UPACARA ADAT BEBIJA TAWAR KAJIAN SEMIOTIKA PERSPEKTIF
ROLAND BARTHES DI DESA SEMBALUN BUMBUNG, KECAMATAN
SEMBALUN, KABUPATEN LOMBOK TIMUR
JURNAL SKRIPSI
Diajukan untu Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Pada Program Studi Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Oleh
M. NAZMI HALIM E1C113101
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH JURUSAN PENNDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM
I. Pendahuluan
Bebija Tawar merupakan suatu
sistem prosesi adat suku Sasak khususnya yang berada di daerah Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur yang diawali dengan ritual Mait aiq (mengambil air). Mait Aiq (mengambil air) artinya para pemangku adat menunaikan tugas untuk mengambil air yang berfungsi sebagai bahan inti yang akan digunakan dalam ritual pada prosesi adat tersebut. Proses ritual Mait Aiq dilakukan pada malam hari. Adapun tempat pengambilan air tersebut dilakukan di tempat khusus di mana tempat ini diyakini sebagai tempat pengambilan air tersebut, yakni di sebuah sumur tua yang dianggap Maliq (keramat) yang dijuluki sebagai sumur Timba Bau. Ritual Mait Aiq ini tidak dilakukan secara sembarangan. Petugas yang berhak mengambil air dari sumur Timba Bau tersebut hanyalah pemangku adat yang menjaga sumur tersebut. Dalam ritual Mait
Aiq ini dilakukan dengan sangat tertib. Hal tersebut terlihat dari aturan-aturan yang berlaku ketika ritual Mait Aiq tersebut dilakukan dan ritual Mait Aiq ini sudah mempunyai beberapa aturan yang sudah ditetapkan sejak zaman dahulu.
Adapun diantaranya ritual Mait Aiq hanya berhak diambil oleh pemangku adat dan petugas yang sudah ditugaskan menjaga sumur Timba Bau, dan air yang diambil harus dari sumur Timba Bau. Dengan mengikuti prosesi adat Bebija Tawar bagi masyarakat Sembalun Bumbung sangatlah penting, karena prosesi ini diyakini dapat mencegah hama yang mau merusak tanaman. Apalagi mayoritas penduduk di wilayah Sembalun khususnya Sembalun Bumbung adalah petani. Oleh karena itu ritual ini sangat penting untuk kesuburan dan hasil yang akan didapkan atau sesuai dengan jerih payah penduduk setempat atas apa yang mereka perjuangkan di bidang pertanian pada khusunya.
Gambaran di atas merupakan sebagian kecil gambaran dari prosesi adat
Bebija Tawar di desa Sembalun Bumbung,
Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Bagi masyarakat Sembalun Bumbung, prosesi adat Bebija Tawar merupakan suatu prosesi yang harus dipertahankan.
Dalam prosesi adat bebija tawar, peneliti tertarik meneliti tentang maknanya salah satu contoh kegiatan yang ada di dalam adat bebija tawar adalah mandiq telepok (mandi). Mandi memiliki makna membersihkan diri dengan air dan sabun sedangkan Mandiq Telepok (Mandi) memiliki makna dalam prosesi adat ialah membersihkan jiwa dari perbuatan buruk yang telah mengotori jiwa. Adat Bebija
Tawar merupakansuatu prosesi yang harus
dipertahankan karena merupakan warisan nenek moyang dan mengandung nilai luhur yang tinggi. Berbagai macam tanda yang memilikimakna tersendiri digunakan dalam
prosesi adat tersebut. Hal tersebut membuat penelitian ini layak dilakukan untuk mengkaji berbagai makna tanda yang ada dalam prosesi adat Bebija Tawar tersebut.
Berdasarkan latar belakang dengan permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Upacara Adat Bebija Tawar Kajian Semiotika Perspektif Roland Barthes di Desa Sembalun Bumbung Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur.”
II. Metode Pengumpulan Data Metode Observasi
Metode observasi adalah salah satu metode pengumpulan data dengan melihat dan mengamati secara visual objek penelitian yang ada di lapangan (Basrowi dan Suwandi, 2008:94).
Metode Dokumentasi
Sugiono (2013) memaparkan bahwa metode dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi merupakan data yang digunakan untuk
melengkapi sebuah data yang diperlukan dalam penelitian, sehingga dokumentasi tersebut bisa berupa foto, video dokumen milik informan.
Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,2014:186).
III. Metode Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini membahas tentang makna prosesi adat Bebija Tawar di Desa Sembalun Bumbung, kecamatan Sembalun, kabupaten Lombok Timur. Dalam menganalisis data tentang makna, peneliti menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Data yang dikumpulkan dalam bentuk makna tanda yang terdapat pada upacara adat bebija tawar di Desa Sembalun
Bumbung Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok timur.
IV. Metode Penyajian Hasil Analisis Data Peneliti menggunakan metode deskriptip ini untuk menguraikan fakta-fakta (tanda) yang terdapat pada prosesi upacar adat Bebija
Tawar yang berada di Desa Semablun
Bumbung, Kecamatan Semabalun, Kabupaten Lombok Timur.
V.Pembahasan
Prosesi Upacara Adat Bebija Tawar Di Desa Sembalun Bumbung Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur
Tradisi upacara Bebija Tawar merupakan salah satu upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat sembalun bumbung. Tradisi Bebija Tawar ini dilakukan saat musim padi tiba, karena
Bebija Tawar memiliki tujuan untuk menjaga
padi dari hama ataupun hewan yang ingin mengganggu tanaman padi. Adapun Prosesi Upacara Bebija Tawar dilakuakn pada hari
minggu sore malam senin. Pada hari itu para petugas berangkat untuk pengambilan air di petilasan makam Patra Guru dan sumur yang ada di petilasan itu yang bernama Trawere
Timba Bau, arti Trawere yang merupakan
tempat Timba adalah sumur atau kolam dan Bau artinya wangi yang konon menurut orang - orang terdahulu mengatakan bahwa air sumur tersebut mengeluarkan aroma wangi atau harum. Air sumur tersebut diambil oleh pemangku Patra Guru pada minggu sore malam senin dan di bawa pulang kerumah pemangku, lalu air yang sudah di ambil disemayamkan satu malam di rumah
Pemangku. Pada pagi hari barulah diadakan
upacara ritual Bebija Tawar.
Yang pertama dimulai dengan
Ngapek Lekok Buak untuk pemberitahuan
bahwa hari senin diadakan upacara ritual
Bebija Tawar untuk memohon barakah
dalam rangka pengobatan padi secara tradisional. Salah satu bahan alami yang digunakan adalah jeruk nipis yang di iris
dalam baskom sasak atau biasa disebut juga dengan nama Bokor, dan air yang sudah disemayamkan atau menginap satu malam di rumah Pemangku digunakan untuk merendam batu pusaka disertai dengan irisan jeruk nipis.
Dalam proses upacara tersebut dimulai pada hari senin dari jam 8 pagi sampai jam 11 siang hari, yang dihadiri oleh seluruh para pemuka agama dan pemuka adat sebagai berikut Kyai, Pembekel, Pemangku
dan Pande. Karena sumur Timba Bau ini
diyakini oleh warga setempat air dari
Petilasan Patra Guru ini memang dikhuskan
untuk pengobatan padi. Prosesi selanjutnya dengan diiringi acara doa selamatan dengan bahan yang harus disiapkan seperti Empat Dulang Kayu, Empat Cerek/Kocor, dan Empat Peminang setelah semua bahan lenkap, kemudian di doakan oleh Penghulu Adat yang di serahkan oleh Pemangku Patra Guru dengan sekaligus membuat Sembek. Selanjutnya di dalam acara itu tidak
diperbolehkan menggunakan hidangan yang bersifat gorengan atau bahan-bahan yang digoreng, karena pada dasarnya bahan-bahan yang boleh gunakan ialah seperti Serabi,
Gegoli, Reket,Kelepon, Ayam Panggang dan
Telur. Setelah itu baru mengadakan doa selamat dan diiringi dengan dzikiran. Selanjutnya di setiap dulang di ambil serangkep jajanan basah yang dituangkan kedalam Bokor yang berisi air dan irisan jeruk nipis, sebagai pelengkap bahan pembuatan obat tradisional pada acara penurunan bibit dan pada saat padi menguning. Setelah acara itu barulah pemukulan dua gong yang mana satu gong besar dan kecil di pukul dengan jumlah pukulan gong yang berbeda-beda. Gong ukuran kecil dipukul sebanyak 5 kali sedangkan gong yang ukuran besar dipukul sebanyak 7 kali. Dengan dilakukannya pemukulan gong tersebut, menandakan bahwa upacara ritual Bebija Tawar sudah selesai. Artinya pemukaln gong 7 kali
menandakan 7 hari, dan peukulan gong 5 kali berkaitan dengan upacara ngayu ayu penurun bibit selama 3 tahun yang diadakan pada tanggal-tanggal terntentu sesuai dengan tahun, bulan, dan harinya.
Yang terakhir Air yang sudah di campur dengan bahan-bahan alami di bagi-bagikan kesetiap desa Sembalun untuk di tebarkan ke setiap pembibitan dan pemanenan. Air yang sudah bagikan disirimkan dengan cara berlawanan dengan arah jarum jam di setiap sudut pematang sawah / kebun. Selain itu juga, sebagian masyarakat Sembalun Bumbung meyakini air tersebut memiliki beberapa kandungan fungsi seperti untuk pengobatan dan untuk mencelakai orang. Penduduk setempat pernah mencoba untuk melakukan eksperimen antara obat tradisional dan kimia, ternyata hasilnya tidak kalah bagusnya dengan obat kimia seperti peptisida dan pupuk pada umumnya. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat Sembalun
Bumbung tehadap upacara dan air dari sumur Trawere Timba Bau sangat di yakini masyarakat setempat.
Karena pada dasarnya, dalam kehidupan bermasyarakat dapat kita temui beragam peristiwa yang tidak terlepas dari unsur budaya. Budaya merupakan ciri khas sekaligus identitas suatu masyarakat, baik lokal maupun nasional. Secara umum kebudayaan berupa hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mencakup pengetahuan, keyakinan, seni dan adat istiadat di dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini masyarakat berperan penting dalam pemertahanan suatu budaya, adat dan tradisi karena masyarakat merupakan pelaku budaya. Kemurnian suatu budaya bisa dilihat dari bagaimana masyarakat menjaganya di dalam suatu daerah, apakah sesuai dengan apa yang diwariskan oleh nenek moyang atau tidak.
Nilai-nilai budaya tersebut masih banyak terkandung di dalam upcara adat. Upacara adat merupakan suatu aktivitas masyarakat yang dilakukan di kalangan masyarakat beragama pada hakekatnya dilandasi oleh suatu kepercayaan dalam suatu religi. Adanya kepercayaan tentang gejala alam yang mengandung baik dan buruknya senantiasa datang dan berganti dan tanpa dapat disadari. Untuk menghindari dan membendung hal-hal yang dapat merugikan masyarakat, mereka menganggap perlu melaksanakan suatu tindakan ritual yang berupa upacara adat sehingga keselamatan dan keharmonisan dapat dicapai. Dengan melaksanakan upacara adat dapat membangkitkan rasa aman bagi setiap warga masyarakat di tengah lingkungan hidupnya. Oleh karenanya upacara adat sangat perlu dilestarikan.
Dalam pelaksanaan upacara adat ini dilakukan secara bermasyarakat atau berombongan. Upacara adat ini merupakan
upacara penawar atau tolak bala yang dilakukan 2 kali dalam setahun. Upacara adat
Bebija Tawar merupakan salah satu acara
adat yang masih dilakukan masyarkat sembalun upacara ini bertujuan untuk tolak bala karena pada masa itu masyarakat sembalun pernah mengalami masa-masa sulit.
Prosesi adat Bebija Tawar ini, diawali dengan Mbait Aiq atau pengambilan air yang dilakukan oleh pemangku dan petugas yang telah ditunjuk. Pengambilan air ini dilakukan pada sore hari menjelang magrib oleh pemangku dan petugas yang ditugaskan. Aiq timba bau ini merupakan air yang dipakai untuk melakukan ritual adat Bebija Tawar. Aiq timba bau itu sendiri memiliki makna; ‘timba’ artinya sumur/kolam dan ‘bau’ artinya wangi. Sesampainya di makam atau timba bau pemangku memulai prosesi dengan duduk atau permisi kepada penghuni makam agar air yang di ambil menjadi berkah dan keselamatan kepada masyarakat
sembalun karena air ini diyakini sebagai air penawar atau pengobatan setelah itu mulailah pemangku dan petugas mengambil air yang ada di sumur tersebut. Setelahnya air diambil pemangku dan petugas bergegas untuk pulang untuk menaruh air yang sudah di ambil tadi.
Setelah proses Mbait Aik dilakukan Air yang sudah diambil dari sumur timba bau, lalu di semayamkan atau menginapkan di rumah pemangku selama semalam untuk di gunakan pada pagi harinya. Saat air dari sumur timba bau ini sampai pada tempat acara, air tersebut di ritualkan terlebih dahulu dengan menggunakan tembang tembang pendede. Barulah pemantokan gong pertama dimulai sebagai penanda acara dimulai.. Filosofi dari air tersebut adalah seperti seorang anak yang masih suci sehingga di tembangkan tembang pendede (tembang anak-anak seperti tembang penghantar tidur). Bija tawar bukan hanya untuk menawar tanaman tetapi untuk menawar manusia
supaya hatinya kembali suci seperti hati seorang anak-anak.
Pagi harinya petugas yang ditugaskan dalam acara mulai mempersiapkan Lekoq buak yang akan digunakan dalam prosesi acara tersebut. Karena tanpa ada lekoq buak acara tidak bisa dilangsungkan. Disamping itu, tradisi ini merupakan tradisi yang sudah lama ada, dan dilakukan secara turun– temurun oleh orang sasak khususnya di Desa Sembalun. tanpa mengurangi atau melebihkan bahan tersebut, ketika ada acara ritual ‘lekok buaq’ ini harus ada tujuh buah daun sirih dan buah pinang itu sendiri. karena merupakan bagian dari cara berhubungan dengan alam supaya hasil bumi atau panen masarakat melimpah ruah, maka ritual Bebija
Tawar menggunakan sirih sebanyak tujuh
buah yang menyimbolkan bahwa langit ada tujuh lapis. Sedangkan buah pinang yang digunakan berjumlah tujuh buah juga yang meyimbolkan jumlah lapis tujuh petala
bumi.yang ketiga adalah apur yang menyimbolkan kesucian dari air itu sendiri.
Selanjutnya pengirisan jeruk nipis. Pengirisan jeruk ini dilakukan ketika acara berlangsung yang dilakukan oleh pemangku langsung sebagai bahan untuk membersihkan batu pusaka peninggalan para leluhur masyarakat sembalun. Tujuan penggunaan jeruk nipis ini agar barang pusaka terjaga kebersihannya dan dari segi spritualnya diharapkan batu pusaka tetap memiliki daya kekuatan supranatural.
Setetah membersihkan batu pusaka menggunakan jeruk nipis, dilanjutkan dengan acara zikiran atau selametan. Zikir atau selametan adalah taradisi yang hingga kini masih banyak dijalankan dan merupakan bentuk rasa syukur atas karunia yang telah diberikan oleh tuhan. Dalam melaksanakan zikiran ini biasa dilakukan dengan mengundang beberapa keluarga, kerabata atau tetangga. Acara zikiran atau selamatan ini dimulai dengan berdoa Bersama dengan
duduk bersila di atas tikar yang dipimpin oleh kiyai. Dalam hal ini zikir atau selamatan adalah salah satu akulturasi budaya yang masih tetap dilestarikan hingga saat ini.
Setelah acara zikiran atau selametan, dilanjutkan dengan pemukulan dua gong (mantok due gong) menandakan acara ritual selesai. Dalam ritual ini ‘Pantok dua Gong’ dimana dua gong pusaka di pukul sebelum acara mulai dan setelah acara selesai. Dua gong tersebut terdiri atas satu gong besar yang menyimbolkan adat dalam hal ini adat yang di maksud adalah cara hidup yang baik dan benar , seperti adab saat makan ,adab saat bicara dengan orang yang lebih tua, dan adab dalam berhubungan dengan sesama manusia. Adat diartikan sebagai akhlak budi pekerti yang luhur oleh masarakat sembalun. Selanjutnya gong kecil yang menyimbolkan agama di pukul sebanyak lima kali ini menyimbolkan rukun islam. Dalam pelajaran masarakat sembalun kedua gong tersebut menyimbolkan bahwa masarakat sembalun
dalam menjalani kehidupan sehari hari harus berpenggang teguh pada adat dan agama islam. Sebab apabila seorang manusia belum sempurna ahlaknya maka iya tidak akan bisa beragama dengan baik dan benar. Prosesi mantok due gong yang kedua sebagai bentuk berakhirnya acara dilakukan setelah prosesi zikiran.
Sembek merupakan akhir dari acara upacara ditandai dengan mengoleskan sembek oleh pemangku di dahi para peserta upacara sebagai simbolisasi bahwa tiap peserta upacara telah selesai mengikuti rangkaian acara. Adapun sembek yang diunakan adalah daun sirih dan buak. Kombinasi daun sirih dan apur menghasilkan warna merah. Sembek ini memiliki bahan dari daun sirih , buah pinang dan apur. Daun sirih tersebut menyimbolkan kulit manusia sedangkan buah pinang penyimbolkan daging , dan apur menyimbolkan tulang sehingga setelah di gabungkan menghasilkan kombinasi warna merah yang memiliki arti
darah manusia, di harapkan agar para peserta acara bisa menjaga pikiranya dari sesuatu yang tidak baik dan mampu mengendalikan nafsunya. sehingga bisa mendapatkan keberkahan di dunia dan ahherat, oleh karena itu sembek ditempatkan di dahi kepala seseorang.
Prosesi yang terakhir pembagian air kesetiap warga sembalun. Setelah semua prosesi dilakukan dan semua bahan dicampurkan kedalam bokos atau wadah tempat air tersebut barulah pemangku meramu air dan menakarkan air agar sama rata dalam pembagian airnya. Air yang dibagikan oleh pemangku kepada masyarakat sembalun bumbung berfungsi sebagai penawar hama dan penyakit untuk tanaman, khususnya padi.
Berdasarakan pemaparan tentang prosesi Bebija Tawar di atas, banyak sekali ditemukan symbol-simbol yang bisa dijadikan tanda dalam prosesi adat Bebija
Tawar. Kemudian dipilih delapan tanda yang
merupakan sampel makna yang tidak bisa dipisahkan antara tanda satu dengan yang lainnya. Karena tanda-tanda tersebut menghasilkan sebuah mitos. Delapan tanda yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Aiq timba bau 2. Penginepan aiq 3. Rapeq lekoq buaq 4. Pengirisan jeruk nipis 5. Zikir
6. Pantok due gong 7. Sembek
8. Bagi aiq
Analisis Makna Menggunakan Bagan Semiotika Roland Barthes
1. Mait Aiq
1. Mait Aiq 2. Mengambil
Air 3./I. Mengambil
air dalam arti menunaikan syarat utama untuk memulai prosesi acara II. Bentuk tugas dan tanggung jawab
III. Apabila para pemangku telah melakukan proses Mait Aiq, maka mereka telah bertanggung
jawab atas tugas yang telah diberikan untuk memulai prosesi adat Bebija Tawar.
Keterangan:
Penanda (1) dan petanda (2) lebih melihat tanda secara denotative, pada tahapan ini tanda baru ditelaah secara Bahasa. Dari pemahaman Bahasa ini, kita dapat masuk ketahap kedua yakni menelaah tanda secara konotati. Pada tahapan ini tanda telah dipengaruhi oleh budaya dan pada ranah kedua ini atau konotasinya tanda berubah menjadi mitos.
Pada tahapan pertama penandanya berupa (1) “Mait Aiq” dan petandanya (2) berupa “Penga,bilan air”. Dari penanda (1) dan petanda (2) muncul tanda (3) “Mengambil air dalam arti menunaikan syarat utama untuk memulai prosesi acara” ini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotative, tanda (3) pada ranah denotative sekaligus menjadi penanda (1) pada ranah konotatif, muncul kemudian petanda (II)”bentuk tugas dan tanggung
jawab”. Dari petanda (I) dan penanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Apabila para pemangku telah melakukan proses Mait Aiq, maka mereka telah bertanggung jawab atas tugas yang telah diberikan untuk memulai prosesi adat
Bebija Tawar” pada ranah konotatif
sekaligus cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini tanda telah terkontaminasi oleh kebudayaa. Pada tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas.
2. Pengendepan Aiq
1. Pengedapan Aiq 2.Penyimpanan
air 3./I Menyimpan air dalam arti menunaikan syarat untuk meritualkan air menggunakan tembang dede
II. Bentuk tugas dan kewajiban.
III. Apabila Pemangku telah melakukan proses pengendapan aiq, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk meritualkan air menggunakan tembang dede.
Keterangan:
Pada tahapan pertama penandanya berupa (1) “Pengedapan Aiq” dan petandanya (2) berupa “Penyimpanan air”. Dari penanda (1) dan petanda (2) muncul tanda (3) “Menyimpan air dalam arti menunaikan syarat untuk meritualkan air menggunakan tembang dede” ini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotative, tanda (3) pada ranah denotative sekaligus menjadi penanda (I) pada ranah konotatif, muncul kemudian petanda (II) “Bentuk tugas dan kewajiban”. Dari penanda (I) dan petanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Apabila
Pemangku telah melakukan proses
pengendapan aiq, maka ia telah bertanggung
jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk meritualkan air menggunakan tembang dede” pada ranah konotatif sekaligus menjadi cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini tanda telah terkontaminasi oleh kebudayaan. Pada
tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas.
3. Rapeq lekok buaq
3. Rapeq Lekoq Buaq 4. Menyiapkan daun sirih, pinang dan kapur 3./I Menyiapkan daun sirih, pinang dan kapur dalam arti menunaikan syarat untuk penghormatan terhadap alam
II. Bentuk tugas dan kewajiban.
III. Apabila Pemangku telah melakukan proses Rapeq lekoq buaq, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk menghormati dan menjaga hubungan dengan alam.
Keterangan:
Pada tahap pertama penandanya berupa (1) “Rapeq Lekok Buaq” dan petandanya (2) berupa “menyiapkan daun sirih, pinang dan kapur”. Dari petanda (1) dan petanda (2) muncul tanda (3) “menyipakan daun sirih, pinang dan kapur dalam arti menunaikan syarat untuk penghormatan
terhadap ala mini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotative. Tanda (3) pada ranah denotative sekaligus menjadi penanda (I) pada ranah knotatif, muncul kemudian petanda (II) “Bentuk tugas dan tanggung jawab”. Dari penanda (I) dan petanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Apabila
Pemangku telah melakukan proses Rapeq
lekoq buaq, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk menghormati dan menjaga hubungan dengan alam”. Pada ranah konotatif sekaligis cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini tanda telah terkontaminasi oleh kebudayaan. Pada tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas.
4. Pengirisan jeruk nipis
1. Ngirisan Jeruk Nipis
2. mengiris jeruk nipis
3./I Mengiris jeruk nipis dalam arti menunaikan syarat untuk
membersihkan dan menjaga pusaka leluhur
II. Bentuk tugas dan tanggung jawab
III. Apabila Pemangku telah melakukan proses ngiris jeruk nipis, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk membersihkan dan menjaga pusaka leluhur
Keterangan:
Pada tahap pertama penandanya berupa (1) “Ngirisan jeruk nipis” dan petandanya (2) berupa “Mengiris jeruk nipis”. Dari pananda (1) dan petanda (2) muncul tanda (3) “Mengiris jeruk nipis dalam arti menunaikan syarat untuk membersihkan dan menjaga pusaka leluhur” ini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotative. Tanda (3) pada ranah denotative sekaligus menjadi penanda (I) pada ranah konotatif, muncul kemudian petanda (II) “Bentuk tugas dan tanggung jawab”. Dari penanda (I) dan petanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Apabila
Pemangku telah melakukan proses ngiris jeruk nipis, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk membersihkan dan menjaga pusaka leluhur”. Pada ranah konotatif sekaligus menjadi cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini tanda telah terkontaminasi oleh kebudayaan. Pada tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas.
5. Zikir
5. Zikir 6. Berdoa untuk mengingat Allah SWT 3./I Memohon pertolongan dan perlindungan II. Lemah
III. Tiada yang patut disembah melainkan Allah SWT
Keterangan:
Pada tahap pertama penandanya berupa (1) “Zikir” dan penandanya (2) berupa “Berdoa untuk mengingat Allah SWT”. Dari penanda (1) dan petanda (2)
muncul tanda (3) “Memohon pertolongan dan perlindungan” ini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotatif. Tanda (3) pada ranah denotatif sekaligis menjadi petanda (I) pada ranah konotatif, muncul kemudian petanda (II) “Lemah”. Dari petanda (I) dan petanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Tiada yang patut disembah melainkan Alla SWT”. Tiada yang patut disembah melainkan Allah SWT, pada ranah konotatif sekaligus cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini telah terkontaminasi oleh kebudayaan. Pada tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas.
6. Mantok due gong
7. Mantok Dua Gong
8. Pemukulan dua gong 3./I Mantok dua
gong dalam arti pemukulan gong sebagai bentuk memulai dan
II. Bentuk tugas dan tanggung jawab
mengakhiri prosesi bebije tawar
III. Apabila Pemangku telah melakukan proses mantok due gong, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk memulai dan mengakhiri prosesi adat bebije tawar Keterangan:
Pada tahap pertama penandanya berupa (1) “Mantok due gong” dan petandanya (2) berupa “Pemukalan dua gong”. Dari penanda (1) dan petanda (2) muncul tanda (3) “Mantok dua gong dalam arti pemukulan gong sebagai bentuk memulai dan mengakhiri prosesi bebije tawar” ini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotative, tanda (3) pada ranah denotative sekaligus menjadi penanda (1) pada ranah konotatif, muncul kemudian petanda (II) “Bentuk tugas dan tanggung jawab”. Dari penanda (I) dan petanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Apabila
Pemangku telah melakukan proses mantok
due gong, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah
diberikan untuk memulai dan mengakhiri prosesi adat Bebije Tawar”. Pada ranah konotatif sekaligus menjadi cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini tanda telah terkontaminasi oleh kebudayaan. Pada tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas. 7. Nyembek 1. Nyembek 2. Pemberian tanda merah di dahi 3./I Nyembek dalam arti pemberian tanda merah di dahi sebagai tanda telah mengikuti prosesi bebije tawar
II. Bentuk tugas dan tanggung jawab
III. Apabila Pemangku telah melakukan proses nyembek, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk memberi tanda merah di dahi sebagai tanda telah mengikuti prosesi bebije tawar
Keterangan:
Pada tahap pertama penandanya berupa (1) “Nyembek” dan penandanya (2)
berupa “Pemberian tanda merah di dahi”. Dari penanda (1) dan petanda (2) muncul tanda (3) “ Nyembek dalam arti pemberian tanda merah di dahi sebagai tanda telah mengikuti prosesi bebije tawar” ini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotative. Tanda (3) pada ranah denotative sekaligus menjadi petanda (I) pada ranah konotatif, muncul kemudian petanda (II) “Bentuk tugas dan tanggung jawab”. Dari penanda (I) dan petanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Apabila
Pemangku telah melakukan proses nyembek,
maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk memberi tanda merah di dahi sebagai tanda telah mengikuti prosesi bebije tawar”. Pada ranah konotatif sekaligus menjadi cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini tanda telah terkontaminasi oleh kebudayaan. Pada tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas.
8. Magiq aiq
1. Magiq Aiq 2. Pembagian
air 3./I Magiq aiq
dalam arti pembagian air ke setiap masyarakat sembalun bumbung sebagai penawar hama dan penyakituntuk tanaman.
II. Bentuk tugas dan tanggung jawab
III. Apabila Pemangku telah melakukan proses magiq aiq, maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk membagikan air kepada masyarakat sembalun bumbung sebagai penawar hama dan penyakit untuk tanaman Keterangan:
Pada tahapan pertama penandanya berupa (1) “Magiq Aiq” dan petandanya (2) berupa “Pembagian air” dari penanda (1) dan petanda (2) muncul tanda (3) “Magiq aiq dalam arti pembagian air ke setiap masyarakat sembalun bumbung sebagai penawar hama dan penyakituntuk tanaman” ini baru dimaknai secara konteks Bahasa atau secara denotative, tanda (3) pada ranah denotative sekaligus menjadi penanda (I)
pada ranah konotatif munculkan muncul kemudian petanda (II) “Bentuk tugas dan tanggung jawab”. Dari penanda (I) dan petanda (II) pada ranah konotatif memunculkan tanda (III) “Apabila
Pemangku telah melakukan proses magiq aiq,
maka ia telah bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang telah diberikan untuk membagikan air kepada masyarakat sembalun bumbung sebagai penawar hama dan penyakit. Untuk tanaman”. pada ranah konotatif sekaligus menjadi cikal bakal mitos. Karena pada tahapan ini tanda telah terkontaminasi oleh kebudayaan. Pada tahapan ini pembaca memiliki peran penting dalam menterjemahkan tanda karena sifatnya yang subjektifitas.
Penyajian Hasil
Pada penyajian hasil analisis akan dijelaskan pada hasil analisis yang didapatkan pada tahap analisis data yakni delapan tanda yang sebelumnya telah dianalisis dengan
menggunakan Bagan Semiotika Roland Barthes.
Berikut hasil analisis data.
No Penanda
Makna Konotasi yang dihasilkan
1 Mait Aiq
Pengambilan air yang dilakukan oleh pemangku makam tersebut sebagai proses awal dalam upacara
2
Pengendapan Aiq
Penyimpanan air yang dilakukan oleh pemangku 3 Rapeq Lekoq Buaq Cara berhubungan dengan alam 4 Pengirisan Jeruk Nipis
Cara untuk merawat sesuatu benda atau membersihkan
5 Zikir
Tiada yang patut disembah melain Allah Swt 6 Pantok Due Gong Memulai dan mengakhiri prosesi dalam acara 7 Nyembek Pemberian tanda di dahi sebagai bukti telah mengikuti prosesi sampai selesai 8 Bagi Aiq Pembagian air kesetiap masyarakat agar digunakan dalam menjaga tanaman dari gangguna hama VI. Penutup Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilewati mengenai makna tanda pada upacara adat Bebija Tawar di desa sembalun bumbung kecamatan sembalun menggunakan teori semiotika roland barthes, dapat disimpulkan yaitu terdapat 8 tanda yaitu, Aiq timba bau, penginepan aiq, Rapeq lekoq buaq, Pengirisan jeruk nipis, zikir,
pantok due gong, sembek dan bagi aiq. Dari
tindakan yang digambarkan bahwa acara
Bebija Tawar memiliki makna pengobatan
dan masih tetap dilaksanakan selama dua kali setahun oleh masyarakat sembalun agar tanaman petani terhindar dari hama dan penyakit yang ingin merusak tanaman petani.
Saran
Kekayaan fungsi dan makna yang terdapat dalam prosesi adat khususnya prosesi adat Bebija Tawar sangat banyak, dan masih perlu diteliti lebih dalam menggunakan berbagai perspektif atau sudut
pandang. Penulis menyampaikan beberapa saran yaitu, adapun diantaranya ialah:
1. Perlu adanya pengkajian lebih mendalam serta pemahaman yang tepat dalam hal makna pada prosesi adat Bebija Tawar.
2. Penelitian mengenai prosesi adat khususnya prosesi adat Bebija Tawar perlu dikembangkan sebagai bacaan penunjang untuk menanamkan jiwa sosial, pendidikan karakter, intelektual dan spiritual pada generasi berikutnya.
3. Hasil dari penelitian mengenai prosesi adat ini diharapkan dapat memperkaya khazanah kebudayaan lokal agar bisa dinikmati oleh generasi penerusnya.
4. Selain mengenai makna, prosesi adat Bebija Tawar ini terdapat berbagai hal lain yang bisa dan perlu untuk dikaji, baik dari segi simbol yang terdapat pada prosesi, folklor dan lain
sebagainya, sehingga peneliti menyarankan untuk melakukan penelitian terhadap prosesi adat Bebija Tawar ini.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 2015. Semantik Pengantar Studi
tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semantik. Yogyakarta:LkiS.
Budiman, Ahmad 2016. “Analisis Simbol-Simbol Dalam Tradisi Betimpas Di Dusun Selanglet Lombok Tengah: Kajian Semiotika Roland Barthes” Skripsi. Mataram. Universitas Mataram.
Danandjaja. 1991. Folklor Indonesia, Jakara : Pustaka Utama Grafity.
Hasan, Fuad. 1989. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Jamaluddin. 2018. “Sistem Kode Dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini
(Suatu Kajian Semiologi Roland Barthes)”. Skripsi. Makasar. Universitas Negeri Makassar.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes, Anggota Ikapi, Magelang.
Koentjaningrat. 2015. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Melati, Tily Putri 2016. “Makna Simbol-simbol Budaya dalam Prosesi Adat
Pernikahan di Kabupaten Dompu: Kajian Semiotika Roland Barthes”. Skripsi. Mataram. Universitas Mataram.
Muhammad. 2011. Paradigma Kualitatif
Penelitian Bahasa. Yogyakarta.
Liebe Books Press.
Moleong, J Lexy. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Rosdan Karya.
Mulyani Putri. 2018. Makna tindakan-tindakan dalam mbolo weki proses pernikahan tradisi masyarakat bima kajian semiology roland barthes. Skripsi. Mataram. Universitas Mataram.
Rafiek. M. 2012. Teori Sastra : Kajian Teori
Sastra dan Praktik. Bandung : PT.
Refika Aditama.
Salmiah. 2018. Analisis Simbol Pada Acara Ritual Agama Maulid Nabi Muhammad Saw Di Desa Selebung Ketangga Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur (Semiotika Roland Barthes). Skripsi. Mataram. Universitas Mataram.
Siswantoro. 2011. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sumarsono. 2012. Pengantar Semantik.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sobihatin, Hidayati 2017. “Makna Tanda Dalam Prosesi Pernikahan Adat Suku Sasak Di Desa Setanggor Kecamatan Sukamulia:Kajian Semiotika Roland
Barthes”. Skripsi. Mataram. Universitas Mataram.