• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKSIOLOGI BUDAYA BUGIS MAKASSAR TERHADAP PRODUK PERATURAN DAERAH (PERDA) DI SULAWESI SELATAN (Studi Politik Hukum)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKSIOLOGI BUDAYA BUGIS MAKASSAR TERHADAP PRODUK PERATURAN DAERAH (PERDA) DI SULAWESI SELATAN (Studi Politik Hukum)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

AKSIOLOGI BUDAYA BUGIS MAKASSAR

TERHADAP PRODUK PERATURAN DAERAH (PERDA)

DI SULAWESI SELATAN

(Studi Politik Hukum)

Zainal Said

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare Emal: zainalsaidstainpare@yahoo.co.id

Abstract: In general most of the tribes in South Sulawesi has a relationship, both in terms of language, as well as culturally. Bugis Makassar in public life, customs is a factor that was crucial. Indigenous is a manifestation of the "philosophy of life" man Bugis Makassar in their social institutions and occupy the highest positions in the social norms that govern the behavior patterns of people's lives. Social system or societal values that were born under customary provisions have established patterns of behavior and views of human life Bugis Makassar. Adat is the key idea underlying all of his relationships, both with fellow human beings, social institutions, as well as with the natural surroundings, even with the macrocosm. As customs, rules accustomed, certainly can be called traditional, but not in the sense panngaderreng essential. Such a custom would be opposed by panngaderreng because panngaderreng actually build dignity and human dignity. Panngaderreng happenings include ade 'about talking, about rapang, about wari and about sara'. But the progressive side of the law, look to a tendency to ignore the custom that we have and nurture over the years. And penetration protection against the formation of customary law are sometimes forgotten even element values in it have not been able to exist in the underlying fundamental laws of various products. Since most products are still legal hegemony in the interests of society who tend to put in a position pheriperial, or known by the politically conditioned, especially in the context of law in South Sulawesi regressus

Kata Kunci: Aksiologi, Budaya, Peraturan Daerah, Politik hukum

I. PENDAHULUAN

Pada umumnya sebagaian besar suku-suku di Sulawesi Selatan mempunyai hubungan, baik dari segi bahasa, maupun dari segi budaya. Wilayah tempat tinggal orang Bugis yang berada dibagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan menjadikan mereka dapat bersentuhan langsung dengan hampir semua suku lain di provinsi ini. Orang Makassar yang tinggal di ibu kota provinsi ini memiliki kesamaan agama, hubungan budaya dan

bahasa begitu erat dengan suku bugis serta mandar. Banyak jumlah orang Bugis yang tinggal di wilayah Makassar dan pencampuran budaya terjadi antara keduanya telah membuat kedua suku tersebut menjadi sulit dibedakan. Oleh sebab itu muncul istilah baru suku Bugis-Makassar meskipun sejatinya kedua suku tersebut merupakan dua etnik yang berbeda.

Menurut Leonard Y. Andaya sebagaimana dikutip Abdullah, bahwa dalam tradisi cerita-cerita rakyat,

(2)

bukannya si penguasa yang merupakan kekuatan penggerak dunia ini, melainkan adat dan kebiasaan ade’ (Bugis), ada’

(Makassar) yang telah diwariskan nenek moyang dan dikukuhkan oleh waktu. Tradisi pedesaan memantulkan keper-cayaan oleh dasar orang desa terhadap keunggulan hakiki dari ade/adat dan masyarakat gaukeng (Bugis) atau

gaukang (Makassar) yang asli, yang

mendahului perlembagaan kekeratonan dan yang bertanggung jawab terhadap penciptanya. Nilai-nilai masyarakat yang didasarkan pada ade’/ada’ yang sangat tua ini membentuk dunia orang-orang desa dan di dunia itulah terjadi interaksi antara manusia biasa, ningrat, penguasa, dan para dewa. Dimata orang desa para pelaku berganti, tetapi ade’/ada’ tinggal utuh dan pada akhirnya muncul sebagai pemenang dan pengukuh. Ade’/ada’ merupakan untur penentu yang pokok dalam penafsiran para penutur kisah dan penduduk desa tentang peristiwa-peritiwa dimasa silam.1

Lanjut Abdullah, bahwa dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar, adat merupakan faktor yang amat menentukan. Adat merupakan manifestasi dari “pandangan hidup” manusia Bugis makassar dalam institusi sosial mereka dan menempati kedudukan tertinggi dalam norma sosial yang mengatur pola tingakah laku kehidupan masyarakat. Setiap manusia yang berada dalam lingkungan kehidupan adat merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari suatu unit sosial dijiwai dan dimotori oleh adat. Manusia-manusia Bugis Makassar yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial budaya mereka, telah melahirkan keyakinan dan ke-percayaan yang teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada adatlah keten-traman dan kebahagian bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin.2

Unsur kepercayaan dan keyakinan yang telah dimanifestasikan oleh meraka

dalam konteks mendukung dan memelihara adat dalam sistem sosial itu, merupakan faktor penunjang utama mengapa adat itu dapat bertahan sepan-jang masa. Perubahan dapat saja terjadi dalam perkembangan kehidupan manusia yang dapat berakibat terjadinya variasi dalam konteks kehidupan sosial dan budaya, namun nilai-nilai hakikat dari adat itu tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat atau dalam struktur sosial. Sistem sosial atau nilai-nilai kemasya-rakatan yang lahir berdasarkan ketetapan adat telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis makassar. Mereka percaya dan sadar bahwa setiap manusia terikat secara langsung ataupun tidak langsung dalam suatu sistem yang mengatur pola kepemimpinan, yang mengatur interaksi sosial antara manusia, yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban anggota masyarakat.3

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa derasnya arus globalisasi yang tidak menyisakan ruang gerak terhadap budaya-budaya lokal, termasuk budaya-budaya Bugis Makassar yang harus merospon globalisasi tersebut. Di sini, apakah budaya Bugis Makassar masih tetap dipegang teguh oleh masyarakatnya atau ada pergeseran nilai-nilai budaya yang dapat mempengaruhi pola dan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Karena globalisasi membawa berbagai paradigma baru atau pola kehidupan yang setiap budaya dituntut untuk men-sintesiskan diri dalam pola penerapannya. Hal ini juga menjadi tantangan pada setiap budaya lokal termasuk Bugis Makassar, khususnya dalam bidang regressus

(rangakaian proses pembentukan hukum). Sebab nilai-nilai budaya yang ditampil-kan dalam globalisasi belum tentu dapat, atau searah dan serasi dengan nilai-nilai budaya lokal seperti halnya dalam bidang hukum, termasuk proses regressus

(3)

harus dilahirkan melalui pemaknaan nilai-nilai budaya lokal.

Budaya Bugis Makassar menyimpan berbagai nilai-nilai dan makna budaya seperti persamaan dan tanggungjawab yang layak dijadikan rujukan atau menjadi norma dalam pembentukan Perda di Sulawesi Selatan. Seperti ungkapan Max Weber sebagaimana dikutip oleh Hans Kelsen “ketika kita berurusan dengan hukum, `tatanan hukum`, `peraturan hukum,` kita harus secara tegas meng-amati perbedaan antara tinjauan hukum dengan tinjauan sosiologi. Ilmu hukum menghendaki norma-norma hukum yang secara ideal dan valid. Yakni makna normatif apa yang harus dilekatkan pada kalimat yang mewakili norma hukum. Sosiologi menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat karena ada suatu kesempatan tertentu di mana para anggotanya mempercayai validitas suatu tatanan dan menyesuaikan perbuatannya dengan tatanan itu”.4

Dalam pada ini, yang menjadi perhatian adalah melihat lebih dalam nilai-nilai budaya Bugis Makassar untuk merespon keinginan hukum masyarakat agar tercipta tatanan hukum yang lebih mengarah pada ketentraman kesejahteraan dan kehidupan masyarakat. Karena, melihat adat dan kebiasaan masyarakat tersebut mayoritas memegang teguh nilai-nilai hidup yang terkandung dalam adat Bugis Makassar. Tentunya menjadi rujukan seperti yang dibahasakan tadi Max Weber bahwa, perbuatan manusia yang telah diadaptasikan oleh pelakunya kepada sebuah tatanan karena dia memandang tatanan tersebut “Valid”, olehnya itu perbuatan manusia harus ditentukan oleh ide dari tatanan yang valid (Adat).

Secara umum, terlihat adanya kecenderungan untuk mengeyampingkan adat yang kita miliki dan pelihara selama ini. Proteksi dan penetrasi terhadap proses pembentukan hukum kadangkala unsur

adat terlupakan bahkan nilai-nilai yang ada didalamnya belum mampu eksis secara fundamental dalam melandasi berbagai produk peraturan. Karena sebagian besar produk hukum masih terhegemoni dengan kepentingan-kepentingan kampium yang cenderung menempatkan tatanan masyarakat pada posisi pheriperial,5 yang oleh Karl Polanyi menyebunya dengan politik terkondisikan.

Berdasarkan proyeksi diatas maka, yang menjadi penekanan dalam hal ini,

bagaimana Aksiologi budaya terhadap produk Peraturan Daerah (PERDA) di Sulawesi Selatan.

1. Nilai-nilai budaya apa yang menggariskan produk PERDA di Sulawesi Selatan ?

2. Apa yang melatar belakangi regressus

PERDA di Sulawesi Selatan ?

3. Bagaimana Implementasi budaya terhadap produk PERDA di Sulawesi Selatan ?

II.PEMBAHASAN

A.Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar Terhadap Legal Policy

Setiap ikhtiar memahami manusia bugis harus dimulai dari pengertian mereka mengenai apa yang dimaksud dengan ade’ (selanjutnya ditulis ‘adat’ saja) sebab inilah pribadi kebudayaannya. Kebudayaan menurut Tylor, Frazer, Durkheim, Radcliffe - Brown, Malinonowski, R. Linton, M Mead dan lain tokoh kebudayaan, maka H.S Alatas mengemukakan pendapatnya dalam diser-tasi mengenai konsep ini. ”... individu dan masyarakat bukanlah saling terpisah tetapi berkaitan dengan erat. Tentang urusan secara logis yang mana utama individu atau masyarakat tidak dapat ditekankan terlalu jauh sebab tidak akan memberikan pemecahan yang jelas. Setiap individu dalam pertumbuhannya dicetak oleh masyarakat dimana dia lahir. Sebaliknya, setiap individu sepanjang kehidupannya memberikan pula

(4)

sum-bangan untuk mewarnai masyarakatnya. Kedua-duanya bukan bertentangan; secara luas, manusia adalah masyarakatnya. Tidak ada watak manusia yang ter-pisahkan dari masyarakatnya; sifat manusia hanya ada karena dibentuk oleh masyarakatnya. Individu dan masyarakat adalah dua sisi dari tingkah laku manusia yang sama yang saling melengkapi dan mencakupi.”

Adat merupakan konsep kunci sebab keyakinan orang Bugis terhadap adatnya mendasari segenap gagasannya mengenai hubungan-hubungannya, baik dengan sesama manusia, dengan pranata-pranata sosialnya, maupun dengan alam sekitar-nya. Bahkan dengan makrokosmos. Jika kalau kita menemukan maknanya dalam kehidupan kekeluargaan, ekonomi, politik, pemerintahan dan keagamaan, maka barulah mungkin kita memahami pandangan hidup mereka yang dinafasi oleh adatnya. Sejarah gemilang yang mereka telah tulis, juga kemerosotan yang telah menimpanya berabad lamanya, pastilah terpaut dengan adatnya. Seperti yang dibahasakan oleh Alexi de Tocqueville tentang “Budaya Massa”, dalam hal kesetaraan atas masyarakat sipil dan tingkah laku. Yang penekanan pada

manners (perilaku).6 Yang dimaksud

Touqueville adalah adat istiadat berdasarkan makna yang terkandung dalam kata (moeurs atau mores, bahasa latin) tentang berbagai pandangan dan opini banyak orang, dan pada gugusan gagasan yang membentuk kebiasaan berpikir mereka. Atau biasa juga ia membahasakan sebagai “kumpulan tabiat moral dan intelektual mahluk sosial.

Dengan sendirinya konsep adat memerlukan penjelasan. Perkataan ade’ telah mendapat kedudukan penting, baik dalam pembicaraan sehari-hari terutama dalam kebudayaan Bugis. Cukup kiranya dinyatakan bahwa kata ini berasal dari kata Arab, adatun. Mengikut maknanya dalam kosa kata bahasa Arab, kata ini

mencakup pengertian yang sesuai dengan yang terkandung dalam takrif Taylor tentang kebudayaan. Kata inipun sinonim dengan kata ‘urfun, dari mana ter-bentuknya kata jadian ma’rufun. Penger-tiannya dikenakan pada perilaku atau tindakan yang bersifat kebajikan yang bersesuaian dengan akal pikiran dan hukum.

Adat tidaklah berarti sekedar kebiasaan, meskipun Matthes memahami adat dalam kebuadayaan Bugis sebagai

gewoonten (kebiasaan-kebiasaan) namun

tetap kita dasarkan pada arti konotasi yang diberikan sendiri oleh lontara’. Beliau menemukan dan mengutip ungkapkan yang menyatakan adat sama dengan syarat-syarat bagi kehidupan manusia. “ jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi” (Iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, an

nyala-tongi aseya). Jikalau adat dilanggar berarti

melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh segenap anggota masyarakatnya. Mattulada dalam disertasinya menyatakan sebagai sesuatu yang luhur. “adat itulah yang memberikan bentuknya dalam wujud watak masyarakat dan kebudayaan serta orang-orang yang menjadi pendukungnya.7

Dalam adat ini, ada berbagai nilai-nilai dasar yang menjadi rule dalam kehidupana masyarakat Bugis Makassar diantaranya adalah; Pannganderreng,

secara umum ada kalanya orang me-mahami sama dengan aturan adat dan sistem norma saja. Selain meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan adat, yaitu ada hal-hal ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputi hal-hal di mana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam mem-perlakukan diri dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya,

(5)

melainkan lebih jauh dari itu, ialah adanya semacam “larutan perasaan” bahwa sesorang itu adalah bahagian integral dari

Panngadarreng. Panngandarreng adalah

bahagian dari dirinya sendiri dalam keterlibatan dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan adalah wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan berupa peralatan-peralatan meteril dan non materil.8

Lanjut Mattulada, apabila

panngaderreng adalah kebiasaan atau

aturan-aturan yang sudah dibiasakan saja, maka hilanglah satu aspek terdapat dari hakekat panngaderreng, yaitu memelihara dan menumbuhkan harkat dan nilai-nilai insani, yang justru menjadi tulang punggung untuk tegaknya panngaderreng. Kebiasaan atau aturan-aturan adat yang dibiasakan, malahan dapat menjerumus-kan harkat dan martabat manusia kedalam jurang kebinasaan. Dapatkah disebut dengan panngaderreng, apabila suatu waktu masyarakat sudah menerima kebiasaan atau aturan-aturan yang diadatkan berupa kekerasan dan penindasan sebagai satu sistem sosial? Selaku adat kebiasaan, aturan yang dibiasakan, tentu dapat disebut adat, tetapi bukan panngaderreng dalam arti esensial. Adat yang demikian akan dilawan oleh

panngaderreng karena panngaderreng

justru membangun martabat dan harkat insani. Durheim Membahasakannya dengan Solidaritas mekanis, karena adanya aktivitas yang sama dan memiliki tanggungjawab yang sama. Dimana agama merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kesadaran kolektif.9

Panngaderreng dibangun oleh

banyak unsur yang saling kuat-menguatkan. Panngaderreng meliputi hal ihwal ade’ tentang bicara, tentang rapang,

tentang wari dan tentang sara’. Dari bahan-bahan ini dapat didentifikasi bahwa aspek-aspek ideal dari panngaderreng

mengandung empat azas dasar, yang menjadi latar belakang ialah:

1. Azas Mappasilasa’e, diwujudkan

dalam manifestasi ade’ agar terjadi keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam panngaderreng. Di dalam tindakan-tindakan operasional-nya ia meoperasional-nyatakan diri dalam usaha-usaha pencegahan (perventif), sebagai tindakan-tindakan penyelamat.

2. Azas mappasisaue, diwujudkan dalam

manipestasi ade untuk menimpakan deraan pada tiap-tiap pelanggaran ade’

yang dinyatakandalam bicara. Azas ini menyatakan adanya pedoman legalitas dan repressip yang sangat konsekuan dijalankan. Disamping itu, azas ini dilengkapi dengan siariwawong yang diwujufkan dalam manifestasi ade, untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik setiap orang untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Hal ini dinyatakan dalam pangodireng yang erat hubungannya dengan bicara.

3. Azas mappasenrupae, untuk

memeli-hara kontinuitas pola-pola yang sudah ada lebih dahulu guna stabilitasi perkembangan-perkembangan yang muncul. Hal ini dinyatakan dalam

rapang.

4. Azas mappallaiseng, diwujudkan

dalam manifestasi ade untuk mem-berikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antar manusia dalam lembaga-lembaga sosialnya, sehingga terhindar masyarakat dari ketiadaan ketertiban, chaos dan lainnya. Hala ini dinyatakan dengan wari’ dan segala variasi perlakuannya.

Ade, adalah salah satu aspek

panngaderreng yang mengatur sistem

norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang Bugis. Dalam

(6)

menyelidiki asal usul kata ade’ yang

berarti segala kaidah dan nilai-nilai kemasyarakat yang meliputi pribadi dan kemasyarakatan, terlalu sukar melepaskan diri dari assosiasi dengan istilah “adat” yang telah meresap ke dalam kehidupan kebudayaan. Selaku pengertian dan selaku isi dan aplikasinya. Ade’ dan Adat saling

isi mengisi buat membangun pengertian, dalam arti suatu sistem dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Istilah itu telah menjalankan peranan dalam kehidupan dan perkembangan kebudayaan kita sampai hari ini.

Ade’e sebagai istilah untuk

menyata-kan segalah kaidah kemasyarakatan orang Bugis, kemungkinan besar berasal dari perbendaharaan bahasa Bugis sendiri. Kebiasaan kita di Indonesia untuk menterjemahkan ade dengan adat, telah membawa banyak salah pengertian yang dapat mengelirukan. Maka akan lebih keliru lagi, apabila ade’ itu diterjemahkan dengan hukum adat atau hukum kebiasaan. Berkenaan dengan itu, maka lebih baik apabila dikatakan ade, meliputi semua usaha manusia dalam mem-peristiwakan diri dalam kehidupan bersama dalam semua lapan kebudayaan. Tiap-tiap segi kebudayaan mengandund aspek adeí dan ade itulah yang memberi nisi kepada panngaderreng. Apabila

panngaderaaeng itu adalah kumpulan dari

seluruh aspek ade’ maka dapatlah dikata-kan bahwa panngaderreng ialah wujud kebudayaan orang Bugis dan ade’ adalah kongkrontasi atau penjelmaan sesuatu aspek kebudayaan, baik dalam bentuk nilai-nilai ideal berupa costums, adat dan lain-lain yang disebut sengkeruang; kelakuang-kelakuan yang disebut

barangkau’ maupun dalam bentuk fisik

yang disebut abbaramparangen.

Bicara, yang dimaksud dengan

bicara dalam panngaderreng ialah semua keadaan yang bersangkut paut dengan masalah peradilan. Dengan demikian maka bicara itu adalah aspek

panga-derreng yang mempersoalkan hak dan

keajiban setiap orang atau badan hukum dalam interaksi kehidupan dalam masyarakat. Ia mengandung aspek normatif dalam mengatur tingkah laku setiap subjek hukum, orang seorang dalam lingkungannya yang lebih luas untuk berinteraksi secara timbal balik. Karena

bicara itu memasalahkan peradilan maka

ia dengan sendirinya akan membawa kita ke dalam hutan rimba masalah keadilan dengan segala aspeknya, yang terjelma dalam kehidupan manusia sebagai fenomena kemanusiaan.

Konsepsi bicara, dalam bahasa Bugis Makassar secara eksplisit tidak menyebut soal “keadilan” karena keadilan itu merupakan bahasa Arab. Untuk kata “adil” orang Bugis menerima kata itu, dengan penyesuaian fonologis, yaitu

adele’. Kata adele sendiri tidak dijumpai

dalam Latoa, akan tetapi secara implisit maksud konsepsi “keadilan” itu dinyata-kan dengan kata ”tongeng” (benar);

tongennge (kebenaran). Memang tidak

sama tekanan arti dengan adil dan benar atau adele dan tongeng, akan tetapi menurut jalan ke arah mencapai apa yang

tongeng (benar dan adil) menurut orang

Bugis, orang harus menempuh jalan

mappasilassa’e yaitu usaha untuk mencari

keseimbangan, keserasian dan men-dudukkan tiap-tiap masalah pada tem-patnya. Itulah jalan kearah tongeng, yaitu kebenaran, dalam mana keadilan itu tercakup.

Rapang, adalah “yang mengokohkan

negara”. Rapang menurut arti leksikal adalah contoh, misalnya, ibarat atau perumpamaan, persamaan atau kias. Di dalam Latoa, kata rapang itu disebut sebagai salah satu diantara sendi-sendi

pangaderreng, yaitu ade bicara, rapang,

wari, dan sara. Yang terakhir ini

dimasukkan setelah islamdatang. Pada salinan Lontara’ yang lain, misalnya dikutip Friedericy dan ditempatkan sebagai kata pembuka dari erste hoofdstuk

(7)

dari bukunya De Standen bij de

Boeginezen en Makssaren, kata rapang

diganti dengan “oendang”.10 Menurut hemat kami, penggantian kata rapang

menjadi undang-undang oleh penyalin Latoa atau Lontara-lontara lain yang sejenis dengan itu menunjukkan salah satu tanda penerimaan kata-kata baru yang masuk kemudian dalam masyarakat memakai bahasa itu. Undang-undang lebih tertentu batas pengertiannya, yakni hukum tertulis, sedangkan rapang

lingkupnya sangatlah lebih luas dari pada undang.

Atau mungkin juga dapat meng-gantinya dengan undang-undang dimak-sudkan agar nilai rapang dapat diredusir, untuk menerima undang-undang hukum positif Hindia Belanda dan memengaruhi

mainstream orang Bugis. Karena rapang,

berfungsi sebagai stabilisator dari

pennga-derreng. Demikianlah maka kami

menduga dengan keras bahwa kata rapang

dal;am Latoa adalah lebih risinil daripada kata UU, walaupun UU itu juga dapat disebut rapang dalam arti terbatas. Menurut fungsinya rapang berlaku sebagai: (1) Stabilisator; seperti undang-undang, ia menjaga agar ketetapan, keseragaman dan kontinuitas suatu tindakan berlaku konsisten dari waktu yang lalu sampai masa kini dan masa depan; (2) Bahan perbandingan; dalam keadaan tidak ada atau belum ada norma-norma atau undang-undang yang menga-tur suatu hal tertentu (kekosongan hukum), maka rapang berfungsi mem-benading suatu ketetapan dimasa lampau yang pernah terjadi, atau semacam yurisprudensi; (3) alat pelindung dalam wujud pemali-pemali atau paseng atau sejenis dalam ilmu gaib penolak bala yang berfungsi melindungi milik umum dari gangguan perseorangan dan melindungi orang seorang dari keadaan bahaya. Sehingga dikenallah keharusan bagi pengauasa untuk maggetteng ri

rapangnge, artinya penguasa harus tegas

dan konsisten dalam menjalankan undang-undang negeri.

Wari, adalah “perbuatan

mappallai-sennge (yang tahu mem-bedakan)”. Wari

menurut arti leksikalnya tak alin dari penjenisan yang mebedakan yang satu terhadap yang lain suatu perbuatan yang selektif, perbuatan menata atau menertib-kan. Friedericy menter-jemahkan wari

dengan “de indeeling instanden”11. Terjemahan Friedericy benar juga, karena

wari’ antara lain berfungsi mengatur

tata-susunan dan jenjang-jenjang keturunan serta menen-tukan hubungan-hubungan kekerabatan. Tetapi wari bukan hanya menyikapi masalah keturunan dan pelapisan masyarakat semata-mata, melainkan mempunyai fungsi-fungsi lain yang lebih luas cakupannya. Secara umum, wari berfungsi protokoler dan meliputi sekurang-kurangnya: (a) menjaga jalur dan garis keturunan yang mem-bentuk pelapisan masyarakat (standen) dalam masyarakat atau yang mengatur tentan tata-keturunan melalui hub-ungan perkawinan. (b) menjaga/memelihara tata susunan atau tatapenempatan sesuatu menurut urutan semestinya, dan (c) men-jaga/memelihara hubungan kekeluargaan antara raja suatu negeri dengan negeri lainnya, sehingga dapat ditentukan mana yang tua, mana yang muda dalam

tata-panngaderreng

Dalam hidup kenegaraan, Wari’ berfungsi sebagai pranata yang menata negara. Wari’tana berarti tata negara. Dalam ilmu bahasa Bugis, ada disebut

wari’kada, artinya tata kalimat atau tata

bahasa. Dalam Latoa, Wari’ disebut dalam berbagai sasaran kegunaannya yang butujuan kepada penataan panngaderreng

dan penertibannya. Diantaranya; Wari’-tana ialah tata kekuasaan dan tata-pemerintahan dalam hal mengenai dasar-dasarnya. Ini menyagkut hubungan inter-personal antara lemebaga dengan perang-kat adat serta terhadap masyaraperang-kat.

(8)

menentukan garis keturunan dan ke-keluargaan, yang mengatur tentang struktur kemasyarakatan. Serta Wari’

pangoriseng ialah mengenai tata urutan

(vole-orde) dari hukum yang berlaku

dalam sistem tata-hukum. Inilah yang menentukan berlaku atau batalnya suatu undang-undang atau hukum, dilihat dari sudut jenis kekuatan formal dan materilnya. Seperti dalam Lontara; “rusa’ taro arung, tenrusa’taro ade’, rusa’ taro ade tenrusa’taro anang. rusa’ taro anang,

tenrusa’taro to mae-ga” maksudnya, batal

ketetapan raja, tak batal ketetapan ade’, batal ketetapan ade, tak batal ketetapan kaum, batal ketatapan kaum tak batal ketetapan rakyat. Menentukan tingkat-tingkat berlakunya suatu peraturan atau ketentuan hukum itulah yang menjadi salah satu fungsi terpenting dari wari’.

Sara, ada: “empat macamnya saja yang memperbaiki negara dan barulah dicukupkan lima macamnya, ketika Islam diterima dan sara’ dimasukkan juga.

Sara‘, demikianlah orang bugis menyebut

prata Islam yang menggenapkan keempat aspek panngaderreng mereka menjadi lima, sehingga tersusunlah sendi-sendi kehidupan masyarakat mereka atas ade’,

bicara, rapang, wari, dan sara’. Dengan

adanya Islam dan diterimanya sara’

(syariat Islam) ke dalam panngaderreng, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya orang Bugis yang tumbuh dari aspek-aspek penngaderreng, memperoleh pengisian dengan warna yang lebih tegas, bahwa sara’ (sebagaimana adanya yang sampai pada kehidupan orang Bugis) menjadi padu sebagai aspek

pannga-derreng lainnya. Ketaatan mereka pada

sara’ sama dengan ketaatan mereka pada

aspek-aspek panngaderreng lainnya. Oleh karena itu, janggal untuk mengatakan bahwa orang Bugis Makassar di Tana-Ugi dalam kehidupan sosial budayanya mengutamakan (secara kuali-tatif) ade’ dan menomorduakan (secara kualitatif) sara’, karena keduanya sudah

padu sebagai satu sistem dalam

pannga-derreng. Keadaan seperti ini terjadi karena

penerimaan mereka kepada Islam sebagai agama di Sulawesi Selatan tidak terlalu banyak merobah nilai-nilai, kaidah kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Seperti dalam penegasan Giddens, tentang Praksis Sosial: produksi dan reproduksi kehidupan sosial. Kita dapat lihat bahwa bagaimana sara’ itu dudah menjadi aspek dalam

pannga-derreng seluruhnya dan melakukan

peranan dalam membentuk nilai-nilai dan norma dalam masyarakat dan kebudayaan orang Bugis.12

B.Latar Belakang Regressus PERDA di Sulawesi Selatan

Menurut Toriolo (para pendahulu), yang menentukan manusia ialah ber-fungsinya dan berperannya sifat-sifat kemanusian, sehingga orang menjadi manusia dan begitu jugalah nilai-nilai budaya Bugis. Adapun nilai-nilai ke-jujuran, kecendiakaan, kepatutan, ketegu-han dan usaha sebagai nilai-nilai utama dilihat dari sisi fungsinya. Keutamaannya secara fungsional dalam hubungannya dengan diri sendir, dengan sesama mahluk, dengan cita-cita, dan dengan Tuhan. Sama halnya nilai-nilai tersebut tampil peranannya pada kegiatan-kegiatan, baik dikalangan individu mau-pun institusi kemasyarakatan. Peranannya yang lestari dalam rangkuman masa yang cukup panjang dalam ke-hidupan generasi ke genarasi. Peranannya yang memberi-kan sanksi hukuman atas setiap pelang-garan terhadapnya. Dan peranannya dalam memberikan peng-hargaan kepada yang mengembannya, baik manusia maupun lembaga atau pranata-pranata sosial.

1. Kejujuran

Dalam perkataan Bugis, jujur disebt

lempu’. Menurut arti logatnya lempu sama

dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dalam berbagai konteks, adakalanya kata

(9)

ini berarti juga ikhlas, benar, baik atau adil sehingga kata-kata lawannya adalah culas, curang, justa, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya, dan semacamnya. Arti-arti dapat dipahami ketika ditemukan kata lempu’ dalam ungkapan-ungkapan

Bugis atau lontara. Berbagai cara pula lontara menerangkan mengenai kejujuran ini. Kita dapat melihat aplikasi kejujuran

(lempu’) serta maknanya dalam kehidupan

masyarakat Bugis Makassar.

Ketika Tociung, cendekiawan Luwu, diminta nasehatnya oleh raja (datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng, beliau menyatakan ada empat perbuatan jujur, yaitu; (a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tidak curang, artinya disandari lalu tak berjusta, tak menyerakahi yang bukan haknya, dan tidak memandang kebaikan kalau hanya untuk dirinya dan baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama. Sejalan dengan pengertian ini Kajaolaliddong cendekiawan Bone men-jelaskan kejujuran ketika ditanya oleh Raja Bone mengenai pokok-pangkal keilmuan. Apakah saksinya atau buktinya kejujuran? ”Seruan ya Arumpone!” apa yang diserukan ya Kajao? Adapaun yang diserukan ialah: jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu, bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan kerbau (dari kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga kudamu yang bukan kudamu; jangan ambil kayu yang disandarkan, bukan engkau yang menyandarkannya; jangan juga kayu sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau menetaknya.

Betapa dalam kesan nilai kejujuran itu pada diri pribadi Lamanussa’ Toakkarangeng. Pada waktu rakyat Soppeng mengajukan kesepakatannya untuk meminta kesediaan beliau menjadi Datu Soppeng, berkali-kali ditolaknya sambil menyatakan supaya mencari orang lain dari padanya. Ketika beliau pada

akhirnya harus menerima, masih pun dia meminta tempo untuk pergi berguru, mencari bekal keilmuan bagi kepentingan pelaksanaan amanat rakyat Soppeng. Kalau sikapnya itu dikatakan berendah hati namun itu lahir dari nilai nilai kejujuran bercampur dengan keilmuan dan kepatutan. Dia tidak merasa rendah buat menyatakan kekurangannya di hadapan rakyat yang telah meyakini kelebihan dan kemampuannya. Soppeng telah mengeta-hui bahwa syarat untuk seorang datu di Soppeng telah dimiliki olehnya.

2. Kecendikiaan

Ungkapan-ungkapan Lontara, sering meletakkan nilai kencendekiaan dengan nilai-nilai kejujuran, karena kedu-duanya saling isi mengisi. Sebagai contoh ungkapan berikut ini: “Jangan sampai engkau ketiadaan kecendekiaan dan

kejujuran. Adapun yang dinamakan

cendekia ialah tidak ada yang sulit

dilaksanakan, tidak ada pembicaraan yang sulit disambut dengan kata-kata yang baik dan lemah-lembut lagi percaya kepada sesama manusia. Yang dinamakan jujur

ialah perbuatan baik, pikiran benar, tingkah laku sopan lagi takut pada Tuhan”. Yang menarik disini adalah, adat mulai disemaikan dari masa kanak-kanak. Ketika mereka sedang diayunan atau dipangkuan, sudah didendangkan elong pa’ dondodondo (nyayian harapan). Seni masih dihafal sampai sekarang oleh kebanyakan orang dipedalaman. “Mari kita membuat pagar dibawah rumah kita. Ayo kita menanam adat kita, semarak

kembang melati kita.” Dari nyayian ini

diketahui sebelum adat ditanam, pagarnya harus lebih dahulu disiapkan. Ungkapan mereka mencatat bahwa ada dua hal yang dijadikan pagar yaitu bunga nangka dan hiasan kuku. Artinya oleh orang Bugis, bunga nangka disebut lempu’ yang berarti lurus atau jujur. Yang diartikan sebagai hiasan kuku ialah pacci (pacar) atau

(10)

dibaca paccing yang berarti bersih atau suci.

Jadi ungkapan tersebut bermaksud bahwa yang dijadikan pagar adalah kejujuran dan kesucian. Kalau pagar seharusnya kuat dan indah maka kejujuran dan kesucian itulah yang kuat dan indah. Di dalam konsep nilai kecendekiaan terkandung, di samping nilai kejujuran, juga nilai kebenaran, kepatutan, ke-ikhlasan dan semangat penyiasatan atau penelitian.

3. Kepatuhan

Kepatutan, kepantasan, kelaya-kan adalah terjemahan dari bahasa Bugis

Asitinajang. Kata ini berasal dari tinaja

yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontara mengatakan: “duduki kedudukanmu, tempati tempatmu”. Ade’

wari’ (adat pembedaan) pada hakikatnya

mengatur agar segala sesuatu berada pada tempatnya. Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Termasuk perbuatan

mappa-sitinaja. Merusak tata tertib ini adalah

kezaliman. Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan adalah suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh sitinaja. Ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan tolak yang banyak apabila yang banyak itu men-datangkan kebinasaan.

Nilai kepatutan ini erat kaitannya dengan kemampuan (makamaka) jasma-niah dan ruhajasma-niah. Penyerahan atau penerimaan sesuatu, apakah itu amant atau tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan dan kemampuan. Makamaka lebih banyak menekankan penampilan bagi pemangku tanggung jawab. Perkataan terima kasih

(marennuna) adalah pinjaman dalam

bahas Bugis. Disamping itu ada beberapa hal yang dapat merusak nilai kepatutan ini, dan menimbulkan akibat yang merusak negeri. (a) tamak atau

keseraka-han, akan menghilangkan malu;

(b) kekerasan yang akan melenyapkan kasih sayang di dalam negeri; (c) kecu-rangan, akan memutuskan hubungan orang sekeluarga; dan (d) ketegahan akan menjauhkan kebenaran di dalam kam-pung.

4. Keteguhan

Keteguhan yang dimaksud disini adalah getteng dalam bahasa Bugis. Selain berti teguh, kata ini pun berarti tetap asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Sama halnya dengan nilai kejujuran dan lainya yang terikat pada makna positif. Ini dinyatakan oleh Tociung bahwa empat perbuatan nilai keteguhan; (a) tak menginkari janji, (b) tak menghianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan berbuat tak berhenti sebelum ranpung. Nilai keteguhan juga dapat berarti bahwa; “yang satu tidak baik dan yang lainnya adalah keteguhan yang baik”. Orang yang memegang nilai keteguhan yang baik ialah menetapi untuk tidak mengajarkan ketidak-baikan, dan berketetapan melaku-kan kebaimelaku-kan, meskipun keburumelaku-kan itu menarik hatinya tetapi sudah diketahuinya tentang keburukannya yang lalu tidak dilakukannya.

5. Siri’

Siri’ dalam bahasa Bugis dan

Makassar berarti malu atau rasa malu,

sekalipun kata siri’ tidak hanya dipahami menurut makna harfiahnya tersebut. Seminar masalah siri’ di Sulawesi Selatan melatakkan batasan umum bagi penegrtian

siri’, sebagai berikut: (a) Siri’ dalam sistem budaya, adalah pranata pertahanan hatga diri, kesusilaan dan hukum serta agama sebagai salah satu nilai utama yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi

(11)

fungsi-fungsi struktural dalam kebudayaan; (b)

siri’ dalam sistem sosial, adalah

mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan. Sebagai dinamika sosial, terbuka untuk beralih peranan (bertransmisi), beralih untuk (bertransformasi), dan ditafsir ulang (reinterpretasi) sesuai perkembangan kebudayaan nasional sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya filsafat bangsa Indonesia, Pancasila. (c) siri’ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan kongkret di dalam akal budi manusia menjungjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.13

La Side’ Daeng Tapala14

dalam Artidjo Alkotsar15, menyatakan bahwa Sirik (Siri’) adalah sinonim dengan manusia susila, dengan ungkapan: Lanatu

Siri’e reasing tau, dengan menarik

kesimpulan; (1) Siri’ pada Bugis adalah suatu lembaga susila yang mengkultuskan harga diri pada manusia; (2) pengertian Siri’ pada suku Bugis telah, meningkat menjadi kemanusiaan; (3) Siri’ telah berhasil menanamkan dalam jiwa suku Bugis, bahwa tujuan hidup adalah menjadi manusia susila dengan memiliki harga diri yang tinggi; (4) Siri’ telah berhasil meningkatkan kekuatan-kekuatan yang menakjubkan pada suku Bugis, yang nampak dalam sejarah kehidupan suku tersebut; (5) perubahan nilai-nilai susila yang disebabkan oleh yang disebabkan oleh pengaruh kebudayaan asing tidak/ belum disadari oleh bahagian terbesar suku Bugis, yang menimbulkan jurang antara kesadaran/pengertian susila mereka dengan hukum berlaku.

Siri’, dalam konsep kultur, berkaitan

dengan hal kehidupan budaya masyarakat suku Bugis-Makassar. Lebih menghayati makna kultur kata Siri’ bahwa perlu ada pembedaan pengertian (makna) harfiah kata Siri’ dengan pengertian (makna) kultur daripadanya. Makna kultur kata

Siri’ baru dapat dihayati manakala konsep

Siri’ diamati dari sisi keberadaannya

sebagai bagian sistem nilai budaya (cultur

value system) Bugis-Makassar. Sistem

nilai budaya (cultur value system)

berkaitan dengan konsepsi-konsepsi, gagasan-gagasan, ide-ide yang hidup dalam alam pikiran sebagaian warga masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga serta penting dalam kehidupan mereka. Sistem nilai budaya yang dimaksud lazim berfungsi sebagai pedoman tertinggi, yang memberi arah dan orientasi bagi kehidupan para warga masyarakat.

C.Implementasi Nilai-Nilai Budaya Terhadap PERDA di Sulawesi Selatan

1. Hubungan Siri’ dengan Nilai Etika Hukum (Value of legal Ethic)

Dalam sistem nilai budaya terkandung pelbagai nilai (values). Diantara pelbagai nilai itu, terdapat nilai-nilai yang dirangkum kedalam kelompok nilai etika (ethic values). Kaidah-kaidah hukum (rechtsnormen) dibangun atas pondasi nilai etika hukum (value of legal

ethic). Nilai etika hukum mempersoalkan

perilaku moral (moral conduct) sehubungan dengan hal baik atau buruk (good or bad) benar atau salah, baik atau jahat menurut hukum. Dalam sistem nilai budaya Siri’ terdapat pula nilai etika hukum, seperti halnya nilai malu serta nilai harga diri (martabat) yang menjadi bagian cita-cita, gagasan-gagasan, kon-sepsi-konsepsi hukum daripadanya.

Nilai etika hukum dimaksud juga disebut siri’ dalam tuturan pappaseng

(pappasang) serta manuskrip-manuskrip

lontarak, sehingga tepat kiranya penulis

menyebutnya penamaan yang sama dalam bahasan J.J Rousseou menyatakan, “otonomi manusia ditafsirkan bermakna bahwa norma hukum hanya akan memiliki kewajiban secara absah bersifat mengkaji

(12)

jika ia diciptakan dengan partisipasi bebas dari mereka yang tunduk kepadanya dan lebih lanjut bahwa hanya dalam kerangka imperatif kategorislah keputusan bebas itu bisa direlaisir sebagai wujud otonomi manusia, sebagai indikasi dari kehendak umum (volunte generale)”.16

Siri’ sebagai pancangan nilai etika

hukum merupakan dasar (grondslag vorm) keberlakuan kaidah-kaidah ade’ (hukum).

Ade’ sebagai “sistem norma dan aturan-aturan adat” dibangun diatas fondasi martabat siri’. Mereka mematuhi dan memuliakan ade’ (hukum) karena meyakini bahwa ade’ menjaga martabat

siri’ yang dijunjung tinggi. Menurut

Matulada sebagaimana dikutip Laica Marzuki,17 menyatakan orang-orang Bugis kepada ade’ tidak lain karena adanya keyakinan yang mendalam pada mereka bahwa ade’ itu senantiasa memelihara

siri’ dalam arti esensi kebijakan martabat

manusia. Dalam pappaseng yang tuturan turun temurun, dikenal ungkapan yang menyatakan: “Siri’emmi ri onroang ri

lino. Uttetong ri ade’ e, najagai nami siri’

ta. Naia siri’ e sunge naranreng, nyawa

na kira-kira”. Diterjemaahkan bahwa:

“hanya dengan siri’ kita hidup di dunia. Aku setia pada ade’ karena ia menjaga

siri’ kita. Adapun siri’ jiwa timbalannya,

nyawa yang dituju”.

Siri’ membangun ade’, sementara

ade’ menjaga dan memelihara siri’. Manakala martabat sebagai manusia (tau’). Ungkapan pappaseng yang menyatakan bahwa hanya karena siri’, maka seseorang disebut manusia (siri’

emmi tariaseng tau’) juga berlaku bagi

setiap perilaku pematuhan dan pemuliaan

ade’. Ade’ adalah manusia itu sendiri, demikian lontarak pappaseng di masa abad XVI. Dalam lontartak Latoa yang memuat bab percakapan Petta Matinroe ri

Lariang Banngi, seorang bangsawan dan

pemikir kerajaan Bone dengan Petta

Tomarilaleng Pawelaie ri Lompu,

dikemukakan paseng (petuah), berikut ini:

“Padatoi, iko pakkatenni ade’e, isseng majeppui ri asengnge ade’, muatutuiwi mupakarajai, apa ade’e ritu riaseng tau, nakko temmuisengngi ri aseng ade’, tencaji ritu riaseng tau, apa’ de tu

appongennaa ade’e, sangngadinna

lempu’e muparajaiwi tau’ mu ri dewata e, mumatanre siri’, apa’ ianaritu to maraja tau’e’ ri dewata e’ matanre siri’, iana ritu

tau temmassarang lempu e, tau

makkua’e”.

Yang bermakna kurang lebih: “Seperti juga, hei engkau pemangku adat, pahamilah dengan sungguh-sungguh apa yang disebut ade’, peliharalah, hormatilah, karena ade’ itulah yang disebut manusia. Apabila engkau tak mengetahui apa yang disebut ade’ makatak jadilah manusia itu disebut manusia, karena tak ada pang-kalnya ade’ itu, kecuali kejujuran. Besarkanlah tajutmu pada dewata, dan pertinggilah siri’, karena adapun orang yang disebut besar takunya kepada dewata dan tinggi siri’nya, itulah orang tak terpisah dengan kejujuran”.

2. Siri’ Sebagai Asas Hukum

(Rechtsbeginsel)

Kesadaran seseorang (atau kelompok orang) dalam mematuhi hukum tidak lain dari perwujudan perilaku yang berkesadaran hukum. Kesadaran pada hakikatnya merupakan pula pematuhan akan nilai-nilai etika hukum yang mendasari kaidah-kaidah hukum. Orang-orang Bugis-Makassar dimasa dahulu menyadari bahwa ade’ dibuat guna menjaga serta memelihara siri’ mereka. Pematuhan mereka akan ade’ pada hakikatnya merupakan pula pematuhan serta pemulihan terhadap siri yang mendasari kaidah-kaidah hukum ade’. Istilah nilai etika hukum hampir tak dikenal dalam bacaan ilmu hukum. Nilai-nilai etika hukum merupakan salah satu bahasan ilmu filsafat, utamanya yang berkenaan dengan nilai-nilai etika,

(13)

walaupun adakalanya dibahas dengan memakai istilah yang berbeda-beda.

Siri’ berperan mendinamisasi serta

memberi kekuatan progresif terhadap

panngaderreng besert lima unsur dari

padanya, meliputi ade’ bicara, rapang,

wari, dan sara’. Dikemukakan

pannga-derreng sebagai wujud kebudayaan, selain

mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia ber-tingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan, berupa peralatan-peralatan materi dan non materil. Panngaderreng

melekat pada hakikatnya martabat manusia, panngaderreng menjunjung tinggi persamaan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, panngaderreng mendapatkan kekuatannya dari siri’, sebagai nilai esensial manusia. Siri’ itu tidak lain dari martabat dan harga diri manusia. Kemanapun mereka mengembara akan membawa serta penngaderreng mereka yang dilandaskan pada konsep siri’.18

3. Siri’ Sebagai Sumber Hukum

(Source Of Law)

Kesadaran hukum rakyat berkaitan dengan sumber hukum (rechtsborn source

of law), utamanya jika hal kesadaran

hukum rakyat itu hendak didekati dari sudut pandang ajaran kedaulatan hukum

(die Lehre der Rechtssouveranitat, de leer

der rechtssouvereiniteit). Pematuhan

rakyat akan hukum atas dasar kesadaran

(bewust) hanya dapat dicapai manakala

hal pematuhan dimaksud didukung oleh kesadaran hukum mereka. Kesadaran hukum rakyat tidak diturunkan dari kehendak negara yang acapkali dipahami dalam wujud keberadaan sumber hukum formal berupa produk-produk: the statutes

or decisions of the formal courts. Menurut

Paton sebagaimana dikutip oleh Laica Marzuki19, jika hukum dipandang berlaku karena kaidah hukum merupakan produk kebiasaan maka perilaku-perilaku rakyat

yang dinyatakan sebagai (custom) kebiasaan itu merupakan sumber hukum. Pendapat memandang perilaku-perilaku kebiasaan rakyat sebagai sumber hukum niscaya do not regard the state as the

people are the source of law. Bagi Paton,

apabila keberlakuan hukum ditentukan oleh kedaulatan maka kedaulatan meruapakan sumber hukum formal (if the law is command of the sovereign, is the

formal source).

Kedaulatan hukum menempatkan sumber hukum berada diluar kehendak negara. Menurut Hugo Krabbe20 sebagai-mana dikutip oleh Laica marzuki, menegaskan bahwa: kekuasaan hukum tidak terletak diluar diri manusia tetapi justru berada di dalam diri warga. Hukum berlaku dan dipatuhi berdasarkan dukungan kesadaran hukum yang terdapat dalam diri warga (burgers). Baginya kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber hukum serta merupakan sumber dari semua hukum, termasuk sumber bagi hukum tidak tertulis pada umumnya. Olehnya itu, konsep Siri’ sebagai sistem nilai budaya Bugis-Makassar, dipelihara serta dimuliakan mereka sejak berabad-abad berselang.

Kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar periode lontarak menjadi konsep Siri’ sebagai sumber hukum dalam

pannga-derreng mereka. Dalam kedudukan

sebagau sumber hukum, siri’ menempati hirarki hukum tertinggi. Karena siri

sebagai sumber prilaku raja-raja yang merupakan pribadi-pribadi anutan budi luhur, sekaligus sumber ketertiban yang telah berapiliasi dalam pribadi raja yang diyakini memiliki budi luhur. Hal ini didukung dalam pandangan Christian Pelras21, bahwaSiri’lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting ke-hidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar.

(14)

Berdasar konsepsi kesadaran hukum masyarakat tersebut diatas, terlihat secara jelas pada inprovisasi budaya terhadap produk Peraturan Daerah (Perda) di Sulawesi Selatan. Hal ini sudah ditekankan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi sulawesi selatan nomor: 20 tahun 2006 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi sulawesi selatan. Secara subtansial tertuang dalam Mukaddimah, Bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa menjalankan syariat dan ajaran agama yang dianutnya dengan mengimplementasikan dalam dirinya sikap dan perilaku yang religius, dan mengamalkan nilai-nilai luhur budaya Sulawesi Selatan, serta menjadikan Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah, merupakan Wakil Rakyat yang didalam menjalankan tugas dan ke-wajibannya senantiasa bertanggungjawab (akuntabilitas), terbuka (transparan), dan harus selalu berpegang teguh pada amanat rakyat (aspiratif). Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dituntut dinamis dan tanggap dalam menyelesai-kan permasalahan yang dihadapi masyarakat (rensponsif). Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam bertindak sesuai dengan aturan maupun kaidah yang berlaku (legalitas), dalam upaya mewujudkan kehidupan masyarakat adil dan makmur.

Serangkaian dengan itu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dalam menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya, senantiasa mencerminkan kepribadian yang selalu mengedepankan

kejujuran dan ketegasan (Lempu na

magetteng) berlaku Adil dan berucap

kebenaran (ada tongeng

temmappassilai-ngeng). Sebagai Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah maupun warga masyarakat, dalam bertatakrama senantiasa mengedepankan unsur keber-samaan, kerjasama yang harmonis saling menghargai, saling mengingatkan agar tidak terjerumus dalam kejahatan dan bahu membahu, tolong-menolong, serta saling mendukung pada setiap langkah menuju keadaan yang lebih baik sebagai makna dari; sipakatau, sipakalebbi, sipakainga, mali siparappe, sipatuo, sipatokkong.

Terakhir ditegaskan dalam mukad-dimah ini bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dalam menjalin kerjasama harus mampu mengintegrasikan dirinya dalam tatanan kesatuan hidup antara sesama manusia, alam dan Sang Pencipta. Dengan kondisi itu terwujudlah jati diri yang didalamnya mengkristal harga diri, martabat yang mulia, kepekaan sosial dan tanggungjawab yang besar dalam kedudukannya sebagai mahluk yang paling mulia disisi Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai ungkapan dari;

parampunganta, siri na pace atau Siri

nasibawang pesse. Dalam artian bawa

siri’ merupakan sebagai sistem budaya, sistem sosial serta sistem kepribadian yang harus terealisasikan dalam relung-relung kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.

Di bawah ini ada beberapa Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Sulawesi Selatan yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya (adat) Bugis-Makassar diantara-nya:

1. Perturan Daerah Nomor: 9 Tahun 2007 Tentang Pencegahan Dan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak

2. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor: 4 Tahun 2006

(15)

tentang Pendidikan Al-Quran. Bahwa pendidikan Al-Quran merupakan bagian dari hak asasi manusia yakni setiap manusia berhak atas per-lindungan bagi pengembangan pribadi-nya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkat-kan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera (pannga-derreng); hal mana pendidikan Al-Quran merupakan bagian aktifitas hidup masyarakat muslim di Sulawesi Selatan, oleh sebab itu perlu mendapat dukungan dan arahan dari Pemerintah Daerah dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan Al-Quran; serta Pendidikan Al-Quran merupakan bagian integral dari Pendidikan Agama Islam dan Sistem Pendidikan Nasional;

3. Peraturan Daerah Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan No. 03 Tahun 2002

tentang Larangan, pengawasan, penertiban, dan penjualan minuman keras

4. Peraturan Daerah Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan N0. 02 Tahun 2003

tentang Pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah

5. Peraturan Daerah Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan No.05 Tahun 2003

tentang Berpakaian muslim dan muslimah

6. Peraturan Daerah Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan No. 6 Tahun 2005

tentang Pandai baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin

III. PENUTUP

A. Kesempatan

1. Bahwa nilai-nilai budaya bugis makassar terhadap legal policy menjadikan Adat sebagai konsepsi kunci. Sebab keyakinan orang Bugis-Makassar terhadap adatnya

mendasari segenap gagasannya mengenai hubungan-hubungannya, baik dengan sesama manusia, dengan pranata-pranata sosialnya, maupun dengan alam sekitarnya. Bahkan dengan makrokosmos. Jika kalau kita menemu-kan maknanya dalam kehidupan kekeluargaan, ekonomi, politik, pemerintahan dan keagamaan, maka barulah mungkin kita memahami pandangan hidup mereka yang dinafasi oleh adatnya. Adat ini, atau biasa juga disebut

Panngandarreng adalah bahagian

dari dirinya sendiri dalam keter-libatan dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan adalah wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan berupa peralatan-peralatan meteril dan non materil.

panngaderreng sendiri tersusun atas

sendi-sendi kehidupan masyarakat

atas ade’, bicara, rapang, wari, dan

sara’.

2. Yang menentukan manusia ialah berfungsinya dan berperannya sifat-sifat kemanusian, sehingga orang menjadi manusia dan begitu jugalah nilai-nilai budaya Bugis. Adapun

nilai-nilai kejujuran, kecendiakaan, kepatutan, keteguhan dan usaha sebagai nilai-nilai utama dilihat

dari sisi fungsinya. Keutamaannya

secara fungsional dalam hubungan-nya dengan diri sendiri, dengan sesama mahluk, dengan cita-cita, dan dengan Tuhan. Sama halnya nilai-nilai tersebut tampil peranan-nya pada kegaiatan-kegiatan, baik dikalangan individu maupun institusi kemasyarakatan.

(16)

Peranan-nya yang lestari dalam rangkuman masa yang cukup panjang dalam kehidupan generasi ke genarasi. 3. Dalam proses pembentukan hukum

serta implementasinya, Siri’ dijadi-kan pancangan nilai etika hukum merupakan dasar (grondslag vorm) keberlakuan kaidah-kaidah ade’ (hukum). Ade’ sebagai “sistem norma dan aturan-aturan adat” dibangun diatas fondasi martabat

siri’. Mereka mematuhi dan

memuliakan ade’ (hukum) karena meyakini bahwa ade’ menjaga martabat siri’ yang dijunjung tinggi, dan tidak lain karena adanya keyakinan yang mendalam pada masyarakat Bugis-Makassar bahwa

ade’ itu senantiasa memelihara siri’

dalam arti esensi kebijakan martabat manusia.

B. REKOMENDASI

Dengan analisa aksiologi diatas, disini perlu ditekankan bahwa adat atau budaya merupakan sumber inspirasi hukum masyarakat, yang perlu terus dikaji dan pelihara agar arah penataan masyarakat lebih memperlihatkan hasil yang komprehensif. Karena nilai-nilai budaya merupakan wujud aspirasi masyarakat yang terakumulasi dalam adat yang bisa mengantarkannya kearah kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Dalam artian bahwa,

“bukannya hidup untuk hukum namun

hukum untuk hidup”.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony Giddens and Jonathan H.Turner (Ed), 1978. Social Theory Today. Polity Press. Yudi Santoso.(terj.) 2008. Social Theory Today. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Artidjo Alkotsar, (Ed). 1997. Identitas

Hukum Nasional, Yogyakarta, FH

UII.

Carl Joachim Friedrich. 1969. The Philosophy of Law in Historical Perspective. Chicago. The University of Chicago Press. Raisul Muttaqien.(terj.) 2004. Filsafat

Hukum: Persfektif Historis.

Bandung: Nusamedia.

Carleton K, Allen. 1964. Law in the

Making. New York: Oxford

University Press.

Christian Pelras, 1996. The Bugis. Oxford. Blackwell Publishied Ltd. Abdul Rahman Abu (terj). 2006.

Manusia Bugis. Jakarta. Nalar.

Dicey, A.V. 1952. Introcuction to The Studi of the Constitution. London. Mc Millan and CO, Limited St. Martin’s Street. Nurhadi.(terj.) 2007. Pengantar Hukum Konstitusi. Bandung: Nusamedia.

Friedericy,1933. De Standen bij de

Boeginezen en Makssaren. BKI 90.

Gerorge Ritzer, 2004. Socisiological Theory. New York. McGraw-Hill. Nurhadi (Terj.) 2008. Teori

Sosiologi. Yogyakarta. Kreasi

Wacana.

Hamid Abdullah, 1985. Manusia Bugis

Makassar. Jakarta, Inti Idayu Press

John Stone, 1978. Alexis De Tocqueville on Democratzy, Revolution, and Sosiety. Yusi A. Pareanom. (terj) 2005. Alexis De Tocqueville tentang

Revolusi, Demokrasi, dan

Masyarakat. Jakarta. Yayasan Obor

Indonesia.

Karl Polanyi, (1944). Origins of Our

Time: The Greats Transformation.

Boston Press

Laica Marzuki, 1995. Siri’ Bagian

Kesadaran Hukum Rakyat. Ujung

Pandang, Hasanuddin University Press.

Mattulada, 1995. Latoa, Satu Lukisan

(17)

Politik Orang Bugis. Ujung Pandang, Hasanuddin University Press.

Mukhlis, (Ed). 1986. Dinamika

Bugis-Makassar. Ujung Pandang,

Hasanuddin University Press.

Rahman Rahim, 1992. Nilai-Nilai Utama

Kebudayaan Bugis. Ujung

Pandang, Hasanuddin University Press.

Zainal Abidin, 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar tentang Hukum,

Negara Dan Dunia Luar. Bandung.

Alumni.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara RI Tahun 1999, Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3886) ;

Undang–undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4301)

Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 43001)

Website:http://www.dprdsulsel.go.id diakses tanggal 24 03 09: 22.17

Catatan Akhir:

1

Hamid Abdullah, 1985. Manusia Bugis Makassar. (Jakarta, Inti Idayu Press), h. 5

2

Ibid.

3Ibid., h. 6

4Hans Kelsen, h. 252

5Karl Polanyi, 1944 Origins of Our Time:

The Greats Transformation. Boston Press.

6John Stone, 1978. Alexis De Tocqueville on Democratzy, Revolution, and Sosiety. Yusi A. Pareanom. (terj) 2005. Alexis De Tocqueville tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia) h. 47

7Rahman Rahim, 1992. Nilai-Nilai Utama

Kebudayaan Bugis. (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press) h. 122-124.

8Mattulada, 1995. Latoa, Satu Lukisan

Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press). h.339

9

Gerorge Ritzer, 2004. Socisiological Theory. New York. McGraw-Hill. Nurhadi (Terj.) 2008. Teori Sosiologi. (Yogyakarta. Kreasi Wacana). h. 90

10Friedericy,1933. De Standen bij de

Boeginezen en Makssaren. BKI 90. h. 447 11Ibid., h.9

12Anthony Giddens and Jonathan H.Turner (Ed), 1978. Social Theory Today. Polity Press. Yudi Santoso.(terj.) 2008. Social Theory Today. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). h. 473

13

Mattulada, op. cit. h. 50.

14La Side’ Daeng Tapala (1997:71)

15Artidjo Alkotsar, (Ed). 1997. Identitas

Hukum Nasional, (Yogyakarta, FH UII). h.117 16Carl Joachim Friedrich. 1969. The Philosophy of Law in Historical Perspective. Chicago. The University of Chicago Press. Raisul Muttaqien.(terj.) 2004. Filsafat Hukum: Persfektif Historis. (Bandung: Nusamedia). h. 154

17

Laica Marzuki, 1995. Siri’ Bagian

Kesadaran Hukum Rakyat. (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press). h. 141

18Ibid. 19

Ibid., h.146 20Ibid., h.5

21Christian Pelras, 1996. The Bugis. Oxford. Blackwell Publishied Ltd. Abdul Rahman Abu (terj). 2006. Manusia Bugis. (Jakarta. Nalar). h.252

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serat Pamoring Kawula Gusti tidak hanya memiliki nilai puitis saja akan tetapiterdapat nilai-nilai pendidikan akhlak kepada

Tobat ( al-taubah ) terdapat dalam Q.S. Menurut para sufi dosa adalah pemisah antara seorang hamba dengan Tuhannya karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) produk ensiklopedia peralatan laboratorium biologi dikembangkan dengan model ADDIE sebagai sumber belajar IPA biologi untuk

Teknik yang banyak berkontribusi terhadap tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan terjemahan istilah kedokteran dalam buku subjek adalah teknik calque dan

Pengaruh yang berasal dari word of mouth bernilai positif, sehingga semakin sering melakukan komunikasi word of mouth maka hal tersebut memberikan dampak yang

Dapat dilihat pada Gambar 4.19 hasil pengujian eksperimental menujukkan pola peningkatan serta penurunan yang berbeda dengan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan

Aplikasi Buku Dunia Tumbuhan berbasis Android berhasil dibuat seperti pada perancangannya dan semua fitur yang ada di dalamnya berhasil berjalan dengan baik

Omkara Resort Jogja mempunyai iklan yang masih menggunakan brosur dan media sosial tetapi belum mempunyai iklan yang berbasis video, oleh karena itu peneliti