan dari segi pengarang, Ardini Pangastuti Bn merupakan salah satu pengarang Sastra Jawa senior yang produktif. Terbukti dari keaktifan beliau menekuni sastra Jawa sejak tahun 1986 hingga sekarang. Beliau juga pernah menjabat sebagai redaktur di salah satu majalah berbahasa Jawa yaitu Djaka Lodhang ini banyak menyimpan atau setidaknya mengandung nilai-nilai kesetaraan gender, yang dianggap patut dan menarik untuk diteliti. Hasil karya beliau khususnya karya sastra fiksi dapat menyajikan hal-hal baru yang mampu memberi inspirasi bagi para pembacanya, sehingga karya-karya sastranya tidak hanya sebagai hiburan semata, melainkan dapat memberi manfaat dalam kehidupan, baik diri sendiri maupun kehidupan sosial. Hal ini sesuai dengan fungsi utama karya sastra, yaitu 'dulce et utile' atau indah dan
menghibur (dulce) serta berguna dan mengajarkan sesuatu (utile) (Budianta, 2002). Novel Alun Samudra Rasa yang digunakan peneliti sebagai objek penelitian dianggap memiliki fungsi dulce et utile. Ketiga, berdasarkan isinya, novel yang berjudul Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti
Bn ini menceritakan tentang gambaran kehidupan masyarakat, tema yang diangkat mengenai permasalahan dalam keluarga. Permasalahan di dalam keluarga Intan Purnami dan Bregas Jatmiko yang menjadi pusat cerita. Kelemahan perempuan justru dijadikan objek kajian dalam penelitian ini untuk menampilkan perjuangan perempuan melawan ketidakadilan gender. Ardini Pangastuti melalui novel Alun Samudra
Rasa menghadirkan sosok utama
perempuan untuk mendobrak ketidakadilan gender.
Berkaca dari fakta-fakta tersebut, menjadi sesuatu yang penting ketika kita dihadapkan pada tuntutan untuk memahami persoalan perbedaan gender ini secara proporsional. Dari kajian tentang Novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn diharapkan muncul pandangan-pandangan yang lebih adil dan manusiawi tentang sosok perempuan. Bersamaan hal itu, muncul satu gerakan untuk memperjuangkan kedudukan perempuan atau biasa disebut dengan gerakan feminisme.
Pemerintahan saat ini telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender. Hal ini terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia, dengan hal ini banyak generasi penerus bangsayang merupakan calon pembangun negara ini mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Terlepas dari permasalahan pendidikan yang ada, namun dapat diakui bahwa pandangan orang tua kolot masa lalu yang tidak menyekolahkan anak perempuannya kini
telah berubah. Terlihat bahwa pada saat ini kaum perempuan pun banyak yang bersekolah hingga jenjang yang tinggi (Umam, 2018). Selain hak untuk mendapatkan pendidikan, di Negara Indonesia sebenarnya telah menerapkan kesetaraan gender dalam tatanan organisasi dari mulai organisasi yang kecil hingga pemerintahan. Buktinya ialah perempuan pun memiliki peranan yang sama dalam hal menduduki jabatan tertentu dalam suatu institusi. Presiden Negara Indonesia yang pernah diduduki oleh seorang perempuan, yaitu Megawati Soekarno Putri.
Selama ini kajian feminisme jarang melihat peran perempuan dalam budaya ketimuran. Feminisme selalu disamakan dengan gerakan menuntut kesetaraan yang berkembang di Barat. Sementaran itu, bentuk feminisme setiap Budaya tidak sama. Dengan kata lain, feminisme Jawa tidak bisa dibandingkan dengan feminis Barat. Selama ini perempuan Jawa identik degan karakter pasrah dan
nrima. Sikap pasrah dan nrima masih
selalu dianggap karakter lemah perempuan Jawa. Padahal, sikap tersebut justru merupakan kekuatan. Melalui sikap nrima dan pasrah, perempuan Jawa dikenal mampu bertahan menghadapi kesulitan dalam hidup. Mereka menjalani peran sebagai istri dengan mengasuh anak sekaligus mengatur rumah tangga, bahkan bisa lebih dari itu. Ditengah berbagai tanggung jawab yang tidak ringan itu, pada kondisi tertentu kaum perempuan Jawa mampu menggantikan peran suami. Mereka juga dikenal dapat menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Permasalahannya adalah bagaimana cara perempuan berusaha untuk menyetarakan kedudukan dengan laki-laki. Keadilan gender adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki, untuk menjamin agar proses itu adil bagi perempuan dan laki-laki perlu
tindakan-tindakan untuk menghentikan hal-hal yang secara sosial dan menurut sejarah menghambat perempuan dan laki-laki untuk berperan dan menikmati hasil dan peran yang dimainkannya (Widayani & Hartati, 2015, hlm. 149). Eksistensi perempuan Jawa yang ingin menerjang segala lecut balik yang berupa batasan-batasan peran stereotip di seputar dapur-sumur-kasur (Asmarani, 2016).
Pendekatan feminisme digunakan untuk menganalisis bentuk perjuangan kesetaraan gender tokoh utama perempuan dalam novel Alun Samudra Rasa. Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu sebagai respon atas berkembangnya feminisme disegala penjuru dunia. Dasar pemikiran feminis dalam penelitian sastra adalah upaya pemahaman dan kedudukan perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Kritik sastra feminis bertolak dari permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi makna karya sastra. Penelitian ini akan membahas feminisme dari sudut pandang budaya Jawa bagaimana bentuk ketidakadilan gender yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan di Jawa dalam novel Alun Samudra Rasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan upaya untuk melakukan pembebasan terhadap kaum perempuan sebagai akibat dari ketidakadilan gender dan sebuah gerakan untuk mensejajarkan kedudukan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hadirnya feminisme dalam dunia barat bukan sebagai sebuah gerakan untuk melawan atau memberontak terhadap kaum laki-laki melainkan sebagai sebuah gerakan yang menginginkan perhargaan terhadap kaum perempuan agar tercipta kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan sehingga kaum perempuan juga mempunyai hak dan kebebasan dalam hal apapun termasuk hak untuk
mengambil keputusan dan menempuh pendidikan.
Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis-ideologis yang menekankan pada pembaca perempuan dalam meneliti sebuah karya sastra dengan memfokuskan pada tokoh utama perempuan terkait tentang kesalahpahaman perempuan dan sebab-sebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam sebuah karya sastra khususnya karya sastra dalam bentuk novel. Selain itu, kritik sastra feminis ideologis memfokuskan mengapa perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan hidup, perempuan selalu tidak dianggap penting karena tugasnya hanyalah mengurus urusan domestik dan juga segala keperluan suami dan anak-anak.
Fenomena dan ketimpangan gender tersebut menjadi latar belakang dilakukannya penelitian novel ini, selain itu, novel ini banyak menyimpan atau setidaknya mengandung nilai-nilai kesetaraan gender, yang dianggap patut dan menarik untuk diteliti. Dalam konteks ini, penelitian ini akan difokuskan pada perjuangan kesetaraan gender. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perjuangan kesetaraan gender tokoh Intan dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn? permasalah ini akan mengantarkan penelitian kepada tujuannya, yakni perjuangan kesetaraan gender tokoh Intan dalam novel Alun Samudra Rasa. LANDASAN TEORI
Studi Kritik Sastra Feminis
Sistem kerja kritik sastra feminis adalah meneliti karya sastra dengan melacak ideologi yang membentuknya dan menunjukkan perbedaan-perbedaan
yang dikatakan oleh karya dengan yang tampak dari sebuah pembacaan yang diteliti. Feminisme sastra tidak berarti pengkritik perempuan atau kritik tentang perempuan, juga bukan kritik tentangpengarang perempuan (Syahrul, 2018). Berkembangnya berawal dari pandangan kaum perempuan yang lebih dikenal dengan feminisme yaitu gerakan wanita yang menuntut adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu sebagai tanggapan atas berkembangnya feminisme di segala penjuru dunia. Dasar pemikiran feminis dalam penelitian sastra adalah upaya pemahaman dan kedudukan perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.
Pendekatan kritik sastra feminis mempunyai beberapa langkah dalam penerapannya (Djajanegara, 2000), yaitu mengidentifikasi satu tokoh wanita di antaranya kedudukan dalam masyarakat, mencari tujuan hidupnya, dan mencari watak serta prilaku yang digambarkan, meneliti tokoh lain, terutama laki-laki yang berkaitan dengan tokoh perempuan, dan mengamati sikap penulis karya yang sedang diamati.
Kritik sastra feminis bertolak dari permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi makna karya sastra (Sugihastuti, 2005). Para pemula kritik sastra feminis itu menawarkan esai yang mengetengahkan masalah pokok tentang pengembangan teori perbedaan seksual. Karya-karya mereka bukan merupakan kecaman terhadap salah satu kritik sastra, melainkan pandangan mereka lebih menunjuk kepada aneka macam cara dalam perbincangan konsep perbedaan sosial.
Kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji
karya sastra penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan (Djajanegara, 2000). Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Dikaitkan dengan aspek-aspek kemasyarakatan, kritik sastra feminis pada umumnya membicarakan tradisi sastra oleh kaum perempuan, pengalaman perempuan di dalamnya, kemungkinan adanya penulisan khas perempuan, dan sebaliknya. Kritik feminis ini adalah satu kritik sastra yang berusaha mendiskripsikan dan menafsirkan pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra (Pradotokusumo, 2005). Di samping itu, kritik feminis menantang dan menentang gagasan dan pandangan tradisional dan mapan kaum laki-laki terhadap sifat dasar perempuan dan bagaimana perempuan merasa, berpikir, dan bertindak serta bagaimana kaum perempuan pada umumnya menanggapi kehidupan dan hidup ini.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif analisis. Ratna (2004) menyampaikan bahwa metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Sumber data penelitian yaitu novel Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti
Bn, sedangkan data dalam penelitian ini berupa kata-kata, frasa, kalimat, dan wacana dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn.
Fokus dalam penelitian ini adalah untuk mengungkapkan bentuk perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan tokoh utama perempuan yang digambarkan dalam novel Alun Samudra
Rasa. Sumber data primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah novel Alun Samudra Rasa. Sumber data sekunder diperoleh dari informan, yaitu Ardini Pangastutu Bn selaku pengarang novel Alun Samudra Rasa. Teknik pengambilan data dengan menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik content analysis yang dipadukan dengan pendekatan kritik sastra Feminis.Uji validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi data, yaitu menggunakan triangulasi sumber data dan triangulasi teori. Tahapan analisis data menggunakan analisis interaktif yang terdiri dari tahap reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan (Miles & Huberman, 2009).
PEMBAHASAN
Keinginan kaum perempuan untuk melepaskan diri dari kedudukan sosial rendah merupakan Perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Perjuangan gerakan feminisme dituangkan oleh penulis dalam karya sastra melalui tokoh utama yang ada di dalamnya. Karakter tokoh tersebut menggambarkan perjuangan kesetaraan gender. Bentuk perjuangan kesetaraan gender yang diungkapkan dalam novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn berupa :
Kebebasan Memilih bagi Perempuan Manusia memiliki hak untuk menentukan pilihan dalam hidupnya. Demikian juga seorang wanita, ia bebas menentukan pilihan. Kebebasan untuk
memilih bagi perempuan dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastui Bn merupakan perjuangan pembebasan perempuan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan sebagai Meski kerap menerima perlakuan yang tidak baik dari Bregas suaminya sendiri, Intan berharap masalah rumah tangganya diselesaikan dengan baik-baik tanpa ada unsur kekerasan. Tetapi kenyataan berbeda dengan apa yang Intan harapkan, sehingga Intan merasa tidak akan sanggup lagi untuk menghadapi sikap suaminya. Sikap Intan tersebut dapat dilihat dalam kutipan novel berikut ini.
“Rasane Intan wis ora tahan ngadhepi tingkahe sing lanang. Puncake, prastawa sawetara dina kepungkur kuwi. Saking anyele sing lanang di tantang pisan, merga wis cukup suwe anggone ngendhem perasaane. Wis cukup suwe anggone ngampet lara ati amarga tansah dicubriyani terus. Ning tanggapane sing lanang malah ana ing sanjabane petung. Dudu wangsulan gagah merwira kaya sing diarep-aep, jebul malah tangane priya iku maju. Intan
rumangsa saya kelara-lara.
Kesabarane wis entek.”
(Pangastuti Bn, 2015, hlm. 84) Terjemahan:
„Rasanya Intan sudah tidak tahan lagi menghadapi tingkah laku suaminya. Puncaknya, peristiwa beberapa hari yang lalu. Dikarenakan sangat jengkelnya suaminya di tantang sekalian, karena sudah cukup lama Intan memendam perasannya. Sudah cukup lama Intan menahan sakit hati karena selalu dicurigai terus. Tetapi tanggapan suaminya malah di luar harapan. Bukan jawaban
gagah dan perwira seperti apa yang telah diharapkan, ternyata tangan laki-laki itu maju, Intan merasa tambah sakit. Kesabarannya sudah habis.‟ (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 84)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Intan memutuskan untuk berhenti berjuang mempertahankan rumah tangganya. Intan sudah tidak sabar lagi untuk menghadapi tingkah laku suaminya sehingga Intan sudah siap mengambil keputusan paling pahit di hidupnya. Keputusan tersebut merupakan representasi dari sikap feminisme yang ditunjukan oleh Intan, yaitu berani mengambil dan menghadapi risiko dari keputusan yang diambilnya.
Intan memutuskan untuk berhenti berjuang mempertahankan rumah tangganya. Habis sudah kesabaran Intan untuk menghadapi tingkah laku suaminya sehingga Intan sudah siap mengambil keputusan paling pahit di hidupnya. Sikap Bregas yang tidak berubah, justru lebih buruk hingga mabuk-mabukan, cemburu dan berbicara sangat kasar membuat Intan memutuskan untuk berpisah darinya. Walaupun perempuan Jawa memiliki kelembutan dan kesabaran, akan tetapi apabila kesabaran mereka telah habis maka perempuan Jawa akan mengambil sikap yang tegas. Ketegasan perempuan Jawa ini juga dapat dilihat dalam beberapa tokoh wayang, seperti Srikandhi, Anggraeni, Utari, dan masih banyak yang lainnya. Ketegasan dari sikap Intan terhadap Bergas suaminya, dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Maune aku ora duwe niyat kaya mangkono. Sekar pancen isih kangen karo eyange. Kuwi wae! Aku ora duwe karep apa-apa kanthi ninggal sekar ana kana. Malah pangangenku mbokmenawa
yen ora ana Sekar lan Mona awake dhewe bisa memperbaiki hubungan sing keri-keri krasa saya cemplang. Nanging prastawa mau bengi lan uga esuk iki, mahanani aku dadi mikir beda. Aku wis ora berminat maneh kanggo nerusake perkawinan iki. Percuma aku wes kesel uga lara!” (Pangastuti Bn, 2015, hlm.125-126)
Terjemahan:
„Tadinya aku tidak memiliki niat seperti itu. Sekar memang masih kangen dengan eyangnya. Itu saja! Aku tidak mempunyai keinginan apa-apa dengan meninggalkan Sekar di sana. Malah bayanganku mungkin kalau tidak ada Sekar dan Mona kita bisa memperbaiki hubungan yang akhir-akhir ini terasa hambar. Tetapi peristiwa tadi malam dan juga pagi ini, membuat aku menjadi berfikir beda. Aku sudah tidak berminat lagi untuk meneruskan pernikahan ini. Percuma aku sudah capek juga sakit!‟ (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 125-126)
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Intan berani mengambil keputusan yang paling pahit dalam hidupnya. Intan merasa pilihan tersebut sangatlah tepat. Setelah berpisah dengan Bregas Intan memutuskan untuk menetap di Yogyakarta bersama kedua orang taunya dan keluar dari pekerjaannya. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Intan merupakan perempuan yang bijak dalam mengambil sebuah keputusan.
Feminisme sosok perempuan Jawa dalam Novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn terlihat dari kebebasan untuk memilih bagi
perempuan, misalnya memilih untuk menentukan pilihan. Kebebasan Intan dalam memilih setiap pilihan hidupnya. Sikap feminisme selanjutnya dapat dilihat dengan selalu berpikir dan berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan, apakah nantinya keputusan tersebut akan baik untuk dirinya
Peran Publik dan Produktif
Karakter perempuan Jawa yang kedua adalah tentang posisinya dalam mengambil peran publik dan produktif dalam berkarir.Pada umumnya dilakukan oleh perempuan karier yang terwujud dalam aktivitas sebagai wiraswasta, penulis, dosen, pebisnis, pekerja rumah tangga, sedangkan peran yang dilakukan perempuan nonkarier terwujud dalam peran ibu rumah tangga yang setia. Aktivitas di sektor publik pada tokoh perempuan karier biasanya mendapatkan peran produktif. Dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn, peran publik ini terlihat pada tokoh utama perempuan sebagai berikut.
Intan merupakan seorang perempuan yang cerdas, berpendidikan tinggi, pekerja keras, disiplin, dan ulet. Berkat semua kelebihannya yang dimiliki intan diangkat menjadi tangan kanan seorang pemimpin perusahaan ditempat dia bekerja, terbukti dalam kutipan sebagai berikut.
“Wiwit kuwi Intan sing maune mung lungguh ngadhep komputer
ing samburine meja, banjur
diangkat dadi tangan tengene bos sing kepeksa kerep ambyur ing lapangan, ngono wae kadhang uga isih dadi jubir perusahaan jroning ngadhepi para karyawan apa dene
pihak njaba.” (Pangastuti Bn,
Terjemahan:
„Sejak itu Intan yang dulunya hanya duduk menghadap komputer di belakang meja. kemudian diangkat menjadi tangan kanan bos yang terpaksa sering turun langsung ke lokasi, tidak hanya itu kadang juga masih menjadi jubir perusahaan dalam menghadapi para karyawan dan pihak luar.‟ (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 6) Dalam pekerjaannya Intan selalu menunjukkan sikap sebagai seorang wanita karier yang berbakat dan cerdas. Berkat keluwesan dan keahlian Intan menjadikannya dia sebagai seseorang yang penting dalam sebuah perusahaan besar. Pada akhirnya, Intan dipercaya oleh pemimpin perusahaan untuk memegang beberapa proyek besar dalam perusahaan tersebut dan Intan menempati jabatan penting dalam perusahaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam cuplikan berikut ini.
“Arep golek buku apa? Apa sliramu uga isih kober maca? Aku krungu-krungu jare sliramu saiki
duwe jabatan penting ing
sawenehe perusahaan PMA.”
Priya iku nyoba ngenggokake pirembukan. (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 91)
Terjemahan:
„Mau mencari buku apa? Apa kamu juga masih sempat membaca buku? Aku dengar katanya kamu sekarang mempunyai jabatan yang penting di perusahaan PMA.” Laki-laki itu mencoba mencari pembicaraan lain‟. (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 91)
Kerja keras, keuletan dan ketelitian seorang Intan mampu mengantarkan
menjadi seseorang yang penting dalam sebuah perusahaan, bahkan Intan mengalami kenaikan gaji empat kali dalam satu tahun, sehingga membuat Bregas merasa cemburu akan pencapaian Intan. Setelah berpisah dengan Bregas akibat kekerasan yang dialaminya, Intan terpaksa keluar dari perusahaan tersebut dan berniat untuk mendirikan usaha wiraswasta. Sebelum mendirikan usaha tersebut Intan terlebih dahulu melakukan survei tempat dan lain sebagainya. Terbukti dalam kutipan berikut:
“Sadurunge miwiti usaha ing bisnis barang-barang seni, Intan merlokake survey dhisik ngendi-endi. Apa maneh bisnis ing ekonomi kreatip mligine babagan sing ana gayutane karo seni lan
kreativitas, klebu bab anyar
kanggone. Ning kanthi anane Pram ing mburine, dheweke yakin yen bisnise kuwi bakal sukses. Mung butuh “sentuhan” lan kudu dikemonah kanthi professional. Mula sadurunge ambyur nggeluti bidhang usaha kuwi Intan perlu
nyinau tenan”. (Pangastuti Bn,
2015, hlm. 198) Terjemahan:
„Sebelum memulai usaha bisnis barang-barang seni, Intan memerlukan survei terlebih dahulu. Apa lagi bisnis di bidang ekonomi kreatif khususnya hal yang ada hubungannya dengan seni dan kreativitas, termasuk hal baru untuknya. Tapi dengan adanya Pram di belakangnya, dirinya yakin kalau usaha ini akan sukses. Hanya butuh sentuhan dan harus terkelola dengan profesional. Karena itu sebelum turun mengelola bidang usaha ini Intan perlu belajar dengan serius‟. (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 198).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Intan tidak mudah menyerah akan hal-hal yang baru. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk usahanya tersebut termasuk tempat dimana akan didirikan usahanya tersebut dengan mempertimbangkan bebagai hal. Terbukti dalam kutipan berikut:
“Papan sing dipilih Intan kuwi maune pancen mung pilihan alternatip, dudu pilihan utama. Pilihan utama ing wewengkon
Prawirataman, amarga papan
kuwi pusate para turis. Akeh hotel lan panginepan murah ing kana. Yen bukak toko ing kana prospeke pencen luwih apik. Miturut istilahe Pram, jemput bola.nyedhaki turis, sebab kunjungan wisata para turis ing Yogya umume wektune uga winates. Nanging bareng nonton
kahanan, Intan banjur duwe
pikiran beda. Ing Prawirataman, art shop utawa toko barang seni lan cinderamata mbiyayah. Ing kana persaingan mesthi ketat. Dheweke nyoba golek alternatip ing papan liya. Merga miturut pengamatane, kunjungan wisata ing kutha kuna Kotagede cukup lumayan. Ing kana sing akeh mung toko-toko kerajinan saka perak.
Kotagede pencen kondhang
minangkan pusate kerajinan perak. Pram kandha jare duwe jaringan karo agen-agen pariwisata. Kuwi sing dinggo cekelan minangka modhal dhasar. Sabanjure ora bisa mung ngandelake Pram terus. Intan wis duwe gagasan, pokoke
dheweke yakin bisa mlaku”.
(Pangastuti Bn, 2015, hlm. 200) Terjemahan:
„Tempat yang dipilih Intan itu sebenarnya memang hanya pilihan alternatif, bukan pilihan utama.
Pilihan utama di daerah Prawitaman, karena tempat itu pusatnya para turis. Banyak hotel dan penginapan yang murah di sana. Kalau buka toko di sana prospeknya memang lebih baik. menurut istilahnya Pram, jemput bola, mendekati turis, karena kunjungan wisata para turis di Yogya umumnya juga terbatas. Tetapi setelah melihat keadaan sekitar, Intan memiliki pemikiran yang berbeda. Di Prawirataman art shop atau toko kesenian sudah sangat banyak. Di sana persaingannya pasti ketat. Dia mencoba mencari alternatif tempat lain. Karena menurut pengamatannya, kunjungan wisata di Kotagede cukup lumayan. Di sana yang banyak hanya toko-toko kerajinan dari perak. Kotagede memang terkenal akan pusatnya kerajinan perak. Pram pernah bilang katanya mempunyai jaringan dengan agen-agen pariwasata. Itu yang dipakai pegangan untuk modal dasar. Setelah itu tidak bileh hanya mengandalkan Pram terus. Intan sudah mempunyai gagasan, pokoknya dirinya yakin bisa berjalan‟ (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 200)
Berdasarkan beberapa kutipan di atas mengungkapkan bahwa tokoh Intan merupakan tokoh yang mampu menyederajatkan dengan laki-laki. Intan mampu menunjukkan etos kerja yang baik dalam perusahaannya. Pada akhirnya dia dipercaya oleh atasannya untuk memimpin beberapa proyek dan akhirnya dia mampu menempati jabatan yang penting dalam perusahannya. Intan juga mampu mewujudkan diri di sektor publik sebagai seorang wiraswasta.
Ketegaran
Landasan utama dalam mewujudkan kesetaraan gender adalah ketegeran. Perempuan yang mempunyai ketegeran dalam menghadapi permasalahan hidup berarti ia
mempunyai modal untuk
memperjuangkan kesetaraan gender. Permasalah hidup yang dialami perempuan sering menghambat eksistensi perempuan. Hal tersebut terjadi karena perempuan sering menganggap dirinya lemah dan tidak mempu mengatasi permasalahan yang menimpanya. Ketegaran sangat diperlukan supaya perempuan mampu melepaskan diri belenggu penindasan.
Representasi sikap ketegaran dari sosok perempuan Jawa dalam novel Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti
Bn digambarkan oleh Intan yang mendapatkan kekerasan fisik dari Bregas.Walaupun Intan mengalami KDRT dari suaminya, tetapi dia tetap tegar dan kuat menghadapinya. Ketegaran dari tokoh Intan dapat dilihat dalam kutipan novel berikut.
“Intan ngrasakake lara.
Nanging dheweke emoh nangis ing sangarepe sing lanang. Dheweke
wegah nuduhake keringkihane
marang Bregas. Merga yen ngerti dheweke ringkih, mengko wong lanang kuwi mundhak nggembelo, gedhe dhase! Mula sakabehe rasa lara iku mung diampet. Dijaga tenan aja nganti luhe kutah”. (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 116) Terjemahan:
„Intan merasakan sakit. Tetapi dirinya tidak mau menangis di depan suaminya. Dirinya tidak
mau memperlihatkan
kelemahannya kepada Bregas. Karena apabila mengetahui dia
lemah, nanti laki-laki itu semakin semena-mena, besar kepala! Oleh karena itu semua rasa itu hanya ditahan. Dijaga dengan sungguh-sungguh jangan sampai air matanya tumpah‟. (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 116)
Kutipan di atas menjelaskan betapa teganya Bregas melakukan kekerasan rumah tangga kepada Intan, tetapi Intan tetap mencoba bertahan dan tidak mau telihat lemah di depan Bregas. Intan pernah merasa bersalah dengan pertemuannya dengan Bregas tetapi Intan tetap mecoba tegar dan bertanggungjawab atas pilihannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Patemon karo Bregas
mujudake kesalahan. Aku salah merga menilai wong mung saka gebyare. Ibarate milih barang aku
kepencut marang bungkuse,
marang kemasane, ora naliti luwih adoh apa isine uga apik kaya tampilan njabane. Iki salahku. Wis samesthine yen aku pancen kudu nanggung resikone. Aku kudu wani
tanggungjawab akibat saka
kesalahanku kuwi,” batine Intan nyoba tatag. (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 102)
Terjemahan:
„Pertemuan dengan Bregas merupakan sebuah kesalahan. Aku salah karena aku menilai orang hanya dari penampilan. Seperti memilih barang aku terpikat dengan kemasannya. Tidak teliti lebih jauh apa isinya juga baik seperti dengan tampilan luarnya. Ini salahku. Sudah semestinya kalau aku memang harus menanggung risikonya. Aku harus berani tangggung jawab akibat dari kesalahan itu,” batinnya Intan
mencoba tegar.‟ (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 102)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Intan berusaha menanggung apa yang telah dipilihnya. Meski demikian Intan tidak pernah menampakkan wajah yang sedih, justru ia selalu tenang dan memberikan senyuman kepada orang-orang disekitarya. Meskipun Intan sering sekali mengalami kekerasan dari suaminta tetapi Intan masih berusaha untuk memperbaiki rumah tanggannya jika Bregas mau berubah. Walaupun perempuan Jawa memiliki sikap yang tegas, tetapi dia tetap memiliki jiwa pemaaf seperti yang ditunjukkan Intan pada kutipan berikut ini.
“Intan ngedhep-ngedhepake mripate sing krasa teles. Atine pepes. Angkles! Rasane dheweke wis ora duwe pepinginan maneh kanggo nerusake bebrayane karo Bregas. Wis kakehan luh sing kudu di tetesake kanggo ngrungkepi perkawinan sing rapuh iku. Dadi
cukup! Intan ora kepengin
ngutahake luh luwih akeh maneh.
Saiki tekade wis gembleng.
Sakabehe pancen kudu enggal dipungkasi! Mau-maune Intan ora nggagas tekan semono. Senajan niyat pepisahan kuwi ana, nanging
dheweke isih kepingin aweh
kesempatan marang Bregas
kanggo ndandani sikape. Yen Bregas bisa berubah, Intan bakal aweh pangapura lan ngubur niyate pepisahan kuwi. Demi anak kang banget diasihi. Nanging bareng mrangguli kanyataan sing mentas dialami mau, ketoke sing lanang
angel diarep-arep kanggo
berubah.” (Pangastuti Bn, 2015,
hlm. 119)
Terjemahan:
„Intan mengedipkan matanya yang terasa basah. Hatinya panas. Patah! Rasanya dirinya sudah tidak punya keinginan lagi untuk meneruskan pernihakahan dengan Bregas. Sudah terlalu banyak air mata yang keluar untuk mempertahankan rumah tangga yang sudah rapuh ini. Jadi cukup! Intan tidak ingin menumpahkan air mata lebih banyak lagi. Sekarang niatnya sudah bulat. Semuanya memang harus segera diakhiri! Sebenarnya dulu Intan tidak berpikir sampai di sini. Walaupun niat perpisahan itu ada, tapi dirinya masih ingin memberikan kesempatan kepada Bregas untuk membenahi sikapnya. Kalau Bregas bisa berubah, Intan akan memberikan maaf dan mengubur niatnya untuk berpisah itu. Demi anak yang sangat disayangi. Tetapi setelah kejadian yang barusaja di alaminya, sepertinya suaminya susah untuk berubah‟ Pangastuti Bn, 2015, hlm. 119)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa ketegaran Intan dalam menghadapi hidup sangatlah luar biasa. Kekerasan dan tuduhan suaminya ia selalu hadapi dengan segala pertimbangan dan perhitungan. Intan membuktikan bahwa ketegaran menjadi modal utama bagi perempuan dalam melawan ketidakadilan. Sudah selayaknya melalui tokoh Intan dapat menjadi cermin dibagi perempuan untuk mengarungi kehidupan.
Perjuangan
Perjuangan perempuan dalam menuntut keadilan merupakan salah sati perwujudan dalam gerakan feminisme.
Dalam hukum dan pemerintahan setiap manusia memiliki hak yang sama. Oleh karena itu perempuan juga perlu memperjuangkan haknya. Salah satu bukti perjuanan perempuan dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Aku arep takon, wangsulana kanthi jujur!” Bregas mandeng Intan landhep.
“Soal apa?”
“Nalika ing Yogya kowe mblayang menyang ngendi wae? Karo sapa? Karo bosmu sing ana kene apa karo lanangan liya? Ngakuwa wae! Yen kowe gelem ngaku mungkin aku bisa aweh pangapura.
Plak!
Tangan kiwane Intan sing bebas langsung mampir ing pipine Bregas.
“Yen njenengan wis ora bisa
percaya meneh marang aku,
geneya aku ora kok balekake menyang wong tuwaku wae?” Intan Mbales pamandenge sing
lanang. Ora kalah landhep.
(Pangastuti Bn, 2015, hlm. 115) Terjemahan:
„Aku mau tanya, jawab dengan jujur!‟ Bregas menatap Intan dengan tajam
„Soal apa?‟
„Ketika di Yogya kamu main keluar dari mana saja? Dengan siapa? Dengan Bosmu yang ada di sini apa dengan laki-laki lain? Jujur saja! Kalau kamu mau mengaku mungkin aku bisa memberi maaf kepadamu.
Plak!
Tangan kirinya Intan yang bebas langsung menampar pipi Bregas.
„Kalau kamu sudah tidak bisa percaya lagi kepadaku, kenapa aku tidak kamu kembalikan kepada orang tuaku saja? Intan membalas tatapan suaminya dengan sangat tajam.‟ (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 115)
Kutipan di atas memperlihatkan adanya perjuangan luar biasa yang dilakukan oleh tokoh utama Intan. Sebagai seorang perempuan yang selalu dicurigai oelh suaminya berselingkuh dengan laki-laki lain, Intan merasa sangat kesal sehingga Intan melakukan tamparan kepada suaminya, karena tuduhan tersebut sudah sangat melewati batas. Intan menyerah dalam menghadapi perlakuan suaminya yang sering melakukan kekerasan. Intan memutuskan untuk mengakhiri rumah tangganya. Intan masih menjaga perasaan Bregas dengan tidak menyangkut hal KDRT, tetapi dalam sidang perceraian Bregas justru menuduh Intan ingin bercerai dengannya suapaya lebih bebas dengan kekasihnya. Mendengar hal tersebut Intan jujur dengan apa yang dialaminya. Terbukti dalam kutipan berikut:
“Sauntara Intan dhewe uga ora gelem terus terang prekara KDRT sing asring dialami jroning rumah tanggane. Intan isih njaga perasaane Bregas, awet senajan arep dikapakna wae dheweke kuwi bapake anake, Sekar Melur. Ning Bregas sajake type wong sing egois lan ora ngerti yen diemong. Priya iku malah ngumbar emosine lan ing sangarepe hakim agama
nutuh dheweke selingkuh.
Dikandhakake yen anggone njaluk pegat amarga kepengin bisa bebas karo priya sing dadi selingkuhane. Mrangguli kanyatan kang kaya iku
Dheweke kepeksa matur marang hakim sing nyidhang perkarane yen oleh njaluk pegat amarga wis ora tahan ngadhepi bojone sing
tukang mabuk lan kasar!”
(Pangastuti Bn, 2015, hlm. 143) Terjemahan:
„Sementara Intan sendiri juga tidak mau terus terang masalah KDRT yang sering dialaminya dalam rumah tangganya. Intan masih menjaga perasaan Bregas, bagaimanapun Bregas adalah ayah dari anaknya, Sekar Melur. Tapi Bregas sepertinya type orang yang egois dan tidak tahu kalau dikasihani. Laki-laki itu justru mengumbar emosinya dan di depan hakim agama menuduh dirinya selingkuh. Dituduh bahwa ia ingin meminta cerai karena ingin bisa bebas dengan laki-laku lain yang menjadi selingkuhannya. Mengetahui kenyataan seperti itu Intan terpaksa terus terang. Dirinya berkata kepada hakim yang menyidang perkaranya kalau dia meminta cerai karena sudah tidak tahan menghadapi suaminya yang sering mabuk dan kasar‟. (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 143) Kutipan di atas terlihat perjuangan Intan untuk melepaskan diri dari semua hal yang berhubungan dengan suaminya. Gugatan dikabulkan oleh hakim dan hak asuh diberikan kepada Intan. Beberapa bulan setelah perceraian tersebut Bregas muncul kembali dalam kehidupan Intan dan mengajak Intan untuk kembali kepadanya, dia berjanji akan berubah demi Sekar Melur. Terbukti dalam kutipan sebagai berikut:
“Intan wis ora bisa sabar.
Dinengke kok malah saya
nglunjak, batine. Mula kandhane
kanthi kasar “Aku ora butuh janjimu. Yen ora ana maneh sing perlu mbok sampekake, tulung tinggalne papan iki. Aku kudu nyambutgawe. Najan ing kene aku
Bos, aku tetep ora kena
sakepenake”. (Pangastuti Bn,
2015, hlm. 270) Terjemahan:
„Intan sudah tidak bisa sabar. Didiamkan kok justru semakin ngelunjak, batinnya. Oleh karena itu dia berbicara dengan kasar “Aku tidak butuh janjimu. Kalau sudah tidak ada yang perlu Anda sampaikan, saya mohon tinggalkan tempat ini. Saya harus bekerja. walaupun di sini saya Bos, saya tetap tidak boleh semena-mena‟ (Pangastuti Bn, 2015, hlm. 270) Kutipan tersebut terlihat adanya perjuangan yang dilakukan oleh Intan. Setelah bercerai dengan Bregas, dia mendirikan sebuah usaha wiraswasta dan semakin berani menghadapi Bregas Jatmika. Hal tersebut membuktikan bahwa dia bisa atau mampu bangkit meski tanpa ada sosok laki-laki disampingnya.
Bentuk perjuangan kesetaraan Gender yang terdapat dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn. bentuk kesetaraan gender yang terdapat dalam novel tersebut dalam bentuk peran publik dan produktif, kebebasan memilih bagi perempuan, ketegaran dan perjuangan.
PENUTUP
Cerita tokoh perempuan dalam novel Alun Samudra Rasa mengungkapkan masalah-masalah yang dialami oleh kaum perempuan di masyarakat. Masalah itu terutama adanya menyederajatkan dengan
laki-laki dan menggugat hegemoni sistem patriarki. Gugatan ini terjadi karena perbedaan peran, kekuasaan peran, hak, posisi, serta kuatnya nilai sosial budaya dan patriarki yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran tidak setara
Peran tokoh utama Intan Purnami merupakan cerminan perempuan yang memiliki keinginan yang maju, keinginan yang menolak penguasaan laki-laki. Bentuk perjuangan yang ditemukan dalam Novel Alun Samudra Rasa yaitu peran publik dan produktif, kebebasan memilih bagi perempuan dalam menentukan kehidupannya, ketegaran menghadapi permasalahan hidup, dan perjuangan dalam menuntut keadilan hak-hak perempuan. Manusia memiliki hak untuk menentukan pilihan dalam hidupnya. Demikian juga seorang wanita ia bebas menentukan pilihan untuk memilih dalam novel Alun Samudra Rasa merupakan perjuangan pembebasan atas ketertindasan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Adnani, K., Udasmoro, W., & Noviani, R. (2016). Resistensi perempuan terhadap tradisi-tradisi di pesantren: Analisis wacana kritis terhadap novel Perempuan
Berkalung Sorban. Jurnal
Kawistara, 6 (2), 144–156. Asmarani, R. (2016). Perjuangan
protagonis perempuan Jawa untuk mencapai kebebasan eksistensial dalam novel Durga Umayi karya YB Mangunwijaya. Kandai, 12(1), 152–166.
Budianta, M. (2002). Membaca sastra:
Pengantar memahami sastra
untuk perguruan tinggi.
Magelang: Indonesia Tera.
Djajanegara, S. (2000). Kritik sastra
feminis: sebuah pengantar.
Gramedia Pustaka Utama.
Hardiningtyas, P. R. (2016). Resistensi perempuan Papua di lingkungannya dalam roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Aksara, 28(2), 143– 153. https://doi.org/http://dx.doi. org/10.29255/aksara.v28i2.127.1 43-153.
Jozkowski, K. N., & Wiersma‐Mosley, J. D. (2017). The Greek system: How gender inequality and class privilege perpetuate rape culture.
Family Relations, 66(1), 89–103.
https://doi.org/https://doi.org/10.1 111/fare.12229.
Kapoor, S. (2000). Domestic violence against women and girls. Innocenti Digest 6, hlm. 22. UNICEF Publication https://www.unicef- irc.org/publications/213- domestic-violence-against-women-and-girls.html.
Madsen, D. L. (2000). Feminist theory and literary practice. London: Pluto Press.
Miles, M. B., & Huberman, A. (2009). Analisis data kualitatif: Buku sumber tentang metode-metode
baru. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Pradotokusumo, P. (2005). Pengkajian sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pratama, D. R., Suwandi, S., & Wardani, N. E. (2017). Keunikan budaya Minangkabau dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan strategi pemasarannya dalam konteks Masyarakat Ekonomi Asean. Dalam Proceedings Education
and Language International
Conference (Vol. 1, hlm. 221-235).
Ratna, N. K. (2004). Penelitian sastra:
Teori, metode, dan teknik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rorintulus, O. A. (2018). Gender
equality and women‟s power in American Indian traditional culture in Zitkala-Sa‟s short stories. Humanus, 17(2), 138– 149.
Saddhono, K., Waluyo, H. J., & Raharjo, Y. M. (2017). Kajian Sosiologi Sastra Dan Pendidikan Karakter Dalam Novel Nun Pada Sebuah Cermin Karya Afifah Afra Serta Relevansinya Dengan Materi Ajar di SMA. JPI (Jurnal
Pendidikan Indonesia), 6(1), 16–
27.
Sugihastuti, S. (2005). Kritik sastra feminis: Teori dan aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Setyawan, B. W. & Saddhono, K.
(2018). Ceprotan performing art: A traditional folkart based on urband legend. Harmonia: Journal of Arts Research and
Education, 18(1), 67–73.
https://doi.org/https://doi.org/10.1 5294/harmonia.v18i1.9509 Setyawan, B. W., Saddhono, K., &
Rakhmawati, A. (2018). Potret kondisi sosial masyarakat Jawa dalam naskah ketoprak klasik gaya Surakarta. Aksara, 30(2), 205–220.
https://doi.org/http://dx.doi.org/1 0.29255/aksara.v30i2.315.205-220
Sugihastuti, S. (2005). Kritik sastra feminis: Teori dan aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Umam, K. (2018). Ni Krining: Antara
pengorbanan dan perlawanan dalam budaya patriarki Bali. Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa Dan
Sastra, 13(4), 635–643.
https://doi.org/https://doi.org/10.1 4710/nusa.13.4.635-643.
Syahrul, N. (2018). Mengungkap perspektif gender dalam kehidupan masa kini melalui novel Aku Supiyah Istri Hardian karya Titis Basino. Kandai, 14(1), 105–118.
Wibowo, D. E. (2011). Peran ganda perempuan dan kesetaraan gender. Muwazah, 3(1), 357–364. Widayani, N. M. D., & Hartati, S. (2014). Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali: Studi fenomenologis terhadap penulis perempuan Bali. Jurnal Psikologi, 13(2), 149–162.
Windiyarti, D. (2008). Pemberontakan perempuan Bali terhadap diskriminasi kelas dan gender: Kajian feminis novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini. Jurnal